NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark
📣 IF YOU ARE NOT COMFORTABLE WITH THE ADS ON THIS WEB, YOU CAN JUST USE AD-BLOCK, NO NEED TO YAPPING ON DISCORD LIKE SOMEONE, SIMPLE. | JIKA KALIAN TIDAK NYAMAN DENGAN IKLAN YANG ADA DIDALAM WEB INI, KALIAN BISA MEMAKAI AD-BLOCK AJA, GAK USAH YAPPING DI DISCORD KAYAK SESEORANG, SIMPLE. ⚠️

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 4 Chapter 1

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 1

Ratu yang Kelewat Telat


Di belakang gedung sekolah yang diselimuti hiruk-pikuk, terdapat area parkir sepeda yang sepi.


“Hayashi-san, aku menyukaimu.”


Cowok yang memanggilku mengutarakan perasaannya dengan gugup.


Wajahnya tidak jelek, pikirku. Androgini, langsing, dan tinggi semampai. Aku bahkan takkan kaget jika dia direkrut jadi idol oleh suatu agensi.


“Maaf, kamu siapa, ya?”


Tapi, meski ditembak oleh cowok seperti itu, aku tidak lantas melambung.


Ditembak tiba-tiba oleh cowok yang namanya saja tidak kutahu, yang ada menyebalkan. Jadi, aku menolaknya.


Sejak saat itu, cowok itu berhenti mendekatiku.


Aku sedikit kesal.


Aku tidak ingin dia mengutarakan perasaan dengan rasa suka yang gampang menyerah cuma karena ditolak sekali.


Tapi, orang-orang di sekitarku, yang tidak memahami perasaanku, mulai memberiku julukan atas tanggapanku itu.


Si Ratu Arogan, begitulah mereka menjulukiku.


Saat julukan itu pertama kali diberikan, aku tidak terima. Apa maksudnya Ratu Arogan? Aku tidak separah itu, pikirku.


Tapi, lama-kelamaan aku mulai menyukai julukan ini. Daripada harus menolak cowok yang tidak kusukai dan menjadi bahan gosip, lebih baik mereka tidak mendekatiku sekalian gara-gara takut oleh julukan ini. Aku pikir itu lebih menguntungkan.


Yah, bisa dibilang ini semacam pengusir serangga.


Ini adalah caraku untuk bertahan hidup, agar tidak menimbulkan masalah yang tidak perlu dengan orang-orang yang hanya tahu cinta kekanak-kanakan—yang membeberkan orang yang mereka sukai kepada orang lain dan menjadikannya bahan lawakan.


Karena itulah, meskipun aku tahu julukan itu mengandung kedengkian terhadapku, aku secara terang-terangan tidak mempermasalahkan fakta bahwa mereka memanggilku seperti itu di belakangku.


...Hanya saja, ada satu alasan lagi mengapa aku membiarkan julukan itu.


Aku merasa iri.


Karena aku, tidak sekalipun pernah berpikir untuk menjelek-jelekkan orang yang telah menolak gebetanku.


Karena itu, aku iri pada mereka yang bisa menjalin cinta yang begitu berapi-api.


Iya, ‘kan?


Bahkan jika mereka menjelek-jelekkan orang yang menolak pujaan hati mereka... bukan berarti mereka bisa berakhir dengan orang yang mereka sukai itu. Malah, ada kemungkinan mereka akan semakin dibenci karena kelakuan licik mereka di belakang.


Meskipun begitu, aku iri pada mereka yang bisa bertindak bodoh tanpa memikirkan konsekuensinya demi orang yang mereka sukai.


Seperti kata pepatah ‘cinta itu buta’, aku iri melihat mereka yang bisa mencintai dengan tulus... sampai-sampai orang itu tidak bisa lepas dari pikiran mereka, baik saat tidur maupun bangun.


Karena aku tidak percaya diri bisa memiliki perasaan sekuat itu pada seseorang. Baik di masa lampau, maupun di masa depan...


Aku baru saja menyadari bahwa pemikiranku itu salah besar.


Saat ini, aku tinggal bersama dengan seorang pria. Pria ini dan aku bukanlah sepasang kekasih, apalagi suami istri.


Ceritanya panjang, tapi singkatnya... sebelum bertemu dengannya, aku tinggal bersama pria lain, dan aku menjadi korban KDRT dari pasangan kumpul kebo itu. Pria yang tinggal bersamaku sekarang adalah orang yang melindungiku dari pria pelaku KDRT tersebut; dia menyembunyikanku di apartemennya.


Begitulah cara kami bisa tinggal bareng, tapi hari-hari itu penuh dengan cobaan.


Bertemu lagi dengan si pria KDRT.


Insiden penusukan oleh wanita yang dihasut oleh pria KDRT itu.


Tepat ketika kupikir aku akhirnya lolos dari cengkeraman pria KDRT itu, aku pulang ke kampung dan mengetahui tentang penyakit ayahku, yang hubungannya sempat renggang denganku. Tak lama setelah kami berbaikan, ayahku meninggal dunia.


Khawatir dengan ibuku yang tinggal sendirian di rumah, aku memutuskan untuk tetap tinggal di rumah orang tuaku.


Tapi, ibuku tahu isi hatiku, yang sebenarnya ingin kembali tinggal bersama pria itu.


Berkat bujukan ibu, aku pun memutuskan untuk kembali ke tempat tinggal pria itu.


Pria itu... Yamamoto... meskipun aku sudah memberitahunya langsung lewat telepon bahwa aku akan tinggal di rumah, dia tetap datang menjemputku di stasiun.


Dan, Yamamoto berkata begini:


“Kalau aku berpisah denganmu di sini sekarang... aku pasti akan menyesal.”


Aku telah mengalami banyak hal selama ini. Sebelum SMA. Dan setelah SMA, aku menjalani pengalaman yang lebih padat.


Aku sudah berkali-kali menangis, tertawa, dan marah secara histeris.


...Tapi, pengalaman yang begitu mengguncang hatiku, ini adalah yang pertama kalinya seumur hidupku.


Saat itulah.


Aku menyadari perasaanku pada Yamamoto.


Saat aku mulai memiliki perasaan tulus, yang membuatku tidak bisa berhenti memikirkannya baik saat tidur maupun terjaga, persis seperti kata pepatah ‘cinta itu buta’.


“Hayashi, sebentar lagi stasiun transit.”


“I-Iya...”


Kami sekarang berada di dalam kereta, dalam perjalanan pulang dari rumah orang tuaku ke apartemen Yamamoto.


Kereta ekspres terbatas yang kami naiki sepertinya akan segera tiba di stasiun terminal, salah satu yang terbesar di Tokyo.


Sejak dari stasiun terdekat rumah orang tuaku sampai sekarang, aku terus duduk di sebelah Yamamoto.


Selama itu, jujur saja, aku merasa sangat gelisah.


Aku sadar jantungku berdebar kencang.


Aku khawatir Yamamoto menyadari kegugupanku, jadi aku meliriknya dari sudut mata, tapi terkadang mata kami bertemu. Setiap kali itu terjadi, aku merasa malu, dan memalingkan wajah darinya dengan pipi memerah.


...Awalnya aku ingin menyangkalnya.


Kuakui aku jatuh cinta pada Yamamoto. Tapi, aku ingin meyakinkan diri bahwa perasaan ini tak beda jauh dengan perasaan yang pernah kumiliki untuk beberapa orang lain. Ini pastilah rasa cinta yang lebih mirip kekaguman.


Tapi, dalam beberapa jam perjalanan pulang dari kampung halamanku ke rumah Yamamoto, aku tidak bisa lagi menyangkalnya.


Sejujurnya, saat ini kami berada dalam jarak yang cukup dekat untuk berpegangan tangan jika aku mau, tapi aku tidak bisa melakukannya, dan situasi ini membuatku sangat frustrasi.


Yah, sebenarnya itu hal yang mudah. Dia tadi sempat tertidur pulas di kursi sebelahku, mungkin karena kelelahan harus bolak-balik menjemputku—padahal jarak dari kampung halamanku ke apartemen Yamamoto lumayan jauh.


Seharusnya mudah saja menggenggam tangannya saat dia tidur.


Tapi, aku tidak bisa.


Sebagian karena malu.


Tapi alasan terbesarnya adalah karena aku takut. Bagaimana jika saat aku memegang tangannya, Yamamoto terbangun dan menunjukkan ekspresi enggan? Bagaimana jika dia menolaknya? Bayangan negatif seperti itu muncul di kepalaku, dan pada akhirnya aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku menghabiskan sebagian besar waktu hanya menunduk, memandangi kursi di depanku.


Aku ini sebenarnya kenapa?


Padahal, kami pernah berpegangan tangan saat pergi ke festival musim panas atau ke agen properti... Saat itu, aku sama sekali tidak merasa malu...


Kalau begini, aku seperti gadis yang sedang kasmaran di shoujo manga saja...


“Hayashi, ayo turun.”


“I-Iya.”


Ternyata kereta sudah tiba di stasiun terminal.


Didesak oleh Yamamoto, aku turun dari kereta, dan peron dipenuhi banyak orang.


“Ramai sekali, ya,” gumam Yamamoto.


Stasiun terminal terbesar di Tokyo memang luar biasa. Ditambah lagi ini jam pulang kerja, peron sangat padat sampai sulit untuk berjalan.


“Jangan sampai terpisah.”


“I-Iya...”


Aku hanya mengangguk mendengar peringatan Yamamoto. Tapi sejujurnya, aku tidak yakin bisa tetap bersamanya.


Aku sangat buta arah, dan berjalan di stasiun yang seperti labirin di tengah kerumunan sebanyak ini membuatku sangat cemas.


Terbesut di pikiranku, mungkin sebaiknya aku minta untuk berpegangan tangan.


Kalau terus begini, kecemasanku pasti akan menjadi kenyataan.


Yah, kalau hanya terpisah mungkin masih aman. Ada kemungkinan aku akan naik kereta ke arah yang benar-benar berlawanan dari apartemen Yamamoto... tapi itu masih bisa diatasi (padahal tidak).


Bahkan jika hal merepotkan itu terjadi dan masih bisa diatasi, yang kutakutkan sebenarnya hanya satu.


Bagaimana jika aku terpisah darinya dan Yamamoto jadi jemu padaku...?


Jika aku terpisah dari Yamamoto di sini, padahal Yamamoto sudah susah payah menjemputku ke kampung halaman, bukankah semua kebaikannya akan sia-sia?


Tidak, meskipun Yamamoto tidak berpikir begitu, dia itu orang yang sangat efisien.


Beberapa saat setelah kami mulai tinggal bareng, aku menetapkan hobi bersih-bersih Yamamoto menjadi satu jam sehari. Yamamoto masih mematuhi aturan itu dengan patuh... tapi akhir-akhir ini, dia terobsesi pada satu hal: bagaimana cara membersihkan kamar secara efisien dalam satu jam.


Hasilnya? Belakangan ini Yamamoto jadi hobi mencari-cari alat pembersih di internet di waktu luangnya, dengan moto: ‘dalam waktu singkat, jangkauan luas, dan tepat sasaran’.


“Hayashi, terima kasih. Berkat kau membatasi waktu bersih-bersih, aku jadi hobi mencari alat pembersih dan hari-hariku terasa lebih berarti.”


Tepat sebelum aku pulang ke rumah, dia mengatakan itu dengan wajah gembira, sampai-sampai aku berpikir otaknya sudah geser.


Yah, lupakan soal itu. Tapi, apakah seorang Yamamoto yang perfeksionis, efisien, logis, dan sepertinya tidak bisa memahami perasaan orang lain, akan memilih wanita payah yang buta arah parah sebagai pasangan hidupnya?


Tidak, tidak mungkin dia memilihku...


Karena itu, aku tidak boleh terpisah dari Yamamoto sekarang, bagaimanapun caranya!


...Tunggu sebentar?


Aku baru saja membayangkan menghabiskan sisa hidupku dengan Yamamoto?


Aku baru saja membayangkan masa depan pernikahan dengan pria yang saat ini hanya teman serumah, bukan pacar atau apa pun?


...Sebegitu besarkah perasaanku padanya? Pada Yamamoto itu? Pria yang paling kubenci semasa SMA?


“H-Hei, Yamamoto!?”


Mustahil.


“K-Kita kayaknya terjebak jam pulang kerja, ya?”


Ini tidak boleh terjadi!


Sebagai seseorang yang dijuluki ‘Ratu Arogan’ semasa SMA.


Sebagai orang yang telah menolak perasaan banyak orang.


Demi semua orang yang membenciku, aku harus tetap menjadi Ratu!


“...Hmm? Ah, ya, sepertinya begitu.”


“Aku... a-aku tidak bisa jalan lurus dengan benar...”


“Aku juga. Aku berjalan menyelip di antara banyak orang.”


“...Ini, bukankah mustahil untuk tidak terpisah?”


“Hmm? Yah, mungkin juga.”


Yamamoto menggeram sejenak, lalu melanjutkan.


“Kalau begitu, jika kita terpisah, kita bertemu di peron stasiun berikutnya.”


“Hah, tidak mungkin. Aku ini buta arah parah, tahu?”


“Pengakuan yang menyedihkan sekali...”


“Makanya...”


Jantungku berdebar semakin kencang.


Aku pernah mendengar sebuah teori. Katanya, semua mamalia, apa pun jenisnya, memiliki jumlah detak jantung yang kurang lebih sama sepanjang hidupnya, sekitar dua miliar kali.


Itu artinya, detak jantungku yang meningkat saat ini sedang menuntunku menaiki tangga kematian.


Ini gawat. Pikiranku jadi negatif.


Tapi, harga diriku sebagai Ratu tidak mengizinkan detak jantungku yang berharga terbuang sia-sia untuk hal seperti ini...!


“Makanya...!”


Ayo katakan.


“...Bo.”


Katakan, Megumi.


Dulu kau sombong, ‘kan?


Kau Ratu, ‘kan?


Kalau begitu, katakan!


‘Boleh aku pegang tanganmu?’


‘Jangan salah paham. Aku hanya tidak ingin terpisah dan merepotkanmu.’


‘T-Tapi, kalau kau tidak mau, ya sudah.’


‘...I-Iya, aku tahu. Tidak perlu menolak sekeras itu juga.’


...Yamamoto di dalam kepalaku baru saja menolakku.


“...Bo?”


“Bo-Boleh aku pegang... tas jinjingmu?”


Aku ciut....!


“...Seperti yang kau lihat, aku kan pakai ransel.”


“Kalau begitu, biar aku pegang ranselmu.”


Gara-gara ditolak oleh Yamamoto di dalam kepalaku, aku jadi takut...


“Meskipun untuk mencegah terpisah, berjalan sambil memegang ransel itu agak konyol, bukan?”


“Kalau begitu, jalan di belakangku.”


“Ah, oke, boleh juga.”


Lagipula, apa itu harga diri Ratu?


Aku tuh rakyat biasa yang tumbuh di keluarga Jepang biasa.


Ah, entah kenapa semua jadi terasa konyol.


“Hayashi, kita naik eskalator itu.”


“Hm.”


Sesuai arahan Yamamoto yang berjalan di belakang, dan naik eskalator. Aku sedikit cemas apakah Yamamoto benar-benar ada di belakang, jadi aku menoleh.


“Kenapa?”


“...Aku hanya ingin memastikan kau mengikutiku dengan benar.”


“Hah?”


Yamamoto mengerutkan kening seolah gagal paham.


Reaksinya nyebelin banget, ‘kan?


Aku ini buta arah, tahu? Ngerti dikit dong.


...Dasar, Yamamoto benar-benar tidak mengerti hati wanita. Itu sebabnya dia masih perjaka.


Sambil menggerutu dalam hati, aku selesai menaiki eskalator. Di antara kerumunan orang, aku melihat beberapa toko. Ada minimarket, kafe, dan toko pakaian merek terkenal.


“Ah.”


Aku berhenti saat melihat salah satu toko.


“Kenapa, Hayashi?”


“Hei, Yamamoto. Bagaimana kalau makan malam kita ekiben (bekal stasiun) saja?”


“Hm?”


Yamamoto menengok ke arah yang kutunjuk.


Di seberang orang-orang yang menghindari kami dengan kesal karena menghalangi, terlihat toko ekiben dengan eksterior jingga yang tenang.


“Ekiben, ya.”


“Iya. Bagaimana?”


“...Hmm.”


“Kenapa?”


“Tidak, aku hanya berpikir… ekiben itu kan seharusnya dinikmati saat dalam perjalanan. Tapi kita kan sekarang hampir selesai bepergian, jadi… emangnya boleh kalau kita memakannya sekarang—itu aja sih.”


“Bagaimana caramu menikmati hidup jika terkungkung oleh pemikiran sempit seperti itu?”


“Aku tidak menyangka akan diserang dengan seberlebihan itu.”


Ada benarnya.


Aku merasa perkataanku tadi agak ketus. Kupikir aku sudah melewatinya, tapi nyatanya aku sedikit kesal karena ciut tadi, dan mungkin aku melampiaskannya pada Yamamoto.


“Hah. Hayashi, kemampuanmu meningkat, ya.”


Namun, entah kenapa Yamamoto terlihat senang.


“Eh, apanya?”


“Cara bicaramu jadi sedikit lebih logis. Dulu, setiap ada kesempatan, kau selalu mengatakan hal-hal impulsif seperti ‘menyebalkan’ atau ‘menjijikkan’, ‘kan?”


“Ah, yah...”


“Tapi percakapan tadi, rasanya kayak di novel sastra.”


“Berlebihan. Paling banter juga level novel ringan.”


“Jangan meremehkan novel ringan.”


Kenapa dia membela novel ringan sebegitunya? Mungkinkah dia punya hubungan mendalam dengan novel ringan?


...Hubungan mendalam dengan novel ringan itu apa?


“Sudahlah, ayo beli makan malam di sana. Lagipula di rumah tidak ada bahan makanan, ‘kan?”


“Hmm? Ah, yah...”


“...Apa maksud ‘jeda’ itu?”


“Jeda? Jeda apaan?”


“Ada, ‘kan.”


...Mencurigakan.


Jangan-jangan.


“Kamu kemarin ketemu Akari, ya?”


Aku meninggikan suaraku.


“...Enggak, kok.”


“Bohong.”


“Aku nggak bohong.”


“Bohong. Ngomong yang jujur.”


“...Enggak... bohong.”


Yamamoto, yang terintimidasi, berkata dengan ragu.


“Tapi, dia memang menelepon, sih.”


“Telepon...”


“Telepon sepihak. Dia bilang mau mengadakan pesta nabe di kamarku, jadi aku disuruh membeli bahan makanan.”


“...Oh.”


“Tentu saja, aku menolaknya. Aku sudah memutuskan akan menjemputmu hari ini. ...Tapi, dia malah bersikeras, ‘Kalau gitu, besok kita lakukan bertiga,’ dan dia tidak mau mendengarkan.”


“...Oh.”


“E-Eh, Hayashi?”


“Apa?”


“Kamu, kenapa tiba-tiba jadi kesal?”


Kesal?


Kamu pikir aku akan kesal hanya karena kamu dan Akari teleponan kemarin?


“Tentu saja tidak.”


Tentu saja aku kesal, bego!


Wajar, ‘kan, jika aku kesal ketika pria yang kusukai membicarakan wanita lain, atau sering berkomunikasi dengan wanita lain! Ih!


...Tapi, aku jadi paham.


“Begini. Kurasa... jemputan itu tidak perlu.”


Itulah yang dikatakan Akari saat aku meneleponnya tadi, memintanya melakukan hal yang mustahil untuk menjemputku di kampung halaman.


...


“Hei, Yamamoto.”


“Hm, apa?”


“Kamu... apa kamu benar-benar bilang ke Akari kalau kamu mau menjemputku?”


“...Iya, aku bilang.”


“Kamu sendiri yang bilang?”


Yamamoto tampak bingung sesaat dengan maksud pertanyaanku, tapi dia sepertinya langsung paham. Dia menengadah ke langit, mencoba mengingat kembali percakapan rahasianya dengan Akari kemarin.


“...Kalau itu sih, awalnya aku mengelak.”


Yamamoto berkata dengan nada berat.


“...Rasanya seperti penguntit, ‘kan? Menjemput wanita yang bukan pacarmu... sudah bukan baper lagi, tapi sudah menjurus ke penguntit, agak ngeri, ‘kan?”


“Yah, benar juga.”


“Bantah, dong. ...Jadi, aku mengelak. Kubilang ada urusan penting yang tak bisa ditinggalkan.”


“...Tapi, Akari sadar, ya.”


“Iya. ...Tapi, kata pertama yang keluar darinya adalah, ‘Kamu belum menjemputnya?’”


Meskipun aku merasa cemburu setengah mati, aku juga merasa sedikit senang.


Bukan hanya ibuku dan Yamamoto, tapi Akari juga memahami perasaanku. ...Aku benar-benar diberkahi teman-teman yang baik.


Aku harus membuatkan nabe yang enak untuk mereka besok.


“U-Untuk saat ini, kita beli ekiben saja untuk makan malam, seperti katamu. Lelah juga ‘kan, kalau harus masak setelah perjalanan jauh.”


Yamamoto mengatakannya dengan cepat, seolah berusaha mengalihkan pembicaraan.


Kami membeli bento dua warna dan bento sanzokuyaki di toko ekiben, lalu naik kereta transit.


Di dalam kereta, kami hampir tidak berbicara.


Yang membuatku sedikit senang, ketika kursi di depan Yamamoto kosong di stasiun berikutnya setelah stasiun terminal, dia mempersilakanku duduk.


Tapi aku tidak mengucapkan terima kasih.


Aku malu karena ada orang lain.


Agar pipiku yang memerah tidak kelihatan, aku mengalihkan pandanganku ke ponsel.


Setelah sekitar dua puluh menit di kereta, Yamamoto mengajakku turun.


Turun dari peron, keluar dari gerbang tiket... pemandangan yang sudah kukenal, bahkan bagiku yang buta arah, terbentang di depan mata.


“Pemandangan yang kukenal.”


“Kan ini stasiun di kota tempat kita tinggal.”


Aku sedikit senang.


Senang karena aku bisa mengingat pemandangan kota tempat Yamamoto tinggal.


Dan senang karena aku bisa melihat pemandangan ini lagi.


“Tahu arah pulang?”


“Tentu saja.”


Aku mulai berjalan.


Tadi aku dipandu oleh Yamamoto, tapi sekarang berbeda.


...Melewati bundaran stasiun, menyeberang jalan hati-hati.


Belok kanan di depan restoran cepat saji. Belok kiri di gedung bimbingan belajar.


Dari sana, aku berjalan lurus beberapa saat, mendengar suara anak-anak bermain riang di taman sebelah kanan, aku ikut tersenyum.


Area perumahan. “Malam ini rumah ini masak kari, ya,” gumamku sambil membayangkan menu makan malam di rumah-rumah yang kulewati, lalu belok kiri.


Di tengah jalan, aku membuang muka dari supermarket tempat aku bertemu kenalan kuliah dulu, dan tak lama kemudian, aku melihat apartemen kami...


Seperti biasa, lampu kamar tidak menyala.


Teman serumahku adalah mahasiswa. Setelah kuliah, dia pergi kerja paruh waktu, jadi dia biasanya pulang lebih malam dariku.


Biasanya di saat seperti ini, aku akan berpikir, ‘Aku harus bergegas menyiapkan makan malam.’


“Hari ini tidak perlu menyiapkan makan malam, ya.”


“Iya, benar.”


Sejak aku putus kuliah, aku kembali ke rumah orang tuaku. Kehidupan di sana terasa sedikit menegangkan, mungkin karena kondisi ayahku. Tapi, ada juga saat-saat aku merasa kembali menjadi anak-anak, bernostalgia dengan masa lalu, dan hatiku dipenuhi kehangatan.


...Padahal, waktu yang kuhabiskan tinggal bersama di kamar Yamamoto jauh lebih singkat dibandingkan waktu yang kuhabiskan di rumah orang tuaku.


Tapi, kehidupan di rumah ini sudah sepenuhnya menjadi bagian dari rutinitas harianku.


Karena itu, hatiku sekarang terasa penuh.


Aku tersenyum.


“Aku harus berterima kasih pada Ibu.”


Aku bergumam pelan.


“...Bukan hanya pada ibumu, ‘kan.”


Yamamoto juga bergumam pelan, dengan suara yang sama kecilnya.


“Pada ayahmu juga, ‘kan.”


...Aku teringat ayahku di krematorium, yang telah menjadi abu dan pergi ke langit.


“Kamu benar.”


Benar kata Yamamoto.


“Tapi, bukan hanya orang tuaku.”


Tapi, ada hal yang Yamamoto lupakan.


“Pada Akari juga.”


Kehidupanku yang sekarang bisa terwujud berkat usaha banyak orang.


“Dan, padamu juga...”


Dan dari semuanya, yang paling banyak berbuat untukku adalah...


“...Terima kasih.”


Tidak lain adalah dia.


“...Tolong katakan itu di kamar saja. Malu kalau di luar.”


“...Haha. Kamu tidak berubah, ya.”


Mungkin karena itulah, aku jadi menyukaimu.


Aku tersenyum lembut.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close