Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 2
Setelah Itu
──11 September · Sudut Pandang Kondou (Ayah)──
Meski tanggal sudah berganti, aku sama sekali tidak bisa tidur. Saat itu, aku menyadari ada pesan dari sekretarisku yang memintaku agar segera melihat berita online.
Di sana, perkataan dan tindakanku siang tadi telah direkam dan disiarkan ke seluruh dunia. Tidak butuh waktu lama, tim pelacak internet pasti akan menggali sampai ke identitasku.
Dan karena ancaman dari Ichijou Ai, semuanya sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Jika aku sampai menjadikannya musuh, aku akan diawasi oleh musuh yang jauh lebih menakutkan daripada media massa.
Ke mana pun aku melangkah, yang menantiku hanyalah kehancuran. Tidak ada jalan untuk melarikan diri dari takdir menuju kehancuran itu.
"Tidak mauuuuuu!"
Jeritan menggema di rumah yang luas ini. Tinggal menunggu waktu sampai aku harus melepaskan rumah ini. Kenyataan yang kejam mulai menunjukkan taringnya padaku.
Ponselku berdering.
"Apakah ini benar nomor milik Kondou-san? Maaf menghubungi larut malam. Saya Nanami dari Nichiasa Shimbun, ingin meminta—"
Bagaimana mereka bisa menemukan nomor ini? Diliputi ketakutan, aku memutuskan sambungan. Tak lama kemudian, panggilan masuk dari nomor lain.
"Aku sudah… tamat."
Aku mematikan ponsel. Namun, telepon rumah langsung berdering. Aku mencabut kabel listriknya, mencoba melarikan diri dari kenyataan yang kejam.
Pelarian dari kenyataan. Aku sadar, tindakanku sekarang tidak lebih dari itu.
"Tolong hentikan ini… tidak mauuuuuu!"
Malam tanpa tidur terus berlanjut.
※
Pagi pun tiba. Tanpa tidur sedikit pun, aku hanya menunggu matahari terbit. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Yang tersisa hanyalah keputusasaan.
Begitu pagi tiba, media mungkin akan menyerbu. Aku tahu aku harus segera melarikan diri, tetapi rasa putus asa membuatku bahkan tak sanggup bergerak.
Sebuah surel masuk dari pengacaraku.
[Dengarkan baik-baik, Kondou-san. Jangan mengatakan hal yang tidak perlu. Apa pun yang ditanyakan, katakan saja bahwa kasus masih dalam penyelidikan dan Anda tidak dapat memberikan komentar.]
Membaca pesan itu, rasa takutku semakin membesar. Aku benar-benar menyadari bahwa aku telah menjadi musuh publik. Aku sudah muak. Aku harus kabur dari sini.
Salah langkah sedikit saja, aku bisa ditangkap dan berakhir di penjara. Perusahaanku pun, tanpa kontrak dengan pemerintah kota, entah akan jadi apa… hanya memikirkannya saja sudah membuatku ngeri.
Kalau itu terjadi, aku akan kehilangan segalanya. Nama baik, pekerjaan, uang, keluarga—semuanya akan lenyap.
Rasa takut yang memuncak akhirnya memaksaku bangkit dari tempat tidur. Aku harus bergerak. Aku keluar rumah untuk membuka garasi. Untuk sementara, aku harus bersembunyi di hotel.
Akhirnya aku menguatkan tekad. Namun, di luar sudah ada beberapa orang dari media.
Darahku terasa menghilang dari wajah.
"Kondou-san, mohon beri kami pernyataan. Apakah suara dalam rekaman itu milik Anda?"
"Apa pendapat Anda soal tanggung jawab atas kasus ini?"
"Benarkah putra Anda telah ditangkap polisi?"
Aku mencoba melarikan diri dengan berlari, tetapi langsung dikepung.
"Jangan kabur. Anda punya kewajiban menjelaskan kepada para pemilih!"
"Apakah kami boleh menganggap pelarian ini sebagai pengakuan?"
"Dengan adanya rekaman suara, alasan seperti ‘sekretaris yang bertindak sendiri’ jelas tidak bisa diterima!"
Karena ketakutan, kata-kata tidak keluar dengan baik. Aku memeras suaraku untuk menjawab.
"Saat ini, kasus anak saya masih dalam penyelidikan. Atas saran pengacara, saya dilarang memberikan pernyataan apa pun. Saya mohon maaf atas kegaduhan ini."
Namun, jelas kata-kata itu tidak akan memuaskan siapa pun. Pertanyaan terus menghujani.
"Lalu bagaimana dengan dugaan ancaman yang Anda lakukan sendiri?"
"Anggota dewan kota mengancam warga, ini belum pernah terjadi sebelumnya, bukan?"
"Bagaimana dengan kelanjutan jabatan Anda…?"
Panik menguasai pikiranku, dan akhirnya kata-kata aneh terlepas begitu saja.
"Mengenai pernyataan tersebut, itu hanyalah perumpamaan yang saya ucapkan… Saya sungguh menyesal telah menyebabkan kesalahpahaman di pihak lawan. Namun, saya terpilih sebagai anggota dewan berkat kepercayaan warga, dan saya ingin menunaikan tanggung jawab itu melalui tugas saya…"
Saat mengucapkannya, aku langsung sadar telah berbuat salah. Aku jelas menyiram api dengan bensin.
"Jadi, Anda menolak untuk mengundurkan diri?"
"Menyebut itu perumpamaan, bukankah terlalu mengada-ada?"
"Apakah Anda benar-benar berpikir warga akan menerima penjelasan seperti itu?"
Aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku berlari meninggalkan tempat itu.
"Jangan kabur!"
Rasa jengkel meledak, dan tanpa sadar aku berteriak.
"Diam!"
Mungkin karena terkejut, para wartawan berhenti sejenak.
Aku mengeluarkan mobil kesayanganku dari garasi dan melarikan diri tanpa tujuan.
Apa yang akan terjadi padaku?
Aku menepi dan memeriksa ponsel. Ada pesan masuk dari cabang partai tempatku bernaung. Isinya singkat: segera datang menghadap.
Bahasanya sopan, tetapi kemarahan jelas terasa.
Dengan rasa takut akan kehancuran, aku menginjak pedal gas. Bagaimana caranya menutupi semua ini?
Tidak adakah cara untuk menghindari jalan menuju kehancuran?
Sambil menangis, aku melarikan diri, merasa diriku sendiri begitu menyedihkan.
※
"Gila, gambar yang kita dapat bagus banget."
"Iya! Dari mana pun dilihat, dia kelihatan seperti pejabat pengecut yang jahat."
"Padahal nggak ada briefing sama sekali, tapi reaksinya persis seperti yang kita harapkan."
"Oke, sekarang kita beritakan besar-besaran dan seret dia ke konferensi pers permintaan maaf!"
Setelah lama tak mendapat berita eksklusif, para pihak yang terlibat bersatu melampaui kepentingan stasiun masing-masing.
Semangat ini sudah tidak mungkin dihentikan oleh siapa pun.
※
Aku berhasil mengemudikan mobil sampai ke kantor cabang partai, dan begitu tiba, aku langsung dibawa ke ruang ketua cabang seolah ditahan.
Para staf menatapku dengan sorot mata tegang. Suasana berat menyelimuti ruangan. Tatapan mereka dingin, seperti sedang memandang seorang penjahat. Aku bisa merasakan bahwa dari sinilah tragedi akan dimulai.
Ketua cabang kami adalah seorang anggota parlemen nasional. Orang yang biasanya hampir tak pernah bisa ditemui itu memanggilku pagi-pagi begini. Ini nyaris seperti vonis mati.
Sekretaris membuka pintu, dan ketua cabang masuk. Aku refleks berdiri dan menundukkan kepala.
"Dalam kejadian ini, saya benar-benar minta maaf telah merepotkan Anda."
Aku terus menunduk, berpegang pada harapan tipis bahwa mungkin aku akan dimaafkan tanpa hukuman.
Keheningan berat mengalir di ruangan.
"Apakah kamu mengerti apa yang telah kamu lakukan?"
Kata-kata itu menghancurkan harapan manisku tanpa sisa.
"Saya sungguh menyesal."
Aku menunduk dalam-dalam, hampir seperti bersujud. Ketua cabang menyalakan televisi.
Di layar, suara rekamanku sendiri terdengar berteriak. Ucapan kasar yang kulontarkan kepada kepala sekolah dan keluarga Aono diputar berulang kali. Lalu, ditampilkan juga rekaman saat aku menghadapi media tadi.
Teks di layar berbunyi:
"Anggota dewan kota pelaku ancaman menolak mundur"
"Anggota dewan kota melontarkan kata ‘diam’ untuk mengintimidasi reporter"
"Kecaman dari seluruh negeri, telepon pengaduan membanjiri balai kota."
"Menyarankanmu maju sebagai calon wali kota ternyata sepenuhnya kesalahanku. Tahun ini ada pemilihan kepala daerah serentak. Kami pun sulit membelamu. Kamu paham, kan? Selain itu, protes juga datang dari Wali Kota Minami dan anggota DPRD prefektur Yamada. Bagaimana kamu bertanggung jawab? Mereka adalah tokoh paling berpengaruh di wilayah ini. Memusuhi mereka sama saja bunuh diri bagi kami."
Kenyataan kejam terus ditancapkan kepadaku. Tubuhku gemetar tanpa henti.
Demi pemilihan wali kota, aku telah mengumpulkan banyak dana. Bahkan sebagian sudah digunakan untuk persiapan. Semua itu kini sia-sia. Bagi seseorang yang sudah berada di ambang kehilangan jabatan, keputusasaan semakin dalam.
"Benar-benar…"
Aku hendak mengucapkan kata maaf yang entah sudah keberapa kalinya, tetapi itu segera dihentikan.
"Ini sudah bukan lagi masalah yang bisa diselesaikan hanya dengan kamu meminta maaf kepadaku. Kasus ini sudah menjadi perhatian pusat. Dari pihak Minami-san dan anggota DPRD prefektur Yamada pun sudah datang tuntutan agar kamu mempertanggungjawabkannya secara resmi. Saat ini, kamu sudah dipastikan akan dikeluarkan dari partai karena tindakan bermasalah ini. Sebelum itu, adakan konferensi pers, sampaikan permintaan maaf dengan sepenuh hati, dan akui kesalahanmu. Dengan begitu, luka di pihak kami juga bisa diperkecil."
Mendengar kata-kata yang begitu kejam itu, tanpa sadar mataku terbuka lebar dan aku mencoba bergantung padanya. Namun, kata-kata gadis itu saat itu tak mau pergi dari kepalaku. Reaksi pusat partai dan cabang terlalu cepat. Ini berarti… aku benar-benar akan dibuang.
Kehancuranku tak bisa dihentikan.
"Setidaknya, itu terlalu—"
Ketua cabang menunjukkan ekspresi tidak senang dan menolak sikap maafku. Nada bicaranya menjadi lebih kasar dari sebelumnya.
"Kamu pikir masih punya hak memilih? Ini sudah bentuk belas kasihan. Kalau kamu menolak, jangan lupa bahwa itu berarti kami juga akan menjadi musuhmu."
Tekanan dari kata-kata itu membuatku tanpa sadar mengeluarkan jeritan menyedihkan, "Hii…"
Sekalipun aku bisa membujuk ketua cabang, aku tak akan mampu membungkam ayah gadis itu, yang berada jauh di atasnya.
"Sudah paham? Tempat konferensi pers sudah kami amankan. Datanglah ke hotel yang tertulis di memo ini satu jam sebelum acara dimulai. Selebihnya, sekretaris kami akan mengatur semuanya."
Menyerah total. Setelah ini, aku hanya akan dinaikkan ke ban berjalan otomatis dan dibawa lurus menuju kehancuran. Perusahaanku juga sudah tamat. Aku akan kehilangan segalanya.
Sampai kemarin, aku seharusnya masih berjalan di jalur karier yang mulus sebagai calon wali kota berikutnya. Namun, hanya dalam satu hari, aku kehilangan semuanya.
Yang menantiku setelah ini hanyalah dipertontonkan keburukanku ke seluruh negeri, dijadikan mainan di internet, dan hanya bisa menyaksikan semuanya direnggut satu per satu tanpa bisa berbuat apa-apa.
Harta, nama besar, kebahagiaan—semuanya akan lenyap. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam lagi.
Aku seharusnya termasuk orang terpilih… namun di hadapan mereka yang memiliki kekuatan jauh lebih besar, aku akhirnya sadar bahwa aku tak lebih dari bayi tak berdaya.
Tidak mau, tidak mau. Aku menangis tersedu-sedu, tetapi tak ada satu pun yang mengulurkan tangan. Tak ada yang menolongku.
"Oi, awasi dia supaya jangan kabur. Aku tak mau dipermalukan lebih dari ini."
Perlakuanku sudah sepenuhnya seperti seorang kriminal. Aku menyadari bahwa aku sedang perlahan menaiki tangga menuju tiang gantungan.
Kehancuranku sudah di depan mata, tapi aku tak bisa melakukan apa pun. Dikurung di ruang ketua cabang, aku hanya tinggal menunggu dibunuh secara sosial.
Aku bahkan tak diizinkan melarikan diri. Tak ada yang bisa kulakukan. Aku dipaksa merasakan betapa tidak berdayanya diriku. Seorang lemah yang hidup-matinya sepenuhnya berada di tangan orang lain. Dan aku akhirnya sadar—orang lemah yang selama ini kuhina itu adalah diriku sendiri.
Aku hanyalah rubah yang meminjam wibawa harimau. Secara pribadi, aku hampir tak punya kekuatan apa pun. Menjelang kematian sosial, aku dipaksa menyadarinya.
Rasa tidak berdaya, kegelisahan, dan keputusasaan bercampur menjadi satu. Hatiku mulai hancur.
Pikiranku terlalu kacau sampai terasa seperti urusan orang lain. Rasanya aneh. Tawa tak bisa kuhentikan. Sesaat, seorang staf membuka pintu lalu segera menutupnya kembali.
"Sudah tamat aku. Kalau mau tertawa, tertawalah. Aku akan kehilangan segalanya seperti ini. Tidak mau, tidak mau, tidak mau."
Sambil merasakan ketakutan karena diriku bukan lagi diriku sendiri, aku menyadari hati dan semua yang telah kubangun runtuh berantakan.
"Kalau begitu, akan kubongkar semuanya. Semua rahasia yang aku tahu."
Sambil berteriak, napasku menjadi sesak dan aku terjatuh ke sofa. Pandanganku berkunang-kunang, tetapi waktu terus berlalu tanpa ampun. Kurang dari satu jam lagi menuju eksekusi hukuman mati.
※
──Sudut Pandang Ketua Cabang──
Kondou sedang menangis dan berteriak. Aku mulai khawatir apakah dalam kondisi mental seperti itu dia benar-benar bisa menghadapi konferensi pers. Saat itulah ponselku berdering.
Begitu melihat nama yang tertera, seluruh tubuhku menegang.
Aku segera mengangkat telepon.
"I-ini… ini, Sekretaris Jenderal. Ada apa masalah?"
Lawan bicaraku adalah tokoh besar dari pusat. Orang nomor dua di partai penguasa.
"Saya menelepon soal anggota dewan kota Kondou. Perdana Menteri dan para sponsor juga sangat memperhatikannya. Ini sudah menjadi berita besar. Mengingat posisinya sebagai anggota dewan kota, satu-satunya hal yang bisa dianggap penyelamat adalah bahwa media belum terlalu mengaitkannya langsung dengan partai. Namun, keributan kali ini… jika berlarut-larut, bisa melukai kami. Dengan tanggung jawab Anda, segera akhiri masalah ini."
Nada bicaranya dingin, rasional, dan tanpa belas kasihan. Aku hampir menangis saat menanggapinya.
"Terkait hal itu, kami akan mengikuti instruksi Anda. Tempat konferensi pers sudah kami siapkan, dan persiapan telah selesai. Namun, kondisi mentalnya sangat tidak stabil… dalam keadaan seperti ini, kami tak tahu apa yang mungkin akan dia ucapkan. Apakah itu tidak masalah?"
Namun, sekretaris jenderal menjawab tanpa mengubah nada suaranya sedikit pun.
"Tidak masalah. Pada akhirnya, ini hanya soal seorang anggota dewan kota yang salah mengira dirinya punya kekuatan dan kemudian lepas kendali. Justru akan lebih menguntungkan bagi kami jika dia menangis histeris di tengah jalan dan menjadi mainan internet. Dengan begitu, banyak orang akan mengerti bahwa dia memang tidak memiliki kualitas sebagai politisi. Itulah yang saya inginkan. Bahkan jika dia putus asa dan membocorkan sesuatu, informasi yang dia miliki toh tidak seberapa. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Kami sudah mengatur pihak kepolisian. Sebelum dia melakukan hal yang tidak perlu, setelah konferensi pers selesai, keluarkan dia dari partai dan tangkap atas dugaan pemerasan, lalu bawa ke tahanan. Jika kita bergerak cepat, opini publik pasti akan memahami sikap kita. Di internet bahkan sudah ada suara-suara yang mengatakan bahwa Kondou tidak akan ditangkap karena dia ‘warga kelas atas’. Justru karena itu, penanganan cepat akan memberi dampak besar."
"Hii…"
Semuanya terlalu rapi dan cepat. Aku merasakan tulang punggungku merinding dingin.
"Politisi yang terlibat skandal sering kali masuk rumah sakit, tetapi untuk pria selevel dia, lebih pasti jika langsung ditangkap polisi. Ngomong-ngomong, Ketua Cabang. Anda benar-benar membuat pilihan orang yang buruk. Dalam kasus ini, mungkin Anda juga harus bertanggung jawab. Kalau sampai begitu, jangan salahkan kami."
Jika gagal, tak ada kesempatan kedua. Ancaman tersirat itu membuat tanganku gemetar.
Meski panggilan sudah berakhir, tubuhku yang menegang masih sulit kembali rileks.
Masa depan Kondou sudah sepenuhnya gelap.
Membayangkan akhir dari pria yang salah paham itu, yang kini mengeluarkan teriakan aneh di ruangan sebelah, membuat hatiku terasa berat.
Namun, kegagalan tidak diizinkan. Si badut harus menari dengan lucu—kalau tidak, besok tak akan datang untukku.
※
──Sudut Pandang Kondou (Ayah)──
Akhirnya, saat ini pun tiba. Aula hotel yang telah dipesan untuk konferensi pers. Di sana, puluhan hingga ratusan awak media sudah menunggu.
Dengan tubuh gemetar, aku naik ke podium, dan kilatan kamera membuat mataku berkunang-kunang. Begitu banyak kamera yang tak pernah sekalipun diarahkan kepadaku sebelumnya, membuatku refleks mundur.
Para wartawan menatapku dengan mata merah, berusaha mengorek sesuatu yang menarik dari diriku yang sedang menjadi sorotan.
Rasanya begitu mengerikan, seperti binatang karnivora yang menemukan mangsa. Sebagai seseorang yang akan dijatuhi hukuman mati, gemetarku tak bisa berhenti.
Jadi, di sinilah akhir hidupku. Kenapa bisa begini? Demi disukai para tokoh besar di pusat, aku telah mengotori tanganku dengan berbagai kejahatan.
Berkat itu, aku akhirnya hampir meraih kursi wali kota. Jika terus berlanjut, seharusnya aku bahkan bisa meraih lebih dari itu.
Namun hari ini, aku hancur.
"Hadirin sekalian, terima kasih telah meluangkan waktu di tengah kesibukan Anda. Dengan ini, kami akan memulai konferensi pers penjelasan terkait skandal yang melibatkan anggota dewan kota Kondou."
Sebagai moderator, ketua cabang sudah mulai mengeksekusi hukuman mati. Seolah persiapan mentalku sama sekali tak penting.
"Atas kejadian yang ditimbulkan oleh saya dan putra saya, saya mohon maaf telah menimbulkan kekhawatiran."
Saat aku menundukkan kepala, kilatan kamera semakin bertambah.
Di antara mereka, terdengar bisikan kasar seperti, "Siapa yang khawatir?" atau "Cepat bilang yang sebenarnya."
Hatiku sudah hancur. Aku hanya ingin secepatnya kabur dari tempat ini.
"Anggota dewan, benarkah Anda mengancam pihak sekolah dan keluarga korban demi menutupi kasus penganiayaan yang dilakukan putra Anda?"
"Bagaimana Anda akan mempertanggungjawabkan hal ini kepada warga yang telah memilih Anda?"
"Apakah Anda menyadari bahwa Anda telah melakukan tindak pidana yang jelas?"
Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan tanpa jeda. Ini sudah sepenuhnya berubah menjadi hujatan.
"Terkait hal tersebut, saat ini masih dalam proses penyelidikan, jadi saya ingin menahan diri untuk tidak memberikan rincian…"
Aku mengucapkan kata-kata persis seperti yang tertulis di daftar tanya jawab yang sudah disiapkan, tetapi hasilnya justru seperti menuangkan minyak ke atas api.
Bahkan sebelum aku selesai bicara, teriakan kemarahan langsung menghujani.
"Mana mungkin alasan seperti itu bisa diterima!"
"Jangan meremehkan warga seenaknya!"
"Dengan rekaman itu masih berani berpikir bisa mengelak?"
"Ucapan ‘diam’ di pagi hari itu maksudnya apa?"
Sambil terhuyung oleh hujatan kasar, aku merasakan keringat dingin mengalir di punggungku. Orang-orang seperti ini, sampai kemarin saja masih membungkuk-bungkuk kepadaku.
"Kalau waktunya tiba, pasti akan aku jelaskan."
Kalimat itu justru membuat situasi makin meledak.
Para wartawan berdiri dari kursi mereka, bergerak seolah hendak menerkamku.
Ketua cabang yang bertindak sebagai moderator melempar peringatan.
"Semuanya, mohon tenang. Kondou-kun, kamu punya kewajiban untuk menjelaskan. Jawablah dengan jelas."
Aku terdiam, terpukul oleh pengkhianatan yang tak terduga. Padahal aku hanya berbicara sesuai naskah yang dia buat.
Sial, sial, sial. Terserah sudah. Akan kuungkapkan semuanya.
"Dalam kasus ini, aku hanya bertindak demi masa depan anakku saja…… aku sama sekali tidak terlibat dalam kekerasan langsung. Itu semua dilakukan anakku atas kemauannya sendiri."
Pada saat itu, kilatan lampu kamera mencapai puncaknya.
"Bukan sekretaris, tapi anaknya sendiri?"
"Berarti secara tidak langsung mengakui, ya."
"Ini gawat banget."
Di antara suara-suara itu, terdengar tawa mengejek.
"Mengenai dugaan ancaman, saat itu aku sedang panik karena penangkapan anakku, jadi aku tidak bermaksud bicara sekeras itu. Aku sedang terburu-buru, salah ucap. Itu saja……"
Karena tegang dan cemas, air mata meluap tanpa bisa kutahan. Isak tangis pun tak terkendali.
"Menyebut rekaman itu cuma salah ucap……"
"Matanya kelihatan gawat, deh."
"Dia mulai nangis."
Suara-suara di sekitarku semakin terdengar jauh.
"Aku ini selama ini sudah bekerja mati-matian. Tapi, tapi…… ketua cabang juga keterlaluan, kan. Biasanya selalu bergantung padaku soal uang. Tapi saat begini, langsung membuangku. Apa kau benar-benar paham, berapa banyak dukungan yang kuberikan sampai kau bisa berada di posisi sekarang ini?"
Aku mengucapkan hal-hal yang seharusnya tak boleh dikatakan. Saat terpojok, aku memang berniat membongkar semuanya.
Bagus. Begini saja. Sudah kulakukan. Kalau harus jatuh, ketua cabang juga ikut jatuh bersamaku.
"Apa yang kau bicarakan, hah!! Meski itu bohong, ada hal-hal yang tidak boleh kau ucapkan!"
Melihat ketua cabang panik, sedikit saja rasa puas muncul. Namun, itu seharusnya juga merupakan hal yang tidak boleh kubuka sendiri. Tapi pikiranku sudah tak lagi waras hingga aku tak menyadarinya.
Para wartawan tentu tak akan melewatkan mangsa lezat seperti ini.
"Jadi maksudnya dana gelap, ya?!"
"Pak dewan, apakah Anda mengakui telah melakukan suap?"
"Apakah itu sudah dicatat dengan benar dalam pembukuan?"
Para pemburu berita yang peka terhadap bau eksklusif dan skandal semakin memanas.
Neraka jeritan pun tercipta.
Ketua cabang mati-matian membela diri.
"Itu salah paham. Kondou-san hanya bicara asal karena terdesak. Mohon semuanya tenang!"
Itu bukan kebohongan. Aku memang memberikan dana gelap kepada ketua cabang sebagai imbalan atas dukungannya dalam pencalonanku sebagai wali kota.
Jika ini terbongkar, pasti akan menjadi skandal besar. Namun, kekacauan ini diredam oleh satu orang.
Suara langkah sepatu bergema di aula yang ribut. Seketika, semua orang menoleh ke arah itu. Seorang pria paruh baya dengan punggung tegap naik ke podium perlahan.
Aku langsung tahu siapa dia. Di tempat ini, tak mungkin ada yang tidak mengenalnya.
"Kenapa dia ada di sini……"
"Yang asli."
"Kenapa nomor dua partai berkuasa datang ke sini?"
Pria itu duduk perlahan di sampingku.
"Pertanyaan kalian akan aku jawab mewakili mereka berdua."
Dengan senyum lembut, dia menyatakannya dengan penuh wibawa.
Tanpa sadar, kata-kata keluar dari mulutku.
"Sekretaris Jenderal Ugaki……"
Nomor dua di partai berkuasa, tokoh besar yang menggenggam hak penentuan personel dan anggaran partai.
Monster yang mencapai posisi itu di usia termuda dalam sejarah, 45 tahun, dan dijuluki "Perdana Menteri Bayangan" karena kekuatan finansial dan politiknya.
Tokoh besar itu berbisik dengan suara yang hanya bisa kudengar.
"Kondou-kun. Kau sudah siap, bukan?"
Sekretaris Jenderal tersenyum seperti biasa, tapi matanya tidak tertawa. Tatapannya tajam, penuh amarah. Aku dipaksa menyadari bahwa aku telah menginjak ekor harimau.
"Eh……"
"Dengar baik-baik. Dalam perebutan kekuasaan antar politisi, tidak ada istilah ancaman. Kalau tidak punya tekad untuk menghancurkan lawan, jangan mudah melangkah ke dalamnya."
Kata-kata itu adalah deklarasi perang yang diarahkan kepadaku. Ucapan penuh tekanan yang hanya bisa kudengar di aula ini.
Dan warga kelas atas yang sesungguhnya itu menjatuhkan hukuman tanpa sedikit pun rasa iba, seolah aku hanyalah semut yang diinjak gajah. Tangannya menahan pena di saku jasnya.
"Dengan ini, izinkan saya juga menyampaikan permohonan maaf yang sedalam-dalamnya kepada hadirin semua terkait kasus Anggota Dewan Kondou. Kami sungguh-sungguh meminta maaf."
Sekretaris Jenderal menundukkan kepala dengan ringan. Aula pun gempar menerima permintaan maaf dari tokoh besar itu. Padahal, seharusnya dia sama sekali tidak terkait dengan kasus ini. Kenapa dia yang meminta maaf? Banyak orang, termasuk aku, memikirkan hal yang sama.
"Selanjutnya, terkait skandal ini, kami dari pihak partai telah melakukan penyelidikan menyeluruh demi kepatuhan dan penegakan disiplin partai. Beliau adalah anggota dewan kota…… demi kepercayaan para pemilih, ada tanggung jawab untuk menjelaskan. Penyelidikan ini kami lakukan sebagai bentuk pembersihan diri. Dan satu fakta telah terungkap, yang ingin saya jelaskan di kesempatan ini."
Keringat berminyak mengalir dari dahiku.
"Pertama, ada dua hal yang kami ketahui. Ancaman yang dilakukan Anggota Dewan Kondou tampaknya telah dilakukan secara rutin untuk menutupi skandal putranya. Rincian mengenai hal ini sudah kami serahkan sebagai bukti kepada pihak kepolisian. Selebihnya tinggal menunggu keputusan hukum."
Apa yang dia bicarakan. Kapan dia menyelidikinya. Memang benar, aku beberapa kali melakukan tindakan mirip ancaman demi urusan anakku. Tapi seharusnya itu semua sudah ditangani secara rahasia.
Bukti? Apa mungkin ada yang mengkhianatiku. Orang perusahaan? Sial, apa yang sebenarnya terjadi.
"Kemudian, terkait masalah keuangan yang barusan diakui sendiri oleh Anggota Dewan Kondou, setelah kami memeriksa dokumen akuntansi dan laporan dana politiknya, kami menemukan sejumlah pemalsuan dan upaya penyembunyian. Dokumen yang sedang kami bagikan sekarang adalah buktinya. Silakan, Anggota Dewan Kondou, Anda juga lihat."
Aku merasakan wajahku memucat. Darah serasa surut seketika.
Suap dan sogokan kepada orang-orang berpengaruh seperti ketua cabang. Untuk itu, aku memalsukan dokumen dan mengumpulkan dana sisa agar bisa digunakan sesuka hati. Dengan uang suap itu, aku memantapkan posisiku di dewan kota, dan akhirnya jalan menuju pemilihan wali kota terbuka.
Semuanya terbongkar. Dia berniat membuangku.
"(Ada pembelaan, Kondou-kun? Pemecatanmu sudah dipastikan. Laporan ke polisi juga sudah diajukan. Kau dan ketua cabang harus menjadi korban. Aliran suapmu ke pusat juga kurang lebih sudah kami ketahui. Jika kalian segera dipaksa bertanggung jawab, kerusakan bisa diminimalkan. Ini murni kesalahan kalian, jadi luka tidak akan melebar. Aku juga bisa berutang budi pada faksi itu. Semuanya menguntungkan, bukan?)"
Dia berbisik pelan, mustahil terdengar oleh siapa pun selain aku. Itu adalah deklarasi skakmat. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan.
Entah kenapa, yang terlintas di benakku hanyalah kesan dingin, seolah manusia diperlakukan seperti mainan.
"Tidak mungkin…… aku selama ini mempertaruhkan nyawaku…… mati-matian demi semua orang…… setelah jadi wali kota aku akan terjun ke politik nasional…… bohong, bohong, bohong. Ini keterlaluan. Uwaaa…… hidupku sudah hancur berantakan."
Emosiku menjadi kacau, dan tanpa sadar aku menjerit sambil menangis dengan kata-kata yang tidak beraturan.
Para wartawan langsung mengarahkan kamera mereka, berniat memberitakan pemandangan itu dengan cara yang sensasional dan menghibur.
Sambil menangis histeris, aku turun dari podium dan berlari menuju pintu keluar. Saat aku menoleh ke belakang, aku melihat sekretaris jenderal tersenyum kecut, seolah mengejekku.
Para wartawan mencoba mengepungku, tetapi aku menghempaskan mereka dan membuka pintu keluar. Namun, di sana sudah menunggu beberapa polisi berseragam.
"Kondou-san, ya. Kami ingin menanyakan beberapa hal di kantor polisi, jadi mohon ikut bersama kami."
Lenganku ditangkap oleh para polisi bertubuh kekar yang tampaknya telah diatur oleh sekretaris jenderal. Mereka mulai membicarakan hal-hal administratif seperti surat penangkapan, tetapi sama sekali tidak masuk ke kepalaku.
"Kenapa aku harus ditangkap? Aku ini presiden direktur dan anggota dewan kota, orang penting!"
Tak seorang pun menanggapi gertakan kosong itu. Seperti digendong, aku dibawa keluar dari hotel.
※
──Sudut Pandang Miyuki──
Aku sudah tidak bisa menyembunyikannya lagi. Dengan tekad bulat, aku menuju kamar rawat ibu.
Untuk menjelaskan semuanya.
Kamar rawat itu dipindahkan menjadi ruang pribadi secara paksa oleh ayah dari senpai. Katanya dia meninggalkan uang, tetapi ibu langsung mengembalikannya. Sepertinya ibu sama sekali tidak berniat menerima uang tutup mulut.
Saat aku membuka pintu kamar, ibu sedang menonton acara berita pagi.
Tepat saat itu, laporan tentang Anggota Dewan Kondou sedang ditayangkan. Ibu menatap layar dengan wajah kosong.
Sepertinya ibu langsung menyadari bahwa pria yang pernah datang ke kamar rawat beberapa waktu lalu adalah ayah dari Kondou-senpai.
"Ini maksudnya apa?"
Ibu sudah menyadari segalanya. Dalam pemberitaan, dilaporkan bahwa putra seorang anggota dewan telah melakukan tindak kekerasan terhadap siswa dari sekolah yang sama, dan juga merupakan pelaku perundungan.
Semuanya terhubung. Kekerasan yang kami lakukan terhadap Eiji, dan fakta bahwa kami menciptakan awal dari masalah perundungannya.
Suara ibu menjadi sedingin dan segelap yang belum pernah kudengar sebelumnya.
"Maafkan aku. Karena Eiji memergoki perselingkuhan, senpai memukul Eiji. Aku bukan hanya berpura-pura tidak melihatnya, tapi demi melindungi diriku sendiri, aku menimpakan kesalahan kepada Eiji dan malah memperparah perundungan itu. Semua salahku. Aku telah mendorong Eiji sampai ke ambang bunuh diri."
Mendengar pengakuan itu, wajah ibu langsung pucat pasi. Ia menunduk dengan ekspresi sedih, tubuhnya gemetar.
Hanya dengan melihatnya saja, rasa bersalah dan penyesalan menekan dadaku hingga terasa hancur.
Ibu yang selalu lembut dan sangat kucintai itu berdiri dengan tubuh yang terhuyung, lalu berdiri di depanku tanpa berkata apa pun dan menampar pipiku dengan keras.
Aku ditampar lagi oleh ibu. Aku sempat tak mengerti apa yang terjadi, tetapi merasa itu wajar.
Karena semua ini memang salahku.
"Kenapa kamu melakukan hal yang tak bisa diperbaiki seperti ini! Bukan hanya mengkhianati Eiji-kun, tapi juga meninggalkan luka yang tak akan pernah hilang seumur hidupnya…… Ini bukan sesuatu yang bisa ditebus hanya dengan permintaan maaf. Kenapa pada anak laki-laki tetangga yang begitu baik…… kebaikannya justru kamu balas dengan pengkhianatan……"
Suara ibu yang gemetar ikut mengguncang hatiku.
Aku tidak boleh menangis. Karena aku pelakunya. Aku tidak punya hak untuk menangis.
Banyak kenangan berharga bersama Eiji terlintas silih berganti. Kenangan pergi ke taman hiburan bertiga bersama ibu. Kenangan makan bekal bersama dengan gembira.
Kenangan saat dia menghiburku ketika aku menangis. Semuanya, semuanya telah kucemari.
"Maafkan aku. Aku sadar telah melakukan hal yang paling rendah. Pihak sekolah juga bilang akan ada sanksi. Aku telah melakukan hal yang tak bisa ditebus. Aku akan meminta maaf dan menebusnya pada Eiji, meski harus menghabiskan seluruh hidupku."
Ibu, yang selama ini hidup hanya berdua denganku, memperlihatkan wajah penuh keputusasaan, menangis sambil gemetar.
"Jangan mengatakannya semudah itu! Ini bukan hal yang sederhana…… ini……"
Dengan suara yang diperas, ibu mencoba menjalankan tanggung jawabnya sebagai orang tua. Aku benar-benar merasa diriku ini manusia paling rendah.
"Aku tidak tahu bagaimana harus menebusnya pada Eiji-kun dan keluarga Aono. Aku sendiri tidak tahu harus bagaimana. Kamu harus menjalani hidup sambil memikul fakta ini seumur hidupmu. Kenapa kamu tidak menyadari arti semua itu?"
"……"
Aku sudah tidak menemukan kata-kata lagi. Ibu berjalan sempoyongan hendak keluar dari kamar.
"Ibu, tunggu! Dokter juga bilang ibu harus banyak istirahat!"
Ia menepis laranganku dan tetap melangkah maju.
"Aku harus minta maaf. Kalau aku tidak pergi, siapa lagi yang akan pergi. Setidaknya aku harus meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Setidaknya aku harus sedikit menebusnya……"
Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri karena telah membuat ibu yang sedang terbaring sakit merasa bertanggung jawab sejauh ini.
Padahal aku adalah pihak yang terlibat langsung, tetapi selama ini aku bersikap seolah itu bukan urusanku. Baru sekarang aku benar-benar menyadari beratnya dosaku.
Diriku yang paling rendah karena berselingkuh dan mengkhianati Eiji yang baik hati.
Diriku yang paling rendah karena melontarkan kekerasan verbal pada Eiji yang sedang dipukuli.
Diriku yang paling rendah karena demi melindungi diri, menyebarkan rumor buruk dan mendorong Eiji sampai ke ambang bunuh diri.
Kenapa aku masih hidup? Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri yang telah melakukan perbuatan serendah itu sebagai manusia. Rasa benci pada diri sendiri menyelimuti segalanya.
Di luar kamar rawat, para perawat berkumpul, berusaha menghentikan ibu.
Aku melarikan diri dari kamar rawat. Aku belum menyadari keputusasaan yang sesungguhnya. Cara berpikirku terlalu kekanak-kanakan.
Aku telah melukai ibu sedalam itu. Rasa takut itu tak tertahankan.
Aku teringat Eiji. Aku juga teringat ibu Eiji. Mereka seharusnya juga adalah orang-orang yang berjasa bagiku…… tetapi aku melupakannya, dan hasilnya aku membalas kebaikan mereka dengan pengkhianatan.
Kenapa aku bisa sebodoh ini. Kenapa aku bisa melupakan hal yang paling penting. Terbakar oleh api cinta sesaat, aku membuang segalanya.
Saat itu, andai aku bisa mendekati Eiji yang terjatuh setelah dipukul Kondou-senpai, apakah hatinya akan sedikit lebih ringan?
Tidak. Bukan itu. Sejak awal, kalau saja aku tidak berselingkuh…… kalau saja aku tidak mencoba membenarkan semuanya dengan kata "main api", dan tidak berusaha melepaskan hal yang paling berharga bagiku, semuanya tidak akan menjadi seperti ini.
Kalau dibilang aku tidak pernah membayangkannya, itu bohong.
Masa depan di mana aku terus berjalan berdampingan dengan Eiji. Masa depan yang hangat dan lembut itu seharusnya ada.
"Kenapa aku sebodoh ini?"
Rasa benci pada diri sendiri dan rasa bersalah. Dan juga penyesalan karena telah menyeret Eiji dan ibu ke dalam semua ini. Fakta bahwa aku telah menekan orang yang kucintai sampai ke ambang kematian secara mental.
Setelah dikatakan oleh ibu, barulah aku benar-benar menyadari beratnya dosaku.
Lebih baik aku mati saja. Aku sudah tidak punya tempat di sekolah. Aku juga telah kehilangan kepercayaan Eiji dan ibu. Teman-teman pun semuanya pergi.
Yang tersisa hanyalah rasa bersalah dan kebencian pada diri sendiri yang tak akan pernah hilang.
Aku pulang ke rumah sekali, lalu berganti pakaian sekolah. Setelah itu, aku keluar rumah.
Aku muak pada diriku sendiri yang bahkan dalam kondisi ini masih bergerak dengan perhitungan. Aku menyadari bahwa aku memang bukan sosok yang pantas untuk tetap hidup.
Tanpa kusadari, kakiku melangkah menuju sekolah.
Tidak, karena aku keluar rumah dengan mengenakan seragam, mungkin sejak awal aku memang berniat ke sini. Rasanya aku bukan diriku sendiri.
Di sini hanya ada kenangan menyenangkan. Begitu pula dengan jalan menuju sekolah. Kenangan berjalan bersama Eiji sambil tertawa setiap hari kini justru menjadi senjata yang melukai hatiku.
Sudah waktunya mengakhiri semuanya.
Aku memutar ke pintu belakang dan menyelinap masuk ke dalam sekolah. Karena masih jam pelajaran, tidak ada seorang pun di lorong. Aku sedang dalam masa skorsing, seharusnya aku tidak boleh berada di sini, tetapi itu sudah tidak penting lagi.
Setidaknya, di akhir ini aku ingin mengakhiri semuanya sambil menatap tempat penuh kenangan indah. Aku ingin membuang semuanya. Aku ingin mengakhirinya.
Aku melihat ponselku yang sejak kemarin notifikasinya tak berhenti berbunyi. Hampir semuanya adalah pesan makian dari Ritsu dan anak-anak klub sepak bola.
Di antara itu, ada juga panggilan masuk dari Takayanagi-sensei dan Mitsui-sensei.
Waktunya jam istirahat siang. Ah, betapa baiknya mereka. Bahkan pada manusia serendah diriku, mereka masih ingin mengulurkan tangan. Tapi aku akan mengkhianati mereka.
Aku memang tidak bisa hidup selain dengan cara yang egois. Aku pernah mendengar dari Kondou-senpai. Katanya, kunci atap sekolah ini rusak, sehingga siswa bisa masuk. Kalau ingin mengakhiri semuanya, tempat itu pas sekali.
Kalau tidak terbuka, lebih baik menyerah saja. Pindah ke tempat lain juga tidak apa-apa.
Aku menaiki tangga menuju atap dengan pelan.
Sedikit lagi. Di luar sana seharusnya terbentang langit biru. Bahkan keindahan itu pun bagiku terasa seperti simbol hukuman.
Aku memutar gagang pintu yang menghubungkan ke atap.
"Eh?"
Aneh. Seharusnya kalau gagangnya diputar ke arah sebaliknya, kuncinya akan terbuka. Tapi bahkan gagangnya pun tidak bisa diputar. Kenapa?
Terdengar suara langkah kaki menaiki tangga. Suara itu perlahan mendekat. Aku juga bisa melihat bayangan seseorang.
Orang yang kukenal.
Seseorang yang memiliki semua hal yang telah kulepaskan, menatapku perlahan. Seolah melawan itu, kata-kata keras pun terucap begitu saja.
"Kenapa kamu ada di sini…… Ichijou Ai!"
Wajahnya begitu cantik sampai membuatku terpana, dengan ekspresi murung. Bahkan aku yang sesama perempuan sampai keliru mengira dia malaikat.
Aku cemburu. Ada diriku yang membenci gadis ini, yang memiliki segalanya, termasuk Eiji.
"Justru aku yang ingin bertanya, kenapa Amada-san ada di sini? Kamu seharusnya sudah diberi hukuman skorsing oleh pihak sekolah, kan. Tapi kamu datang ke sini dengan memakai seragam, itu jelas aneh."
"Itu……"
Posisiku jelas jauh lebih buruk. Karena itu aku terdiam, tak mampu menjawab.
"Sia-sia saja. Kunci pintu menuju atap sudah aku minta diperbaiki lewat telepon anonim kepada para guru. Awalnya itu untuk menutup perasaanku sendiri, tapi hasilnya justru berguna ke arah lain."
Kenapa anak ini selalu saja menginjak-nginjak sarafku. Kenapa dia hanya melakukan hal-hal yang menyebalkanku.
"Kenapa kamu bahkan tidak membiarkanku mengakhiri semuanya?"
Menanggapi suaraku yang memohon, dia menutup mata dengan kuat dan menghela napas panjang, lalu melanjutkan.
"Mengakhiri semuanya, ya. Aku tahu aku tidak punya hak untuk mengatakan apa pun kepadamu. Tapi, aku tidak akan membiarkanmu melangkah lebih jauh."
Nada suaranya yang seolah menghakimi membuatku sedikit marah.
"Itu bukan urusanmu! Kenapa kamu ada di sini? Jawab!"
Tanpa sadar kata-kataku menjadi kasar. Dia menarik napas sejenak lalu melanjutkan.
"Aku minta maaf lebih dulu. Aku menempatkan pengawas agar kamu tidak melakukan hal aneh. Aku berpikir mungkin kamu akan nekat. Ada laporan bahwa kamu bertindak tidak wajar, jadi aku datang ke sini."
Rasa takut membuat darahku seolah mengalir surut.
Kenapa sampai sejauh itu dia mewaspadaiku. Dan betapa menakutkannya kekuatan yang dimiliki junior ini sampai bisa melakukan hal seperti itu.
"Kenapa……"
"Tanyakan itu pada hatimu sendiri. Dan jangan melangkah lebih jauh. Tolong berhenti. Kalau sekarang, kamu masih bisa kembali."
Kenapa, kenapa, kenapa.
Orang seberuntung kamu tidak mungkin bisa memahami beratnya hidup dalam keluarga ibu tunggal, atau penderitaanku sekarang.
Kenapa kamu tidak membiarkanku mati. Apa aku bahkan tidak punya kebebasan untuk mati?
"Diam. Orang seberuntung kamu tidak mungkin bisa memahami perasaanku."
Dia menatapku dengan pandangan meremehkan.
"Mungkin memang begitu. Tapi sampai kapan kamu mau terus berperan sebagai heroine tragis…… kalau begitu, kamu akan terus terjebak seperti ini."
Kata-kata itu menghancurkan hatiku.
"Jangan sok tahu dan menguliahi orang tanpa memahami perasaannya!"
"Aku tidak bisa membiarkannya. Kalau kamu bunuh diri di sini, apa kamu sadar kalau itu akan melukai senpai? Dikhianati oleh kekasih masa kecil yang selalu bersamanya, lalu ditinggalkan dengan cara egois seperti ini—apa kamu punya hak untuk melukai hatinya lebih jauh? Kenapa, padahal kamu berada di dekat orang-orang yang begitu baik, kamu bahkan tidak bisa memahami hal sesederhana itu. Kamu pacarnya senpai, setidaknya pikirkan dia sedikit saja. Kenapa kamu punya hak untuk merusak masa depannya? Sampai sejauh mana kamu ingin memperluas luka yang akan dia bawa seumur hidupnya? Pada akhirnya, bukankah kamu sebenarnya tidak pernah mencintai senpai?"
Kata-kata penuh kepedihan itu membuat keyakinanku runtuh seketika.
"Bukan begitu…… aku mencintai Eiji……"
Namun malaikat penuh kasih itu dengan mudah melampaui pembelaan diriku sendiri, dan menghujamkan cinta pada Eiji tepat ke arahku.
"Kalau begitu, kenapa kamu bisa memilih jalan yang melukai senpai sedalam ini? Pada akhirnya, Amada-san hanya memikirkan diri sendiri. Karena itu kamu bisa dengan mudah memilih untuk melukai orang lain. Apa kamu benar-benar mengerti betapa terluka senpai dan ibunya, yang menganggapmu seperti keluarga sendiri, ketika dikhianati olehmu? Apa ibumu membesarkanmu sejauh ini, seorang diri, agar kamu melakukan hal seperti ini? Kalau kamu melangkah satu langkah saja melewati pintu ini, semuanya sudah tidak bisa dihentikan. Dan kamu akan melukai semua orang. Dengan kebohonganmu, hidup banyak orang sudah berubah. Kamu tidak boleh mati seenaknya tanpa menghadapi dosa itu. Sudah cukup, berhentilah bergantung pada orang lain!"
Dikatakan kebenaran seperti itu, hatiku semakin hancur berantakan. Tapi aku tidak bisa mundur. Aku tidak boleh mundur. Untuk melarikan diri dari tempat ini.
"Berisik, berisik, berisik. Jangan bicara seenaknya tanpa tahu perasaan orang. Orang seberuntung kamu tidak mungkin bisa memahami perasaanku sekarang."
Meski kutolak sekeras ini, dia terus menyangkal diriku.
"Kalau begitu, seberapa banyak kamu tahu tentang aku? Aku sudah mati-matian mencari tahu tentangmu. Tapi kamu bahkan tidak mencoba mengenalku. Begitu juga dengan dia. Kalau bukan karena dia, aku bahkan tidak ingin memahami kenapa orang egois sepertimu bisa melukai orang lain tanpa rasa bersalah. Aku tidak mengerti kenapa bukan ibuku yang lembut itu yang hidup, melainkan orang egois sepertimu. Jangan sembarangan bilang orang lain itu beruntung. Kalau begitu, apa kamu bisa menjalani hidupku sampai sekarang menggantikanku? Bisa mengembalikan ibuku…… keluargaku yang paling berharga?"
Semakin ke belakang, nada bicaranya justru semakin tenang. Namun, di balik kata-kata yang penuh tekanan sunyi itu, tidak ada lagi gadis ceroboh bak idola sekolah. Yang ada hanyalah kata-kata manusia yang berjuang mati-matian untuk hidup. Dan aku dipaksa menyadari betapa dangkalnya diriku.
"Itu……"
Aku kembali kehabisan kata. Dia memegang bahuku. Sentuhannya begitu lembut.
"Hari pertama aku bertemu senpai. Dia sedang berniat melompat dari atap yang ada di depan ini."
Aku merasakan tubuhku tiba-tiba menjadi dingin. Seolah aku baru saja diberi tahu bahwa ada sesuatu yang telah luput dari perhatianku.
"……"
Aku tak bisa mengatakan apa pun, dan dia pun melanjutkan, seolah terus melangkah lurus menuju jawaban yang kejam.
"Di sanalah kami pertama kali bertemu."
Tetap saja, ada sesuatu yang terasa janggal. Ucapan kasarku barusan kembali menghantam hatiku dengan rasa sakit tumpul, seperti bumerang tajam yang berbalik arah.
"Bisakah kau membayangkan kenapa aku berada di sana?"
Makna sebenarnya dari kata-katanya yang keras tadi menusukku. Bersamaan dengan itu, aku juga dipaksa menyadari betapa dangkalnya ucapanku sendiri.
Aku mengerti bahwa kata-katanya yang penuh tekanan itu bukan hanya ditujukan kepadaku, tetapi juga kepada dirinya sendiri.
Sambil mengoyak luka lamanya, dia tetap maju dengan tekad kuat untuk melindungi Eiji dan yang lainnya, lalu menghadapi diriku.
"Aku kehilangan orang yang sangat berharga karena kesalahanku sendiri. Itu adalah hal yang tak mungkin diperbaiki. Dan aku hampir saja melakukan satu hal lain yang juga tak mungkin diperbaiki. Karena itulah aku menghentikanmu. Itu karena apa yang diajarkan Aono Eiji-senpai kepadaku di atap yang ada di depan sana. Pada akhirnya, kau akan diselamatkan oleh pria bernama Aono Eiji itu. Aku hanya bertindak dengan cara yang sama seperti dirinya."
Dengan nada seolah menasihati, dia mengatakan itu lalu pergi meninggalkan tempat itu. Aku tak mampu berkata apa-apa, selain terjatuh lemas di tempatku berdiri.
"Apakah aku yang seperti ini benar-benar sudah cukup?"
Sebagai penutup, terdengar suara Ichijou Ai, rapuh seperti sebuah doa.
Bergantian dengannya, beberapa guru berjalan mendekat ke arahku.




Post a Comment