Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 5
Pengakuan
── Sudut pandang Ichijou Ai ──
Hari ini pun kami pulang bersama.
Aku ingin waktu ini terus berlanjut selamanya. Bagiku, waktu yang kuhabiskan bersama Senpai selalu mengingatkanku pada masa-masa ketika aku masih bahagia. Itu adalah waktu yang sangat berharga, dipenuhi oleh kelembutan dan kehangatan.
Tentu saja, karena kami masih siswa SMA, kami tidak bisa setiap hari pergi bersenang-senang ke mana-mana. Tapi kalau bersama dia, hanya mengobrol santai tanpa tujuan apa pun seperti ini saja sudah membuatku bahagia.
Seharusnya begitu…… namun, sisi licik dalam hatiku membisikkan kata-kata seperti iblis.
[Kalau begini terus, bukankah bahkan dia yang begitu baik itu suatu saat akan menjauh darimu? Bukankah kamu bahkan sudah ditinggalkan oleh ayah kandungmu sendiri?]
Padahal seharusnya aku bahagia, tapi hatiku terasa sesak. Aku ingin memiliki waktu ini selamanya hanya untuk diriku sendiri.
Kalau bakatnya sampai dikenal oleh semua orang, mungkin perempuan lain akan mulai mendekatinya.
Aku benar-benar tidak mau hal itu terjadi. Hati ini diguncang oleh hasrat posesif yang jahat. Dan mengikuti dorongan itu, kata-kata pun terlepas dari bibirku.
"Senpai… hari ini, mau mampir ke kamarku tidak?"
Hari ini kami agak pulang terlambat, jadi matahari sudah mulai terbenam. Memang, saat kencan pertama pun aku pernah mengundangnya ke rumah, tapi dibandingkan hari itu, hubungan kami sekarang sudah jauh lebih dekat.
Karena itulah, usulan ini mengandung makna yang lebih dalam dari sebelumnya. Dan aku tahu, bagiku sendiri ini juga berarti melarikan diri, sehingga hatiku terasa perih.
Bersamaan dengan harapan samar bahwa mungkin saja hubungan kami bisa melangkah lebih jauh seperti ini, aku bahkan merasa diriku sendiri benar-benar licik karena menginginkannya.
Meskipun aku belum pernah jatuh cinta pada siapa pun sebelumnya, aku tahu betul ke arah mana semuanya akan berjalan jika aku mengucapkan hal seperti ini.
Karena itu, aku selalu berhati-hati agar tidak pernah mengatakan hal semacam ini kepada pria mana pun selain dirinya.
Dia sempat menunjukkan ekspresi bingung sesaat. Namun tetap saja, dia memberiku senyum yang lembut.
"Kalau begitu… sebentar saja ya."
Begitu dia mengatakan itu, kesadaranku kembali. Aku benar-benar telah melakukan sesuatu yang nekat.
Mengundang orang yang kusukai ke rumah, apalagi di malam hari. Jelas itu langkah terlarang. Apalagi aku tinggal sendirian. Asisten rumah tangga juga sedang libur.
Mengizinkan seseorang yang baru kukenal dalam waktu singkat masuk ke rumahku itu terlalu berbahaya.
Tapi anehnya, bahkan kali ini, alarm kewarasanku tidak berbunyi.
Karena pria yang kuundang itu adalah Senpai.
Dalam beberapa minggu terakhir, aku telah menyentuh esensi dirinya. Dia adalah orang baik yang akan mencoba menolong siapa pun yang sedang lemah, bahkan jika itu membahayakan dirinya sendiri. Orang kuat yang, meski berada dalam kondisi penuh keputusasaan, tetap bisa melangkah maju tanpa menyerah. Dan saat dia menderita, orang-orang di sekitarnya segera mengulurkan tangan—itulah kepribadiannya.
Di sekelilingnya, ada begitu banyak orang yang bahkan rela mengorbankan kepentingan mereka sendiri demi menolongnya. Itu pasti bukti bahwa selama ini dia juga selalu melakukan hal yang sama untuk orang lain.
Sama seperti saat dia menolongku. Pasti selama ini dia terus mengulurkan tangannya untuk orang lain. Karena itu, meskipun dikelilingi oleh musuh, teman sejatinya tetap tinggal bersamanya.
"Padahal cuma setahun lebih tua dariku, tapi luar biasa sekali…"
Saat aku sendirian, pikiranku selalu dipenuhi olehnya.
Di mata orang lain, aku mungkin terlihat sebagai seseorang yang memiliki segalanya—uang, bakat, popularitas. Tapi hal yang benar-benar kuinginkan, setelah sekali hancur, telah lama hilang dan tak pernah kembali.
Aku iri pada dirinya, yang memiliki orang tua dan sahabat sejati dalam arti sesungguhnya. Sosoknya yang memiliki dan menjaga hal-hal yang kuinginkan terasa begitu menyilaukan.
Dan dia bahkan mengizinkanku masuk ke dalam lingkaran itu. Meski dalam bentuk yang berbeda, dia memberiku apa yang kuinginkan.
Itulah sebabnya aku pikir aku jatuh cinta padanya.
Karena dia menyelamatkan nyawaku—itu memang alasan besar. Tapi lebih dari itu, di tingkat yang lebih mendasar, aku benar-benar menyukainya.
Kami naik lift apartemen menuju lantai kamarku. Aku gugup, dan Senpai pun sama. Karena itu, kami terus terdiam. Namun anehnya, bahkan keheningan itu pun terasa nyaman dan menenangkan. Emosiku hari ini benar-benar aneh, penuh kontradiksi.
"Senpai, kamu gugup ya? Masuk ke kamar seorang gadis di malam hari… rasanya seperti sedang melakukan sesuatu yang tidak seharusnya, ya."
Sebagian karena malu, aku sengaja menggoda seperti itu. Kalau tidak, tanganku sendiri akan gemetar.
"Ya tentu saja aku gugup. Kali ini agak berbeda dengan waktu itu."
Aku hampir saja berseru, "Eh?" Memang, dia pernah masuk ke kamarku saat kencan. Tapi waktu itu bukan malam hari.
Tapi… dia belum pernah ke rumah Amada-san, kan? Tidak, mungkin pernah. Mereka pasti punya hubungan keluarga yang dekat.
Dengan menganalisis fakta secara tenang, aku sampai pada satu kesimpulan.
"Begitu ya… berarti aku ini istimewa, ya?"
Aku mengatakannya begitu saja karena terlalu senang. Senang karena di dalam dirinya, aku menjadi sosok yang istimewa.
Dan setelah mengucapkannya, aku sadar betapa memalukannya kalimat itu, lalu perlahan wajahku memerah. Agar tidak ketahuan, aku mengalihkan pandangan darinya.
Ternyata, dia pun gugup. Soalnya, suaranya bergetar.
"No comment."
Aku tak bisa menahan tawa.
"Jangan bilang hal-hal seperti politisi dong."
Mungkin karena kata-kataku itu, dia jadi semakin malu. Entah kenapa. Padahal baru sebentar kami saling mengenal, tapi aku merasa sangat mengerti dirinya.
Perasaan aneh yang campur aduk antara senang dan geli. Aku ingin momen-momen kecil seperti ini berlangsung selamanya.
"Lagi pula, apa benar tidak apa-apa? Bagaimanapun juga ini agak ceroboh. Kamu tinggal sendirian, kan? Kalau sampai terjadi sesuatu yang salah……"
Tepat saat itu, kami sampai di lantai tujuan. Dia yang begitu sopan pasti tidak akan melakukan hal yang tidak kusukai.
Aku juga tidak khawatir akan dipaksa. Karena dia Aono Eiji. Aono Eiji yang kusukai pasti tidak akan pernah melakukan hal semacam itu.
Namun di dalam diriku, perasaan tidak pantas karena telah mengajukan undangan yang bahkan membuatku tak berhak mengeluh jika terjadi sesuatu, juga semakin membesar.
"Bukankah Senpai sudah mengatakan hal itu sebelumnya?"
Aku berusaha keras menciptakan kesan tenang.
"Benarkah?"
Nada bicaranya yang berpura-pura polos membuatku sedikit tenang.
"Tidak apa-apa kok. Aku percaya Senpai. Kita cuma minum teh sambil mengobrol seperti biasa. Dan lagi…"
Aku hampir mengucapkan sesuatu yang seharusnya tidak kukatakan. Aku benar-benar sedang melayang.
"Dan lagi?"
Emosi yang tak terkendali membuat kata-kata yang dulu kutelan kini keluar dengan jelas. Padahal waktu itu aku sudah berusaha keras menahannya.
"Kalau bersama Senpai… sedikit salah pun tidak apa-apa."
※
── Sudut pandang Aono Eiji ──
"Sedikit salah pun tidak apa-apa."
Kata-kata itu bergema di dalam hatiku. Ichijou-san sampai berkata sejauh itu padaku. Itu suatu kehormatan besar. Akal sehatku pun goyah cukup hebat.
Bahkan tanpa harus mengatakannya secara langsung, dari setiap kata yang kami ucapkan, aku bisa merasakan bahwa kami saling menghargai satu sama lain.
Mungkin kalau aku menyatakan perasaanku sekarang, dia akan langsung menerimanya tanpa ragu.
"Sedikit salah itu maksudnya…"
Tanpa sadar, aku tersenyum pahit.
"Kamu lagi mikirin hal yang agak mesum, ya?"
Dia tersenyum dengan ekspresi poker face disertai senyum menggoda. Saat Ichijou-san tersenyum seperti itu, biasanya ia sedang menyembunyikan rasa malu.
Ichijou-san adalah manusia super yang nyaris sempurna, tetapi dalam urusan hubungan antarmanusia, ada sisi dirinya yang masih sesuai dengan usianya.
Mungkin dia mengira sudah menyembunyikannya dengan baik, namun dalam senyumnya ada bagian yang terasa agak gelap. Aku pikir itu mungkin dipengaruhi oleh hubungan keluarganya.
Aku tidak pernah bertanya alasan mengapa pada hari itu dia sempat ingin mati. Namun, tanpa perlu bertanya pun aku bisa merasakannya—pasti ada sesuatu dengan hubungan keluarganya.
Dia sengaja menghindari pembicaraan tentang keluarga. Meski dia mau menceritakan hal-hal pribadinya yang lain, topik itu tidak pernah mau ia sentuh sama sekali.
Aku teringat perkataan Ayah semasa hidupnya.
—Adanya masalah dalam hubungan keluarga itu sendiri sudah cukup untuk melukai seorang anak.
Kata-kata itu mencerminkan pandangan hidup Ayah yang terbentuk dari melihat begitu banyak orang di restoran dan dari pengalamannya hidup dalam kegiatan sosial.
Ichijou-san juga pasti telah lama terluka. Meski begitu, dia tidak pernah berhenti melangkah. Mungkin karena terlalu memaksakan diri, hatinya akhirnya tertekan hingga hancur.
Tak lama kemudian, lift pun tiba di lantai tujuan. Aku belum siap secara mental. Kami berjalan tanpa kata hingga ke depan kamar, lalu dia membuka pintunya.
"Silahkan."
Dia masuk lebih dulu, lalu aku mengikutinya.
Aroma manis langsung tercium. Mungkin aroma itu sedikit menenangkanku, karena aku jadi punya kelonggaran untuk mengamati sekeliling. Kamar ini—yang kedua kalinya aku datangi—entah kenapa terasa sepi.
Padahal aromanya manis, tetapi ruangan ini terasa mekanis. Aku merasa dia terus memainkan peran Ichijou Ai yang diidealkan oleh orang lain.
Seperti dugaanku, hanya ada barang-barang yang benar-benar diperlukan. Perabotan dan furniturnya bergaya antik dan tampak mahal, tetapi tidak ada nuansa kehidupan yang seharusnya ada. Bahkan saat melihat furniturnya, yang terasa hanya penegasan sosok "Ichijou Ai ideal" yang diinginkan semua orang—hingga ruangan ini bahkan terlihat seperti sebuah sangkar.
Aku merasa hampir tidak ada apa pun di kamar ini yang benar-benar membuktikan dirinya sebagai dirinya sendiri.
Suasana dingin menyelimuti ruangan, seperti rumah boneka yang dibuat demi sebuah patung bernama Ichijou Ai di mata orang lain.
Namun, ada satu bagian yang berbeda. Hanya di sana terasa sosok Ichijou Ai yang benar-benar kukenal… kepribadiannya yang sesungguhnya.
"Kamu pajang, ya."
Aku mengatakan itu saat melihat dua boneka yang kami dapatkan saat kencan pertama dan di game center tempo hari.
Hanya di sudut itu aku bisa merasakan selera pemilik kamar ini. Justru karena furnitur lainnya terasa dingin, seperti barang pemberian orang lain, perbedaan itu makin terasa.
"Iya. Karena aku ingin selalu bersama mereka sebisa mungkin, jadi aku taruh di sofa. Boneka ini kelihatan seperti pasangan, ya. Aku sempat berpikir, mungkin agak kekanak-kanakan."
Dia terlihat sedikit malu. Sikap itu membuatku sangat merasakan jarak antara dirinya dan sosok sempurna yang ia tunjukkan di sekolah.
Aku sampai terpana, tak mampu berkata apa-apa.
"Teh hitam saja nggak apa-apa, kan?"
"Iya."
Sepertinya dia sudah tahu teh apa yang kusukai. Sumber informasinya pasti Ibu. Mungkin dia sudah menyiapkannya agar kapan pun aku datang, semuanya siap.
Ichijou-san dengan cekatan merebus air dan memilih camilan dari lemari.
Aku mengamatinya dengan saksama.
"Kenapa sih menatapku terus? Aku jadi malu."
Protes malu itu pun terlontar.
"Tidak, aku senang bisa merasakan keseharian Ichijou-san."
"Kalau bukan kamu, itu sudah termasuk pelecehan, lho."
Dia mengeluh dengan nada senang. Dan di saat yang sama, aku senang karena secara tidak langsung dia memberiku izin.
Sambil bercakap seperti biasa, ketegangan yang tadi ada pun menghilang entah ke mana.
"Senpai, masih ingat tidak apa yang kita bicarakan tadi?"
Sambil menyiapkan cangkir teh antik yang tampak mahal, dia bertanya dengan nada menggoda.
Aku pura-pura bodoh dan menjawab, "Apa ya?" tapi dia sedikit cemberut dan berkata, "Ih."
Dia menghela napas kecil, lalu ekspresinya berubah—menjadi wajah yang lembut, sedih, dan penuh daya tarik. Dengan ragu-ragu dia bertanya,
"Menurut Senpai, ‘sedikit’ itu sampai sejauh mana?"
Aku hampir saja memuntahkan teh yang sedang kuminum. Aku tidak menyangka dia akan sejauh ini. Aku bahkan tidak tahu harus menjawab apa.
Sejujurnya, sejak dipanggil ke rumahnya aku memang sudah memikirkan banyak hal, tapi belum mampu merangkai jawabannya. Karena gugup, kata-kata aneh pun terlepas.
"Entahlah?"
Aku berusaha terlihat santai, seolah masih punya kendali. Padahal, meski kami berdua pasti tegang, entah kenapa kendali sepenuhnya berada di tangan Ichijou-san.
Dia pun melangkah satu langkah lebih jauh. Namun, itu terasa sedikit berbeda dari dirinya yang kukenal.
"Pegangan tangan? Ciuman? Atau…"
Dia meletakkan cangkir teh, mendekat ke arahku yang duduk di kursi, lalu berbisik di telingaku.
"Lebih dari itu?"
Dengan serangan seperti itu, hampir tidak ada pria yang bisa tetap tenang. Rasanya akal sehatku hampir menghilang. Tapi entah kenapa, saat kulihat wajahnya, matanya tampak sedih.
Sejak saat itu, aku tak lagi mampu merangkai kata, dan tubuhku bergerak dengan sendirinya.
Aku perlahan menghadapnya dan memeluk tubuhnya yang lembut. Aromanya manis, seperti madu. Dia tampak sedikit terkejut, tetapi segera melepaskan tenaga dari tubuhnya.
Seolah sudah memantapkan tekad, Ichijou-san menerimaku. Dia perlahan melingkarkan lengannya yang ramping ke punggungku.
Aku pun memeras jawaban atas pertanyaannya tadi. Aku tidak tahu apakah ini jawaban yang benar atau salah. Namun, aku tidak sanggup meninggalkan dirinya yang menatapku dengan mata sesedih itu.
"Mungkin… sampai sejauh ini."
Di dalam pelukanku tidak ada lagi junior yang dijuluki idola sekolah, siswi jenius yang unggul di akademik dan olahraga. Yang ada hanyalah seorang gadis yang rapuh dan mudah terluka.
"Oh, begitu."
Ichijou-san menatapku dengan senyum lega—terlihat senang, namun juga sedikit sedih.
Ekspresi rumit yang tadi ia tunjukkan telah menghilang. Jadi begitu… itu tadi adalah warna penyesalan. Baru sekarang aku menyadarinya.
Aku menyesal karena terlambat. Dia pasti sudah lama bimbang, penuh kekhawatiran dan kecemasan. Dan aku tidak mampu menyadarinya lebih cepat.
Seolah ingin menyembunyikan wajahnya, dia membenamkan wajah ke dadaku. Aroma manis menggelitik hidungku. Rambutnya yang panjang, halus seperti sutra, bergoyang lembut.
Aku memeluk tubuhnya dengan erat. Sentuhan kulit yang lembut. Napas manisnya. Aroma sampo dan sabun.
"Maafkan aku. Aku bertindak gegabah sendirian. Aku terburu-buru. Aku takut Senpai akan pergi jauh. Aku malah memanfaatkan kebaikanmu. Karena itu aku tidak punya muka untuk menghadapimu. Jadi… tolong, biarkan aku seperti ini sedikit lebih lama."
Dia bersembunyi di dadaku dan sama sekali tidak mau memperlihatkan wajahnya. Mungkin dia sedang menangis. Suaranya bergetar.
Yang ada di sana bukanlah idola sekolah yang sempurna itu. Yang ada di sana adalah Ichijou Ai—gadis rapuh yang seusia denganku, yang kutemui di atap gedung pada hari itu.
Rasanya, akhirnya aku bisa bertemu dengan dirinya yang sebenarnya. Kalau begitu, hanya ada satu hal yang harus kulakukan.
Aku tidak berpikir pilihan yang akan kuambil selanjutnya adalah jawaban yang benar. Tapi aku ingin mengikuti perasaanku sendiri.
Mungkin aku salah paham. Mungkin ini bukan hal yang dia harapkan. Mungkin terlalu berat.
Namun, ini adalah pelajaran yang kupetik dari kejadian dengan Miyuki. Hal-hal yang ingin kusampaikan harus disampaikan selagi masih bisa berada di dekatnya.
Karena aku tidak ingin melepaskannya. Aku ingin membuatnya bahagia—dia yang telah menemaniku melarikan diri dari neraka saat itu. Karena itu, aku ingin benar-benar menghadapinya dengan jujur.
Aku mengendurkan pelukanku.
Ichijou-san tampak sedikit terkejut, lalu menatapku dengan mata berkaca-kaca.
Wajahnya memerah, ekspresinya tampak cemas, seolah-olah memohon—wajah rapuh yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Mungkin Ichijou-san salah paham, mengira aku merasa tidak nyaman. Mulutnya terbuka, seakan hendak berkata, "Maaf." Tapi aku tidak ingin dia mengucapkan kata itu. Tidak perlu minta maaf. Justru akulah yang ingin mengucapkan terima kasih. Karena dia telah bertemu denganku hari itu.
Karena di tengah kekacauan tersebut, dialah orang pertama yang mempercayaiku. Dan karena meski tahu ada risiko dirinya akan dirugikan, dia tetap berdiri di pihakku.
Aku bisa berada di sini sekarang sepenuhnya berkat Ichijou-san. Jadi, jika aku membuatnya merasa cemas, itu adalah kesalahanku.
"Maaf sudah membuatmu merasa tidak tenang."
Padahal dialah yang hendak meminta maaf, tapi justru aku yang lebih dulu meminta maaf, membuat Ichijou-san tampak kebingungan.
"Senpai?"
Aku meletakkan kedua tanganku di bahunya yang gemetar, lalu merangkai kata-kata.
"Tidak perlu terburu-buru. Kalau orang sepertiku ini masih boleh… kalau kamu mau memaafkanku. Aku akan selalu berada di sisimu, Ichijou-san. Aku tidak akan pergi ke mana pun. Tidak pernah."
Dengan wajah terkejut, dia menatapku. Sejenak, waktu seakan berhenti—seolah dunia ini hanya menyisakan kami berdua.
Aku telah melemparkan perasaan yang hampir seperti pengakuan cinta, bahkan sesuatu yang lebih berat dari itu.
Inilah jawabanku. Nanti aku pasti akan merasa malu setengah mati. Tapi aku juga yakin, aku tidak akan menyesal telah mengucapkan perasaan ini.
Setelah keheningan sesaat, seolah maknanya baru meresap belakangan, dia mengeluarkan suara pendek, "Eh." Sambil beberapa kali berkedip, dia mencoba menerima kenyataan.
Mungkin memang terlalu tiba-tiba. Kata-kata seolah tidak mau keluar. Lalu setelah keheningan yang panjang, dia tersenyum kecil.
"Begitu ya."
Seperti sebelumnya, dia kembali melompat ke dadaku. Namun, emosi yang dipeluknya kali ini berbeda dari yang tadi.
"Orang seperti aku ini… apa benar tidak apa-apa?"
Itu adalah kata-kata pertama yang keluar darinya. Sangat mencerminkan dirinya yang polos.
Karena itu, aku pun menjawab apa adanya.
"Bukan ‘orang seperti apa’. Aku memang menginginkan Ichijou Ai."
Matanya dipenuhi air mata.
"Terima kasih. Tolong… jangan lepaskan aku, ya."
Dengan suara bergetar, namun terdengar bahagia, dia menjawab.
Berpegang pada kata-kata itu, aku kembali mengulurkan tanganku dan memeluk punggungnya sekali lagi.
"Iya. Pasti."
Kami pun melangkah maju, sedikit demi sedikit.
※
──Sudut Pandang Ichijou Ai──
"Menurut Senpai, ‘sedikit’ itu sampai sejauh mana? Pegangan tangan? Ciuman? Atau… lebih dari itu?"
Atas pertanyaanku yang usil itu, dia tampak sangat kebingungan. Setelah mengatakannya, rasa benci pada diri sendiri langsung menyerangku.
Aku sadar betul bahwa aku telah menyodorkan pilihan yang kejam pada dirinya yang begitu baik. Kejadian dengan Amada-san juga baru saja terjadi—mungkin dia bahkan belum sempat menata perasaannya.
Lalu kenapa aku… bisa berbuat sekejam dan setidak adil ini?
Aku sedang panik. Bakatnya berada jauh di luar jangkauanku. Aku memang senang ketika mendengar kabar debutnya sebagai novelis telah ditentukan, tetapi di saat yang sama ada rasa sepi, seolah aku ditinggalkan.
Aku tidak mau ditinggalkan lagi. Ibu dan Ayah sudah pergi jauh.
Aku juga takut Senpai akan pergi jauh. Karena itu, aku bersikap manja seperti anak kecil, seakan-akan bergantung padanya. Padahal akulah yang takut menceritakan rahasia itu….
Aku takut pada kata-kata atau tindakan berikutnya darinya. Apa pun pilihan yang dia ambil, aku akan senang. Namun pada saat yang sama, aku bisa membayangkan diriku sendiri yang menyesal.
Karena pada akhirnya aku telah memaksanya untuk memilih. Dia pasti tidak akan menyalahkanku. Tapi selama aku bersamanya, penyesalan itu akan selalu ada.
Mungkin karena dia mengkhawatirkanku yang tak mampu menyembunyikan kegelisahan, dia memelukku tanpa mengatakan apa pun.
Aku diselimuti oleh kelembutan dirinya yang selalu ada di sisiku. Aku bahagia. Bahkan di saat seperti ini pun, aku tak berdaya dan kembali diselamatkan oleh kebaikannya.
Dengan ragu, dia bergumam, "Mungkin… sampai sejauh ini?"
Kehangatan tubuhnya menjalar padaku. Punggungnya yang lebar memberiku rasa aman.
Aku senang. Tapi di saat yang sama, sisi egoisku muncul. Aku ingin, meski dengan cara memaksa, mengubah hubungan kami.
Bagaimana jika dia benar-benar pergi jauh?
Bagaimana jika dia jatuh cinta pada orang lain?
Hubungan kami seolah hanya berdiri di atas jembatan rapuh. Aku ingin sesuatu… semacam bukti nyata.
Dan aku membenci diriku yang egois itu. Aku merasa telah memanfaatkan kebaikannya.
"Maaf… tapi, sedikit lagi saja."
Aku memohon, agar dia tidak pergi jauh—agar keberadaanku tertanam kuat dalam dirinya.
Dia tetap berada di sana, seolah bersedia menuruti keegoisanku.
Lalu, perlahan dia mengendurkan kekuatannya.
Detik itu terasa sangat menyedihkan. Mungkin aku dibencinya. Karena kecurigaan itu, dunia seakan runtuh dengan suara keras.
"Maaf sudah membuatmu merasa tidak tenang."
Padahal aku yang seharusnya meminta maaf, tapi justru membuatnya meminta maaf. Rasa bersalah itu begitu menyakitkan.
Dengan hampir menangis, aku mengeluarkan suara.
"Senpai?"
Dengan ekspresi yang sangat tulus, dia memegang kedua bahuku dengan lembut.
"Tidak perlu terburu-buru. Kalau orang sepertiku ini masih boleh… kalau kamu mau memaafkanku. Aku akan selalu berada di sisimu, Ichijou-san. Aku tidak akan pergi ke mana pun. Tidak pernah."
Kata-kata yang dia rangkai melampaui semua bayanganku.
Butuh waktu bagiku untuk benar-benar memahaminya.
Pengakuan itu terdengar seperti ajakan menjadi sepasang kekasih—namun terasa jauh lebih berat dari itu.
Dan itu adalah kata-kata yang paling kuinginkan, lebih dari semua pilihan yang tadi kuajukan.
"Eh…"
Kepalaku menjadi kosong, detak jantungku semakin keras. Sampai-sampai aku takut dia bisa mendengarnya.
Aku berusaha sekuat tenaga menatap wajahnya. Karena gugup, pandanganku tidak bisa fokus dengan baik.
Namun, aku ingin menatap wajahnya dan menjawab dengan pasti. Aku mengumpulkan keberanian, menatapnya—dan di sana ada dirinya, menatapku dengan wajah cemas.
Melihat itu, hatiku menjadi tenang, dan aku bisa mengungkapkan perasaanku dengan jujur.
"Orang seperti aku ini… apa benar tidak apa-apa?”
Kata-kata pertama yang keluar adalah itu. Mungkin itu adalah kata-kata yang sudah lama tidak terucap—kata-kata dari diriku yang sebenarnya, setelah aku sepenuhnya kehilangan sosok ideal yang selama ini terus kuperankan. Dia langsung menerimanya tanpa ragu.
"Bukan ‘orang seperti apa’. Aku memang menginginkan Ichijou Ai.”
Sejak kecelakaan itu, diriku yang sebenarnya—yang tak pernah bisa kutunjukkan pada orang lain—perlahan terasa diselamatkan.
Kata-kata yang dia berikan padaku jauh lebih dari sekadar sentuhan fisik atau ikatan tubuh; itulah kata-kata yang selama ini benar-benar kucari.
Mungkin… akhirnya aku bisa melangkah maju. Karena sejak hari itu, waktu seolah berhenti bagiku.
"Terima kasih. Tolong… jangan lepaskan aku, ya."
Aku rasa itu adalah senyum terbaikku dalam beberapa tahun terakhir. Senyum yang hanya akan kutunjukkan padanya… momen berharga ketika akhirnya aku bisa tersenyum dari lubuk hatiku.
"Ya. Pasti."
Mendengar kata-kata itu, aku benar-benar merasa bahagia.
Hubungan kami akhirnya benar-benar dimulai, dalam arti yang sesungguhnya.
※
──Sudut Pandang Aono Eiji──
Setelah cukup lama saling berpelukan, kami perlahan melepaskan tubuh masing-masing.
Dengan perasaan masih enggan berpisah. Namun sekarang, aku sadar—mulai sekarang kami tidak lagi membutuhkan alasan khusus hanya untuk berpelukan.
Memikirkan itu saja sudah menghangatkan hatiku. Banyak perasaan muncul lalu menghilang di dalam dadaku. Meski kami baru saja saling mengenal, rasanya kami telah melewati waktu yang sangat padat. Aku yakin, waktu singkat ini akan menjadi momen yang mengubah hidupku.
Kami saling tersenyum, masing-masing menyembunyikan berbagai perasaan di dalam hati. Senyum itu penuh dengan rasa sayang satu sama lain.
"Mohon kerja samanya ke depannya."
Dia tersenyum dengan malu-malu. Pengakuanku tadi jelas bukan pengakuan yang biasa.
Mungkin, sebagai pengakuan cinta ala siswa SMA, itu benar-benar tidak pantas.
Karena jujur saja… aku benar-benar kebablasan. Tapi Ichijou-san menekankan kata "ke depannya". Itu membuatku merasa bahwa pengakuan barusan memiliki makna yang sama bagi kami berdua—dan itu membuatku sangat malu.
"Iya… benar."
Aku tersenyum kecut sambil menyembunyikan perasaanku.
Kalau dipikir secara normal, seharusnya ini adalah awal dari hubungan pacaran antara pria dan wanita.
Aku juga merasa dia sedang menyembunyikan rasa malunya.
Suasana yang sulit diungkapkan dengan kata-kata pun menyelimuti kami berdua.
Aku meneguk teh hitam yang sudah agak dingin. Rasa asam manis buah yang cerah dan sepatnya teh menyeruak sekaligus. Rasanya pas dengan suasana hatiku sekarang.
Dia juga menyesap teh di saat yang sama, dengan ekspresi terpesona. Namun, Ichijou-san tetaplah Ichijou-san yang penuh perhatian.
"Tehnya sudah agak dingin ya. Aku buatkan yang baru."
"Nggak apa-apa kok."
"Jangan begitu. Soalnya, selama membuat teh lagi, kita bisa ngobrol sedikit lebih lama, kan? Tolong… temani aku sebentar lagi."
Cara dia tiba-tiba memperlihatkan sisi kewanitaannya itu membuat jantungku berdebar. Mungkin setelah pengakuan tadi, dia mulai memperlihatkan dirinya yang lebih apa adanya.
Aku masih belum benar-benar mengenal dirinya yang sesungguhnya. Justru karena itu, aku sangat menantikan apa yang akan datang.
"Kalau begitu, aku terima tawarannya."
Aku mengambil sebutir cokelat impor yang ada di atas meja.
Sepertinya itu cokelat pahit. Lidahku yang mengharapkan rasa manis cukup terkejut. Namun, pahitnya yang elegan sangat cocok dengan teh.
Kotaknya berlogo merek yang bahkan aku kenal—yang artinya, ini pasti mahal. Dia benar-benar putri orang kaya, ya.
Aku tersenyum pahit pada diriku sendiri yang baru sekarang sampai pada kesimpulan yang jelas itu—namun tetap merasa bersyukur karena aku berani melangkah maju.
Aku juga ingin menjadi pria yang sepadan dengannya. Karena itu, aku harus lebih serius menulis novel. Aku ingin mengembangkan bakat yang dia temukan dalam diriku—dan membuatnya bahagia.
"Senpai?"
"Hm?"
Dia membelakangiku sambil menyeduh teh. Gerakan tangannya begitu anggun sampai-sampai memancarkan keanggunan alami.
"Aku tahu aku harus mengatakannya dengan jelas. Mungkin kamu juga sudah menyadari sisi diriku yang tidak utuh. Aku tidak ingin memanfaatkan perasaanmu tanpa menjelaskan hal yang penting."
Aku sempat bingung tentang apa yang ingin dia sampaikan, tapi segera paham. Pasti tentang keluarganya.
Namun, sepertinya dia belum sepenuhnya siap secara emosional.
Meski ingin bicara, dia belum bisa. Aku tak ingin memaksanya—dengan wajah sedih seperti itu.
Aku bisa merasakan bagaimana dia berusaha menyembunyikan ekspresinya agar tidak membuatku khawatir. Kalau begitu, sampai hatinya siap, aku tak ingin memaksanya.
"Iya. Seperti yang tadi kukatakan, kamu tidak perlu memaksakan diri. Tidak perlu terburu-buru. Kalau Ichijou-san ingin bercerita, ceritakan saja."
Selama ini, dia selalu berada di sisiku. Jadi sekarang, gantian aku yang… menopangnya.
"Terima kasih. Senpai memang benar-benar baik. Karena itu, aku tidak ingin terlalu bergantung. Kalau suatu saat aku bisa menjelaskan semuanya dengan benar… lalu setelah mendengar penjelasanku, perasaanmu masih tidak berubah… tolong ucapkan lagi kata-kata tadi."
Terlalu serius. Itu yang jujur terlintas di pikiranku. Aku memang bisa merasakan bahwa dia memiliki masa lalu keluarga yang berat.
Tapi yang kusukai bukanlah dirinya di masa lalu. Melainkan dirinya yang sekarang… dan yang akan datang.
"Perasaanku tidak akan berubah. Karena kata-kata tadi bukan kutujukan pada Ichijou-san di masa lalu, melainkan pada dirimu yang sekarang."
Mendengar itu, dia sedikit menundukkan kepala.
"Kata-kata yang ingin kudengar… terima kasih."
Kami melangkah maju, perlahan tapi pasti.
Kali ini, aku memeluknya dari belakang.
Dia tidak menolak dan menerimanya dengan tenang. Hubungan kami jelas semakin dalam.
※
──Sudut Pandang Ichijou Ai──
"Senpai, besok kamu ada waktu luang? Ada tempat yang ingin kutunjukkan, dan aku ingin kamu ikut."
"Iya, ayo."
"Terima kasih. Mungkin kita harus bolos sekolah… apa itu tidak apa-apa?"
"Ah, bukannya kita sudah bolos di hari pertama? Kali ini aku akan menjelaskannya dengan baik pada guru dan juga Ibu. Akan kubilang ada urusan yang sangat penting. Kalau kita berdua, mereka pasti mengerti."
Ketulusannya tetap terasa hangat.
Senpai pulang setelah minum teh. Terlalu banyak hal yang terjadi, sampai-sampai aku ambruk di pintu masuk. Tapi perasaan kami sejalan.
Hanya dengan menyadari itu saja, aku tahu aku tak perlu lagi terburu-buru… tidak, itu salah.
Aku menolak diriku sendiri yang selalu berpikir untung rugi.
"Aku dicintai oleh seorang pria bernama Aono Eiji."
Fakta itu membuatku begitu bahagia sampai rasanya ingin berteriak.
Aku selalu ingin dicintai oleh seseorang. Akhirnya aku mengerti. Dia membuatku menyadarinya. Dan dia mencintaiku.
"Tapi, Senpai…"
Aku menghela napas bahagia.
"Aku sudah siap kalau dicium, bahkan kalau didorong dan ditindih. Tapi aku tidak pernah menyangka akan dilamar. Itu sama sekali bukan ‘sedikit’. Tidak sedikit sama sekali."



1 comment