Penerjemah: Ajang Aribterku
Proffreader: Ajang Aribterku
Kini, Juli. Saat Itu
"Sakit ...."
Hal pertama yang kurasakan saat tersadar adalah rasa nyeri yang menusuk di bawah lutut kananku. Aku mencoba bergerak untuk melepaskan diri dari rasa sakit itu, tapi sepertinya tubuhku terjepit sesuatu yang berat hingga tidak bisa bergerak sedikitpun.
Aroma tanah basah dan kesegaran dedaunan hijau menggelitik hidungku.
Dalam pandanganku yang terbaring telentang, hanya terlihat pepohonan rimbun dengan daun-daun yang menghijau, serta langit biru yang mengintip di antara celah-celahnya.
Dengan kesadaran yang masih kabur, kucoba mengingat kejadian sebelum ini. Shinkansen berguncang, lalu dengan kecepatan bagai roller coaster, gerbong-gerbongnya meluncur jatuh ke bawah jembatan layang. Aku yang duduk di samping jendela, sepertinya terlempar keluar setelah menghantam dan memecahkan kaca jendela saat kereta terjun.
Kuangkat lenganku yang masih bisa kugerakkan, tampak dipenuhi luka-luka gores kecil.
"Ayah dan Ibu pergi ke mana, ya? Aku harus mencari mereka. Pasti mereka ada di suatu tempat."
Tapi, kakiku yang terjepit tak bisa bergerak untuk mencari.
Saat kucoba mengangkat sedikit tubuh bagian atas untuk melihat ke arah kaki, tampak serpihan logam—sepertinya bagian dari badan kereta shinkansen—menindih tubuh bagian bawahku. Perlahan rasa sakit di kakiku mulai menghilang—tak ada rasa sama sekali. Ah ya, sepertinya aku pernah mendengar. Anggota tubuh yang tertekan dalam waktu lama bisa mengalami amputasi.
Saat menyadari hal itu, wajahku lekas memucat. Kalau begini terus, kakiku bisa hilang. Jika itu terjadi, aku tak akan bisa berjalan, tak bisa jalan-jalan dengan Ayah dan Ibu—bahkan tak bisa berenang gaya kupu-kupu lagi.
"Tolong ... Tolong ... Siapa pun ...."
Tanpa sadar aku berteriak. Tapi yang terdengar hanyalah gemerisik daun-daun yang menari tertiup angin dan kicauan burung yang sesekali menyela. Tidak ada siapapun di sini ...? Ayah ... Ibu ....
Tiba-tiba terdengar suara keras "GRAK!" dan seketika tubuh bagian bawahku terasa ringan.
Eh ...?
Masih belum memahami situasi, aku mencoba bangkit—lalu.
"Kau tidak apa-apa?"
Seseorang menggenggam dan menarik tanganku, membantuku berdiri. Di tengah keterkejutanku, kutatap wajah orang itu. Seorang anak laki-laki. Sepertinya seumuran denganku. Wajahnya tampan tapi ramah, raut polos yang menenangkan.
Eh? Kau ... Aku ... mengenalmu ....
Ya, aku mengenalnya.
Saat itulah aku terbangun dan langsung terduduk. Meski seharusnya tertidur, napasku tersengal karena terlalu bergairah. Keringat membasahi sekujur tubuhku. Saat memandang sekeliling, Miyuki masih tertidur pulas di ranjang sebelah dengan dengkuran lembut—ah ya, sekarang sedang dalam perjalanan wisata sekolah.
Aku baru saja bermimpi kejadian tepat setelah kecelakaan enam tahun lalu. Mimpi itu adalah ingatan yang terlupakan. Selama ini, aku kehilangan ingatan sejak kereta shinkansen tergelincir hingga tersadar di ranjang rumah sakit. Dan kini aku telah mengingat dengan jelas memori yang hilang itu.
Benar juga. Setelah terlempar dari dalam kereta shinkansen, aku ditolong oleh anak laki-laki itu—anak itu. Tak mungkin aku salah mengenalinya. Meski enam tahun lalu dia masih lebih muda dari sekarang. Anak itu ... pasti dia. Dia yang kini kucintai—Mizuno Souta-kun.
Kehangatan lembut dan familiar yang selama ini tidak kupahami—ternyata adalah sensasi genggaman tangan saat itu. Tapi kenapa dia bisa ada di sana? Rasanya tidak mungkin ada orang berlalu-lalang di bawah jembatan layang seperti itu. Satu-satunya kemungkinan adalah dia juga berada di kereta shinkansen yang sama denganku. Bahwa dia, sama sepertiku, terlempar keluar saat kecelakaan dan terdampar di tempat itu. Melihat situasinya, hampir tidak mungkin ada penjelasan lain. Tapi ... yang selamat dari kecelakaan itu hanyalah aku seorang. Hanya satu orang. Kalau begitu, dia ....
Dengan tangan yang gemetar, kuraih ponsel di samping bantal, lalu perlahan kulakukan pencarian web untuk memastikan dugaan mengerikan ini.
"Daftar korban kecelakaan kereta shinkansen tergelincir."
Hasil pencarian langsung muncul dan aku mulai mengklik tautan daftar nama. Deretan tujuh ratus nama. Kutelusuri satu per satu.
Kumohon ... Semoga tidak ada ....
Tapi aku menemukannya.
"Mizuno Naoki (37) Mizuno Kyouko (36) Mizuno Souta (11)"
Nama itu jelas tertera dalam daftar korban kecelakaan kereta shinkansen enam tahun lalu.
—Mizuno Souta (11).
Aku tak bisa tinggal diam dan langsung melompat bangun. Kuambil kantung jimat berisi gelang persahabatan yang tadi dijatuhkan Mizuno-kun, lalu bergegas keluar kamar.
Aku berlari menuju kamar tempat anak laki-laki menginap. Meski ini hal yang tak pantas—seorang siswi datang ke kamar siswa di waktu semua orang seharusnya sudah tidur—tapi aku sangat ingin segera bertemu Mizuno-kun.
——Ingin memastikan keberadaannya.
Di depan pintu kamar tertempel kertas bertuliskan nama-nama murid yang telah ditentukan dalam pembagian kamar. Tapi di pintu kamar tempat Mizuno-kun berada, tidak ada namanya tertulis.
Untuk memastikan, kuperiksa pintu kamar semua siswa laki-laki di kelasku. Tapi tetap saja tidak kutemukan nama "Mizuno Souta". Padahal dia pasti ikut dalam perjalanan ini. Padahal tadi kami naik kereta bersama.
—Mizuno-kun. Di mana? Di mana kau?
Rasanya seakan dia telah menghilang. Dia yang tadi naik kereta bersamaku, menggenggam tanganku dan menyemangatiku, seolah telah lenyap begitu saja. Ini bohong, ‘;kan ... —Ini kebetulan kan? Hanya kebetulan ada orang dengan nama yang sama dalam daftar korban, ‘kan? Namanya tidak ada di kertas pintu hanya karena kesalahan cetak kan?
Karena kalau dipikir secara logis, hal seperti itu tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin korban kecelakaan enam tahun lalu ada di sini sekarang.
—Tapi, kalau memang begitu.
Di antara berbagai keanehan tentang dirinya, ada beberapa hal yang jadi masuk akal. Yang pasti, aku terus berlari menyusuri koridor hotel di tengah malam.
——Mencari sosoknya
Aku berlari terengah-engah menyusuri hotel. Sesekali, pegawai hotel dan tamu lain yang berjalan di koridor menatapku dengan wajah terkejut, tapi aku tak punya waktu untuk memedulikan hal itu.
Lalu tiba-tiba dugaan terlintas di benakku. Entah mengapa, aku merasa Mizuno-kun berada di kolam renang dalam hotel ini. Kolam renang adalah tempat yang menjadi awal kedekatanku dengannya ... dan juga berhubungan secara tidak langsung dengan kecelakaan enam tahun lalu.
Aku berlari sekuat tenaga menuju pintu masuk kolam renang indoor. Kuraih gagang pintunya, tetapi tentu saja terkunci karena jam operasional sudah berakhir. Namun terdengar bunyi "klek" seperti kunci yang terbuka dari dalam, jadi kucoba mendorong pintunya lagi.
Pintu terbuka dengan mudah. Aku melangkah masuk dengan perlahan dan hati-hati. ——Lalu.
Mizuno-kun dalam balutan seragam duduk di tepi kolam, mencelupkan dan mengayun-ayunkan kakinya yang telanjang dalam air. Seluruh tubuhnya tampak agak memutih—seolah tembus pandang.
Saat melihat kondisinya seperti itu, aku langsung mengerti secara naluriah. Ah. Sudah kuduga. Sudah kuduga dia ....
Dia bukan lagi penghuni dunia ini. Pasti sejak enam tahun lalu.
"Pertama kali aku bertemu denganmu adalah di kolam ini. Mungkin kau tidak tahu."
Dia tersenyum saat menyadari kehadiranku. Lembut—tapi ada kesedihan di dalamnya.
Aku perlahan mendekat dan berdiri di sampingnya. Dari dekat, transparansi tubuhnya terlihat jelas. Sosoknya yang tembus pandang bahkan memperlihatkan pemandangan di baliknya.
"Enam tahun lalu, aku menginap di sini bersama keluarga. Aku juga berenang di kolam ini. Di sanalah aku melihatmu ... berenang gaya kupu-kupu dengan bebas dan luwes mengelilingi kolam, tampak begitu gembira. Gerakanmu begitu anggun dan cantik—seperti putri duyung."
Mizuno-kun menatap wajahku lekat-lekat, senyumnya melebar.
"Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku jatuh cinta. ——Dan itu juga menjadi cinta terakhirku."
Cinta pertama—sekaligus terakhir dalam hidupnya.
Aku tidak mampu berkata-kata, hanya bisa membalas tatapannya dengan bibir terkatup rapat.
"Yah, meski kubilang jatuh cinta ... Anak SD laki-laki mana tahu harus berbuat apa. Aku bahkan tidak bisa menyapamu, hanya bisa memandangimu dengan berdebar-debar saat berpapasan di hotel. Sampai hari kepulanganku ke Osaka, aku tak bisa melakukan apa-apa."
Aku sama sekali tak ingat keberadaannya enam tahun lalu. Aku juga tak tahu sama sekali bahwa dia memandangiku seperti itu.
"Di perjalanan pulang pun kita kebetulan bersama. Saat melihatmu di stasiun Shin-Osaka, aku melihatmu menjatuhkan sesuatu. —Gelang persahabatan yang kau pegang sekarang."
Aku mengeluarkan gelang persahabatan dari kantung jimat yang kupegang. Saat kuperhatikan baik-baik, gelang itu tampak kotor ... dan ada noda seperti bekas darah di ujung talinya.
"Aku berniat menyapamu untuk mengembalikannya, tapi tetap saja tak bisa. Tapi, di kereta shinkansen aku kebetulan duduk di belakangmu. Aku memutuskan untuk memberanikan diri bicara dan mengembalikannya selama perjalanan. ——Sekaligus memintamu menjadi temanku. Tapi tetap saja aku tak bisa. Dan selama aku ragu-ragu seperti itu ...."
"——Kecelakaan itu terjadi ya."
Mendengar ucapanku, Mizuno-kun mengangguk perlahan.
"Sepertimu, aku kebetulan terlempar ke rerumputan yang empuk dan masih hidup setelah kecelakaan. Karena itu, aku bisa menolongmu yang tertindih pecahan gerbong kereta shinkansen. —Tapi, pergelangan tanganku terluka parah. Karena kita terdampar jauh dari lokasi jatuhnya kereta, pertolongan datang terlambat. ... Aku tidak sempat tertolong."
Mizuno-kun memberitahuku dengan jelas.
"Enam tahun lalu saat itu, aku meninggal karena kehabisan darah."
——Kehabisan darah.
Mungkin noda di gelang persahabatan ini adalah darahnya saat itu. Nama yang sepertinya orangtua Mizuno-kun juga ada dalam daftar korban.
"Jadi, informasi tentang Mizuno-kun yang kehilangan keluarga itu ...."
"Bukan hanya keluarga, aku sendiri juga sudah mati. Saat Hiroki bertanya tentang keluargaku, aku asal jawab 'Di rumahku cuma sendirian'. Sepertinya ada yang mendengar dan jadi diartikan seperti itu."
Kukira aku dan Mizuno-kun sama. ——Tapi ternyata sangat berbeda.
"Sesaat sebelum mati, aku memohon pada gelang persahabatanmu yang kupakai di lengan. Semoga gadis ini selamat. Semoga dia bisa terus hidup dengan tersenyum. Gelang yang hampir putus karena benturan kecelakaan itu, sepertinya akhirnya putus saat aku sekarat .... Aku tidak terlalu ingat. Tapi memang putus."
"——Ya."
"Arwahku terus berada di lokasi kecelakaan itu. Aku selalu memperhatikanmu yang datang setiap tahun di hari itu. Kau selalu tampak datar. Wajar saja tidak bersemangat karena datang mendoakan orang tua ... tapi sosokmu sangat berbeda dengan sebelum kecelakaan, aku cemas. Karena matamu selalu kehilangan cahaya."
" ...."
"Padahal katanya kalau gelang persahabatan putus, permohonan akan terkabul. Tapi permohonanku sama sekali tidak terkabul, pikirku setiap melihat sosokmu setiap tahun."
Aku menatap lekat gelang persahabatan di tanganku. ——Jadi dia memohon hal seperti itu pada gelang ini.
"Lalu di hari peringatan tahun ini. Kau tidak muncul di lokasi kecelakaan. Aku panik. Ada apa, apa terjadi sesuatu sampai tidak bisa datang .... Aku ingin melihat sosok ceriamu sekali lagi. Tolong buat dia ceria lagi. Aku kembali memohon pada gelang persahabatan. Gelang yang putus itu ternyata dikuburkan di makamku karena dianggap peninggalanku. ——Lalu, keajaiban terjadi."
Mizuno-kun mendongak menatap jendela kaca di langit-langit kolam renang indoor. Aku pun ikut memandang ke atas. Malam ini cerah, bintang-bintang tampak berkelip.
"Tahu-tahu aku sudah berusia tujuh belas tahun dan jadi teman sekelasmu. Ada sedikit uang di sakuku dan di loker ada buku pelajaran serta catatan, cukup untuk tidak kesulitan di sekolah. ... Ingatan palsu pun tertanam begitu saja di benak teman-teman sekelas dan guru. ... Tapi sepertinya ingatan itu tidak muncul dalam dirimu."
" ... Ya."
Saat tidak bisa menghadiri peringatan tujuh tahun karena flu, esok harinya aku baru mengenal sosok bernama Mizuno-kun di sekolah. Karena aku yang tidak terlalu peduli pada teman sekelas, kupikir saat itu wajar saja kalau aku belum memperhatikan keberadaan Mizuno-kun dan tidak terlalu memikirkannya.
Tapi memang tak wajar kalau aku sama sekali tidak menyadari keberadaan Mizuno-kun yang begitu keren dan menjadi pusat perhatian kelas. Tapi wajar saja juga aku tidak mengenalnya, karena dia memang belum ada di kelas sampai saat itu.
Aku pertama kali berjumpa dengannya sehari setelah peringatan tujuh tahun kematiannya. Ah tidak ... lebih tepatnya, ini adalah pertemuan kembali setelah enam tahun berlalu. Dan semua orang selain diriku, berkat kekuatan gelang, tertanam ingatan seolah "bagaimana jika Mizuno yang berusia tujuh belas tahun sudah berada di kelas ini sejak dulu ...."
Agar Mizuno dapat membaur dengan alami di kelas. —Demi menciptakan lingkungan yang memudahkan keinginannya terwujud.
"Aku menyadari bahwa gelang ini berusaha mengabulkan permohonanku yang telah kupendam selama enam tahun. Karena itulah aku mengajukan diri sebagai penanggung jawab renang yang kau dapatkan dari undian, untuk bisa mendekatimu. Saat itu kau memang berbeda dari dulu, terlihat begitu lesu. Tapi ...."
"Sekarang tidak lagi. Berkatmu, Mizuno-kun."
Aku mengucapkannya dengan tegas. Kurasa wajah Mizuno-kun sedikit beriak bahagia.
"—Mendengarmu berkata begitu, membuatku merasa kedatanganku ke sini tidak sia-sia. Melalui tugas mengurus perlombaan renang, termasuk ketika kau tiba-tiba harus berenang di hari pertandingan ... warna matamu perlahan mulai bersinar kembali."
"Ya ...."
Aku mengangguk sembari menahan air mata yang nyaris tumpah. Alasan mengapa Mizunokun ada di sini. Itu karena diriku yang terpuruk akibat kecelakaan dan hanya bisa memandang ke belakang——dia ingin membuatku menghadap ke depan.
Tapi kini, aku sudah mulai melangkah ke depan. Keinginannya telah terwujud.
"Mizuno-kun ... apa kau akan menghilang?"
Aku bertanya dengan suara bergetar penuh air mata. Dia yang tadinya memandang langit-langit, menoleh ke arahku dan tersenyum sendu.
"Kau tahu, enam tahun lalu, sesaat sebelum kematianku, aku meminta satu hal lagi pada gelang ini. Yang pertama memang agar kau kembali ceria, tapi yang satunya lagi ...."
"——Ya?"
"Jika keajaiban terjadi dan aku bisa selamat. Jika aku bisa hidup dan bertemu lagi denganmu. Semoga kami bisa menjadi dekat. ——Semoga perasaan kami bisa bersambut ...."
Aku tidak sanggup lagi menahan air mata yang mulai berlinang di mataku. Karena keinginannya itu telah terkabul. Mungkin dia mulai menyadarinya. Bahwa semua permohonannya tengah terwujud. Barangkali sejak saat kami bergandengan tangan di kereta cepat itu.
Dia ada di sini untuk mengabulkan permohonannya. Jika semua permohonan itu terkabul ....
"Aku yang masih kelas lima SD jatuh cinta padamu yang juga kelas lima SD. Dan aku yang kelas dua SMA pun langsung jatuh hati pada dirimu yang kelas dua SMA. Mata kecilku waktu itu tak salah. Bagaimanapun juga, kurasa aku ditakdirkan untuk selalu jatuh cinta padamu."
Aku teringat ucapan Mizuno-kun saat latihan perlombaan renang.
—"Seperti yang kuduga ... inilah yang ditakdirkan untukku."
Saat itu aku tak memahami maksudnya dan tak terlalu memikirkannya.
Siapa sangka aku baru mengerti makna terdalam itu di saat seperti ini.
"Yoshizaki. ... Aku menyukaimu. Sejak saat itu, enam tahun lalu, selalu."
Suaranya yang lembut. Aku terisak sambil mengusap air mata yang tak henti mengalir.
——Aku juga. Aku menyukaimu.
Dirimu yang selalu tersenyum polos.
Dirimu yang rela mengorbankan nyawa demi menyelamatkanku.
Dirimu yang selama ini diam-diam menjagaku.
——Tapi.
"Aku ... tak bisa ... mengatakannya ... Karena ... jika kuucapkan ... perasaanku ...."
Kau pasti langsung menghilang sekarang juga. Karena semua permohonan akan terkabul. Aku berkata terbata-bata di sela tangisan. Tapi, kau menggeleng.
"Sebenarnya, aku tidak boleh berada di sini. Aku hanya diberi kesempatan hidup kembali sejenak atas kehendak dewa di gelang pertemanan. ... Bagaimanapun juga, aku ditakdirkan menghilang. Bukan suatu saat nanti, tapi mungkin sebentar lagi. Lihat, tubuhku sudah mulai transparan seperti ini."
"Tidak ... mungkin ...."
"Karena itu, izinkan aku mendengarnya di saat terakhir. ... Perasaanmu."
Dalam pandangan mataku yang kabur oleh air mata, Mizuno-kun tersenyum lembut dan polos seperti biasanya. Meski ada kilau kesedihan yang terpancar di matanya.
Mizuno-kun akan menghilang. Padahal aku sudah kehilangan ayah dan ibu dalam kecelakaan itu. Ia juga telah tiada karena kecelakaan yang sama. Kalau tahu akan mengalami perasaan seperti ini, lebih baik tidak usah bertemu—tidak.
Itu sama sekali tidak benar. Mizuno mengajarkanku. Bahwa keberadaanku saat ini berkat kedua orang tua yang mencintaiku. Bahwa kenangan berharga yang telah dilalui tak akan pernah lenyap.
Benar. Segala yang Mizuno-kun berikan padaku tak akan pernah hilang. Dan dia akan terus hidup. Di dalam hatiku. Mizuno-kun telah meninggal di usia sebelas tahun. Seharusnya pertemuan ini pun tak pernah terjadi.
Jika bukan karena pertemuan ini, mungkin hingga kini aku masih menjalani hari-hari dengan lesu, ketakutan akan kehilangan. Meski sudah memahaminya, air mataku enggan berhenti. Tapi, aku telah memantapkan hati. Untuk mengungkapkan perasaanku pada Mizuno.
Tidak menyampaikannya adalah bentuk penghinaan kepadanya.
"Mizu ... no-kun ...."
"——Ya?"
"Aku ... menyukaimu ... Aku menyukai Mizuno Souta-kun .... Aku ... sangat menyukaimu ... selalu, selalu!"
Aku mengatakannya dengan berteriak di akhir sambil menatapnya. Mizuno-kun pun mengukir senyum yang semakin dalam. Dia menyentuh pipiku dengan lembut, seolah membelainya. Lalu kami perlahan mempertemukan bibir kami. Aku memejamkan mata. Bibir Mizuno terasa hangat, lembut—dan penuh kasih sayang.
Aku semakin jatuh cinta padanya.
Sesaat kemudian, angin kencang menerpa pipiku. Bersamaan dengan itu, sensasi membahagiakan di bibirku pun lenyap.
Ketika kubuka mata, sosoknya telah tiada. Di kolam renang indoor yang gelap itu, hanya ada aku seorang diri dengan cahaya bulan yang menerangi. Aku menggenggam erat gelang pertemanan ini, berjongkok di tempat itu, dan menangis keras.
Setelah itu, aku terus menangis sendirian untuk waktu yang begitu lama hingga kurasa air mata seumur hidupku mungkin telah terkuras habis.




Post a Comment