Penerjemah: Kryma
Proffreader: Kryma
Bab 2
"Kisah"
Nah, mulai dari mana, ya.
Kurasa yang paling penting adalah hubunganku dengan Aisha.
Aku dan Aisha bisa dibilang punya hubungan keponakan dan bibi.
Ibu Aisha adalah seorang pelayan di kediaman Greyrat. Kudengar, Aisha lahir setelah ibunya 'dijamah' oleh sang tuan rumah saat itu.
Meskipun 'dijamah', katanya ia kemudian diterima secara resmi sebagai istri, jadi ia tidak diperlakukan sebagai seorang selir.
Yah, lagi pula, saat aku lahir, kepala keluarga sebelumnya, Kakek Paul, sudah meninggal... istri dari kepala keluarga sebelumnya juga dalam kondisi kesadarannya terganggu, tapi bukan berarti ibu Aisha yang memegang kendali... hmm, kalau diucapkan memang jadi rumit, sih.
Singkatnya, Aisha berada di posisi yang rumit dalam sebuah keluarga yang rumit.
Saat aku kecil, ada masa di mana aku bingung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap padanya.
Aisha sudah ada di sana sebagai pelayan sejak ia lahir. Bibi, tetapi seorang pelayan. Di sisi lain, ayahku tidak memperlakukannya sebagai pelayan melainkan sebagai adiknya sendiri. Bingung, 'kan?
Yah, bagaimanapun juga, sejak aku lahir Aisha sudah ada, dan ia sudah merawatku bahkan sebelum aku sadar. Jadi rasanya ia lebih seperti seorang kakak perempuan dengan jarak usia yang jauh daripada seorang bibi atau pelayan. Atau mungkin, bisa dibilang ia seperti ibu keempat.
Ibu keempat—benar, di rumah kami ada tiga orang ibu, dan kami memanggil mereka Mama Putih, Mama Biru, dan Mama Merah. Karena warna rambut mereka memang begitu.
Para ibuku mengajariku berbagai macam hal.
Mama Putih mengajariku pengetahuan dan cara mencari teman.
Mama Biru mengajariku kebijaksanaan dan cara belajar.
Mama Merah mengajariku ilmu pedang dan arti dari melindungi seseorang.
Ketiga ibuku memperlakukan semua anak tanpa membeda-bedakan, dan kami para anak juga tidak pernah mempertanyakan kenapa kami punya tiga orang ibu. Tetapi, ini juga berbeda dari para selir yang dipelihara bangsawan Asura, dan kalau kupikir-pikir sekarang, rasanya ini juga situasi yang cukup unik.
Yah, kita kesampingkan saja itu.
Aisha juga, sama seperti para ibuku, mengajariku banyak hal.
Tidak, bukan 'mengajari', tapi lebih seperti membiarkanku mengalami hal-hal yang tidak begitu kupahami dari ajaran ketiga Mama.
Iya, kurasa 'kakak perempuan' memang lebih pas.
Tetapi, dia bukanlah kakak.
Aku punya dua orang kakak perempuan.
Satunya adalah Lucy.
Henry, dia itu nenekmu.
Dia adalah kakak yang cerdas. Ia selalu menuruti ajaran Mama, rajin pergi ke sekolah, dan bersikap sok kakak padaku, menyuruhku belajar dan berolahraga.
Satunya lagi adalah Lara. Mungkin kau belum pernah bertemu dengannya.
Dia adalah kakak yang pemalas. Ia sering melanggar ajaran Mama, sering bolos sekolah, dan sering mengajakku merencanakan hal-hal nakal layaknya teman sebaya. Aku sering sekali dimarahi karena mengikuti usulannya.
Aisha sama sekali berbeda dari kedua kakakku itu. Berbeda dari ibu, berbeda juga dari kakak, sosok yang sulit kumengerti.
Itulah Aisha.
Aisha akan melakukan apa pun jika kuminta.
Keinginan egois seperti apa pun yang kuucapkan, ia akan mengabulkannya sambil berkata, "Mau bagaimana lagi."
Terkadang ia bersikap tegas, tetapi ia tidak pernah memarahiku karena alasan yang tidak masuk akal.
Saat aku sedih, ia akan memelukku dengan lembut dan memberitahuku apa yang harus kulakukan selanjutnya.
Aku ingat, sesedih apa pun perasaanku, jika Aisha yang memelukku, perasaan itu akan langsung sirna.
Saat aku lebih kecil, ada kalanya aku merasa ia terlalu ikut campur dan menyebalkan.
Tetapi, Aisha selalu benar.
Bahkan saat aku memberontak dan melakukan hal yang berlawanan dari perintah Aisha, hampir semuanya berakhir dengan kegagalan.
Dan pada akhirnya, Aisha akan datang dan berkata begini, "Nah, kan? Sudah mengerti, 'kan?"
Setiap kali itu terjadi, aku akan mengangguk sambil memanyunkan bibir.
Saat aku kecil, aku samar-samar berpikir bahwa mungkin aku akan terus hidup seperti ini, dilindungi oleh Aisha dan menuruti semua perkataannya. Aku menganggap itu adalah hal yang wajar.
Kalau kupikir-pikir sekarang, mungkin itu adalah semacam cuci otak. Didikan Aisha telah merenggut kemampuanku untuk berpikir dan menanamkan persepsi bahwa jika aku menuruti perkataannya, semuanya akan berjalan dengan baik.
Entah Aisha memang berniat begitu atau tidak, itu adalah misteri...
Tidak, kurasa tidak. Dia memang orang yang secara alami akan melakukan hal seperti itu.
Itulah salah satu dari sedikit, namun fatal, kekurangan Aisha.
Nah, saat aku merayakan ulang tahunku yang kesepuluh, aku menerima berbagai macam hadiah dari keluarga.
Salah satunya adalah sebilah pedang.
Pedang sungguhan.
Mama Merah berkata, "Lindungi orang yang berharga bagimu dengan ini."
Saat itu, yang terlintas di benakku adalah wajah Aisha. Bukan hanya terlintas, aku secara refleks menatap ke arahnya. Aisha, seolah itu adalah hal yang wajar, sedang menatapku, dan saat mata kami bertemu, ia tersenyum cerah.
Aku ingat, entah kenapa aku merasa malu dan memalingkan wajah.
Mungkin saat itulah aku menyadari cintaku pada Aisha.
Tetapi, saat itu aku tidak mengatakannya.
Karena entah kenapa rasanya canggung dan malu.
Atau mungkin, itu juga dipengaruhi oleh kakakku Lara yang masih kekanak-kanakan, dan Lucy yang baru saja mulai punya hubungan seperti itu dengan teman masa kecilnya, Clive.
Mungkin aku berpikir bahwa hal-hal seperti itu masih jauh untukku.
Meskipun begitu, ia adalah lawan jenis yang cerdas, cantik, mencurahiku dengan cinta tanpa pamrih, dan sedikit berbeda dari seorang ibu.
Terlebih lagi, sepertinya saat itu aku sudah samar-samar menyadarinya, tapi sepertinya ia punya perasaan khusus padaku.
Kalau sudah begitu, bukankah mustahil untuk tidak tertarik padanya?
Mungkin saja Aisha sendiri yang sengaja membuat situasinya menjadi seperti itu... ya, kalaupun begitu, aku tetap menyukainya.
Itu adalah cinta pertamaku. Ini, tidak salah lagi, adalah kehendakku sendiri.
Lagipula, permainan cinta itu memang seperti itu, 'kan?
Hanya saja, setelah aku menyadarinya, semuanya berjalan dengan cepat.
Ah, aku ingat. Itu terjadi, ya, tidak lama setelah ulang tahunku. Saat aku berumur sepuluh tahun. Waktu itu, aku mendengar sesuatu dari ayahku dan menjadi sangat sensitif.
Di saat seperti itulah, aku menerima sebuah buku dari Orsted-sama, dan karena ditulis dengan huruf yang tidak bisa kubaca, aku meminta Aisha untuk membacakannya.
Kalau tidak salah, ceritanya seperti ini...
★ ★ ★
Dahulu kala, di suatu tempat, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Ars.
Sejak kecil ia memiliki tekad yang sangat kuat dan juga bertenaga.
Saat Ars mulai memiliki kesadaran diri, kedua orang tuanya telah tiada.
Desa tempat Ars tinggal jauh terpencil dari kota, dan di antara rumah-rumah di desa itu, rumah Ars adalah yang paling miskin.
Tetapi, Ars bahagia.
Karena Ars punya seorang kakak laki-laki yang cerdas dan bisa diandalkan, dan para penduduk desa sangat baik pada mereka yang tidak punya orang tua.
Ars sangat bersyukur akan hal itu dan bekerja dengan sangat giat.
Untungnya, Ars bertenaga, dan ada banyak sekali pekerjaan yang bisa ia lakukan.
Selain itu, ia juga memiliki seorang gadis yang ia cintai. Gadis itu sakit-sakitan dan lebih sering berbaring di tempat tidur. Konon, ia tidak akan hidup lama. Setiap hari setelah selesai bekerja, Ars akan pergi ke jendela kamarnya, mengobrol sebentar, lalu pulang.
Bagi Ars, itu adalah waktu yang sangat berharga dan tak tergantikan.
Gadis itu tidak akan hidup lama. Tetapi tidak ada yang bisa Ars lakukan.
Gadis itu pun sepertinya tahu bahwa hidupnya tidak akan lama lagi.
Ia tidak pernah meminta yang aneh-aneh dan sepertinya hanya menantikan saat-saat mengobrol dengan Ars.
Ars berpikir, "Mungkin aku akan terus menjalani hari-hari seperti ini sampai ia meninggal."
Akan tetapi, pada suatu hari.
Gadis itu, dari atas tempat tidurnya, menatap ke langit dan berkata. Langit yang aneh, berwarna keunguan.
"Hei, Ars, apa kau tahu? Katanya sebelum Raja Iblis muncul, langit itu warnanya biru indah, lho."
Ars juga tahu tentang hal itu.
Tentang Raja Iblis yang telah hidup sejak zaman dahulu kala, jauh sebelum Ars lahir.
Tentang bagaimana suatu hari Raja Iblis membentuk pasukan untuk menguasai dunia manusia dan menyerang mereka.
Dan tentang bagaimana saat Raja Iblis itu telah menguasai sekitar separuh dunia, ia mengubah warna langit hanya karena iseng.
"Sebelum aku mati, walau hanya sekali, aku ingin melihat langit biru yang indah."
Begitulah katanya.
Itu adalah "permintaan egois" pertama yang Ars dengar darinya sejak mereka bertemu.
Tidak, mungkin itu bahkan tidak bisa disebut sebagai permintaan egois. Mungkin itu hanyalah sebuah mimpi yang mustahil terwujud yang tanpa sengaja terucap.
Ars juga mengerti. Ini hanyalah obrolan biasa. Obrolan santai yang tidak istimewa.
Ia tahu bahwa gadis itu sama sekali tidak sedang memintanya.
Akan tetapi, wajahnya saat mengatakan itu tampak begitu rapuh. Wajah yang sudah pasrah bahwa keinginannya tidak akan pernah terwujud.
Karena itu, Ars pun bertekad.
Aku akan memperlihatkan langit biru padanya.
Akan tetapi, meskipun Ars punya tenaga, ia hanyalah seorang penduduk desa biasa.
Ia tidak punya pengetahuan, tidak juga punya kebijaksanaan.
Ia sama sekali tidak tahu bagaimana caranya membuat langit menjadi biru.
"Kak, aku ingin mengembalikan warna langit menjadi biru. Bagaimana caranya, ya?"
Maka dari itu, ia memutuskan untuk bertanya pada kakaknya. Kakaknya yang usianya terpaut jauh itu, saat orang tua mereka masih hidup, pernah disekolahkan di sekolah yang kecil namun layak.
Jika ada masalah, ia hanya perlu bertanya padanya.
"Hmm..."
Sang kakak tampak kebingungan mendengar pertanyaan Ars.
Bagi kakaknya pun, itu adalah pertanyaan yang sulit.
Setelah berpikir panjang, sang kakak pun berkata.
"Karena Raja Iblis yang membuat langit menjadi ungu, kalau Raja Iblis dikalahkan, langitnya pasti akan kembali seperti semula."
Mendengar itu, Ars bertekad untuk pergi ke tempat Raja Iblis dan langsung memulai persiapan perjalanannya.
Melihat adiknya yang seperti itu, sang kakak dengan panik berkata.
"Adikku. Raja Iblis itu adalah makhluk yang sangat menakutkan. Hanya dengan mendekat saja, kau pasti akan dicabik-cabik dengan mudah."
"Tapi aku akan pergi."
Mendengar kata-katanya yang tanpa ragu, sang kakak pun mengalah.
Karena jika sudah begini, Ars tidak akan mau mendengarkan perkataan orang lain.
"Tapi, kau tidak akan bisa sampai ke tempat Raja Iblis jika hanya berjalan membabi buta. Pertama-tama, pergilah ke kota terbesar di negeri ini, akan kugambarkan petanya. Bawa juga makanan dan sepatu baru untuk perjalanan."
Sang kakak menyiapkan segala yang ia bisa demi adiknya.
Mengingat adiknya yang begitu lurus hati, ia pasti tidak akan menyerah. Tapi Raja Iblis itu sangat kuat dan dahsyat. Ia tidak akan bisa kembali hidup-hidup. Ini adalah perjalanan menuju kematian. Tapi setidaknya, agar ia bisa bertahan hidup selama mungkin...
Dan begitulah, Ars memulai perjalanannya.
Membawa peta, mengenakan sepatu baru, dengan belati peninggalan ayahnya terselip di pinggang...
Dan meninggalkan orang yang ia cintai di desanya—.
Melewati padang dan gunung, Ars tiba di kota terbesar di negerinya.
Istana besar yang baru pertama kali ia lihat, kerumunan orang yang baru pertama kali ia lihat.
Melihat semua itu, Ars berpikir.
Benar, jika aku bertanya di sini, pasti ada yang tahu.
"Kau mau mengalahkan Raja Iblis? Kalau begitu pergi saja ke istana. Saat ini, siapa pun pasti akan membantumu."
Seseorang berkata begitu.
Ars menuruti kata-kata itu dan berjalan menuju istana.
Sebuah bangunan yang sangat, sangat besar yang belum pernah Ars lihat sebelumnya.
"Aku ingin mengalahkan Raja Iblis."
Saat ia berkata begitu di pintu masuk, Ars diizinkan untuk beraudiensi dengan Raja.
Raja duduk di singgasana berwarna kusam dan menyapa setiap orang yang datang. Akan tetapi, saat giliran Ars tiba, ia sangat terkejut.
"Astaga, kau 'kan masih anak-anak."
"Meskipun aku anak-anak, aku ingin mengalahkan Raja Iblis. Tolong beritahu di mana tempatnya."
"Apa yang bisa dilakukan anak sepertimu. Sudahlah, pulang saja sana."
Seorang ksatria di sebelahnya pun ikut berkata.
"Bertarung adalah tugas orang dewasa. Kami ada di sini untuk melindungi anak-anak sepertimu."
Selain mereka, semua orang dewasa yang ada di sana mengatakan hal yang sama.
Kau masih anak-anak. Kau tidak seharusnya bertarung. Pulanglah.
Sekeras apa pun Ars berteriak, "Aku ingin mengalahkan Raja Iblis!", ia tidak dihiraukan.
Akan tetapi, hanya seorang peramal yang berkata begini.
"Temuilah lima orang bijak. Mereka pasti akan membantumu. Tapi, jangan sekali-kali kau menantang Raja Iblis sebelum bertemu dengan kelimanya."
Ars menuruti kata-kata itu dan memulai perjalanannya untuk mencari kelima orang bijak tersebut.
Sebuah perjalanan yang sangat, sangat panjang.
Ars melanjutkan perjalanannya.
Ia tidak punya petunjuk di mana kelima orang bijak itu berada.
Akan tetapi, ia percaya dari lubuk hatinya bahwa jika ia mencari, ia pasti akan menemukan mereka.
Ia berjalan, setiap kali bertemu orang ia akan bertanya tentang para orang bijak, lalu berjalan lagi.
Dan akhirnya, ia menemukannya.
Setelah melewati padang rumput dan menyeberangi sebuah sungai besar, di dalam sebuah gua, Ars menemukan orang bijak yang pertama.
Seorang bijak dengan rambut berwarna perak kehijauan dan mata yang sendu.
Di sekelilingnya, tersebar beberapa perisai yang memancarkan warna yang sangat mirip dengan rambutnya.
"Selamat siang, orang bijak."
"Selamat siang, anak manusia."
"Namaku Ars."
"Aku Shirado. Orang bijak kedua. Aku hidup hanya demi keyakinan."
"Sebenarnya, aku harus mengalahkan Raja Iblis. Maukah kau membantuku?"
"Maaf, tapi aku sangat sibuk. Sangat, sangat sibuk."
"Apa yang sedang kau lakukan?"
"Aku sedang membuat perisai untuk anak-anak di masa depan yang jauh. Karena percikan api bencana pasti akan menimpa anak-anak di masa depan nanti."
Setelah berkata begitu, sang orang bijak menatap Ars dan bertanya.
"Biar aku bertanya balik, anak manusia. Kenapa kau mau mengalahkan Raja Iblis?"
"Aku ingin melihat langit biru. Demi orang yang kusayangi."
"Oh, kau juga punya keyakinan, ya. Kalau begitu akan kupinjamkan perisaiku. Ini pasti akan melindungimu."
"Terima kasih, wahai orang bijak."
Setelah menerima perisai dari sang orang bijak, Ars melanjutkan perjalanannya.
Seperti biasa, ia tidak punya petunjuk.
Akan tetapi, ia percaya dari lubuk hatinya bahwa jika ia mencari, ia pasti akan menemukan mereka.
Ia berjalan, setiap kali bertemu orang ia akan bertanya tentang para orang bijak, lalu berjalan lagi.
Dan akhirnya, ia menemukannya.
Orang bijak kedua berada di ujung utara. Seorang bijak dengan rambut berwarna perak keputihan dan mata yang tajam.
Di dalam hutan bersalju yang sangat, sangat dingin, ia sedang membuat sebuah kapal yang sangat, sangat besar.
"Selamat siang, orang bijak."
"Selamat siang, anak manusia."
"Namaku Ars."
"Namaku Dora. Orang bijak ketiga. Aku hidup hanya demi kesetiaan."
"Sebenarnya, aku harus mengalahkan Raja Iblis. Maukah kau membantuku?"
"Maaf, tapi aku sangat sibuk. Sangat, sangat sibuk."
"Apa yang sedang kau lakukan?"
"Aku sedang membuat kapal untuk anak-anak di masa depan yang jauh. Karena anak-anak di masa depan nanti pasti harus pergi ke tempat yang jauh."
Setelah berkata begitu, sang orang bijak menatap Ars dan bertanya.
"Biar aku bertanya balik, anak manusia. Kenapa kau mau mengalahkan Raja Iblis?"
"Aku ingin melihat langit biru. Demi orang yang kusayangi."
"Oh, kau juga punya kesetiaan, ya. Kalau begitu akan kupinjamkan kapalku. Karena Raja Iblis berada di tempat yang jauh."
Setelah menerima kapal dari sang orang bijak, Ars melanjutkan perjalanannya.
Ia tidak punya petunjuk.
Akan tetapi, ia percaya dari lubuk hatinya bahwa jika ia mencari, ia pasti akan menemukan mereka.
Ia berjalan, terkadang menggunakan kapal, setiap kali bertemu orang ia akan bertanya tentang para orang bijak, lalu berjalan lagi.
Dan akhirnya, ia menemukannya.
Orang bijak ketiga berada jauh di dalam pegunungan.
Seorang bijak dengan rambut berwarna perak kehitaman dan mata yang dalam.
Ia memegang sebuah palu besar dan sedang menempa baja di hadapan landasan tempa.
"Selamat siang, orang bijak."
"Selamat siang, anak manusia."
"Namaku Ars."
"Namaku Chaos. Orang bijak keempat. Aku hidup hanya demi pencarian."
"Sebenarnya, aku harus mengalahkan Raja Iblis. Maukah kau membantuku?"
"Maaf, tapi aku sangat sibuk. Sangat, sangat sibuk."
"Apa yang sedang kau lakukan?"
"Aku sedang membuat pedang untuk anak-anak di masa depan yang jauh. Karena aku ingin anak-anak di masa depan nanti bisa bertahan hidup."
Setelah berkata begitu, sang orang bijak menatap Ars dan bertanya.
"Biar aku bertanya balik, anak manusia. Kenapa kau mau mengalahkan Raja Iblis?"
"Aku ingin melihat langit biru. Demi orang yang kusayangi."
"Oh, kau juga sedang dalam pencarian, ya. Kalau begitu akan kupinjamkan pedangku. Dengan ini, kau pasti bisa menebas Raja Iblis."
Setelah menerima pedang dari sang orang bijak, Ars melanjutkan perjalanannya.
Ia tidak punya petunjuk.
Akan tetapi, ia percaya dari lubuk hatinya bahwa jika ia mencari, ia pasti akan menemukan mereka.
Ia berjalan, terkadang mengalahkan monster dengan pedangnya, setiap kali bertemu orang ia akan bertanya tentang para orang bijak, lalu berjalan lagi.
Dan akhirnya, ia menemukannya.
Orang bijak keempat berada di sebuah pulau di tengah lautan.
Seorang bijak dengan rambut berwarna perak kebiruan dan mata yang kuat.
Ia sedang mengolah selembar kulit yang sangat, sangat besar dan membuat sebuah gelang.
"Selamat siang, orang bijak."
"Selamat siang, anak manusia."
"Namaku Ars."
"Namaku Maxwell. Orang bijak kelima. Aku hidup hanya demi cinta."
"Sebenarnya, aku harus mengalahkan Raja Iblis. Maukah kau membantuku?"
"Maaf, tapi aku sangat sibuk. Sangat, sangat sibuk."
"Apa yang sedang kau lakukan?"
"Aku sedang membuat gelang penangkal kejahatan untuk anak-anak di masa depan yang jauh. Karena makhluk-makhluk jahat pasti akan mendekati anak-anak di masa depan nanti."
Setelah berkata begitu, sang orang bijak menatap Ars dan bertanya.
"Biar aku bertanya balik, anak manusia. Kenapa kau mau mengalahkan Raja Iblis?"
"Aku ingin melihat langit biru. Demi orang yang kusayangi."
"Oh, kau juga mengenal cinta, ya. Kalau begitu akan kupinjamkan gelangku yang bersinar. Gunakan ini untuk mengusir kejahatan."
Ia telah bertemu dengan empat orang bijak.
Ars pun melanjutkan perjalanannya.
Akan tetapi, orang bijak yang terakhir tidak bisa ditemukan di mana pun. Tidak ada yang tahu tempatnya, tidak ada yang tahu namanya.
Perlahan, Ars mulai berpikir.
Mungkin, orang bijak yang terakhir memang tidak ada. Orang bijak pertama yang ia temui memperkenalkan diri sebagai orang bijak kedua. Kalau begitu, mungkin ia sudah tidak akan bisa lagi bertemu dengan orang bijak yang pertama.
Akan tetapi, ia tetap mencari.
Ars mencari sang orang bijak dengan sekuat tenaga.
Tetap saja ia tidak ditemukan. Ia tidak bisa bertemu dengan orang bijak yang terakhir.
Tetapi, di tangan Ars, ada sebuah pedang, sebuah perisai, dan sebuah gelang.
Dan di kakinya, ada sebuah kapal untuk pergi ke tempat Raja Iblis.
Melihat semua itu, Ars berpikir.
"Dengan semua ini, mungkin aku bisa mengalahkan Raja Iblis!"
Ah, betapa cerobohnya.
Ars pergi menuju tempat Raja Iblis tanpa bertemu dengan kelima orang bijak.
Benar, ia telah melupakan kata-kata yang pertama kali diucapkan oleh sang peramal.
Kediaman Raja Iblis adalah tempat yang sangat menakutkan.
Dikelilingi oleh rawa beracun, dan tidak bisa didekati dengan cara biasa.
Kalaupun berhasil melewati rawa itu, di sana bersemayam monster-monster raksasa dan buas yang belum pernah dilihat siapa pun, serta para iblis yang akan memikat manusia ke jalan yang sesat.
Tetapi berkat kapal yang ia dapatkan, rawa beracun bisa ia lewati dengan mudah.
Meskipun monster menyerangnya, ia punya pedang dan perisai.
Perisainya sangat kokoh, cakar maupun taring monster tidak akan bisa mencapai Ars.
Pedangnya sangat tajam, hanya dengan sedikit tenaga dari Ars, monster akan terbelah menjadi dua.
Sesekali, para iblis akan membisikinya, "Dengan pedang, perisai, dan kapal itu, kau pasti bisa menjadi raja manusia," tetapi Ars tidak bisa mendengarnya.
Gelang penangkal kejahatan melindunginya dari bisikan para iblis.
Dan begitulah, Ars akhirnya tiba di hadapan Raja Iblis.
Raja Iblis tinggal di sebuah istana hitam yang menakutkan, yang bahkan lebih besar dari istana yang dihuni oleh ras manusia.
"FWAHAHAHA! Beraninya kau datang sampai sejauh ini, anak manusia! Ada urusan apa gerangan!?"
Raja Iblis adalah monster mengerikan dengan tubuh yang sangat besar, mulut yang besar, dan rambut berwarna ungu.
"Aku ingin kau mengembalikan warna langit seperti semula. Demi orang yang kusayangi."
"Itu tidak akan bisa! Karena daku* sangat menyukai langit ungu ini! FWAHAHAHA!"
(* TL Note - Dalam teks asli, Raja Iblis menggunakan kata ganti orang pertama 妾 (warawa), yang merupakan kata ganti kuno yang biasanya digunakan oleh wanita bangsawan atau berstatus tinggi, yang mengindikasikan bahwa Raja Iblis ini adalah seorang perempuan.)
Raja Iblis tidak mau mendengarkan.
Raja Iblis tidak mengerti arti dari kata-kata 'orang yang kusayangi'.
"Kalau begitu, akan kukalahkan kau dan kukembalikan warna langit seperti semula!"
Ars menantang Raja Iblis untuk bertarung.
Ars, dengan pedang, perisai, dan gelangnya, menerjang ke arah Raja Iblis dengan penuh percaya diri.
Akan tetapi, betapa gesitnya sang Raja Iblis!
Dengan gerakan seolah bisa melihat masa depan, ia menghindari pedang Ars.
Sekeras apa pun Ars mengayunkan pedangnya, ia bahkan tidak bisa menyerempetnya.
"FWAHAHAHA, tidak kena! Tidak kena! Tidak tergores sedikit pun! Sekarang giliranku!"
Sambil tertawa, Raja Iblis menyerang Ars.
Ars menahan tinju besar Raja Iblis dengan perisainya.
"Aaargh!"
Akan tetapi, betapa malangnya.
Detik berikutnya, perisai Ars dicengkeram, ia diputar-putar, lalu dilemparkan.
Ars, yang terbanting keras ke dinding, gemetar ketakutan.
Baik pedang maupun perisai yang ia dapat dari para orang bijak tidak mempan melawan Raja Iblis.
"FWAHAHAHA! Akan kuremukkan kau dan kumakan mulai dari kepalamu! Akan kunyah sampai remuk!"
Raja Iblis yang perkasa semakin mendekat.
Tidak tahan lagi, Ars pun melarikan diri dari tempat itu.
Karena bahkan Ars yang memiliki tekad sekuat baja sekalipun, di hadapan rasa takut pertama dalam hidupnya, ia tidak bisa lagi bertarung.
Pedang dan perisainya ia lempar, gelangnya pun terlepas entah kapan... saat ia berhasil lari dari Raja Iblis, Ars sudah tidak memiliki apa-apa.
Ars berkelana di tanah milik Raja Iblis.
Hawa beracun yang keluar dari rawa perlahan-lahan menggerogoti tubuh Ars.
Akan tetapi, yang menggerogoti hati Ars adalah racun yang berbeda.
"Aku telah melarikan diri. Padahal orang yang kusayangi sedang menunggu."
Nama racun itu adalah 'Keputusasaan'.
Ars menjadi depresi dan terus berjalan dengan kepala tertunduk.
Bahkan dengan pedang dan perisai pun, aku tidak bisa menang melawan Raja Iblis.
Air mata menetes dari matanya, membuat noda-noda kecil di tanah.
Karena gelangnya telah hilang, sesosok iblis jahat yang memakan kesedihan pun mendekat.
Sambil menjilati air mata Ars yang mengalir, sang iblis berbisik di telinganya.
"Halo, pahlawan kecil. Ada apa? Air matamu yang lezat itu jatuh, lho."
"Aku tidak bisa menang melawan Raja Iblis."
"Tentu saja tidak bisa, Raja Iblis itu 'kan sangat kuat. Lagi pula, kau hanyalah seorang anak kecil."
"Aku ingin mengembalikan warna langit seperti semula."
"Kau tidak akan pernah bisa mengembalikan warna langit. Karena kau hanyalah anak kecil yang tak berdaya."
"Lalu, apa yang harus kulakukan?"
"Tidak ada yang bisa kau lakukan. Kau tidak akan bisa menjadi besar, kau juga tidak akan mendapatkan kekuatan. Tidak ada yang bisa kau lakukan."
Ars, yang menjadi pesimis karena termakan oleh bisikan sang iblis, berjalan menuju tepi rawa beracun.
Ia berpikir untuk menjatuhkan dirinya saja ke dalam rawa itu.
Jika ia menjatuhkan diri ke rawa beracun, tubuh kecil Ars pasti akan meleleh dan lenyap dalam sekejap.
Tetapi Ars sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Ars memejamkan matanya dan hendak menjatuhkan dirinya ke dalam rawa beracun.
Akan tetapi, sesaat sebelumnya, ia melihat sebuah rumah aneh di tepi rawa.
Sebuah rumah yang ganjil, seperti cangkang kura-kura yang diletakkan di atas sebuah lubang.
"Apa itu, rumah itu. Hei iblis, apa kau tahu sesuatu?"
Pada saat itu, sang iblis telah lenyap entah ke mana.
Meskipun ia melihat ke sekeliling, ia sudah tidak ada lagi. Saat ia sadar, sekelilingnya telah dipenuhi oleh aura suci.
Aura suci itu, sepertinya, berasal dari rumah tersebut.
Kalau begitu, ini pasti rumah orang suci.
Berpikir begitu, Ars dengan takut-takut melangkah masuk ke dalam rumah.
"Permisi."
"Halo, anak manusia. Ada apa? Ini bukanlah tempat yang seharusnya didatangi oleh anak manusia, lho."
Yang ada di sana adalah seseorang dengan rambut berwarna perak kemerahan dan mata yang lembut.
"Namaku Ars. Aku ingin mengembalikan warna langit, tapi aku sudah kalah dari Raja Iblis."
"Aku adalah ia yang telah membuang nama. Ia yang tak punya tempat tinggal tetap. Sang orang bijak pertama sekaligus terakhir. Aku hidup hanya demi sebuah misi."
Mendengar kata-kata itu, Ars teringat.
Ia harus bertemu dengan kelima orang bijak.
Ia tidak seharusnya melawan Raja Iblis sebelum bertemu dengan kelima orang bijak.
Saat ia mengingatnya, entah kenapa keberanian muncul di dalam dirinya.
Ini bukanlah situasi tanpa harapan. Karena ia hanya telah melakukan sebuah kesalahan.
"Namaku Ars. Wahai orang bijak pertama sekaligus terakhir. Maukah kau meminjamkan kekuatanmu untuk mengalahkan Raja Iblis?"
"Aku sangat sibuk. Sangat, sangat sibuk."
"Apa yang sedang kau lakukan?"
"Aku sedang mengumpulkan kekuatan untuk anak-anak di masa depan yang jauh. Karena anak-anak di masa depan nanti punya musuh yang harus mereka kalahkan."
Setelah berkata begitu, sang orang bijak menatap Ars dan bertanya.
"Biar aku bertanya balik, anak manusia. Kenapa kau mau mengalahkan Raja Iblis?"
"Aku ingin melihat langit biru. Demi orang yang kusayangi."
"Oh, kau juga punya sebuah misi, ya. Akan tetapi, apa keinginanmu itu benar-benar demi orang yang kau sayangi?"
"Tentu saja. Dia ingin melihat langit biru."
"Begitu, ya. Kalau begitu, akan kuberikan sedikit dari kekuatanku. Kalahkan Raja Iblis dengan itu."
Dan begitulah, Ars menerima kekuatan dari sang orang bijak pertama sekaligus terakhir.
Dari sudut pandang sang orang bijak itu hanyalah sedikit, tetapi itu adalah kekuatan yang luar biasa.
Dengan kekuatan itu, Ars mengetahui cara menggunakan pedang dan perisai yang sesungguhnya.
Ia mengetahui cara membuat gelangnya bersinar lebih terang.
Ia mengetahui cara menerbangkan kapalnya ke langit.
Ars menaiki kapal terbang dan menuju ke istana Raja Iblis.
Saat ia memungut gelang yang terjatuh di depan istana, gelang itu memancarkan cahaya yang cemerlang.
Seolah ditarik oleh cahaya itu, pedang dan perisainya pun kembali padanya.
"FWAHAHAHA! Anak itu kembali lagi! Kali ini kau akan kumakan! Daku sangat suka makanan lezat!"
Pertarungan kedua dengan Raja Iblis pun dimulai.
Akan tetapi, Ars telah mendapatkan kekuatan.
Saat ia mengayunkan pedangnya, ia menebas Raja Iblis; saat ia mengangkat perisainya, ia mementalkan Raja Iblis.
Bagi Ars yang telah mendapatkan kekuatan luar biasa, Raja Iblis bukan lagi lawannya.
"Ugyaaah!"
Akhirnya, Raja Iblis tertusuk oleh pedang Ars dan tewas sambil mengeluarkan jeritan kematian.
Lalu, dari tubuh Raja Iblis, terpancar cahaya tujuh warna.
Seolah merespons cahaya itu, warna langit kembali pulih dalam sekejap mata.
Saat Ars menengadah, di sana terbentang langit yang biru jernih!
Sesuatu yang sangat dirindukan oleh Ars dan juga oleh orang yang ia sayangi.
Ars berpikir ia harus segera kembali ke tempat orang yang ia sayangi.
Tetapi, ia tidak bisa langsung kembali. Karena ia harus mengembalikan barang-barang yang ia pinjam.
Pertama, ia pergi ke tempat orang bijak pertama sekaligus terakhir.
Ia mengembalikan kekuatannya.
Berikutnya, ia pergi ke tempat orang bijak kelima.
Ia mengembalikan gelangnya.
Berikutnya, ia pergi ke tempat orang bijak keempat.
Ia mengembalikan pedangnya.
Berikutnya, ia pergi ke tempat orang bijak ketiga.
Ia mengembalikan kapal terbangnya.
Berikutnya, ia pergi ke tempat orang bijak kedua.
Ia mengembalikan perisainya.
Ars mengembalikan semua barang yang ia pinjam dan kembali ke kota besar. Kota ras manusia.
Sesampainya di sana, sebuah pesta besar sedang diadakan di kota.
Melihat warna langit yang telah kembali, para penduduk tahu bahwa Raja Iblis telah dikalahkan.
Saat ia tiba di istana, Raja mengangkat kedua tangannya dengan gembira.
"Oh, Pahlawan Ars! Syukurlah kau telah kembali! Syukurlah kau telah mengalahkan Raja Iblis! Akan kuberikan negeri ini padamu, dan juga putriku tercinta, maukah kau menjadi raja kami?"
Mendengar permohonan sang Raja, Ars menolaknya.
Karena orang yang ia sayangi sedang menunggunya, katanya.
Akan tetapi, ia mengucapkan terima kasih pada sang peramal dan menghabiskan satu hari saja di kota itu.
Setelah itu, akhirnya Ars kembali ke desanya.
Waktu yang sangat lama telah berlalu sejak ia memulai perjalanannya.
Tetapi ia telah berhasil mengembalikan langit biru. Ia akan menunjukkannya pada orang yang ia sayangi. Ia akan melihat senyumannya.
Namun, saat ia kembali ke desa, kakaknya sedang tertunduk dengan wajah sedih.
"Kak, angkat wajahmu, lihatlah langit biru. Aku yang mengembalikannya setelah mengalahkan Raja Iblis."
Meskipun begitu, wajah sedih sang kakak tidak berubah.
"Aku juga akan menunjukkannya pada orang yang kusayangi. Dia pasti akan senang jika melihat langit biru."
Saat ia berkata begitu, wajah sang kakak menjadi semakin sedih.
Di sanalah, akhirnya Ars bertanya.
"Kak. Kenapa wajahmu sedih sekali?"
"Adikku. Itu karena, ah... adikku. Dengar, dengarkan baik-baik. Itu karena, dia telah meninggal."
"Siapa yang meninggal?"
"Orang yang kau sayangi. Pagi tadi, ia telah meninggal."
Mendengar itu, Ars tersenyum.
Meskipun ia merasa sepi, meskipun ia merasa sedih, ia tersenyum.
"Kalau pagi tadi, tidak apa-apa. Karena ia pasti sudah sempat melihat langit biru. Saat ia meninggal, ia tersenyum, 'kan? Ia tersenyum melihat langit yang indah, 'kan?"
"Tidak, ia menangis. Ia menangis karena tidak bisa bertemu denganmu. Bahkan saat langit berubah menjadi biru yang indah, ia tertunduk sambil berkata ingin bertemu denganmu lebih dari apa pun, dan ia terus menangis."
Mendengar itu, Ars terperangah.
Ars merasa ia telah mengabulkan keinginan orang yang ia sayangi.
Akan tetapi, ia salah.
Keinginan orang yang ia sayangi adalah untuk bisa bersama dengan Ars.
Untuk bisa menghargai sisa waktunya yang singkat hingga ajal menjemput. Itulah, keinginannya yang sesungguhnya.
"Aah..."
Di hadapan kakaknya, Ars jatuh tersungkur.
Dari matanya yang kehilangan cahaya, seuntai air mata menetes.
Sejak saat itu, Ars terus-menerus menangis.
Sudah tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Karena ia telah melakukan kesalahan pada hal yang paling berharga.
Ia terus, terus... menangis hingga akhir hayatnya—.
★ ★ ★
"Nah, tamat."
Setelah selesai membaca cerita, Aisha menutup buku itu dengan 'blap'.
"Hm, ceritanya agak kelam, ya, di bagian akhir. Pesan moralnya mungkin, kebahagiaan itu ada di tempat-tempat yang lebih dekat dengan kita. Begitu, kali? Tapi, aku lebih suka akhir yang bahagia, sih~."
Aku duduk di pangkuannya sambil menatap lekat-lekat sampul buku itu.
"Mungkin, kalau dilihat dari eranya, ini sekitar masa Perang Besar Manusia-Iblis Pertama... jadi ini adaptasi dari legenda Pahlawan Ars, ya? Agak berbeda dari yang kutahu, sih. Teman-temannya tidak muncul, orang bijaknya juga kelebihan satu... pesan moralnya juga agak aneh. Ditujukan untuk siapa, ya? Tapi, kalau namanya adaptasi ya mungkin begini."
Sambil berkata begitu, Aisha memutar-mutar buku itu di tangannya.
Buku yang sudah tua. Mungkin lebih tua dari semua buku yang ada di kediaman Greyrat.
Sampulnya terbuat dari kulit putih, tetapi Aisha pun sepertinya tidak tahu itu kulit apa.
Hanya saja warnanya terasa familier, dan meskipun sudah bertahun-tahun, tidak ada satu retakan pun. Padahal kertas di dalamnya sudah cukup lapuk.
Jika buku ini ditulis tepat setelah Perang Besar Manusia-Iblis Pertama, maka kertasnya pun bisa dibilang sangat kuat.
Judulnya adalah 'Kisah Ars'. Polos dan tidak berbelit-belit.
"Ars-kun yang minta dibacakan, jadi kubacakan, tapi kau dapat buku ini dari mana? Ini ditulis dalam bahasa Dewa Perang, lho."
"Dari tempat Orsted-sama."
"Eh? Jangan-jangan kau ambil tanpa izin? Tidak boleh begitu, lho."
"B-Bukan! Waktu aku ikut Papa main ke sana, ada buku ini di rak buku, entah kenapa aku tertarik dan kubuka-buka, lalu Orsted-sama bilang 'Bawa saja pulang'..."
Wajahku pasti muram saat itu.
Aku bahkan tidak ingat apa yang kupikirkan... tapi aku ingat aku sangat terkejut.
Cerita itu berakhir dengan akhir yang menyedihkan tanpa harapan. Mungkin karena tokoh utamanya punya nama yang sama denganku, Aisha pun membacakannya dengan penuh penghayatan, dan karena itu aku jadi terlalu terbawa perasaan.
"Tenaaang saja~. Ars-kun pasti bisa bahagia, kok~."
Aisha memelukku dan mengelus-elus kepalaku dengan gemas.
Biasanya saat suasana hatiku sedang buruk, cara ini selalu berhasil membuatnya kembali baik. Tapi, itu cerita saat aku masih kecil. Sejak ulang tahunku yang kesepuluh, aku perlahan-lahan sudah tidak bisa lagi dibujuk dengan mudah.
"Hei, Kak Aisha."
"Apa?"
"Ars di cerita ini, bagaimana caranya supaya dia bisa bahagia?"
"Eh? Tentu saja... umm, kalaupun dia tetap bersama 'gadis itu', dia tetap akan mati, jadi daripada Raja Iblis, lebih baik dia meminta pada orang bijak cara untuk menolong 'gadis itu', lalu mereka menikah, dan berakhir bahagia, mungkin. Kalau Pahlawan Ars tidak mengalahkan Raja Iblis... apa itu Kishirika-sama, ya. Kalau Kishirika-sama tidak dikalahkan dunia memang tidak akan damai, tapi setidaknya selama mereka berdua masih hidup, ras manusia tidak akan musnah juga, 'kan."
Ucap Aisha sambil berpikir keras.
Sepertinya Aisha berpikir itu adalah jawaban yang sempurna.
"..."
Akan tetapi, sepertinya aku saat itu tidak menyukainya.
Aku mengerutkan alisku dan memanyunkan bibir.
"Hei, Kak Aisha."
"Apa?"
"Menikah itu, apa?"
"Itu adalah saat dua orang yang saling suka menjadi satu."
"Bukan begitu, maksudku secara spesifik, apa yang dilakukan?"
"Tentu saja, tinggal bersama di rumah yang sama, makan makanan yang sama, membuat anak dan membesarkannya..."
"Anak itu, bagaimana cara membuatnya?"
"Eh? Mulai dari situ? Hmm... apa itu sesuatu yang boleh kuajarkan, ya...? Mungkin lebih baik kau tanya pada Mama Putih atau Mama Biru..."
Aisha menjawab begitu sambil sedikit memerah.
Mungkin ia berpikir, anak ini sepertinya sudah mulai tertarik pada hal-hal seperti itu, ya.
"Jadi, Kak Aisha, menikah dan membuat anak, apa itu artinya menjadi bahagia?"
"Yah, kurasa begitu."
"Sungguh? Apa dengan begitu kita benar-benar bisa bahagia?"
"Entahlah~. Kakak sih kelihatannya bahagia, tapi aku 'kan belum menikah~."
"Kenapa kau tidak menikah?"
"Mungkin karena tidak ada orang yang kusuka~. Dulu aku suka Kakak... papanya Ars-kun, tapi kalau ditanya apa itu suka yang sampai mau menikah, rasanya sedaah~kit, tidak, jauuh~ sekali bedanya. Mungkin karena kami kakak-adik kandung, ya~?"
"Hm..."
Saat itu aku merasa sedikit tidak senang.
Bagaimana tidak, cinta pertamaku baru saja bilang ia dulu suka pada ayahku sendiri. Meskipun ia bilang "jauh berbeda", aku saat itu tidak mengerti perbedaan macam apa yang ia maksud.
Dan ada satu lagi kekhawatiran.
"Papa bilang. Katanya ada tawaran pertunangan untukku."
"Eh?"
"Anak perempuan dari keluarga kerajaan Asura yang seumuran dengan Sieg. Katanya kalau aku suka, mungkin kami akan bertunangan."
Bagi Aisha, sepertinya itu adalah pertama kalinya ia mendengar hal tersebut.
Ini adalah cerita yang kudengar di kemudian hari, tetapi sepertinya Aisha juga sangat terkejut saat itu.
Anak laki-laki kecil di hadapannya akan bertunangan. Jika mereka bertunangan sekarang, mereka mungkin akan langsung menikah begitu dewasa nanti. Anak laki-laki kecil ini... anak yang telah ia rawat sejak lahir... begitulah pikirnya.
"Aaah..."
Akan tetapi, Aisha adalah orang yang cerdas dan berpikir secara realistis.
Jika dari keluarga kerajaan Asura, berarti itu adalah kerabat Ariel. Ariel selalu berusaha menjaga hubungan yang kuat dengan Rudeus, dan pernikahan adalah cara yang paling optimal. Jika gadis itu lebih muda dari Ars, ada kemungkinan ia adalah putri Ariel.
Setelah berpikir begitu, sepertinya ia langsung bisa menerimanya.
"Yah, Ars-kun 'kan putra sulung, jadi hal-hal seperti itu mungkin saja terjadi."
"Apa aku akan dipaksa menikah?"
"Tenang saja. Kalau kau bilang dengan benar pada Papa 'aku tidak mau', dia pasti akan mengerti. Tapi, apa kau sebegitu tidak sukanya dengan pernikahan?"
"Habisnya, aku tidak mungkin bisa menikah dengan orang yang wajahnya saja belum pernah kulihat, 'kan?"
"Kalau begitu, Ars-kun ingin menikah dengan orang seperti apa?"
Bagi Aisha, itu mungkin adalah pertanyaan yang ia lontarkan begitu saja.
Ia mungkin hanya mengharapkan jawaban seperti, "Gadis yang dadanya besar!"
Aku ini 'kan suka dada besar. Mau bagaimana lagi. Kalau di jalan aku melihat wanita seperti itu, mataku pasti langsung mengikutinya. Sudah begitu sejak aku kecil. Sampai-sampai semua orang bergosip bahwa di masa depan aku pasti akan tumbuh menjadi pria hidung belang.
Tapi, aku mengatakannya. Dengan jelas.
"Aku, ingin menikah dengan Kak Aisha."
"Wha!? Denganku?"
Aisha melebarkan matanya dan menatapku lekat-lekat.
Aku sangat serius. Saat itu, aku adalah yang paling serius seumur hidupku.
"Eh... eeeh? Jangan begitu, ah. Aku ini... kalau dari sudut pandang Ars-kun, aku ini 'kan sudah seperti tante-tante? Kalau kau menikahiku, kau pasti akan langsung menyesal. Sambil berpikir, 'Harusnya aku pilih gadis yang lebih muda~'."
"Umur tidak ada hubungannya, kok. Kak Norn dan Ruijerd-san jaraknya lebih jauh lagi, 'kan?"
"Ruijerd-san itu dari Ras Iblis. Penampilannya tidak menua."
"Kalau begitu, artinya Ruijerd-san menikah dengan orang yang akan menua lebih cepat darinya, 'kan?"
"Yah... kurasa begitu, ya?"
"Kalau begitu, umur tidak ada hubungannya. Aku 'kan suka sama Kak Aisha."
Aku tidak sedang bercanda, basa-basi, atau semacamnya.
Aku benar-benar mengatakannya dengan serius.
Aisha pun, pasti sudah pernah menerima satu atau dua pernyataan cinta.
Jika ia bekerja di Kelompok Tentara Bayaran, pasti ada kesempatan bertemu dengan laki-laki.
Tetapi aku, berniat untuk sama seriusnya dengan mereka, tidak, bahkan lebih serius dari mereka.
"...Uhm."
Untuk beberapa saat, aku dan Aisha saling bertatapan.
Aku tidak tahu apa yang sedang Aisha pikirkan saat ia menatapku waktu itu.
Tapi yah, kurasa. Mungkin ia sedang berpikir, 'mirip sekali dengan ayahnya'.
Karena bagi Aisha, ayahku adalah sosok yang ia hormati, sekaligus juga lucu dan keren.
"..."
Aku hanya terus menatap wajah Aisha.
Lalu, wajah Aisha, perlahan-lahan menjadi merah.
Ekspresinya juga sedikit berubah. Bukan senyumnya yang seperti kucing seperti biasa, melainkan matanya yang terbelalak, bibirnya yang terkatup rapat, entah bagaimana, aku bisa tahu kalau hatinya sedang berdebar-debar untukku.
Mungkin jika itu adalah saat ini, ia setidaknya akan memberiku sebuah ciuman.
"Hehe~, terima kasih. Tapi tidak boleh."
Akan tetapi, Aisha menahan dirinya.
"Kenapa? Apa kau membenciku?"
"Bukan. Bukan begitu. Tapi kita ini sudah seperti kakak-beradik, jadi pernikahan kita tidak akan diizinkan oleh papanya Ars-kun, para mama, ataupun ibuku."
Sambil berkata begitu, Aisha memelukku.
Seperti biasa. Seolah tidak terjadi apa-apa.
Akan tetapi, detak jantungnya lebih kencang dari biasanya, dan tangan yang memelukku terasa lebih erat.
"Tapi tahu, tidak, aku juga saaangat, saaangat suka padamu, Ars-kun, jadi aku senang, lho~."
Aisha berkata begitu sambil mengelus kepalaku. Aku pun, hanya diam sambil dielus.
Aisha sering sekali memelukku, dan aku juga suka dipeluk.
Kami berdua yang seperti biasa. Tidak ada yang terjadi. Semuanya kembali seperti semula. Pelukan itu seolah-olah sedang meyakinkan kami akan hal itu.
"Tenang saja. Kalau kau sudah besar, kau pasti akan menemukan gadis yang jauu~h lebih baik dariku."
"Iya."
Akan tetapi, aku bisa merasakan pelukan itu berbeda dari biasanya.
Aku tidak bisa menjelaskannya dengan baik apa bedanya, tetapi aku jelas merasa ada yang berbeda.
"..."
Sambil terhanyut dalam aroma Aisha, secara intuitif aku berpikir.
Bahwa hari ini, sesuatu telah berubah.
"...Iya."
Dan kenyataannya, sejak hari itu, hubunganku dengan Aisha mulai berubah drastis.
★ ★ ★
Dan begitulah, untuk pertama kalinya aku melamar Aisha...
Menceritakannya sendiri membuatku malu.
Ini adalah cerita saat aku masih kecil. Sama seperti anak perempuan yang bilang ingin menikah dengan ayahnya.
Hanya saja, bagiku, itu tidak salah lagi adalah momen di mana aku menyadari perasaanku, dan aku serius.
Karena itu, sejak hari itu, aku memulai pengejaran yang gencar terhadap Aisha.
Kudengar, Aisha sendiri juga tidak sepenuhnya menolaknya, tetapi ia sempat berpikir, apa tidak apa-apa menjalin hubungan dengan anak kecil, yang notabene adalah putra dari kakaknya.
Tetapi itu hanya di awal saja. Seiring berjalannya waktu, perasaan itu pun memudar.
Perlahan-lahan, ia mulai menerimaku.
Begini, bagaimanapun juga, bagi bangsawan Asura, pernikahan antar kerabat darah adalah hal yang biasa.
Yah, mungkin ia berpikir, selama perasaanku tidak berubah, hubungan seperti itu tidaklah buruk.
Ibunya Aisha, Nenek Lilia, mungkin akan menentangnya, tetapi selain itu tidak ada masalah khusus.
Akan tetapi... tidak, mulai dari sini, bagaimana jika kita melanjutkan ceritanya sambil membaca 'Kitab Rudeus'?
Aku juga penasaran apa yang sedang dipikirkan oleh ayahku saat itu.




Post a Comment