NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark
📣 IF YOU ARE NOT COMFORTABLE WITH THE ADS ON THIS WEB, YOU CAN JUST USE AD-BLOCK, NO NEED TO YAPPING ON DISCORD LIKE SOMEONE, SIMPLE. | JIKA KALIAN TIDAK NYAMAN DENGAN IKLAN YANG ADA DIDALAM WEB INI, KALIAN BISA MEMAKAI AD-BLOCK AJA, GAK USAH YAPPING DI DISCORD KAYAK SESEORANG, SIMPLE. ⚠️

Jinseigyakuten Uwakisare Enzai wo Kiserareta Orega Gakuenichi no Bisyoujo ni Natsukareru V3 Epilog & Kata Penutup

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty 


Epilog 


── 13 September · Sudut Pandang Aono Eiji ──


"Kalau begitu, mari kita berangkat."


Di tempat parkir dekat lokasi pertemuan, sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat terparkir. 


Biasanya, aura intimidatif dari mobil seperti itu akan membuat orang enggan mendekat, tetapi dia sama sekali tidak mempermasalahkannya dan langsung naik ke dalam mobil. 


Entah kenapa, dia terlihat seperti orang yang berbeda dari wanita yang tadi masih tertawa bersamaku. 


Aku mengerti—itulah sikap yang dituntut dari sosok bernama Ichijou Ai di ranah resmi.


"Silahkan, Senpai juga."


Aku diarahkan ke kursi belakang dan naik dengan sedikit rasa tegang. Mobil pun mulai melaju.


"Mungkin sekitar satu jam lagi kita akan sampai di tujuan. Silahkan bersantai."


Dibilang begitu, tapi mana mungkin aku bisa santai. Di sampingku, dia memasang wajah yang sangat sedih. Meski begitu, dia tetap mengkhawatirkanku.


"Maaf ya. Perjalanan kita jadi serumit ini."


"Tidak apa-apa kok. Malah lebih nyaman daripada naik kereta."


Saat kuucapkan itu setengah bercanda, Ichijou-san tersenyum.


"Senpai ternyata orang besar juga ya."


Dia sedikit kembali ke sikap biasanya.


"Ah, memang tidak bisa ya. Kalau bersama Senpai, aku jadi kembali menjadi diriku yang biasa. Aku tidak bisa memerankan Ichijou Ai yang kuat seperti yang diharapkan semua orang. Tempat yang akan kita datangi nanti bukan tempat yang menyenangkan. Bahkan sampai membuatmu bolos pelajaran tambahan… maaf ya."


"Nggak apa-apa kok. Aku juga ingin benar-benar mengenal Ichijou-san dengan baik. Jadi aku senang kamu mau bercerita."


Dia memejamkan mata dan mengangguk perlahan.


"Bagaimana dengan ibumu dan guru-guru? Tidak masalah?"


"Ibu sih… soal Ai-chan, kan. ‘Pergilah. Itu mungkin jauh lebih penting daripada sekolah,’ katanya sambil tertawa."


"Benar-benar orang yang baik, ya."


"Iya. Aku juga selalu merasa tertolong olehnya."


"Kalau Takayanagi-sensei?"


"Beliau kelihatan pasrah."


"Benar juga ya…"


"Katanya, ‘Mana ada murid yang ngomong sejujur itu. Saya akan bolos pelajaran, tapi ini demi urusan penting.’ Setidaknya pura-pura sakit gitu, katanya."


"Senpai ngomong sejujur itu!?"


"Iya. Soalnya aku tidak mau membuat beliau khawatir. Tapi sensei malah tertawa. Katanya, sebagai guru, dia akan menganggap tidak mendengar ucapan itu. ‘Besok kamu masuk angin saja. Banyak hal terjadi, semua orang pasti mengerti.’ Tapi sebenarnya beliau benar-benar khawatir. Berkali-kali beliau bertanya apakah aku baik-baik saja. Aku tentu saja menjawab, iya."


"Mungkin sedikit berpura-pura sakit akan lebih baik."


Kami saling tersenyum lembut.


Setelah itu, suasana hening sesaat. Mobil memasuki terowongan Aqua-Line, membuat interior mobil menjadi gelap. Aku tidak bisa membaca ekspresi wajahnya.


Begitu keluar dari terowongan dan mobil mulai melaju di atas laut, cahaya kembali menerangi kabin. Dia menatap lurus ke arahku dan mulai berbicara.


"Kita hampir sampai. Mau mendengarkan ceritaku tentang keluargaku?"


Dia mulai bercerita sedikit demi sedikit tentang dirinya. Aku mengangguk pelan.


"Orang tuaku adalah hasil dari apa yang disebut pernikahan politik. Ayahku berasal dari keluarga konglomerat baru yang berpengaruh, dan ibuku dari keluarga terpandang. Itu adalah pernikahan yang menguntungkan bagi kedua keluarga. Tapi sebenarnya, mereka juga teman masa kecil. Dari cerita ibu, mungkin mereka adalah cinta pertama satu sama lain. Jadi meskipun disebut pernikahan politik, aku rasa itu adalah pernikahan yang bahagia. Saat ibu bercerita tentang ayah, wajahnya selalu seperti gadis yang sedang jatuh cinta."


Dengan nada datar namun penuh perasaan yang rumit, kata-kata itu dirangkai.


"Aku juga dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh mereka berdua. Itu tidak bisa kupungkiri. Aku pernah bercerita sebelumnya, kan, tentang sekolah swasta elit di Tokyo tempatku bersekolah. Semakin aku giat belajar dan berolahraga, semakin mereka memujiku. Ayah memang sibuk dengan pekerjaannya dan jarang di rumah, tapi… dia adalah orang yang baik, selalu berusaha meluangkan waktu untuk keluarga."


Kalau dipikir-pikir, itu memang keluarga kelas atas yang bahagia. Bagiku, konglomerat dan keluarga terpandang hanyalah cerita fiksi. Jadi aku tidak punya gambaran nyata. Tapi aku bisa memahami bahwa keluarga bahagia itu runtuh karena suatu insiden. Dan itu pasti kejadian yang sangat kejam.


"Hari-hari bahagia itu berakhir dua tahun lalu… tanpa pertanda apa pun, secara tiba-tiba…"


Nada bicaranya semakin berat.


"Ichijou-san. Kalau memang berat, tidak usah dipaksakan…"


Melihat betapa menyakitkannya ekspresinya, tanpa sadar aku bersuara.


"Terima kasih. Kita sudah hampir sampai kok. Sisanya akan kuceritakan sambil berjalan. Mungkin kalau menghirup udara luar, aku akan merasa lebih baik."


Dia terlihat sangat memaksakan diri.


Mobil berhenti di dekat laut. Aku keluar lebih dulu dan mengulurkan tangan padanya. Seperti yang kuduga, wajahnya jauh lebih pucat dari yang kubayangkan. Kulitnya yang sudah putih terlihat hampir sakit-sakitan.


"Terima kasih."


Dia menggenggam tanganku dengan lembut.


"Masih jauh dari sini?"


Aku tak ingin memaksanya. Pertanyaan itu keluar begitu saja.


"Tinggal beberapa menit lagi. Setelah menaiki tanjakan itu."


"Kalau terasa berat, bilang ya."


Kalau perlu, aku bisa menggendongnya. Aku menyampaikan maksud itu secara tersirat, dan sepertinya dia menangkapnya. Dia terkekeh kecil.


"Baik. Aku mengandalkanmu, Senpai."


Kami mulai berjalan perlahan. Mengingat kondisi Ichijou-san, aku melangkah lebih pelan dari biasanya.


"Musim panas dua tahun lalu. Mobil yang kutumpangi bersama ibu mengalami kecelakaan. Kecelakaan runtuhnya terowongan. Mungkin beritanya sempat masuk berita, kan?"


"……"


Aku ingat berita itu. Itu kecelakaan besar. Banyak korban jiwa. Ibuku pernah bilang ada kenalan ayah yang ikut menjadi korban.


"Aku yang seharusnya ada di dalam mobil bahkan tidak tahu apa yang terjadi. Mungkin aku sempat pingsan. Ingatanku sebelum dan sesudah kejadian samar. Tapi satu hal yang pasti—ibu melindungiku. Ibu terluka menggantikanku. Meski lukanya parah, saat aku sadar, kata pertama yang ia ucapkan adalah ‘syukurlah’."


Dia menunduk dan memilih kata-kata dengan hati-hati.


"Aku sempat salah paham, mengira ibu juga selamat. Tapi aku langsung putus asa. Bagian bawah tubuh ibu tertimpa puing-puing besar. Darahnya… sangat banyak…"


Dadaku terasa sesak hanya dengan mendengarnya.


"Aku menangis dan berteriak meminta tolong. Ibu mungkin sudah siap dengan kenyataan itu. Padahal dia yang paling menderita, tapi dia terus mengatakan tidak apa-apa agar aku tenang. Wajah ibu semakin lama semakin pucat. Aku hanya bisa menggenggam tangan ibu yang perlahan menjadi dingin."


Langkahnya terhenti sepenuhnya. Ini sudah terlalu berat. Kita harus kembali—aku hampir mengatakannya, ketika tiba-tiba aku diselimuti oleh sentuhan lembut. Hangat, manis, dan lembut. Dia menangis di bahuku.


"Maaf… bolehkah kita seperti ini sebentar saja?"


Beban yang dipikulnya terlalu berat. Dan semuanya terlalu kejam.


"Tidak apa-apa. Tarik napas dalam-dalam, pelan-pelan. Aku akan tetap di sini, bersamamu."


Aku terus membiarkannya bersandar padaku sampai napasnya kembali teratur.



"Terima kasih… aku sudah lebih tenang sekarang."


Dia perlahan menjauh dariku. Seperti biasa, dia tersenyum sambil memaksakan diri.


"Ichijou-san, mungkin sebaiknya kita kembali saja—"


Atas usulku, dia menggelengkan kepala.


"Sudah hampir sampai, tidak apa-apa."


Dia kembali berjalan perlahan. Di ujung tanjakan itu terdapat sebuah pemakaman. Kami berdiri di depan sebuah makam yang tampak terawat dengan baik.


"Ibu menyukai laut dan gunung. Karena itu, beliau ada di sini."


Dia mengatakannya dengan nada kesepian.


"Setelah kehilangan ibu, hidupku berubah drastis. Pertama, ayah berubah. Mungkin karena rasa kehilangan akibat ditinggal ibu, beliau menenggelamkan diri dalam pekerjaan dan hampir tidak pernah pulang ke rumah. Aku mulai merasakan sikap dingin, seolah-olah beliau memperlakukan manusia seperti benda."


Bukan hanya ibu, bahkan ayahnya juga… Bagi seorang gadis SMP, betapa beratnya semua itu. Rasa sakit seperti itu bahkan tak bisa kubayangkan.


"Dan… mungkin ini bukan hal yang pantas kukatakan pada Senpai, tapi… sejak kecelakaan itu, aku juga mulai mendapat perlakuan buruk. Karena sejak awal aku sudah cukup menonjol, mungkin ada rasa iri terhadapku."


"Tidak bisa dimaafkan."


Kata-kata itu lolos begitu saja dari mulutku. Dia sudah menderita sedemikian rupa, dan masih saja ada orang yang menaburkan garam di atas lukanya.


"Terima kasih… Aku dijadikan sorotan media sebagai ‘korban yang selamat secara ajaib’. Aku jadi terkenal. Di depan, teman-teman sekelasku bersikap seolah tidak ada apa-apa, tapi di belakang mereka menyebarkan rumor bahwa aku adalah anak iblis tak berperasaan yang hidup dengan mengorbankan ibunya. Saat paling parah, ada telepon tanpa nomor yang masuk ke ponselku, lalu seseorang menirukan suara ibu dan berkata, Sakit… tolong…"


Aku terdiam, tanpa sadar berdiri terpaku. Itu sudah melewati batas sebagai manusia.


"Kadang aku berpikir, seandainya saja aku mati bersama ibu hari itu. Padahal ibu mati-matian melindungiku, tapi aku malah membenci diriku sendiri karena memiliki perasaan seolah mengkhianatinya. Karena itu, hari itu aku berada di atap gedung. Rasa putus asa karena kehilangan segalanya terus membesar sedikit demi sedikit… mungkin itulah sebabnya aku tanpa sadar pergi ke tempat itu."


Kali ini, justru aku yang memeluknya.


"Senpai? Kenapa… kenapa justru kamu yang menangis?"


Aku rasa mustahil untuk tidak menangis.


"Kamu pikir ada orang yang tidak marah setelah tahu orang yang sangat berharga baginya diperlakukan seperti itu?"


"Kamu benar-benar baik ya Senpai… Karena itulah, izinkan aku meminta maaf. Aku terus berbohong padamu selama ini. Aku bukan ‘Ichijou’ Ai. Ichijou adalah nama keluarga lama ibuku… Meski begitu, apakah kamu masih mau mengatakan bahwa kamu menyukaiku?"


Kami mulai berjalan perlahan. Mungkin alasan dia tidak melanjutkan ke SMA afiliasi juga demi menyembunyikan asal-usul dirinya. Masuk ke sekolah lain dan memakai nama keluarga lama ibunya—tanpa itu, mungkin dia tak bisa melindungi dirinya sendiri.


"Nggak apa-apa. Hal seperti itu tidak akan mengubah siapa orang yang kusukai."


Di batu nisan itu terukir nama seorang wanita. Ugaki Hitomi.



── Sudut Pandang Ichijou Ai ──


Aku selalu diliputi kecemasan. Tanpa sengaja, aku terus berbohong pada Senpai. Padahal, itu adalah informasi terpenting—nama asliku. 


Dan lagi… meskipun seharusnya aku merasa yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja… aku takut menceritakan tentang ibu.


Bahkan ayahku, yang seharusnya adalah keluarga terdekatku, menjauh dariku. Aku tak bisa menahan rasa takut bahwa Senpai mungkin juga akan pergi meninggalkanku.


Sejak ibu meninggal, aku hampir tidak pernah bertemu ayah. Melalui sekretaris ayah, aku diberitahu agar demi mencegah pelecehan, mulai SMA aku pindah sekolah dan menggunakan nama keluarga lama ibu. Aku juga merasa putus asa karena ayah yang sangat kucintai tidak mau menyampaikan hal sepenting itu secara langsung.


Seolah-olah aku diberitahu, "Kaulah anak yang tidak dibutuhkan."


Perasaan putus asa itu, rasa kehilangan karena tempat yang hangat itu lenyap begitu saja. Aku menjawab "Saya mengerti" kepada sekretaris ayah, lalu pindah dari SMP swasta di Tokyo ke SMA negeri di Prefektur Chiba, dan mulai hidup sendiri.


Kupikir, dengan mengubah lingkungan, mungkin ada perubahan dalam perasaanku. Lagipula, tempat itu adalah kampung halaman tempat ayah dan ibu dilahirkan dan dibesarkan. 


Mungkin, aku bisa menemukan sedikit keselamatan di sana—aku menggenggam harapan tipis itu.


Namun, bahkan di lingkungan ini pun, tidak ada penyelamatan.


"Pada akhirnya, semua orang hanya memanjakanku karena penampilanku dan rumor tentang keluargaku. Mana mungkin aku mau berpacaran dengan orang yang bahkan belum pernah benar-benar berbicara denganku."


Aku sudah kehilangan kepercayaan pada manusia akibat pelecehan yang kualami. Kewaspadaanku terhadap orang lain semakin kuat, jadi diajak bicara oleh orang asing hanya menambah penderitaanku.


Materi pelajaran di sekolah pun hanyalah pengulangan dari apa yang sudah kupelajari saat SMP. 


Satu-satunya kesenanganku adalah waktu sendirian sepulang ke rumah—membaca buku atau menonton film, hanya menunggu waktu berlalu.


Saat aku tidak sengaja bertemu Amada-san beberapa waktu lalu, dia terlihat seperti zombie dalam film. Mungkin, diriku sebelum bertemu Senpai juga terlihat seperti itu.


Kesepian semakin dalam saat liburan musim panas. Dulu, saat ibu masih hidup, liburan musim panas dipenuhi kenangan menyenangkan seperti bepergian bersama keluarga. 


Tapi kini, aku menghabiskan waktu dengan mengurung diri di rumah sendirian. Mungkin saja ayah akan menghubungiku.


Aku selalu meletakkan ponsel di dekatku, tetapi ponsel itu tidak pernah berdering.


Aku menunggu. Terus menunggu.


Semakin hari liburan musim panas berlalu, hatiku semakin membeku. Berkali-kali aku terbangun dan menyadari bahwa aku telah menangis tanpa kusadari.


Dan akhirnya, aku menyadari bahwa aku sudah mencapai batas.


Saat itulah aku mengetahui tentang Aono Eiji. Ada rumor yang beredar liar bahwa dia telah bertindak kasar terhadap pacarnya. Namun, yang beredar hanyalah rumor semata.


Foto yang dijadikan bukti pun hanya memperlihatkan lengan seorang wanita tak dikenal dengan bekas memar—foto semacam itu ada di mana-mana di internet.


Pada akhirnya, begitulah manusia. Penuh dengan niat jahat.


Setelah sampai pada kesimpulan itu, aku ingin mengakhiri segalanya. Lalu aku menuju atap sekolah. Karena kuncinya rusak, pintunya akan terbuka jika gagangnya diputar ke arah berlawanan. 


Aku sering memanfaatkannya saat ingin sendirian, jadi pintu itu terbuka dengan mudah. 


Aku pikir akhirnya bisa bertemu ibu. 


Namun di ujung perjalanan penuh keputusasaan itu, aku justru bertemu dengan harapan.



Setelah menyampaikan semuanya, air mata mengalir dari mata Senpai.


"Senpai? Kenapa… kenapa justru kamu yang menangis?"


Padahal aku sudah tahu alasannya, tapi tetap saja aku bertanya. Untuk memastikan kebaikan hati Senpai.


"Kamu pikir ada orang yang tidak marah setelah tahu orang yang sangat berharga baginya diperlakukan seperti itu?"


Itu adalah kata-kata yang sejak lama ingin kudengar. 


Kata-kata yang menemani dan mendekapku. Anehnya, aku tidak merasa takut sama sekali.


"Kamu benar-benar baik ya senpai… Karena itulah, izinkan aku meminta maaf. Maaf telah menipumu. Aku terus berbohong padamu selama ini. Aku bukan ‘Ichijou’ Ai. Ichijou adalah nama keluarga lama ibuku… Meski begitu, apakah kamu masih mau mengatakan bahwa kamu menyukaiku?"


Aku mengungkapkan satu rahasia lagi. 


Suaraku bergetar—bahkan aku sendiri bisa merasakannya. Tetap saja, aku takut mendengar jawabannya. Memikirkan kemungkinan bahwa aku mungkin akan ditolak olehnya membuat kakiku gemetar. Bukan hanya kakiku—seluruh tubuhku tak berhenti gemetar.


Namun, kata-kata berikutnya terdengar tegas, dan pada saat yang sama membungkusku dengan begitu banyak kelembutan.


"Tidak apa-apa. Hal seperti itu tidak akan mengubah siapa orang yang kusukai."


Aku tak kuasa menahan rasa sayang pada dirinya yang menyatakan itu dengan begitu mantap. Getaran yang tadi kurasakan kini terasa seperti kejadian yang jauh. Hatiku perlahan dipenuhi oleh kehadirannya.


Aku benar-benar bersyukur bisa bertemu dengannya. 


Di atap itu, aku berterima kasih sampai menitikkan air mata atas keajaiban yang terjadi. Aku ingin percaya bahwa itu adalah takdir. 


Momen keselamatan yang akhirnya diberikan oleh Tuhan yang kejam dan usil. Setidaknya, satu momen pada hari itu telah membalikkan hidupku sepenuhnya. 


Ia menyelamatkanku dari penderitaan neraka.


Untuk menahan air mata yang tak kunjung berhenti, aku bersandar di bahunya. Entah sudah yang keberapa kalinya. 


Aku pikir aku orang yang kuat, tapi akhirnya aku bisa mengerti bahwa sebenarnya aku selemah ini. Aku belajar akan hal itu. Semuanya… adalah karena dirinya.


"Aku tidak merasa telah menjalani hidup yang begitu layak dipuji, tapi pada hari itu… di atap itu, satu-satunya hal yang benar-benar bisa kubanggakan adalah bahwa aku bisa menyelamatkanmu. Karena itulah, aku akan mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Kata-kata yang sama seperti kemarin…"


Di depan makam ibu, dia menatapku dengan penuh kesungguhan. Kata-katanya terdengar seperti sebuah ikrar yang ditujukan pada ibu—yang rela mengorbankan dirinya demi melindungiku.


"Kalau orang sepertiku ini masih boleh… kalau kamu mau memaafkanku… aku akan selalu berada di sampingmu, Ai-san. Aku tidak akan pergi ke mana pun. Tidak akan pernah."


Dia menepati janjinya. Meski aku telah terus menipunya… Dia memanggilku dengan namaku—bukan Ichijou, bukan Ugaki, melainkan Ai. 


Itu berarti, dari semua orang, hanya dia yang benar-benar mengakui diriku yang selama ini ditolak oleh dunia… Perasaanku pun meluap sekaligus.


Aku ingin memperkenalkan Senpai dengan baik kepada ibu yang telah melindungiku. Mungkin, di sana, ibu sedang tersenyum bahagia. Karena itu, aku ingin menyampaikan perasaanku dengan jujur.


Ibu, aku akhirnya menemukan orang yang sangat berharga bagiku. Untuk menyampaikan hal itu.


Kamu benar-benar curang. Kenapa Senpai selalu tahu kata-kata yang ingin sekali kudengar?


"Aku juga senang bisa bertemu denganmu. Karena aku sudah lama, lama sekali, ingin bertemu dengan seseorang yang bisa mendengar semua ceritaku. Hei, Senpai? Bolehkah aku meminta satu keinginan lagi?"


"Iya."


"Kalau bisa, mulai sekarang… maukah kamu memanggilku dengan namaku saja? Aku adalah Ichijou Ai, tapi juga bukan Ichijou Ai."


Dia mengangguk. Lalu, menatapku yang matanya basah oleh air mata, dan dengan suara tulus memenuhi permintaanku.


"Mulai sekarang juga, mohon kerja samanya, Ai-san."


Andai waktu bisa berhenti seperti ini. Sambil berharap begitu, aku memeluknya erat.


Bahkan di perjalanan pulang dengan mobil, kami hampir tidak berbicara. Meski begitu, tangan kami terus saling menggenggam.


Ada satu hal yang mengganjal pikiranku, tapi aku tidak bisa mengatakannya dengan kata-kata. 


Karena itu, setelah berpisah dengan Ai-san dan pulang ke rumah, aku langsung memastikan hal itu pada ibu yang menyambutku.


"Bu… Paman Ugaki akhir-akhir ini tidak datang ke toko, ya?"



Kata Penutup 

Terima kasih banyak telah membeli jilid ketiga “Jinsei Gyakuten”. Saya D, sang penulis. 


Akhirnya, Jingyaku pun berhasil mencapai jilid ketiga. Semua ini tidak lepas dari dukungan para pembaca yang telah setia membaca karya ini. Saya benar-benar mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.


Terima kasih juga atas begitu banyak tanggapan yang diberikan untuk jilid kedua. Sejak awal, Jingyaku adalah karya yang tumbuh berkat dukungan para pembaca sejak masa pemuatannya di Kakuyomu, dan selain itu, berkat ilustrasi luar biasa dari Higeneko-sensei, editor penanggung jawab yang selalu dengan tepat memikirkan poin-poin perbaikan, Ikaguchi Ei-sensei yang menangani versi komik, serta seluruh staf editorial Sneaker Bunko dan Comic Newtype, juga para penyunting dan pemeriksa naskah—berkat semua pihak inilah karya ini bisa sampai sejauh ini.


Bab kelima di jilid ketiga menjadi titik balik cerita dalam arti yang sesungguhnya, jadi saya merasa sangat bahagia karena akhirnya bisa menuliskannya juga dalam versi buku cetak.


Selain itu, versi terjemahan jilid pertama dan kedua juga telah diterbitkan di Korea, dan saya menerima banyak komentar dari pembaca di sana melalui akun X (dulu Twitter) saya. Saya benar-benar merasa bahwa Jingyaku telah menghadiahkan pengalaman yang seperti mimpi indah bagi saya.


Dengan harapan kita bisa bertemu kembali di jilid keempat, saya akhiri kata penutup ini. Jangan lupa untuk membagikan kesan kalian dengan tagar #人逆 ya!


Previous Chapter | 

1

1 comment

  • Akihara Akito
    Akihara Akito
    27/12/25 18:50
    Ahaha untuk kesekian kalinya aku nangis di bagian ini meskipun dah baca wn😅
    Reply
close