NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark
📣 IF YOU ARE NOT COMFORTABLE WITH THE ADS ON THIS WEB, YOU CAN JUST USE AD-BLOCK, NO NEED TO YAPPING ON DISCORD LIKE SOMEONE, SIMPLE. | JIKA KALIAN TIDAK NYAMAN DENGAN IKLAN YANG ADA DIDALAM WEB INI, KALIAN BISA MEMAKAI AD-BLOCK AJA, GAK USAH YAPPING DI DISCORD KAYAK SESEORANG, SIMPLE. ⚠️

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 4 Chapter 9

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 9

Ratu yang Merayakan Pesta Penutupan


Setelah berpisah dengan Matsuo, aku berjalan-jalan sendirian mengelilingi sekolah. Bukan berarti ada tempat khusus yang ingin kutuju. Hanya saja, aku sedang tidak ingin berlama-lama dengan Matsuo.


Sambil berjalan luntang-lantung, tiba-tiba aku teringat.


“Ngomong-ngomong, kertas voting yang kudapat tadi belum diisi sama sekali.”


Sebentar lagi festival budaya usai. Tidak ada waktu lagi untuk keliling ke beberapa kelas.


...Apa isi asal-asalan saja?


Atau, masukkan tanpa diisi? Atau malah dibuang saja...


“Kamu kertas votingnya kok masih kosong melompong begitu?”


Tiba-tiba, terdengar suara yang sangat akrab di telingaku dari arah belakang, membuatku terlonjak kaget.


Saat aku buru-buru menoleh, sosok yang berdiri di sana adalah teman serumahku saat ini.


“Ih, ampun deh. Kamu keluyuran ke mana aja, sih?”


Itu Hayashi.


“Padahal kita sudah jauh-jauh datang bareng ke festival budaya. Masa kita nggak bikin satu kenangan pun, sih.”


Hayashi memprotes sambil memanyunkan bibirnya.


“...Lagipula, kalaupun keliling bareng aku, emangnya bakal jadi kenangan indah?”


Entah kenapa, aku malah melontarkan kata-kata negatif yang tidak biasa kepada Hayashi.


“Selain itu, bukannya tadi kamu nggak bisa keliling bareng gara-gara ditahan sama mantan teman sekelasmu?”


“...Uh.”


Seolah ucapanku tepat sasaran, Hayashi membuang muka. Kalau diperhatikan, Hayashi membawa sebuah kantong kertas yang tidak dia bawa saat berangkat tadi. Sepertinya dia cukup menikmati festival budaya ini.


...Ngomong-ngomong, soal teman sekelas tahun lalu, aku jadi teringat.


“Terus? Teman-teman yang tadi keliling bareng kamu ke mana?”


“Ah. Sudah pulang.”


“Kasahara juga?”


“Iya.”


Hayashi mengangguk.


“Akari bilang dia mau makan bareng teman-teman lain sebelum pulang.”


“Begitu ya.”


“...”


“...”


“S-Sebenarnya aku juga diajak makan bareng, loh!? T-Tapi, kupikir kasihan kalau meninggalkanmu sendirian di sini...”


“Oh, begitu. Jadi, kamu mencariku?”


“...Yah, begitulah.”


Melihat Hayashi mengakuinya dengan malu-malu membuatku sedikit senang, tapi karena rasanya agak gengsi, aku tidak mengucapkan terima kasih.


“...Terus? Kamu sendiri dari tadi di mana dan ngapain aja?”


“Hm? ...Ah. Kalau diceritakan bakal panjang, loh.”


“Nggak masalah. Lagian ceritamu kan memang selalu panjang dan kebanyakan teori.”


Benar juga.


Aku berdeham. Lalu, di koridor sekolah yang masih gaduh, aku menjelaskan rentetan keributan yang baru saja terjadi kepada Hayashi.


“...Pantas saja, waktu berangkat ke sini tadi, jalanan macet banget.”


“Yah, andai saja saat itu kita sadar, ya.”


Hayashi mendekat ke jendela untuk mengecek kondisi halaman sekolah.


“Benar juga. Kalau dilihat-lihat, halaman sekolah sudah jadi tempat parkir.”


“Kamu nggak sadar?”


“Sama sekali. Mungkin karena saking asyiknya, kali ya?”


...Asyik, ya.


Sejak lulus SMA, Hayashi menjalani hidup yang penuh gejolak. Mulai dari menjadi korban KDRT, dikhianati teman masa kuliah, hingga kematian ayahnya.


Mengingat Hayashi telah melalui berbagai pengalaman pahit yang bisa membuat siapa saja depresi hanya dengan mengingatnya, aku merasa lega jika hari ini dia bisa sedikit menghibur diri lewat festival budaya.


“...Kalau begitu, kita pulang juga yuk.”


Karena hasil terbaik, yaitu menghibur hati Hayashi, sudah tercapai, aku rasa tak ada alasan lagi untuk berlama-lama di sekolah.


“Ah, tunggu dulu.”


Namun, Hayashi menahanku.


“...Mumpung sudah di sini. Mau keliling sekolah sebentar berdua?”


Pandangan Hayashi tertuju pada tanganku.


Ah, benar juga.


Kertas voting ini, harus kumasukkan ke kotak suara salah satu kelas.


“Baiklah.”


Aku mengangguk, lalu berkeliling sekolah bersama Hayashi.


Namun, karena upacara penutupan sudah di depan mata, sebagian besar stan kelas sudah mulai beres-beres.


“Oke, ini saja.”


Karena sudah tidak mungkin melakukan penilaian yang ketat, aku memutuskan untuk memasukkan suaraku ke kotak kelas yang nomornya sama dengan kelasku tahun lalu.


“...Hayashi, kamu pilih kelas mana?”


“Hm? Rahasia.”


“...Oh.”


Meski bertanya, aku tidak terlalu penasaran... jadi aku tidak memperpanjang topik itu.


“Festival budayanya berakhir, ya.”


Panitia pelaksana festival budaya secara resmi mengumumkan agar pengunjung selain siswa aktif segera meninggalkan lokasi.


Dengan ini, festival budaya tahun ini bagi kami para alumni telah usai.


“...Yamamoto?”


“Apa?”


“Kamu hari ini bisa menikmatinya, ‘kan?”


“...Aku mah nggak penting, ‘kan? Selama kamu senang, itu sudah cukup.”


“Hah? Kamu bodoh ya?”


Hayashi tampak heran.


“Jelas penting dong kalau kamu juga bisa menikmatinya.”


Di masa SMA aku tidak punya kesempatan untuk mengetahuinya, tapi ternyata Hayashi cukup perhatian pada orang lain. Makanya, bukan hanya dirinya sendiri, dia juga peduli apakah aku menikmati festival budaya ini dengan baik atau tidak.


...Hanya saja, kalau hubungan kami masih seperti masa SMA dulu, jika aku jawab “menyenangkan”, Hayashi pasti akan mendecak kesal.


Tapi sekarang pasti...


“Menyenangkan, kok.”


Kalau aku bilang begitu, Hayashi pasti...


“Syukurlah kalau begitu.”


Hayashi yang sekarang pasti akan tersenyum lembut padaku.


“Yuk, pulang.”


Meski masih ada rasa enggan untuk beranjak, berlama-lama di sini malah bisa mengganggu para siswa.


Aku pun hendak beranjak pulang.


“Yamamoto.”


Namun, Hayashi kembali menahanku.


“...Anu.”


Dengan suara yang terdengar tidak lancar, tak seperti biasanya.


“Itu... begini, loh?”


Dengan suara yang terdengar lemah, tak seperti biasanya.


“...Bisa nggak kita tinggal di sekolah sebentar lagi?”


Hayashi melontarkan usulan yang sangat tidak masuk akal padaku.


“Sekalian saja, kita nonton api unggunnya dulu.”


“Nggak boleh.”


Aku menjawab spontan.


“Acara pesta penutupan itu khusus buat siswa aktif. Kita ini orang luar. Kamu paham, ‘kan?”


“...P-Paham sih, tapi...”


“Melanggar aturan itu ada risikonya, tahu? Kalau gara-gara kita melanggar aturan, lalu izin partisipasi wali murid dan alumni yang sudah susah payah didapatkan Matsuo dicabut tahun depan, gimana?”


“...Muu.”


“Makanya, kita pulang aja dengan patuh. Kalau kamu mau lihat api unggun, nanti aku mintakan Matsuo buat kirim videonya.”


...Terlepas dari apakah aku benar-benar bisa minta tolong pada Matsuo yang baru saja kutolak tadi, setidaknya dengan bilang begini, Hayashi pun harusnya menyerah, ‘kan?


“Boleh lah. Kita lihat dulu, yuk.”


Dia tidak menyerah.


Ada apa dengan Hayashi? Tumben sekali dia susah dibilangin begini.


“...Kita ini pakai baju bebas, loh? Kalau di acara pesta penutupan ada orang yang nggak pakai seragam nyelip, pasti ketahuan lah.”


“Kalau soal itu, tenang saja.”


Hayashi mulai mengaduk-aduk kantong kertas yang sedari tadi dia bawa.


“Nih.”


Dan, benda yang dia sodorkan padaku adalah... seragam SMA.


“Hah?”


Jujur, aku tercengang.


“Kamu dapat dari mana ini?”


Dari mana Hayashi mendapatkan seragam sekolah?


Kalau dilihat baik-baik, ada satu set seragam laki-laki dan perempuan.


...Jangan-jangan, dia merampasnya dari siswa aktif? Kejam banget.


“...Aku nggak ngelakuin hal yang kamu bayangkan, kok.”


Syukurlah kalau tidak.


Lagipula Hayashi, tolong berhenti menatapku tajam begitu. Serem, tahu.


Beberapa saat kemudian, Hayashi menghela napas panjang. Sejujurnya, akulah yang ingin menghela napas.


“Setelah pisah sama Akari, aku sempat nyasar di dalam sekolah.”


“Jangan langsung nyasar, dong.”


“Terus kebetulan, aku sampai di depan ruang guru. Mumpung di sana, aku pikir sekalian saja menyapa Kako-chan, tapi entah kenapa Kako-chan kelihatan lemas banget.”


...Yah, itu karena masalah parkiran penuh, mengarahkan mobil ke parkiran berbayar, lalu diseret olehku ke tempat Kepala Sekolah... pasti berat buat beliau.


“Tapi, begitu lihat wajahku, dia tersenyum senang. Setelah itu kami ngobrol cukup lama, tapi...”


“Tapi?”


“Tiba-tiba Kako-chan bilang, ‘Kalau mau, Megumi dan Yamamoto ikut nonton pesta penutupan aja sekalian’, terus dia ngasih ini.”


Kakogawa-sensei, ternyata Anda pelakunya...!?


Kukira beliau orangnya lebih serius. Aku agak shock.


“Kata Kako-chan, kulit kita masih mulus, jadi kalau pakai seragam pun pasti masih kelihatan kayak anak SMA.”


“Secara tersirat dia bilang kalau dia sendiri udah nggak mungkin...”


“Dia juga bilang, kalau pakai seragam ini dan membaur di kegelapan malam, yah, nggak bakal ketahuan.”


“Idenya persis kayak maling jemuran...”


Kakogawa-sensei yang ternyata cerdik memanfaatkan situasi, dan Hayashi yang dengan polos menerima usulan Kakogawa-sensei... Ada banyak hal yang ingin kukomentari.


“Iya, ‘kan? Kalau begini pasti nggak bakal ketahuan.”


“Nggak bisa dibilang pasti juga, kali.”


“Tenang saja.”


“Atas dasar apa?”


“Keberuntunganku sangat tinggi, tahu?”


Apa kamu masih bisa bilang begitu setelah meninjau ulang hidupmu pasca-lulus SMA? Tentu saja, aku tidak tega mengatakannya.


...Hah.


Jujur, aku ingin menolak. Aku ingin bilang ‘Ayo pulang’.


Tapi, dia ini keras kepala.


Kalau sudah begini, Hayashi pasti tak akan mau pulang sebelum melihat api unggun...


“Oke. Oke, baiklah...”


Dengan enggan, aku menerima usulan Hayashi.


Seketika, wajah Hayashi menjadi berseri-seri.


“Tapi ingat! Kita nonton api unggunnya dari jauh aja.”


“Eeeh.”


“Jangan ‘eeeh’. Syarat ini nggak bisa diganggu gugat.”


“...Oke deh.”


“Bagus kalau paham.”


Serius nih nggak apa-apa? Kepalaku rasanya mulai sakit.


“...Kalau begitu.”


Hayashi mengambil seragam perempuan dari tanganku.


“Kita ganti baju dulu, yuk.”


“...Ya.”


Kami pun masuk ke toilet masing-masing dan berganti seragam.


Mengenakan kembali seragam yang kupikir takkan pernah kupakai lagi seumur hidup... rasanya sedikit memalukan, seolah sedang cosplay.


◇◇◇


Kami menghabiskan waktu di toilet sampai pesta penutupan dimulai.


(“Yuk, keluar sekarang.”)


Setelah menerima pesan dari Hayashi, aku keluar dari toilet.


Saat sampai di koridor, sepertinya para siswa sudah menuju ke halaman sekolah, jadi tidak terasa ada kehadiran orang lain di lorong.


Pintu toilet wanita terbuka dengan suara derit pelan.


“...Whoa.”


Aku mengeluarkan berdecak kagum.


Di sekolah yang mulai remang-remang karena matahari terbenam, aku tanpa sadar terpesona melihat sosok Hayashi yang keluar dari toilet wanita mengenakan seragam.


“...Gimana?”


Hayashi bertanya dengan malu-malu, membuatku kembali sadar.


“...Rasanya fresh banget.”


“Masa?”


“Iya, dulu kan rambutmu pirang.”


Tiba-tiba aku diserang perasaan berdosa yang tak terlukiskan.


“...Hei, Yamamoto?”


“Apa?”


“Kamu juga cocok, loh.”


“...Hentikan. Malu.”


“Ehehe.”


Hayashi menggeliat-geliatkan kakinya dengan canggung.


“R-Roknya kulipat tiga kali, tapi kayaknya kependekan deh...”


“Hal begituan nggak usah disebut, napa.”


“Agak semilir-semilir gimana gitu.”


“Udah dibilangin nggak usah disebut.”


Aku berusaha sebisa mungkin agar sosok Hayashi yang mengenakan rok itu tidak memasuki pandanganku. Lagipula Hayashi ini, padahal malu-malu bilang roknya kependekan di depanku, tapi kok tak ada niatan buat membenarkannya?


Apa itu semacam harga diri mantan ratu sekolah?


“Yuk, jalan.”


“Ayo.”


Kami tidak bercakap-cakap saat berjalan menyusuri gedung sekolah yang sunyi senyap.


Saat kami hampir sampai di rak sepatu, terdengar sorakan dari arah halaman sekolah.


“Api unggunnya sudah mulai ya?”


“Sepertinya begitu.”


...Padahal tadi aku yang mengajak Hayashi pulang, tapi tanpa kusadari aku sendiri jadi agak bersemangat. Sepertinya jauh di lubuk hati, aku juga ingin melihat api unggun itu.


Sambil menahan perasaan yang meluap-luap, aku mengganti sandal dengan sepatu.


“Hei, Yamamoto?”


Tiba-tiba, Hayashi memanggil dari belakang. Saat menoleh, kulihat dia... berdiri mematung di depan rak sepatu.


“...Maaf.”


Permintaan maaf yang tiba-tiba.


“Maaf kenapa?”


Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang Hayashi sesali.


“Aku sudah menyelidikinya.”


“...Menyelidiki apa?”


“Soal pesta penutupan waktu kita kelas satu.”


“...Ah.”


Begitu rupanya. Dia menyelidiki kejadian itu.


...


“Lalu? Apa yang kamu temukan?”


“...Maaf.”


“Minta maaf buat apa, sih?”


“Karena aku waktu itu menyalahkanmu.”


...Aku ingin mengalihkan pembicaraan dengan candaan, tapi sepertinya Hayashi tidak berniat membiarkan masalah ini menggantung.


“...Biar kukatakan sebelumnya, kamu nggak perlu minta maaf.”


“Perlu.”


“Nggak.”


“Perlu.”


“Nggak.”


“...Awalnya, aku juga berpikir nggak perlu minta maaf. Tapi, tetap saja, maaf.”


Berbeda dengan siang hari, gedung sekolah kini remang-remang.


Wajah Hayashi tidak terlihat jelas karena gelap.


Hanya saja, aku tahu dia sedang menunduk.


...Dan suara isak tangis pun mulai terdengar.


“...Sehari setelah pesta penutupan itu, kalau saja aku tidak melabrak dan menyudutkanmu, insiden lupa pesan kayu waktu kelas satu itu tak akan disalahpahami sebagai kesalahanmu.”


“Tak perlu dipikirkan. Soalnya, mau kamu menyalahkanku atau tidak, aku pasti akan tetap bersikeras kalau itu salahku.”


Di panitia pelaksana festival budaya kelas satu, aku mengajukan diri sebagai koordinator. Bukan karena dipaksa. Tapi karena aku tidak tahan melihat ketidakseriusan orang-orang di sekitarku.


Kalau dipikir sekarang, itu tindakan yang egois.


Dan karena tindakan sok tahu itulah, aku malah memicu terjadinya kesalahan.


Makanya, apa pun kata orang, insiden lupa pesan kayu itu adalah tanggung jawabku.


“...Memangnya kamu nggak benci?”


Hayashi bertanya.


“Dituding-tuding orang dari belakang.”


“...”


“Memangnya nggak sakit?”


...Yah, kalau ditanya apakah aku tidak benci digunjingkan, jawabannya tidak.


Kalau ditanya apakah dituduh itu tidak menyakitkan... jawabannya juga tidak.


“Itu cerita lama.”


Tapi, sekarang aku sudah bisa mencerna kejadian itu sebagai masa lalu.


Aku sudah bisa menganggapnya sebagai hal yang sudah berlalu.


“...Kamu benar-benar kuat, ya.”


“Tidak, kok.”


“...Eh?”


“Aku nggak sekuat itu. Aku juga bisa depresi seperti orang lain. Aku juga bisa gagal.”


“...”


“Tapi, sekarang aku sudah lega. Karena... aku sudah berhasil menebusnya.”


“...Menebus?”


“Hayashi. Menurutmu, festival budaya mana yang paling menyenangkan selama tiga tahun sekolah?”


“Eh?”


Hayashi memasang wajah bingung.


“Waktu kelas tiga, mungkin?”


...Mendengar jawaban Hayashi, aku tersenyum lembut.


“Bukan kelas satu atau kelas dua, ya?”


“...Iya.”


“...Begitu ya.”


...Gawat.


Sudut bibirku rasanya mau terangkat.


“Kamu tahu siapa ketua panitia pelaksana festival budaya waktu kelas tiga?”


“Eh? ...Karena yang melakukan pidato pembukaan Akari, bukannya Akari?”


...Pasti orang berpikir begitu.


Secara tradisi, di festival budaya sekolah kami, yang memberikan sambutan di acara resmi seperti upacara pembukaan, penutupan, dan pesta penutupan adalah ketua pelaksana.


Dan, panitia yang bertugas memberikan sambutan di setiap acara pada tahun lalu adalah Kasahara.


“...Upacara pembukaan, penutupan, dan sambutan di pesta penutupan adalah momen penting di awal dan akhir acara. Kalau di situ, orang yang cukup dibenci satu sekolah memegang mikrofon, menurutmu apa yang bakal terjadi?”


Mulut Hayashi terbuka lebar, bengong.


“Mungkin semua orang bakal hilang mood. Apalagi kalau mereka tahu orang itu adalah biang kerok yang menyebabkan insiden lupa pesan kayu waktu kelas satu, semangat mereka buat menikmati festival pasti bakal terganggu dan berubah jadi rasa was-was.”


“...Jangan-jangan.”


“Karena berpikir begitu, dengan wewenangku sebagai ketua panitia pelaksana, aku menyerahkan tugas sambutan di acara resmi sepenuhnya pada Kasahara yang pandai bergaul.”


“...”


“Menurutku, itu keputusan yang tepat.”


“...Jadi ketua panitia tahun lalu itu, kamu?”


“...Ya.”


Festival budaya tahun lalu.


Aku menunaikan tugasku sebagai ketua panitia pelaksana. Aku berhasil membuahkan hasil. Aku juga meninggalkan elemen-elemen yang bisa diteruskan di festival tahun ini. Aku melakukan hal-hal yang tidak bisa ditiru di festival tahun ini. Dan tidak ada kegagalan.


...Aku berhasil mewujudkan festival budaya di mana semua orang bisa mengakhirinya dengan tawa.


Makanya, kegagalan festival budaya kelas satu itu... aku sama sekali sudah tidak mengingatnya lagi. Kesalahan itu sudah lunas ditebus.


“Yamamoto.”


“Ya?”


“Ini penilaian objektif tanpa pilih kasih, loh.”


“Aku tahu.”


“Kamu hebat, ya.”


Hayashi berkata.


“Serius deh... yang dipikirin cuma hal-hal berat terus.”


“Itu pujian?”


“...Dasar bodoh.”


Hayashi tersenyum.


“Nggak ada pujian yang lebih tinggi dari itu, tahu.”


“...Begitu ya.”


“...Ayo jalan.”


“Oke.”


Kami meninggalkan rak sepatu dan mulai berjalan.


Melewati gedung sekolah dan gimnasium di sisi kami... di balik jaring pelindung, terlihat pilar api oranye yang menjulang tinggi.


“Wah...”


Hayashi yang ada di sebelahku bersorak kagum.


Aku pun nyaris ikut bersorak.


...Kalau diingat-ingat, selama masa SMA, sepertinya aku tidak pernah mengikuti pesta penutupan dengan benar.


Kelas satu dibatalkan.


Kelas dua, begitu festival selesai aku langsung pulang.


...Dan saat kelas tiga, aku menyerahkan lapangan kepada panitia lain, lalu memandangi api yang membubung itu dari salah satu ruangan di gedung sekolah.


‘...Bikin kaget, deh.’


...Tapi, aku tidak bisa bersantai untuk melihat api unggun.


‘Nggak nyangka bakal diajak nonton api unggun bareng... sama Yamamoto-kun.’


...Jantungku rasanya mau meledak sekarang juga.


“Yamamoto?”


“...Hm?”


“Kok kelihatannya agak sedih?”


Ditegur Hayashi, aku baru sadar kalau aku jadi melankolis tidak seperti biasanya.


“Ada apa?”


...Kenapa ya.


Apa gara-gara pernyataan cinta Matsuo tadi?


Atau gara-gara dipaksa Hayashi ganti seragam SMA?


...Atau, gara-gara melihat api unggun?


“Nggak kok, siapa yang sedih?”


Aku mengelak.


“Hei Hayashi, mumpung di sini, mau mendekat ke arah api?”


Dan... aku jadi ingin menarik kembali ucapanku barusan.


“...Tumben, kenapa?”


“Kalau dipikir-pikir, aku belum pernah ikut pesta penutupan dengan benar.”


“Tahun lalu kamu kan ketua panitianya?”


“Ketua panitia itu punya banyak cara buat bolos, tahu?”


“...Begitu.”


Hayashi tersenyum.


“Oke. Ayo ke sana.”


Hayashi berjalan lebih dulu menuju api unggun.


“Hei, Yamamoto.”


Tiba-tiba, dia berbalik.


“Sekalian saja, gimana kalau kita ikut menari?”


“...Itu bukan gayaku, ‘kan?”


“Gayamu atau bukan, itu nggak penting kali?”


“Benar juga.”


Mungkin, kalau bukan hari ini, usulan untuk menari folk dance bersama pasti sudah kutolak mentah-mentah.


Tapi, karena hari ini... mungkin aku jadi berpikir ingin menari bersama Hayashi.


“Maaf ya, aku payah soal menari, jadi tolong pimpin aku.”


“Siap. Walau aku nggak jago ngajarin orang, serahkan saja padaku.”


“Sadar nggak kalau ucapanmu itu nggak meyakinkan?”


“Tenang saja. Tahu nggak apa yang paling penting dalam folk dance di pesta penutupan?”


“Nggak tahu.”


“Sudah kuduga. ...Yang paling penting itu, ikuti irama dan jiwa muda!”


...Artinya, modal nekat ya.


“Kalau soal jiwa muda, kita nggak bakal menang lawan anak-anak di sana.”


Aku tertawa.


“...Kalau kita yang tahun lalu, pasti nggak bakal pernah terucap ajakan buat menari bareng begini, ya.”


“Kalau kamu ngajak waktu itu, pasti sudah kubalas pakai decakan lidah.”


“Jangan ngawur. Mana mungkin tipe orang sepertiku berinisiatif mengajak dansa.”


“Benar juga. Mungkin memang iya.”


Sekitar satu tahun telah berlalu sejak festival budaya tahun lalu.


Seiring berjalannya waktu, hubungan kami berubah. Namun, bukan hanya hubungan kami yang berubah.


Dari SMA ke universitas.


Dari kampung halaman ke kota besar.


Berpisah dengan orang tersayang.


Bertemu kembali dengan orang tersayang.


Menitipkan perasaan.


Dititipi perasaan...


...Dan kini, aku mulai merasa ingin menikmati hidup bersama dengannya sedikit lebih lama lagi.


“Mohon bantuannya, ya.”


Di depan nyala api oranye, berbaur dengan para siswa aktif yang bersorak riang, kami saling menggenggam tangan.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close