Chapter 3 - Sebuah alasan untuk hidup
Mungkin karena aku sedikit kelaparan, makanan yang kumakan terasa lebih nikmat.. Tapi, terlepas dari itu semua.. udon daging buatan Tojo-san benar-benar sangat enak.
Kaldunya tidak terlalu asin dan rasanya agak lembut. Tapi, aku
tidak bisa berhenti memakannya lebih dari yang aku bisa dengan bawang putih
atau hidangan beraroma kuat lainnya.
“Aku senang melihatmu sangat menikmatinya.”
“Mnm, ini sangat enak.”
“Fufu~.. Nggak usah buru-buru makannya. Pelan-pelan saja."
Meskipun dia mengatakan itu, tetapi mau bagaiamana lagi... Ini benar-benar sangat enak dan aku tidak bisa berhenti mengunyahnya.
Pada akhirnya, aku menyelesaikannya dalam waktu kurang dari
lima menit dan mengembalikan mangkuk ke meja dengan perasaan sedikit menyesal.
“Fuah... Gochisousama."
“Ehehe, aku senang kamu menikmatinya. Ah, aku akan menyiapkan tehnya setelah ini.”
“Eh? Aku benar-benar sangat berterima kasih, Tojo-san."
“Tidak, tidak. Aku melakukan ini karena aku mau.”
Apakah di dunia ini benar--benar ada orang sebaik dia?
Ini sangat hangat, aku bisa merasakan sedikit kehangatan di tatapan matanya.
“Ini tehnya.”
“Ah, terima kasih. Tapi, aku harus pula--”
“Oh, ya.. Aku sudah menyiapkan air hangat untuk kamu.. Jadi, kamu bisa mandi terlebih dahulu. Aku yakin kamu berkeringat karena pekerjaan fisikmu. Kalau kamu pergi tidur dalam kondisi seperti itu, itu membuatmu tidak nyaman, kan?"
“Eh? Ah ya. Tidak, nggak usah repot-repot.."
“Aku akan pergi menyiapkan tempat tidur juga. Inamori-kun,
apa kamu lebih suka futon atau kasur? Jika kamu adalah tipe orang yang tidak
bisa tidur tanpa bantal baru, aku akan menyuruh salah satu pelayanku pergi ke
rumahmu dan mengambilkannya.”
“Tung…. Tunggu sebentar!”
“Iya?”
Dia memiringkan kepalanya dengan ekspresi bingung.
Dia menatapku seolah-olah aku tidak tahu apa yang aku
bicarakan padahal itu kebalikannya.
"Um, mungkin ini hanya firasatku saja. Tapi, apakah kamu mengira aku akan menginap di rumahmu?"
“Iya. Aku sudah mempersiapkannya dari awal.”
Aku tidak memahaminya.
Tentu saja aku harus pulang dan aku sama sekali tidak
berniat untuk tinggal di sini lebih lama lagi, bahkan sampai menginap.
Sorang anak laki-laki dan perempuan seumuran, terlebih lagi kita satu kelas... menghabiskan malam bersama, itu sedikit ....
Bahkan jika tidak ada kesalahan, itu bukan tindakan yang
terpuji.
“---Ah, benar juga.. Kamu pasti kebingungan, bukan?"
"Eh, ah.. iya.."
“Nah, bisakah kita meluangkan waktu beberapa menit untuk
membicarakan sesuatu terlebih dahulu?"
Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi karena dia
akan menjelaskannya, aku diam untuk mendengarkannya.
Itulah yang kupikirkan dan aku duduk kembali di sofa.
“Aku berharap untuk lebih dekat jika memungkinkan, tetapi… aku akan memberi tahumu tentang semuanya."
“O-Oke.”
Wajah Tojo-san menjadi serius hingga aku hanya bisa menelan
ludahku sendiri.
Dia menundukkan kepalanya dalam-dalam kepadaku dalam rasa
ketegangan yang aneh.
“Maukah kamu… menikah denganku?”
---Haaa?
“A-Apa yang kau….”
“Aku akan menjelaskan semuanya padamu."
Mengabaikan kebingunganku yang semakin besar, Tojo-san
mencoba melanjutkan pembicaraan.
Entah bagaimana, benar-benar entah bagaimana, dan terlebih
lagi, mungkin itu hanya imajinasiku, tetapi dia sendiri tampaknya sangat kesal.
Wajahnya tampak merah dan malu.
Wajahku juga terasa panas atau mungkin mataku terlihat
seperti sedang berenang.
Yah, aku tahu dari penampilannya bahwa dia tidak
tenang.
Dia mungkin sangat gugup ----, meskipun dia tampaknya telah mengatakannya
dengan sikap santai.
"Sebenarnya, aku sudah memperhatikanmu sampai hari
ini."
“Eh?”
“Bukan kebetulan bahwa aku bertemu denganmu di tempat kerja
hari ini. Itu karena aku mengumpulkan informasi dengan bantuan keluargaku, Grup
Tojo dan mengetahui tentang tempat kerjamu sehingga aku dapat tiba di
sana."
Aku tidak bisa langsung memahami ceritanya.
Apa? Mengapa?
Aku mendaptakan diriku tidak bisa memahami apa yang dia katakan
"Aku sudah lama memperhatikan tentang ini. Dari hari ke hari, aku melihatmu tampak kelelahan. Bahkan jika seorang teman meneleponmu, kamu tidak mengangkatnya dan meninggalkan sekolah setiap hari begitu pelajaran selesai, kan? Kamu juga hanya makan siang dengan satu roti manis... aku benar-benar khawatir tentang itu."
Tojo-san memutar kata-katanya seolah memastikan setiap kata.
Tidak ada rasa malu dalam setiap katanya, tidak seperti
sebelumnya.
Jika ada, dia memberi kesan seorang anak kecil yang memberi
tahu ibunya tentang kesalahannya.
Ketika aku sudah sedikit tenang, aku tidak bisa mengatakan
bahwa apa yang dilakukan Tojo-san adalah hal baik. Jika itu pihak lain, dia bisa
dituduh sebagai penguntit.
"Dan… aku juga tahu apa yang terjadi padamu."
“Eh!?”
Tojo-san melanjutkan ceritanya dari sana.
Sesaat sebelum masuk SMA. Mobil orang tua Inamori Haruyuki ditabrak oleh truk yang sopirnya gagal mengendalikan kemudinya. Lalu, mereka berdua tewas di tempat kejadian.
Truk itu sendiri tidak hanya menabrak mobil yang dikendarai
oleh orang tuanya, tetapi juga menabrak tiang telpon didekatnya. Sopir truk
tersebut meninggal di dalam ambulans ketika perjalanan menuju rumah sakit.
Yang tersisa untuk Inamori Haruyuki hanyalah uang ganti rugi
dari perusahaan tempat sopir bekerja dan kekayaan yang dikumpulkan orang
tuanya.
Namun, kerabatnya datang kepada Inamori Haruyuki hanya untuk memanfaatnya karena warisan yang di tinggalkan oleh orang tuanya. [ED: Dasar, sedulur dajjal.]
Haruyuki Inamori mengatakan bahwa dia menolaknya, dia menyerahkan semua harta selain biaya sekolah dan hidup sendiri
sambil mencari nafkah dengan pekerjaan paruh waktu.
“Begitu.. Jadi, kau sudah tahu semuanya 'ya ...”
Aku tidak menceritakan tentang masa laluku karena kupikir itu
adalah sesuatu yang aku tidak suka untuk dibicarakan.
Aku tidak marah karena dia mengetahui masa laluku. Namun, aku ingin tahu
apakah dia kecewa denganku karena melihat kebohongan yang kusembunyikam. Aku adalah
pria bodoh yang terlihat baik dalam kebiasaan anak-anak.
Aku membayangkan dia akan berpikir seperti itu dan aku langsung
merasa cemas.
“…Bukan hanya masa lalu yang kupelajari.” katanya, dengan lembut meletakkan tangannya di atas punggung tanganku, menatap ke arahku.
Suhu tubuhnya sepertinya lebih rendah dariku dan jari-jari
Tojo-san sedikit dingin.
“Aku sudah belajar dari kebaikanmu saat melihatmu."
"Kebaikan ...?"
“Iya. Saat kamu bekerja di toserba, kamu menutupi kesalahan yang dilakukan oleh rekan kerjamu. Lalu, ketika kamu bekerja di malam hari sebagai pemandu lalu lintas, kamu membantu pekerja yang lebih tua darimu karena masalah punggunya yang sakit, padahal kamu sendiri juga kelelahan."
“Itu bukan masalah besar.......”
“Kamu tahu apa lagi yang kutahu? Di kereta, kamu memberikan
tempat dudukmu untuk wanita hamil dan orang tua. Dan juga, aku sudah melihatmu membantu seorang
wanita tua dengan barang bawaan yang berat melintasi lampu lalu lintas dua kali
dalam enam bulan terakhir.”
Enam bulan yang lalu. Sudah berapa lama dia memperhatikanku?
Aku tidak marah. Tapi dia benar, aku mulai sedikit takut.
“Meskipun kamu menjalin kehidupan yang sulit dan berat. Tapi, kamu masih mau membantu seseorang yang membutuhkan tanpa ragu-ragu. Aku sangat menyukai bagian dirimu itu."
"Aku ... hanya melakukan apa yang seharusnya
kulakukan."
“Aku suka orang yang bisa melakukan apa yang seharusnya
mereka lakukan.”
Saat dia tersenyum padaku, aku merasakan cahaya lembut
seperti cahaya bulan.
Dia memiliki wajah cantik dan rambut perak, yang jarang
terlihat di Jepang.
Dia memiliki suasana misterius. Mungkin kata 'Dewi' sangat cocok untuknya.
[Jadilah orang yang bisa membantu orang lain.]
Ini adalah kata-kata yang ditinggalkan orang tuaku dan aku masih menyimpannya meskipun mereka sudah tiada. Dan karena aku mencoba menjadi orang seperti itu, kerabatku memanfaatkan kebaikanku.
Mungkin aku menjalani gaya hidup yang salah---
Bohong jika aku mengatakan tidak pernah memikirkannya
seperti itu.
Tapi, fakta bahwa Tojo-san membenarkannya membuatku merasa
sangat nyaman.
Aku merasa kata-katanya memiliki arti yang sangat kuat.
"Mendengar kata-kata seperti itu dari Tojo-san... membuat hidupku lebih berarti."
“Aku juga sangat senang mengetahui bahwa Inamori-kun masih hidup dan baik-baik saja."
Mungkinkah dia benar-benar seorang Dewi...?
Segera setelah aku mendengar kata itu keluar dari mulut kecilnya. Aku langsung menggaruk pipiku untuk menutupi rasa maluku.
"Jadi-, kamu mau 'kan menikah denganku?"
---Tapi, kata-katanya yang terakhir adalah hal yang berbeda.