NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Mushoku Tensei: Redundancy Jilid 2 Bab 14

 Penerjemah: Kryma

Proffreader: Kryma


Bab 14 

Anak-anak Keluarga Greyrat


Trang, trang, trang, suara beradu.

Terdengar suara ringan dari kayu yang saling berbenturan, bercampur dengan deru napas manusia.

"Hah!"

"Cih!"

Di taman kediaman Greyrat.

Di sana, dua orang anak muda saling berhadapan dengan pedang kayu di tangan.

Satunya adalah seorang gadis berambut cokelat kastanye.

Sambil membiarkan jubahnya berkibar, ia mengayunkan pedang kayunya dengan memanfaatkan gaya sentrifugal. Untuk anak seusianya, ayunannya begitu tajam.

Yang menjadi ciri khasnya adalah tangan kirinya yang tidak memegang pedang.

Dengan tangannya yang sedikit terbuka itu, sesekali ia menepuk udara. Seketika, tubuh sang gadis melesat seperti bola yang membentur dinding, dan gerakannya berubah menjadi tidak bisa diprediksi.

Sambil bergerak lincah ke kanan dan ke kiri, sesekali ia menambahkan gerakan naik-turun, lalu mendaratkan satu, dua pukulan telak pada lawannya. Gerakannya yang bisa berubah-ubah sesuka hati itu tidak bisa diprediksi, tetapi entah kenapa terlihat anggun dan indah.

Lawannya adalah seorang anak laki-laki berambut merah.

Mengenakan seragam latihan yang sedikit kotor dan menggenggam pedang kayunya dengan sekuat tenaga, gerakannya terlihat sedikit lebih kaku dibandingkan sang gadis.

Tidak seperti lawannya, ia tidak menggunakan sihir dan mencoba melawan hanya dengan pedang.

Meskipun tidak menggunakan sihir, dengan gerakan yang kuat dan kokoh sambil menjejakkan kaki dengan mantap di tanah, ia menahan pedang kayu sang gadis sambil dengan berani melancarkan serangan balasan.

Tebasannya yang lurus mengikuti bentuk Aliran Dewa Pedang itu setia pada dasar-dasar dan lebih cepat dari gerakan sang gadis.

Akan tetapi, serangannya tidak pernah mengenai lawannya. Terkadang dihindari, terkadang ditangkis, lalu sebuah pukulan balasan akan mendarat di celah fatalnya.

"Satu poin."

"Belum selesai!"

Perbedaan kekuatan mereka sangatlah jelas, tetapi sang anak laki-laki tidak menyerah dan terus menantang sang gadis.

Dan yang sedang duduk sambil menonton pertarungan itu dengan tatapan kosong adalah tiga orang.

Tampak duduk berdampingan seorang gadis berambut biru dan seorang anak laki-laki berambut hijau. Di sebelah mereka, berdiri seorang anak laki-laki berambut pirang.

Selain itu, ada juga seekor anjing putih besar, dan sang gadis berambut biru membenamkan wajahnya di tubuh anjing itu, setengah tertidur. Sepertinya ia tidak tertarik.

Gadis berambut cokelat kastanye dan anak laki-laki berambut merah.

Pertarungan tanding mereka berlangsung cukup lama, tetapi akhirnya sang gadis melesat maju dengan tajam.

"Hah!"

Bersamaan dengan teriakan yang menusuk, pedang kayu diayunkan dari atas dan menghantam dahi sang anak laki-laki.

'BUK!', terdengar bunyi yang mantap.

"Aduuuuh, sakiiit!"

Dahi anak laki-laki itu robek, dan ia berguling-guling di tanah karena kesakitan.

Dahinya terbelah lebar, dan darah segar menetes hingga ke dagunya.

"Ah, maaf. Pukulannya telak sekali."

Sang gadis dengan panik menghampiri sang anak laki-laki dan tanpa berkata apa-apa meletakkan tangannya di atas dahinya. Cahaya hijau memancar, dan luka di dahi anak laki-laki itu sembuh dalam sekejap mata.

"Haaah..."

Setelah dengan patuh menerima sihir penyembuhan, anak laki-laki itu berbaring di tempat.

"Yah, ternyata aku masih belum bisa menang dari Kak Lucy, ya."

"Mau bagaimana lagi. Ars 'kan masih sepuluh tahun."

"Padahal cuma beda tiga tahun dengan Kak Lucy..."

"Beda tiga tahun itu sudah cukup, 'kan. Ars sendiri juga tidak akan kalah dari Sieg."

Lucy dan Ars.

Sejak liburan di Millis berakhir, Ars menjadi lebih giat berlatih ilmu pedang dari sebelumnya.

Ibunya, Eris, mengajari semua anaknya ilmu pedang secara merata. Sejak Ars menunjukkan semangatnya, Eris dengan antusias berusaha keras untuk mengajarinya semua yang ia tahu.

Ars, yang menerima pendidikan anak berbakat dan penuh dengan talenta, menyerap ajaran para ibunya dengan cepat dan mulai tumbuh menjadi seorang ahli pedang yang mumpuni, tetapi ia masih belum mendapatkan hasil yang benar-benar bisa ia rasakan.

Karena itulah Ars mengumpulkan anak-anak saja seperti ini dan terus mengulang latihan khusus rahasianya.

Kalau menurut Eris, Ars itu bukan kurang pengalaman bertarung, melainkan kurang latihan ayunan pedang. Akan tetapi, sebagai anak laki-laki yang mewarisi darah Eris, ia merasa bosan jika hanya melakukan ayunan pedang sendirian dan menginginkan seorang lawan. Eris pun dulu seperti itu di usianya, jadi wajar saja.

"Oh iya, Kak Lucy, jurusmu yang mengeluarkan angin dari tangan untuk mengubah arah tubuh itu hebat sekali, lho. Apa kau belajar dari Mama Putih?"

"Bukan. Dulu aku pernah dengar Papa juga melakukannya, jadi aku memikirkannya sendiri."

"Heeh, apa Papa juga bertarung seperti itu?"

"Kurasa sekarang sudah tidak. Katanya itu hanya waktu ia masih kecil..."

"Apa sebaiknya aku juga melakukannya?"

"Hmm... kalau dalam pertarungan sungguhan dengan pedang tajam, kekuatannya tidak akan cukup, jadi kurasa lebih baik kau fokus pada Aliran Dewa Pedang. Aku sendiri juga tidak akan menggunakannya kalau bukan untuk latihan pedang. Aku ini 'kan penyihir."

"Tapi keren, lho. Ilmu pedang sihir Kak Lucy. Kak Clive juga dulu pernah memujinya."

"Hm..."

Lucy menanggapinya seolah tidak tertarik, tetapi tatapannya sesekali melirik ke arah anak laki-laki berambut pirang yang sedang menonton.

Anak laki-laki yang sedang asyik mengobrol dengan Sieg di sebelahnya itu bernama Clive.

Karena ia juga kerabat, sesekali ia ikut dalam latihan rahasia anak-anak ini.

Itulah sebabnya Lucy, meskipun sedang latihan, mengenakan jubah kesayangannya di atas seragam latihannya, dan tidak bertarung hanya dengan pedang, melainkan menggunakan sihir untuk membuatnya berkibar.

Sosok yang ingin ia tiru adalah seorang peri angin.

Sylph sang Angin, salah satu dari Empat Roh Agung yang muncul dalam dongeng yang pernah ia dengar dari ayahnya.

Roh cantik berambut hijau yang selalu diselimuti angin dan menari-nari di udara.

Ia sempat meyakini keberadaannya, sampai suatu hari ia menceritakannya pada teman di sekolah dan dijawab "Aku tidak pernah dengar yang seperti itu," bertanya pada guru dan dijawab tidak tahu, dan bahkan setelah mencari di berbagai literatur di perpustakaan, namanya sama sekali tidak muncul.

Lucy sangat terkejut saat mengetahui bahwa Sylph sang Angin adalah makhluk khayalan, sama seperti Cheddarman.

Akan tetapi, peri angin tetaplah menjadi sosok yang ia kagumi.

Keinginannya agar sosoknya yang seperti itu dilihat oleh anak laki-laki yang ia sukai, pastilah karena hati seorang gadis yang sedang jatuh cinta.

"Daripada itu, push-up! Yang kalah harus melakukannya, 'kan, itu janjinya!"

"Baiklaah."

Di hadapan Lucy, Ars mengambil posisi push-up dan mulai berolahraga sambil berhitung, "satu, dua".

Di tempat latihan rahasia anak-anak ini, sudah menjadi aturan bahwa yang kalah harus melakukan latihan dasar.

"Ayo, berikutnya Lara, 'kan? Cepat maju!"

Biasanya, saat itu lawan berikutnya akan maju, tetapi...

"...Aku sudah lari lima putaran. Ayo istirahat."

Entah kenapa, Lara tampak tidak bersemangat dan bersandar lemas pada Leo.

Setidaknya ia tidak berpura-pura tidur, itu sudah lebih baik.

Sebagai seorang penyihir, Lara cukup hebat dan bertarung dengan gaya yang licik untuk mengecoh lawannya, tetapi di sisi lain, ia tidak begitu bersemangat dalam hal ilmu pedang. Mungkin ia tidak begitu suka menggerakkan badannya.

Tidak, saat sedang jahil gerakannya sangat lincah dan gesit, jadi mungkin ia memang tidak pandai ilmu pedang saja.

Meskipun begitu, fakta bahwa ia dengan enggan tetap ikut dalam latihan ini mungkin menandakan ada sesuatu yang ia pikirkan.

"Bagaimana dengan Sieg?"

"Iya. Aku juga tidak ikut..."

Sieg masih berumur delapan tahun, dan di antara mereka berempat, rasio kemenangannya adalah yang paling rendah.

Akan tetapi, kekuatan fisiknya luar biasa untuk anak seusianya, dan saat beradu pedang, ada kalanya ia berhasil mendorong mundur Ars.

Gaya bertarungnya juga sedikit berbeda dari Lucy atau Ars.

Meskipun sama-sama berpusat pada pedang seperti Ars, jelas sekali ada gerakan-gerakan yang berbeda dari apa yang diajarkan oleh Eris.

...Tentu saja, ketiga anak lainnya tahu betul di mana dan dari siapa Sieg belajar ilmu pedang.

"Kalau begitu, kita istirahat."

Sambil berkata begitu, Lucy duduk di sebelah Ars yang masih melanjutkan push-up-nya.

Entah kenapa, rasanya canggung dan malu untuk mendekati Clive. Ia sedang dalam usia yang sensitif.

Selain itu, Clive sedang berbicara dengan Sieg.

Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi Clive yang tenang untuk anak seusianya itu punya banyak pengetahuan dan ceritanya menarik.

Mungkin ia sedang menghibur Sieg dengan cerita tentang buku yang baru saja ia baca.

"Kak Lucy,"

Tiba-tiba, Ars yang sedang push-up berkata pelan.

"Setelah lulus sekolah nanti, kau mau apa?"

"Sekolah lagi."

Mendengar kata-katanya yang agak serius itu, Lucy menjawab dengan santai.

"Setelah lulus dari Universitas Sihir Ranoa, Papa bilang aku akan masuk ke Akademi Kerajaan di Kerajaan Asura, 'kan? Aku tidak tahu kenapa harus pergi ke tempat seperti itu, tapi mungkin karena keluarga kita juga bagian dari bangsawan Asura, jadi untuk belajar tentang kebangsawanan...?"

"Bukan itu, maksudku setelahnya."

Mendengar kata-kata Ars, Lucy kembali menatapnya.

Ars masih menatap lantai sambil melanjutkan push-up-nya.

"Ars akan jadi penerus Papa, 'kan?"

"Aku tidak tahu, tapi para Mama bilang begitu."

Yang paling sering mengatakannya adalah Eris.

Terkadang ia menyatakan, "Ars adalah penerusku!", dan sejak saat itu, di keluarga Greyrat diputuskan bahwa Ars adalah sang pewaris. Sylphie dan Roxy pun sepertinya tidak keberatan.

Meskipun begitu, meskipun disebut sebagai pewaris, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Apa ia akan bekerja di tempat Orsted seperti ayahnya?

"Apa maksudmu tidak tahu? Ars, semua orang punya harapan padamu sebagai penerus. Lara juga sepertinya punya peran penting, jadi kalian berdua harusnya lebih semangat, dong."

"Kalau kau bilang begitu, kenapa bukan Kak Lucy saja yang jadi penerus? Baik ilmu pedang maupun sihir, kau 'kan lebih hebat dari kami."

"Aku... karena... tidak ada yang berharap apa-apa dariku..."

"Masa, sih?"

Ars tanpa sadar berkata begitu.

"Memang begitu!"

Terdengar suara yang keras.

"Papa tidak pernah sekalipun bilang padaku hal-hal seperti 'aku berharap padamu' atau 'aku ingin kau menjadi seperti ini di masa depan'! Bahkan saat ulang tahun, berbeda dengan kalian yang dapat pedang atau tongkat sihir, aku...!"

Bukan hanya Ars, ketiga anak lain yang berada agak jauh pun menatap Lucy dengan mata terbelalak.

Seketika Lucy merasa malu dan menyedihkan.

Apa yang baru saja kukatakan pada adikku yang tiga tahun lebih muda.

Papa tidak punya harapan padaku itu 'kan karena usahaku sendiri yang kurang...

"...!"

Air mata mulai menggenang di sudut mata Lucy.

Meskipun ia tahu menangis tidak ada gunanya, air matanya terus berderai.

Ia tidak pernah mengerti kenapa Papa tidak punya harapan padanya.

Padahal ia merasa sudah berusaha keras baik dalam ilmu pedang maupun sihir. Nilai-nilainya di sekolah juga selalu bagus. Sebagai seorang kakak, ia juga merasa sudah bersikap dengan benar.

Tetapi Papa, tidak pernah sekalipun mengatakan apa yang ia inginkan dari Lucy, atau ingin ia menjadi seperti apa.

Ia hanya selalu mendorongnya menjauh, berkata, "Hiduplah sesukamu, tidak perlu memikirkan statusmu sebagai putri sulung."

"B-Bukannya Papa juga pernah bilang punya harapan padaku atau semacamnya..."

Ucap Ars sambil melihat sekeliling dengan panik.

Kakaknya, Lucy, adalah sosok yang sempurna dari sudut pandang Ars.


Setidaknya, di antara semua saudara-saudarinya, dialah yang paling hebat.

Karena tiga tahun lebih tua, ia tampak begitu dewasa.

Bahkan setelah tiga tahun berlalu dan usianya sama, Ars tidak akan bisa melakukan hal-hal yang bisa dilakukan Lucy, dan ia juga tidak bisa dibilang mampu menjaga adik-adiknya seperti Lily atau Chris.

Ars merasa satu-satunya hal di mana ia lebih unggul dari Lucy hanyalah ilmu pedang. Bahkan dalam ilmu pedang pun, ia tidak akan bisa menang dalam pertarungan latihan yang melibatkan sihir.

Jika Lucy tidak diharapkan, berarti tidak ada satu pun dari anak-anak yang diharapkan.

Kalau begitu, jika Papa tidak punya harapan apa pun padanya, bukankah seharusnya Ars juga tidak?

Lagi pula, Ars sendiri juga tidak pernah diberitahu oleh Papa bahwa ia diinginkan menjadi penerusnya.

Hanya karena Mama Merah dan Aisha yang bilang begitu, dan para Mama yang lain tidak secara khusus menyanggahnya, ia jadi samar-samar berpikir memang akan seperti itu. Ia hanya memahami bahwa karena ia adalah putra sulung, maka ia adalah pewaris, dan karena di kalangan bangsawan Asura ada aturan seperti itu, maka memang begitulah adanya.

"Uhm... Kak Lucy..."

Jika ini adalah Ars yang biasanya, saat diberitahu seperti itu, ia pasti akan membalasnya dengan keras.

Entah ia akan langsung marah, atau jika tidak, ia pasti akan diam-diam menahan amarahnya.

Ars adalah anak dengan temperamen seperti itu.

Akan tetapi, ini adalah pertama kalinya Lucy mengatakan hal seperti ini. Ia juga tidak ingat pernah melihatnya marah dengan cara seperti ini.

Bahkan saat ia marah karena dijahili Lara, marahnya lebih seperti sedang merajuk, marah dalam artian sedang menegur Lara.

Benar, Lucy selama ini selalu menjadi kakak perempuan yang sempurna.

Ia adalah kakak perempuan yang keren, yang tidak pernah meluapkan emosinya seperti ini, tidak pernah berbuat nakal, tidak pernah mengeluh atau menggerutu.

Karena itu, rasa bingungnya mengalahkan rasa marahnya.

Ars tidak tahu harus membalas apa.

Jika ini dengan Lara atau Sieg yang sesekali bertengkar dengannya, mungkin ia bisa membalasnya...

"Lucy-chan. Kau tidak apa-apa?"

Tiba-tiba, entah sejak kapan sudah berpindah, Clive duduk tepat di sebelah Lucy.

"... "

Anak laki-laki yang setahun lebih tua dari Ars ini tampak dewasa untuk usianya.

Ia serius, nilainya di sekolah bagus, ramah dan baik hati, tetapi di sisi lain ia juga punya sisi yang tegas pada adik kelasnya. Ia terlihat jauh lebih dewasa daripada Lara yang seumuran dengannya.

"Kami semua tahu, kok, kalau Lucy-chan sudah berusaha keras."

"...Iya."

Clive memeluk Lucy dan mengelus-elus kepalanya.

"Nanti kita minta maaf pada Ars-kun, ya?"

"...Iya... tidak, aku akan minta maaf sekarang."

Lucy terisak, lalu menundukkan kepalanya pada Ars yang masih membeku dalam posisi push-up.

"Maaf, ya, Ars. Kakak sudah bicara jahat."

"Tidak, iya... aku juga, minta maaf..."

Ars juga ikut meminta maaf.

Ia tidak tahu apa kesalahannya, tetapi rasanya ia pernah diajari oleh seseorang untuk langsung meminta maaf jika membuat seorang gadis menangis. Entah itu Mama Biru, Mama Putih, atau mungkin Aisha.

Yah, intinya, seharusnya ia tidak menanyakan soal masa depannya setelah lulus sekolah.

Tetapi ia ingin tahu.

Ingin tahu apa yang dipikirkan oleh kakaknya yang sempurna itu tentang masa depannya.

Dan mungkin, ia berharap bisa mendengar jawaban yang indah, yang pantas untuk seorang kakak yang sempurna, dan mendapatkan suatu pencerahan darinya.

Ia sama sekali tidak menyangka akan dibentak seperti ini.

"Maaf, ya, Ars. Aku akan membawa Lucy-chan kembali ke rumah."

"Ah... iya. Oke."

Clive berkata begitu, lalu merangkul bahu Lucy dan masuk ke dalam rumah.

Ars tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa tertegun.

Lalu, seolah bertukar tempat dengan Lucy, Lara dan Sieg mendekat.

Leo yang tampak khawatir juga ikut bersama mereka.

"Kaget."

Yang berkata begitu adalah Lara.

"Kak Lucy juga bisa marah seperti itu, ya..."

Sieg juga berkata begitu.

Mendengar kata-kata dari kakak dan adiknya yang akrab itu, Ars sedikit kembali tenang dan mengangguk.

"Bagaimana, ya, mengatakannya... kurasa Kak Lucy juga punya banyak masalah, ya..."

Ia selalu berpikir Lucy itu sempurna dan tidak punya masalah apa pun, tetapi ternyata tidak begitu.

"Soal Kak Lucy,"

Seolah menanggapi kata-kata itu, Lara pun membuka mulutnya.

Kakaknya yang satu itu, yang tidak pernah ketahuan apa yang sedang ia pikirkan, sesekali akan mengatakan hal yang tajam.

Pasti ia tahu sesuatu tentang kejadian kali ini. Ars menyimak baik-baik agar tidak ketinggalan hal penting.

"Dia pasti akan menikah dengan Clive."

Akan tetapi, kata-kata yang keluar malah seperti itu.

"Yah, kurasa..."

Sambil merasa sedikit antiklimaks, Ars mengangguk. Lara memang sering kali membuat orang berpikir ia akan mengatakan sesuatu yang penting, tetapi kemudian malah mengatakan hal yang di luar dugaan.

Hal yang ia perhatikan berbeda dari Ars dan yang lain, atau lebih tepatnya, entah kenapa ia agak tidak nyambung.

"Tapi, bukan itu yang kita bicarakan..."

"Clive itu anak tunggal, jadi kalau mereka menikah, Kak Lucy juga akan tinggal di Millis."

Akan tetapi, sepertinya kali ini berbeda.

Awalnya memang tidak jelas, tetapi jika alur pembicaraannya sudah dimengerti, tujuannya pun akan terlihat.

"Maksudmu, dia akan keluar dari rumah kita dan menikah?"

"Iya."

Karena keluarga Grimoire milik Clive adalah kerabat, kedua keluarga memang berhubungan baik.

Meskipun ia tidak begitu yakin, sepertinya di kalangan bangsawan ada juga yang menikahkan anak-anak mereka untuk mempererat ikatan antar keluarga. Kalau begitu, tidak aneh jika ada pembicaraan di balik layar untuk menikahkan Lucy dan Clive.

Dengan kata lain, mereka adalah tunangan.

"Apa Kak Lucy tidak suka dengan itu...?"

"Seharusnya dia tidak benci-benci amat."

"Kak Lucy 'kan suka sama Kak Clive... kalau begitu, kenapa dia marah-marah seperti tadi?"

"Hati seorang gadis itu rumit."

Ars tidak begitu mengerti.

Lucy jelas-jelas terlihat tidak puas.

Bahkan terlihat seolah ia berpikir bahwa dirinyalah yang seharusnya menjadi pewaris keluarga Greyrat.

Ars sendiri pun, jika memang Lucy yang akan menjadi pewaris, ia merasa itu adalah hal yang pantas.

Mungkin ia merasa begitu karena ia sangat sadar akan ketidakdewasaannya sendiri...

Bagaimanapun juga, nanti aku akan menanyakan soal ini pada Aisha. Sambil berpikir begitu, untuk sedikit mengganti topik, ia bertanya pada Lara.

"Kalau Kak Lara bagaimana? Soal masa depan."

"Aku akan menikah dengan pria cakap yang akan melakukan semua pekerjaan bersih-bersih, mencuci, dan memasak untukku, lalu aku akan bermalas-malasan seharian."

"Menikah... apa Kak Lara juga punya tunangan?"

"Tidak ada."

"Eeeh..."

Kalau begitu siapa yang akan melakukan semua itu untukmu? Rasanya Ars ingin mengatakan itu, tetapi ia menahannya.

Ini bukan pertama kalinya Lara mengatakan hal-hal yang aneh.

"Tapi suatu saat akan kutemukan."

"Begitu, ya. Semoga kau berhasil menemukannya. Kalau Sieg?"

Percakapan dengan kakaknya yang merepotkan ini sudah benar-benar menjadi merepotkan, jadi ia mengalihkan pembicaraan pada adiknya.

Lalu Sieg menatap lekat-lekat pedang kayu di tangannya.

"Aku, ya. Aku akan menjadi ahli pedang terkuat di dunia."

Jawaban yang ia dapatkan lebih tidak masuk akal daripada jawaban kakaknya.

"Aku akan menjadi yang terkuat di dunia dan melindungi perdamaian dunia."

Adiknya memang suka Cheddarman, dan ia juga suka kisah kepahlawanan Dewa Utara.

Jadi jawaban itu sama sekali tidak aneh, tetapi bagi Ars, ia merasa saat ini mereka sedang berbicara serius. Bukan tentang mimpi kekanak-kanakan seperti itu.

Karena itu, sambil menghela napas, ia berkata.

"Terkuat? Kau baru boleh bilang begitu kalau sudah bisa mengalahkanku sekali saja."

"Suatu saat nanti aku pasti menang."

"Suatu saat itu kapan?"

"Suatu saat nanti!"

"Kapan pun boleh, tapi kau baru boleh menyebut dirimu yang terkuat setelah mengalahkanku!"

Mendengar perkataan Ars, Sieg merajuk sambil menggembungkan pipinya.

Ars merasa ia masih belum akan kalah dari Sieg, tetapi Sieg juga semakin kuat setiap harinya.

Dalam ilmu pedang, mungkin suatu saat nanti ia benar-benar akan kalah.

Sekarang ini mimpinya memang masih terdengar tidak masuk akal, tetapi mungkin di masa depan tidak akan begitu lagi.

Jika dipikir-pikir begitu, mungkin itu adalah mimpi yang cukup serius.

...Tidak, hanya dengan mengalahkan Ars saja tidak akan membuatnya menjadi yang terkuat di dunia. Di dunia ini, ada banyak sekali ahli pedang yang luar biasa kuat.

"Kak Ars, apa kau tidak mau jadi penerus keluarga?"

Tiba-tiba, Sieg bertanya balik.

Ars memanyunkan bibirnya dan berkata lirih.

"Aku tidak tahu soal itu..."

Pewaris keluarga Greyrat.

...Ia bahkan tidak begitu mengerti apa artinya itu. Jadi tidak ada istilah suka atau tidak suka.

Akan tetapi, dari percakapan tadi, ia mulai bisa melihat gambaran dari sudut pandang yang sedikit berbeda.

Keluarga Greyrat adalah bawahan dari Dewa Naga Orsted, tetapi juga memiliki sisi sebagai bangsawan cabang dari Kerajaan Asura. Mewarisi keluarga mungkin juga termasuk berinteraksi dengan para bangsawan lain sebagai seorang bangsawan.

Ini juga cocok dengan cerita bahwa ia tidak hanya harus pergi ke Universitas Sihir Ranoa, tetapi juga ke sekolah di Kerajaan Asura.

"...Hng."

Lagipula, apa yang sebenarnya dilakukan oleh bangsawan? Mungkin ia akan mempelajarinya di sekolah, tetapi saat ini ia bahkan belum tahu itu.

Ia pernah dengar bahwa hubungan antar keluarga itu penting, jadi jika dipikir-pikir, mungkin ia juga harus menikah dengan wanita yang tidak ia kenal.

"...Rasanya agak tidak enak, ya."

Bahkan Ars pun punya selera wanita, atau lebih tepatnya, ia malu untuk mengatakannya, tetapi sebenarnya ada gadis yang ia sukai.

Tetapi, jika itu adalah hal yang sudah diputuskan, ia tidak bisa merengek dan berkata tidak mau.

Jika ia mengatakan hal seperti itu, Lucy pasti akan marah.

'Aku saja menahannya, Ars ini kenapa, sih,' begitu pikirnya.

Setidaknya, jika Ars tidak berusaha dengan positif mengenai perannya sebagai pewaris, Lucy juga pasti tidak akan senang. Ars pun tidak ingin dibenci oleh kakaknya.

Hanya saja, ia tidak tahu harus berusaha seperti apa dan bagaimana.

Jika ia bertanya pada Aisha, mungkin ia akan memberitahunya, tetapi sejak ulang tahunnya yang kesepuluh, setiap kali ia meminta Aisha mengajarinya sesuatu, Aisha jarang sekali memberikan jawaban langsung.

Ia lebih sering hanya memberinya petunjuk dan berkata, "Pikirkan sendiri, ya."

Tetapi Ars tidak pandai berpikir sendiri.

Setelah perjalanan ke Millis, ia memang sudah banyak merenung dan mencoba memikirkan sesuatu lebih dalam, tetapi ia tidak bisa menemukan jawaban yang pas seperti sekarang. Yang langsung terpikir olehnya adalah solusi dengan ilmu pedang atau sihir.

"..."

Di sana, Ars menatap tangannya sendiri.

Sihir yang digunakan Lucy sangatlah indah dan terampil.

Meskipun itu hanyalah sihir angin sederhana, efeknya luar biasa. Ia bergerak tak terduga dan kuat.

Jika ia bisa menggunakannya, Ars pasti juga akan menjadi lebih kuat.

"Baiklah."

Meskipun ia masih tidak begitu tahu apa yang harus ia lakukan, untuk saat ini, untuk hari ini, ia akan mencoba meniru itu.

Sambil berpikir begitu, Ars menggenggam pedangnya dan bangkit berdiri.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close