NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark
📣 IF YOU ARE NOT COMFORTABLE WITH THE ADS ON THIS WEB, YOU CAN JUST USE AD-BLOCK, NO NEED TO YAPPING ON DISCORD LIKE SOMEONE, SIMPLE. | JIKA KALIAN TIDAK NYAMAN DENGAN IKLAN YANG ADA DIDALAM WEB INI, KALIAN BISA MEMAKAI AD-BLOCK AJA, GAK USAH YAPPING DI DISCORD KAYAK SESEORANG, SIMPLE. ⚠️

Jinseigyakuten Uwakisare Enzai wo Kiserareta Orega Gakuenichi no Bisyoujo ni Natsukareru V3 Selingan 1

 Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Selingan 1


──Sudut Pandang Takayanagi──


Sepulang sekolah. Urusan konfirmasi masalah klub sepak bola kuserahkan pada guru lain, lalu aku mendatangi seorang siswa sendirian. Aku yakin dia pasti sedang melakukan kegiatan klub di ruang praktikum sains.


Seharusnya aku sudah lebih cepat menjalin kontak dengannya.


Aku mengetuk pintu. Setelah terdengar suara, "Silahkan," aku masuk. Dia sedang menyiapkan lampu alkohol.


"Oi, Endou. Bisa bicara sebentar?"


Akhirnya aku sampai juga. Kepada satu siswa lagi yang seharusnya aku selamatkan.



──Sudut Pandang Endou──


Saat aku sedang menyiapkan percobaan di ruang praktikum sains, Takayanagi-sensei datang.


Waktunya pas. Pasti soal Kondou dan kawan-kawannya.


Dalam arti tertentu, aku memang melakukan sebuah pelanggaran. Karena itu, aku sudah siap menerima hukuman. 


Takayanagi-sensei berjuang mati-matian demi Aono. Jika aku harus dihukum olehnya, aku menerimanya dengan lapang. Kalau semuanya sudah terbongkar, aku tidak berniat mencari-cari alasan.


"Ya, tidak apa-apa. Kebetulan hari ini cuma aku sendiri, jadi di sini saja boleh?"


"Ah, tentu saja."


Sensei tersenyum dengan lembut.


"Kalau begitu, apa perlu aku seduh kopi pakai gelas beker? Biar terasa seperti eksperimen sains."


Saat aku melontarkan candaan itu, sensei tertawa.


"Benar juga. Di light novel memang sering ada adegan begitu. Tapi hari ini aku beli kopi kalengan. Caffè latte tidak apa-apa?"


Sikap ramah itu membuatku sedikit tenang.


"Terima kasih. Tidak apa-apa, guru mentraktir murid ya?"


Sensei tertawa mendengarnya.


"Kalau diam saja, tidak akan ketahuan. Soal Aono, aku akan banyak minta bantuanmu, Endou. Anggap saja ini tanda terima kasih kecil."


"Aku maunya yakiniku."


Aku bercanda sedikit, dan sensei tertawa sambil berkata, "Jangan ngelantur."


Dan dari reaksi sensei, aku sadar semuanya sudah ketahuan. Karena sarafku sedang sangat peka, aku bisa membaca reaksi sekecil apa pun.


"Jadi, soal apa yang ingin dibicarakan?"


Aku sudah siap. Berkat Imai, aku sudah siap. Bahkan kalau aku dihukum di sini, aku tetap bisa melangkah ke depan. 


Kalau sampai dikeluarkan dari sekolah, aku akan belajar keras, ikut ujian penyetaraan SMA, lalu masuk universitas. Kutukan Kondou dan Eri akan kuakhiri di sini.


"Aku ingin mengucapkan terima kasih atas banyak hal. Dan juga, meminta maaf."


Sensei mengucapkan kata yang sama sekali tidak kuduga.


"Meminta maaf? Kenapa?"


"Sudah seharusnya. Muridku menderita, tapi aku sama sekali tidak menyadarinya sampai sekarang. Endou, sungguh maaf. Aku rasa aku sudah membuatmu terpojok cukup parah. Seharusnya aku lebih cepat menyadarinya. Aku benar-benar minta maaf. Aku membiarkanmu menanggung sendiri masalah Kondou dan klub sepak bola."


Tanpa sadar, emosiku terguncang. Bahkan wali kelasku saat SMP pun tidak pernah menghadapi aku dengan setulus ini.


"Kenapa… sejauh mana sensei tahu?"


"Aku baru benar-benar menyadari kalau Endou bergerak di balik layar dalam insiden ini belum lama ini. Saat foto-foto Kondou dan kawan-kawannya dikirim ke sekolah, aku tahu kalau fotografernya menyimpan kebencian yang kuat terhadap Kondou. Mungkin dia juga ikut mengguncang klub sepak bola. Dia bahkan rela mempertaruhkan hidupnya demi Aono. Ketika aku menyelidiki siswa yang absen pada hari foto itu diambil, dan yang punya kaitan dengan Aono maupun Kondou, namamu muncul. Ditambah lagi riwayat masa lalumu. Kurasa kamu juga sudah memperhitungkan kemungkinan ketahuan. Dalam skenario terburuk, kamu siap mengorbankan dirimu sendiri demi menekan Kondou."


Hebat, pikirku. Sampai pada titik Kondou atau klub sepak bola melacak keberadaanku dan datang membalas dendam—itulah rencana awalku. 


Dengan memicu insiden kekerasan, aku akan menjerumuskan mereka ke situasi tanpa jalan keluar. Strategi nekat. Dengan sifat Kondou yang haus pengakuan, dia pasti akan memikirkan balas dendam.


Saat rencana itu hampir memasuki tahap akhir, pihak sekolah justru bergerak menjatuhkan sanksi pada Kondou dan kawan-kawannya. Kecepatannya di luar dugaan.


"Rencanamu berjalan dengan baik, Endou. Faktanya, pada hari Minggu beberapa anggota klub sepak bola mengaku pada pihak sekolah. Mereka menyerahkan beberapa file audio dan riwayat pesan media sosial. Karena Endou bergerak dan membuat klub sepak bola goyah, sekolah bisa bertindak secepat ini. Terima kasih sudah bergerak demi Aono."


"Bukan begitu. Aku tidak bergerak demi Aono. Aku bergerak hanya demi diriku sendiri… itu saja."


"Jangan merendahkan dirimu seperti itu. Kalau kamu bergerak semata-mata karena dendam pribadi pada Kondou, seharusnya kamu sudah bisa bertindak jauh lebih cepat. Tapi kamu bergerak demi Aono. Karena itulah kamu memilih waktu ini, bahkan siap mengorbankan dirimu sendiri. Benar, kan? Alasan yang kamu ucapkan itu pun hanya supaya Aono tidak merasa berutang padamu."


"……"


Menghadapi sensei yang berusaha sepenuh hati berpihak padaku, aku merasa tak berdaya. Seandainya aku bisa bicara jujur sejak dulu. Kalau aku bertemu Takayanagi-sensei saat SMP, mungkin hidupku akan berbeda.


"Karena itu, jangan bergerak lebih jauh lagi. Tarik tanganmu, Endou. Andalkan orang dewasa. Aku tahu kami tidak sepenuhnya bisa diandalkan. Tapi kamu tidak perlu memikul semuanya sendirian sampai mengorbankan masa depanmu. Kamu sudah berjuang sejauh ini."


Sensei ini benar-benar… luar biasa.


"Terima kasih. Aku juga ingin menyerahkan semua materi yang sudah kami kumpulkan. Aku siap menerima hukuman apa pun."


Akhirnya beban di pundakku terlepas. Sisanya, biarlah sensei yang melanjutkan.


"Itu sangat membantu. Tapi, hukuman apa yang kamu maksud?"


"Eh, tapi…"


"Memang bolos itu bukan hal yang patut dipuji, tapi soal foto itu, kamu hanya tidak sengaja menjatuhkannya, kan? Kebetulan saja jatuh di depan ruang klub sepak bola. Tidak mungkin kami menghukum siswa hanya karena kehilangan barang."


Mendengar kata-kata itu, emosiku meledak tanpa tertahan. Caffè latte yang kuminum untuk menenangkan diri terasa manis sekaligus pahit.


Aku melihat berita online tentang kehancuran Kondou dan kawan-kawannya. Nama asli mereka memang belum dipublikasikan, tapi itu tinggal menunggu waktu. Dengan ini, dalam arti tertentu, balas dendamku akhirnya selesai.


Kalau masalah ini meluas, ayah Kondo juga akan tamat. Posisinya sebagai anggota dewan kota pasti berakhir, dan usaha konstruksinya pun akan hancur. 


Konon, perusahaan keluarga Kondou memanfaatkan kedudukannya untuk menarik proyek dari kota dan prefektur—tradisi turun-temurun. Jika itu runtuh, nadi kehidupan mereka akan terputus.


Dalam kasus ini, keluarga Kondou juga akan menghadapi tuntutan ganti rugi atas perundungan dan kekerasan, dan kerusakan besar pada usaha utama mereka akan menyeretnya menuju kebangkrutan.


Dengan ini, balas dendamku… akhirnya… benar-benar berakhir?


Hari yang selama bertahun-tahun kupikirkan akhirnya tiba, tapi hatiku tidak terasa lega.


Karena nama baik Aono belum dipulihkan. 


Saat aku tenggelam dalam keputusasaan, dia adalah teman pertama—selain Yumi—yang mengulurkan tangan padaku. 


Sekarang aku menyadari, dia memang teman yang sangat berharga. Selama nama baiknya belum pulih, balas dendam yang sesungguhnya belum selesai.


Saat aku menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk, ponselku bergetar. Sebuah pesan LINE masuk. Kukira dari teman SMA, tapi saat kulihat, nama yang muncul terasa begitu familiar.


Doumoto Yumi: 

[Selamat malam. Maaf tiba-tiba. Besok sore kamu bisa meluangkan waktu? Ada banyak hal yang ingin kubicarakan. Waktu singkat kemarin rasanya tidak cukup!]


Aku harus mentraktir Imai ramen lain kali. Pikiran itu muncul begitu saja. Selama beberapa tahun ini, perasaanku selalu gelap, terjebak dalam kebencian pada Kondo yang berulang tanpa akhir. Sekarang, saat semua itu mulai memudar, aku jadi ingin bertemu lagi dengan teman SMP lama.


Aku langsung membalas.


[Di mana kita bertemu?]


Aku sendiri terkejut karena tanpa sadar sudah menganggap pertemuan itu sebagai sesuatu yang pasti.


Saat beranjak pulang, Takayanagi-sensei berkata begini.


"Kurasa sekarang sudah waktunya kamu memaafkan dirimu sendiri. Kamu sudah berjuang, Endou. Menjadi bahagia juga merupakan bentuk balas dendam terhadap Kondo dan kawan-kawannya. Kamu punya hak—bahkan kewajiban—untuk menjadi begitu bahagia sampai mereka iri."


Sampai sekarang, aku tidak pernah berpikir kalau aku punya hak seperti itu.


Aku sudah merepotkan orang tuaku begitu banyak. Aku bahkan melakukan hal yang sangat tidak berbakti dengan menjadi siswa pengulang setelah lulus SMA. Hubunganku dengan teman-teman juga hampir sepenuhnya terputus. 


Soal Eri pun, kalau saja aku lebih tegar, mungkin masa depan yang berbeda bisa saja terwujud. Dengan cara berpikir seperti itu, aku selalu menganggap diriku manusia paling buruk.


Namun, aku akhirnya sadar bahwa cara berpikir itulah yang justru menyiksa diriku sendiri dan orang-orang di sekitarku. 


Imai dan Takayanagi-sensei sama-sama mengatakan agar aku memaafkan diriku sendiri. Mungkin aku memang sudah boleh melangkah ke depan. Karena itu, akhirnya aku bisa menghadapi Yumi—yang selama ini terus kutolak dan kulukai.


Aku ingin membalas kebaikannya. Mungkin sudah terlambat. Kalau memang begitu, tak apa. Aku hanya bisa meminta maaf. Tapi setidaknya, aku ingin meminta maaf dengan sungguh-sungguh. 


Aku harus menyampaikan betapa bersyukurnya aku atas tangan yang ia ulurkan kepadaku hari itu.


[Kalau begitu, besok sepulang sekolah kita bertemu di depan stasiun. Ada kafe yang ingin kudatangi, mau menemaniku?]


Aku langsung membalas pesannya.


[Aku menantikannya.]



──Sudut Pandang Takayanagi──


Setelah selesai berbicara dengan Endou, kami mengadakan rangkuman hari ini di ruang guru. Banyak guru telah bekerja sama untuk memastikan berbagai keadaan, jadi rapat ini juga berfungsi sebagai laporan situasi masing-masing.


Aku membuka pembicaraan lebih dulu.


"Pertama, soal klub sepak bola. Aida dan Shimokawa telah mengaku bahwa merekalah yang mencoret meja Aono dan melakukan perundungan. Setelah kami menunjukkan riwayat pesan media sosial dan rekaman suara yang diberikan oleh siswa kelas satu klub sepak bola, tampaknya mereka menyadari tidak bisa kabur lagi. Mereka juga mengakui keterlibatan dalam penyebaran informasi palsu, dan perlahan mulai mengakui adanya kaki tangan lain di luar klub sepak bola."


Keduanya awalnya melakukan perlawanan keras, tetapi data yang bocor dari dalam menjadi pukulan telak. Menurut Iwai-sensei, wakil kepala tingkat yang melakukan pemeriksaan situasi, begitu salinan data itu diperlihatkan, wajah mereka langsung pucat pasi dan gemetar.


Seseorang yang menyadari tak ada lagi jalan keluar akan mulai bicara tanpa henti, seperti radio rusak.


"Seperti dugaan, dalangnya adalah Kondou. Shimokawa dan Aida mengikuti kata-kata senior yang mereka hormati. Ditambah lagi hasutan dari kapten klub sepak bola, mereka akhirnya terjerumus dalam tindakan kriminal."


Setelah itu, wakil kepala sekolah melanjutkan dengan informasi terbaru tentang Kondou.


"Selain itu, Kondou tampaknya telah ditangkap polisi sebagai tersangka pemukulan terhadap korban perundungan, Aono Eiji, di luar sekolah, serta tertangkap tangan melakukan penghalangan tugas publik karena melawan polisi yang datang meminta keterangan dan melemparkan barang. Kami baru saja menerima pemberitahuan resmi dari kepolisian."


Fakta bahwa sumber dari segala kejahatan, Kondou, untuk sementara sudah tidak bisa bergerak, dalam arti tertentu adalah kabar baik. Setidaknya, penyebaran kekacauan lebih lanjut bisa ditekan.


Mitsui-sensei pun menambahkan.


"Terkait penyebaran rumor palsu yang merugikan Aono-kun, siswa kelas dua Amada Miyuki-san juga telah mengaku terlibat. Ia yang saat itu berpacaran dengan Aono-kun, berselingkuh dengan Kondou-kun, lalu demi melindungi dirinya sendiri mengikuti bujukan manis Kondou-kun. Ia tidak bisa menghentikan pemalsuan bekas luka akibat kekerasan oleh Kondou-kun. Ia tidak menyangka rumor itu akan menyebar sejauh ini, namun karena takut setelah masalah membesar, ia tidak bisa menyangkalnya."


Mendengar kembali laporan bahwa Amada—yang dikenal sebagai siswa teladan—telah menyimpang dari jalan yang benar, banyak guru menghela napas kecewa. Andai saja ia mau berbicara dengan jujur sebelum semuanya membesar seperti ini. 


Penyesalan semacam itu terasa jelas. Namun, ia telah memilih jalan lain. Hukuman tampaknya tak terelakkan.


"Dan ini masih informasi yang belum terkonfirmasi, namun karena Amada-san yang mengatakannya, saya rasa perlu dibagikan kepada semuanya. Entah benar atau tidak, ini adalah hal yang harus kita ketahui bersama. Aono-kun tampaknya sempat berniat bunuh diri akibat syok dari perselingkuhan dan penyebaran informasi palsu."


Mendengar laporan itu, raut wajah para guru langsung berubah. Pikiran bahwa Aono sempat berniat mengakhiri hidupnya—bahkan mungkin masih menderita hingga sekarang—membuat dada terasa sesak.


Guru olahraga, Kumada-sensei, tanpa sadar ikut bersuara.


"Jangan-jangan itu hari ketika dia kabur dari sekolah? Aku memarahinya tanpa tahu apa-apa, saat dia hendak keluar dari area sekolah. Kalau saja aku sedikit lebih mendengarkan keadaannya… sial."


Kumada-sensei memang terkenal dengan bimbingannya yang keras, tetapi di saat seperti ini, sifat aslinya yang baik terlihat. Tubuhnya yang besar tampak bergetar, menampakkan penyesalan.


Namun, kalau begitu, tanggung jawabku sebagai wali kelas justru lebih besar. Aku seharusnya bisa menyadarinya lebih cepat. Alih-alih menyerahkannya pada wakil kepala sekolah atau Mitsui-sensei, aku seharusnya sendiri yang mencari Aono. Yang terlintas di benakku hanyalah penyesalan.


"Sejak masalah ini muncul, saya sudah mengamati Aono-kun selama sekitar satu minggu. Tetap saja, saya rasa kerusakan mental pada hari pertama masuk sekolah di semester dua sangat besar. Setelah hari kedua, ia tampak cukup stabil, tetapi bisa jadi ia hanya menahan diri. Karena itu, menurut saya kita harus tetap memberi perhatian ekstra."


Saat suasana menjadi muram, kepala sekolah membuka pembicaraan.


"Terima kasih atas laporannya. Saya juga berpendapat bahwa kita harus terus mendampingi Aono-kun sebagai korban. Ini masalah penting. Orang tuanya sudah kami hubungi. Konselor sekolah juga akan segera datang, jadi kita akan bekerja sama secara menyeluruh."


Kepala sekolah memang selalu bergerak sendiri saat benar-benar dibutuhkan. Aku sangat bersyukur akan hal itu.


"Mulai besok, media yang mencium keributan ini mungkin akan mulai bergerak. Namun, kita harus menjatuhkan sanksi tegas kepada siswa yang terlibat dan melakukan tindakan kriminal. Dan melindungi Aono-kun serta siswa lainnya adalah tanggung jawab kita. Apa pun tekanan dari luar, kebijakan ini tidak akan berubah. Seperti laporan Mitsui-sensei tadi, mungkin akan terungkap hal-hal lain yang sulit dibicarakan. Jika itu terjadi, mohon dibagikan kepada semua. Tanggung jawab akhir akan saya tanggung sepenuhnya. Jadi, para guru, silahkan jalankan tugas dengan tenang. Sekian."


Kepala sekolah menyatakan itu dengan suara tegas, seolah telah memantapkan tekadnya. Kasus perundungan ini akhirnya memasuki tahap krusial.



──Sudut Pandang Amada Miyuki──


Aku kembali ke kelas setelah sempat berada di UKS. Guru mengatakan agar aku menjalani skorsing di rumah sampai hukuman ditetapkan. Katanya, hukumannya akan berat.


Dengan perasaan putus asa, aku masuk ke kelas, dan temanku Murata Ritsu menyapaku.


"Hei, Miyuki. Kamu menyembunyikan sesuatu dari kami, ya? Tadi di gerbang sekolah, Kondou-san dibawa polisi. Aneh, kan? Bukannya kamu bilang Aono-kun yang melakukan kekerasan padamu? Dan yang menolongmu itu Kondou-senpai, bukan?"


Ritsu tampak sedikit panik.


Siswa-siswa lain juga menatap ke arahku.


Seolah-olah mereka sedang melihat seorang penjahat. Apa yang kami lakukan pada Eiji kini kembali padaku. Tubuhku gemetar kecil, hampir menangis.


Apakah Eiji selama ini menahan begitu banyak kebencian yang diarahkan padanya? Aku tidak tahu rasanya bisa setakut ini.


"Maaf."


Itu saja yang hampir-hampir berhasil kuucapkan.


"Kenapa minta maaf? Miyuki? Jadi kamu membohongi kami? Karena kamu selalu baik dan pintar, kami percaya padamu. Kami juga bisa kena hukuman, tahu?"


Mendengar kata-kata dingin itu, aku menyadari betapa berat dosa yang kupikul. Aku tahu ini tak bisa diperbaiki. Tapi aku benar-benar tidak menyadari bahwa bebannya seberat ini.


"Maaf. Aku mengkhianati Eiji. Aku takut ketahuan, jadi aku berbohong pada semua orang."


Aku hanya bisa meminta maaf.


Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus menebusnya.


Suasana dingin dan penuh keputusasaan menyelimuti kelas.


Aku pulang dari sekolah seolah melarikan diri. Biasanya aku akan menikmati obrolan sepulang sekolah, tapi kini teman-teman sudah tak ada. 


Wajar saja. Karena kebohonganku, aku telah menyebabkan kerugian nyata yang jauh melampaui sekadar merepotkan.


Notifikasi media sosial tak berhenti berbunyi sejak tadi. Saat tadi dengan gemetar aku mengeceknya, di sebuah akun anonim penuh dengan caci maki.


[Perempuan pembohong.]


[Cewek selingkuh murahan yang membuang teman masa kecil demi keselamatan diri sendiri.]


[Pelacur.]


Kata-kata seperti itu berjajar. Wajar, kan. Semuanya memang benar.


Kepada Mitsui-sensei, aku sudah menceritakan segalanya. Bagaimana aku bertemu dengan Kondou-senpai. Bagaimana insiden kekerasan itu terjadi. Dan kenapa aku ikut terlibat dalam konspirasi semacam itu. Percakapanku dengannya. Bahkan soal Kondou-senpai yang ditangani polisi.


Termasuk fakta bahwa karena ulahku, Eiji sempat berniat bunuh diri.


Semuanya sudah kuceritakan dengan jujur. Seharusnya, pada hari pertama perundungan itu terjadi, aku sudah mengatakan semuanya. Tapi aku tidak melakukannya. Aku benar-benar manusia paling buruk.


Memikirkan bahwa Eiji, tanpa dosa apapun, harus melalui waktu sesakit itu membuatku benar-benar merasa bersalah dan ingin menangis. 


Aku pantas menerima ini karena ulahku sendiri. Tapi dia harus menanggung semua itu karena tuduhan palsu. Kemanapun melangkah, dia pasti merasa dikelilingi kebencian dan ejekan. Neraka hidup. Dan aku yang mendorongnya jatuh ke tempat seperti itu.


Ini bukan sesuatu yang bisa dimaafkan hanya dengan permintaan maaf.


Setelah berada di lingkungan yang sama, aku benar-benar mengerti.


Hari itu, aku melontarkan kata-kata kasar pada Eiji. Padahal dia selalu lembut dan selalu memikirkan aku lebih dulu, tapi aku menuduhnya sebagai penguntit yang melakukan kekerasan. 


Hanya mengingatnya saja sudah membuatku sedih sampai ingin mati.


Diriku saat itu jelas tidak waras.


Yang seharusnya kutimbang adalah kenangan berharga yang dibangun selama waktu panjang bersama Eiji, dan kesombongan kecilku sendiri. 


Mana yang seharusnya kupilih—sekarang aku tahu jawabannya tanpa ragu. 


Eiji itu baik. Karena itu, bahkan pada diriku yang telah mengatakan hal sekejam itu, dia masih berkata tidak ingin merusak kenangan berharga yang kami bangun sebagai teman masa kecil.


Aku benar-benar kalah dalam segala hal.


Kepribadian, kepercayaan orang-orang… Aku hanyalah siswa teladan palsu. Berbeda jauh dengan Eiji yang benar-benar tulus dalam segalanya. Saat dibutuhkan, orang-orang di sekitarnya bergerak mati-matian untuk menolongnya. 


Aku tidak meminta bantuan siapapun, dan tidak mencoba menjadi penolong bagi Eiji. Karena itu, kini aku tidak punya satupun sekutu.


"Eiji memang selalu bergerak demi orang lain. Wajar saja."


Saat kami pindah ke kota ini, teman pertama yang kudapat adalah dia. Ayah pergi meninggalkan kami. Ibu memilih kota ini sebagai awal baru karena lebih mudah membesarkan anak. 


Saat aku hanya bisa menangis, orang yang pertama kali menunjukkan kesenangan dunia luar padaku adalah Eiji.


Orang sebaik dia pantas mendapatkan balasan. Aku hanya terlalu memaksakan diri untuk menutup kekosongan di hatiku. Karena Eiji baik, dia selalu memperlakukan aku dengan penuh perhatian.


Akulah yang terlalu terburu-buru.


Sambil menyadari bahwa masa depan yang seharusnya mungkin terjadi dan kenangan berharga yang telah kami bangun kini berubah menjadi beban abadi dalam hidupku, aku menapaki jalan pulang setelah kehilangan segalanya. Yang tersisa hanyalah penyesalan mendalam.



──Kantor Polisi──


"Barang bawaan siswa SMA bernama Kondou itu bagaimana? Bisa jadi barang bukti, ya? Ada kasus pemukulan juga. Lagipula, ponselnya rusak dan tidak bisa menyala."


Seorang bawahan meminta pendapat.


"Kalau begitu, kirim ke bagian analisis. Begitu tahu polisi bergerak, bisa saja ada yang menghapus riwayat pesan. Justru ponsel yang rusak ini mungkin keberuntungan. Kalau datanya diekstrak, kita mungkin bisa mendapatkan data sebelum disembunyikan."



──Saluran Streaming Sebuah Stasiun TV──


"Berikut adalah berita eksklusif selanjutnya. Kami telah memperoleh data suara yang memperlihatkan seorang anggota dewan kota yang diduga berusaha menutupi tindak kekerasan yang dilakukan anaknya, dengan mengancam pihak SMA tempat anaknya bersekolah dan keluarga korban. Anggota dewan tersebut tampaknya memberikan tekanan luas demi menutupi kejahatan anaknya. Rekaman ini mengandung ungkapan ekstrem. Mohon perhatian. Demi perlindungan data pribadi, sebagian suara telah diproses. Silahkan dengarkan."


(Teks: Suara yang diduga milik anggota dewan kota)


"Anak saya sedang berada di masa penting menjelang masuk universitas. Kami juga mempertimbangkan rekomendasi olahraga, dan pihak universitas memberi respons yang baik. Ini hanya perkelahian anak-anak. Bukankah lebih baik menghindari kerugian besar bagi kedua pihak karena masalah sepele seperti ini? Bisakah kita menyelesaikannya secara damai? Kalau masalah seperti ini mencuat, penilaian terhadap para guru dan jumlah pendaftar ujian masuk ke depan juga akan terdampak. … ××-sensei, anggap ini pembicaraan bisnis. Jika kalian diam saja, ke depannya saya juga akan memberikan kemudahan. Atau kalian ingin menjadikanku musuh dan terus makan nasi dingin?"


(Teks: Suara yang diduga milik pihak sekolah)


"Hanya perkelahian anak-anak!? Malu sedikit! Gara-gara anakmu, masa depan seorang siswa SMA hampir hancur!"


(Teks: Suara yang diduga milik anggota dewan kota, ditujukan kepada keluarga korban)


"Tuan/Nyonya ××. Saya ini anggota dewan kota dan menjalankan usaha ××. Sebisa mungkin, saya ingin menyelesaikan semuanya dengan tenang. Ini hanya gumaman pribadi. Toko ini adalah toko berharga yang ditinggalkan mendiang suami Anda, bukan? Jadi sebaiknya jangan dibesar-besarkan. Kalau saya benar-benar serius, toko sekecil ini bisa saya apa-apakan."


Setelah video berakhir, sang pembawa berita menghela napas.


"Ini keterlaluan. Masih ada saja anggota dewan kota yang begitu keliru cara berpikirnya di zaman sekarang. Benar-benar mengejutkan. Padahal di berita sebelumnya, siswa SMA muda dari kota yang sama berjuang menyelamatkan nyawa orang. …Maaf, sebagai sesama orang tua, saya jadi terbawa emosi. Rincian lebih lanjut akan kami bahas secara mendalam di program berita pagi besok."


Previous Chapter | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close