NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark
📣 IF YOU ARE NOT COMFORTABLE WITH THE ADS ON THIS WEB, YOU CAN JUST USE AD-BLOCK, NO NEED TO YAPPING ON DISCORD LIKE SOMEONE, SIMPLE. | JIKA KALIAN TIDAK NYAMAN DENGAN IKLAN YANG ADA DIDALAM WEB INI, KALIAN BISA MEMAKAI AD-BLOCK AJA, GAK USAH YAPPING DI DISCORD KAYAK SESEORANG, SIMPLE. ⚠️

Tatoe Mou Aenakutemo, Kimi no Ita Kiseki wo Wasurarenai V1 Chapter 10

 


Penerjemah: Ajang Aribterku

Proffreader: Ajang Aribterku


Kini, Juli. Bangkitnya Rasa Rakut

 Peron stasiun Shin-Yokohama dipenuhi sesak oleh keluarga-keluarga dan orang-orang yang tampaknya adalah pebisnis yang hendak melakukan perjalanan dinas. Meski begitu, kami—murid yang akan menggunakan shinkansen untuk perjalanan sekolah—telah menduduki hampir seluruh peron, membuatku merasa sedikit bersalah pada orang-orang lain. Tampaknya tak seorang pun dari teman-temanku yang peduli akan keadaan sekitar. Mungkin karena mereka begitu bersemangat menghadapi acara besar dalam kehidupan SMA yang akan segera dimulai ini, sehingga hampir setiap menit terdengar teguran "Jangan berisik!" dari para guru.

 "Akhirnya, ya! Aku bawa banyak camilan! Ayo makan bareng," ujar Miyu dengan senyum lebar terkembang di hadapanku. Seketika itu, Mai yang berdiri di sampingnya bereaksi dengan cepat.

 "Eh, camilan apa? Coba lihat, dong!"

 "Boleh, nih!"

 "Ah, aku suka yang ini! Boleh kuminta?"

 "Silakan, silakan!"

 Sementara keduanya bercengkerama riang, Koharu memandangi mereka sambil tersenyum lembut.

 Ah, sungguh menyenangkan. Hari ini kita akan berwisata di sekitar Osaka Castle, ya? Aku belum pernah ke sana, seperti apa ya tempatnya?

 Saat aku tenggelam dalam pikiranku, tiba-tiba ....

 "Sebentar lagi, kereta menuju Shin-Osaka akan tiba di peron nomor tiga. Harap mundur ke belakang garis kuning demi keselamatan Anda."

 Mendadak jantungku berdegup kencang. Napasku mulai tak beraturan dan sesak. Kakiku nyaris goyah, tapi aku berusaha keras untuk tetap berdiri. Suara pengumuman yang tenang dan jelas itu .... Suara yang sama seperti hari itu. Sekejap, bayangan saat aku menunggu shinkansen di stasiun Shin-Osaka bersama ayah dan ibu muncul dengan jelas dalam benakku. Kakiku membeku. Keringat dingin mengucur deras, dan seluruh tubuhku gemetar halus. Setiap sel dalam diriku, secara naluriah, menolak keberadaan shinkansen. Teman-temanku yang bercanda di depanku tak menyadari perubahanku. Shinkansen tiba di peron dan mereka mulai menaikinya.

 Kulihat Mizuno-kun sedang berbincang riang dengan Nitta-kun dan Naito-kun sambil memasuki shinkansen.

 "Tapi kalau ada sesuatu yang membuatmu khawatir, katakan saja padaku. Mungkin aku tak bisa berbuat banyak, tapi setidaknya aku bisa berada di sisimu."

 Aku teringat kata-katanya yang begitu meyakinkan dan membahagiakan. Tapi, aku tidak bisa membiarkan dia terlibat denganku yang bahkan tak mampu menaiki shinkansen. Aku akan merusak perjalanan sekolahnya.

 Untuk sesaat aku terpaku di tempat, tapi karena tak tahan dengan adanya shinkansen di hadapanku, aku berbalik. Aku hendak pergi dari peron dan menuju lorong yang terhubung ke toilet, tapi berdiri saja sudah batas kemampuanku. Aku bersandar ke dinding dan merosot ke lantai. Bersamaan dengan itu, bel berbunyi. Shinkansen pasti sudah berangkat.

 Ponsel di sakuku bergetar. Mungkin mereka baru sadar ketidakhadiranku dan mencoba menghubungiku.

 Aku ingin pergi. Ke Osaka bersama semuanya. Dengan Nitta-kun, Naito-kun, Koharu, Mai, Miyu, dan ... Mizuno-kun. Tapi dalam keadaan seperti ini, aku sama sekali tak bisa pergi. Entah apa yang akan terjadi jika aku memaksakan diri naik shinkansen sekarang. Mungkin aku akan hancur.

 Aku mengabaikan getaran ponselku dan hanya bisa terduduk di tempat.

 "Oh, ternyata kau di sini. Aku mencarimu."

 Tiba-tiba ada yang menyapa, membuatku tersentak. Tapi, suara itu .... Karena itu suara orang yang kusukai, aku perlahan mengangkat wajahku. Di sana, Mizuno-kun berdiri menatapku dengan wajah cemas.

 "Mi ... Mizuno-kun. Kenapa ada di sini? Bukannya kau sudah naik shinkansen?"

 Dia menghela napas pelan, seolah gemas.

 "Harusnya aku yang bilang begitu. Aku memang sudah naik shinkansen, tapi aku melihatmu masih di peron dari jendela. Aku langsung panik dan turun."

 "Kenapa ...?"

 "Eh? Tentu saja karena kupikir ada sesuatu. Aku khawatir, tahu. Lagi pula, aku kebetulan melihatmu, tapi kalau yang lain juga sadar, mereka pasti akan juga sama."

 " ...."

 "Kan sudah kubilang sebelumnya. Kalau ada yang membuatmu khawatir, bilang padaku. Kalau kau tak bisa naik shinkansen, harusnya kau mengatakannya, dong."

 Mizuno-kun membuat ekspresi marah yang dibuat-buat, seolah bercanda.

 Meski tampaknya dia sedikit kesal karena aku tak mengatakan apa-apa dan malah melakukan hal seperti ini sendirian, tapi kebaikan hatinya terlihat jelas saat dia berkata, "Yah, mau bagaimana lagi."

 Kebaikannya tulus itu sungguh membuatku bahagia. Air mataku nyaris jatuh, tapi aku berusaha keras menahannya.

 "Kau ... takut? Shinkansen?"

 Mizuno-kun duduk di sampingku, menyejajarkan pandangannya denganku, dan bertanya dengan lembut. Aku mengangguk tanpa berkata-kata. Benda putih melengkung tanpa ekspresi itu terasa luar biasa menakutkan. Saat melihatnya di TV atau dari kejauhan, aku tak pernah merasa seperti ini. Tapi begitu mendengar pengumuman sebelum keberangkatan dan melihat shinkansen yang melambat memasuki peron dari dekat ... ketakutan saat tiba-tiba terjadi guncangan hebat di hari itu kembali menghantui. Aku tidak sanggup berhadapan langsung dengan shinkansen yang telah merenggut ayah dan ibuku, merenggut segalanya dariku saat itu.

 Tapi ....

 "Tapi ... aku mau pergi."

 Shinkansen memang menakutkan. Aku tak ingin naik lagi. Bahkan melihatnya saja sudah menyakitkan. Tapi aku ingin menghabiskan waktu yang menyenangkan di Osaka bersama semuanya. Duniaku yang dulu monokrom akhir-akhir ini mulai diwarnai. Aku ingin benar-benar menikmati perjalanan sekolah ini bersama mereka semua—bersama Mizuno-kun—yang telah memberi warna pada hidupku.

 "Kalau begitu, ayo naik shinkansen berikutnya bersamaku."

 "Eh ...?"

 "Memang kita akan tiba lebih lambat dari yang lain. Kalau masih takut, kita bisa menunggu beberapa kereta lagi. Tapi kalau kau ingin pergi, ayo kita pergi."

 Mizuno-kun tersenyum ramah seperti biasanya di sampingku. Saat melihat itu dari jarak dekat, ketakutan yang bergejolak dalam diriku perlahan memudar. Jika bersama Mizuno-kun .... Jika dia ada di sisiku .... Mungkin aku bisa naik shinkansen.

 "Iya."

 Aku mengangguk dengan wajah berseri-seri. Melihat itu, senyum Mizuno-kun semakin lebar.

 Bersama Mizuno-kun, aku berdiri di tempat di mana gerbong kereta dengan tempat duduk bebas akan tiba di peron.

 Aku mengirim pesan kepada guru bahwa "Aku tertinggal kereta karena pergi ke toilet." Beliau lalu memerintahkanku untuk naik kereta shinkansen berikutnya dengan tempat duduk bebas Tak ada tanda-tanda kemarahan dari beliau. Mungkin karena guru memahami situasiku, beliau bisa mengerti perasaanku.

 Selain itu, tentu saja aku juga menghubungi Miyu yang telah mengirimkan banyak pesan ke ponselku. Kuputuskan untuk jujur tentang keadaanku kepada Miyu dan kami bertukar pesan seperti ini:

 "Aku sedikit takut, jadi tidak bisa naik. Tapi aku akan pergi dengan kereta shinkansen berikutnya, jangan khawatir."

 "Kau baik-baik saja?! Tentu saja aku ingin pergi wisata sekolah bersamamu, Ai. Tapi jangan memaksakan diri ya!"

 "Ya, terima kasih. Tapi aku tidak apa-apa, kok."

 "Ah, kudengar Mizuno-kun juga bersamamu♡ Tunggu, jadi kalian tertinggal kereta bersama?! Jangan-jangan kalian sudah jadian?!"

 Setelah Mai mengetahui perasaanku, tentu saja aku juga menceritakannya kepada Miyu, sahabat baikku. Yah, meski Miyu hanya berkata "Aku sudah tahu," sih.

 Tapi saat digoda seperti ini, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Karena itu, aku hanya membalas dengan stiker secara asal dan mengakhiri percakapan dengan Miyu secara sepihak.

 ——Karena Mizuno-kun ada di sampingku, rasa takut yang kurasakan di awal tidak sebesar sebelumnya. Tapi, Saat shinkansen berhenti di hadapanku, kakiku tak bisa bergerak sama sekali. Meski otakku memerintahkan "Bergeraklah!", tubuhku tak merespons. Karena kondisiku seperti ini, kami sudah melewatkan dua kereta menuju Shin-Osaka. Kereta shinkansen berikutnya akan tiba dalam beberapa menit, tapi sepertinya aku masih belum bisa naik.

 "Mizuno-kun ...."

 "Hm?"

 "Kali ini, pergilah meskipun aku tidak bisa naik. Aku merasa sangat bersalah. Aku tidak bisa menghancurkan wisata sekolahmu karena diriku."

 Ia mengerutkan alisnya dengan berlebihan.

 "Tidak, tidak, itu tidak mungkin. Kalau kau tidak bisa naik meski aku di sini, mana mungkin kau bisa naik sendirian? Aku akan menemanimu."

 "Tapi ...."

 "Sudahlah. Yang lain juga menunggu kita. Kalau aku meninggalkanmu, Miyu pasti akan marah padaku."

 Ia berkata dengan nada setengah bercanda. Bukan seperti menunjukkan cemas berlebihan, tapi lebih seperti "Aku ingin melakukannya" dan "Aku tidak mau dimarahi Miyu"——kebaikan hati yang tidak memaksa seperti itu.

 ——Kenapa orang ini selalu bisa masuk ke dalam hatiku dengan mudah?

 "Terima kasih ...."

 "Sudah kubilang tidak apa-apa. Mikami-san juga pasti akan marah. Dia pasti mengerikan kalau marah ... Makanya, ayo kita pergi bersama."

 Aku tersenyum kecil, membayangkan betapa menakutkannya jika dia marah.

 "Lagi pula, bukannya kita sudah janji pergi bersama saat waktu bebas? Aku sangat menantikan itu. Karena itu, aku tidak bisa meninggalkanmu, Yoshizaki-san."

 Mizuno-kun berkata dengan nada biasanya. Tapi kata-kata itu membuatku sangat bahagia.

 "A-aku juga sangat menantikannya ...! Kita harus pergi, ya!"

 Ucapku dengan suara gemetar. Aku berusaha keras menahan kebahagiaan yang Meluap. Mizuno-kun yang "sangat menantikan" berjalan-jalan bersamaku di kota Osaka.

 Tapi apa kau tahu? Aku mungkin menantikannya berkali-kali lipat lebih dari dirimu.

 "Begitu ya. Syukurlah. Kalau begitu, ayo kita berusaha pergi."

 Mizuno-kun tersenyum lembut ... saat itu.

 Terdengar suara mesin shinkansen. Sebentar lagi akan tiba di peron. Detak jantungku mulai berpacu dengan irama yang tidak menentu. Ah, sepertinya memang tak bisa. Kakiku kembali gemetar. Saat aku mulai putus asa dan hampir menyerah ... saat itulah.

 ——Eh?

 Aku merasakan kehangatan yang lembut di telapak tanganku yang bergetar. Ketika kulihat dengan terkejut. Mizuno-kun menggenggam tanganku dengan lembut. Sambil tersenyum hangat, ia menatapku.

 "Ini bisa sedikit membuatmu tidak takut?"

 Aku yang tadinya terpaku menatap Mizuno-kun, tersadar oleh ucapannya. Telapak tangannya sedikit kasar seperti layaknya anak laki-laki, tapi hangat dan lembut dan besar ... seolah-olah melindungiku yang ketakutan. Meskipun kereta shinkansen yang sangat kutakuti telah tiba di hadapanku, aku merasa Mizuno-kun melindungiku, dan sekarang aku sama sekali tidak merasa takut.

 "Ya. Tidak terlalu takut lagi."

 "Begitu ya, syukurlah."

 "Terima kasih banyak. ... Sepertinya aku tidak takut lagi karena Mizuno-kun menggenggam tanganku."

 Aku berkata sambil tersenyum, meski ada air mata di sudut mataku. Namun, setelah mengatakannya, aku sedikit menyesal karena ini seperti menyatakan bahwa aku menyukainya. Mizuno-kun menatapku dan tetap tersenyum lembut. Tapi entah kenapa wajahnya terlihat sedikit sedih, membuatku bingung. Lalu ia berkata begini.

 "Tidak apa-apa, sungguh. ... Karena aku ada di sini untuk itu."

 " ...?"

 Untuk itu? Apa maksudnya?

 Dia seharusnya hanya kebetulan menemukanku yang tidak bisa naik kereta shinkansen dan menemaniku karena kebaikan hatinya. Tapi dari ucapan Mizuno-kun, situasi ini sepertinya bukan hanya kebetulan, tapi seolah-olah ada maksud tertentu ... seperti sesuatu yang seharusnya terjadi. Saat aku memikirkan hal itu, pintu kereta shinkansen terbuka.

 "Ah, sudah dibuka. ... Ayo pergi."

 Aku mengangguk pada Mizuno-kun yang berkata demikian. Tidak ada ragu yang muncul sama sekali. Aku bahkan berpikir, kenapa aku bisa sangat takut pada kendaraan seperti ini.

 Mizuno-kun menarik tanganku sambil masuk ke dalam kereta shinkansen. Aku pun mengikuti genggaman tangannya dan naik ke kereta.

 ... Lalu.

 Entah kenapa, sentuhan tangan itu terasa familier. Padahal ini seharusnya pertama kalinya aku bergandengan tangan dengan Mizuno-kun. Jika ada kejadian membahagiakan seperti ini di masa lalu, tak mungkin aku melupakannya. Tapi entah kenapa, kekuatan genggaman ini. Kehangatannya. Sentuhannya. Terasa familier, seolah sudah lama tidak kurasakan.

 "Bagus! Kita berhasil naik!"

 Mizuno-kun berseru gembira seolah itu pencapaiannya sendiri. Pada saat itu, ia melepaskan genggaman tangannya. Aku merasa sedikit kecewa, tapi aku tidak punya keberanian untuk menggenggam tangannya lagi.

 ... Apa aku kenal tangan ini ...?

 Sepanjang perjalanan menuju Shin-Osaka, Mizuno-kun terus menjagaku di samping. Saat kami melewati jalur Shizuoka-Hamamatsu tempat kecelakaan terjadi, aku merasa tegang. Tapi, melihat sikap santai Mizuno-kun di sampingku, hal itu terasa tak berarti. Selain itu, kepalaku dipenuhi oleh rasa familier terhadap tangan Mizuno-kun, lebih dari kekhawatiran akan kehilangan diriku karena ketakutan pada shinkansen. Perasaan nostalgia yang begitu mendalam, mustahil hanya perasaanku semata. Tapi, tanpa bisa mengingat asal-usul rasa familier itu, aku dan Mizuno-kun tiba dengan selamat di Shin-Osaka.

 Setelah tiba di Shin-Osaka dan memeriksa jadwal, ternyata yang lain sedang dalam kunjungan ke Osaka Castle. Tapi, meskipun kami bergegas ke Osaka Castle sekarang pun, setibanya di sana, yang lain pasti sudah selesai dengan kunjungan mereka. Kalaupun bertemu dengan yang lain di Osaka Castle, kami akan segera menuju hotel. Waktu luang yang sangat canggung.

 "Mizuno-kun, bagaimana menurutmu? Kita ke Osaka Castle? Atau kita ke hotel dan menunggu yang lain?"

 "Hmm ... kalau tidak salah, ada bianglala besar di dekat hotel, ya?"

 Ditanya begitu oleh Mizuno-kun, aku teringat Miyu dan yang lain memang membicarakan hal itu.

 "Ya, sepertinya begitu."

 "Kalau begitu, mau pergi ke sana bersama?"

 "Eh ...?!"

 Mendapat ajakan tak terduga, aku membeku. Lalu perlahan aku menyadari betapa bahagia dan senangnya aku atas ajakan itu, hampir saja aku melompat kegirangan. Meski aku berusaha keras menahannya.

 "I-iya! Boleh! Ayo pergi!"

 Aku ingin terdengar setenang mungkin, tapi suaraku malah melengking. Betapa senangnya diriku ini.

 "Syukurlah. Karena waktunya tidak pas, kupikir kita bisa pergi ke suatu tempat dekat hotel. Meski waktu bebas seharusnya besok, kita berdua bisa melakukan kegiatan bebas sendiri sekarang."

 Kegiatan bebas berdua saja. Amat menggoda dan menggetarkan hati, suara yang indah itu. Kemudian kami menuju stasiun terdekat dari hotel tempat kami menginap. Di tengah jalan, kami melewati toko tart keju yang katanya terkenal di Osaka, jadi kami membeli satu potong tart keju yang baru matang.

 Ketika kami keluar dari stasiun terdekat hotel, sebuah bianglala raksasa berdiri tegak tepat di dekat gedung stasiun.

 "Wah, lebih besar dari yang kubayangkan."

 "Aku belum pernah melihat bianglala sebesar ini!"

 "Aku juga! Aku tidak sabar."

 "Ya!"

 Aku berseru riang di sampingnya yang tampak gembira. Membayangkan kami berdua akan naik bianglala itu, aku tak bisa menahan kegembiraan. Lalu kami berbaris menunggu giliran untuk naik bianglala. Menurut petugas, giliran kami akan tiba dalam sekitar sepuluh menit.

 "Oh iya, ayo kita makan tart keju yang tadi kita beli. Katanya tidak boleh makan dan minum di dalam bianglala."

 Sambil berkata begitu, Mizuno-kun mengeluarkan kantong berisi tart keju yang kami beli tadi dari dalam ranselnya.

 "Ohh. Padahal aku ingin memakannya sambil menikmati pemandangan."

 "Benar juga. Yah, apa boleh buat."

 Aku juga mengeluarkan tart kejuku dan menggigitnya sekali. Begitu masuk ke mulut, rasa keju yang kaya menyebar ke seluruh rongga mulut. Manisnya pas, dan tekstur renyah kulit tartnya juga nikmat.

 "Enak sekali ...!"

 Aku bergumam tanpa sadar, terpesona. Sudah lama aku tidak merasakan sensasi 'pipi jatuh' seperti ini. Ini masuk dalam daftar dua tart keju terenak yang pernah kumakan. Tapi` satunya tentu saja tart keju buatan Nacchan.

 "Wah, apa ini. Benar-benar enak. Untung kita membelinya."

 Mizuno-kun berkata dengan mata berbinar sambil mengunyah tart kejunya.

 Momen berbagi makanan dan pendapat yang sama dengan orang yang disuka. Saat-saat seperti ini sangat membahagiakan. Tart keju ini lezat memang, tapi mungkin terasa lebih enak karena Mizuno-kun ada di sampingku. Pasti begitu.

 "Baik, silakan maju ke depan!"

 Saat aku melamun memikirkan hal itu, terdengar suara petugas memanggil.

 "Wah, sepertinya sebentar lagi giliran kita. Harus cepat-cepat kita habiskan."

 Karena sepertinya kami bisa naik bianglala lebih cepat dari yang kuduga, aku yang baru menghabiskan setengah tart keju buru-buru melahapnya. Mizuno-kun yang sudah selesai makan memandangi gondola yang bergerak.

 "Lho, ada dua jenis gondola, ya. Yang biasa dan yang transparan. Katanya itu gondola see-through."

 "See-through ...?"

 Masih menikmati sisa rasa tart keju yang baru kuhabiskan, aku refleks bertanya saat mendengar kata-kata yang jauh dari bayangan bianglala dalam benakku.

 "Katanya karena gondolanya terbuat dari bahan transparan, pemandangan luar lebih mudah terlihat."

 Gondola see-through yang jadi bahan pembicaraan itu muncul seiring putaran bianglala. Seperti kata Mizuno-kun, selain beberapa bagian, semuanya transparan.

 Wah, ternyata bianglala zaman sekarang ada yang seperti ini, ya. Memang sepertinya pemandangannya akan terlihat lebih jelas. Sepertinya menarik.

 Hm? Tapi tunggu dulu. Kalau begini, lantainya juga transparan ya. Kalau dipikir-pikir, bukannya jadi sangat seram? Bianglala ini besar, jadi ketinggiannya pasti luar biasa ....

 Begitulah, aku mulai merasakan secercah kekhawatiran tentang gondola see-through ini.

 "Lho, Yoshizaki-san."

 "Eh, ada apa?"

 Aku dipanggil selagi memandangi gondola. Begitu berbalik, kulihat Mizuno-kun terkekeh pelan melihat wajahku. Senyumnya yang lembut, seolah mengawasi anak kecil, membuat jantungku berdebar.

 Eh, tapi kenapa dia tertawa, ya? Saat aku berpikir begitu ....

 "Ada sisa tart keju di sudut mulutmu."

 Sambil tersenyum geli, Mizuno-kun menyentuh sudut bibirku. Sentuhan jarinya yang tiba-tiba. Sesaat, aku tak bisa memahami apa yang terjadi. Lalu, saat aku melihat Mizuno-kun membersihkan sisa tart keju dari jarinya, aku tersadar.

 E-ehh?! Ada sisa tart di bibirku?! Malu banget! Mizuno-kun membersihkannya untukku?! Dia menyentuh mulutku?!

 ——Dia menyentuhku dengan lembut.

 Antara rasa malu, senang, dan debaran jantung, kapasitas otakku sudah overload. Tak tahu harus berbuat apa, aku hanya bisa terpana sambil menyentuh tempat yang disentuh Mizuno-kun dengan jariku. Tapi Mizuno-kun tampaknya tak menghiraukan hal itu dan sepertinya tak menyadari kekacauan dalam diriku. Dia bertanya dengan santai:

 "Oh iya, kita pilih gondola yang mana? Sepertinya bisa memilih antara yang see-through atau yang biasa. Karena kesempatan langka, aku lebih suka yang see-through."

 Aku sudah tak peduli lagi soal itu. Atau lebih tepatnya, tak punya kapasitas untuk memikirkannya.

 "Terserah ... Mizuno-kun saja ...."

 Hanya itu yang bisa kukatakan. Jujur saja, aku sudah berjuang keras hanya untuk bisa menjawab.

 "Oh, kamu yakin? Kalau begitu kita pilih yang see-through, ya."

 Tepat setelah Mizuno-kun berkata dengan gembira, giliran kami tiba. Kami pun masuk ke dalam gondola dengan bantuan petugas.

 ——Ya, ke dalam gondola see-through.

 Perasaanku baru tenang kembali ketika gondola sudah mulai bergerak dan naik setidaknya sepuluh meter dari tanah. Tapi, katanya titik tertinggi bianglala ini lebih dari seratus meter, jadi ini masih permulaan. Karena masih kebingungan, aku menurut saja saat Mizuno-kun memilih gondola ini. Aku merasa nantinya akan takut, tapi ternyata sejauh ini aku baik-baik saja. Malah, seperti katanya, pemandangan luar terlihat dari segala arah, megah dan seru. Aku bersyukur kami memilih yang ini.

 "Wah, pemandangannya luar biasa. Lihat, Osaka Castle terlihat di sana."

 Dia duduk di sampingku. Kami bisa saja duduk berhadapan, tapi ketika aku tersadar, kami sudah dalam posisi seperti ini.

 "Wah, benar juga."

 Meskipun aku menjawab dengan biasa, jarak dekat dengannya membuatku sangat gelisah. Aku khawatir jangan-jangan dia bisa mendengar detak jantungku. Lalu, merasakan kehangatannya begitu dekat, aku teringat sensasi saat dia menggenggam dan menarik tanganku di shinkansen tadi.

 ——Kenapa aku merasa familier dengan sentuhan tangan Mizuno-kun?

 Pasti hanya perasaanku saja, tapi rasa familier itu terasa begitu jelas. Aku merasa tidak enak jika hanya menganggapnya sebagai "perasaan" saja.

 "Sepertinya kita sudah sampai di titik tertinggi? Wah, rasanya bisa melihat sampai Tokyo."

 "Eeh, kalau sampai Tokyo sih tidak mungkin ...."

 Aku yang tadinya melamun, berniat tersenyum dan menjawab Mizuno-kun. Tapi ketika aku kembali melihat pemandangan di luar——

 ——Eh. Gawat. Ini tinggi ..., ‘kan?

 Ketinggiannya melebihi bayanganku. Benda-benda yang bergerak jauh di bawah sana, apa itu manusia? Meski kotak transparan ini pasti tidak ada masalah dari segi kekuatan, tapi untuk mengurungku di ketinggian seperti ini, rasanya terlalu rapuh dan tidak bisa diandalkan. Saat aku menutup mata ketakutan, terbayang pemandangan jatuh bebas ke tanah. Itu malah membuatku lebih takut, jadi aku buru-buru membuka mata.

 ——Kakiku lemas. Pandanganku kabur.

 "M-Mizuno-kun. M-maaf ...."

 Aku sudah tak tahan berada di ruang ini tanpa berpegangan pada seseorang. Tanpa sadar, aku menggenggam ujung seragam Mizuno-kun.

 "Eh, ada apa? Yoshizaki-san."

 "Maaf, a-aku takut ... tidak kuat lagi ...."

 Aku berkata sambil hampir menangis. Pergerakan gondola terasa sangat lambat. Padahal rasanya tadi bergerak dengan lancar.

 "Eh, serius? Kau tidak apa-apa ...?"

 "Aku sama sekali tidak baik-baik saja ... a-aku boleh berpegangan padamu ...?"

 Suaraku bergetar. Ujung seragam Mizuno-kun terasa seperti tali penyelamat. Aku benar-benar merasa akan jatuh dan mati jika melepaskannya.

 " ... Daripada pegang lengan bajuku, bagaimana kalau kucoba membuatmu tidak takut?"

 Mizuno-kun menawarkan sesuatu yang tak pernah kubayangkan.

 Cara agar aku tidak takut lagi?! Ada cara seperti itu?!

 "L-lakukan! Tolong! Cepat!"

 "——Baiklah."

 Setelah jawaban Mizuno-kun, yang kurasakan adalah .... Kehangatan lembut dan menenangkan yang seolah menyelimuti seluruh tubuhku. Rasa takut perlahan-lahan mencair. Seakan-akan ketakutanku berpindah kepada Mizuno-kun yang kini memelukku erat.

 Apa yang Mizuno-kun lakukan untuk menghilangkan rasa takutku adalah ...

 Dia memelukku dengan erat.

 "Mi... Mi... Mizu... Mizuno-kun," ucapku terbata-bata.

 "Apa ... kau keberatan?" bisik Mizuno-kun di telingaku. Aku menggelengkan kepala perlahan dalam dekapannya.

 "Kalau begitu, syukurlah. ... Masih takut?"

 "Tidak ... takut lagi."

 Rasa takut yang tadi menyelimutiku lenyap begitu saja, seolah-olah hanya ilusi semata. Sebagai gantinya, yang tumbuh dalam diriku adalah perasaan aman, bahagia, debaran jantung yang kencang, dan rasa cintaku pada Mizuno-kun yang kian membuncah lebih dari sebelumnya. Berbagai emosi bercampur aduk, hingga tak ada lagi ruang untuk merasakan ketakutan. Dan sekali lagi, aku dikuasai oleh perasaan familier. Kehangatan yang kurasakan dari telapak tangan Mizuno-kun di kereta cepat tadi.

 ——Dulu juga. Pasti jauh di masa lalu, hal seperti ini pernah terjadi.

 Sesuatu, seseorang, pernah melindungiku dengan kehangatan lembut saat aku dilanda ketakutan. Kapan itu terjadi? Aku tak bisa mengingatnya dengan jelas. Tapi, aku yakin pernah merasakan kelembutan yang sama seperti yang Mizuno-kun berikan padaku saat ini. Padahal, aku baru mengenalnya secara dekat kurang dari dua bulan. ——Mustahil dia pernah menolongku di masa lampau.

 Lantas, apa sebenarnya rasa familier ini? ——Apa identitas dari perasaan nostalgia ini?

 Karena ingin tahu, aku refleks mengangkat wajahku. Mizuno-kun menatapku dengan ekspresi yang entah mengapa terlihat agak menderita. Lalu, dia menyentuh pipiku dengan lembut.

 "Yoshizaki-san, aku ...."

 Mizuno-kun berkata dengan suara parau. Aku balas menatapnya lekat-lekat, terpaku pada matanya yang berkaca-kaca.

 "Sebenarnya, aku ...."

 Tepat saat akan melanjutkan kata-katanya, Mizuno-kun terdiam. Penasaran dengan kelanjutannya, aku semakin menyelami tatapannya.

 ——Lalu.

 Wajahnya ... bibirnya. Perlahan mendekat ke arahku. Pertanyaan polos muncul dalam benakku, apa yang hendak dia lakukan? Sesaat kemudian, sebuah dugaan terlintas, jangan-jangan dia bermaksud menciumku? Tubuhku menegang. Aku hanya bisa terpaku, memandang lekat-lekat mata Mizuno-kun yang semakin mendekat.

 Eh, apa aku benar-benar akan dicium Tapi, tepat setelah berpikir seperti itu. Gondola yang bergerak tiba-tiba berhenti dengan suara keras.

 "Kyaa!"

 Terkejut oleh kejadian mendadak itu, aku berteriak konyol dan lekas menjauh dari Mizuno-kun dengan cepat. Bersamaan dengan itu, pintu gondola terbuka.

 "Baik. Terima kasih atas kunjungannya~"

 Seorang petugas membuka pintu, mempersilakan kami keluar dari gondola. Tanpa kusadari, bianglala telah berputar satu putaran penuh.

 Aku cemas jangan-jangan petugas itu menyaksikan adegan kami beberapa saat lalu. Apalagi gondolanya transparan. Kalau sampai terlihat, aku pasti akan sangat malu. Tapi petugas itu hanya tersenyum ramah khas pelayan. Sepertinya dia tidak melihat apa-apa. Yah, katanya bianglala ini memang favorit para pasangan, jadi mungkin saja petugas itu sudah terbiasa melihat adegan semacam itu dan tidak bereaksi berlebihan. Kalau memang begitu, ya sudahlah.

 "M-Mizuno-kun. Ayo turun," ajakku sambil tersenyum canggung.

 Ia juga tampak tidak menyangka gondola akan berhenti di saat seperti itu, ekspresinya tampak agak linglung. Tapi, ia segera kembali menyunggingkan senyum polosnya seperti biasa.

 "Wah, sudah selesai, ya? Cepat juga."

 Dia berkata dengan nada santai. Ya, nada santai. —Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Karena itu, aku pun tak bisa terus terpaku pada kejadian yang bagaikan mimpi tadi.

 ——"Sebenarnya, aku ...."

 Meski aku sangat penasaran dengan kelanjutan kata-kata itu, melihat sikap Mizuno-kun, aku merasa sebaiknya tidak mengungkitnya lagi.

 "Iya, tidak terasa, ya."

 Aku berusaha memasang ekspresi biasa saja dan berkata demikian dengan santai, lalu turun dari gondola bersama Mizuno-kun.

 "Ah, kita harus segera kembali ke hotel, nih."

 Sambil berjalan menuju pintu keluar area bianglala, Mizuno-kun melihat jam yang terpasang di dinding dan berkata dengan nada kecewa. Benar juga, sekitar sepuluh menit lagi teman-teman yang lain akan kembali ke hotel dari Osaka Castle. Dari sini ke hotel hanya berjarak sangat dekat, jadi kami pasti bisa sampai tepat waktu dengan berjalan kaki biasa.

 "Iya, benar juga."

 "Padahal aku masih ingin bermain lebih lama. Yah, apa boleh buat. Ayo pergi, Yoshizaki-san."

 " ... Iya."

 Sembari berjalan menuju hotel, aku menanggapi obrolan ringannya dengan setengah melamun, pikiranku melayang ke berbagai hal tentang dirinya.

 ——Tadi, Mizuno-kun mau menciumku, ya? Ada ada rasa padaku?

 Jika memang benar begitu, tak ada yang lebih membahagiakan. Sebab, aku menyukainya. Perasaan yang bersambut dengan orang yang disukai. Dengan kata lain, cinta yang berbalas. Bagiku yang sedang jatuh cinta, tak terbayangkan ada kebahagiaan yang melebihi ini.

 Tapi, ada satu hal yang lebih mengganggu pikiranku. Tentang rasa familier yang lembut yang kurasakan saat bersentuhan dengan Mizuno-kun di kereta cepat dan di bianglala tadi.

 ——Apa sebenarnya ini? Seharusnya tak mungkin aku merasa familier dengan kehangatannya.

 Sepanjang perjalanan ke hotel, sekeras apa pun aku berpikir, aku tidak bisa memahami identitas dari sensasi nostalgia itu.

 Saat kami tiba di hotel tempat menginap bersama dan melangkah masuk, aku tertegun. Interior yang bersih dan terawat meski terlihat tua. Sofa dan meja berdesain klasik di lobi, serta berbagai ornamen. Dan kolam renang indoor yang terlihat di ujung taman dalam.

 ——Tak salah lagi, tempat ini.

 "Aku pernah ke sini sebelumnya."

 "Eh?"

 "——Aku menginap di sini tepat sebelum kecelakaan itu."

 Seusai kompetisi, kami pergi ke taman hiburan, dan aku dimarahi karena terlalu ribut di lobi. Selama di hotel, aku habiskan hampir seluruh waktu berenang di kolam indoor itu. Aku juga ingat ditegur ibuku karena hanya mengambil makanan penutup di sarapan prasmanan.

 Tidak mungkin aku salah. Ini hotel tempat aku menginap waktu itu. Kenangan terakhirku bersama ayah dan ibu. Karena aku yang masih kelas 5 SD tak mungkin ingat nama hotel saat itu, aku tidak menyadarinya meskipun melihat buku panduan wisata sekolah.

 "——Oh, begitu ya."

 "Iya."

 "Kau tidak apa-apa?"

 Mizuno-kun memandangku dengan raut cemas. Mengingat insiden di kereta cepat, dia tampak khawatir kalau-kalau hotel ini akan memicu rasa takutku pada kecelakaan itu lagi.

 ——Namun.

 "Aku baik-baik saja."

 Aku menjawab sambil tersenyum tipis. Yang dibangkitkan hotel ini bukanlah ketakutan akan kecelakaan, melainkan kenangan bersama orang tuaku. Disertai rasa nostalgia, kasih sayang pada ayah dan ibu——dan kesedihan karena kehilangan mereka. Tapi bukan perasaan negatif yang membuatku menangis meraung-raung atau termenung. ——Aku sudah menghadap ke depan.

 "Begitu, ya. Syukurlah kalau begitu."

 "Maaf sudah membuatmu khawatir berkali-kali. ——Terima kasih."

 "Ah, aku tidak melakukan apa-apa, kok."

 Kau menemaniku yang tak bisa naik kereta sendirian dan mencemaskanku terus seperti ini. Bagiku ini sangat berarti. ——Tapi aku tak mengatakannya karena pasti akan dibantah dengan "Ah, bukan apa-apa, kok."

 "Ngomong-ngomong, apa yang lain belum sampai di hotel ini, ya?"

 "Kalau melihat waktunya, seharusnya mereka sudah hampir sampai sih ...."

 Tepat saat aku menjawab pertanyaan Mizuno-kun, tiba-tiba ....

 "Ai! Kau sudah sampai, ya! Mizuno-kun juga!"

 Aku mendengar suara melengking yang familier dari arah pintu masuk lobi, lalu Miyu berlari-lari kecil mendekat dan memelukku.

 "Syukurlah! Aduh, aku sangat khawatir tahu!"

 "Ahaha ... maaf, ya."

 Aku tersenyum canggung namun senang menerima sambutan hangat Miyu yang begitu antusias. Di belakang Miyu, teman-teman sekelas mulai berdatangan memasuki hotel satu per satu. Di antara mereka, Nitta-kun, Naito-kun, Koharu, dan Mai menghampiri kami.

 "Wah, syukurlah kalian berdua sampai dengan selamat."

 "Kerja bagus."

 Begitu Nitta-kun dan Naito-kun berkata demikian, percakapan antar lelaki pun dimulai dengan pertanyaan seperti "Bagaimana Osaka Castle?", "Tidak terlalu seru, jadi untung kalian tidak ikut", "Tapi takoyaki yang kami makan di dekat sana enak lho".

 ——Lalu.

 "——Ai, sini sebentar."

 Aku ditarik Miyu, sedikit menjauh dari para lelaki itu. Dan entah mengapa, aku dikelilingi tiga gadis yang tersenyum-senyum mencurigakan.

 "T-tunggu, ada apa ini ...? Kalian menyeramkan, tahu."

 "Apa terjadi kemajuan dengan Mizuno-kun selama kalian terpisah dari kami?"

 Miyu berbisik penuh rasa ingin tahu, sementara Mai dan Koharu ikut mencondongkan tubuh ke arahku.

 —Rupanya Koharu juga tahu. Mungkin Miyu atau Mai yang memberitahunya.

 Atau barangkali, Koharu menyadarinya sendiri, mengingat perasaanku katanya mudah terbaca.

 "Kemajuan apa maksudmu ...."

 "Eh, masa tidak ada apa-apa? Kalian tidak membicarakan orang yang disukai?"

 Sayangnya, kami tidak membicarakan hal-hal semacam itu.

 ——Meski tanganku digenggam di kereta cepat, dipeluk di bianglala, dan hampir dicium. Jika kuceritakan semua itu ke mereka, situasinya pasti akan menjadi sangat rumit. Karena itu, aku memutuskan untuk tutup mulut.

 "Tidak ada."

 Mendengar jawabanku yang mengecewakan harapan mereka, ketiga gadis itu menampakkan raut wajah kecewa yang tak ditutup-tutupi. Tolong jangan jadikan kisah cinta orang lain sebagai hiburan.

 "Yaah, membosankan sekali."

 "Yah, mau bagaimana lagi. Mizuno-kun sepertinya masih kekanak-kanakan soal cinta."

 "Dia tampaknya lebih suka ribut dengan teman-teman cowoknya, ya."

 Miyu memasang ekspresi benar-benar bosan, sementara Mai dan Koharu menyuarakan analisis mereka yang tajam tentang Mizuno-kun.

 "Ah, tapi cerita detailnya nanti malam saja, ya, malam!"

 "Iya, iya!"

 "Eh ...? Malam?"

 Aku mengerutkan kening, tidak mengerti maksud ucapan Miyu yang penuh semangat dan Mai yang mengangguk seirama.

 "Aduh, Ai ini bagaimana, sih. Kalau malam dalam perjalanan sekolah, sudah pasti waktunya begadang sambil membicarakan cinta, dong!"

 "Itu hal yang lumrah, lho, Ai."

 "Oh ... memang begitu, ya."

 Aku tidak paham mengapa hal itu sudah pasti atau bagian mana yang dianggap lumrah, tapi Koharu tampak mengangguk paham.

 "Hmm ... jadi begitu, ya."

 Yah, aku hampir tidak bisa ikut dalam perjalanan sekolah hari ini, jadi aku senang jika semua bisa bergadang dan bersenang-senang bersama.

 "Kalau begitu, aku juga akan mendengarkan cerita kalian semua, lho."

 Merasa sedikit kesal karena hanya aku yang jadi sasaran, aku berkata sambil tersenyum penuh rencana. Seketika mereka tampak terkejut sesaat, namun segera memasang wajah pura-pura tidak tahu yang tidak alami.

 "Mai-chan, ngomong-ngomong bukankah sudah waktunya makan malam?"

 "Ah, benar juga ya. Di restoran lantai dua kan?"

 "Iya, ayo kita pergi."

 Mereka mulai berjalan dengan cepat.

 "T-tunggu aku!"

 Aku bergegas mengejar mereka. Dasar, mereka langsung mengalihkan pembicaraan karena tidak mau menceritakan kisah mereka sendiri.

 Tiba-tiba, aku menyadari Mizuno-kun dan yang lainnya juga berjalan tidak jauh di depan. Sepertinya para anak laki-laki juga menuju ke makan malam. Saat itu, aku melihat sesuatu terjatuh dari ransel yang digendong Mizuno-kun. Itu adalah jimat merah yang terpasang di risleting ranselnya. Aku berjongkok untuk memungut jimat itu. Tapi, tali jimatnya longgar sehingga isinya tumpah keluar saat kupungut.

 ——Apa ini? Sesuatu berwarna biru keluar.

 Aku memungut isi yang terjatuh itu. Begitu melihatnya, aku terkesiap. Meski sudah putus, benda itu dianyam dengan benang biru. Ada manik kaca berukuran satu sentimeter dengan warna campuran biru dan nila terpasang pada benangnya.

 ——Tak mungkin aku salah mengenalinya. Ini benda unik yang kubuat dengan susah payah bersama ibuku, dan baru-baru ini kulihat fotonya. Yang ada di dalam kantong jimat milik Mizuno-kun adalah gelang persahabatan yang kubuat sendiri enam tahun lalu di Osaka ini, yang kuhilangkan tepat sebelum kecelakaan itu terjadi.

 ——Kenapa? Kenapa Mizuno-kun memiliki benda ini ...?

 Aku mengambil gelang itu dan terpaku di tempat. Padahal tadinya aku berniat segera mengembalikannya pada Mizuno-kun, tapi karena terlalu terkejut, aku tak bisa melakukannya.

 "Ai? Ada apa? Ayo cepat!"

 Rupanya Miyu menyadari aku berhenti dan memanggilku dari jauh di depan.

 "Ah, m-maaf!"

 Aku buru-buru memasukkan gelang itu ke kantong jimat, menjejalkannya ke saku, lalu bergegas mengejar Miyu.

 Makan malam disajikan dalam bentuk prasmanan. Di atas meja prasmanan, tersaji beragam hidangan yang menyerupai permata warna-warni, mulai dari hidangan pembuka hingga hidangan utama dan makanan penutup, dalam variasi masakan Jepang, Barat, dan Cina. Bagi kami yang dalam masa pertumbuhan, pemandangan ini bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan.

 "Nah, pertama-tama, kue manis dulu!"

 Tanpa melirik nasi sedikit pun, Miyu langsung menuju ke bagian makanan penutup. Di sekitar meja makanan penutup, para gadis berkerumun dengan mata berbinar-binar. Sebaliknya, di sudut tempat hidangan daging dan ikan yang mengenyangkan tersaji, para anak laki-laki berbaris rapi.

 Aku yang ingin menikmati hidangan selain makanan manis, memutuskan untuk mengantri di bagian hidangan pembuka terlebih dahulu. Saat itulah aku melihat Mizuno-kun agak jauh dariku. Dia bahkan belum mengambil nampan untuk meletakkan piring, dan hanya celingak-celinguk memandangi sekeliling. Pasti dia sedang mencari benda yang tadi terjatuh itu. Gelang manik-manik yang sudah putus, yang kini kusembunyikan di sakuku.

 ——Enam tahun lalu, benda itu milikku.

 Tapi, mengapa dia menyimpannya dengan begitu hati-hati di dalam kantung jimat? Apadia tahu bahwa benda itu adalah milikku yang terjatuh? Haruskah aku berpura-pura tidak tahu dan mengembalikannya? Tapi, rasa penasaran akan alasan dia menyimpannya sangat menggangguku, sampai-sampai aku merasa tak sanggup bersikap biasa saja.

 Mizuno-kun mendekatiku dengan gelisah sambil terus mengamati lantai di bawahnya. Jarak di antara kami kini terlalu dekat untuk tidak berbicara.

 "Ada apa, Mizuno-kun?"

 Mizuno-kun yang tadinya menunduk kini mengangkat wajahnya. Sejenak, raut wajahnya tampak terkejut.

 ——Lalu.

 "Tidak ada apa-apa."

 Mizuno-kun tersenyum ramah seperti biasa, namun senyumnya kali ini terlihat agak dipaksakan.

 "Benarkah? Kau mondar-mandir tanpa menyentuh makananmu, kupikir ada sesuatu."

 " ... Tidak usah cemas, benar tidak apa-apa, kok. Aku akan ambil makanan sekarang."

 Mizuno-kun pun beranjak menuju area daging yang masih ramai dikerumuni anak laki-laki.

 ——Mizuno-kun mungkin tahu gelang persahabatan itu awalnya milikku.

 Itu yang terlintas dalam benakku melihat gelagatnya barusan. Tapi kenapa? Kenapa dia punya itu? Padahal itu benda dari enam tahun lalu. Seharusnya hilang di Osaka.

 ——Apakah mungkin Mizuno-kun menyimpan sebuah rahasia besar yang tak pernah kubayangkan? Perilakunya yang membingungkan membuatku mulai berprasangka demikian.

 Malam semakin larut. Usai mandi di kamar hotel, aku berbaring di ranjang, melamun memikirkan Mizuno-kun. Sejak awal, Mizuno-kun adalah sosok yang penuh misteri bagiku. Meski begitu tampan, ceria, dan menonjol di kelas, aku sama sekali tak menyadari keberadaannya sampai kami ditugaskan bersama untuk lomba renang.

 Kalau dipikir-pikir, seharusnya cowok sekeren dia menjadi buah bibir di kalangan cewek-cewek, termasuk Miyu. Tapi, selama dua bulan sejak masuk kelas 2-2 hingga aku ditugaskan untuk lomba renang, tak sekalipun Miyu membicarakan Mizuno-kun, atau kulihat cewek-cewek lain berteriak histeris padanya.

 Tapi, tepat sehari setelah absen karena peringatan tujuh tahun kecelakaan itu, tiba-tiba saja aku sering menyaksikan cewek-cewek di kelas bergosip tentang Mizuno-kun. Lalu begitu aku dipaksa ditugaskan menjadi petugas lomba renang, Mizuno-kun mendadak mengajukan diri. Tak lama setelah kami mulai berteman, dia seolah bisa membaca isi hatiku. Bahkan, dia sepertinya tahu bahwa dulu aku jago berenang. Dia juga secara kebetulan menemukanku yang tak bisa naik shinkansen, lalu turun dari kereta untukku——tapi benarkah itu hanya kebetulan? Dan mengapa dia memiliki gelang manik-manik capung yang kuhilangkan?

 ——Sebenarnya siapa dia?

 Entah mengapa, dia terasa berbeda dari teman-teman sekelas lainnya ....

 Bahkan terkesan seperti bukan dari dunia ini.

 "Oke, siapa yang mau mulai cerita cinta duluan? Miyu-chan yang sepertinya punya banyak pengalaman cinta?"

 "Eh, Mai-chan, itu curang! Ayo kita tentukan dengan suit saja, biar adil."

 Saat aku tenggelam dalam lamunan, rupanya yang lain sudah selesai mandi. Kini saatnya acara wajib study tour; berbagi cerita cinta.

 "Hei, Ai! Ayo cepat kemari! Suit!"

 " ... Ya."

 Sebenarnya aku tak terlalu antusias karena merasa tak punya cerita menarik untuk dibagikan. Aku hanya memandangi Miyu dan Mai yang bersemangat bersiap suit. Tapi mendengar panggilan Miyu, aku tak bisa mengabaikannya. Koharu juga tersenyum kecil, berdiri bersama Miyu dan Mai. Mereka semua tampak bersemangat. Aku yang tadinya berbaring pun bangkit dan mendekat ke arah mereka bertiga yang sudah bersiap janken.

 "Gunting, batu ... kertas!"

 "Ah, aku kalah!" 

 Pada suit pertama, Mai kalah sendirian. Miyu tertawa geli. Kemudian kami menentukan urutan selanjutnya dengan suit lagi. Hasilnya: Koharu, aku, lalu Miyu.

 Mai yang terpaksa jadi pembuka hanya bisa tersenyum kecut.

 "Tak kusangka aku yang pertama. Padahal biasanya aku jago suit."

 "Sudah, sudah! Ayo mulai saja!"

 "Iya, iya. Nah ...."

 Didorong oleh Miyu yang menatapnya penuh harap, Mai pasrah. Ia berdehem sekali, lalu berkata, "Aku tidak punya orang yang kusukai."

 Pernyataan blak-blakan yang mengecewakan itu membuat Miyu cemberut berlebihan.

 "Apaan tuh! Mai-chan curang!"

 "Lho, tapi memang benar kok. Cowok SMA terlalu kekanak-kanakan buatku. Aku lebih suka yang lebih dewasa."

 "Hmm, kalau begitu apa kau pernah naksir guru atau senior?"

 Mendengar pertanyaan cerdas Koharu, Mai terdiam sejenak. Lalu dengan wajah sedikit malu-malu, ia menjawab:

 " ... Waktu SMP, aku pernah nembak wali kelasku yang masih umur 20-an. Tapi ditolak dengan halus."

 "Wah! Berani juga kau, Mai-chan! Tapi masa ditolak dengan halus? Kejam sekali."

 "Yah, bagi guru, murid SMP yang usianya terpaut lebih dari 10 tahun pasti dianggap anak kecil .... Sudahlah, itu kan masa lalu. Oke, selanjutnya! Koharu!"

 Meski merasa Mai curang karena ceritanya singkat, aku penasaran dengan kisah Koharu. Aku menatapnya lekat-lekat.

 Koharu ragu-ragu sejenak, lalu dengan wajah mantap ia berkata:

 "Sepertinya ... aku menyukai Naito-kun."

 "Hah?! Serius?!"

 "Sejak kapan?!"

 Pengakuan Koharu membuat Miyu dan Mai heboh.

 Naito-kun dikenal sebagai sosok yang bebas. Wajahnya memang rupawan, tapi ia sering tertidur saat pelajaran atau asyik menyantap kudapan yang kubawa di tepi kolam renang. Kesan itu sangat bertolak belakang dengan Koharu yang tampak serius di klub musik tiup.

 "Hmm, sejak kapan, ya? Rasanya tiba-tiba saja."

 "Apa yang kau suka dari Naito-kun?"

 Wajah Koharu merona merah, tapi ia menjawab dengan senyum lebar,

 "Begini, orang tuaku pegawai negeri yang kaku dan sepertinya aku mewarisi sifat itu ... Awalnya, aku tidak habis pikir melihat Naito-kun berani-beraninya tidur atau mendengarkan musik saat pelajaran. Kupikir 'Apa sih yang ada di pikirannya?'."

 "Terus, terus?" Miyu mendesak, matanya berbinar-binar.

 "Perlahan-lahan, aku mulai menghargai kebebasan dan gaya hidupnya yang santai .... Oh, dan ingat saat aku cedera sebelum kompetisi? Dia sangat baik padaku waktu itu."

 "Ah benar, Naito-kun memapahmu saat kau baru cedera ya," Mai menimpali. Koharu mengangguk.

 "Ya ... Hal-hal seperti itulah yang membuatku jatuh hati padanya."

 Koharu yang tersipu-sipu terlihat begitu menggemaskan. Andai Naito-kun melihatnya seperti ini, mungkin ia akan langsung terpesona.

 "Wah, indahnya gadis yang sedang jatuh cinta."

 "Bicara soal gadis yang sedang jatuh cinta ... Ai dong!"

 " ... Eh?" Aku terkejut, tak siap dengan lemparan topik mendadak ini.

 Tapi memang, semua sudah tahu tentang perasaanku pada Mizuno-kun.

 "Yah, tak ada yang baru selain yang sudah kalian ketahui," jawabku acuh tak acuh. Miyu dan Mai mendekatiku, seolah hendak menginterogasi:

 "Masa, sih? Benar-benar tak terjadi apa-apa sampai kalian pergi berdua ke Osaka hari ini?"

 "Sudah kubilang tadi, ‘kan? Tidak ada apa-apa."

 "Hmm ... Tapi lho, Mizuno-kun kayaknya juga suka."

 Sambil nyengir, Mai mengatakan sesuatu yang di luar dugaanku.

 "Ah, aku juga berpikir begitu. Mizuno-kun sangat memperhatikanmu, Ai."

 "Nah, iya. Makanya kupikir pasti sudah ada perkembangan," tambah Miyu.

 "Eh? Memangnya ... begitu?" Aku tertegun, terkejut mendengar pendapat mereka tentang Mizuno-kun.

 Sikap Mizuno-kun hari ini memang membuatku berpikir ia mungkin punya perasaan padaku. Tapi selama ini kukira ia tipe yang baik pada semua orang, jadi kupikir cintaku bertepuk sebelah tangan. Aku juga mengira mereka memandangnya begitu, makanya aku terkejut ternyata mereka melihat Mizuno-kun sangat perhatian padaku.

 ——Mungkinkah Mizuno-kun benar-benar ...?

 "Iya! Tinggal sedikit dorongan lagi!" 

 "Ayo kita wujudkan pasangan baru selama study tour ini!"

 "Eh ... i-iya," jawabku refleks, agak kewalahan mengikuti semangat mereka.

 Mizuno-kun mungkin menyukaiku. Tentu saja aku akan sangat bahagia jika itu benar. ——Tapi. Ada hal lain yang lebih mengganggu pikiranku. Banyak hal misterius tentang Mizuno-kun.

 "——Hei, teman-teman."

 "Hm? Ada apa, Ai?"

 "Apa ada yang tahu Mizuno-kun dulu di kelas berapa saat kelas satu?"

 "Eh, kelas berapa, ya? Aku tidak sekelas dengannya, sih."

 "Aku juga tidak tahu."

 "Aku juga!"

 " ...."

 Angkatan kami terdiri dari delapan kelas. Aku, Miyu, Mai, dan Koharu semua berbeda kelas saat kelas satu. Dan tidak satu pun dari kami yang sekelas dengan Mizuno-kun. Bahkan kami tak tahu ia di kelas mana. Mungkin ini bukan hal aneh. Ada lebih dari 250 murid di angkatan kami. Wajar saja jika ada yang tak kita kenal.

 Tapi ceritanya berbeda jika orang itu tampan dan menjadi pusat perhatian di kelas. Biasanya, orang-orang yang menonjol akan dikenal meski berbeda kelas. Aku dan Nitta-kun berbeda kelas saat kelas satu, tapi karena ia menonjol, bahkan aku yang tidak peduli pada orang lain pun mengenalnya.

 ——Lalu kenapa tidak ada yang tahu tentang Mizuno-kun saat kelas satu, padahal ia sama menonjolnya dengan Nitta-kun? Seandainya Mizuno-kun adalah murid pindahan yang baru masuk di kelas dua, pasti guru akan memperkenalkannya pada hari pertama upacara pembukaan di bulan April. Tapi, hal itu tidak pernah terjadi. Jadi, rasanya aneh jika Mizuno-kun tidak bersekolah di sini sejak kelas satu.

 "Kalau begitu, apa kalian tahu dia dari SMP mana?"

 "Hmm ... kalau dipikir-pikir benar juga, aku tidak tahu," jawab Miyu. Mai dan Koharu pun mengangguk setuju.

 "Lalu, di mana rumahnya? Ada yang tahu?"

 Begitu aku melontarkan pertanyaan itu, entah mengapa mereka ketiga saling berpandangan. ——Kemudian.

 "Hahaha! Ada apa nih, Ai? Kalau kau penasaran dengan kehidupan pribadi Mizuno-kun, tanya saja langsung padanya!"

 "Eh ...."

 "Benar, lho! Kalau kau tanya, pasti dia akan memberitahumu!"

 "Ternyata kau memang sangat tertarik pada Mizuno-kun, ya~"

 Mereka menggodaku dengan nada menggeli. Rupanya mereka mengira aku hanya ingin mengorek informasi tentang orang yang kusukai. Meski teman-temanku tampak tak ambil pusing, tapi bagiku semua ini tetap terasa ganjil.

 Apa mungkin Mizuno-kun ... tidak ada di sekolah ini saat kelas satu? Tidak, bahkan lebih dari itu. Apakah dia benar-benar ada di kelas ini sebelum hari setelah peringatan tujuh tahun kematian, saat aku pertama kali menyadari keberadaannya?

 Pertanyaan-pertanyaan ini terus mengusik benakku. Siapa sebenarnya dia? Mengapa ia memiliki gelang persahabatan yang dulu milikku?

 ——Tapi entah mengapa, aku merasa tak boleh menanyakan hal ini padanya secara langsung. Karena, dia sendiri tak pernah mengungkit hal itu.

 Aku tidak mengerti mengapa ia tidak ingin aku tahu bahwa ia menemukan gelang itu. Tapi bukannya perilaku itu justru menunjukkan bahwa ia tahu gelang itu milikku?

 Setelah itu, obrolan beralih ke kisah cinta Miyu——yang mengaku tak punya orang yang disukai, tapi banyak yang menyatakan cinta padanya. Semua tampak antusias, tapi aku hanya mendengarkan dengan setengah hati.

 Tak lama kemudian, mungkin karena lelah mengobrol, ketiga temanku pun tertidur. Aku juga merangkak masuk ke dalam selimut. Untuk sesaat, pikiranku masih dipenuhi oleh Mizuno-kun dan gelang persahabatan itu. Namun rupanya kelelahan akibat berbagai kejadian hari ini membuatku pun akhirnya terlelap.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close