-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Gimai Seikatsu Volume 3 Chapter 4

Chapter 4 - 25 Agustus (Selasa)


Setelah bangun, aku tetap di tempat tidur, merenungkan sesuatu. Apa aku melakukan kesalahan kemarin?

"Ah, mungkin aku mengacaukannya."

Suara yang kukeluarkan ke langit-langit kamarku tidak mencapai telinga siapa pun dan kembali ke diriku lagi. Aku menoleh ke samping dan memeriksa waktu. Sudah siang, tapi aku masih mengantuk. Karena semua yang telah terjadi kemarin dan diriku sendiri yang memikirkannya sepanjang malam, aku tidak bisa tidur nyenyak. Bagaimana aku bisa mematahkan sifat keras kepalanya Ayase-san? Bagaimanapun juga, mentalitas Ayase-san terasa tajam dan kokoh di saat yang bersamaan. Namun tetap saja rapuh.

Setelah tinggal bersama Ayase-san selama dua bulan terakhir, setidaknya aku belajar banyak tentang dia. Terlebih lagi karena kami telah bekerja bersama setiap hari di pekerjaan paruh waktu kami. Kalau aku harus menebak, proses berpikir Ayase-san mungkin berjalan seperti ini.

Menjadi seorang anak berarti kau mendapatkan hal-hal yang diberikan kepadamu secara gratis. Pada dasarnya, kau lebih banyak menerima daripada memberi. Ketika dia masih kecil, dia normal seperti anak lain, meminta es krim kepada ibunya atau dia akan membawanya ke kolam renang. Dia selalu meminta hal itu. Tentu saja, itu masuk akal dan begitulah seharusnya. Namun, Ayase-san tidak merasa seperti itu. Itulah yang sangat penting tentang ini.

Karena keadaan keluarganya, Ayase-san menghentikan hari-hari kekanak-kanakannya di awal tahun-tahun sekolah dasar. Dia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi anak-anak lagi. Dunia bekerja pada hubungan memberi & menerima, tetapi dia memilih untuk hidup lebih banyak di ujung keadaan memberi. Ini mungkin caranya sendiri untuk menebus hari-harinya sebagai seorang anak ketika dia hidup dipihak menerima, di bawah kesan yang salah bahwa dia telah menyusahkan ibunya dengan itu.

Dia ingin tumbuh secepat mungkin dan meringankan beban ibunya. Diberi sesuatu secara gratis mungkin mengingatkannya akan masa lalunya yang kelam ketika dia masih kecil. Dia akan berpikir bahwa begitu dia sedikit egois, dia hanya akan menambah beban ibunya. Lagipula, Akiko-san sendiri yang memberitahuku sebaliknya.

'Aku ingin dia menjadi anak lebih egois.'

Aku merasa dadaku bertambah berat hanya dengan memikirkan hal ini. Meskipun mereka berdua peduli satu sama lain, mereka menginginkan hal yang salah. Sang ibu ingin putrinya menjadi lebih egois (anak kecil), sedangkan anak ingin menjadi dewasa secepat mungkin. Membuat kedua belah pihak bahagia itu tidak mungkin. Mereka saling bertentangan. Bahkan penyesuaian tidak berhasil. Bagaimanapun juga, Ayase-san masih anak-anak.

Mungkin Ayase-san saat ini mungkin bisa berdamai dengan Akiko-san jika mereka membicarakannya dan mencoba menyesuaikan diri satu sama lain. Namun, Ayase-san mengabaikan semua itu. Dia mencoba memikul bebannya sendiri sedini mungkin, yang mengakibatkan proses pemikiran mencela diri sendiri yang bengkok ini. Itu sebabnya dia tidak bisa tenang, tidak bisa bermain-main dengan hati yang polos. Dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri atas keinginan jujurnya untuk pergi ke kolam renang.

'Aku tidak punya waktu untuk pergi ke kolam renang.'

Ekspresi Ayase-san tetap datar seperti biasanya saat dia mengucapkan kata-kata itu. Tapi, suaranya terdengar seperti sedang berakting. Tapi akulah yang bersalah karena tidak bisa mengatakan apa-apa. Jika aku adalah semacam protagonis dari sebuah cerita dan memilih urutan kejadian yang lebih dramatis untuk mencoba membujuk Ayase-san, mungkin dia akan mengubah proses pemikirannya tentang ini…

Tidak, itu tidak benar. Seharusnya aku tidak lari dari kenyataan seperti ini. Kalau aku ingin menyelamatkannya, maka aku harus membuat rencana yang lebih kuat. Saat aku memikirkan itu, alarmku berbunyi. Ini benar-benar saatnya bagiku untuk bangun. Jadi, setelah mematikan alarm, aku perlahan-lahan bangkit dari tempat tidur.

Aku berdiri di ruang tamu, bertanya-tanya apa yang harus dibuat. Apa yang harus kumakan? Atau haruskah aku menunggu sampai jam makan siang tiba? Biasanya, Ayase-san akan bangun untuk membuat sarapan bahkan sebelum ayahku berangkat kerja. Tapi, sepertinya dia masih tidur. Buktinya adalah meja makan. Lagipula, kita tidak bisa selalu mengandalkan Ayase-san untuk membuatkan sarapan untuk kita. Bahkan saat kami berada di masa ujian akhir semester, baik ayahku dan Akiko-san tidak membiarkan Ayase-san membuat sarapan.

Lagipula, untuk perutku sendiri, aku lapar. Mungkin aku harus memanggang roti. Tepat ketika aku sedang mempertimbangkan apa yang harus dilakukan, pintu ruang tamu terbuka.

"…Ah."

"Selamat pagi, Ayase-san."

"…Pagi."

Dia terlihat sangat mengantuk. Kelopak matanya bahkan tidak terlihat terbuka sepenuhnya. Bahkan suasana bermartabat yang biasa dia pertahankan di rumah telah menghilang di tempat lain. Dia bahkan mengenakan pakaiannya tidak rapi seperti biasanya. Kekuatan serangan dan pertahanannya telah turun drastis.

"Apa kau tidak bisa tidur?"

"Yah, sedikit.… setelah jam 6 pagi."

Aku tidak berpikir kau benar-benar bisa menyebutnya 'tidur'. Pasti sudah terang di luar pada saat itu.

"Kau bisa tidur lagi. Lagipula, kita tidak punya pekerjaan sampai malam."

"Tidak, aku baik-baik saja. … Jam berapa sekarang?" katanya, memutar kepalanya untuk melihat jam di dinding.

Matanya tampak mengantuk, tetapi tiba-tiba terbuka lebar karena terkejut.

"Eh…? Sudah siang…?" Mengatakan ini, dia melihat ke meja makan.

Secara alami, tidak ada apa-apa di sana.

"Astaga, apa dia sudah makan?"

"Jangan khawatir, sepertinya dia sudah makan roti."

Piring dengan remah roti di atasnya ada di wastafel, meskipun sepertinya dia tidak punya waktu untuk memasukkannya ke dalam mesin pencuci piring. Setidaknya dia menyimpan mentega atau selai atau apa pun yang dia gunakan kembali ke lemari es. Nah, sebelum Ayase-san dan Akiko-san datang untuk tinggal di sini, sarapan kami biasanya seperti ini. Jadi, tidak ada alasan bagi Ayase-san untuk merasa bersalah.

Aku mencoba meyakinkan Ayase-san, tapi dia sepertinya tidak mendengar apa yang aku katakan. Dia menggigit bibirnya dengan frustrasi atas kesalahannya sendiri.

"Ini pertama kalinya aku ketiduran seperti ini."

"Mungkin kau kelelahan? Lebih baik kau banyak istirahat, tidak apa-apa."

"Itu… aku benar-benar minta maaf! Kamu belum makan apa-apa, kan? Aku akan segera membuatkan sesuatu."

Huh, dia tidak mau mendengarkanku, ya? Selain itu, dia memiliki kantong mata dibawah matanya karena kurang tidur.

“Ayase-san!" Aku memanggilnya dengan suara yang kuat.

"I-Iya ...?"

"Aku ingin kau mendengarkanku tanpa melarikan diri."

"Eh… um, ada apa?"

"Dengarkan. Saat kau pertama kali pindah ke sini, apa kau masih ingat apa yang kau katakan kepadaku?"

Dia mengeluarkan suara terkejut. Kurasa dia masih ingat.

".... Itu benar-benar membantu kita bisa 'menyesuaikan' diri dengan mudah..?"

Aku mengangguk. Itu benar. Itu adalah pertama kalinya kami menunjukkan kartu kami satu sama lain. Kami bertukar informasi dan memutuskan untuk menyesuaikan keinginan dan kemauan masing-masing. Itu sebabnya aku terus berbicara.

"Saat ini, kau benar-benar kurang tidur, Ayase-san. Kau bisa menyangkalnya, membuat argumen denganku. Tapi, lihat saja dirimu di cermin. Aku tidak ingin kau membuat makanan dalam keadaan seperti itu. Aku khawatir kau benar-benar akan menyakiti diri sendiri. Lebih baik kau duduk saja dikursi, biar aku saja yang membuat makanan untukmu. Itu yang ingin kukatakan."

"Ugh... Tapi, aku bilang aku yang akan membuat makanannya."

"Prinsip adalah prinsip. Kau harus menyesuaikan diri dengan situasimu saat ini. Hari ini, tujuanmu bukan untuk membuat makanan. Tapi, mendapatkan istirahat yang cukup."

"T-Tapi…"

"Aku biasanya juga tidak akan mengatakan ini padamu, Ayase-san. Kau sendiri yang mengatakannya, kan? Kau belum pernah ketiduran seperti ini sebelumnya, kan?”

"…. Mnm."

"Jadi, ini adalah situasi yang tidak teratur. Kau tidak perlu memaksakan diri untuk melakukan hal yang sama seperti biasanya. Ayo, duduk saja. Oh, kau juga bisa kembali ke kamarmu dan tidur lagi." kataku. Aku menarik kursi yang selalu diduduki Ayase-san.

Lantai mengeluarkan suara melengking samar sebagai tanggapan.

"Aku cuma kurang tidur ..."

"Aku tahu. Tapi, Ayase-san yang kurang tidur berhak duduk di kursi ini, jadi ayolah."

"…Baik." Ayase-san sepertinya sudah pasrah. Dia duduk di kursi.

Ini mungkin pertama kalinya aku melihat Ayase-san bertingkah lemah seperti ini. Tapi yang lebih penting lagi...

"Apa kau ingin sepotong roti panggang?"

Dia menjawab dengan anggukan. Jadi, aku mengambil satu potong roti untuknya dan satu untukku dan memasukkannya ke dalam pemanggang roti. Aku juga mengeluarkan mentega dan selai dari kulkas dan meletakkannya di depan Ayase-san. Bersama dengan pisau mentega dan sendok, tentu saja. Aku juga melihat beberapa sisa daging dan mengeluarkannya dari lemari es juga.


"Apa kau ingin aku menggoreng dagingnya? Aku merasa kau selalu melakukan itu."

"Aku suka seperti itu, ya."

"Kau juga suka yang agak renyah, kan?"

".... Mnm."

"Aku mengerti ..."

Karena kami sudah sepakat, aku mengeluarkan wajan, menaruh sedikit minyak di dalamnya dan menyalakan api untuk membakar daging dengan lembut. Suara mendesis terdengar dan itu membuatku merasa semakin lapar. Kenapa suara penggorengan yang mendesis membuatmu merasa seperti itu? Aku meletakkan roti cokelat keemasan di atas piring dan membawanya ke meja makan. Aku melakukan hal yang sama dengan daging yang sudah matang, yang sedikit gosong di sudut-sudutnya, tambahkan sedikit lada hitam di atasnya. Inilah yang selalu dilakukan Ayase-san. Eh? Apakah dia melakukan ini sebelum memanggangnya? Aku tidak tahu. Saat itu sesuatu yang lain muncul di benakku dan aku membuka lemari es. Kami masih punya sisa susu.

"Apa kau ingin susu panas?"

"Susu panas dalam cuaca panas ini ...?"

"AC-nya, kan sudah diperbaiki. Jadi, cukup sejuk di ruangan ini, kan? Kalau kau mau tidur siang lagi, minum sesuatu yang hangat membantumu lebih baik." kataku dan Ayase-san tetap diam sebagai tanggapan.

"Tunggu sebentar, aku akan mengambilnya dulu. Ini dia."

Aku menuangkan susu ke dalam cangkir, menghangatkannya di microwave dan meletakkannya di depannya. Aku membuat teh jelai untuk diriku sendiri dan meletakkannya di depanku. Aku menyatukan tanganku.

"Kalau begitu, ayo makan. Menambahkan beberapa sayuran mungkin lebih enak."

"Ini sudah lebih dari cukup… Ittadakimasu." Ayase-san bergumam. Dia mengoleskan mentega ke rotinya dan daging di atasnya, menggigitnya.

Aku melakukan hal yang sama. Untuk sementara, kami berdua melanjutkan makan, tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, sepotong roti itu dimakan dengan cukup cepat. Jadi, Ayase-san selanjutnya fokus pada cangkir susu panasnya. Aku melihat cangkirku sendiri yang kosong dan mempertimbangkan untuk mengambil yang lain. Sementara aku memikirkan itu, desahan keluar dari bibir Ayase-san. Dia meletakkan cangkir, yang membuat denting pelan.

"Aku sudah memikirkannya ..." katanya dan menyesap susu panasnya lagi, hampir seperti itu adalah hal khusus yang dia butuhkan untuk mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara.

"…Aku tidak keberatan pergi ke kolam renang." Saat aku ingin menuangkan segelas teh barley lagi, tanganku terhenti di tengah jalan karena mendengar perkataan Ayase-san.

Sedikit terkejut, aku menoleh ke arah Ayase-san lagi.

"Kau tiba-tiba ingin pergi?"

"Semalam, sebelum tidur. Aku terus memikirkannya."

"Sampai jam 6 pagi?"

"Iya, sampai jam 6 pagi."

"Dan, sekarang kau ingin pergi?"

Ayase-san mengangguk.

"Ketika aku bangun pagi ini… kupikir mungkin tidak akan sakit. Tapi, aku benar-benar tidak bisa mengatakannya."

Saat aku mendengarkan Ayase-san, aku merasakan semua kekuatan menghilang dari tubuhku. Aku hampir berubah menjadi ubur-ubur di kursiku. Lagipula aku tidak membutuhkan perkembangan yang dramatis. Pada akhirnya, Ayase-san terus memikirkannya dan berubah pikiran. Itu saja.

Kurasa ... ini hanya jauh lebih realistis. Setidaknya itu masuk akal bagiku. Apa yang kau butuhkan pada kenyataannya bukanlah seorang pria yang akan memindahkan gunung, tetapi hanya acara kecil seperti itu. Aku membaca di sebuah buku sebelumnya bahwa pemicu terkecil dapat mengubah proses berpikir mendasar seseorang.

"Tapi, ada satu masalah."

Huh?

"Dan itu adalah masalah yang sangat krusial yang juga melibatkanmu, Asamura-kun."

"Kau tidak bisa berenang? Kurasa aku tidak cukup baik untuk mengajarimu."

"Bukan itu, aku bisa berenang, oke?"

"O-oh~"

Aku setengah berharap itu bukan alasannya. Pada kenyataannya, masalah sebenarnya jauh lebih serius daripada yang kuperkirakan dan pasti melibatkanku.

"Aku tidak berencana pergi ke kolam renang hari itu, aku punya shift kerja. Kupikir kamu juga sama, Asamura-kun."

"Emang, rencananya mau pergi kapan?"

"Lusa, tanggal 27."

"Wah… serius?"

"Yup, serius."

Pada tanggal 26, besok kami libur dan shift kami berikutnya adalah pada tanggal 27. Itu agak merepotkan. Tepat ketika aku membuat Ayase-san setuju, kita bahkan tidak bisa pergi ke kolam renang sejak awal. Setelah aku merenungkannya sebentar, aku mengajukan kepada Ayase-san beberapa cara untuk mengatasi masalah ini.

"Karena kau benar-benar ingin pergi, ayo lakukan sesuatu."

"Hmm, maksudmu?"

"Ern, kita hanya perlu meminta perubahan shift, sederhana, kan?" Aku berkata dengan cara yang seharusnya membuatku terdengar percaya diri.

* * *

Cuaca hari ini sedikit lebih sejuk dari biasanya. Di mana panas yang mendidih dan mendesis mulai sedikit mendingin. Lebih tepatnya, ini adalah hal biasa pada jam 4 sore di Shibuya. Bau terbakar melayang ke atas dari aspal dan Ayase-san dan aku berjalan bersebelahan saat kami menuju tempat kerja. Kami memutuskan untuk berangkat kerja lebih awal sehingga kami bisa meminta pergantian shift kepada manajer.

Aku menyebutkan ini sebelumnya, tetapi ketika kami bepergian bersama, kami harus menyesuaikan satu sama lain baik dengan sepeda atau dengan berjalan kaki. Tentu saja, baik Ayase-san maupun diriku tidak senang menunjukkan pertimbangan seperti itu. Tapi, sekarang kami punya alasan yang tepat untuk itu. Meskipun aku tidak pernah berharap bahwa kami akan pergi bekerja bersama karena alasan seperti itu.

"Ini semakin mendung, ya? Untunglah." Ayase-san melihat ke langit saat dia bergumam pada dirinya sendiri.

Seperti yang dia katakan, setengah dari langit tertutup awan. Lagipula, masih ada langit biru yang terlihat. Jadi, belum menjadi lebih gelap, tapi setidaknya sedikit mendingin. Berkat itu, ini sedikit lebih nyaman saat berada di luar. Setelah Ayase-san melihat ke langit sambil menutupi setengah wajahnya dengan tangannya, dia menyesuaikan tas yang ada di bahunya. Itu adalah tas yang cukup besar, tapi itu berisi seragam yang dia bawa pulang setiap hari.

Hari ini, Ayase-san memberikan kesan yang berbeda dari biasanya. Dia mengenakan atasan berwarna cerah, memiliki kerah dan tidak menunjukkan banyak kulit sama sekali. Dia juga memakai sesuatu seperti pita kecil. Hal ini membuat Ayase-san tidak terlalu mencolok. Perhatikan sopan santunmu saat mencoba negosiasi. Mungkin yang kukatakan sebelumnya adalah alasan dia memakai pakaian ini.

Yah, dia memang memberi kesan bahwa dia bisa diandalkan dan pekerja keras. Namun, dia masih memasang anting di telinganya, hampir seperti itu adalah sengat lebah madu, memperingatkan siapa saja yang berani menyerang, yang juga sangat mirip dengan Ayase-san. Juga, aku merasa pakaiannya akan menjadi sangat panas sekarang.

"Pakaian itu sangat cocok denganmu, Ayase-san. Tapi, kau tidak akan terkena serangan panas, kan?"

"Cuaca semakin sejuk, jadi aku baik-baik saja."

"Apa kau cukup tidur?"

"Tentu saja. Dua jam penuh."

Aku merasa itu masih belum cukup, tetapi menekan masalah itu lebih jauh tidak akan memberikan manfaat sama sekali dan itu akan membuatnya tampak seperti diriku memperlakukan Ayase-san seperti anak kecil. Aku tidak ingin dia kembali menjadi anak-anak dengan cara apa pun. Saat aku memikirkan itu, percakapan kami berakhir dan tidak ada lagi yang benar-benar perlu dibicarakan, jadi kami berdua berjalan berdampingan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Dengan kebisingan disekitar dari mobil yang terjebak macet dan truk-truk yang berkeliling kota memutar iklan dengan volume yang cukup keras untuk mengganggu lingkungan sekitar, aku sekali lagi menyadari bahwa ini memang Shibuya. Hampir seperti Ayase-san menunggu perubahan suasana, dia tiba-tiba angkat bicara.

"Maaf soal kemarin."

"Tentang keseluruhan kolam renang?"

"Itu juga. Tapi, ada satu hal lagi. Saat kamu kebetulan berangkat kerja dengan Yomiuri-senpai, aku mungkin mengatakan sesuatu yang kasar."

"Ah…"

Percakapan itu terasa agak aneh, ya. Dia menyebutkan bahwa, sebagai sebuah keluarga, dia dapat diyakinkan jika aku sedekat itu dengan Yomiuri-senpai dan meskipun orang tersebut menertawakannya sebagai lelucon, aku memang merasa ini bukan gaya Ayase-san yang biasa. Ketika seorang pria dan wanita berjalan-jalan di luar bersama, mereka biasanya dianggap sebagai pasangan. Stereotip semacam ini mungkin muncul di pikiranmu. Tapi, sebenarnya bukan sesuatu untuk diarahkan pada orang lain, yang mungkin merupakan pemikirannya.

"Itu bertentangan dengan janji kita untuk menyembunyikan perasaan ini, kan? Tidak apa-apa, aku bisa merahasiakannya, pasti." Ayase-san hampir terdengar seperti yang dia katakan pada dirinya sendiri, dan melanjutkan dengan nada gelisah. "Jika ada, aku ingin kamu jujur padaku kalau kalian berkencan."

"Kenapa kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu?"

"Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu ..."

Kupikir itu terdengar aneh. Seperti dia memahami sesuatu. Tapi, tidak bisa menjawab. Pertama dia menyelidiki hubunganku dengan Yomiuri-senpai dan sekarang dia bahkan tidak menatap mataku. Kedua hal ini terasa sangat dalam artinya sampai membuat jantungku berdetak lebih keras seolah-olah aku mengharapkan sesuatu.

Mengharapkan sesuatu? Tahan di situ, Asamura Yuuta.

Aku memaksa hatiku yang akan melompat ke depan untuk tenang dan dengan hati-hati menunggu apa yang akan dikatakan Ayase-san selanjutnya.

"Setelah bekerja sama dengannya, aku menyadari kalau dia sangat baik."

"Ya, kau benar."

"Dia baik, perhatian dan cantik. Dia pintar dan tahu segalanya dan kamu bahkan tidak akan bosan berbicara dengannya karena humornya yang unik."

"Meskipun dia sedikit pemalas. Dan kau tidak bisa melupakan lelucon kotornya."

"Itu bukan kekurangan, kamu bisa menyebutnya pesona, oke? …Yah, mungkin aku hanya belum terlalu akrab dengannya. Lagipula, kamu sudah bekerja dengannya lebih lama dibandingkan denganku. Kenapa aku membuat presentasi tentang Yomiuri-san?" Ayase-san membuat senyum masam.

Aku ingin menanyakan hal yang sama. Apa yang dia coba katakan?

"Aku hanya berpikir bahwa dia tidak akan terlalu buruk sebagai 'Kakak perempuan', kau tahu. Aku seharusnya tidak mengatakan sesuatu yang akan membatasi kebebasanmu. Aku minta maaf." Ayase-san menjelaskan reaksi anehnya dari kemarin.

Sepertinya dia sudah menyiapkan catatan sebelumnya dengan isi apa yang ingin dia bicarakan dan baru saja membacanya kata demi kata dari memori di dalam otaknya. Hei, apakah itu perasaanmu yang sebenarnya? Keraguan memenuhi pikiranku, tapi aku mengabaikannya. Dia mengatakan bahwa dia akan menjelaskan dengan tepat perasaan tidak yakin dan kabur yang dia miliki dan telah mengungkapkan. Kalau aku meragukan bagian mana pun dari itu dan berasumsi bahwa ada kebohongan yang tercampur di sana, itu akan menghancurkan seluruh premis hubungan kami. Jadi benar-benar satu-satunya tanggapanku yang layak adalah mengangguk.

"Oke, tidak apa-apa. Tidak perlu meminta maaf lagi."

"Iya ..."

Cukup. Kita akan melupakan kejadian ini dan membiarkan rumput tumbuh di atasnya. Ini adalah hubungan kami, hubungan yang paling nyaman bagi Ayase-san dan aku. Namun, untuk beberapa alasan yang tidak bisa kujelaskan, rasanya seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokanku, meninggalkan rasa pahit dan perasaan tidak nyaman yang tidak bisa kujelaskan.

Saat kami mendekati stasiun kereta, jumlah orang di sekitar kami bertambah. Meskipun ini bahkan belum waktunya bagi karyawan kantoran untuk keluar dari pekerjaan, ada laki-laki yang memakai dasi dan jas dan suara sepatu hak tinggi di mana-mana. Bahkan ada beberapa siswa yang bercampur dalam keramaian tersebut. Aku menyadari sesuatu ketika aku menghentikan sepedaku di tempat parkir. Aku mendecakkan lidahku dan Ayase-san menatapku dengan kaget.

"Ada apa?"

"Nee, Ayase-san."

"Apa?"

"Kalau kita pulang bersama juga, kenapa aku malah membawa sepedaku?"

Tidak bisakah aku meninggalkannya di rumah jika kami pergi bekerja dan pulang kerja bersama?

"Eh?" Ayase-san menatapku seolah aku baru saja mengatakan sesuatu yang aneh. "Karena kamu punya alasan dibalik itu, kan?"

"Tidak, tidak ada sama sekali. Itu cuma kebiasaanku."

"Y-yah, itu terjadi dari waktu ke waktu… Pfft."

"Kebiasaan adalah hal yang menakutkan, ya?"

"Aku akan membiarkannya begitu saja."

Matanya tersenyum. Dia mengolok-olok kesalahanku. Yah… akhir-akhir ini, dia selalu sedikit tegang. Jadi, aku lebih suka dia tersenyum dengan mengorbankanku daripada tidak sama sekali. Btw, aku memarkiran sepedaku di tempat parkir, berjalan kembali ke tempat Ayase-san menungguku dan memasuki area karyawan. Di sana, kami bertemu dengan senior kami dan bertanya di mana Manajer berada. Ketika kami membuka pintu kantor, manajer toko sedang duduk di sisi jendela ruangan, di sejumlah meja yang membentuk sebuah pulau. [TN: Tersenyum dengan mata yang disebut dengan "Senyuman Duchenne" atau "Smizing," adalah jenis senyuman yang paling tulus. Saat kau menggunakan mata dan bukan hanya sekadar mulut, maka senyuman itu memiliki kekuatan untuk membuat orang lain terpesona]

"Oh… Asamura-kun dan Asamura-san… Ah, tidak, Ayase-san, kan? Halo, kalian berdua."

Aku tidak bisa menyalahkan dia karena menyebut nama yang salah. Di daftar keluarga kami dan di atas kertas, nama asli Ayase-san sekarang adalah Asamura Saki. Orang tua kami tidak menikah secara hukum, tetapi hanya memasukkan nama mereka di daftar keluarga, itulah sebabnya seluruh keluarga kami adalah Asamura sekarang. Namun, di sekolah atau di tempat kerja, di mana kenyamanan menuntutnya, Ayase-san menggunakan nama lamanya. Ini juga tidak seperti keluarga kami adalah sesuatu yang istimewa. Dengan pernikahan baru-baru ini, daftar nama, nama keluarga dan bahkan akun email orang dewasa yang digunakan tetap sama demi kenyamanan atau begitulah yang kudengar.

Bagi Ayase-san, pekerjaan ini adalah tempat dengan hubungan baru untuk dibentuk. Jadi, dia mempertimbangkan untuk menyebut dirinya 'Asamura Saki,' tapi dia tampaknya tidak ingin menerima perlakuan khusus apa pun karena dia adalah adik perempuanku atau semacamnya. Pada akhirnya, dia mulai bekerja dengan namanya tetap 'Ayase.' Karena aku selalu memanggilnya 'Ayase-san,' tidak ada karyawan lain yang mengetahuinya.

"Selamat sore, Manajer toko. Bolehkah saya minta waktu sibuk Anda sebentar.."

"Hm?"

Menyadari bahwa kami tidak mengakhiri percakapan hanya dengan salam, manajer toko mengangkat kepalanya. Meskipun usianya sekitar tiga puluhan, namun dia berhasil menjadi manajer toko, yang menunjukkan keahliannya yang tersembunyi di balik kebaikannya.

"Ada apa?"

"Maafkan saya tiba-tiba membicarakan ini… Kami berdua, Ayase-san dan saya, memiliki hari libur besok tanggal 26 dan memiliki shift kerja lusa pada tanggal 27, tapi kami bertanya-tanya apakah kami bisa menggantinya."

“Ganti shift…? Kenapa? Apakah terjadi sesuatu?”

“Um.”

Jika kami datang dengan kebohongan setengah matang, itu hanya akan mempertaruhkan segalanya dan aku benar-benar tidak ingin kehilangan pekerjaan ini. Yang penting adalah kami tidak berbohong. Tapi, kami juga tidak ingin menjelaskan apa pun yang tidak diperlukan. Itu sebabnya aku mengatakan yang berikut ini.

"Seorang teman tiba-tiba mengundang kami ke suatu tempat."

Manajer toko tahu bahwa Ayase-san dan aku bersekolah di sekolah yang sama. Itu sebabnya kami mengatakan kepadanya bahwa seorang teman sekolah mengundang kami. Narasaka-san mungkin lebih dekat dengan Ayase-san, tapi dia juga memperlakukanku seperti teman atau itulah perasaan yang setidaknya aku dapatkan dari interaksi kami. Ayase-san melanjutkan.

"Kemarin, dia kembali dari perjalanan."

Itu juga bukan kebohongan. Narasaka-san baru saja kembali dari perjalanan kemarin. Itu juga menjelaskan alasan mengapa dia tidak mencoba menghubungiku sampai sekarang. Masuk akal. Dia tidak akan menghubungi pria acak sepertiku saat dia keluar menikmati liburannya. Tapi dia memang memberitahu Ayase-san tentang itu. Namun, fakta bahwa itu 'tiba-tiba' tidak sepenuhnya benar. Ayase-san sudah tahu tentang ini untuk sementara waktu, tapi aku tidak. Itu sebabnya aku menyebutkan itu, sedangkan Ayase-san mengomentari keseluruhan perjalanan.

Bahkan tanpa berbohong, kau dapat menyembunyikan kebenaran dengan cara tertentu. Meskipun rasanya tidak nyaman menggunakan metode negosiasi semacam ini. Di sinilah hal-hal penting, jadi kita harus mengerahkan semua yang kita miliki.

"Saya tahu kita berdua egois. Tapi, apakah ada kemungkinan kita bisa berganti shift?" Aku membungkuk dalam-dalam dan Ayase-san mengikutinya.

"Hmm, beri aku waktu sebentar." Kata manajer toko, mengetik di komputernya.

Dia pasti sedang melihat jadwal shift sekarang.

“Kalian berdua, ya…?”

Saat dia memberitahu hal itu, aku melirik ekspresi Ayase-san, penuh dengan kekhawatiran. Nah, bagaimana keadaannya mulai dari sini? Jika dia menolak permintaan kita, maka kita harus memikirkan sesuatu yang lain. Tentu saja, kita tidak bisa begitu saja tidak setuju atau bolos kerja. Tapi, aku juga tidak ingin memaksakan negosiasi dan merusak hubungan baik yang kita miliki.

"Tanggal 27 adalah hari Kamis, kan?" Kata manajer toko. Dia mengangkat telepon dan menelepon seseorang.

Pasti ada anggota staf lain yang menjadi kandidat untuk menukar shift mereka dengan kami. Setelah bertukar beberapa kata, dia menutup telepon. Itu terjadi dua kali.

“Seharusnya baik-baik saja. Kedua orang yang bekerja besok adalah veteran yang tidak memiliki masalah dengan pergantian shift. Jadi, jika hanya berganti shift itu bisa dilakukan."

"Benarkah!?"

"Ya." Manajer toko melanjutkan sambil tersenyum. "Jadi karena itu, aku berharap kalian lebih semangat saat bekerja besok"

Itu adalah contoh sempurna dari permen dan cambuk. Yah, tidak mungkin seorang siswa sekolah menengah bisa menang melawan orang dewasa. Mungkin dia langsung melihat alasan kami. Namun, itu tidak masalah selama kita pergi ke kolam renang pada hari itu. Itu sudah cukup sukses bagi kami. Untuk saat ini, kami berterima kasih kepada manajer toko.

"Ya, kami akan melakukan yang terbaik!"

"Y-ya, tentu saja!"

Kami berdua menundukkan kepala dalam-dalam dan melangkah keluar dari kantor. Setelah kami menutup pintu, Ayase-san menghela nafas.

"Syukurlah."

"Senang semuanya berhasil, kan?"

"Kupikir aku mungkin yang paling gugup sepanjang hidupku di sana."

"Aku benar-benar meragukan itu."

Kami berganti seragam dan mulai bekerja. Hari ini, tugas kami adalah meletakkan buku-buku yang baru dikirim di rak buku. Dengan troli di tangan, kami berjalan di sekitar hutan rak buku.

“Ayase-san, selanjutnya… Ah, di sana. Ini adalah buku teknis.”

“Dimengerti, Asamura-san.” katanya, mengambil beberapa buku dari kotak kardus di troli dan berjalan ke rak berikutnya, karena mendorong troli ke sana hanya akan membuang-buang waktu.

Dia meletakkan buku-buku itu ke dalam ruang kosong di rak buku dan aku menarik troli setelahnya beberapa saat kemudian. Setelah itu, aku membantunya.

“Menghemat waktu seperti ini sangat bagus.”

“Kamu bahkan lebih menakjubkan, Asamura-san. Mengetahui lokasi rak sangat membantu efisiensi kami secara keseluruhan.”

"Aku tidak ingat di mana semuanya atau apa pun."

Rilisan baru yang datang hari ini merupakan genre yang kuminati, itulah sebabnya aku tahu sekilas dari rak mana mereka berasal. Itu hanya kasus keberuntungan hari ini, tidak lebih. Pada akhirnya, kotak kardus itu akhirnya kosong 15 menit sebelum kita perkirakan.

“Baiklah, kalau begitu mari kita istirahat.”

"Iya."

Kami mengembalikan troli ke penyimpanan belakang dan kemudian menuju ke ruang istirahat bersama. Kami menuangkan teh dingin ke dalam dua gelas plastik dan duduk.

"Nee, Asamura-kun." Ayase-san tiba-tiba angkat bicara.

Karena hanya kami berdua di ruang istirahat, dia kembali memanggilku seperti yang dia lakukan di rumah. Setelah dia meneguk isi cangkirnya, dia berdiri untuk mengisi lagi. Dia menghela nafas dan melanjutkan.

"Bukannya kamu tidak punya teman. Tapi, kamu tidak mencoba untuk berteman, kan?"

"Aku tidak berniat menghindarinya atau semacamnya."

"Tapi, apa kamu sadar akan fakta itu? Nggak, kan?"

“Ya, aku tidak terlalu peduli.”

"Begitu, ya."

"Yah, kau tidak salah. Bukannya aku putus asa untuk berteman."

Bukannya aku tidak menginginkannya, aku hanya tidak memiliki niat mencarinya.

“Sejujurnya, aku tidak pernah berpikir bahwa kita bisa mengubah shift dengan begitu mudah... Tidak, bukan itu. Aku hanya takut bernegosiasi untuk itu. Karena aku tidak mau, aku secara tidak sadar membuat diriku berpikir bahwa itu tidak mungkin.”

“Aku cuma terbiasa. Aku sudah berganti shift beberapa kali sebelumnya."

"Bukankah itu hanya menunjukkan bahwa kamu memiliki lebih banyak pengalaman dalam komunikasi dibandingkan denganku?"

Aku tidak pernah berpikir seperti itu.

“…Kurasa kau bisa mengatakan itu.”

“Ketika kita memasuki toko buku hari ini, kamu pergi untuk bertanya kepada seorang senior di mana manajer toko itu dan bahkan saat kita sedang bernegosiasi dengannya, kamu selalu tegas dan percaya diri, mengatakan dengan tepat apa yang kamu inginkan dan butuhkan… Jadi kupikir kamu tidak tampak seperti orang yang memiliki kesulitan dalam berkomunikasi.”

“Kau hanya melebih-lebihkanku.”

Aku tidak begitu terampil atau semacamnya. Aku baru saja bekerja di sini cukup lama sehingga aku bisa berbicara dengan semua orang dengan cukup mudah.

“Ketika itu adalah tempat yang mengharapkan kesungguhan darimu, itu jauh lebih mudah. Itulah alasan kau berpikir bahwa itu semacam keterampilan komunikasi yang gila."

“Aku tidak bisa melakukan itu.”

"Kau bisa. Setelah kau terbiasa dengan pekerjaan semacam ini, kau bisa. Lagipula, kau sudah melakukan banyak hal. Dari caraku melihatnya, jauh lebih sulit untuk dapat menikmati persahabatan di mana tidak ada konkrit dan aturan bersama. Aku… Aku tidak pandai dalam hal itu sama sekali. Jadi bagiku, kau jauh lebih terampil dalam komunikasi dibandingka denganku."

"Itu..."

Itu benar. Dia mungkin tidak mengatakannya dengan keras, tetapi alasan dia menemukan tempatnya dengan mudah di keluarga adalah karena dia memutuskan aturan denganku sejak awal. Sekarang dia akhirnya merasa termotivasi untuk pergi ke kolam renang, aku pasti tidak bisa mengatakan ini padanya, tapi akulah yang jauh lebih cemas sekarang. Setelah semua itu, kita akan pergi ke kolam renang. Bersama. Sejujurnya, aku mungkin bisa melakukan percakapan yang baik dengan Ayase-san dan mungkin juga dengan Narasaka-san, tapi aku tidak memiliki kepercayaan diri bahwa aku bisa bersenang-senang dengan teman sekelas kami yang lain. Meskipun hari dimana aku akan melakukannya semakin dekat.



|| Previous || Next Chapter ||
2

2 comments

  • YeGuLou
    YeGuLou
    25/7/21 13:36
    Apakah ada kejadian luck sukebe di kolam renang🤔
    Reply
  • 8man
    8man
    25/7/21 12:49
    Apakah senpai nya akan ikut berenang?
    Reply
close