Penerjemah: Nobu
Proffreader: Nobu
Chapter 1
Begitulah Natsume Sakura berharap bisa membakar buku catatannya
Natsume Sakura dijuluki “kakak perempuan yang menakutkan” oleh adik kandungnya, Natsume Yuu.
Namun, perasaan takut yang Yuu rasakan mungkin sedikit berbeda dengan makna takut yang dipahami kebanyakan orang.
Memang benar, Sakura sering berteriak, suka menindas, dan terkadang menggunakan kekerasan.
Dia memanfaatkan sifat Yuu yang tidak bisa melawan orang yang lebih tua… atau mungkin, watak itu sendiri adalah hasil didikan Sakura.
Singkatnya, perasaan takut Yuu terhadap Sakura tidak mengacu pada hal-hal tersebut.
Dia takut karena kakaknya terlalu benar.
Dengan kata lain, Yuu merasa kakaknya, Sakura, sangat ketat pada keluarga dan… sedikit… bahkan sangat sulit untuk didekati.
Ini terjadi saat dia masih di bangku SD.
Yuu tidak cocok dengan teman-teman laki-laki di kelasnya, dan sesekali terlibat masalah, entah karena tangannya dipukul atau tangan Yuu mengenai mereka.
Dalam situasi seperti itu, yang dipanggil bukan orang tuanya, melainkan kakaknya, Sakura.
Dia meminta maaf sambil menundukkan kepala dan menunjukkan penyesalan dengan mengatakan, “Akan saya nasihati baik-baik.”
Anehnya, Sakura ternyata adalah sosok yang bisa melakukan peran itu dengan tenang
Kemudian, saat dia membawa pulang Yuu yang sedang merengut, Sakura selalu berkata,
“Kamu yang salah.”
Tidak peduli bagaimana kronologi kejadiannya, Sakura selalu berkata demikian.
Saat Yuu duluan yang memukul, tentu saja, tapi bahkan ketika Yuu dipukul terlebih dahulu, dia selalu bersikeras bahwa Yuu-lah yang salah.
Tentu saja, Yuu yang saat itu masih anak SD, membantah.
“Kenapa? Dia yang salah, tahu!”
Mendengar itu, Sakura selalu membalas dengan kalimat yang sama.
“Justru karena kamu memukul, mereka jadi senang kan.”
Sakura adalah tipe kakak yang berkata seperti itu kepada adiknya yang masih SD.
“Orang-orang di sekitarmu itu kebanyakan bodoh, jadi diam saja dan biarkan berlalu.”
Yuu sangat tidak puas dengan sikap dinginnya itu.
Dia berpikir, sebagai seorang kakak, Sakura seharusnya membelanya.
Sakura yang selalu menahan dengan kebenaran seperti itu, bagi Yuu yang masih muda dan suka berkhayal, adalah sosok yang sulit didekati secara batin.
Setelah Yuu tumbuh dewasa, dia menyadari bahwa kata-kata Sakura itu, dalam beberapa hal, adalah kebenaran.
Mereka jadi senang dan berulah karena ada reaksi.
Terkadang, untuk menghindari masalah, tidak memedulikan mereka adalah pertahanan diri yang paling baik.
Namun, dia tetap tidak menyukai mentalitas kakak yang mencoba menjelaskan hal itu pada adiknya yang masih SD.
Pasti masa-masa SMA Sakura yang terlalu lurus itu terasa hambar dan membosankan.
Pasti dia menjalani masa SMA-nya dengan hambar, layaknya mesin yang tanpa emosi.
Begitulah pandangan adiknya sendiri terhadap kehidupan SMA Sakura.
Yah, entah apakah bisa disebut sesuai dengan bayangan Yuu atau tidak, yang jelas...
Sepuluh tahun lalu
Natsume Sakura adalah seorang gadis SMA kelas dua.
Benar seperti yang dibayangkan Yuu, dia adalah anak yang matang sebelum waktunya secara mental.
Itu adalah masa ketika orang tua mereka baru saja berhenti dari pekerjaan kantoran untuk membuka toko swalayan, namun bisnisnya tidak berjalan lancar. Untuk membalikkan keadaan, mereka mulai mencoba berbagai usaha lain.
Saking sibuknya sampai mereka butuh bantuan siapa pun, Sakura, sebagai anak perempuan, juga ikut dikerahkan untuk berbagai pekerjaan. Kepribadiannya terbentuk saat masa SMP yang hampir seluruhnya dihabiskan untuk kesibukan bisnis keluarga.
Oleh karena itu, dia tidak tahu dunia di luar rumah. Namun, karena merasa sudah berkontribusi pada masyarakat, dia jadi meremehkan dunia luar. Sekalian, dia juga meremehkan teman-teman sebayanya yang bebas bermain-main. Untungnya, atau sayangnya, dia berprestasi dalam pelajaran, sehingga dia masuk SMA tanpa alasan khusus.
Dia tidak punya teman, tidak punya hobi, dan hanya punya satu hal yang menonjol: kesadaran diri yang kuat.
Tentu saja, dia dikucilkan di sekolah, dan dia sendiri pun tidak berusaha untuk berinteraksi dengan teman-teman sekelasnya.
Sesuai dengan dugaan Natsume Yuu sekarang.
Natsume Sakura saat kelas dua SMA adalah sosok yang hambar dan membosankan.
Bagi Sakura yang seperti itu, "sepasang teman sekelas yang sedang bermesraan tanpa malu di dalam gedung sekolah seusai jam pelajaran" adalah makhluk yang sangat sulit dia pahami.
Di dalam kelas sepulang sekolah.
Biasanya, itu adalah tempat para murid giat belajar.
Namun, di sana ada sepasang kekasih yang seolah-olah menguasai tempat itu.
Bermesraan.
Itu bukan kiasan.
Memanfaatkan suasana sepi, mereka berpelukan, berbisik mesra, dan saling meraba tubuh satu sama lain, menyelipkan tangan dari balik seragam.
Sakura menghela napas di koridor.
“... Hah.”
Dia kebetulan sedang dalam perjalanan pulang.
Sebelum pulang, dia dipanggil ke ruang guru, dan setelah menyelesaikan urusannya, dia kembali untuk mengambil tasnya.
Untunglah, dia menyadari kejanggalan itu dan berhenti tepat sebelum menyentuh gagang pintu kelas.
Dia ragu untuk masuk ke dalam kelas dan sedang memikirkan apa yang harus dilakukan.
(Kenapa orang bodoh suka bermesraan di tempat umum, ya?)
Sekolah ini.
Bukan sekolah yang bermasalah.
Namun, sekolah ini adalah salah satu pilihan yang biasanya dijadikan cadangan di kota.
Kualitas siswanya bermacam-macam, dan wajar jika ada siswa yang bertingkah seenaknya seperti itu.
(… Jangan-jangan di kehidupan sebelumnya mereka ini serangga, ya? Soalnya, mereka juga kawin sembarangan)
Sambil berpikir seperti itu… dia tidak bisa menemukan solusi untuk situasi ini.
Dia harus segera pulang karena ada pekerjaan rumah yang menunggunya.
Namun, menyela pasangan yang sedang asyik bermesraan hanya demi lewat, lalu berakhir dibenci, jelas tindakan bodoh.
Bagaimanapun, kedua pilihan itu tidak menguntungkan baginya.
Saat dia sedang menimbang-nimbang keduanya, tiba-tiba—pintu kelas terbuka dari dalam.
“Ya, Natsume Sakura.”
Namanya dipanggil. Dia terkejut dan menoleh.
Ternyata, cowok dari pasangan yang sedang bermesraan itu yang membuka pintu.
Dengan senyum tanpa rasa bersalah, dia mengulurkan... tas milik Sakura.
“Maaf. Aku enggak sadar kalau ada tasmu di sini.”
“... !?”
Secara refleks, Sakura merebut tas itu.
Ya, merebut adalah kata yang tepat.
Dengan kasar, seolah-olah dia seorang perampok.
Namun, cowok itu tampak tidak tersinggung... Justru cewek di belakangnya yang sedang tergesa-gesa merapikan diri yang ribut.
“Ketahuan sama anjing gila, sial banget! Nanti ketularan penyakit!”
Mendengar kalimat itu, wajah Sakura terasa panas.
Dan tepat di hadapannya—meski sebenarnya tak bersalah, hanya saja kebetulan sedang berada di situ—Sakura menatap tajam ke arah laki-laki itu, lalu berdecak kesal sebelum membalikkan badan.
(Kalian yang bawa penyakit. Dasar serangga!)
Sambil memaki dalam hati, Sakura meninggalkan sekolah seolah-olah sedang melarikan diri.
Musim semi, saat kelas dua SMA.
Seingatnya, itulah “percakapan” pertama antara Natsume Sakura dan Shiiba Yataro.
***
Shiiba Yataro.
Sakura belum pernah berbicara dengannya, tapi dia tahu keberadaannya.
Dia adalah salah satu anggota dari kelompok terpopuler di sekolah.
Kelompok yang saat acara olahraga atau festival budaya berteriak di tengah-tengah kelas, "Kelas kita keren banget!"
Ngomong-ngomong, yang dianggap “keren” itu sebetulnya bukan seluruh kelas, melainkan enam anggota kelompok itu saja, sementara 30 teman sekelasnya lainnya menjuluki mereka “Dewa Egois” atau “Apollo.”
Yataro, salah satu pilar “Apollo (lol)” itu, adalah cowok yang sangat menarik perhatian.
Singkatnya, dia punya paras rupawan.
Sakura tidak terlalu paham soal idol, tapi dia yakin wajah Yataro jauh lebih tampan dari cowok-cowok yang sering diolok-olok oleh pembawa acara senior di acara variety show.
Secara penampilan, dia lebih terlihat sebagai “pria sejati” daripada “pria lembut.”
(Wajahnya seperti karakter yang muncul di urutan kedua dalam manga shoujo, ya)
Dan pada akhirnya, karakter seperti itu biasanya kalah.
Nama Shiiba Yataro… Sakura baru tahu lagi hari ini setelah melihat daftar nama.
Informasi lain yang beredar tentang dirinya: katanya dia orangnya baik.
Namun, informasi ini hanya sebatas rumor.
Karena dia tidak pernah berbicara langsung dengannya, jadi tidak bisa memastikan apakah benar begitu.
Lagipula, Sakura memang tidak pernah berinteraksi dengan teman sekelasnya.
Rumor itu pun hanya sebatas yang dia dengar dari cewek-cewek kelompok “Apollo” yang berkata, “Yataro-kun tetap baik, ya~” untuk mencari muka.
Tapi, dia bisa melihat dari jauh kalau cowok itu sepertinya perhatian.
Ketika anggota kelompoknya sedang asyik bercanda, Yataro terlihat sering mengurus ini itu.
Dan seolah itu tugasnya, dia selalu melontarkan lelucon untuk menghibur saat suasana mulai terasa membosankan.
(Jangan-jangan dia perhatian ya. ... Dan cowok seperti itu, kemarin bermesraan dengan seorang cewek di kelas)
Dalam hal cinta, memang tidak bisa disalahkan.
Manusia paling suci pun, di zaman purba dulunya adalah binatang.
Dan ketika kembali ke sifat leluhur, orang akan menyadarinya—terutama dalam hal cinta.
(... Hah?)
Tiba-tiba, dia menyadari Yataro sedang melihat ke arahnya.
(Gawat, mata kami bertemu!)
Kemudian, Yataro—entah kenapa, dengan santainya berjalan ke arahnya.
Sambil tersenyum ramah, dia meletakkan setengah pantatnya di atas meja Sakura dan mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Natsume Sakura-san. Kamu ada urusan sama aku?”
“...”
Satu kelas pun gempar.
Dengan sedikit pusing, Sakura menghela napas.
“Kamu terlalu percaya diri. Jangan berpikir semua cewek bersikap baik padamu.”
Dia menepuk pantat Yataro.
Yataro dengan santai turun dari meja dan memiringkan kepalanya.
“Kalau begitu, kenapa kamu melihat ke arahku?”
“Aku tidak melihatmu.”
“Mata kita bertemu.”
“Benar. Mungkin mata kita bertemu saat aku melihat ke luar jendela.”
“Enggak, kamu beneran melihatku, kan.”
“Aku tidak melihatmu. Makanya, kamu ini terlalu percaya diri.”
“Eh~. Kamu melihatku, kok.”
Dalam hati, Sakura mendecakkan lidah.
(... Keras kepala sekali)
Mungkin dia merasa kesal karena Sakura memergokinya kemarin.
Dia tidak pantas menyimpan dendam karena hal itu.
Lagipula, Sakura juga tidak sengaja melihatnya… setidaknya, itu yang dia akui.
“Kamu. Sepertinya kamu salah mengartikan pujian cewek-cewek di sekitarmu, tapi sebaiknya jangan telan mentah-mentah penilaian mereka. Kalau penilainya bodoh, hasilnya tidak akan benar. Toko yang ratingnya tinggi di internet, kebanyakan makanannya tidak enak, kan?”
Orang-orang di sekitarnya… terutama para cewek dari kelompok “Apollo,” tampak kesal.
Namun, orang yang mendengarnya justru menunjukkan sikap aneh.
Yataro bergumam, “Oh,” lalu dengan wajah yang anehnya serius, dia berkata.
“Natsume Sakura-san. Kamu cari informasi di internet dulu kalau mau makan? Agak mengejutkan, ya.”
“...!?”
Kali ini, giliran Sakura yang kesal karena dia dipojokkan dengan cara aneh.
(Oke. Cowok ini akan kubuat menangis dan tak berani melawan lagi...)
Di saat dia sedang bertekad demikian, salah satu cewek dari kelompok “Apollo” mendekat sambil membentak.
“Hei, Anjing Gila. Bisa berhenti godain pacar orang, enggak?”
“... Jelas-jelas aku yang sedang diganggu, kan.”
Cewek itu tampak kesal karena Sakura berani melawan.
Dia menyibakkan rambutnya, melipat kedua tangan, dan menunjukkan sikap mengintimidasi.
“Lagian, mana mungkin Yataro tertarik sama Anjing Gila kayak kamu? Serius, kamu ganggu banget, bisa enggak sih diam aja di pojokan? Dan jangan lihat-lihat, nanti kotor.”
“...”
Namun, ada hal yang terasa aneh bagi Sakura.
(Barusan dia bilang ‘pacar’, kan...)
Sakura menatap cewek itu lekat-lekat.
Cewek itu tampak sedikit ragu.
“K-kenapa?”
“...”
Sakura mengalihkan pandangannya ke cewek-cewek lain yang berada di belakang cewek itu.
Saat mata mereka bertemu, salah satu dari mereka tersentak dan membuang muka.
Alasan kejanggalan yang dirasakan Sakura langsung terjawab.
“Hei, Anjing Gila. Kamu dengar enggak, sih!?”
Mungkin kesal karena Sakura terus diam, cewek itu membentak dengan nada jengkel.
Menanggapi itu, Sakura hanya menghela napas pelan.
“Pacar kebanggaanmu itu, kemarin sepulang sekolah, bermesraan dan saling meraba-raba dengan cewek yang ada di belakangmu itu.”
—Sunyi, seluruh kelas terdiam.
Setelah itu, suasana menjadi kacau.
Cewek yang menjadi "pacar" itu mukanya langsung merah padam.
Cewek yang ketahuan mendekati pacar temannya mukanya langsung pucat pasi.
Mungkin ada hubungan cinta yang rumit di dalam kelompok itu, terlihat dari berbagai reaksi para cowok kelompok “Apollo.”
Sisa 30 siswa lainnya jadi heboh karena skandal yang melibatkan para anggota populer.
Sementara itu, Yataro sendiri hanya terlihat bingung dan memiringkan kepalanya.
(... Heh, bukannya kamu yang seharusnya paling panik?)
Drama memalukan yang dimainkan para cewek kelompok “Apollo” itu begitu ramai sampai-sampai ada penonton dari kelas lain.
Bahkan ketika guru bahasa Inggris yang akan mengajar datang, keributan itu tidak berhenti dan hampir saja menjadi bencana besar.
Sakura yang sudah melemparkan bom itu, sambil melirik ke samping, mengamati Yataro.
(Aku pikir dia datang untuk menyuruhku tutup mulut...)
Sakura benar-benar tak habis pikir dengan panasnya emosi para remaja yang terbuai oleh teriknya musim panas.
***
Sore itu, setelah jam sekolah usai.
Sakura dipanggil oleh wali kelasnya.
Sasaki Kouichi.
Guru matematika yang baru dua tahun mengajar dan masih terbilang junior.
Tahun ini, dia untuk pertama kalinya menjadi wali kelas.
Karena dia terlihat pernah berolahraga saat masih sekolah, tubuhnya sangat besar. Para murid memanggilnya “Goriichi” atau “Gorisaki.”
Sasaki menyeka keringat di dahinya dengan sapu tangan berwarna merah muda, lalu berkata,
“Natsume-san. Sudah berapa kali aku minta agar kamu jangan membuat teman sekelasmu marah tanpa alasan….”
Suara Sasaki terdengar sangat putus asa.
Meskipun perawakannya membuat murid-murid lain menganggapnya sebagai “guru yang menakutkan,” kenyataannya justru sebaliknya.
Sebagai guru baru, dia kesulitan menyesuaikan diri dan selalu terlihat ciut.
Karena perawakannya yang besar, setelan jasnya terlihat kasihan.
Menanggapi perkataannya, Sakura menjawab dengan cemberut.
“Bukan salah saya.”
“Tapi, kamu duluan yang mengucapkan kata-kata provokatif kepada Shiiba-kun, kan?”
“Ugh…”
Sakura terdiam.
Dia sadar, dia pantas menerima teguran seperti itu.
Setidaknya, jika saat itu dia membalas, “Maaf kalau kata-kataku menyinggung,” dia mungkin tidak akan didesak lebih jauh.
Dia tidak terima dipanggil, tetapi jika ditanya apakah tindakannya sudah sempurna, dia masih ragu.
(Memang, orang yang sendirian itu selalu rugi dalam situasi seperti ini...)
Dia menghela napas.
Dia tahu betul, murid yang aktif dalam acara sekolah selalu lebih diistimewakan dalam kasus-kasus seperti ini.
“Sudah sifat saya, mau bagaimana lagi. Namanya juga Anjing Gila.”
“Tidak peduli apa pun julukan yang diberikan teman-teman sekelasmu, aku rasa yang terpenting adalah kamu harus mau mendekati mereka. Dengan begitu, kalian pasti akan saling mengerti.”
Setidaknya, para cewek dari kelompok “Apollo” tampaknya tidak berniat mendengarkan kata-kata Sakura…
“Natsume-san. Sikap dan perkataanmu sehari-hari itu seperti sengaja menyulut api. Dengan sikap seperti itu, kamu bisa kehilangan hal yang paling berharga.”
“Hal yang paling berharga?”
Saat dia bertanya balik, Sasaki sengaja mengulur-ulur kata-katanya.
“Masa muda yang hanya datang sekali seumur hidup.”
.....
Merasa dipandangi oleh tatapan dingin Sakura, Sasaki pun menarik ucapannya, “Ah, lupakan saja yang tadi…”
“Saya harus pulang untuk membantu bisnis keluarga, permisi.”
“Ah, tunggu, Natsume-san! Kita belum selesai bicara…”
“Saya rasa tidak baik bagi seorang guru menahan siswi cantik dengan dalih nasihat. Akan repot kalau saya tuntut atas pelecehan seksual.”
“Mana mungkin begitu, dasar bodoh… Ah! Maksudku, tidak akan!”
Sasaki mengoreksi perkataannya dengan wajah memerah.
Sakura tidak menyukai guru itu yang selalu menasihati dengan kata-kata manis.
Tapi, dia merasa lucu melihat guru itu yang mudah menunjukkan sifat aslinya hanya dengan sedikit provokasi.
(... Seharusnya dia tidak perlu sok dewasa dengan memakai jas, lebih cocok pakai jaket olahraga saja)
Sambil memikirkan itu, Sakura keluar dari ruang guru.
Dia memeriksa waktu di ponselnya.
Masih ada waktu sebelum pergantian shift di minimarket.
Ketika dia kembali ke kelas, dia waspada di depan pintu.
(Mana mungkin kejadian kemarin terulang lagi, kan…?)
Dia membuka pintu perlahan.
Dan merasa lega.
Tidak ada seorang pun di kelas.
Sakura mengambil tasnya, lalu mengunci pintu kelas.
(Males banget harus balikin kunci... Eh?)
Sebuah buku catatan jatuh tergeletak di samping meja Sakura.
Mungkin ada yang lupa membawanya. Dia tidak terlalu peduli pada awalnya.
… Namun.
(Aku yang terakhir keluar dari kelas. Kalau ini milik salah satu anggota “Apollo,” jangan-jangan nanti aku dituduh sengaja menjatuhkannya sebagai bentuk balas dendam)
Dia jadi sedikit curiga.
Dia tidak bisa membiarkan dirinya terlihat bersalah.
Sakura terpaksa mengambilnya untuk melihat siapa pemiliknya.
(… Tidak ada namanya. Tapi, memangnya orang-orang seperti mereka menulis nama di buku catatan?)
Dia ragu untuk membuka buku catatan orang lain tanpa izin.
Meskipun dia tidak yakin ada informasi penting di dalamnya jika dibuka...
(Yah, untuk jaga-jaga saja...)
Sakura membuka halaman pertama, lalu... dia memiringkan kepalanya.
Ini bukan buku catatan pelajaran.
Bahkan, bukan buku yang digunakan untuk belajar.
“Novel...?”
Lebih tepatnya, sebuah cerita yang ditulis.
Ada dialog, ada juga narasi.
Tidak ada judul.
(Oh. Ternyata ada orang yang punya hobi seperti ini, ya)
Sakura tidak merasa terkejut.
Lagipula, dia tidak cukup berinteraksi dengan teman-teman sekelasnya untuk bisa merasakan sesuatu yang tak terduga.
(Tapi, ini benar-benar merepotkan...)
Jika itu buku catatan pelajaran, dia bisa saja meninggalkannya di podium, meskipun dia tidak tahu siapa pemiliknya.
Besok pagi, mereka akan mencari pemiliknya sendiri.
... Namun, untuk benda yang sensitif seperti ini, tidak bisa begitu.
(Apa yang harus kulakukan? Setidaknya, ini milik seseorang di kelas ini...)
Dia bisa saja menebak-nebak dan meletakkannya di laci meja orang tersebut.
Pasti ada murid yang menulis sesuatu di buku catatannya saat jam istirahat alih-alih mengobrol dengan teman-temannya.
Atau, ada juga yang tidak mengobrol dengan siapa pun dan hanya menelungkupkan kepalanya di meja... Ah, itu dirinya sendiri.
(Meskipun tidak terlalu suka, aku akan lihat isinya saja dulu)
Mungkin ada petunjuk siapa pemiliknya.
… Sambil berharap isinya bukan curahan hasrat terpendam untuk membunuh seluruh isi kelas, dia pun mulai membaca.
Bagian pertama.
Adegan dimulai dengan tokoh utama dan seorang gadis yang sepertinya tokoh utama perempuan sedang berangkat ke sekolah.
Lalu, sebagai sapaan kepada pembaca, ada deskripsi payudara tokoh utama perempuan yang bergoyang.
(Kenapa payudara gadis ini ditekankan sekali. Berarti ini komedi romantis, ya)
Untuk saat ini, dia sudah selesai membaca adegan berangkat ke sekolah.
Dia tidak menyangka payudara tokoh utama perempuan akan bergoyang tiga kali hanya dalam satu halaman.
Dia tidak berniat menentang sensibilitas itu, namun dia jadi berpikir serius, apakah semua cowok suka tokoh utama perempuan yang tidak memakai bra.
(Yah… tentu saja, aku tidak bisa menebak siapa pemiliknya)
Isi cerita seperti ini.
Secara umum, orang akan berpikir kalau pemiliknya pasti cowok, tapi sebenarnya banyak juga cewek yang menyukainya.
… Ditambah lagi, jika ini milik seorang cewek, kerusakannya mungkin akan lebih parah.
Dia merasa tidak tega untuk menjatuhkannya lagi ke lantai, jadi dia memutuskan untuk membaca lebih lanjut.
(... Di adegan berikutnya, seorang gadis pindahan yang misterius dan cantik muncul. Jalan cerita yang klise, ya)
Tiba-tiba, dia mencium aroma perseteruan antara sang gadis dengan tokoh utama.
Dengan pendekatan gencar dari gadis itu, rival-rival lainnya yang selama ini saling menjaga jarak pun mulai bergerak… sebuah jalan cerita yang tidak bisa lebih klise lagi.
(Rasanya seperti garam dan merica di dunia komedi romantis)
Pada akhirnya, cerita dengan jalan yang klise justru yang paling laris.
Sakura melanjutkan bacaannya… hingga akhirnya, senyuman muncul di wajahnya.
“Hehe.”
Di saat dia tersenyum.
—pintu kelas terbuka.
Sakura menoleh—dan entah kenapa, Yataro berada di sana.
(Aduh...)
Sejujurnya, Yataro adalah orang yang paling tidak ingin dia temui saat itu.
Karena keributan pagi tadi, dia dipanggil oleh Sasaki dan kehilangan waktu luangnya. Yataro sendiri pasti sudah melewati perdebatan yang sengit.
(Aku harus bagaimana ini...?)
Sakura menunduk, melihat buku catatan di tangannya.
Ini hanyalah prasangka pribadi, tapi dari sudut pandang Sakura, hobi ini adalah hal yang paling jauh dari kelompok “Apollo.”
(Sepertinya aku harus membawanya pulang, lalu mencari pemiliknya dengan perlahan. Merepotkan sekali...)
(Ini lebih baik daripada harus mengadakan perburuan penyihir di kelas besok pagi)
Sambil berpikir begitu, dia memasukkan buku catatan itu ke dalam tasnya.
“Kalau begitu, aku pulang. Kalau kamu masih di kelas, jangan lupa kunci pintunya…”
Dengan sapaan dingin, dia mencoba melewati Yataro.
“Tunggu!”
Yataro mengulurkan tangan kanannya dan mendorong Sakura ke dinding.
“... !?”
Jarak mereka sangat dekat.
Dia menatap Sakura dengan tatapan serius.
Dengan ekspresi yang begitu intens, Sakura pun sedikit terguncang.
(Cowok ini benar-benar hanya punya wajah tampan...)
Dia jadi mengerti mengapa cewek-cewek kelompok “Apollo” berusaha keras untuk menyenangkan hatinya.
Sakura berusaha menyembunyikan kegugupannya dan berkata pada Yataro.
“A-ada apa? Mau balas dendam soal tadi pagi? Itu kan salahmu karena selingkuh….”
Namun, Yataro tidak menanggapi perkataannya. Dia hanya berkata,
“Itu.”
Itu?
Ternyata, yang dia tunjuk adalah… tas milik Sakura.
“Buku catatan itu. Biar aku yang cari pemiliknya.”
“... Hah?”
Sakura mengeluarkan buku catatan itu dari tasnya.
Dia berpikir kenapa Yataro membahas buku catatan itu, lalu dia menyadari satu fakta.
“... Aku tidak bilang kalau ini barang hilang, kan?”
“!?”
Seketika.
Wajahnya yang sangat tampan sampai terasa menakutkan itu, mengucurkan setetes keringat.
“... Itu milik temanku.”
“Tidak ada namanya.”
“Aku tahu. Aku pernah lihat dia pakai itu.”
“Ini cuma buku catatan biasa, tanpa ciri khas. Bisa dibeli di koperasi sekolah kita.”
“A-aku bisa tahu dari perasaanku. Itu buku catatan temanku.”
“...”
Dia tampak sangat gigih dalam usahanya meyakinkan Sakura bahwa buku catatan itu milik temannya.
Ide jahat muncul di benak Sakura.
Dia mengulurkan buku catatan itu… namun, tepat sebelum Yataro berhasil meraihnya, dia menariknya kembali.
Dengan wajah licik, seolah-olah baru saja mendapat ide brilian, dia berkata,
“Begini saja. Aku juga tidak enak menyerahkan buku yang tidak jelas pemiliknya pada orang lain. Bagaimana kalau kita berikan ke Sasaki-sensei? Kalau dia, pasti bisa mencocokkan tulisan tangan murid di kelas kita….”
“J-jangan!! Aku bakalan ketahuan… Ah!”
…Pada detik ketika tanpa sadar suara itu lolos dari mulutnya.
Yataro pun tersentak sadar, Sementara Sakura hanya mengangkat bahunya.
“... Yah, benar juga. Sasaki-sensei bisa-bisa di depan seluruh kelas bilang, ‘Mari kita ciptakan kelas di mana kita tidak perlu menyembunyikan hobi kita.’”
Bahkan, ada kemungkinan dia sungguh-sungguh percaya bahwa itu adalah niat baik.
Dengan wajah memerah dan menunduk, Yataro menerima buku catatan yang kali ini disodorkan oleh Sakura.
“Ternyata kamu suka menulis komedi romantis seklise ini, ya.”
“Berhenti pasang muka mesum seperti itu!”
Pada dasarnya, Sakura bukanlah gadis yang memiliki kepribadian baik.
Perkataannya itu merupakan bentuk iseng yang timbul dari rasa dendam atas masalah pagi tadi, dan juga rasa muak yang samar-samar dia rasakan terhadap kelompok “Apollo.”
“Tapi, aku tidak mengerti. Tanpa melarikan diri ke hal seperti ini, kamu juga bisa dapat cewek dengan gampang, kan?”
Pernyataan itu menggores saraf Yataro.
Dengan sedikit kesal, dia menatap tajam Sakura.
“Hah? Mana ada cewek cantik di dunia nyata yang masih menepati janji pernikahan sejak kecil sampai SMA?”
“Oh… Apa kamu benar-benar suka cewek yang sepolos itu?”
“Cowok itu selamanya hidup dengan cinta pertamanya di dada.”
“Tapi, bukannya kamu kemarin meraba-raba dada cewek itu di sini? Bukankah cewek yang benar-benar melayanimu lebih baik daripada cewek khayalan?”
“Haaaa… kamu tidak mengerti, ya….”
Dia menghela napas, terlihat benar-benar lelah.
Kemudian, sambil menggerakkan tangan kanannya dan memasang ekspresi melankolis, dia berkata,
“Kalau sudah disentuh, itu bukan lagi harapan, melainkan gumpalan lemak.”
“Tidak lucu sama sekali. Wajah songongmu itu benar-benar menyebalkan.”
Mungkin karena sudah ketahuan, Yataro kini blak-blakan soal keinginannya.
Entah mengapa, cara bicaranya juga terasa lebih santai dari biasanya di sekolah.
(... Ternyata dia hanya berpura-pura baik di sekolah, ya)
Sakura sedikit mundur.
Tidak, dia benar-benar mundur.
Meskipun dia tidak berhak mengomentari hobi orang lain, kali ini dia merasa wajar jika dirinya terkejut.
“Lagipula, kalau tidak mau ketahuan, jangan bawa ke sekolah, dong.”
“Ini punya temanku dari klub drama. Dia yang minta tolong.”
“Klub drama? Memang ada di sekolah ini?”
“Ada dari tahun lalu. Tapi anggotanya hanya anak kelas dua… Ah!”
Tiba-tiba, Yataro tertawa sinis.
“Kamu kan tidak punya teman yang bisa memberitahumu soal hal-hal seperti itu, ya?”
“... !?”
Wajah Sakura langsung memerah padam.
Dia menatap Yataro dengan penuh kebencian.
“... Semoga besok hobi rahasiamu itu tidak terbongkar di depan seluruh kelas.”
“Ancamanmu tidak akan mempan. Mereka lebih percaya padaku daripada kamu.”
“Cowok picik….”
“Ini hasil dari kerja kerasku, tahu.”
Yataro memamerkan buku catatan yang sudah berada di tangannya.
“Yah, tadinya aku panik karena buku catatannya ketahuan. Tapi untunglah, yang menemukannya itu kamu, jadi tidak ada risikonya. Lagipula, ada hasilnya juga.”
“Hasil?”
Yataro membolak-balik buku catatannya dengan puas.
“Cewek sepertimu saja sampai tertawa saat membacanya. Berarti ini menarik, kan?”
“...”
Ternyata, dia mengamati Sakura dari luar kelas.
Meskipun dia mungkin sedang mencari waktu yang tepat untuk masuk, bisa jadi dia juga hanya penasaran dengan reaksi Sakura.
Sakura terperangah mendengar ucapan Yataro yang penuh harap.
“... Apakah kamu salah mengira bahwa aku terus membaca buku ini karena ceritanya menarik?”
“Hah? Bukan begitu?”
Bukan.
Sakura membaca buku catatan ini hanya untuk mencari petunjuk siapa pemiliknya.
Lebih tepatnya, dia lebih melihat kebiasaan tulisan tangan daripada membaca isinya.
Dan soal isinya…
“Isinya sangat membosankan sampai aku hanya bisa tertawa. Ini benar-benar sampah.”
Mendengar kata-kata dingin Sakura, wajah Yataro membeku.
Sebagai cowok yang sudah terbiasa menjaga perasaan cewek-cewek di sekitarnya, dia pasti tahu kalau kata-kata Sakura keluar dari lubuk hati.
“K-kenapa…?”
Mungkin, itu adalah karya yang sangat dia banggakan.
Melihat ekspresi Yataro yang seolah berkata, “Tak bisa dipercaya...”, Sakura mengernyitkan dahi.
“Kenapa, ya….”
Tepat saat itu, alarm ponselnya berbunyi.
Alarm itu adalah pengingat untuk jam kerja paruh waktu Sakura.
(Gawat. Aku terlalu banyak membuang waktu...)
Hari ini, kakak-kakak perempuan Sakura seharusnya pergi ke pesta minum-minum di universitas mereka.
Tidak ada yang bisa menggantikannya.
Sakura buru-buru mengambil tasnya dan melempar kunci kelas ke arah Yataro.
“Ah, tunggu! Lanjutan ceritanya….”
“Pikirkan saja sendiri. Bukan urusanku.”
Meninggalkan Yataro sendirian, dia pun keluar dari kelas.
Dari belakang, dia mendengar suara Yataro berteriak sambil mengunci pintu kelas. Tapi, dia mengabaikannya sepenuhnya.
(… Menyebalkan. Aku jadi buang-buang waktu gara-gara hal aneh ini)
Sakura tidak tahu.
Bahwa kejadian ini tidak akan berakhir sebagai "melihat sisi lain yang tak terduga dari si populer di kelas."
Dia tidak tahu bahwa kegagalannya dalam menghadapi situasi ini akan mengubah total masa mudanya.
***
Sesampainya di Rumah
Sakura menjaga minimarket milik keluarganya.
... Pada akhirnya, dia tidak sampai tepat waktu dan dimarahi ibunya.
(Semua ini gara-gara cowok novelis tukang selingkuh itu)
Sakura memaki dalam hati.
(Suka gonta-ganti pacar dan menulis novel... ketinggalan zaman banget)
Meskipun tuduhannya itu tidak berdasar, hal itu bisa dimaklumi mengingat perasaan Sakura saat ini.
Setelah akhirnya tenang, dia punya waktu untuk memikirkan kembali percakapannya dengan Yataro tadi.
(... Cowok populer seperti dia ternyata juga menulis novel, ya)
Apalagi, isinya komedi romantis yang sangat klise.
Padahal, jika dia ingin melampiaskan masalahnya sebagai seorang yang populer, ceritanya bisa lebih baik. Tapi, itu justru seperti novel otobiografi.
(Dia bilang itu pesanan dari klub drama, ya. Berarti itu naskah untuk pementasan drama…)
Dia tidak tahu di mana naskah itu akan dipentaskan, tapi dia merasa kasihan pada penonton yang harus menyaksikannya.
(Yah, sepertinya dia mengerjakannya dengan serius. Mungkin itu juga salah satu bentuk ‘masa muda’, ya)
Karena ucapan aneh dari wali kelasnya, Sasaki, pikirannya jadi mengarah ke sana.
Padahal, lebih baik dia bersenang-senang saja dengan cewek.
Saat sedang memikirkan hal itu sambil menopang dagu di kasir, dia ditegur oleh seorang paman dari tetangga.
“Sakura-chan!”
… Saat dia sedang menjaga toko dengan serius, tiba-tiba ada yokai kecil yang menarik lengannya.
“Sakura-chan! Lihat sini!”
“Oh, Yuu. Ternyata kamu di sini?”
Itulah adik laki-lakinya yang berbeda usia jauh… Yuu saat masih kecil.
Dia masih di bangku taman kanak-kanak, usia di mana dia sangat ingin tahu tentang dunia sekitarnya.
Keluarga Natsume punya dua kakak perempuan lain, tapi Yuu adalah anak laki-laki pertama.
Karena itu, dia sangat dimanja orang tuanya dan tumbuh menjadi anak yang keras kepala.
Sambil mengacungkan tongkat PreCure, Yuu mendengus.
“Ayo main!”
“Tidak boleh. Aku sedang jaga toko. Nonton TV saja di belakang.”
“Enggak mau! Aku sudah nonton banyak!”
“Iya, iya. Kalau begitu, ayo kita main.”
Yuu tidak akan berhenti merengek jika permintaannya tidak dituruti.
Namun, Sakura juga bukan kakak yang bisa dikalahkan begitu saja.
Dia punya cara tersendiri untuk menghadapi situasi seperti ini.
“Bagaimana kalau kita main petak umpet? Aku yang jadi jaganya. Kamu sembunyi duluan, Yuu.”
“Oke!”
Yuu berlari dengan semangat ke ruang belakang.
Sakura menghela napas, lalu melanjutkan jaga toko tanpa berusaha mencari Yuu.
(Meskipun adikku sendiri, dia mudah sekali diatur)
… Tepat saat itu.
“Oh. Ternyata rumahmu minimarket, ya, Sakura.”
“... Kenapa kamu bisa ada di sini?”
Entah kenapa, Yataro sudah berdiri di depan kasir.
Aneh.
Ini bukan sekolah, kan… Dan sejak kapan dia memanggil nama Sakura tanpa sebutan?
Sakura sedikit kewalahan dengan banyaknya informasi yang dia terima.
“Em... Ini.”
Tanpa merasa bersalah, Yataro melihat sekeliling, lalu menyodorkan sebuah camilan cokelat seharga 30 yen yang diletakkan di samping kasir.
Sambil memindai barcode camilan itu, Sakura berkata dingin,
“Menguntit itu kejahatan. Aku akan lapor polisi.”
“Padahal kita teman sekelas, kan….”
“Berarti orang asing, kan. Aku akan telepon polisi. Kamu jaga toko saja sekitar satu jam.”
“Jangan seenaknya memanfaatkan aku, dong….”
Meskipun dia sudah membayar, Yataro tidak beranjak pergi dari depan kasir.
Dia tersenyum ramah dan terus memperhatikan Sakura yang memakai celemek, entah apa yang dia anggap lucu.
Sakura menghela napas, lalu melanjutkan percakapan.
“Kenapa kamu bisa tahu rumahku?”
“Sasaki-sensei yang kasih tahu.”
“Dalih apa yang kamu pakai sampai bisa dapat informasi pribadi murid?”
“Aku bilang, ‘Aku ingin berteman dengan Natsume Sakura. Aku ingin menyelamatkannya dari kesepian.’... lalu, dia langsung memberitahuku. Dia bahkan sedikit terharu.”
“Jangan-jangan cowok itu otaknya sudah rusak gara-gara kebanyakan nonton drama School Life…?”
Guru seperti itu, muridnya seperti ini.
Jangan-jangan aku salah memilih sekolah, pikir Sakura sambil tetap bertanya alasan kedatangannya.
“Ada perlu apa?”
“Obrolan kita tadi belum selesai, kan?”
… Bagian inilah yang membuatnya jadi ‘dewa’.
Mereka seenaknya memaksakan aturan mereka kepada orang lain.
Tidak ada sedikit pun niat untuk menempatkan diri di posisi orang lain.
Bagi Sakura, ini seperti dipaksa menerima sisi-sisi yang paling dia benci dari orang populer.
“Hei, bagian mana dari naskah itu yang jelek?”
“Sudah kubilang tadi, pikirkan saja sendiri.”
“Jangan begitu! Kumohon!”
“Hei. Aku tidak punya kewajiban untuk memberitahumu. Kita ini orang lain, kan?”
Yataro terdiam sejenak, berpikir.
Lalu, dengan wajah yang anehnya serius, dia mencondongkan tubuhnya ke depan, di atas konter kasir.
“Kalau begitu, apa yang harus kulakukan supaya kamu mau jadi temanku?”
“H-hah?”
Sakura buru-buru mengambil jarak.
Kemudian, dia mencoba menutupi kegugupannya dengan berkata,
“Begini ya. Bagi orang sepertimu, ini mungkin hanya keinginan sesaat. Tapi aku tidak mau ikut-ikutan. Kamu pasti akan cepat bosan, jadi lebih baik kamu bersenang-senang saja dengan cewek-cewek di tempat karaoke.”
Dia pikir, jika dia berkata seperti itu, Yataro pasti akan mundur—kecuali dia sangat bodoh.
Bagi Sakura, orang yang pandai bergaul seperti Yataro adalah sosok yang tidak cocok dengannya.
Dia tidak ingin berinteraksi dengannya, apalagi mengurus novelnya.
Namun, reaksi Yataro tidak seperti yang dia duga.
Dengan tatapan lurus, dia menatap Sakura dan berkata dengan tegas,
“Ini bukan keinginan sesaat.”
“...”
Tidak ada sedikit pun tanda-tanda bercanda dalam kata-katanya.
Saat Sakura terdiam kebingungan, Yataro berkata, “Oh, iya,” dan kembali ke sikap biasanya.
“Ngomong-ngomong, Sakura. Besok kamu ada waktu? Aku akan coba perbaiki, jadi tolong berikan komentarmu lagi.”
“Hah? Kenapa aku harus…”
Saat itu, ada pelanggan lain yang mengantri di kasir.
Yataro tersenyum, lalu memasukkan camilan cokelat yang sudah dia bayar ke dalam sakunya.
“Kalau begitu, sampai jumpa besok, ya~”
“Ah, tunggu….”
Tanpa bisa dihentikan, dia langsung pergi begitu saja.
“... Cowok populer sialan. Aku tidak bilang aku mau.”
Saat Sakura menghela napas setelah melayani pelanggan, yokai kecil itu menarik roknya.
Itu adalah Yuu.
Sepertinya dia sudah bosan bermain petak umpet (padahal, Sakura tidak pernah mencarinya sama sekali).
“Sakura-chan! Siapa cowok itu tadi!?”
“Oh, Yuu. Kenapa kamu keluar sembarangan?”
“Dia pacarmu!?”
“Dari mana kamu belajar kata-kata seperti itu….”
Yuu mengayunkan tongkat PreCure sambil berteriak penuh semangat.
“Sakura-chan tidak boleh punya pacar!”
“Apa kamu ayahku?”
Namun, bagi Sakura, ada benarnya juga.
“... Yuu. Kamu jangan jadi cowok seperti itu, ya.”
Yuu memiringkan kepalanya, bingung.
Sambil mengacak-acak rambut adiknya, Sakura melanjutkan pekerjaannya.
***
Keesokan Harinya
Saat Sakura tiba di sekolah, dia menemukan sebuah buku catatan asing di dalam mejanya.
“...”
Dia membalik halamannya.
"Hai! Aku, cowok SMA kelas dua biasa! Karena masalah keluarga, aku pindah ke kota, dan hari ini aku masuk sekolah baru! Aku tidak sabar ingin tahu orang-orang seperti apa yang akan kutemui! Tunggu—Ada seorang cewek yang hampir tertabrak truk di zebra cross di depanku! Dengan mengerahkan seluruh kemampuan fisikku yang sudah terbiasa berlari di pegunungan sejak kecil, aku berhasil menyelamatkan gadis itu! (Payudaranya bergoyang) Eh? Saking paniknya, aku sampai tidak menyadarinya, tapi gadis ini sangat manis—"
Dia menutup buku itu dengan cepat.
(... Tetap saja komedi romantis, ya)
Lagipula, ada aura-aura peningkatan kekuatan fisik yang samar dari tokoh utamanya.
Apakah ini cara Yataro menunjukkan hasil perbaikannya?
Terlihat masih ada puluhan halaman lagi, tapi dia tidak berniat untuk membaca lebih jauh.
(... Buku ini tidak ada namanya, tapi ini pasti milik si populer sialan itu, kan?)
Dia melirik sekilas ke arah kelompok yang sedang asyik mengobrol di depan kelas.
Meskipun kemarin ada skandal perselingkuhan, mereka semua berkumpul dan bercanda seolah tidak terjadi apa-apa.
(Dasar orang populer, pandai sekali menutupi suasana. Yah, pacar dan selingkuhannya memang terlihat sedikit canggung...)
Tapi itu tidak penting.
Yang lebih penting adalah, apa yang harus dia lakukan dengan buku catatan ini…
... Hah?
Tiba-tiba, matanya bertemu dengan Yataro.
Dengan senyum sinis, dia mengacungkan jempolnya.
(... Sepertinya buku catatan ini akan kutaruh di papan tulis sekarang juga)
Sejujurnya, Sakura tidak ingin membacanya.
Sejak halaman pertama, tokoh utamanya sudah diperlihatkan memiliki kemampuan fisik super, dan organisasi jahat yang menguasai dunia dari balik layar pun mulai disinggung.
Bahkan sebelum sampai di sekolah, dia sudah menyelamatkan tiga orang tokoh utama wanita dari organisasi kriminal.
… Sekolah ini, seberapa banyak sih murid yang berasal dari latar belakang berbahaya?
Di halaman kelima, kebenaran dunia pun terungkap.
Dia tidak lagi tertarik pada komedi romantis.
Dan ternyata, identitas kelompok berpakaian serbahitam ini—tetap saja, sekelompok gadis cantik!
(… Setelah perkenalan seperti ini, apa gunanya mereka main Pocky Game dengan tokoh utama wanita?)
Kemarin, dia punya tujuan untuk mencari pemiliknya.
Tapi hari ini, dia hanya ingin bangkit dari kursinya dan mengembalikannya kepada pemiliknya.
(... Ah, tidak perlu membuat keributan, kan)
Dia teringat wajah serius Yataro saat dia mengatakan, “Ini bukan keinginan sesaat.”
Sakura menutup buku catatan itu perlahan, lalu menyimpannya ke dalam mejanya.
***
Sepulang Sekolah
Lokasi yang sudah ditentukan adalah laboratorium sains yang digunakan untuk pelajaran.
Tentu saja, sekarang tidak ada orang di sana.
Meskipun dia sudah terbiasa dengan ruangan itu, aneh rasanya datang di waktu sepulang sekolah, seolah-olah tempat ini berubah menjadi tempat lain.
(Oh. Jadi ini ruang klub drama, ya. ... Yah, mungkin mereka diberi tempat kosong seadanya)
Lalu, orang yang memanggilnya... Yataro berkata dengan tatapan penuh harap.
“Sakura. Bagaimana?”
Sakura menjawab dengan tegas.
“Aku tidak membacanya.”
“Hei…!?”
Yataro terkejut berlebihan.
“Kamu itu enggak punya hati, ya!?”
“Memaksaku membaca karya sampah seperti ini justru lebih kejam.”
“S-sampah!? Serius!?”
“Apa jangan-jangan kamu benar-benar menganggap ini karya agung?”
“T-tentu saja….”
Kepala Sakura terasa sedikit pusing.
Dia lebih suka jika Yataro menganggapnya sebagai lelucon, setidaknya dia bisa menanggapinya.
“Dengar ya. Sebelum memperlihatkannya pada orang lain, sebaiknya kamu minta seseorang membacanya dulu.”
“Makanya aku minta kamu yang membacanya, kan?”
“Bukan itu maksudku….”
Sakura menghela napas.
“Ada teman-temanmu yang selalu kelihatan akrab denganmu, kan?”
“Kamu pikir aku bisa ngomong sama mereka?”
“Ya, benar juga. Kalau mereka tahu hobi rahasiamu, mereka tidak akan repot-repot pura-pura bodoh untuk mengambil buku catatan itu darimu.”
“Kalau sudah tahu, jangan diucapkan dong….”
Sakura mencemooh Yataro yang menunduk lesu.
“Kalau itu untuk klub drama, pasti ada anggota lain, kan?”
“Enggak, aku tidak kasih tahu mereka soal isinya.”
“Kalian kan satu klub drama? Apa kalian tidak akrab?”
“Kami akrab, kok. Kalau enggak, aku enggak bakal gabung di sana.”
Yataro menatap langit dari jendela dengan ekspresi yang sangat cerah.
“Tentu saja aku ingin menunjukkan karya terbaikku kepada teman-teman terbaikku, biar mereka terkejut, kan?”
“Untuk kepuasan diri yang seperti sampah itu, kamu rela membuatku merasa tidak nyaman? Enak sekali jadi kamu.”
Melihat Sakura menggendong tasnya, Yataro buru-buru menahannya.
“Tolonglah! Aku juga sedang kesulitan!”
“Hah? Kenapa aku yang hanya kebetulan menemukan sampah ini yang harus membantumu?”
“Justru karena itu aku jadi dapat keberanian, kan!? Lagipula jangan sebut karyaku sampah!”
Sakura mengutuk nasib buruknya.
Andai saja dia tidak dimarahi Sasaki saat itu… atau mungkin lebih baik dia abaikan saja buku catatan itu.
“Jangan bercanda! Aku tidak punya kewajiban untuk mengurusmu!”
“Meskipun begitu, kamu tetap datang, kan.”
“Itu karena kamu bilang hal bodoh, ‘Kalau tidak datang, besok harus baca tiga buku catatan!’ kan!?”
Sakura mencoba melarikan diri dengan sekuat tenaga.
Yataro menahannya dari belakang, tidak membiarkannya pergi.
“Tenang, tenang, Sakura.”
“Hari ini aku juga harus bekerja paruh waktu! Aku tidak punya waktu santai seperti kamu!”
“Jangan begitu… Ah! Cokelat yang kubeli di tokomu kemarin pasti masih ada di tas….”
“Jangan coba-coba menyogokku dengan cokelat leleh! Lagipula, mana mungkin aku berubah pikiran karena hal seperti itu!”
... Saat dia berusaha melepaskan diri dari Yataro dengan sekuat tenaga.
“Lepaskan aku sekarang ju—nggkh!?”
Bersamaan dengan pekikan pelan Sakura, terdengar suara benturan tumpul.
Ketika dia berusaha melepaskan diri, siku Yataro tanpa sengaja mengenai wajahnya.
“...!?”
“S-Sakura!? Kamu baik-baik saja!?”
Setetes demi setetes, darah merah menetes dari sudut mulutnya ke lantai.
Sambil menatapnya, Sakura terduduk lemas di lantai.
“M-maafkan aku! Sakura, tolong dongak ke atas!”
Yataro buru-buru mengeluarkan sapu tangan dari tasnya.
Ketika dia mencoba menempelkannya ke wajah Sakura… Sakura menepis tangannya.
“... Kalian ini benar-benar menyebalkan.”
Sambil menekan sudut mulutnya, Sakura menatap Yataro dengan tajam.
“Hanya memikirkan diri sendiri. Tidak peduli dengan urusan orang lain. Orang populer itu benar-benar sampah masyarakat, ya. Pantas saja kamu hanya bisa menulis hal-hal yang juga seperti sampah.”
“...”
Sakura mencoba bangkit.
Namun, Yataro menahan bahunya, memaksanya untuk tetap di tempat.
“Lepaskan aku….”
Tepat saat dia hendak melanjutkan perkataannya, Yataro memotongnya dengan,
“Kamu takut, kan?”
Mendengar satu kalimat dari Yataro, Sakura tersentak dan panik.
Yataro terus menatap Sakura yang terkejut.
“Kamu takut pada kami, makanya kamu menyerang dengan berlebihan seperti kemarin, kan?”
“A-apa yang kamu tahu….”
“Aku tahu.”
Yataro berkata dengan yakin.
“Aku juga dulunya begitu.”
Dia mengambil buku catatan yang tergeletak di meja.
“Ini lebih dulu ada.”
Dia berbicara seolah sedang mengenang memori pahit.
“Tapi, aku tidak beruntung di SMP. Makanya, aku menyembunyikan hobi ini, dan kupikir aku sudah berhasil di SMA. Tapi…”
Tidak ada kebohongan di matanya.
Entah mengapa, Sakura merasa dia bisa memahami kata-kata tulus dari Yataro.
“Aku punya teman-teman yang mengerti dan menyukai hobiku. Jadi, aku ingin membalas kebaikan mereka. Cukup sekali saja, sampai festival budaya nanti.”
“...”
Sambil menempelkan sapu tangan ke wajah Sakura, Yataro menawarkan,
“Kalau kamu butuh imbalan, aku akan mengajarimu.”
“M-mengajariku apa…?”
“Cara menghadapi orang-orang yang kamu takuti itu. Sebagai gantinya, berikan aku komentar tentang naskahku.”
“... Kenapa harus aku?”
Dari sudut pandang Sakura, siapa saja seharusnya bisa.
Sakura tidak mengerti mengapa Yataro begitu terpaku padanya.
Namun, Yataro berkata dengan santai,
“Karena kamu terlihat tidak akan berbelas kasihan.”
“... Apa kamu seorang masokis?”
“Semua orang yang lari ke dunia dua dimensi pasti begitu, kan?”
“Kamu punya prasangka buruk sekali….”
Sakura akhirnya menyerah.
Karena entah kenapa, dia bisa mengerti kata-kata tulus dari cowok itu.
Jika dia menolaknya sekarang, dia pasti harus mengulang percakapan yang sama lagi besok.
“Aku tidak akan berbaik hati.”
“Aku tahu. Itu justru yang kusuka.”
Sambil menekan hidungnya yang berdarah, Sakura menghela napas panjang.
—Inilah pertemuan yang akan menghantui Natsume Sakura dengan penyesalan selama sepuluh tahun ke depan.
Ini bukanlah kisah cinta.
Ini hanyalah potongan-potongan cerita tentang kenakalan remaja dan hari-hari yang terlalu mentah untuk disebut masa muda.




Post a Comment