NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark
📣 IF YOU ARE NOT COMFORTABLE WITH THE ADS ON THIS WEB, YOU CAN JUST USE AD-BLOCK, NO NEED TO YAPPING ON DISCORD LIKE SOMEONE, SIMPLE. | JIKA KALIAN TIDAK NYAMAN DENGAN IKLAN YANG ADA DIDALAM WEB INI, KALIAN BISA MEMAKAI AD-BLOCK AJA, GAK USAH YAPPING DI DISCORD KAYAK SESEORANG, SIMPLE. ⚠️

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 4 Chapter 4

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 4

Ratu yang Kedatangan Saingan Cinta


“Sudah sampai di stasiun.”


Setelah menyelesaikan perjalanan panjang dengan kereta, aku mengoperasikan ponsel sambil memegangi pinggangku yang sakit karena duduk terus, dan mengirim pesan ke Hayashi.


Tepat setelah pesan yang kukirim dibaca, ponselku bergetar.


“Oke... Nanti kukasih tahu Ibu juga...”


Hayashi sepertinya belakangan ini malas mengetik di ponsel, dan lebih sering menggunakan pesan suara yang dipelajarinya dari Kasahara. Sepertinya, meskipun gaptek, Hayashi adalah wanita yang fleksibel dan cukup proaktif dalam mencoba metode komunikasi baru seperti pesan suara.


“Kurasa aku akan sampai sekitar lima belas menit lagi.”


Setelah mengirim pesan, aku memasukkan ponsel ke saku celana dan mulai berjalan.


Aku baru satu atau dua kali ke rumah Hayashi, tapi aku masih ingat-ingat sedikit jalan dari stasiun.


Karena itu, tanpa tersesat, aku menuju rumah Hayashi dengan perasaan seperti sedang berwisata, merasa terhibur melihat laut, dan terhibur melihat kucing berjemur di atas pagar.


“Sudah sampai...”


Tapi, begitu tiba di depan rumah Hayashi, aku merasa sedikit gugup. Aku dari dulu tidak punya banyak kesempatan bermain di rumah teman, dan sebelum bicara soal teman atau apalah, aku juga bukan pria berhati baja yang tidak gugup saat mengunjungi rumah orang tua teman serumahku.


Selain itu, aku juga pernah bilang di depan orang tua Hayashi bahwa aku menganggap Hayashi sebagai orang yang penting...


Padahal, seharusnya aku mampir dulu ke tempat lain sebentar untuk menenangkan diri sebelum ke sini.


Tapi, aku sudah terlanjur bilang akan sampai dalam lima belas menit.


Yah, aku pasrah, tidak ada gunanya terlalu memikirkannya, aku pun menekan bel rumah Hayashi.


“Iya.”


Suara yang terdengar dari interkom bercampur derau, jadi aku tidak bisa membedakan apakah itu suara Hayashi atau ibunya.


“Selamat pagi. Saya Yamamoto. Saya datang untuk menjemput Megumi-san.”


Aku mengatakannya dengan sopan.


“Ah, Yamamoto-kun? Cepat sekali, ya.”


Sepertinya itu Ibu Hayashi. Tingkat kegugupanku rasanya naik satu level.


“Lama tidak bertemu.”


“Justru kami yang banyak merepotkanmu, entah itu karena putriku, maupun karena ‘orang itu’.”


Aku tidak pernah punya pengalaman melakukan percakapan formal lewat interkom, jadi rasanya canggung.


“Mumpung sudah di sini, ayo masuk dulu.”


“Ah, tidak usah... Anda pasti sibuk, ‘kan?”


“Tidak juga, kok. Sejak si cerewet Megumi dan ‘orang itu’ pergi, waktu rasanya berlebih, biarpun sudah dipakai tidur siang sebanyak apa pun.”


“...Haha.”


E-Enggak bisa ketawa...


“Lagipula, si Megumi itu, sepertinya masih butuh waktu untuk bersiap-siap.”


“Eh, benarkah?”


Dia ini... apa yang dia lakukan selama lima belas menit ini?


“Jadi, setidaknya minum teh dulu... ya?”


“...Kalau begitu, saya terima tawarannya.”


Menunggu Hayashi di depan rumah juga bisa membuatku disangka orang mencurigakan, jadi aku memutuskan menerima tawaran Ibu Hayashi.


Ibu Hayashi membukakan pintu untukku, dan saat aku melangkah masuk...


“Ibuuu! Rambutku berantakan banget, nggak bisa rapi, gimana niiih!”


Dari dalam rumah, Hayashi muncul dengan panik.


Hening sejenak.


“K-Kenapa kamu sudah sampai!?”


Akhirnya Hayashi memecah kesunyian dengan wajah merah merona.


“Karena sudah pas lima belas menit sejak aku menghubungimu.”


“S-Setidaknya mampir ke tempat lain dulu, kek!”


“Kalau kau sudah selesai siap-siap, kau pasti akan memarahiku yang mampir-mampir dan terlambat, ‘kan?”


“Ya iyalah, aku marah!”


“Aku datang tepat waktu karena mengantisipasi skenario itu. Apa boleh buat, ‘kan?”


“...T-Tapi! Peka, dong!”


Kuat sekali.


Kata ‘peka, dong’ itu kuat sekali.


Habisnya, mana kutahu.


“Ah, dia pasti sedang kesulitan bersiap-siap berangkat,” mana ada yang bisa tahu hal seperti itu selain cenayang.


Dia menyuruhku jadi cenayang?


“...Dan, jangan bilang selama menungguku datang, kau sibuk bertarung dengan rambutmu yang berantakan itu?”


“I-Iya.”


“Serius? Repot juga, ya.”


“...Kalau dipikir-pikir, belakangan ini rambutku selalu ditata olehmu, jadi ini efek sampingnya.”


Efek sampingnya keluar, ya.


Beraninya dia bilang begitu tanpa malu di depan orang tuanya.


“Kamu, rambutmu selalu ditata oleh Yamamoto-kun?”


“Eh? Ah, iya.”


“...Oh, begitu.”


Kukira kalau mendengar cerita seperti ini Ibu Hayashi akan menggodanya, tapi ternyata di luar dugaan, dia malah menundukkan kepala padaku dengan wajah serius.


“Yamamoto-kun, maaf, ya.”


“Eh, untuk apa?”


“Untuk sekarang, ini tolong dimakan ya, kalau sudah sampai di rumah.”


Ibu Hayashi menyodorkan kantong kertas padaku. Isinya mungkin kue.


“Eh, tidak usah, tidak apa-apa. Tidak usah repot-repot.”


“Sudah, terima saja.”


“...B-Baik.”


Maksa banget, ya. Sifat ini benar-benar mirip seperti orang tua Hayashi.


“Terima kasih sudah mengurus Megumi.”


Melihat sikap formal Ibu Hayashi, aku jadi terdiam.


“...Megumi. Jangan membuat Yamamoto-kun menunggu terlalu lama.”


“T-Tapi...”


“Sudahlah. Ayo, ke wastafel.”


Karena mereka berdua pergi ke wastafel, aku jadi menunggu sendirian di pintu depan.


“M-Maaf menunggu...”


Sekitar sepuluh menit kemudian, Hayashi kembali. Rambutnya yang berantakan sudah rapi.


“Ah, kamu menunggu di depan pintu terus? Maaf.”


“Tidak masalah...”


Dibiarkan menunggu itu tidak masalah. Hanya saja, aku berharap dia bisa mengatur waktunya sedikit lebih baik.


“Kalau begitu, Ibu, kami pulang, ya.”


“Iya, iya. Yamamoto-kun, maaf ya, padahal besok kamu kuliah.”


“Tidak, tidak apa-apa.”


“Kalau begitu, Ibu, nanti aku telepon lagi.”


“Iya, iya. Hati-hati di jalan, ya.”


Aku menunduk (memberi salam) pada ibu Hayashi, dan kami meninggalkan rumah Hayashi.


Aku merasa sedikit antiklimaks.


Aku tiba di rumah Hayashi sebelum tengah hari, jadi kupikir setidaknya aku akan ditawari makan siang.


Tapi Ibunya tadi bilang, “padahal besok kamu kuliah,” jadi mungkin dia mempertimbangkan agar aku bisa cepat kembali ke Tokyo.


“Lusa kemarin maaf, ya. Gara-gara aku, kau jadi pulang sendirian.”


Aku meminta maaf pada Hayashi yang berjalan di sebelahku.


“Tidak apa-apa. Lagipula, kalau kamu meminta maaf justru keterlaluan, tahu? Aku bisa pulang sendiri dengan selamat, kok.”


Padahal dia salah transit meskipun sudah membawa buku panduan yang kubuat, tapi sikapnya percaya diri sekali.


Sejujurnya, daripada jengkel, aku malah jadi lebih salut.


“Hayashi, makan siang bagaimana?”


“Eh, tidak bisa setelah kita sampai di apartemen?”


“Kalau baru makan setelah sampai di apartemen, kurasa kita baru akan makan sekitar jam tiga.”


“Eh, itu agak terlambat ya, untuk makan siang.”


“Iya... Makanya, apa kamu tahu tempat makan enak di sekitar sini? Terlalu dini sih, tapi bagaimana kalau kita makan siang di sana?”


Saat aku mengusulkannya dengan santai, Hayashi yang berjalan di sebelahku tiba-tiba berhenti.


“Hayashi?”


“...H-Hei, Yamamoto?”


“Hm?”


...Menunduk, memainkan tangannya di celana. Ini hanya perasaanku saja, atau Hayashi memang terlihat gugup?


“Ini, boleh kuanggap sebagai ajakan kencan?”


Suara Hayashi sedikit melengking.


Kenapa dia harus repot-repot mengkonfirmasi apakah makan siang bareng itu kencan atau bukan. Aku tidak mengerti maksudnya, tapi kuajwab saja.


“Bukan, lah.”


Kalau dipikir secara normal, mengajak teman serumah makan siang itu tidak mungkin disebut kencan.


“...Dianggap kencan juga nggak masalah, ‘kan.”


Hayashi menggumamkan sesuatu, tapi suaranya terlalu kecil, jadi aku tidak tahu dia ngomong apa.


“Hmph! Aku tahu, kok, tempat makan enak!”


“Kamu marah, ya?”


“Aku tidak marah!”


Padahal dia bilangnya dengan suara lantang yang jelas-jelas marah...


“Untuk sekarang, bisa antarkan aku ke tempat makan enak itu?”


“Oke! Aku akan mengantarmu ke restoran seafood yang harganya terjangkau dan Instagrammable!”


Melihatnya memberikan informasi toko yang spesifik sambil marah-marah... kemarahannya jadi terlihat sedikit konyol.


◇◇◇


“Oi, Hayashi, kapan kita sampai di tempat makan enak itu?”


“Loh? Perasaan di sekitar sini, deh.”


Sudah tiga puluh menit berlalu sejak aku meminta Hayashi mengantarku ke tempat makan enak di dekat situ. Hayashi bilang, dari rumahnya ke sana hanya sekitar sepuluh menit, tapi sudah tiga kali lipatnya waktu berlalu, tempatnya belum kunjung terlihat.


“Jangan bilang kamu nyasar?”


Aku dilanda secercah kecemasan. Aku teringat, Hayashi kan buta arah parah.


Mungkinkah aku salah pilih orang untuk jadi penunjuk jalan?


“...Aneh, ya. Seharusnya di dekat pelabuhan ikan.”


“Kita sudah kembali ke stasiun.”


Saat ini, kami berada di stasiun terdekat dari rumah Hayashi, tempat aku turun kereta tadi untuk menjemputnya. Kami kembali ke sini setelah berputar-putar, waktu tempuhnya jadi dua kali lipat dari waktu berangkat.


Selain itu, seingatku di sekitar stasiun ini tidak ada pelabuhan ikan. Pelabuhan ikan terdekat dari sini, kalau dari rumah Hayashi, seharusnya ada di arah yang berlawanan dengan stasiun.


...Ya. Fix, aku salah pilih orang untuk jadi penunjuk jalan.


“Yah, nyasar juga bagian dari serunya perjalanan.”


“A-Aku belum ngaku kalau aku nyasar, oke!?”


“Jadi, kamu nggak nyasar?”


Hayashi terdiam, lalu tersenyum pahit dengan canggung.


“Maaf. Aku payah banget ya, jadi penunjuk jalan saja tidak bisa.”


Akhirnya dia mengakui kesalahannya, dan Hayashi terlihat murung.


“Tidak apa-apa. Kan sudah kubilang, nyasar itu bagian dari serunya perjalanan. Saat kita mencari-cari tempat tujuan tapi tidak ketemu, lalu asal masuk ke kedai milik pribadi, ternyata harganya terjangkau dan enak.”


“...Di sekitar sini, kelihatannya hanya ada restoran waralaba.”


...Ah, benar juga.


“A-Aku juga suka makanan di restoran keluarga, kok.”


“...Maaf.”


Hayashi meminta maaf dengan raut penuh penyesalan.


“Aku benar-benar tidak berguna...”


“Aku nggak bakal marah cuma karena hal sepele seperti ini.”


“...Aku, rasanya dibantu Yamamoto terus, ya.”


“Hah? Nggak juga, ‘kan.”


Memangnya dia pikir sudah seberapa besar kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan makananku selama ini.


“Sungguh, maaf...”


Sepertinya kata-kataku tidak menjangkaunya.


“Kalau begini terus, kamu pasti akan jemu padaku. Padahal kamu sudah mau tinggal bersamaku lagi.”


...Aku sudah kepikiran sejak lama, dia ini ternyata gampang banget down, ya. Sulit dipercaya dulu dia dijuluki ‘Ratu’.


“Benar. Lebih baik kamu tinggal dengan orang lain selain aku. Dengan begitu, hidupmu pasti akan lebih baik.”


“Mode membenci dirimu hari ini lumayan lama, ya.”


“Karena ini dari hati.”


Hayashi tersenyum hampa.


“Yamamoto, apa tidak ada orang lain di sekitarmu? Seseorang yang kamu pikir bisa tinggal bareng.”


“...Hah.”


“Aku akan bantu, kok.”


“...Begini, ya.”


Aku menghela napas jengkel, lalu melanjutkan.


“Aku bukan pria yang mau tinggal bareng siapa saja. Aku melanjutkan kehidupan serumah ini karena pasanganku adalah kau.”


...Hm?


Apa aku baru saja terpancing oleh Hayashi dan mengatakan sesuatu yang sangat memalukan?


“...J-Jadi...”


Suara Hayashi melengking, seolah gugup.


“Maksudmu, kamu berpikir kalau kamu tinggal bareng orang selain diriku, nggak bakal bisa bertahan lama?”


“Hah?”


Oi, oi, dia ngomong apa sih?


Hadeh...


Mana mungkin begitu...


“Yah, benar juga.”


Awalnya aku ingin menyangkal, tapi hmm... ada benarnya juga.


“Ja-ja-jadi... Yamamoto?”


“Hm?”


“Boleh kuanggap kamu tidak berniat tinggal bareng orang lain selain aku?”


“Hah?”


Dia ini sebenarnya ngomong apa?


Benar-benar konyol...


“Yah, bisa dibilang begitu.”


Ada benarnya. Tinggal bersama orang yang tidak dikenal itu biasanya menakutkan.


“...Oh, begitu.”


“...Iya.”


“...Begitu. Fufuh. Ehehe. Begitu. Begitu, ya.”


Padahal tadi dia murung, tiba-tiba Hayashi tersenyum cerah.


“Ehehe. Begitu, ya... Ehehehehe... Begitu, begitu...”


“...Apa kau begitu senang mengetahui kalau aku ini tipe introvert suram yang tak bisa cocok dengan sembarang orang?”


“Eh? Mungkin? Ah, bukan. Bukan, bukan. ...Tapi mungkin iya juga!”


“Jadi yang mana?”


“Yang mana, ya.”


Gak jelas banget.


“Tapi, apa pun itu, nggak boleh, ya, Yamamoto.”


“Apanya.”


“Kamu nggak boleh main mata dengan cewek lain.”


“Nggak bakalan.”


Kalaupun aku main mata, paling-paling lawannya akan merasa jijik.


“Benar, ya! Yamamoto kan nggak punya teman cewek akrab yang bisa diajak main mata!”


“Benar.”


Rasanya kesal dibilang begitu, tapi kenyataannya aku memang tidak punya teman cewek akrab. Sebenarnya, teman cowok pun tidak banyak.


“...Loh?”


Itu terjadi tepat saat aku dan Hayashi sama-sama menyadari betapa miskinnya lingkaran pertemananku.


“Senpai? Mungkinkah itu Senpai?”


“Hm?”


Di belakangku, saat aku menoleh, berdiri seorang gadis.


Gadis itu mengenakan seragam sailor. Sama seperti seragam SMA yang dulu kupakai bersama Hayashi.


“Wah, lama tidak bersua!”


Aku langsung paham.


Gadis yang sekarang berjalan ke arah kami, tampak senang karena reuni mendadak ini, pastilah teman Hayashi.


Kenapa? Karena Hayashi punya banyak teman waktu SMA, sedangkan aku sebaliknya, temanku sedikit.


“...Ada apa, Senpai?”


Aku sadar ada yang aneh karena gadis itu berjalan mendekatiku, bukan Hayashi.


Rambut bob hitam, mata besar. ...Jujur saja, aku tidak ingat pernah melihat gadis di depanku yang memancarkan aura anggun ini.


“Siapa cewek ini.”


Suara Hayashi, yang tadi sangat ceria, kini terdengar dingin.


“Entah.”


Aku mengatakan fakta yang sejujurnya.


“Eh? ...Ah, benar juga.”


Seolah teringat sesuatu, gadis itu mengeluarkan kacamata dari tasnya dan memakainya.


“...Ah.”


“Hah?”


Mengesampingkan Hayashi yang bersuara dingin... setelahmelihat wajah gadis itu memakai kacamata berbingkai merah yang khas itu, aku teringat siapa dia.


“Kau, Matsuo, ya.”


“...Katanya nggak punya teman cewek akrab.”


Mengabaikan gerutuan Hayashi... gadis yang berdiri di depanku ini adalah Matsuo Misuzu. Cewek yang setahun lebih muda dari kami, yang bersekolah di SMA tempat kami lulus.


“Oh, kau sudah kelihatan dewasa, ya. Aku sampai pangling.”


“...Katanya nggak bakal main mata dengan cewek lain...!”


“...Begitu, ya?”


“Iya. Rambutmu juga dipotong pendek, ya. Gaya rambutmu yang dulu bagus, sih, tapi yang sekarang juga cocok.”


“...Apa terlihat manis?”


“Eh?”


“Aku yang sekarang, apa terlihat manis...?”


“...Sayangnya, aku bukan tipe orang yang bisa mengatakan gombalan seperti itu.”


“Eh?”


“Artinya, yah... begitulah.”


Waktu bertemu Matsuo lagi, aku berniat untuk bersikap sok senior di depan salah satu dari sedikit adik kelasku yang kukenal, tapi pertanyaan memalukannya merusak segalanya.


...Yah, kupikir ide untuk bersikap sok senior itu sendiri memang tidak cocok untukku.


“...Ah, terima kasih.”


Matsuo terlihat malu.


“Hei, Yamamoto.”


Hayashi memanggilku dengan suara yang lebih berat dan dingin dari sebelumnya.


“Apa, Hayashi.”


“...Bukan ‘apa’. Banyak yang ingin kukatakan, tapi pertama-tama... bukan ‘apa’.”


“Hmm. Jadi, maksudmu?”


“Siapa anak ini? Apanya kamu?”


“Apanya... adik kelasku.”


“Tidak perlu diberitahu aku juga tahu!”


Hayashi berteriak.


E-Enggak usah teriak gitu juga, dong...


“Dia Matsuo. Adik kelas, satu tingkat di bawah kita... lagian, mana mungkin kau tidak tahu dia.”


“Hah? Aku nggak kenal tuh.”


“Dia anak yang membacakan pidato perpisahan di upacara kelulusan kita.”


“Ah, ngomong-ngomong kamu juga dulu membacanya, ya. Yang nyebelin banget itu.”


Sudah menjadi tradisi, di SMA tempatku lulus, pidato perpisahan dibacakan oleh siswa dengan nilai terbaik.


Makanya aku pun membacakan pidato itu saat kelas dua SMA. Makanya Hayashi pun kesal padaku yang membacakan pidato. Sebuah fakta yang tidak menguntungkan siapa pun.


“Loh, tapi bukannya anak yang membacakan pidato di kelulusan kita itu rambutnya dikepang dua?”


“Benar. Makanya aku tidak langsung mengenalinya.”


Matsuo menunduk sedikit, tampak malu.


“Hoo, begitu, ya.”


Hayashi tampak sudah mengerti, tapi...


“T-Terus, kenapa kamu bisa kenal dengan adik kelas cewek!”


Dia marah lagi.


Kenapa dia marah?


“...Kami dulu satu kegiatan komite.”


Aku tidak tahu kenapa dimarahi, tapi aku menjawab alasan kenapa kami bisa saling kenal.


“Kami panitia pelaksana festival budaya tahun lalu.”


“Waktu itu, terima kasih banyak atas bantuannya.”


“Tidak. Justru aku yang sangat terbantu. Terima kasih.”


“Bukan, kok. Cara kerja Senpai sangat menginspirasi... justru aku yang harus berterima kasih.”


“Yah, aku akui kalau aku memang kompeten, sih.”


Kenapa? Karena aku adalah pria yang tidak suka merendah.


“Fufuh. Senpai tidak berubah, ya.”


“Masa? Mungkin ada benarnya.”


“...Ngomong-ngomong, yang di sebelah Senpai ini siapa?”


“Ah, dia ini...”


“Hayashi Megumi.”


Memotong kata-kataku, Hayashi maju selangkah mendekati Matsuo.


“Kau tidak ingat nama itu?”


Hayashi melotot ke arah Matsuo.


“...Hayashi Megumi-san? Ah, si ‘Ratu Arogan’!”


“Mgh!”


“Senpai bersekolah di sekolah kami sampai tahun lalu, ‘kan! Aku ingat. ...Suaranya keras, sikapnya angkuh, aku pikir, ‘Wah, ini tipe orang yang tidak kusuka,’!”


“Ah, aku paham.”


“Yamamoto!?”


...Sial.


Aku menutup mulut dengan tangan dan membuang muka. Beberapa saat kemudian, aku melirik Hayashi, dan dia menatapku tajam sambil setengah menangis.


“...N-Ngomong-ngomong, Senpai sekalian sedang apa di sini?”


“Kenapa? Memangnya aneh kalau kami di kampung halaman sendiri?”


“Soalnya, Senpai kan kuliah di Tokyo?”


“Eh.”


Kenapa dia tahu...?


Meskipun aku kenal Matsuo waktu SMA, tapi hubungan kami hanya sebatas sesama anggota komite. Kurasa aku tidak memberitahunya soal tujuanku setelah lulus...


“S-Senpai kan terkenal. Jadi gosipnya terdengar begitu saja.”


“Ah, benar juga. Aku memang biang onar, sih.”


“Tidak begitu, kok!”


“Uwoh!”


“Senpai bukan biang onar! Justru... Ah.”


Matsuo, yang berapi-api mendekatiku, tiba-tiba menepuk tangan seolah teringat sesuatu.


“Senpai, apa ada waktu sekarang?”


Lalu, dia menanyakan jadwalku.


“Kalau boleh, ada yang ingin aku konsultasikan.”


“Konsultasi?”


Aku melirik Hayashi.


Hayashi menatapku tajam, lalu mendengus dan membuang muka. ...Murung, lalu gembira, lalu marah. Emosi Hayashi hari ini benar-benar naik turun lebih dari biasanya.


“Ah, tidak apa-apa.”


“Terima kasih.”


Matsuo berterima kasih dengan gembira.


“Jadi, konsultasi soal apa?”


“...Sebenarnya, tahun ini aku jadi panitia pelaksana festival budaya lagi.”


“Oh, benar juga. Sudah waktunya festival budaya, ya.”


“Iya. ...Dan, tahun ini, aku jadi ketuanya.”


“...Oh.”


“...Karena aku sudah jadi ketua panitia pelaksana festival budaya, aku punya satu target.”


“Target?”


“Iya!”


Matsuo mengangguk penuh semangat.


“Aku ingin festival budaya tahun ini bisa dibuka untuk umum.”


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close