NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Mushoku Tensei: Redundancy Jilid 3 Bab 8

Penerjemah: Kryma

Proffreader: Kryma


Bab 8

"Aisha Greyrat"



Aisha adalah seorang jenius sejak lahir.

Saat ia mulai memiliki kesadaran diri, ia sudah bisa mengerti kata-kata, dan katanya, ia juga bisa dengan mudah meniru semua yang diajarkan oleh ibunya, Lilia.

Untuk setiap hal, ia bisa mengerti di tahap yang sangat awal kenapa hal itu harus dilakukan.

Bersih-bersih, mencuci, bahasa, matematika, sejarah, geografi, ilmu alam.

Ia benar-benar bisa melakukan apa saja. Ia adalah manusia super yang sempurna dan tak terkalahkan.

Akan tetapi, justru karena itulah ada sebuah penyimpangan. Sebuah kelemahan besar pun terbentuk.

Sederhananya, ia tidak mengerti perasaan orang yang tidak kompeten. Aisha selalu menilai orang berdasarkan kemampuannya. Suka dan tidak sukanya, semua ia tentukan berdasarkan kemampuan.

Perasaan menyukai seseorang tanpa logika, ia tidak mengerti.

Ia tidak mengerti cinta.

Dan gadis seperti itu, jatuh cinta pada seseorang tanpa logika.

Tentu saja akan timbul masalah.

Dikutip dari 'Kitab Rudeus, Volume 29'

★ ★ ★

Aisha sedang berbaring di tempat tidur.

Sebuah tempat tidur yang kecil, tetapi tidak terkesan murahan.

Sprei dan selimutnya bercorak modis sesuai selera Aisha, dan di dekat jendela diletakkan boneka serta pot-pot tanaman kecil. Cahaya matahari yang masuk dari sela-selanya menerangi Aisha yang rambutnya tergerai.

Melihat sosok Aisha, aku pun sadar.

Kenapa Aisha dan Ars bisa ditemukan.

Padahal semua orang serempak berkata, jika ia serius, tidak akan ada yang bisa menemukannya. Kenyataannya, selama setahun kami bahkan tidak bisa menemukan bayangannya sekalipun. Kenapa begitu tiba-tiba seperti ini.

Jawabannya, langsung kutemukan dalam sekejap.

Karena perut Aisha, yang terbaring di ranjang, telah membesar.

Ia sedang hamil. Dan, karena pengaruh kehamilan, ia tidak bisa lagi bergerak selincah sebelumnya.

Hasilnya, ada sebuah celah dalam persembunyian mereka, begitukah.

"...Tidak seperti Aisha."

Aku bergumam begitu saja. Sebuah kegagalan yang tidak seperti Aisha yang selalu tanpa celah.

Jika ia hamil, ia tidak akan bisa bergerak selincah sebelumnya.

Hal seperti itu, seharusnya Aisha tahu betul. Ia yang telah melalui masa kehamilan Sylphie dan yang lain bersama-sama, tidak mungkin ia tidak tahu. Meskipun ia belum mengalaminya sendiri jadi tidak merasakannya secara langsung, jika itu Aisha, ia seharusnya bisa memprediksi hasilnya.

"Aku juga, tadinya berpikir begitu. Bahwa kami akan bisa terus hidup bahagia berdua dengan Ars-kun. Bahwa kami tidak akan ditemukan bahkan jika Kakak yang mencari..."

"..."

"Tapi, entah kenapa, tidak berjalan lancar..."

Aisha menunduk dan mengelus perutnya.

"Habisnya aku suka Ars-kun, sih. Meskipun tahu akan hamil, aku tetap ingin melakukannya, sih. Dan itu membuatku bahagia, sih. Aku... ingin mencintai Ars-kun, sih."

Ada lingkaran hitam di bawah mata Aisha.

Pasti, ia telah sangat menderita memikirkannya. Secara teori, ia tahu harus melakukan apa, ia tahu harus menahan diri. Meskipun berpikir begitu, tubuhnya tidak mau menurut, dan ia terus terseret ke arah yang salah.

Ia tidak bisa mengendalikan perasaannya.

"Hei, Kakak, perasaan ini, apa, ya?"

"Entahlah. Tapi, aku juga merasa seperti itu saat baru menikah dengan Sylphie."

"Begitu, ya... kalau begitu, apa ini memang cinta, ya."

Cinta... atau bukan, aku tidak tahu.

Hanya saja, jatuh cinta pada seseorang adalah hal yang tak terhindarkan. Bagaimanapun juga, itu adalah naluri.

"Kenapa kau tidak bicara pada siapa pun?"

"..."

"Apa kau pikir akan ditentang?"

"...Iya. Karena aku yang salah. Tidak mungkin ada yang mau membelaku."

Lilia memang menentang keras, tetapi Sylphie, justru mendukungnya.

Roxy juga begitu, dan bahkan Eris pun, ia hanya tidak suka dengan sikap Ars, bukan berarti ia menolak hubungan mereka. Jika saja landasannya dipersiapkan dari awal, mungkin aku juga tidak akan sekeras kepala itu.

Bagian itu juga tidak seperti Aisha, tapi...

Tidak, bagaimanapun juga, aku punya alasan yang tidak Aisha ketahui kenapa aku menentangnya.

Jika bukan karena itu, aku pasti akan merestui mereka tanpa banyak bicara.

"Hei, Kakak, apa Ars-kun baik-baik saja?"

"...Iya, meskipun ia dihajar oleh Eris."

"Begitu, ya. Ars-kun 'kan anak yang berharga... tapi syukurlah..."

Aisha menghela napas lega.

"Kakak, setelah ini kau mau melakukan apa padaku?"

"Akan kupikirkan nanti."

"Setidaknya, aku tidak akan dimaafkan, 'kan?"

"Bukan begitu."

"Kenapa? Aku sudah menculik anak berhargamu dan bahkan membuat anak darinya, lho?"

"Bukan hanya kau yang salah. Fakta bahwa kalian sampai kawin lari juga ada salahku. Dan Ars juga—"

"Ars-kun tidak salah. Dia masih kecil. Aku yang salah, karena sudah menipu anak sekecil itu dan mencoba membuatnya menuruti kemauanku. Kakak juga tahu itu, 'kan?"

"...Ars sudah tidak kecil lagi."

Ia memang belum dewasa, tetapi ia bukan lagi anak kecil yang tidak bisa memutuskan apa pun dengan kemauannya sendiri.

Anak itu, telah mengambil keputusan dan berada di sini. Ia pasti tidak merasa telah ditipu.

Aisha pun pasti berpikir begitu. Ia pasti hanya sedang mencoba melindungi Ars.

"Kakak tidak akan mengakui anak ini, 'kan?"

"Memang sulit untuk diakui, tapi, yah, akan kuakui. Mau bagaimana lagi. Anak itu sudah terlanjur ada."

"Apa kau akan membelah perutku, menyeret keluar bayinya, lalu membunuhnya?"

"Mana mungkin aku bisa melakukan hal seperti itu..."

"Bisa saja. Para bangsawan di Millis, kalau mereka punya anak yang tidak diinginkan, mereka akan membiusnya dengan obat, membelah perutnya, membunuh anaknya saja, lalu mengembalikannya seperti semula dengan sihir penyembuhan. Tapi katanya kalau sihir penyembuhannya payah, orang itu tidak akan bisa punya anak lagi."

"Apa-apaan itu, mengerikan... tidak, yah, aku tahu konsep aborsi."

"Lalu, aku akan dipisahkan dari Ars-kun... tidak, apa jangan-jangan aku akan dibunuh?"

"Aku tidak akan membunuhmu. Apa-apaan sih, dari tadi kau bicara hal-hal yang mengerikan terus. Hentikan. Apa aku terlihat seperti orang seperti itu? Tadi aku memang bicara soal Ars, tapi kau juga berharga bagiku."

"Habisnya,"

Aisha berteriak seolah bendungan yang jebol.

"Habisnya, aku sudah melawanmu, Kakak! Sesuatu yang Kakak coba lindungi bahkan sampai menentang Orsted-sama, aku dengan seenaknya merebutnya dan mencoba menjadikannya milikku! Aku tahu betapa Kakak menyayangi semua orang! Aku tahu kau tidak akan pernah memaafkan siapa pun yang menyakiti mereka! Aku, saat Kakak marah setahun yang lalu, aku berpikir! Aku sudah menyentuh sesuatu yang berharga bagi Kakak, aku sudah menghancurkannya, aku sudah menjadi musuhmu. Selama aku pikir aku masih bisa kabur itu tidak apa-apa, tapi, perutku, semakin membesar, semakin sulit untuk bergerak, kelompok tentara bayaran, manipulasi informasi, semuanya tidak berjalan sesuai rencana, aku jadi takut, aku tidak bisa tidur, aku tahu Kakak suatu saat akan datang tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan hari ini pun kakiku gemetar ketakutan...!"

Suara Aisha terdengar sangat memilukan.

Aisha yang kukenal bukanlah tipe yang akan mengatakan hal--hal pesimis seperti ini.

Satu tahun ini, apa ada sesuatu yang telah berubah...?

Tidak, mungkin ini hanya maternity blues. Coba kutenangkan dia sedikit.

"Aisha, kejadian kali ini hanyalah pertengkaran kakak-adik biasa. Yah, kuakui memang agak berlebihan, tapi aku tidak sampai menganggapmu musuh."

"Tapi. Hari itu, setahun yang lalu, wajahmu menakutkan. Sama seperti saat kau bertarung dengan Orsted-sama, atau saat kau memberi pelajaran pada bangsawan yang menyebut Kak Roxy sebagai ras iblis yang kotor."

Aku tanpa sadar menyentuh wajahku.

Serius?

Eh, wajahku saat ada yang menjelek-jelekkan Roxy itu 'kan wajahku saat sedang benar-benar murka.

Apa aku memasang wajah seperti itu? Pada Aisha...?

Tapi, benar juga, saat itu perasaanku memang mendahului logikaku, jadi mungkin saja.

Kalau begitu... wajar saja dia ketakutan...

Fakta bahwa keluargaku sendiri berpikir aku akan "membunuh" mereka memang mengejutkan, tapi mau bagaimana lagi...

"...S-Sekarang?"

"Wajahmu mirip seperti waktu Kak Norn mengurung diri."

"Kalau begitu, sudah tidak apa-apa, 'kan?"

Aku berkata begitu dan duduk di pinggir tempat tidur.

Kaki Aisha menjulur keluar, jadi aku mencoba mengelusnya.

Aisha tersentak kaget, tetapi ia tidak menolaknya.

Kakinya kurus namun kokoh dan kuat. Pasti ia banyak berjalan selama setahun ini. Terasa sedikit kering.

Dan gemetaran.

"Aisha. Aku ini, tetap saja berpikir bahwa menjalin hubungan antara orang yang seperti kakak-beradik itu tidak baik."

"Iya..."

"Tapi, itu karena aku juga punya pengalaman seperti itu di masa lalu. Tapi, dalam kasusku, itu jauh lebih kotor, sepihak, dan tidak bisa dimaafkan. Tentu saja, aku dimarahi, dipukul, dan dikecewakan... karena kejadian itu, hal semacam ini, secara naluriah aku tidak bisa menerimanya."

Setelah mengatakannya, rasanya memang itulah penjelasan yang paling pas.

Di satu sisi, itulah awal mula kenapa aku ada di sini sekarang. Dan hasilnya, keadaanku saat ini tidaklah buruk.

Akan tetapi, fakta bahwa perbuatan jahatku dulu telah menjadi batu loncatan, tidak akan pernah bisa kuhapus.

Pada akhirnya, aku bahkan belum meminta maaf.

Tapi, bagaimana caranya aku memulai cerita tentang kehidupanku yang dulu?

Dalam situasi serius seperti ini, jika aku berkata, "Sebenarnya aku datang dari dunia lain!", apa ia akan memercayainya?

Apa ia tidak akan menatapku dengan curiga, dengan wajah yang seolah berkata, "Apa yang kau rencanakan?"

"Apa itu tentang dunia tempat Kakak tinggal sebelumnya?"

Ditanya secara tiba-tiba, tanganku yang sedang mengelus kaki Aisha terhenti.

"............Apa aku pernah cerita?"

"Aku 'kan sering bicara dengan Nanahoshi-san, lalu dari pengamatanku terhadap Orsted-sama dan tingkah laku Kakak, aku bisa menyimpulkannya."

"Ah... begitu."

Kalau Aisha, mungkin saja.

Anak ini memang selalu memperhatikan berbagai macam hal dengan baik...

"Kau menyembunyikannya, 'kan?"

"Aku takut untuk mengatakannya. Terutama pada Ibu. Pasti tidak enak, 'kan, jika anak yang sudah susah payah ia lahirkan ternyata adalah seorang om-om dekil... Bagaimana menurutmu?"

"Biasa saja. Orsted-sama juga punya ingatan dari kehidupan sebelumnya. Aku pernah dengar orang seperti itu memang ada meskipun langka, dan lagi pula kau 'kan tidak berubah di tengah jalan. Bagiku, sejak awal Kakak ya tetaplah Kakak. Hanya karena umurmu bertambah sedikit, tidak banyak yang berubah."

"...Begitu, ya. Terima kasih."

Ternyata ada juga cara berpikir seperti itu.

Memang benar, termasuk Orsted, di dunia ini ada banyak sekali orang yang terus bereinkarnasi.

Hanya karena ada satu orang sepertiku, mungkin tidak akan mengubah apa-apa.

"Semua orang pasti sudah samar-samar menyadarinya. Kak Sylphie juga, Kak Roxy juga... kalau Kak Eris, aku tidak begitu yakin."

Eris seharusnya sudah tahu, karena dulu ia pernah bertanya tentang kehidupanku yang sebelumnya.

Tergantung ingatan Eris, sih, tapi tidak mungkin ia sudah lupa.

Waktu itu ia berjanji akan merahasiakannya. Pasti ia sedang menepati janjinya.

"...Begitukah?"

"Kau tidak akan memberitahu mereka? Semuanya pasti hanya akan bilang, 'Memangnya kenapa?'"

"Karena aku sekarang adalah Rudeus Greyrat. Kau juga, jika anak yang ada di dalam perutmu itu ternyata adalah seorang om-om dengan ingatan dari kehidupan sebelumnya, kau pasti tidak suka, 'kan?"

"Kalau dia mau memperhatikan kita dengan baik seperti Kakak, aku tidak akan benci, kok."

"Ah, begitu..."

Apa memang begitu, ya.

Aku sendiri tetap saja akan merasa tidak suka... tapi mungkin itu karena aku membenci diriku sendiri di kehidupanku yang dulu. Aku jadi berpikir bahwa yang akan datang pastilah orang yang mirip denganku. Dan kemudian, aku akan merasa jijik jika ia mulai menjalani hidup di dunia ini dengan menganggapnya sebagai sebuah permainan, sama seperti diriku yang dulu.

Aisha bangkit.

Ia menggeser tubuhnya dan duduk di sebelahku.

"Boleh aku dengar ceritanya lebih detail?"

"Iya."

Mendengar itu, aku berdiri, mengambil kursi terdekat, dan meletakkannya di hadapan Aisha.

Saat kami duduk berhadapan, perut Aisha yang besar menarik perhatianku.

Sepertinya ia sudah mendekati waktu melahirkan.

"Di kehidupanku yang dulu, aku adalah seorang sampah. Dulu saat aku masih kecil aku adalah anak biasa, tapi sekitar masa SMP—"

Aku pun menceritakan tentang diriku di kehidupanku yang dulu.

Orang seperti apa diriku, dan bagaimana prosesnya hingga aku bisa sampai ke dunia ini.

Apa yang menjadi ganjalan di hatiku, dan apa yang sulit untuk kumaafkan.

Tidak banyak yang bisa kuceritakan.

Meskipun aku hidup selama tiga puluh empat tahun, hidupku di dunia sebelumnya tidak begitu padat.

Ingatanku juga perlahan-lahan memudar, dan aku sudah lupa detail-detailnya.

Sebagai gantinya, aku menceritakan tentang kehidupanku yang sekarang. Betapa Paul telah menolongku. Dengan perasaan seperti apa aku bersikap pada Norn. Bagaimana perasaanku terhadap Zenith dan Lilia.

Dan juga tentang Aisha, bahwa aku telah memperlakukannya sebagai seorang adik, sebagai keluarga.

Aisha mendengarkan semuanya dalam diam. Sesekali ia menyahut, mendengarkan dengan diam dan perlahan.

"Maka dari itu, aku sekarang telah mendapatkan kehidupan sehari-hari yang bahagia, yang tidak ada bandingannya dengan saat aku masih menjadi sampah di kehidupanku yang dulu, dan aku ingin menjaganya."

Terakhir, aku menutup ceritaku seperti itu.

"Seperti yang kuduga, Kakak memang hebat, ya."

"Begitukah?"

"Kalau saja aku dibunuh oleh Kakak di sini sekarang lalu bereinkarnasi, aku tidak akan bisa berusaha sekeras itu."

"...Aku tidak akan membunuhmu."

"Kalau aku, pasti tidak akan bisa membangun keluarga."

"Begitukah?"

"Iya. Aku memang mencintai Ars-kun, tapi kurasa, meskipun kita terus tinggal di sini, aku dan Ars-kun tidak akan bisa menjadi 'keluarga'."

Apa sebenarnya maksud dari kata-kata itu?

Ars mencintai Aisha. Ia berusaha mati-matian untuk melindunginya. Tapi, apa maksudnya Aisha merasakan hal yang berbeda?

"...Saat Ars-kun lahir, aku sangat bersemangat. Tapi saat itu, kurasa perasaanku bukan seperti sedang jatuh cinta atau semacamnya."

Dan begitulah, dari mulut Aisha, terungkaplah semua yang telah terjadi selama ini.

Sepertinya, Ars memang sudah spesial baginya sejak lahir. Aisha telah membantu persalinan Lucy dan Lara. Menyaksikan kelahiran sebuah nyawa, Aisha pun merasa terharu.

"Wah, hebat ya," hanya sebatas itu, tetapi ia memang merasa terharu.

Akan tetapi, saat Ars lahir, rasanya sedikit berbeda.

Saat ia menggendong Ars, Aisha merasakan sesuatu yang tidak ia rasakan saat menggendong Lucy atau Lara.

Mendengar Ars yang baru lahir menangis dengan suara keras, sebuah perasaan yang belum pernah ada sebelumnya tumbuh dari lubuk hatinya.

Perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, perasaan yang sesak dan gelisah.

Perasaan itu terus berlanjut bahkan setelah persalinan selesai dengan selamat, setelah Eris tertidur lega, dan setelah Ars juga ikut tertidur. Bahkan di malam hari saat Aisha sudah berbaring di tempat tidurnya sendiri.

Matanya terjaga dan ia tidak bisa tidur malam itu.

Sambil telentang di tempat tidur, Aisha mengangkat kedua tangannya dan mengingat kembali rasanya saat ia menggendong Ars.

Sensasi yang tertinggal di tangannya mirip seperti saat menggendong Lucy atau Lara, tetapi tidak sama persis. Apa mungkin karena Ars anak laki-laki?

Ia tidak tahu.

Akan tetapi, Aisha berkata bahwa saat itu ia merasakan perasaan yang sangat menyenangkan.

Ia ingin hari esok cepat datang agar ia bisa merawat Ars yang menangis dan menjerit.

Bagi Aisha, Ars adalah sesuatu yang spesial. Meskipun ia tidak tahu apa dan bagaimana spesialnya...

Bagaimanapun juga, sejak hari itu, Aisha sedikit berubah.

Kehidupannya selama ini terdiri dari empat hal: pekerjaan sebagai pelayan, hal yang ia sukai, permintaan dari kakaknya, dan tugas sebagai penasihat kelompok tentara bayaran. Tetapi ia mulai sedikit demi sedikit melalaikan semuanya.

Lalu apa yang ia lakukan saat melalaikan tugasnya? Merawat Ars.

Di satu sisi, itu mungkin bisa dibilang sebagai bagian dari pekerjaannya sebagai pelayan.

Tetapi bagi Aisha, itu adalah hal yang berbeda.

Lalu, apa itu hal yang ia sukai? Rasanya sedikit berbeda juga.

Ia hanya ingin terus menatap Ars. Jika memungkinkan, ia ingin berbicara dengannya. Sambil berharap, semoga ia cepat besar.

Bagi Aisha, itu adalah momen pertama di mana ia menganggap seseorang itu spesial tanpa memandang kemampuannya.

Selama hampir sepuluh tahun setelah itu, ia menghabiskan hari-harinya sambil menikmati kebersamaannya dengan Ars.

Di tengah-tengah itu, suatu hari, secara tiba-tiba, Ars menyatakan perasaannya.

Saat itu ia memang menanggapinya dengan tenang, tetapi bagi Aisha, itu bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng.

Jantungnya terus berdebar, berdegup kencang, rasanya ia bisa menjadi gila.

Dan kenyataannya, Aisha memang menjadi gila. Hari-hari di mana ia tidak bisa mengendalikan dirinya pun dimulai.

Hari-hari di mana ia 'melakukannya', meskipun ia sendiri tahu itu salah.

Ia sama sekali tidak bisa mengendalikannya.

Pikiran rasionalnya dengan mudah disingkirkan, dan hasratnya menang. Ia melakukannya sambil berpikir, "Mau bagaimana lagi."

Tidak ada rencana, yang ada hanyalah tindakan-tindakan impulsif yang terus berlanjut.

Dan kemudian, aku menemukan mereka.

Awalnya, ia berniat untuk lolos dengan dalih 'latihan'.

Latihan. Perasaan ini, hanyalah latihan. Baik Ars maupun dirinya tidak serius. Hanya kekhilafan sesaat.

Dengan menganggapnya seperti itu, tidak akan ada yang terluka.

Akan tetapi, siasatnya terbongkar oleh Sylphie. Perasaannya yang sesungguhnya terungkap, dan dengan memalukan ia meneriakkan cintanya.

Meskipun begitu, Aisha masih punya pemikiran yang naif. Rudeus mungkin akan marah, tetapi pada akhirnya ia akan memaafkannya.

Mungkin, ia bahkan akan merestui hubungannya dengan Ars.

Begitulah yang ia pikirkan.

Kenyataannya, Sylphie juga telah menciptakan suasana seperti itu.

Akan tetapi, saat tirai dibuka, semuanya sama sekali berbeda. Rudeus tidak merestui hubungan mereka.

Dengan sikap keras kepala yang belum pernah Aisha lihat sebelumnya, ia mencoba memisahkan mereka berdua.

Itu adalah sosok Rudeus yang belum pernah sekalipun Aisha lihat.

Kaku, tidak logis, dan hanya mengatakan 'tidak boleh' dengan nada menekan, menggunakan tatapan tajam dan ucapan yang keras.

Ini adalah pertama kalinya kakaknya menjadi orang yang tidak bisa diajak bicara.

Akan tetapi, ia pernah melihat wajah itu sebelumnya.

Ia tidak akan lupa. Itu adalah wajah yang sama saat Rudeus terus-menerus memasang muka tegang sambil membuat Armor Sihir—Magic Armor—sebelum bertarung dengan Orsted.

Aisha merasa takut melihat wajah itu.

Ia secara intuitif merasa bahwa di saat itu juga, ia mungkin telah menjadi musuh Rudeus.

Benar. Saat ini, ia sedang mencoba menghancurkan sesuatu yang telah Rudeus bangun perlahan-lahan dalam waktu yang lama.

Berpikir begitu, ia pun secara refleks mengangguk pada perkataan Rudeus.

Ada ganjalan yang tersisa di hatinya.

Ditentang dalam rapat keluarga, ruang untuk berdiskusi ditutup, dan karena sudah diperintahkan oleh kakaknya, ia berpikir untuk menyerah, tetapi ia sangat menyukai Ars... Ia bingung harus berbuat apa, lalu saat Ars bersikap lembut padanya di tengah malam, ia pun mengusulkan untuk kawin lari.

Lalu ia meninggalkan rumah, mulai hidup di sini, kemudian hamil, dan seiring berjalannya hari, ia berkali-kali berpikir bahwa ini salah.

Dengan cara seperti ini ia tidak akan bisa bahagia.

Semua orang hanya akan menjadi tidak bahagia. Tetapi, Rudeus yang begitu murka pasti tidak akan memaafkannya, jadi ia juga tidak bisa kembali. Sambil tahu bahwa ia sedang melakukan kesalahan, ia terus melanjutkan hidupnya dan merasa kecewa pada dirinya sendiri.

Tidak bisa maju, tidak juga bisa mundur.

Nyaris hancur oleh rasa cemas dan gelisah...

Dan begitulah ia sampai pada keadaannya sekarang.

Sejauh yang kudengar, itu adalah kisah cinta pertama yang luar biasa manis, sampai-sampai aku yang mendengarkannya pun merasa malu, tetapi nada bicara Aisha terdengar datar.

Seolah-olah ia sudah pasrah akan sesuatu.

"...Boleh aku bertanya dua hal?"

"Silakan."

"Apa Hitogami tidak menghubungimu?"

Saat mendengar ceritanya, tiba-tiba terpikir olehku kemungkinan itu.

Katanya takdir wanita hamil itu lemah, jadi Hitogami akan lebih mudah ikut campur. Mungkin ia kabur dari rumah karena diberi saran oleh Hitogami...

Jika memang begitu, aku akan merasa lebih lega. Aku bisa berkata, "Ini salahnya, ayo kita pulang."

"Tidak, tidak ada. Ini adalah kehendak saya."

"Begitu, ya..."

Yah, kurasa memang begitu.

Selama ini aku sudah berulang kali mengatakan untuk tidak mengikuti saran Hitogami.

Meskipun, dengan kondisi mental Aisha saat ia kabur, meskipun kubilang begitu, ia mungkin tidak akan bisa menolaknya.

"Satu lagi?"

"Apa kalian tidak menggunakan alat kontrasepsi?"

"Benda buatan Kakak itu, jalur pembeliannya terbatas, jadi kalau kami membelinya, jejak kami akan ketahuan."

"Ah, benar juga."

Di rumahku memang ada sekotak, tetapi jika sudah terbiasa memakainya, kita jadi lupa betapa sulitnya benda itu didapatkan.

"Boleh aku bertanya satu hal lagi?"

"Bukannya tadi dua... tidak, silakan."

"Kau... apa kau ingin bahagia?"

Mendengar pertanyaan itu, Aisha menunduk. Bibirnya terkatup rapat, dan wajahnya menegang.

Lalu, ia membuka mulutnya.

"Iya."

Begitu, ya. Jadi ia ingin bahagia.

Kalau itu Aisha, seharusnya ia tahu bahwa cara seperti ini tidak akan membuatnya bahagia.

Tidak, mungkin justru karena ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk bisa bahagia, makanya ia kawin lari.

"Kalau kau tidak kutemukan, apa kau bisa bahagia?"

"..."

Aisha menggelengkan kepalanya dengan lemah.

"Ars-kun memang melakukan banyak hal demiku, tapi kalau terus begini, ia pasti akan menjadi seperti bonekaku, dan aku, pasti tidak akan berubah... kalau begini, pasti... tidak baik."

"Begitu, ya."

Yah, jika tidak begitu, Aisha pasti tidak akan pasrah seperti ini.

Meskipun sedang hamil, ia pasti akan mencoba bersembunyi atau kabur bersama Ars. Ia tidak akan melakukan kesalahan ceroboh yang membuatnya mudah kutemukan.

"Ehem."

Aku berdeham dan menatap Aisha.

"...Kurasa sudah saatnya masuk ke topik utama."

Saat aku berkata begitu, Aisha pun mengangkat kembali pandangannya yang tertunduk dan menatapku.

Meskipun ada lingkaran hitam di bawah matanya, tatapannya kuat. Berbeda dengan tatapannya yang seolah hampir mati seperti tadi.

Mata yang telah membulatkan tekad.

"Permintaanku ada dua. Tolong maafkan Ars-kun. Dan, tolong izinkan aku untuk melahirkan anak ini, anak dari Ars-kun."

Sambil berkata 'anak ini', ia mengelus perutnya.

Ukurannya sudah mendekati waktu melahirkan. Ia pasti berniat untuk melahirkannya.

"..."

"Aku... soal diriku... silakan hukum saya. Aku senang Kakak menyebutku keluarga, tapi perbuatanku kali ini pastilah sesuatu yang tidak bisa dimaafkan."

"Hukum, ya..."

Aku menyandarkan tubuhku yang tadinya condong ke depan. Aku menumpukan bebanku ke sandaran kursi dan menatap langit-langit.

Aku merapikan kata-kataku sejenak.

Semuanya tersusun dengan cepat.

Satu tahun. Mungkin ini berkat waktu yang sangat banyak yang telah diberikan padaku.

"Melihat dari kehidupanku yang dulu, sejujurnya hubunganmu dengan Ars sulit untuk kuakui."

"Baik."

"Terlepas dari kehidupanku yang dulu, kurasa ada juga perasaan dikhianati olehmu, yang sudah kupercaya."

"Baik."

"Tetapi aku, kurasa aku akan mengakui kalian berdua."

"...Eh?"

"Aku masih merasa menolaknya, tapi aku tahu penolakan itu adalah karena traumaku sendiri. Dengan kata lain, ini adalah masalah emosional. Untuk saat ini, mari kita kesampingkan masalah emosional."

"Tidak, itu tidak boleh. Anda tidak boleh memaafkan saya... ini bukan masalah emosional... uhm, jika Anda memaafkan saya, keluarga Greyrat akan diremehkan. Keluarga Greyrat sudah memiliki wibawa, dan wibawa itu telah melindungi banyak hal."

"Wibawa, ya... aku tidak begitu mengerti, tapi..."

"Bukan hanya Kakak saja. Lucy-chan, Lara-chan, Sieg-kun, Lili-chan, dan Chris-chan... semuanya pasti akan mengalami hal yang tidak menyenangkan. Mungkin mereka akan dicelakai... karena itu, lebih baik saya dihukum. Siapa pun yang Anda tanya pasti akan berkata begitu."

"Aku mengerti. Tapi aku tidak suka kata 'hukum'... hukuman, ya, akan kupikirkan hukuman apa yang pantas. Hanya saja... kurasa tidak seharusnya terlalu berat."

Aku kembali mencondongkan tubuhku ke depan dan menatap Aisha.

Aisha menatapku dengan mata terbelalak.

"Aisha. Kau telah melakukan kesalahan kali ini. Kawin lari adalah cara yang paling buruk. Tapi kau tadi bilang, 'kan? Kau tidak bisa menahannya. Mungkin ini pertama kalinya bagimu, tapi bagi orang biasa sepertiku, hal seperti itu sering terjadi. Meskipun di kepala kita tahu harus bagaimana, tubuh kita tidak bergerak sesuai keinginan. Meskipun kita tahu caranya, kita tidak bisa melakukannya dengan baik. Hasilnya, kita malah memilih cara yang salah."

Aku melanjutkan, sambil mencondongkan tubuhku lebih dekat seolah untuk mengintip wajah Aisha.

"Jika saja yang kau bawa lari adalah anak orang lain, atau jika Ars kembali dalam keadaan hancur, aku juga tidak tahu apa yang akan kulakukan padamu. Tapi Ars baik-baik saja, dan meskipun sedikit menyimpang, ia juga telah bertumbuh. Terlebih lagi, Ars adalah anak kita. Dan kau juga anak kita. Hubungan antar anak-anak kita sendiri, jujur saja secara naluriah aku tidak suka. Tapi karena keduanya adalah anak kita, maka ini adalah masalah internal keluarga."

Aku mengatakannya panjang lebar.

Meskipun kubilang kesampingkan masalah emosional, pada akhirnya bukankah ini juga emosional?

Sambil pikiran itu terlintas, aku pun mengambil kesimpulan.

"Ini hanyalah sebuah kegagalan keluarga."

Saat aku berkata begitu, Aisha menggigit bibirnya dan terdiam.

Di matanya, air mata mulai menggenang.

Tetapi Aisha segera menyekanya.

"Apanya... yang salah...?"

Aisha sendiri pasti sudah tahu.

Ia mungkin bertanya lagi untuk memastikan dan menyamakan pemahaman kami.

Mari kita pikirkan secara logis.

Hari ini, aku akan berbicara dengan tenang dan kepala dingin.

Jika ini Norn, mungkin lebih baik membiarkannya sendirian, tetapi jika ini Aisha, aku yakin lebih baik jika kami berbicara.

"Pertama, soal Ars. Untuk bisa bersamamu, kurasa ia memang masih belum dewasa. Kurasa ia belum punya kemampuan untuk berpikir dan mengambil keputusan sendiri."

"..."

"Tentu saja, selama setahun ini ia sudah tumbuh menjadi sedikit lebih hebat. Kau bilang Ars tidak berubah, tapi itu tidak benar. Kurasa ia sudah bertumbuh selayaknya satu tahun berlalu. Tentu saja, kurasa masih banyak sekali sisi-sisinya yang belum dewasa, tapi itu sama untuk semua orang. Tidak ada orang yang tidak punya sisi yang belum dewasa. Kau juga, dari kejadian ini kau belajar bahwa dirimu juga belum dewasa, 'kan? Dengan gagal seperti inilah, semua orang belajar."

Setidaknya, Ars tidak bisa melindungi Aisha sepenuhnya.

Meskipun ia punya semangat untuk melindungi, kemampuannya belum sampai.

Memang benar tubuhnya menjadi lebih kuat dan tekadnya sudah bulat.

Tetapi, seperti yang bisa dilihat, Aisha tampak seperti sedang depresi berat.

Artinya, ia sama sekali belum berhasil melindungi sisi mentalnya.

...Tidak, jika aku berkata begitu, pertanyaannya adalah apa aku sendiri sudah bisa melindungi sisi mental para istriku.

Tapi kesampingkan itu. Kurasa memang ada banyak hal yang masih kurang darinya.

"Daripada ada sesuatu yang 'salah', kurasa ini lebih ke masalah waktu. Masih terlalu cepat. Seharusnya ia menikahimu setelah ia lulus sekolah dengan benar, menjadi dewasa, mendapatkan pekerjaan, dan mengumpulkan pengalaman... setelah ia bisa mengambil berbagai keputusan sendiri, meskipun tidak sampai selevel dirimu."

"Karena kalau ia bersamamu sejak kecil, ia pasti akan menjadi terlalu bergantung padamu."

"Menikah... tapi Ars-kun 'kan putra sulung? Bukankah ia yang akan meneruskan keluarga?"

"Di keluarga Greyrat kami tidak ada tradisi seperti itu. Eris memang sering bilang begitu, tapi dia tidak begitu bersikeras, kok. Tidak masalah juga jika Lucy yang menjadi kepala keluarga berikutnya. Lagipula, kalaupun Ars yang meneruskannya, tidak masalah 'kan kalau kau yang menjadi istrinya."

"Tidak boleh, dong. Aku ini 'kan pelayan."

"Kalau karena kau pelayan tidak boleh, akan kupecat kau. Berhenti kerja karena menikah."

"Haha, apa-apaan itu."

Aisha tertawa. Meskipun hanya sedikit, akhirnya ia tertawa.

Aku merasa lega. Mendengar suara tawa Aisha setelah sekian lama, aku merasa lega.

"Berikutnya soal dirimu, Aisha."

"...Baik."

"Pertama, kau kurang berdiskusi. Sebelum bertindak, sebelum kawin lari, jika saja kau berbicara dengan seseorang dan mempersiapkan landasannya, kau pasti bisa mendapatkan sekutu saat aku menentangnya. Bahkan aku pun bisa mempersiapkan hatiku."

"Iya, ya. Kenapa aku tidak melakukannya, ya... Mungkin aku berpikir, Kakak mungkin tidak akan menentangnya."

Meskipun ia samar-samar sudah sadar aku punya kehidupan sebelumnya, ia tidak tahu isinya.

Wajar jika Aisha yang tidak tahu berpikir seperti itu.

Jika aku tidak menentang, yang akan menentang hanyalah Lilia.

"Seharusnya kau mempersiapkan landasan dengan Lilia-san, ya."

"Iya, benar. Tapi Ibu, kalau Kakak tidak menentang, ia pasti akan memaafkanku."

Mungkin benar.

Tetapi, karena Lilia adalah ibu kandungnya, kurasa seharusnya Aisha memberitahukan perasaan seperti apa yang ia miliki pada Ars dan keinginannya untuk didukung.

Dan, jika dalam rapat keluarga Lilia membelanya, mungkin aku juga tidak akan bisa bersikap sekeras itu.

Kelihatannya saja begini, tapi aku ini lemah pada Lilia.

Lagi pula, ia sudah merawat Ibu sejak lama.

"Kita sudah merepotkan banyak orang, ya."

"...Apa semuanya marah?"

"Semuanya khawatir."

"...Apa yang harus kulakukan?"

"Yah, pertama-tama, merenung. Setelah itu, minta maaf. Terutama pada Lilia-san, kau harus meminta maaf dengan benar."

"...Baik."

Lilia. Nenek kami yang pekerja keras itu, hatinya telah terluka dalam.

Tidak peduli apa yang akan kami bicarakan, ini adalah hal yang tidak bisa dihindari.

Tetapi jika kami berbicara baik-baik dengannya bersamaku, ia pasti akan mengerti.

"Lalu, ya... aku juga salah."

"Kakak tidak salah."

"Aku yang selama ini menyuruhmu untuk hidup bebas, tetapi begitu kejadiannya, aku malah menekanmu mentah-mentah. Itu memang tidak baik. Sebelum mengambil kesimpulan, seharusnya aku membereskan perasaanku sendiri."

"Dalam situasi seperti itu, mau bagaimana lagi. Aku yang bersikap pengecut."

Yah, untuk saat ini, ini adalah hal yang harus kuperhatikan. Renungkan, renungkan.

"Untuk sementara, apa hanya itu? Ada lagi?"

"...Kakak, sebaiknya lebih sering berbicara dengan anak-anakmu."

"Eh? Ah... benar juga. Iya... aku tidak tahu harus bicara apa, tapi akan kubuat lebih banyak kesempatan."

Kalau soal kejadian kali ini, memang benar aku seharusnya lebih banyak berbicara dengan Ars.

Jika aku lebih dipercaya oleh Ars, mungkin kejadian seperti ini tidak akan terjadi.

Bukan hanya Ars, ya. Aku akan lebih banyak berbicara dengan anak-anak yang lain juga.

Kurasa aku harus lebih mengenal anak-anakku.

"Ada lagi?"

"..."

"Kalau tidak ada, maukah kau kembali ke rumah sekali saja?"

"..."

"Soal nasibmu dan Ars, kita putuskan bersama-sama setelah ini."

Aisha tampak sedikit bimbang. Apa masih ada ganjalan di hatinya?

Akan tetapi, tanpa mengatakannya, ia mengangguk perlahan.

"...Baik. Saya mengerti."

"Kalau begitu, aku akan panggil yang lain."

Aku pun berdiri.

Setelah ini tinggal kembali ke rumah, membujuk Lilia, dan semuanya akan kembali seperti semula...

Bukan, tidak begitu. Semuanya tidak akan kembali seperti semula. Seperti yang kuduga, segalanya telah banyak berubah.

Lagi pula, anggota keluarga juga akan bertambah satu. Iya, hal itu sendiri adalah kabar gembira, jadi tidak apa-apa.

Apa yang sudah berubah tidak bisa diapa-apakan lagi. Mari kita terima apa yang telah terjadi dan melangkah maju.

"Kakak."

"Hm?"

Saat aku sedang memikirkan berbagai hal, Aisha berkata begitu.

Saat aku berbalik, Aisha sedang menangis dengan wajah hancur.

"Maafkan aku."

"Iya."

"Maafkan aku... aku bodoh... maafkan aku."

"..."

Aku kembali ke arah Aisha yang menangis tersedu-sedu dan mengelus kepalanya.

Aisha terus menangis. Bahkan saat Sylphie dan yang lain mengintip ke dalam rumah dengan wajah khawatir, ia tetap terus menangis.

Aku tidak pernah menyadarinya karena ia begitu kompeten, tetapi mungkin saja, adik perempuanku yang ini, jauh lebih kekanak-kanakan daripada adik perempuanku yang lebih tua.

Dan beginilah, kisah kawin lari Aisha dan Ars pun berakhir.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close