Prolog: Bukan Gitu!
Di sebuah kamar apartemen, dengan
suasana ruangan yang sunyi senyap, seorang gadis sedang berguling-guling di
kasurnya, sambil membuat sejuta ekspresi yang berbeda-beda.
“Kenapa… Enggak, tapi…”
Seorang gadis berguman ke dirinya
sendiri dengan ekspresi wajahnya yang bingung. Gadis itu adalah pemilik kamar
ini, Alisa Mikhailovna Kojou.
Masih memakai seragam SMA karena yang
dilepas cuma rompinya, Alisa berulang kali berguling-guling di atas kasur
dengan mencuekkin seragamnya yang jadi kusut. Tak biasa dia bertingkah seperti
ini, tapi beginilah yang terjadi karena hari ini dia sangat keteteran.
Dia memikirkan kejadian setengah jam
yang lalu. Saat perjalan pulang dari sekolah, Masachika menengok mata Alisa dan
mengulurkan tangannya ke arah Alisa… Lalu kata-kata itu keluar dengan
sendirinya.
“Cinta? 'Cinta'? 'Cinta'? Eh? eh??”
Dengan tak terduga kata-kata itu keluar
dari mulut Alisa. Dia tersadar dengan dirinya yang bertindak sendiri
seolah-olah karena dorongan emosi yang kuat yang muncul dari dalam hatinya.
“Cinta? Kuze-kun? Aku-… Ah-!!”
Dia bertanya ke dirinya sendiri lagi,
untuk lebih memastikan hal itu. Di saat itu pun, wajahnya memerah lalu dia
menempelkan wajahnya ke bantal.
"Enggak! Bukan, itu~~! ”
Dengan wajahnya yang menempel di
bantal, seolah spontan dia berteriak geram.
Aku?
Jatuh cinta ke Kuze-kun? Enggak! Ini enggak mungkin!
Dia berpikir kalau tidak mungkin dia
jatuh cinta ke orang yang bertipe males. Walau sebelumnya memang betul kalau
dia kadang mengatakan beberapa hal bodoh dalam bahasa Russia. Tapi, itu hanya
untuk sedikit menjahili Masachika.
Dia selalu
mencoba untuk terlihat lebih baik dari orang lain. Tapi sungguh konyol karena
dia enggak mencoba untuk melihat niat baik dari orang lain, dan aku hanya
membuat alasan untuk mengatakan hal yang ada di luar pikiranku.
…Betulkah?
Pertanyaan
itu muncul dalam pikirannya, dan Alisa langsung dengan paksa melupakan itu.
"Itu betul. Aku sama sekali enggak
jatuh cinta ke Kuze-kun. Aku cuma... sedikit kebawa suasana saat itu. Ya, Cuma
itu!”
Dia meyakini dirinya tentang hal itu,
lalu dia pun berdiri, dan berjalan ke arah lemari.
Bahkan,
Katakanlah… itu betul. Yah, kalau aku memang menyukai Kuze-kun. Masih ada
sesuatu yang lebih penting untuk di lakukan sekarang.
Saat dia mengganti seragamnya, sudah
keharusan Alisa untuk menyusun hal yang paling penting baginya. Tanpa perlu di
jelasin. Itu, sudah pasti, untuk menjadi ketua OSIS. Akan edan baginya untuk
membiarkan tujuannya sirna hanya karena romansa. Itu sama saja menghianati
Masachika, yang di mana dia mengatakan akan berusaha keras untuk membantu
mewujudkan mimpi Alisa.
Ya…
Karena aku dapet bantuan Kuze-kun, aku harus ngelakuin yang terbaik untuk memenuhi
harapannya, kan? Apa yang akan dia pikirin kalau aku hanya menyerah dengan
usahaku sendiri dan mengaku padanya?
Saat bertanya pada dirinya sendiri,
dia membayangkan wajah Masachika.
“Hah? Kau menyukaiku?...Enggak, aku
minta maaf. Aku enggak pernah mikirin itu ketika aku bilang aku akan
‘Mendukung’mu… begini kah cara kau mencerna kata-kataku? Ini sedikit…
berlebihan. Aku seharusnya enggak mengatakan apa-apa saat itu.”
Itu lah yang dikatakan Masachika dalam
imajinasi Alya dengan nada datar.
“Ap-, haahh…”
Terluka dengan imajinasinya sendiri.
Alisa langsung sempoyongan. Dengan langkah pelan dia kembali ke kasur dan
ambruk di atas selimut. Dia terdiam sebentar, lalu sedikit mengangkat jidatnya dan
mulai memukul selimut.
“Tentu aja enggak! Tentu aja enggak!
Aku enggak peduli lagi hal tentangmu!”
Dia mengayunkan tangannya ke bawah
sambil berteriak, nafasnya pun jadi ngos-ngosan.
Lagian,
itu Kuze-kun. Saat aku bertemu dengannya esok di sekolah, kuyakin kau akan
buatku kesel lagi dengan sikap malesmu itu.
Segala
yang udah ku-ucapin hingga sekarang-
“Tch!”
Memikirkannya membuat Alisa kembali
kesal, jadi dia berdiri dari kasurnya dan menutup pintu lemari dengan kasar.
Pada saat itu pun, dia mendengar suara
pintu depan yang ditutup, Alisa memegang pipinya yang memerah, sambil menenangkan
dirinya lalu menyambut orang yang masuk itu.
“Selamat datang kembali, Masha.”
“Aku pulang, Alya-chan.”
“Hm?”
Seperti biasa Maria tersenyum manis,
memeluk bahu Alya, dan mencium kedua pipinya. Tapi gerakannya terhenti dan
sepertinya dia melamun.
“Maria…apa terjadi sesuatu?”
“Ehh, ada apa?
“Apa maksudmu…”
Alisa terdiam dan tidak dapat
memberitau maksudnya.
Maria menengok Alisa dengan cara yang
aneh, tapi tiba-tiba dia tersenyum lalu mengeluarkan boneka hewan dari tas
plastik di tangannya.
“Ya, ya, kau bener! Sebenarnya,
aku…bertemu dengan seseorang yang sangat baik.”
Sebuah boneka kucing muncul di hadapan
Alisa, dan terkejut karena Maria yang tiba-tiba keliatan senang.
“Ta-da! Alya-nyan!”
“A-, Alya-nyan…? Eh?”
“Coba lihat! Bukankah itu mirip dengan
Alya-chan?”
“…Apanya?”
Alisa mundur selangkah dan menengok
boneka kucing itu lalu bertanya dengan wajah datar.
“Ehh~ Ekspresinya?”
“Boneka hewan enggak punya ekspresi…”
“Punya kok~ Coba lihat!”
“Ah, ya, ya, aku ngerti…Cuma jangan
manggil aku kayak gitu.”
“Eh~”
“Rasanya aku enggak nyaman di panggil
kayak gitu.”
“Uhhh, kalau gitu…apa keberatan kalau
aku memanggilmu A-nyan?”
“Ya, itu aja…”
“Iyeyy, kalau gitu aku akan membawamu
pulang~? A-nyan?”
Dengan senyum senang Maria memeluk
boneka kucing itu dan pergi ke kamarnya. Saat Alisa masih berdiri di depan
pintu dengan ekspresi kaget, Maria tiba-tiba berhenti dan memanggilnya.
“Oh ya, Alya-chan, sebenarnya yang
kumaksud adalah Kuze-kun…”
“…Hah?”
Itu juga adalah nama yang Alisa
pikirkan sebelum dipanggil Maria, Alisa langsung bertindak waspada. Maria
melanjutkan dengan suara ceria, dan Alisa tidak tau apa dia sudah ketahuan atau
belum.
“Ya, aku hanya mikirin kalau dia adalah
cowok yang baik. Jadi aku bisa ngerti kenapa Alya-chan sangat menyukainya~”
“Udah kubilang, aku enggak
menyukainya.”
“Iyakah~?”
“Iya, sungguh.”
Saat berusaha menyembunyikan pikirannya
yang kacau, Alisa menghelas nafas kuat. Sesaat itu pun, dia terkejut saat dia
melihat tatapan Maria di balik bahunya. Itu karena nada suaranya tidak ceria
seperti sebelumnya, tatapan matanya…punya keseriusan didalamnya. Tak lama, mata
menakutkan itu lagi-lagi digantikan dengan senyuman manis seperti biasanya.
“Ya, ya, aku ngerti~”
“Ehh?”
“Jadi gitu toh~ Alya-chan terlihat imut
saat enggak mau jujur.”
“Ha-, haahh?”
‘Tapi jika memang kau menyukainya, akan
lebih baik kau cepetan mengaku~ Jika kau telat akan diambil orang lain loh.”
“A-apa yang kau bicarain?!”
“Fufu~, masa muda .”
Maria tak peduli dengan kata-kata Alisa,
dia mengatakan apa pun yang dia mau dan berjalan mundur ke kamarnya.
“Astaga, apa-apaan dah…”
Alisa hanya pasrah karena tak mampu
menandingi kepekaan kakaknya. Dia mencoba untuk tak kuatir dengan hal itu dan
kembali ke kamarnya sendiri. Tapi tetap saja hal itu masih menempel di
pikirannya.
“…”
Dia tak bisa melupakan tatapan Maria yang tajam dan serius kepada dirinya.
3 comments