NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark
📣 IF YOU ARE NOT COMFORTABLE WITH THE ADS ON THIS WEB, YOU CAN JUST USE AD-BLOCK, NO NEED TO YAPPING ON DISCORD LIKE SOMEONE, SIMPLE. | JIKA KALIAN TIDAK NYAMAN DENGAN IKLAN YANG ADA DIDALAM WEB INI, KALIAN BISA MEMAKAI AD-BLOCK AJA, GAK USAH YAPPING DI DISCORD KAYAK SESEORANG, SIMPLE. ⚠️

Tatoe Mou Aenakutemo, Kimi no Ita Kiseki wo Wasurarenai V1 Chapter 13


Penerjemah: Ajang Aribterku

Proffreader: Ajang Aribterku


 Juni, Enam Tahun Lalu. Jika Keajaiban Dapat Terjadi


 Saat tersadar, aku telah terbaring di atas rerumputan. Masih teringat jelas bagaimana kereta shinkansen yang kutumpangi bersama kedua orang tuaku tiba-tiba berguncang hebat, meluncur turun dengan kecepatan mengerikan, lalu terjun ke bawah jembatan layang. Rupanya aku berhasil selamat karena secara ajaib terlempar ke hamparan rumput yang empuk di bawah jembatan layang.

 Kereta yang seharusnya kutumpangi tidak tampak di mana pun. Sepertinya aku tergelincir menjauh dari lokasi kecelakaan karena terlempar ke area miring. Tak ada sosok manusia di sekitar. Sungguh nyaris tak masuk akal, namun aku berhasil bertahan hidup dengan probabilitas yang begitu tipis.

 Tapi melihat situasinya, kemungkinan kedua orang tuaku selamat sangatlah kecil. Mungkin penumpang lainnya juga—termasuk gadis yang membuatku jatuh cinta di kolam renang hotel Osaka itu. Kenyataan yang begitu kejam ini membuat pandanganku menggelap. Bersamaan dengan itu, rasa nyeri yang teramat sangat menyerang pergelangan tangan kiriku.

 Dengan gemetar kuangkat lenganku dan kulihat darah mengucur tanpa henti dari pergelangan tangan. Sepertinya pembuluh darah vital telah terputus. Aku berusaha keras mengingat prosedur pertolongan pertama yang pernah diajarkan ayahku yang seorang dokter bedah. Kemudian kukeluarkan sapu tangan dari saku, mengikatnya sekuat mungkin di lengan untuk menghentikan pendarahan.

 ——Meski tidak terlalu rapi karena kulakukan dengan satu tangan.

 ——Saat itulah.

 "To ... tolong!"

 Terdengar suara seorang gadis dari kejauhan. Aku tersentak, bangkit berdiri, lalu berlari ke arah suara itu. Meski terhuyung-huyung akibat kehilangan darah, aku memaksakan diri dan berhasil mencapai sumber suara tersebut. Pemilik suara itu—adalah dia. Gadis yang pertama kali memberi getaran manis dalam hidupku. Sosok dirinya yang berenang anggun bagai putri duyung di kolam tak bisa kulupakan—saat itulah aku pertama kali mengenal cinta.

 Sepertinya dia terjebak dan tidak bisa bergerak karena kakinya terhimpit potongan besi yang sepertinya adalah bagian dari gerbong kereta. Situasi yang tidak bagus. Ayah pernah berkata bahwa jika tubuh tertekan terlalu lama, sirkulasi darah akan terganggu dan ada kemungkinan harus diamputasi. Dengan segenap tenaga yang tersisa, aku menendang besi yang menindih tubuh dirinya. Usahaku berhasil, besi itu terangkat dari tubuhnya.

 "Kau baik-baik saja?"

 Kuraih tangannya yang terkulai lemah, membantunya duduk. Kaki yang tertindih tadi masih bisa digerakkan. Syukurlah. Meski ada luka gores di berbagai tempat, sepertinya tidak ada cedera serius. Sungguh sebuah keajaiban mengingat situasi tadi.

 Ia terduduk lemas setelah berhasil bangkit. Aku duduk di sampingnya—atau lebih tepatnya, tak sanggup lagi berdiri karena pendarahan yang semakin parah. Situasi mulai gawat.

 "Ayah dan ibu ... di mana?"

 Dengan tatapan kosong, dia bergumam seperti mengigau.

 Kedua orang tuanya pasti ikut jatuh bersama kereta ke bawah jembatan layang. Ke tempat yang tidak dilapisi rumput empuk.

 ——Mungkin, mereka sudah ....

 Tapi kalau kuberitahu kenyataannya sekarang, dia bisa kehilangan harapan untuk hidup. Tempat ini pun jauh dari lokasi kecelakaan. Entah kapan pertolongan akan datang. Dia harus bertahan sampai bantuan tiba.

 "——Aku tidak tahu pasti. Tapi kurasa mereka ada di suatu tempat."

 Aku memberi jawaban yang ambigu. Dia terdiam cukup lama. Lalu dengan bibir bergetar, dia berkata.

 "Aku takut ... Ini di mana? Ayah, ibu ...."

 Tubuhnya gemetar hebat di sampingku. Sepertinya dia masih syok akibat kecelakaan. Wajar saja, mengingat kecelakaan kereta shinkansen yang tiba-tiba dan mengejutkan ini.

 ——Mungkin aku bisa tetap tenang karena mewarisi gen ayahku yang seorang dokter bedah, yang sering berhadapan dengan kematian.

 "——Tidak apa-apa."

 Dengan tanganku yang tidak terluka, kugenggam lembut tangannya. Meski sepertinya kami sebaya, tangannya jauh lebih mungil dariku, mengejutkan betapa hangat dan lembutnya. Dia tampak mulai tenang, getaran tubuhnya mereda. Lalu dia memejamkan mata. Tidak lama kemudian terdengar napas teratur khas orang tertidur. Mungkin dia kelelahan, baik secara mental maupun fisik. Syukurlah dia bisa cukup tenang untuk tertidur.

 ——Namun.

 Aku mencapai batas. Upaya menghentikan pendarahan tadi sepertinya tak banyak membantu. Di sudut pandanganku yang mulai kabur, tampak gelang yang kupungut di stasiun Shin-Osaka. Gelang yang dijatuhkan gadis yang kini ada di sampingku ini. Aku berniat mengembalikannya, tapi belum sempat. Gelang yang tadinya dianyam dengan indah kini hancur berantakan dan berlumuran darahku. Dalam keadaan begini, tak mungkin bisa kukembalikan.

 Aku pernah dengar bahwa gelang persahabatan dipakai sambil membuat permohonan, permohonan itu akan terkabul saat talinya putus. Tali gelangnya masih belum putus. Dengan kesadaran yang mulai kabur, aku memanjatkan permohonan pada gelang berhiaskan manik-manik biru itu.

 ——Semoga gadis ini selamat. Meski kehilangan orang tua, semoga dia bisa tetap ceria dan bahagia. Dan jika keajaiban terjadi, jika aku bisa selamat. Jika aku bisa hidup dan bertemu dengannya lagi.

 Semoga kami bisa berteman baik—dan saling mencintai.

 Tepat setelah memanjatkan permohonan itu, seluruh tubuhku melemas dan pandanganku menggelap. Samar-samar aku berpikir, ahh, aku akan mati. Sesaat sebelum itu, ketika seluruh tenagaku habis dan lenganku bergetar—tali gelang itu sepertinya putus.


Previous Chapter | ToC 

0

Post a Comment

close