NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Mushoku Tensei: Redundancy Jilid 3 Bab 10

 Penerjemah: Kryma

Proffreader: Kryma


Bab 10

"Epilog"



Ars menutup 'Kitab Rudeus' dengan 'blap'. Volume dua puluh sembilan berakhir di sana.

Melihat itu, Henry bergumam pelan.

"Jadi pada akhirnya, Guru tidak mendapat hukuman apa pun?"

"Memalukan memang, tapi begitulah. Orang yang belum dewasa bahkan tidak diizinkan untuk mengambil tanggung jawab."

Ars mengangkat bahu.

"Hanya saja, meskipun aku bodoh, setelah insiden itu aku menjadi sedikit lebih baik. Daripada berpikir aku beruntung karena tidak dihukum, aku melipatgandakan waktu belajar dan latihanku. Atas kemauanku sendiri."

"Dan hasilnya adalah seorang Penyihir Peringkat Suci Angin sekaligus seorang Santo Pedang... Orang yang bahkan bisa melampaui Dewa Utara jika menggunakan sihir, ternyata sudah sehebat itu sejak muda, ya."

Ars Greyrat disebut sebagai seorang ahli pedang Tingkat Dewa.

Meskipun ia tidak menerima pengakuan resmi dari Aliran Dewa Pedang, Dewa Naga Orsted, 'Tangan Kiri Dewa Naga' Dewa Utara Kalman III Alexander Ryback, dan para ahli pedang ternama lainnya di Kekaisaran Dewa Iblis mengakuinya.

Itu adalah hasil dari usahanya yang terus-menerus mengasah diri sejak hari itu.

"Untungnya, Mama Merah memberiku latihan khusus, jadi aku bisa mencapai level itu dalam waktu singkat. Aku selalu diberkati dengan lingkungan yang baik."

"Mama Merah itu Raja Pedang Gila Eris... pendiri Paham Pedang Gila dari Aliran Dewa Pedang, 'kan? Kudengar ia sangat keras dan buas?"

"Buas... yah, memang ada sisi seperti itu... tapi sebagai seorang orang tua, ia sangat hebat. Karena aku menunjukkan semangat yang lebih dari sebelumnya, ia pun menanggapinya. Kalau boleh dibilang, ia lebih terasa seperti 'ayah' daripada ayahku sendiri. Saat aku berbuat salah, yang memukulku dan meluruskan jalanku selalu Mama Merah."

Ars menyipitkan matanya dengan pandangan penuh kenangan.

"Lalu, setelah itu apa yang terjadi?"

"Setelah itu? Aku lulus sekolah, menjemput Aisha, kami menikah, lalu aku mengabdi di bawah Orsted-sama sebagai bawahan ayahku sekaligus anggota Kelompok Tentara Bayaran Rude. Kalau dipikir-pikir, masa-masa itu adalah masa tersulit dalam hidupku. Banyak sekali godaan. Entah kenapa sejak saat itu, aku jadi sering didekati wanita. Dan banyak dari mereka yang berdada besar... terutama komandan Kelompok Tentara Bayaran Rude saat itu benar-benar gawat, aku sih setia pada Aisha, tapi entah kenapa ia punya pesona iblis yang membuat mata terpikat... ah, sudahlah, cerita ini tidak penting. Intinya, selagi aku menahan godaan seperti itu dan berkeliling dunia, tanpa kusadari aku sudah menjadi atasan kalian."

"Anda terlalu banyak melongkap cerita di bagian akhir."

Menanggapi komentar tajam Henry, Luicelia menambahkan dengan blak-blakan, "Orang ini memang sudah begini dari dulu."

Hubungan Luicelia dan Ars sudah terjalin lama.

Meskipun ia baru menjadi bawahan Orsted belakangan ini, mereka sudah sering berinteraksi sebagai kerabat.

Luicelia juga mengenal Leroy yang baru saja diceritakan, dan juga putrinya, Ferris.

Karena perbedaan usia antara ras manusia dan ras Supard, serta lambatnya pertumbuhan ras Supard, ada masa di mana mereka bertiga berinteraksi layaknya kerabat seumuran.

Suatu saat ia merasa tertinggal, karena hanya dirinya yang tetap kecil, dan ada masa di mana ia mengkhawatirkan hal itu, tetapi belakangan ini ia sudah bisa menerimanya.

"Ceritakan lebih detail lagi. Di sini tertulis bahwa Kak Ars, untuk bisa diakui sebagai pria dewasa, menantang Eris Greyrat untuk berduel."

"Tidak tertulis duel. Baca yang benar."

"Tetapi aku dengar kalian benar-benar berduel."

"Siapa yang menyebarkan rumor bohong seperti itu."

"Ibuku."

"Norn-san, ya... yah, menyebutnya 'duel' memang berlebihan, tapi memang benar kami sempat bertarung tanding..."

"Ceritakan bagian itu dengan detail. Dan ceritakan juga saat kau pergi menjemput Bibi Aisha. Sebagai seorang gadis, aku penasaran."

Mendengar perkataannya yang seenaknya, Ars tertawa singkat.

Wanita bernama Luicelia ini, untuk usianya, ia sangat kurang dalam kemampuan bersosialisasi.

Karena itulah, meskipun pangkat dan pengalaman militernya tinggi, ia tidak punya bawahan dan terus membentuk tim dua orang dengan Henry.

"Yah, sudahlah."

Yang menyetujui hal itu adalah Luicelia sendiri, Orsted, dan juga Ars.

Fakta bahwa Henry, yang merupakan kerabat yang lebih muda, memiliki kemampuan sosial yang tinggi meskipun dikutuk, juga menjadi salah satu penyebabnya.

"Meskipun begitu, ini bukanlah cerita yang hebat."

Dan begitulah, Ars mulai bercerita.

Episode terakhir dari kisah ini.

★ ★ ★

Aku sudah berkali-kali memimpikan hari itu.

Bahkan sekarang, di malam-malam yang penuh kecemasan, aku terkadang masih melihatnya.

Bagiku, itu adalah mimpi buruk yang klasik.

Di dalam mimpi, aku berhadapan dengan Mama Merah.

Kami saling menghunus pedang, memasang kuda-kuda, dan perlahan mempersempit jarak sambil mencari celah.

Ayah menonton. Mama Putih dan Mama Biru juga menonton. Kedua kakakku, adik laki-laki dan perempuan-perempuanku, Leo, Jirô, dan Beat, seluruh keluarga menonton.

Demi hari ini, aku telah berlatih dengan cukup. Sambil meyakini dengan teguh bahwa aku harus bisa melalui ini, aku terus mengayunkan pedangku.

Aku akan menang dari Mama Merah.

Dengan semangat itu di dalam dada, saat aku melihat pedangku, entah kenapa rasanya lebih pendek dari biasanya.

Tangan dan kakiku juga bukan lagi milik seorang pria dewasa. Melainkan tangan seorang anak berumur sekitar dua belas tahun. Tenagaku tidak sekuat biasanya, bahkan, aku sampai tidak tahu bagaimana caraku biasa mengayunkan pedang. Tidak, lebih parah lagi, tanpa kusadari pedang itu bahkan sudah tidak ada di tanganku.

Di mana aku meninggalkannya? Aku harus cepat-cepat mencarinya.

Saat aku sedang berpikir begitu, Mama Merah mengayunkan pedangnya.

Tanganku pun tertebas—.

Dan, di saat itulah aku terbangun.

Di saat-saat seperti itu, di tengah kegelapan gulita, sambil bercucuran keringat dingin, aku akan menatap tanganku sendiri yang tertebas di dalam mimpi. Tentu saja tanganku masih ada. Tangan yang penuh keriput dan bekas kapalan yang pecah.

Lalu, aku akan merenungkan separuh hidupku dan menenangkan diri.

Dulu saat aku lebih muda, Aisha yang tidur di sebelahku terkadang akan menenangkanku.

Yah, melihat mimpi seperti itu mungkin adalah hal yang biasa.

Mimpi di mana di saat-saat penting dalam hidup, kau melupakan sesuatu yang penting atau berbuat salah dan mengacaukan segalanya.

Ayah pernah bilang, itu adalah wujud dari kecemasan.

Nah, soal mimpi itu, tentu saja dasarnya adalah kejadian di hari terakhir pelarian aku dan Aisha. Aku dikalahkan oleh Mama Merah, dan pergelangan tanganku ditebas.

Setelah aku menerima sihir penyembuhan dan sedang terpuruk, Mama Merah memelukku dengan erat.

Ia tidak mengatakan kata-kata yang tidak perlu. Ia bahkan tidak bilang, "jadilah kuat."

Tetapi aku merasa bahwa menjadi kuat adalah hal yang penting.

Aku harus menjadi kuat.

Tidak, aku seharusnya kuat.

Aku menjadi yakin akan hal itu saat aku menjadi siswa tingkat akhir di Universitas Sihir Ranoa.

Di Universitas Sihir Ranoa, nilaiku bisa dibilang cukup baik. Karena aku belajar dengan giat.

Tetapi aku sama sekali bukan yang nomor satu.

Tentu saja ada Kak Lucy, dan bahkan untuk urusan sihir, aku tidak bisa menang dari Kak Lara yang cenderung malas-malasan.

Murid-murid lain juga hebat. Murid-murid yang bersekolah di Universitas Ranoa tidak semuanya hanya bolak-balik antara kelas dan asrama dengan wajah bodoh. Meskipun tidak sampai seperti keluarga Greyrat, ada juga orang-orang yang mengembangkan kemampuannya di lingkungan yang mendukung. Selain itu, berkat Ayah dan Orsted-sama, Kota Sihir Sharia menjadi kota yang makmur, dan orang-orang berbakat serta ambisius pun mulai berdatangan silih berganti.

Orang-orang yang seharusnya tidak kalah dariku, mulai melampauiku.

Aku merasa aku sudah berusaha keras setelah berpisah dari Aisha, tetapi hanya ada satu bidang di mana aku bisa menjadi nomor satu.

Rasanya frustrasi. Karena jika itu Aisha, ia pasti akan menjadi nomor satu di hampir semua bidang.

Tetapi ada satu hal di mana aku bisa menjadi nomor satu.

Ilmu pedang... atau lebih tepatnya, pertarungan secara umum.

Sihir seranganku sama sekali bukan yang terbaik, tetapi jika itu adalah pertarungan tanding menggunakan sihir serangan, aku adalah yang nomor satu.

Karena itu aku berpikir.

Inilah diriku. Inilah keahlianku... begitu.

Aku sempat berpikir mungkin ini adalah pemikiran yang dangkal. Mungkin aku hanya lari dari hal-hal yang tidak kusukai.

Hanya saja, saat aku membicarakannya dengan Mama Merah, ia sama sekali tidak bilang, "Kau tidak boleh lari."

Ia hanya berkata dengan gembira, "Iya! Aku juga dulu begitu!"

Ya, ia tampak senang.

Saat aku berkata sepertinya aku tidak akan bisa mahir dalam hal-hal lain, Mama Merah yang tadinya memasang wajah masam, tampak marah, dan nyaris menangis... saat aku berkata bahwa aku suka bertarung, aku ahli dalam hal itu, dan inilah satu-satunya hal di mana aku bisa menjadi nomor satu, ia dengan gembira mengatakan hal itu.

Kurasa, Mama Merah di masa lalunya juga begitu.

Lagipula, dari cerita yang kudengar, perbedaan antara kelebihan dan kekurangan Mama Merah justru jauh lebih kentara daripadaku.

Mungkin fakta bahwa aku bisa mendapat nilai 'hebat' dalam bidang lain, meskipun ada perbedaan tingkatan, adalah berkat darah ayahku.

Bagaimanapun juga, saat Mama Merah berkata begitu, aku membulatkan tekadku.

Karena Aisha bisa melakukan apa saja, maka aku tidak perlu bisa melakukan segalanya juga.

Aku hanya perlu menjadi pedang bagi Aisha.

Aku akan menjadi sosok yang selalu ada di sisinya, yang bisa membuatnya berpikir, 'jika dalam keadaan darurat, aku hanya perlu menghunus ini'.

Itu pasti akan menjadi penopang hatinya. Pasti akan memberinya rasa aman.

Sama seperti Mama Merah yang menjadi sosok seperti itu bagi ayah.

Karena itulah, aku harus bisa menang dari Mama Merah.

Aku harus bertarung dan menang.

Mungkin tidak harus Mama Merah, tetapi bagiku, ahli pedang terkuat dan paling bisa diandalkan adalah Mama Merah.

Aku memang kenal banyak ahli pedang lain.

Dalam beberapa tahun setelah berpisah dari Aisha, aku berkenalan dengan banyak orang.

Jino-san sang Dewa Pedang, istrinya Nina-san, Dewa Air Reida-sama, Raja Pedang Ghislaine-sama yang bekerja di istana Kerajaan Asura, Sandor-sama... dan juga Alec. Sekarang ini aku hanya punya kesan dia adalah si bodoh Alexander yang tidak mau bekerja, tetapi waktu itu, sama seperti adiknya, ia adalah seorang guru yang kuhormati dan sering memberiku berbagai nasihat soal ilmu pedang.

Saat orang-orang yang jauh lebih kuat dariku saat itu membicarakan Mama Merah, selalu tersirat nuansa "dia bukanlah lawan yang bisa dikalahkan dengan mudah".

Jika hanya berbicara soal kemampuan pedang murni, mungkin Mama Merah kalah dari orang-orang yang kusebutkan tadi.

Tetapi jika bertarung, ia adalah sosok yang bisa mengayunkan pedang yang akan mencapai titik vital mereka, sosok yang bisa mengancam nyawa mereka.

Bukannya ia 'pandai berpedang'.

Dia 'kuat'.

Karena itulah, aku menjadikan Mama Merah sebagai tujuanku.

Untuk bisa diakui sebagai pria dewasa, aku harus bisa menang dari Mama Merah.

Demi tujuan itu, aku berlatih dengan giat, meningkatkan kekuatan dasarku, menciptakan taktikku sendiri, dan mengasah keterampilanku.

Setelah lulus dari Universitas Sihir Ranoa, saat aku akan mulai bersekolah di Akademi Kerajaan Asura, ayah berkata.

"Kau sudah hampir dewasa. Bukankah sudah saatnya kau menjemput Aisha...?" begitu katanya.

Entah sejak kapan, ayah telah mengakuiku.

Tetapi aku sendiri masih belum bisa mengakuinya.

Karena itu, aku berkata.

'Sebelum aku bisa mengambil satu poin dari Mama Merah, aku belum bisa disebut pria dewasa. Aku tidak bisa pergi menjemput Aisha.'

Bahkan sampai sekarang, aku masih bisa mengingat wajah puas Mama Merah saat aku mengatakan itu.

Kak Lara sih tampak jengkel. Adik-adik perempuanku juga.

Sieg memasang wajah seolah itu adalah hal yang wajar. Sampai ia mulai bersekolah di Akademi Kerajaan Asura, ia memang sangat terpengaruh oleh Alec, jadi ia pasti suka perkembangan cerita seperti ini.

Ayah memasang wajah cemas, tetapi ia akhirnya mengangguk setelah dibujuk oleh Mama Putih dan Mama Biru.

Beberapa menit kemudian, aku sudah berhadapan dengan Mama Merah di taman kediaman Greyrat.

Kami berdua memegang pedang sungguhan dan memasang kuda-kuda.

Ayah sempat bilang pakai pedang kayu saja, tetapi kupikir keseriusanku tidak akan tersampaikan, dan Mama Merah pun tanpa berkata apa-apa juga membawa pedang sungguhan. Tanpa perlu berkata-kata, Mama Merah sudah mengerti.

Aku ingat, sambil berhadapan dengan Mama Merah, aku berkali-kali menarik napas dalam-dalam.

Aku gugup. Bagaimanapun juga, ini bukan sekadar ujian kelulusan biasa.

Tidak ada jaminan aku pasti menang, tidak juga ada strategi kemenangan mutlak.

Mama Merah adalah musuh yang tangguh.

Selama beberapa tahun ini aku sudah melawan banyak orang, tetapi dialah lawan yang paling tidak mungkin bisa kukalahkan.

Kenapa Mama Merah begitu kuat? Kenapa ia begitu diwaspadai oleh para ahli pedang lainnya? Aku telah memikirkan hal itu berkali-kali selama beberapa tahun ini.

Dan aku sudah menemukan jawabannya.

Kekuatan Mama Merah, pertama-tama, terletak pada kegigihannya. Bisa juga disebut keuletan.

Mama Merah, karena julukan 'Raja Pedang Gila' dan penampilannya, sering kali disalahpahami, tetapi ia sama sekali tidak bertarung dengan cara menyerang membabi buta tanpa berpikir.

Memang benar ia gesit dan punya insting menyerang yang hebat, dan ia juga akan menyerang dengan momentum yang dahsyat, tetapi sebenarnya, sisi defensifnyalah yang jauh lebih menonjol dibandingkan para ahli pedang Aliran Dewa Pedang lainnya.

Ia tahu cara menggerakkan tubuhnya secara optimal, tidak menunjukkan celah yang fatal bahkan saat ia melesat maju, dan pokoknya ia tidak pernah terkena serangan mematikan.

Sebuah keuletan yang seolah mengasumsikan pertarungan jangka panjang, mirip seperti Aliran Dewa Utara.

Terkadang, seperti Aliran Dewa Air, ia akan memancing serangan lawan, lalu menangkisnya di saat-saat terakhir.

Yang sangat berbeda dari aliran-aliran itu adalah fakta bahwa Mama Merah akan menyerang dengan ganas.

Pokoknya ia akan terus menyerang. Semua anggota Aliran Dewa Pedang memang begitu, mereka berpikir untuk mengalahkan lawan sebelum diri mereka sendiri dikalahkan.

Tetapi Mama Merah juga berbeda dari Aliran Dewa Pedang.

Mama Merah tidak berpikir untuk menghabisi lawannya dalam satu serangan.

Di Aliran Dewa Pedang, banyak yang mempertaruhkan segalanya di serangan pertama. Pedang Cahaya adalah jurus pamungkas yang memang punya kekuatan sebesar itu.

Mama Merah memang melancarkan serangan yang terlihat seperti itu, tetapi sebenarnya tidak.

Ia bergerak sambil memikirkan apa yang akan terjadi jika Pedang Cahayanya berhasil dihindari.

Aku pernah diperlihatkan pertarungan latihan antara Dewa Air Reida dan Mama Merah.

Hasilnya, Reida lebih banyak menang. Akan tetapi, tidak ada satu pun pertarungan yang selesai dalam satu serangan.

Pedang Cahaya Mama Merah selalu dilepaskan dengan lihai. Ia tidak pernah hanya asal maju dan melepaskannya begitu saja.

Terkadang ia memang menang dengan cara itu, tetapi ada juga saat di mana Reida lebih unggul dan melancarkan serangan balasan setelah menangkis.

Mama Merah akan terkena serangan balasan itu. Tetapi ia tidak akan pernah kalah hanya karena itu.

Dengan satu serangan itu, Mama Merah sama sekali tidak akan menerima luka fatal. Meskipun pada akhirnya ia akan terdesak dan kalah karena serangan itu, tetapi di momen itu pertarungan masih belum berakhir.

Bahkan setelah menerima jurus pamungkas dari Dewa Air pun, ia masih bisa berdiri.

Mama Merah, meskipun terus menyerang tanpa henti, pertahanannya sama sekali tidak longgar.

Ia selalu berasumsi bahwa ia sedang bertarung melawan orang yang lebih kuat darinya.

Seolah-olah ia percaya bahwa selama ia bisa bertahan, selama ia terus bertarung di garis depan, sisanya akan dibereskan oleh Ayah.

Mirip seperti Nenek Buyut Elinalise atau Ruijerd-san.

Dengan kata lain, seorang Prajurit. Meskipun ia seorang Ahli Pedang, ia adalah seorang Prajurit.

Seorang Ahli Pedang yang punya kekuatan serang untuk menjadi penentu kemenangan, sekaligus seorang Prajurit yang bisa mempertahankan garis depan untuk waktu yang lama.

Itulah 'Raja Pedang Gila Eris Greyrat'.

Aku harus bisa menang melawan lawan seperti itu di saat yang paling genting. Ini bukanlah hal yang mudah.

Sebelum bertarung, aku berkali-kali berpikir. Bagaimana caranya agar aku bisa menang dari Mama Merah, bagaimana caranya agar aku bisa mengambil satu poin.

Taktik yang pertama kali terlintas adalah serangan kejutan.

Dengan satu serangan pertama, aku akan melampaui imajinasi Mama Merah dan menghabisinya dalam sekali pukul. Sekeras apa pun perlawanan Mama Merah, pasti ada batasnya. Lagi pula aku juga bisa sihir, jadi ada banyak sekali trik yang bisa kugunakan.

Tetapi aku tidak memilih cara itu.

Aku memilih untuk bertarung secara terang-terangan dan jujur.

Karena memang harus begitu.

Aku harus menang dari Mama Merah. Dan menang berarti melampauinya di arena yang sama.

Lagi pula, tujuannya bukanlah untuk mengalahkan Mama Merah.

Melainkan untuk membuktikan bahwa aku telah dewasa.

Bukannya aku boleh kalah, tetapi aku harus memilih cara bertarung dan cara menang.

Aku harus membuatnya mengakuinya.

Ini bukan sesuatu yang bisa kuputuskan sendiri, "Oke, aku menang, berarti aku sudah dewasa."

Aku harus bisa membuatnya berpikir, "Kau sudah tumbuh sehebat ini, mulai sekarang kau pasti bisa mandiri."

Justru karena itulah, aku harus bertarung secara terang-terangan dan merebut kemenangan.

Tidak mungkin aku tidak gugup.

Aku masih mengingat dengan jelas jalannya pertarungan itu.

Yang pertama kali menyerang adalah aku.

Karena tumben sekali Mama Merah tampak sedang menunggu gerak-gerikku, aku pun menyerang lebih dulu.

Pasti di dalam diri Mama Merah juga ada keinginan untuk melihat seberapa jauh aku telah bertumbuh.

Meskipun begitu, kurasa ia hanya mengamati sesaat.

Mama Merah bukanlah orang yang sabar menunggu. Jika saja aku tidak menyerang beberapa detik, tidak, bahkan satu detik lebih lama, ia pasti sudah akan menyerang lebih dulu.

Berkat itu, aku berhasil mengambil inisiatif.

Sambil menyisipkan sihir, aku dengan hati-hati memojokkannya selangkah demi selangkah.

Meskipun kubilang sihir, aku tidak menggunakannya untuk menyerang.

Itu adalah jurus andalanku: menciptakan gelombang kejut dengan sihir angin untuk membantu ilmu pedangku dengan melakukan pergerakan berkecepatan tinggi dan manipulasi pusat gravitasi.

Sebuah gaya bertarung yang kumulai dengan meniru Kak Lucy, lalu kusempurnakan dengan caraku sendiri.

Berbeda dengan Kak Lucy, aku jarang menggunakan sihir untuk menyerang.

Aku menggunakannya untuk bisa melangkah lebih dalam dan untuk menghindari serangan lawan dengan jarak setipis rambut.

Akan tetapi, jika aku yang bertarung dari jarak dekat melakukannya, lawanku juga akan terkena dampaknya.

Aku memang menciptakan gelombang kejut untuk memperbaiki posturku sendiri, tetapi dampaknya tidak hanya padaku, gelombang itu juga akan sampai ke lawan.

Tanpa sadar, postur lawan akan goyah dan ia akan menunjukkan celah yang besar.

Setelah aku menyadari hal ini, aku menjadi tak terkalahkan di antara teman sebayaku.

Akan tetapi, lawanku adalah Mama Merah. Saat itu, jurusku tidak berjalan selancar itu.

Kekuatan inti tubuh Mama Merah sangatlah kuat, dan ia bahkan tidak bergeming oleh gelombang kejut yang kugunakan untuk memperbaiki posturku.

Bukan hanya itu... Mama Merah justru memanfaatkan gelombang kejutku.

Tepat saat aku menggunakan gelombang kejut untuk memulihkan posturku, ia melangkah satu langkah lebih dalam dan menggunakan gelombang kejut yang kulepaskan untuk memulihkan posturnya sendiri.

Bahkan jika kuingat sekarang, itu adalah teknik dewa.

Orang yang pernah melakukan hal yang sama mungkin hanya Orsted-sama. Ia harus bisa membaca sepenuhnya apakah aku akan melepaskan gelombang kejut atau tidak, lalu ia harus mencondongkan tubuhnya ke depan sampai ke jarak di mana gelombang kejutku akan mengenainya.

Jika ia gagal, bahkan Mama Merah pun akan kehilangan keseimbangannya.

Tentu saja, bukannya Mama Merah melakukannya berkali-kali.

Bukannya aku tidak pernah bertarung tanding dengannya sebelumnya. Bukannya aku tidak pernah menggunakan gelombang kejut. Akan tetapi, Mama Merah hanya pernah melakukannya sekali saja, yaitu saat itu.

Hanya sekali.

Hanya sekali, ia melakukannya dengan waktu yang sempurna.

Hanya dengan sekali itu, posisi menyerang dan bertahan langsung berbalik.

Meskipun situasinya berbalik, aku tidak panik. Karena aku tidak pernah berpikir akan bisa menang dengan mudah.

Aku sudah menduga bahwa meskipun awalnya aku unggul, situasinya akan dengan mudah dibalikkan.

Karena itu, sambil mengambil posisi bertahan, aku dengan hati-hati terus melakukan hal yang sama.

Menangkis pedangnya, menghindar, terkadang maju, terkadang memperbaiki postur dengan gelombang kejut.

Aku tidak bisa menghabisinya, tetapi ia juga tidak bisa menghabisiku.

Mama Merah bukanlah lawan yang lunak dalam serangan pamungkasnya, tetapi aku juga telah belajar cara bertahan dari Aliran Dewa Utara dan Aliran Dewa Air. Kemampuan itu kutunjukkan sepenuhnya dan berhasil menahan serangan gencar Mama Merah.

Saling serang dan bertahan. Kondisi di mana kami berdua sama-sama tidak punya jurus penentu dan tidak bisa mengakhiri pertarungan.

Jika sudah begitu, kami berdua harus bisa merebut kesempatan di suatu titik.

Aku membaca gerakan Mama Merah.

Mama Merah tidak akan mencoba menerobos secara paksa lawan yang tidak bisa ia kalahkan. Mungkin ada saatnya ia melakukan itu, tetapi aku yakin ia tidak akan melakukannya padaku.

Kalau begitu, aku menebak ia akan mencoba memanfaatkan gelombang kejutku sekali lagi.

Meskipun itu adalah gerakan yang sangat sulit, jika aku dengan bodohnya melakukan hal yang sama, ia pasti akan mencoba menghancurkanku dengan cara yang sama.

Karena itu, dengan hati-hati agar tidak ketahuan, aku menunggu saat yang tepat untuk memasang perangkap.

Momen itu datang tanpa pertanda, tetapi aku tahu, inilah saatnya.

Mama Merah melangkah maju sedikit lebih kuat, aku menangkisnya dan balas menebas. Merasa ini adalah kesempatan emas, aku melangkah sedikit lebih dalam, tetapi Mama Merah dengan mudahnya memulihkan posturnya dan menangkis pedangku.

Di sini.

"...!"

Aku menciptakan gelombang kejut yang lebih kuat dari biasanya.

Gelombang kejut yang begitu kuat hingga justru akan menghancurkan posturku sendiri, bukan memperbaikinya.

Meskipun aku sudah mengantisipasinya, aku hanya bisa nyaris menahannya, tetapi jika tidak diantisipasi, kuda-kuda pasti akan hancur. Hampir semua lawan akan terjatuh atau berlutut.

Bahkan Mama Merah pun tidak bisa menahannya sepenuhnya dan 'tap, tap,' sebelah kakinya menyentuh tanah dua kali.

Sebuah celah tercipta.

Pedang Cahayaku melesat lurus, seolah terisap ke leher Mama Merah.

Fakta bahwa aku sempat berpikir "ini gawat" adalah bukti bahwa aku telah bertumbuh.

Yang kupegang adalah pedang sungguhan. Di saat-saat terakhir, aku mengubah lintasan pedangku.

Dan di saat itu, Mama Merah yang telah memulihkan posturnya, Pedang Cahayanya telah mendekati leherku.

Aku akan kalah.

Detik berikutnya setelah aku berpikir begitu, pedang Mama Merah melambat.

Pedang Mama Merah juga mengubah lintasannya, mulai bergerak dari leher menuju pergelangan tanganku.

Pikiranku tidak bisa mengimbangi, tetapi tubuhku bergerak.

Pedangku, dengan selisih yang sangat tipis, menebas putus pergelangan tangan Mama Merah.

Balasan Cahaya.

Pergelangan tangan Mama Merah melayang di udara, dan aku telah mengarahkan pedangku padanya.

"Pertarungan selesai!"

Suara siapa itu? Mama Putih, mungkin?

Dari balik bahu Mama Merah, aku bisa melihat ayah yang berlari mendekat dengan wajah pucat, Mama Putih yang pergi memungut pergelangan tangan Mama Merah, dan Mama Biru yang menghela napas lega.

Kak Lara kembali masuk ke dalam rumah, sementara Sieg dan adik-adik perempuanku bersorak sorai.

Bahkan jika kuingat sekarang, rasanya itu adalah kemenangan yang diraih dengan susah payah.

Itu bukanlah kemenangan yang bisa kuulangi lagi.

Dalam hal kekuatan dasar, kurasa Mama Merah masih beberapa tingkat di atasku.

Meskipun begitu, fakta bahwa aku bisa bertarung tanpa mundur selangkah pun melawan Mama Merah di saat yang paling genting, kurasa itu sudah cukup.

"Ars."

Aku dan Mama Merah saling bertatapan selama beberapa detik, lalu kami berpelukan.

Meskipun telah kehilangan sebelah tangannya, Mama Merah memelukku dengan erat.

Sungguh, sebuah kekuatan yang luar biasa.

Pelukan dengan sekuat tenaga, sampai-sampai kukira aku akan diremas sampai mati.

Aku tidak membencinya.

Mama Merah selalu ada untukku. Sampai hari ini, ia tidak pernah sekalipun meninggalkanku.

Meskipun ia tidak mengatakan apa-apa, pujian "Kau hebat" darinya tersampaikan tanpa kata-kata.

Aku pun balas memeluk Mama Merah dengan erat.

Kurasa, saat itu aku menangis.

Dan begitulah, aku telah menjadi seorang pria dewasa.

★ ★ ★

Setelah itu, hal pertama yang harus kulakukan sebagai seorang pria yang telah diakui... yah, sudah pasti, adalah persiapan.

Aku akan menjemput Aisha.

Akan tetapi, tidak baik jika aku pergi ke Kerajaan Asura hanya dengan baju di badan.

Entah bagaimana, rasanya itu tidak baik.

Habisnya, aku akan menjemput calon istriku. Pasti ada cara yang pantas untuk menjemputnya, 'kan?

Tapi aku tidak tahu.

Bagaimanapun juga, sejak berpisah dari Aisha, aku sama sekali tidak punya pengalaman dalam hal-hal seperti itu.

Aku memang pernah diajak, pernah juga dirayu. Tetapi karena tidak pernah kuterima, aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.

Apalagi jika aku yang harus memulai, itu adalah dunia yang sama sekali tidak kukenal.

Karena itu, aku berkonsultasi dengan ayah.

Kupikir karena ayah punya tiga orang istri, ia pasti ahli dalam bidang ini.

"Untuk menjemput Kak Aisha, sebaiknya bagaimana, ya? Aku tidak punya banyak pengalaman dengan perempuan, jadi aku tidak tahu harus bagaimana... Papa pasti tahu banyak, 'kan?"

Akan tetapi, ayah memasang wajah pahit.

"Tidak, aku juga tidak begitu punya pengalaman dalam hal itu...?"

Katanya, ayah tidak punya banyak pengalaman dalam 'menjemput' perempuan. Dengan wajah masam ia berpikir keras, lalu menceritakan tentang pertemuan dan reuni-nya dengan para Mama, dan mencoba memikirkannya untukku.

"Lakukan saja yang terbaik yang bisa kau pikirkan. Lawanmu adalah Aisha, versi dirimu yang mana pun pasti akan ia terima dengan senang hati."

Pada akhirnya, hanya itu yang bisa ia katakan. Tidak ada satu pun hal yang konkret.

Dari cerita reuni ayah dengan para Mama, yang sepertinya bisa kugunakan adalah datang menolong di saat genting, tetapi tentu saja itu tidak bisa dipakai. Aku tidak mau sengaja membuat Aisha diserang oleh penjahat hanya agar aku bisa menolongnya.

('Singkatnya, pikirkan sendiri, begitu, ya...')

Saat aku nyaris menyerah,

"Hanya saja, aku kenal satu orang yang ahli dalam hal itu."

Ayah menambahkan, lalu memperkenalkan seseorang padaku.

Ayah menilainya sebagai "playboy terhebat yang bisa dibayangkan, dan orang yang sudah terbiasa dengan situasi seperti itu."

Yang terlintas di benakku adalah Nenek Buyut Elinalise, tetapi sepertinya orangnya berbeda.

Aku juga diperingatkan dengan keras, "...Kau sama sekali tidak boleh menyalahgunakan pengetahuan itu untuk hal-hal yang tidak baik."

Aku ingat, aku merasa sedikit bersemangat, seolah sedang diperkenalkan pada seorang penyihir dari negeri dongeng.

Dan tempat aku dibawa adalah ke istana Kerajaan Asura.

Dalam sekejap mata, kami terus naik ke atas dan tiba di sebuah ruang kerja yang tampak mewah.

Aku sudah pernah datang ke istana ini beberapa kali.

Setelah kawin lari dengan Aisha aku memang belum pernah ke sini, tetapi sebelumnya, aku ingat pernah beberapa kali diajak ke pesta atau semacamnya.

Dunia yang begitu mewah sampai membuat pusing kepala. Jika bukan di masa perang, aku ingin kalian juga merasakannya sekali. Agar kalian tahu seperti apa kaum kelas atas yang sesungguhnya di masa itu.

Hanya saja, hari itu sudah larut malam, jadi suasananya tidak begitu gemerlap.

"Aku sedang sibuk belakangan ini."

Di dalam ruangan tempat aku diantar, ada seorang pria.

Pemimpin Tujuh Ksatria Asura, Luke Notos Greyrat.

Orang kepercayaan Yang Mulia Ariel. Sosok yang terkenal. Meskipun ilmu pedangnya tidak seberapa, ia adalah orang yang unggul dalam manuver politik dan ahli dalam memikat hati orang. Aku ingat, dulu saat aku diajak ke sebuah pesta, Sieg dengan bersemangat menceritakannya padaku.

Meskipun ia ahli memikat hati orang, rasanya ia bukanlah orang yang tepat untuk diajak berkonsultasi soal menjemput seorang wanita.

Begitulah tadinya kupikir, tetapi saat aku bertanya pada orang lain di kemudian hari, mereka semua serempak berkata, "Dia orang yang paling tepat."

Aku tidak begitu tahu, tetapi kudengar di masa mudanya ia adalah seorang playboy kelas kakap.

"Jadi, kudengar ada konsultasi masalah wanita, ada apa? Apa kau diuber-uber oleh nona bangsawan yang kau hamili saat masih sekolah?"

"Anakku tidak akan melakukan hal seperti itu."

"Aku tahu. Lagi pula, hubungan asmara putramu itu sudah jadi rahasia umum... Tapi jika ia akan bersekolah di Akademi Kerajaan Asura, sebaiknya ia bersiap-siap untuk dikejar oleh para nona bangsawan."

"Kenapa?"

"Yang Mulia Ariel ingin menikahkan putramu dengan anaknya. Untuk membuat sang putri terlihat lebih menawan, ia mungkin akan menggunakan siasat dengan menyiapkan kuda pengalih perhatian yang tidak begitu menarik."

"Hentikan. Anakku sudah punya orang yang ia sukai, jadi jangan coba-coba menggodanya."

"Bercanda. Tapi bersiaplah, setidaknya satu orang putri akan dikirim untuk mendekatinya."

Sepertinya ayah dan Tuan Luke berhubungan baik, mereka melakukan percakapan seperti itu.

Meskipun Tuan Luke bilang itu bercanda, jika ditanya apa tidak ada godaan seperti itu setelah aku mulai bersekolah di Akademi Kerajaan Asura, itu adalah sebuah kebohongan. Di antara mereka ada juga gadis yang menawan. Dadanya besar... tetapi, karena aku sudah punya Aisha, aku tidak pernah goyah sampai akhir. Sungguh.

"Bagaimana kabar Aisha? Kau tidak macam-macam dengannya, 'kan? Kalau sampai kau macam-macam, akan kuhancurkan istana ini."

"Aku tidak sesulit itu mencari wanita sampai harus mengganggu kerabatmu. Aku akui Aisha memang menawan, tetapi ia lebih dari itu, ia kompeten. Tapi sehebat apa pun dia, jika sudah terlibat dalam urusan asmara tidak akan ada hal baik yang terjadi. Aku sengaja tidak mendekatinya."

"Bahkan jika kau mencoba mendekatinya, Aisha kami tidak akan tergoda oleh orang sepertimu. Jangan besar kepala hanya karena kau tampan."

"Aku tahu. Kau ini tidak bisa diajak bercanda, ya... Kalau begitu, mari kita masuk ke topik utama."

Setelah lulus dari Akademi Kerajaan Asura, Aisha bekerja di istana Kerajaan Asura.

Ia sendiri bilang ia hanya membantu pekerjaan administrasi di bawah Yang Mulia Ariel, tetapi penilaian orang-orang di sekitarnya adalah 'pekerjaannya setara dengan sebuah reformasi'.

Aturan-aturan yang Aisha tetapkan saat itu, kabarnya masih berlaku di Kerajaan Asura sampai sekarang.

Yah, aku tidak tahu urusan dalam negeri Kerajaan Asura belakangan ini. Lagi pula hubungan diplomatik kami sedang terputus.

Setelah Yang Mulia Ariel meninggal, Kerajaan Asura pasti sudah banyak berubah...

"Posisinya sebenarnya tidak begitu kuat. Ia diperlakukan sebagai komandan tamu dari Kelompok Tentara Bayaran Rude dan sebagai adik Rudeus, tetapi statusnya di dalam Kerajaan Asura nyaris tidak ada. Meskipun begitu, ia sangat kompeten dan pandai bergaul, jadi ia disukai di mana-mana. Banyak juga yang berkata jika ia keluar dari kelompok tentara bayaran dan bergabung dengan kami, kami akan menyiapkan posisi yang pantas... Tentu saja, Ariel-sama juga berpikir begitu. Kalau perlu, ia ingin Aisha bergabung bersama denganmu."

Aku diberitahu begitu oleh Tuan Luke, dan aku pun menggelengkan kepala.

"Tidak, saya berniat untuk bekerja di bawah ayah—sebagai bawahan langsung Orsted-sama."

"Jika kau akan meneruskan jejak Rudeus, kami juga tidak akan memaksa. Bagaimanapun juga. Aisha begitu disukai oleh orang-orang di Kerajaan Asura. Jika kau tidak menyambutnya sebagai orang penting, citramu akan menjadi buruk."

Kurasa aku tampak bingung.

Aku hanya ingin menjemput Aisha karena aku sudah diakui dewasa, dan tidak begitu peduli dengan pertimbangan perebutan kekuasaan seperti itu...

Setidaknya, Yang Mulia Ariel 'kan berada di bawah Orsted-sama, dan secara organisasi kami adalah sekutu, jadi aku mengerti aku harus menjaga hubungan baik...

"Luke, kau bilang mau langsung ke topik utama, tapi pembukaanmu tidak kepanjangan?"

Yang menolongku adalah ayah.

Saat ayah berkata begitu, Tuan Luke mengangkat bahu.

"Basa-basi itu perlu, 'kan."

"Sudahlah, tolong ajarkan pada putraku cara paling keren yang bisa dibayangkan yang biasa kau gunakan saat menjemput wanita. Kumohon."

Tuan Luke menatap ayah yang menundukkan kepala dengan ekspresi yang benar-benar jijik, tetapi akhirnya ia menghela napas sekali.

"Kereta kuda," katanya.

"Kereta kuda tertutup yang ditarik dua ekor kuda, untuk dua penumpang, itu yang terbaik. Buat semewah mungkin. Kudanya harus kuda putih. Kuda hitam juga boleh, tapi kuda roan atau belang tidak boleh. Tunggu di jalan pulangnya, di tempat yang mungkin akan dilewati oleh para kenalannya. Kalau bisa, di pintu samping istana. Pastikan kau buat janji, tapi jangan beritahu semuanya. Katakan saja, 'Aku akan datang menjemputmu pada hari itu'."

"L-Lalu?"

"Saat dia datang, katakan satu hal: 'Aku datang menjemputmu. Ayo pergi.' Tidak perlu mengatakan hal yang tidak perlu."

"Apa cukup dengan begitu?"

"Iya, setelah itu tinggal bawa dia masuk ke vila atau penginapan dan... kau tahu, 'kan?"

Kali ini, ayahku yang memasang wajah jijik dan bergumam, "Memangnya pangeran dari mana." Akan tetapi, efek dari cara Tuan Luke memang tidak diragukan lagi.

Saat aku masih di Universitas Sihir Ranoa pun, aku pernah mendengar para gadis membicarakan hal seperti itu.

Tentang seorang pangeran yang suatu hari akan datang menjemput mereka dengan menunggangi kuda putih.

Tetapi jika kupikir-pikir, ada bagian yang sedikit berbeda dari impian para gadis itu.

"Kenapa kereta kuda? Bukankah lebih baik jika kami berboncengan di atas kuda?"

"Kalau kalian terlihat berdua seperti itu, nanti akan timbul gosip... ah, apa kau tidak masalah dengan itu? Tapi kebanyakan wanita peduli dengan gosip semacam itu. Seharusnya ia akan lebih senang jika saat itu tidak ada yang tahu ke mana kalian pergi, lalu di kemudian hari diumumkan secara resmi. Ia akan merasa, 'Aku sangat dihargai,' 'Dia serius denganku,' begitu."

"Bisa tidak kau jangan mengajari putraku teknik-teknik busuk seperti itu."

"Kau sendiri yang tadi memintaku untuk mengajarinya, 'kan."

Ayahku entah kenapa jadi aneh, tapi yah, sudahlah.

Saat itu aku merasa heran, tapi ayah memang sering menjadi aneh.

"Yang ingin kukatakan adalah, yang terpenting itu adalah mengabulkan keinginannya. Aku tidak yakin Aisha akan suka dengan kuda putih atau kereta kuda. Keinginannya, kalian pasti lebih tahu daripadaku. Meskipun sudah beberapa tahun tidak bertemu. Coba pikirkan dengan itu sebagai poros utamanya."

"Keinginan Kak Aisha..."

Tidak mungkin aku tahu hal seperti itu.

Hanya saja, aku tahu apa yang berharga bagi Aisha.

Aku juga kurang lebih tahu pendekatan seperti apa yang ia sukai.

"Saya mengerti. Terima kasih banyak."

Ayahku panik dan berkata, "Apa benar tidak apa-apa? Orang itu tidak boleh ditiru, lho," tetapi pada akhirnya ini sama saja seperti saat aku melawan Mama Merah.

Aku hanya perlu berpikir dengan kepalaku sendiri dan melakukannya dengan sekuat tenaga.

★ ★ ★

Aku sudah menyiapkan kereta kudanya.

Seperti yang diperintahkan, sebuah kereta kuda tertutup, tetapi yang kusiapkan lebih besar dari yang disarankan—kereta untuk empat penumpang yang ditarik oleh empat ekor kuda putih.

Aku juga sudah membuat janji. Mengingat ini adalah Aisha, kurasa ia pasti sudah mengucapkan selamat tinggal pada semua pihak terkait sebelum hari ini tiba.

Setelah selesai bekerja, Aisha akan berjalan kaki dari istana menuju ke asramanya.

Katanya ia biasa pulang bersama teman-teman pelayannya.

Meskipun jaraknya tidak begitu jauh dan lingkungannya adalah distrik bangsawan yang aman, tetap saja aku merasa sedikit khawatir ia pulang berjalan kaki.

Aku akan mencegatnya di jalan pulangnya. Aku khawatir karena bahkan diriku saja bisa dengan mudah mencegatnya.

Begitulah pikirku, tapi kurasa hanya orang yang sudah punya izin yang bisa memarkirkan kereta kuda di samping istana, jadi aku ingin percaya bagian itu aman.

Tentu saja, aku tidak akan menghentikan jalannya seolah sedang memblokade.

Ini hanyalah sarana transportasi untuk pulang.

Yang kusiapkan bukan hanya kereta kuda.

Aku menyiapkan seikat bunga. Aku sempat pulang sekali untuk mengambil bunga dari taman rumah kami.

Bunga kesukaan Aisha yang ia tanam sendiri.

Selain itu, aku juga meminta bunga dari Beat si Baby Treant dan merangkainya. Saat kucium, tercium aroma taman rumah kami.

Mungkin aku akan dimarahi karena memetiknya tanpa izin... tapi tentu saja tidak kupetik semuanya.

Aku juga sering membantu merawat bunga-bunga itu, jadi kuanggap tidak apa-apa jika hanya sedikit.

Setidaknya, kurasa Beat dan Nenek Zenith sudah memaafkanku. Karena saat aku bilang ingin bunga, mereka seolah memberikannya padaku.

Pakaianku juga, sudah kusiapkan dari toko langgananku di Kerajaan Ranoa.

Itu adalah toko yang juga sering dikunjungi ayah. Aku memang ditemani ayah, tetapi pada hari itu, untuk pertama kalinya aku mengutarakan keinginanku sendiri, memilih, dan membelinya.

Baik pelayan toko maupun ayah berkata pakaian itu sangat cocok untukku, tetapi saat aku melihat diriku di cermin, rasanya seperti aku yang 'dipakai' oleh bajuku.

Mungkin karena aku sudah terbiasa melihat Mama Merah, tapi kurasa jaket Aliran Dewa Pedang lebih cocok untukku.

Karena waktu yang dijanjikan sudah dekat, aku turun dari kereta kuda untuk menunggu Aisha.

Pintu samping istana ini begitu besar hingga aku tidak yakin apa masih bisa disebut pintu samping. Sepertinya banyak juga orang yang pulang dengan kereta kuda atau menunggang kuda.

Tentu saja. Karena mereka bekerja di istana, sebagian besar dari mereka pastilah bangsawan atau setingkatnya.

Bahkan para pelayan pun terkadang adalah putri dari bangsawan rendahan yang sedang mengabdi, dan para prajurit pun, meskipun mungkin rakyat biasa, aneh jika latar belakang mereka tidak jelas.

Orang-orang seperti itu melewatiku sambil berbisik-bisik, bertanya-tanya ada urusan apa.

Ada juga beberapa anak yang seumuran denganku.

Saat mereka melihatku, mereka memasang wajah seolah baru menyadari sesuatu, lalu bergegas pergi.

Terdengar juga suara-suara bisik-bisik.

Para gadis berbisik pelan, tetapi jelas terdengar jeritan-jeritan kecil yang tertahan.

Akan tetapi, tidak ada satu pun yang bertanya apa yang sedang kulakukan.

Yah, aku berdandan necis dan bahkan membawa seikat bunga, jadi kurasa mereka kurang lebih sudah bisa menebak.

...Mungkin aku sudah gagal.

Sampai sekarang aku tidak pernah memikirkannya, tapi bagaimana jika Aisha menolakku?

Bukannya aku ditertawakan, tetapi entah kenapa aku merasa telah salah memilih pakaian.

Selera berpakaian di Kerajaan Asura dan Kerajaan Ranoa berbeda, atau lebih tepatnya, aku merasa penampilanku terlalu mencolok.

Hanya aku yang berpakaian seolah akan pergi ke pesta.

Aisha adalah orang yang realistis dan kompeten.

Daripada cara seperti ini, apa tidak lebih baik jika aku melakukannya dengan lebih normal, seperti mengunjunginya ke asrama atau semacamnya?

Atau mungkin seharusnya lebih meriah lagi? Misalnya dengan mengadakan pesta?

Tidak, tidak, itu jelas salah...

Sambil memendam kecemasan seperti itu, sesosok wanita yang keluar dari istana menarik perhatianku.

Rambutnya yang sebahu diikat ke atas, dan hiasan rambut yang dulu pernah kuberikan sebagai hadiah bergoyang di kepalanya.

Dan pakaiannya, bagaimana ya mengatakannya, ia mengenakan sebuah gaun.

Gaun merah terang. Tidak mungkin ia bekerja dengan pakaian seperti itu.

Apa ia akan pergi ke pesta?

...Aku tidak sebodoh itu sampai berpikir begitu.

Aisha telah berdandan untukku.

Sama sepertiku yang mengenakan pakaian seperti ini, Aisha juga datang dengan pakaian yang serasi.

Begitu aku menyadarinya, jantungku berdebar kencang seolah akan meledak.

Tidak mungkin Aisha akan menolakku.

Ia juga, pasti, telah menungguku selama ini.

Menungguku menjadi seorang pria dewasa dan datang menjemputnya.

Tentu saja, kurasa ia tidak hanya menunggu.

Kesan tentang Aisha yang kudengar dari Tuan Luke sedikit berbeda dari Aisha yang kukenal.

Penilaian bahwa ia harus bisa menjaga citranya di mata orang lain, bukankah itu adalah sesuatu yang tidak ia miliki dulu?

Karena di dalam sebuah organisasi, ia seharusnya adalah tipe yang akan sangat dibenci oleh orang-orang yang tidak menyukainya...

Tidak, pasti sekarang pun ada yang membencinya. Tidak mungkin ia disukai oleh semua orang.

Tetapi, kurasa Aisha juga telah berusaha untuk mengubah bagian dari dirinya yang ia anggap tidak baik, sampai-sampai kesanku sedikit berubah saat mendengarnya.

Demi bisa bersamaku, ia telah berusaha untuk menjadi dewasa bersamaku.

Mungkin. Pasti.

"Hei. Kau sudah besar, ya."

Aisha datang ke hadapanku.

Sungguh, setelah sekian lama, aku kembali berhadapan dengan Aisha.

Selama beberapa tahun ini, kurasa aku sudah melihat banyak sekali wanita. Karena aku ini, jika melihat wanita berdada besar, pasti akan langsung menatapnya. Secara naluriah, pernah juga aku berpikir ingin menyentuh atau memeluknya.

"Baru beberapa tahun, tapi kau sudah sangat berbeda. Wah... kupikir aku memang sudah lama menyukai Ars-kun, tapi apa ini yang namanya jatuh cinta lagi, ya."

Tetapi, melihat Aisha, aku kembali berpikir.

"Lho? Halo, Ars-kun? Ada apa?"

Bahwa satu-satunya yang kusukai adalah Aisha.

"...Lho, lho~? Jangan-jangan yang kau tunggu bukan aku, ya? Orang lain?"

Saat Aisha berkata begitu dengan nada sedikit bercanda namun juga sedikit sedih, aku akhirnya membuka mulut.

Aku berlutut, menyodorkan seikat bunga, dan menatap matanya sambil berkata.

"Aku mencintaimu. Menikahlah denganku."

"..."

Selama beberapa detik, mulut Aisha komat-kamit.

Akan tetapi, ia menarik napas dalam-dalam sekali.

Ia menegakkan posturnya dan dengan perlahan menerima buket bunga itu.


"Dengan senang hati."

Dan beginilah, aku pun menikah dengan Aisha.

★ ★ ★

Setelah bertemu kembali dengan Aisha, ada satu hal yang ingin kulakukan.

Aku langsung mengajak Aisha ke kereta kuda yang terparkir di samping istana.

"Wah, wah, kereta kuda yang megah, ya. Tidak kusangka Ars-kun punya kemampuan seperti ini... apa kau sudah jadi perayu wanita selama kita tidak bertemu?"

"Hentikan. Aku hanya disuruh Tuan Luke untuk menyiapkan yang seperti ini saat berkonsultasi dengannya."

"Berkonsultasi dengan perayu wanita... aduh, aduh, kira-kira setelah ini aku akan dibawa ke mana, ya? Kau juga berkonsultasi soal itu, 'kan? Yah, sudahlah. Aku 'kan sudah menjadi istri Ars-kun. Hari ini aku akan menemanimu ke mana pun. Tentu saja, kau sudah dapat izin dari kakak dan yang lain, 'kan?"

Sambil tertawa riang, Aisha melihat kereta kuda itu dan membungkuk pada pria yang duduk di kursi kusir, "Mohon bantuannya."

Jika ini Aisha yang dulu, ia mungkin tidak akan repot-repot membungkuk.

Mungkin jika ada kebiasaan membayar di muka, ia akan sekalian memberinya uang tip.

"Daripada bagian luarnya, boleh kau masuk ke dalam kereta dulu?"

"Oh? Apa kau sudah menyiapkan hadiah yang akan membuatku senang?"

"Iya, kuharap kau akan senang."

Saat Aisha mengangkat ujung roknya, aku pun memegang gagang pintu kereta.

Aku membuka pintu perlahan, meraih tangan Aisha, dan mengundangnya masuk ke dalam.

Di sana,

"Aisha."

"Ah."

Ada dua orang.

Satunya adalah seorang wanita bergaun yang tak kalah anggunnya dengan Aisha.

Nenek Lilia.

"Ibu."

Dan juga,

"...Leroy-kun?"

Seorang anak laki-laki berusia tiga tahun, yang meskipun masih kecil, didandani dengan sangat rapi.

Anak yang manis. Di usia seperti ini, kurasa aku sendiri tidak akan bisa diam dan menunggu di dalam kereta.

Tentu saja, biasanya ia tidak setenang ini.

Mungkin ia tahu siapa yang akan ia temui hari ini.

Meskipun ia berada di usia di mana ia baru mulai mengerti, mungkin ia paham bahwa hari ini adalah pertemuan yang penting.

Aisha membandingkan keduanya, ragu sejenak, lalu memberi isyarat dengan matanya pada Nenek Lilia.

Saat Nenek Lilia mengangguk ringan, Aisha mengulurkan tangannya pada Leroy, pada putranya sendiri.

"Halo, Leroy-kun! Sudah besar, ya!"

Ia menyelipkan tangannya di bawah ketiak Leroy dan mengangkatnya dengan erat.

"Aku ini mamamu. Apa kau ingat?"

"..."

Leroy dalam diam menggelengkan kepalanya.

Tentu saja. Tidak mungkin ia ingat.

"Mama..."

Tetapi Leroy, selama ini selalu diberitahu.

Oleh orang-orang di dalam rumah yang ia panggil 'Mama', bahwa, 'Kami bukan mamamu'.

'Lalu di mana mamaku?', pertanyaan seperti itu tidak pernah ia ucapkan. Mungkin karena ia masih kecil, tetapi bahkan setelah ia mulai bisa berbicara pun, ia tidak pernah menanyakannya.

Tetapi aku yakin, ia pasti selalu memikirkannya.

Aku berniat untuk mencurahkan seluruh kasih sayangku padanya. Semua orang di rumah juga begitu.

Para Mama pun tidak pernah memperlakukannya dengan kasar.

Akan tetapi, ketiga Mama itu tidak pernah mencoba untuk menjadi mama bagi Leroy. Meskipun agak ambigu, mereka tetap menjaga batasan itu.

"Mamaa..."

Leroy memeluk Aisha dan mulai menangis.

Meskipun ia belum bisa berbicara dengan lancar, ia pasti bisa merasakan sesuatu.

"Oh, cup, cup. Maaf, ya, tidak bisa bertemu denganmu. Bukannya Mama pergi karena benci pada Leroy-kun, lho. Ini karena Mama berbuat salah. Maaf, ya... tapi, mulai sekarang kita akan selalu bersama."

Sambil sedikit berkaca-kaca, Aisha berkata begitu dan menepuk-nepuk punggung Leroy.

Lalu, dari balik bahu Leroy, ia menatap ke arahku.

"Ars-kun... kau sudah benar-benar menjadi dewasa, ya."

Ucap Aisha. Dengan penuh perasaan.

Setelah bertemu kembali dengan Aisha, ada satu hal yang ingin kulakukan.

Itu adalah perasaanku yang tulus, tetapi diriku yang sekarang mengerti bahwa aku tidak boleh memprioritaskan hal itu.

"Jangan terlalu membebani dirimu atau terlalu menahan diri, ya. Mulai sekarang, ada aku yang menemanimu."

Seolah bisa membaca pikiranku, Aisha berkata begitu.

Tapi yah, memang benar, diriku saat itu mungkin sedikit terlalu membebani diri.

Karena aku harus menjadi pria dewasa, menjadi orang dewasa, menjadi seorang ayah, dan meneruskan keluarga Greyrat.

Begitulah yang kupikirkan.

Aku sendiri berniat untuk bersemangat, tetapi mungkin aku juga terlalu membebani diri.

"Ibu."

Aisha, yang mengalihkan pandangannya dariku, menoleh ke arah Nenek Lilia dan berkata.

"Aku pulang."

"Selamat datang kembali."

"Maaf aku tidak bisa menjadi seperti yang Ibu harapkan."

Mendengar kata-kata Aisha yang tiba-tiba, mata Nenek Lilia terbelalak, namun,

"Tidak, aku juga yang terlalu berusaha membesarkanmu sesuai keinginanku. Maafkan aku."

Ia menjawab begitu, dengan lancar tanpa jeda.

Kata-kata yang tidak bisa mereka ucapkan saat ia kembali dari kawin lari.

Kata-kata yang sebenarnya sudah terlintas di benak mereka pada hari itu dan ingin sekali mereka ucapkan.

Selama beberapa tahun ini, aku juga sudah berkali-kali berbicara dengan Nenek Lilia. Karena kupikir, satu-satunya yang bisa memperbaiki hubungan Aisha dan Nenek Lilia pastilah diriku yang menjadi sumber masalahnya.

Karena itu juga hari ini, meskipun Nenek Lilia berkali-kali bertanya apa tidak apa-apa ia ikut, apa tidak lebih baik Leroy saja, aku bersikeras bahwa tidak apa-apa dan memintanya untuk ikut.

Karena aku tahu Nenek Lilia tidak benar-benar memperlakukan Aisha seperti sebuah benda. Nenek Lilia itu hanya punya sisi di mana ia cenderung punya keyakinan yang ekstrem.

Pasti di kemudian hari, saat mereka hanya berdua, mereka akan berbicara lebih dalam, tetapi saat itu, hanya itu saja. Dan itu sudah cukup.

"Baiklah, kalau begitu ayo kita berempat pergi makan."

Karena itu aku mengusulkannya.

Mendengar itu, Aisha tersenyum cerah sambil masuk ke dalam kereta kuda.

"Asyik. Hari ini aku belum makan siang, jadi perutku keroncongan. Kau mau membawaku ke mana?"

"Di ujung distrik bangsawan ada restoran dengan pemandangan malam, kurasa di sana saja."

"Wah, nakal, ya. Bukankah itu tempat yang biasa dipakai Tuan Luke untuk merayu perempuan? Ibu, dalam sekejap Ars-kun sudah jadi perayu wanita, lho~. Bagaimana, nih~?"

"Aisha, Tuan Muda melakukan ini demi dirimu..."

"Aku tahu, kok. Cuma bercanda... Mungkin, aku memang sedikit terlalu bersemangat. Karena sudah lama tidak bertemu, dan berpikir akan bisa bersama lagi... Terima kasih, Ars-kun, dan juga Ibu."

Aisha tersenyum dengan sedikit canggung.

Memang benar, Aisha yang kutemui setelah sekian lama ini terasa sedikit lebih bersemangat dari biasanya.

Tetapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku berpikir, "Ah, dia tidak berubah." Atau lebih tepatnya, itulah sosok Aisha dalam ingatanku, Aisha yang penuh semangat sebelum ia kawin lari.

Mengingat ini adalah Aisha, mungkin ia sengaja bersikap ceria...

Meskipun begitu, melihat Aisha yang ceria, Aisha yang bersikap seperti dulu lagi, aku dan Nenek Lilia merasa lega.

Justru mungkin aku yang lebih gugup dan kaku.

"Aku pulang."

Dan begitulah, Aisha pun telah kembali ke rumah.

★ ★ ★

"Setelah itu, selama bertahun-tahun, aku menghabiskan waktu bersama Aisha. Aku bersekolah di Akademi Kerajaan Asura, lulus, dan secara resmi menjadi bawahan Orsted-sama, sekaligus anak buah ayah, merangkap sebagai asisten penasihat di Kelompok Tentara Bayaran Rude. Setiap hari aku berkeliling dunia mengikuti ayah dan Mama Merah, sambil belajar tentang manajemen Kelompok Tentara Bayaran Rude dari Aisha. Pada akhirnya aku menjadi komandan Kelompok Tentara Bayaran Rude... yah, sisanya kurang lebih seperti yang kalian tahu."

Ars menutup ceritanya seperti itu.

Kedua bawahannya yang sejak tadi duduk di lantai dan mendengarkan dengan wajah kosong, mengangguk puas saat mendengar penutupnya.

"Cerita yang bagus juga, ya. Henry, sebaiknya kau jadikan referensi. Kalau mau menjemputku, pakai kereta kuda."

"Tidak, tidak, kalau dilihat dari peran kita, jelas aku yang seharusnya dijemput, 'kan."

Sambil bercanda, kedua bawahannya itu berdiri dan tanpa sengaja menatap buku di tangan mereka.

"Meskipun begitu, ternyata ini benar-benar hanya sebuah buku harian, ya. Padahal disebut-sebut sebagai volume dua puluh sembilan yang legendaris, kukira isinya lebih hebat lagi."

"Bagiku, ini sudah cukup hebat. Karena sekarang aku tidak punya cara untuk tahu apa yang sedang dipikirkan oleh ayahku saat itu. Terima kasih, ya, sudah menemukannya."

"Hah, apa memang begitu, ya. Aku sih tidak mau tahu apa yang dipikirkan oleh ayahku."

"Yah, tapi kalau bisa, kuharap kalian menemukannya sebelum Aisha meninggal."

"Itu permintaan yang mustahil... lagi pula kami tidak secara khusus mencarinya. Maksudku, Aisha-san pada masa itu, benar-benar tidak terbayangkan jika dibandingkan dengan Aisha-san yang kita kenal."

Sosok Aisha yang Henry kenal adalah orang yang tegas namun baik hati.

Ia toleran terhadap kegagalan, dan terhadap orang-orang yang kaku seperti Henry atau Luicelia, ia tidak pernah marah, melainkan dengan lembut namun tepat sasaran mengajari mereka apa yang harus dilakukan dan apa yang harus diperhatikan.

Ia merasa Aisha adalah orang yang sama sekali tidak akan merendahkan orang lain yang kemampuannya lebih rendah.

"Karena kalian adalah 'keluarga', jadi ia bersikap lebih lunak, tapi... benar juga, Aisha memang berubah sejak pelarian itu."

Aisha yang seperti itu, telah meninggal sekitar setengah tahun yang lalu.

Karena usia tua.

Menurut Orsted, seharusnya ia bisa hidup sedikit lebih lama, tetapi beberapa tahun terakhir ini adalah masa-masa yang penuh gejolak. Aisha juga menggunakan otaknya dan berkali-kali membawa Kekaisaran Dewa Iblis menuju kemenangan. Di tengah waktu yang terbatas, ia memperluas wilayah kekuasaan Kekaisaran Dewa Iblis dengan cara yang paling efisien.

Itu adalah pekerjaan berat siang dan malam. Ia pasti lelah.

Kematian di negara yang sedang berperang. Upacara pemakamannya memang tidak diadakan secara besar-besaran, tetapi pelayat yang datang sangat banyak.

Semua orang menangis. Bersedih tanpa pamrih.

Strateginya memang telah menyelamatkan banyak nyawa, tetapi bukan hanya itu.

Keberadaannya, perhatiannya, kebaikannya, telah menyelamatkan banyak orang. Karena itulah ia dicintai.

Dan Aisha menerima semua itu.

Bukan karena perhitungan, melainkan dari lubuk hatinya.

Jika Rudeus saat ia menulis buku ini bisa melihat pemandangan itu, ia pasti akan tersenyum puas.

"Saat itu aku memang merasa bersalah, tapi... aku senang kami telah kawin lari," gumam Ars.

Ia tahu bahwa Aisha telah berubah sejak pelarian itu.

Akan tetapi, bagaimana ia mencoba berubah, apa yang ia tuju, ia tidak pernah diberitahu.

Mungkin karena itu bukanlah sesuatu yang bisa diungkapkan dengan kata-kata, jadi ia sengaja tidak mengatakannya.

Bagaimanapun juga, Aisha pastilah telah berhasil mencapai tempat yang ia tuju pada hari itu.

"Sungguh, ini yang terbaik."

Gumam Ars. Ia merasa seolah pekerjaan rumah dan penyesalan yang telah ia pikul selama bertahun-tahun akhirnya terselesaikan.

"Lain kali, ayo kita pergi berziarah ke makam Aisha-san."

"Iya. Setelah operasi berikutnya selesai."

Sebuah operasi yang akan menjadi kunci dalam invasi ke Kerajaan Asura.

Operasi ini juga merupakan rancangan dari Aisha.

Setelah ia menyusun rencana operasi ini, ia meninggal seolah-olah tertidur.

Aku sudah menerima penjelasannya, tetapi ada beberapa bagian yang agak rumit. Sulit untuk mengatakan aku telah memahami niatnya dengan sempurna, tetapi kami akan menjalankan operasi ini sesuai dengan rencananya.

Ini adalah pekerjaan terakhir Aisha. Kami harus berhasil.

"Meskipun begitu, aku hanya akan menjaga markas."

Ars sudah tua.

Bukannya ia sudah tidak bisa bergerak, tetapi perjalanan jauh akan sangat berat baginya.

Karena itu, ia ditugaskan untuk menjaga benteng yang menjadi kunci dari operasi ini.

"Tidak, tidak, bukankah itu adalah titik paling krusial?"

"Musuh tidak akan datang, jadi aku hanya akan minum teh saja."

"Karena ini titik krusial, tidak mungkin mereka tidak datang."

"Tidak akan. Karena aku memercayai kalian berdua."

"Wah, kalau Anda berkata begitu, kami jadi repot. Iya, 'kan, Luicelia-san?"

"Aku hanya menjalankan misi yang diperintahkan. Dan yang memberi perintah adalah orang ini. Kalau orang ini bilang musuh tidak akan datang, berarti mungkin memang tidak akan datang."

Misi Henry dan Luicelia juga termasuk menyembunyikan keberadaan benteng ini.

Mencari dan melenyapkan siapa pun yang berhasil mendapatkan informasi tentang benteng ini juga adalah pekerjaan mereka.

Dan, mereka berdua berpikir bahwa mereka telah menyelesaikan pekerjaan itu dengan sempurna.

Akan tetapi, selalu ada kemungkinan "jika". Jika musuh entah bagaimana berhasil mendapatkan informasinya, mereka pasti akan menyerang. Jika benteng ini sampai jatuh, Kekaisaran Dewa Iblis bisa kehilangan separuh wilayahnya.

Itulah betapa krusialnya titik ini.

Sebegitu krusialnya, hingga Orsted tidak akan ragu menempatkan bawahannya yang paling bisa diandalkan di sana.

Ars pun mengerti akan hal itu, karena itulah ia bisa berbicara sambil tersenyum seperti ini.

Seolah ingin berkata, "Kalian tidak perlu khawatirkan barisan belakang, fokus saja pada apa yang ada di hadapan kalian."

"Aku lebih mengkhawatirkan kalian daripada diriku sendiri. Jangan sampai mati."

Sebagai ganti kekuatan tempur bernama Ars yang tidak maju ke garis depan, yang lain harus berlari ke sana kemari di medan perang.

Henry dan Luicelia pun tidak terkecuali, mereka mungkin harus melalui medan-medan mematikan.

Garis depan pertempuran Asura pastilah akan menjadi medan perang di mana siapa pun bisa mati kapan saja.

Ars memiliki perasaan yang rumit karena harus mengirim para pemuda ke tempat seperti itu.

"Siap, laksanakan. Kami akan berusaha keraaas!"

"Tenang saja. Aku tidak akan mati."

Akan tetapi, berbanding terbalik dengan kekhawatiran Ars, reaksi kedua pemuda itu sangatlah santai.

Apa mereka meremehkan kematian, atau apa mereka terlalu percaya diri...?

"Dengar, kalian berdua..."

Ars yang hendak menasihati mereka, berhenti di tengah jalan dan tersenyum pahit.

Mungkin karena ia baru saja menceritakan masa mudanya sendiri, ia merasa canggung luar biasa.

Dirinya yang dulu begitu bodoh, kini berada di pihak yang memberi bimbingan dan merasa jengkel dengan kebodohan anak muda.

Konon waktu akan menempa seseorang, tetapi sering kali orang itu sendiri tidak menyadarinya.

Ars pun juga begitu.

Ia hidup sambil terus merasa dirinya belum dewasa, dan tahu-tahu ia sudah menjadi tua.

Pasti mereka juga, sambil terus melakukan hal-hal bodoh seperti ini, suatu saat akan gagal, merenung, lalu bertumbuh menjadi dewasa, dan kemudian menjadi tua.

"Yah, baguslah kalau kalian bersemangat. Kalau begitu, pergilah. Laporan pada Orsted-sama biar aku yang urus, jadi beristirahatlah yang cukup."

Kalau begitu, yang harus ia lakukan bukanlah mengomel.

Melainkan berdiri dengan gagah di belakang mereka, memberikan rasa aman, dan membereskan kekacauan mereka saat mereka gagal.

Itu saja sudah cukup.

Karena, sama seperti dirinya dulu, selama kau masih hidup, meskipun kau gagal, hidup akan terus berlanjut.

('Jangan-jangan, Papa juga punya niat seperti itu?')

Sambil mengantar kepergian mereka berdua, Ars berpikir begitu.

Rudeus adalah seorang ayah yang tidak begitu terasa seperti ayah; jika boleh dibilang, justru Mama Merah yang lebih terasa 'kebapakan'.

Saat Ars sendiri menjadi seorang ayah, rasanya ia lebih banyak mencontoh Mama Merah.

Akan tetapi, ayahnya, Rudeus, mungkin telah bersikap pada mereka dengan pola pikir seperti itu.

"Tapi Papa, itu cara memperlakukan cucu, bukan anak..."

Ars bergumam begitu, lalu menunduk menatap Kitab Rudeus.

Rudeus Greyrat, yang kisahnya terus diceritakan bahkan setelah ia meninggal, bukanlah seorang ayah yang begitu hebat.

Akan tetapi, setelah membaca kitab ini, ia jadi mengerti bahwa ayahnya, dengan caranya sendiri, dengan kikuknya, telah berusaha sekuat tenaga untuk membesarkan mereka.

Ars juga melakukan hal yang sama pada putranya. Meskipun ia merasa telah melakukannya lebih baik dari ayahnya, ia tidak bisa bilang itu sempurna. Ada banyak sekali hal yang tidak berjalan sesuai rencana. Dan putranya, Leroy, juga sepertinya sedang kesulitan dengan putrinya sendiri.

('Hehe... saat sudah setua ini, ada hal-hal yang baru kumengerti.')

Jika ini adalah Ars di masa mudanya, ia mungkin tidak akan bisa memahami cara berpikir Rudeus.

Bahkan saat ia baru punya cucu pun, mungkin masih mustahil.

Akan tetapi, sekarang ia merasa mengerti, dan seulas senyum pun lolos dari bibir Ars.

Ia merasa senang karena menemukan kesamaan antara ayahnya yang sudah lama tak ia ingat, dengan putranya sendiri... dan lebih jauh lagi, dengan dirinya sendiri. Ia dengan lembut mengelus sampul Kitab Rudeus.

Sambil memegangnya dengan hati-hati agar tidak merusaknya, Ars pun berdiri.

Dan kemudian, untuk mengantarkan kitab ini pada Orsted, ia keluar dari ruangan dengan langkah yang masih tegap.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close