NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kyou mo Ikitete Erai! [LN] Volume 1 Chapter 7

Chapter 7 - Resolusi

Setelah berakhirnya hari libur, hari ini aku kembali berangkat ke sekolah seperti biasanya. Berbelanja bersama Fuyuki ternyata sangat menyenangkan, bahkan sampai membuatku terkejut. Walaupun ada beberapa kejutan di sepanjang jalan, aku bisa menganggapnya sebagai semacam hiburan, atau lebih tepatnya, sebagai cara untuk menghindari kebosanan. Di sisi lain, aku memang tidak akan pernah terbiasa dengan ejekan-ejekan, tetapi dengan seiring bertambahnya usia, aku yakin akan memiliki sikap yang lebih dewasa, mungkin.

Fuyuki dan aku sudah berpisah di tempat biasa, dan aku pun langsung menuju ke sekolah. Melewati jalan yang biasa kulalui, hingga sampai ke ruang kelas. Namun, meskipun pemandangan di dalam kelas tampak berjalan normal, ada sesuatu yang berbeda dalam suasananya.

‘Apa yang terjadi …?’ gumamku.

Entah kenapa, teman-teman sekelasku saling membisikkan sesuatu sambil menatapku. Terus terang, aku tidak menyukai suasana itu.

"Haru! Oi, Haru!"

"A-Ada apa, sih!?"

Mendadak Masaya menarik lenganku dengan wajahnya yang pucat, dan membawaku ke sudut ruang kelas. Melihat Masaya yang begitu panik seperti ini, pasti ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.

"Ini, coba lihat ini!"

Masaya mengeluarkan smartphone-nya dan menunjukkan kepadaku layar obrolan LINE teman-teman sekelasnya. Terpampang sebuah foto di sana, menunjukkan seorang lelaki dan perempuan yang terlihat tidak asing bagiku, yaitu aku dan—Fuyuki.

"Apa … ini?"

Lokasi yang difoto itu sepertinya adalah pusat perbelanjaan tempat kami kunjungi bersama. Foto di mana aku, yang sedang memegang sejumlah besar kantong belanjaan sementara Fuyuki yang sedang tersenyum gembira, diambil dari jarak jauh. Ini jelas-jelas penguntit. Meskipun itu masalah besar, tetapi bukanlah urgensi yang harus aku hadapi sekarang ini.

"Kemarin, aku menerima ini dari seorang teman laki-laki di kelas. Katanya, seseorang di sekolah ini telah mengambil foto ini sembunyi-sembunyi dan menyebarkannya. Tindakan itu benar-benar buruk …. Dan dalam sehari, foto ini telah tersebar luas."

"A-Ah ….” Aku merasa telah terlalu ceroboh, atau bisa dibilang, aku tidak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi.

Dari sudut pandang orang yang mengambil foto ini, mungkin saja dia menemukan seseorang yang terkenal di sekolah, sedang berkencan dengan seorang anak laki-laki, lalu mengambil foto mereka hanya demi kesenangan semata. Namun, ini sudah mirip sebagai tindak kriminal. Ini tidak terbatas hanya masalahku, tetapi menyebarluaskannya bisa menjadi sangat berbahaya bagi Fuyuki.

Kekhawatiran dan ketidaksabaran mengambil alih, dan tanpa sadar aku telah mengalihkan pandanganku ke arah Fuyuki, yang saat itu sedang dikelilingi oleh beberapa gadis.

"Kondisinya sudah seperti itu sejak Toujou datang. Yah, mereka mungkin penasaran tentang hubungannya denganmu,” ucap Masaya.
 
"Aku mengerti ….”

Di antara para gadis yang mengajukan banyak pertanyaan adalah Satou-san dan Yoshida-san, yang menjadi pusat perhatian. Mereka telah melirik aku dan Fuyuki sejak tadi, seolah-olah sedang membandingkan kami, dan itu membuatku merasa tidak nyaman. Dalam pandangan mata mereka, selain rasa ingin tahu, ada sedikit kesan cemoohan.

"Mungkin kita bakalan tahu dari mana foto-foto itu berasal nantinya, tapi masalahnya sekarang adalah kau, Haru," sambung Masaya.

"Aku …?”

"Bukannya aku sudah bilang? Jika hubunganmu dengan Toujou terbongkar, kau mungkin tidak akan bisa lagi menjalani kehidupan SMA yang normal. Dalam komunitas sekolah yang kecil ini, hanya masalah waktu sebelum wajah dan namamu tersebar. Ditikam mungkin terlalu dramatis, tetapi jika tidak berhati-hati, ada kemungkinan kau akan dibully."

"..."

Terus terang, aku tidak peduli dengan diriku sendiri. Hal yang paling aku cemaskan sekarang bagaimana semua orang akan melihat Fuyuki sekarang. Kemudian, ketakutan terbesarku, bahwa aku yang menjadi penghambat baginya, akan menjadi kenyataan. Itulah satu-satunya hal yang tidak bisa aku terima.

"Pokoknya, berhati-hatilah. Jika ada yang tidak beres, jangan coba menyembunyikannya. Terus, sebisa mungkin jangan sendirian. Terserah mau bersamaku atau Toujou, asalkan jangan sendirian."

"Kenapa?”

"Setidaknya, untuk sekarang kau bakalan jadi pusat perhatian. Hal seperti itu bisa memengaruhi kesehatan mentalmu. Jadi, ada baiknya punya seseorang yang bisa diajak bicara dan mengalihkan perhatianmu. Ingatlah bahwa kau punya seseorang yang mendukungmu. Dengan begitu, kau tidak akan melakukan tindakan gegabah."

Yah, apa yang dikatakannya itu masuk akal. Aku mengangguk dan menerima masukan dari Masaya. Atau bisa dibilang—

"Kau terlalu paham tentang hal ini, berdasarkan pengalamanmu?"

"Yah, mungkin. Terlalu jago bermain bola basket juga bisa menyulitkanmu. Kau bakal mendapat tatapan kebencian dari para pemain yang payah!”

Jadi, begitu rupanya. Kenyataan bahwa aku tidak tahu tentang ceritanya itu, berarti telah berlangsung dalam beberapa waktu yang lalu.

"Mungkin waktu tahun pertama?”

"Entahlah. Yang pasti, cerita itu berakhir ketika para Senpai tahun ketiga tamat. Itu bukan hal yang perlu kau khawatirkan sekarang."

"Maaf..."

"Ya sudah. Sekarang, fokuslah pada dirimu sendiri sekarang."

Aku begitu terpaku pada diri sendiri sampai-sampai aku tidak menyadari keadaan sahabatku, yaitu tentang Masaya. Dia pasti berusaha tetap kuat agar aku tidak menyadarinya. Namun, tetap saja itu membuatku kesal.

"Jangan terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak perlu, tunggu sampai masalah yang ada selesai. Kau tidak berpikiran sekuat aku, kau harus sangat berhati-hati," dia memberiku nasihat.

"A-Ah … baiklah."
 
Kemudian, aku memutuskan untuk menghabiskan sisa hari itu dengan mengikuti saran yang diberikan Masaya. Saat jam istirahat, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak keluar kelas dan tetap duduk di tempat dudukku. Meskipun begitu, ada orang-orang dari kelas lain yang sesekali melirik masuk dari luar kelas. Sekali lagi, aku dibuat terkejut dengan betapa besarnya pengaruh Fuyuki.

Namun, tidak ada yang berbicara secara langsung kepadaku. Aku bisa merasakan pandangan yang memperhatikan dari jauh, tetapi mereka tidak mendekat, seolah-olah menganggap aku sebagai sesuatu yang misterius.

"Maaf, Haruyuki-kun, Nishino-kun. Bolehkah aku makan siang bersama kalian?”

Saat istirahat makan siang, begitu aku dan Masaya berencana makan di tempat duduk kami seperti biasa, Fuyuki menghampiriku dengan membawa kotak bekal makan siangnya. Melihat Masaya mengangguk, aku segera menarik kursi kosong yang ada di sebelah kami dan menawarkannya padanya.

"Terima kasih. Aku agak lelah dengan semua pertanyaan tadi ….”

"Sangat disayangkan, padahal kita baru saja berpacaran, kan?” "Yah, semua orang terlalu melebih-lebihkan, dah ….”

Sejenak aku hampir mengomentari kata-katanya, tetapi aku menahannya karena Masaya tidak tahu kalau Fuyuki seringkali berbicara secara berlebihan.

"Haruyuki-kun, kamu baik-baik saja?"

"Eh?"
 
"Aku sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, tapi sepertinya Haruyuki-kun tidak begitu terbiasa ….”

"Ah, memang benar aku tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti Fuyuki, tapi aku akan baik-baik saja."

"Oh begitu. Tapi tolong berhati-hati."

"Aku tahu. Bahkan Masaya sudah berkali-kali mengingatkanku.”

Melihat kami bertiga berkumpul bersama, teman-teman sekelas kami mulai saling berbisik di kejauhan. Mungkin ini terasa tidak menyenangkan, tetapi selama tidak ada yang terluka, maka tiada yang perlu dikhawatirkan. Lagi pula, yang namanya gosip akan selalu ada yang membicarakannya. Suatu saat, mereka akan bosan memperhatikan ini dan beralih ke topik lain.

"Kalian berdua, benar-benar pacaran, ya?"

"Hehe, itu benar."

Walaupun Fuyuki kelihatan senang, ada sesuatu yang ingin kusampaikan.

"Orang-orang bilang kami berpacaran atau pasangan, tapi kami belum resmi berpacaran, lho."

"Hah?"

Aku merasa perlu memperjelasnya, sehingga Fuyuki kelihatan agak kecewa saat aku menyela.

"Y-Yah kurang-lebih begitulah …. Tapi, pada kenyataannya, apa boleh buat, kan? Begitu gosipnya menyebar, sulit untuk mengembalikan keadaannya seperti semula, dan kita juga tidak bisa berbuat apa-apa."

"Yup, kamu benar. Yang bisa kita lakukan hanyalah menunggu waktu yang akan memperbaikinya.”

Seperti yang dikatakan Fuyuki, masalah ini bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan mengambil tindakan. Sebenarnya, jika pusat cerita ini bukan Toujou Fuyuki, ini tidak akan menjadi berlarut-larut seperti ini. Kami hanya perlu bersabar menunggu orang-orang di sekitar kami menerimanya, meskipun akan membutuhkan waktu.

"—Hei, Toujou-san."

Ketika kami sedang mengobrol seperti itu, tiba-tiba Satou-san dan Yoshida- san menghampiri kami. Di belakang mereka, anak laki-laki dan perempuan sedang menunggu. Karena aku tidak terlalu mengenali wajah-wajah mereka, sepertinya beberapa berasal dari kelas lain.

"Ada sesuatu yang ingin ditanyakan? Sejauh yang aku tahu, aku sudah menjawab sebagian besar pertanyaan kalian."

"Bukan itu, anak-anak di kelas lain bilang mereka juga penasaran..."

Yoshida-san melirik ke arahku. Orang-orang di belakangku juga terlihat gelisah, mengalihkan pandangan mereka seolah-olah membandingkan aku dengan Fuyuki. Terus terang, ini membuatku merasa sangat tidak nyaman.

"Ah, um … Toujou-san dan laki-laki yang di sana, apa kalian benar-benar berpacaran?"

Salah satu anak laki-laki yang berada di belakang mereka, mengeluarkan pertanyaan seolah-olah dia sudah mengambil keputusan. Pada saat itu, alis Fuyuki sedikit bergerak.

"Jangan sebut dia ‘laki-laki yang di sana’. Dia Inamori Haruyuki-kun dan dia adalah pacarku."

"Buk—"

Saat aku mencoba menyangkal pernyataan itu, Masaya muncul dari belakangku dan menutup paksa mulutku.

"Bodoh! Sekarang terima saja bahwa kau adalah pacarnya! Nanti malah bakal jadi semakin rumit!"

"Eh!?"

Memang benar kalau Fuyuki menyukaiku dan aku juga sadar bahwa aku punya perasaan yang sama padanya, tetapi sekarang ini aku belum menerima tawaran pertunangannya. Meskipun rasanya agak tidak jujur saat menyebut diri kami sebagai sepasang kekasih, tetapi apakah dampaknya sampai seburuk itu?

Tidak peduli dengan bisik-bisik kecil kami, mereka semakin mendekati Fuyuki.

"Hei, kamu serius jatuh cinta dengan laki-laki ini?"

"Ya, begitulah ….”

"... Bukannya dia terlalu jelek?"

"Hah?!” balas Fuyuki heran.

Saat seorang gadis yang dengan gaya berpakaian yang kurang pantas dan rambut yang diwarnai coklat mengucapkan kata-kata seperti itu, ekspresi Fuyuki tampak tegang. Sekalipun dia berusaha menyembunyikannya dengan senyum manis demi menghindari keributan, tetapi senyum itu mulai memudar sekarang.

"Hah?! Jangan pura-pura tidak tahu! Aku menyindirmu!! Kamu selalu saja menyebalkan ...!” bentak seseorang.

"Apa maksudmu? Aku bahkan tidak tahu tentang siapa dia."

"Hah!? Dasar pencuri pacar orang! Sangat menyebalkan! Aku tidak peduli apakah kamu benar-benar berpacaran dengan mantanku atau tidak, tapi kamu terkesan mengolok-olok aku karena sengaja berpacaran dengan laki- laki yang jelek ini!"

"Lah … apa sih yang kamu bicarakan? Mantan pacar, sindiran? Aku bahkan tidak mengenali wajahnya.”"

"Arrghh? Jangan sombong hanya karena kamu cantik—"

Gadis yang telah emosi tersebut mengangkat tangannya untuk memukul. Sepertinya, dia berniat menampar pipi Fuyuki. Aku berusaha melompat untuk melindunginya, tetapi sebelum aku sempat melakukannya, dia sudah ditahan oleh Yoshida-san dan Satou-san.

"Maaf!! Mantan pacar gadis ini jatuh cinta pada Toujou-san dan memutuskan dia secara sepihak!"

"Kamu sudah mengerti sekarang! Benarkan?!”

Apa yang harus dimengerti? Jika Fuyuki sudah menjalin hubungan dengan mantan pacarnya maka itu memang salahnya. Namun, orang yang bersangkutan saja sama sekali tidak tahu tentang hal itu. Bahkan bagi orang lain yang memperhatikan, apa yang dikatakan oleh gadis itu jelas-jelas tidak masuk akal.

"Tolong minta maaf pada Haruyuki. Aku sendiri tidak masalah, tapi dia bukanlah orang yang boleh kamu hina!”

"Hah? Itu tidak penting. Aku bahkan tidak mengenal laki-laki yang membosankan ini. Dia benar-benar menjijikkan, bahkan aku sudah muak. Melihatnya saja aku tidak ingin!”

Gadis itu pun membelakangi kami dan bergegas keluar kelas. Fuyuki masih meredam kemarahannya, terus menatap ke arah gadis yang pergi itu.

"Aku sungguh minta maaf ...? Tapi wajar saja semua orang merasa aneh, kan? Lagian Toujou-san, kamu telah menolak pengakuan cinta dari berbagai pihak. Mulai dari Senpai yang tampan, jagoan dari klub sepak bola, hingga kapten tinggi dari klub judo..."

"Jika Toujou-san, yang dikatakan tidak dapat disentuh, tiba-tiba mulai berpacaran dengan laki-laki seperti Inamori … jelas, semua orang bakalan khawatir, kan?"

Saat Yoshida-san mengatakan ‘lelaki seperti Inamori’, suasana hati Fuyuki dan Masaya berubah sangat drastis. Hal yang patut ku syukuri, mereka berdua masih punya perasaan tidak enak pada bagian itu. Namun, Yoshida-san dan yang lainnya sepertinya tidak berniat memusuhi mereka berdua, tidak ingin juga mempermasalahkannya lebih jauh dan hanya tersenyum santai.

Ah, begitu ya? Bagi orang-orang ini, aku sama saja, entah apakah aku ada sini atau tidak. Aku bahkan tidak masuk dalam perhitungan mereka. Tentu saja, mereka seperti itu bukan karena punya niat buruk, melainkan karena aku adalah sosok yang tidak perlu dipedulikan.

"Yah, selama Toujou-san tidak merasa keberatan, maka itu sudah cukup. Tapi kalau ada masalah, kamu bisa langsung bicara padaku, oke? Kita teman, kan?"

"Betul, tuh! Kapan saja boleh, kok!"

Setelah mengatakan hal ini secara sepihak, para gadis tersebut kembali ke tempat mereka masing-masing. Suasana yang tersisa di antara kami bertiga, singkatnya, sangat tidak menyenangkan.

"Ini pertama kalinya aku merasa sangat tidak nyaman."

"... Tapi syukurlah, Toujou-san adalah orang yang rasional. Kalau kau sampai meledakkan amarahmu, aku pasti juga akan ikutan."

"Orang seperti mereka, tidak pantas dilabrak langsung." 

"Aku juga setuju dengan hal itu."

Berbeda dengan reaksiku yang tertegun, keduanya berbicara dengan mengungkapkan amarah mereka.

"Kenapa mereka berani mengatakan hal-hal seperti itu di depanmu, Haru? Kenapa kau tidak membalas omongan mereka?"

"Ah … maaf, aku tidak kepikiran."

Di dalam benakku, kata-kata yang sama terus berputar, "Jika kamu tiba-tiba berpacaran dengan laki-laki seperti Inamori … jelas, semua orang bakalan khawatir, kan?” Dengan kata lain, aku adalah tipe lelaki yang bisa membuat orang lain mengkhawatirkan Fuyuki jika berpacaran denganku. Yoshida-san dan yang lainnya meragukan kewarasan dia karena sudah memilihku sebagai pacarnya.

Perasaan sedih itu sangat menyesakkan dadaku. Andaikata aku adalah lelaki yang diakui oleh orang lain, maka Fuyuki dan Masaya tidak perlu merasakan amarah ini—

"──Yuki? Haruyuki-kun?!" 

"Eh?"

"Kamu tidak apa-apa? Kamu kelihatan agak pucat, lho….”

"Oh, ya, aku … baik-baik saja, kok. Aku hanya sedang kepikiran."

"Jangan terlalu dipikirkan, oke? Tidak ada gunanya mengkhawatirkan apa yang dikatakan oleh orang lain.”

"Iya, aku tahu."

Tentu saja aku mengerti. Tidak perlu mengkhawatirkan apa yang orang lain katakan. Seharusnya begitu.

***

Tanggal pun berubah, dan tibalah keesokan harinya. Meskipun sering terdengar gunjingan orang-orang yang sama seperti kemarin, tetapi berkat sikap ceria yang Masaya tunjukkan, aku dapat menghabiskan waktu tanpa perlu menghiraukan hal itu.

Sementara itu, ada satu hal yang mengalami perubahan besar, yaitu Fuyuki telah dikucilkan di kelas. Lebih tepatnya, dia sepertinya secara sepihak menolak Satou-san dan Yoshida-san. Alasannya, tentu saja, karena mereka mengucapkan sesuatu yang meremehkanku. Yoshida-san dan yang lainnya tampak merasa tidak puas, dan mereka terlihat tidak senang sepanjang hari. Terkadang mereka menatapku dengan tatapan yang tajam, mungkin merasa bahwa aku telah merenggut Fuyuki dari mereka. Aku ingin mengatakan bahwa mereka benar-benar salah paham.

Adapun saat istirahat makan siang, kami menikmati waktunya bertiga, seperti kemarin. Meskipun Fuyuki telah terkucilkan, sikapnya sama sekali tidak berubah dari biasanya, dan aku pun diingatkan kembali akan kekuatannya. Di sisi lain, Masaya juga berusaha untuk tidak menyinggung soal rumor tersebut, dan kami hanya membahas hal-hal yang biasa dalam obrolan. Rasanya aku juga—sudah mulai bisa tersenyum dengan baik. Namun, aku yakin keduanya menyadari apa yang menjadi bahan pikiranku sepanjang waktu.

'Aku … telah membuat Fuyuki dikucilkan.'

Ini salahku sehingga situasi Fuyuki jadi semakin memburuk. Dia ingin aku berada di sampingnya, dan aku juga mulai menginginkan hal yang sama terhadapnya. Namun, orang-orang di sekitar kami menolak hal itu.

'Apakah aku tidak boleh berada di sisinya?'

Perasaan gelap pun memenuhi hatiku. Aku merasa semua yang telah kulakukan tertolak, dan perasaanku tenggelam ke dalam kegelapan yang tidak berdasar. Benar juga, ya. Aku selalu menjadi pengganggu. Ibu, Ayah, kalau tidak ada aku—

"Hei … Haru, sini ikut sebentar."

"Eh?"

"Aku mau ke toilet, pokoknya ikut saja sebentar."

"Ah, ya..."

Aku memberitahu Fuyuki, lalu meninggalkan ruangan. Saat itu, pandangan khawatir Fuyuki padaku terlihat sangat jelas.

"Toujou juga sudah bilang padamu, kan? Bahwa tidak ada gunanya kau mengkhawatirkan hal itu. Jangan buat dirimu tertekan karena memikirkannya.

"Aku tahu itu, tapi..."

"Kau dan Toujou itu sebenarnya tidak salah. Dan mustahil orang yang benar malah menderita.”

"Masaya    "

Aku merasakan amarah yang meluap-luap dari Masaya. Dia marah padaku seperti ini demi kebaikanku, dia memang orang yang baik. Sosok yang kuat dan dapat diandalkan. Aku berharap bisa seperti Masaya—tetapi jika aku mengatakannya, dia pasti akan tertawa terbahak-bahak saat mendengarnya. Itulah yang membuatku agak sedikit kesal.

"Haru, setidaknya kau tidak ingin terlihat menyedihkan di depan gadis yang kau sukai, kan?"

"Oh … jadi itu sebabnya kau membawaku keluar?"

"Aku juga selalu ingin terlihat keren di depan pacarku. Jadi, aku hanya kepikiran kalau kau juga merasakan hal yang sama."

"... Begitu, ya.”

Aku sungguh bersyukur karena dia adalah temanku.

"Ayo kita berkeliling sebentar, lalu baru kembali lagi. Pastikan ekspresi wajahmu sudah kembali normal sebelum itu.”

"Ah, baik—"

Begitu aku hendak membalasnya dengan jawaban yang lebih santai, pada saat itu juga, tiba-tiba aku merasakan benturan kuat di bahuku, membuat tubuhku goyah. Ketika aku menyadari bahwa aku telah menabrak seseorang, ada seorang anak laki-laki yang sedikit lebih tinggi dariku dan dengan wajah yang tampan, sedang menatap rendah ke arahku. Dilihat dari warna sandalnya, jelas bahwa kami satu angkatan.

"Oh, maaf. Aku tidak melihat jalannya."

"...?"

Sepertinya aku telah merusak suasana hatinya, sehingga anak laki-laki di depanku itu menatapku dengan tajam. Melihat sikapnya, Masaya yang di sebelahku mulai terlibat sedikit perseteruan. Sambil menahan temanku yang mulai terlibat, aku meminta maaf kepadanya dan mencoba meninggalkan tempat itu.

"Oh …. Hei, Adachi. Bukankah dia orang itu? Yang berpacaran dengan Toujou”

"Hah? Dia?"

Ketika anak laki-laki yang bersamanya memanggilnya Adachi, ekspresi wajahnya jadi berubah. Matanya, seakan-akan sedang menilaiku, sama seperti yang aku hadapi sejak kemarin.

"Jadi, kau si Inamori itu ya?"

"Benar ….”

"Serius? Aku kalah dari pecundang ini?"

"Guh!?"

Adachi tiba-tiba meraih kerah bajuku, dan menatapku dengan tatapan tajam. Apa arti dari tatapannya ini? Mata yang jauh lebih gelap dan penuh akan kebencian daripada orang-orang sebelumnya. Hanya dengan ditatap begitu saja, aku merasakan sensasi dingin yang menjalar di tulang belakangku.

"Hei, kau! Tahu tidak? Jelas-jelas, kau itu tidak layak untuk Toujou, jadi kenapa kau tidak putus dengannya sekarang juga?"

"Huh...!?"

"Aku mungkin bisa terima jika aku kalah dari ketua OSIS atau seorang Senpai, tapi ketika tahu aku bahwa kalah dari orang sepertimu, mana mungkin aku diam saja."

Ketika tangan yang mencengkeram kerah bajuku semakin menguat, Masaya dengan raut wajah marah mendorong Adachi menjauh, menciptakan jarak di antara kami. Mungkin karena sangat menyesakkan, aku terbatuk ringan.

"Kau siapa? Aku harap kau tidak ikut campur."

"Aku temannya. Kalau kau punya urusan, lewati aku dulu."

"Sungguh menyebalkan. Jangan ikut campur, dasar orang luar!”

"Kau juga orang luar. Apa hakmu ikut campur hubungan anak ini dengan Toujou.”

"Apa-apaan ini? Kau berlagak peduli atas nama rasa persahabatan, ya?”

"Hah! Jangan depresi hanya karena kau tidak punya teman yang bersedia melakukan hal ini buatmu!”

"Aku bahkan tidak tahu apa maksudmu! Jangan seenaknya berasumsi!”

Suasana pun menjadi tegang. Mungkin para siswa lain merasakan ada hal yang tidak beres di koridor, dan perlahan-lahan mulai menjauh dari sekeliling kami. Beberapa bahkan pergi memanggil guru, dan aku yakin situasinya akan segera terkendali. Namun, pertikaian di antara kedua orang ini semakin memanas, dan terlihat sulit untuk segera mereda.

"Kalau kau menganggap kami menjijikkan, maka langsung hadapi saja! Berani saja kau menyentuhnya, jangan harap kau bisa bertahan di klub sepak bola ini."

"Kau merasa begitu percaya diri, ya?"

Suasana semakin memanas dan telah mencapai tingkat yang berbahaya. Aku mencoba memisahkan mereka berdua dan memandang mata Adachi.

"Jika kau tidak mau mendengarkan kami, maka tidak ada kewajiban buat kami untuk mendengarkanmu. Jadi, silakan pergi sana."

"Apa hakmu bicara begitu? Aku tidak peduli dengan pendapatmu. Aku hanya mengatakan agar kalian berdua segera putus!”

Sebenarnya, apa yang ada di dalam benaknya? Dia sama sekali tidak bisa diajak berkomunikasi.

"Kau … tidak bisa dibiarkan!”

"Haaa, kalian orang-orang yang menjengkelkan. Sudahlah!"

Saat Masaya akan menyerbu ke arahnya, Adachi berbalik dan membelakangi kami.

"Serius, aku merasa bisa dengan mudah merebutnya dari orang yang suram seperti dia. Aku akan menemui Toujou nanti. Rasanya terlalu menyedihkan jika punya pacar seperti dia.”

Dengan kata-kata seperti itu, Adachi pergi bersama temannya, menyisakan beban berat yang mengganjal di dalam hatiku.

"Aku … terlalu menyedihkan."

"Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu, Haru. Jangan dengarkan dia."

Memang benar, aku seharusnya tidak mendengarkan perkataannya. Begitulah normalnya. Akan tetapi, kata-kata dari Adachi, Satou-san, dan Yoshida-san masih terus terngiang-ngiang di dalam benakku. Kemudian lagi, pandangan semua orang yang berjalan di koridor, menusukku.

‘Menyedihkan … sangat menyedihkan … amat memalukan ...!’

Sesuatu yang busuk dan mendidih naik dari bagian bawah perutku. Aku ingin muntah, tetapi tidak bisa. Dengan keadaan seperti ini, aku mungkin akan menyakiti seseorang yang aku sayangi lagi. Aku cemas. Perasaan gelap yang muncul di dalam diriku ini adalah bentuk kegelisahan yang tidak bisa terhapuskan, tidak peduli bagaimanapun aku mencoba.

"A-Apakah aku … benar-benar layak berada di samping Fuyuki?"

"Hah?"

Kata-kata seperti itu keluar begitu saja. Saat aku buru-buru menyangkalnya, Masaya langsung mencengkeram lengan kananku.

"Ke sini sebentar."

"Eh, apa ...?"

Dia memaksaku pergi ke tempat sepi yang mengarah ke atap sekolah. Setibanya kami di sana, Masaya menatap wajahku dan perlahan-lahan mengepalkan tinjunya ke arahku.

"Aku akan memberimu pelajaran. Siapkan dirimu."

"E-Eh?”

Sebuah pukulan keras menghantam pipiku, membuatku jatuh tersungkur. Area yang terkena pukulan sekaligus bagian dalamnya terasa panas. Ujung mulutku robek, dan setetes darah menetes ke lantai.

"Ada beberapa alasan kenapa aku memukulmu. Kau mengerti?"

"Karena … aku menyedihkan."

"Itu salah satu alasannya. Tapi, bukan berarti aku ingin menyalahkan siapa dirimu sekarang, melainkan karena kau terlalu puas dengan dirimu sendiri."

Terlalu puas dengan diriku sendiri? Mana mungkin begitu. Justru, aku benci diriku yang sekarang. Jika aku tetap seperti ini, aku merasa tidak layak untuk Fuyuki—

"Kalau kau membenci dirimu yang sekarang, maka, bukankah ada banyak hal yang perlu kau lakukan!?"

"Apa?"

"Kau ingin bersama Toujou, kan? Kau suka padanya, kan?"

Aku mengangguk. Tiada keraguan bahwa aku memiliki perasaan terhadap Fuyuki. Tidak pernah kuinginkan untuk berpisah dengannya, aku ingin tetap bersamanya. Itulah perasaan jujur yang meliputiku sekarang.

"Alasan yang paling membuatku kesal adalah karena kau sudah pernah kehilangan sesuatu yang sangat penting seperti keluargamu, dan kini kau malah mencoba melepaskan sesuatu yang begitu berharga buatmu sekarang.”

"Ah..."

"Pernahkah sekali saja Toujou menolakmu?”

Kali ini aku menggelengkan kepala. Aku sadar bahwa Fuyuki telah mendukungku selama ini. Ah, ya—

"Kau menyadarinya, kan?"

"...Yeah."

Semuanya tergantung pada bagaimana perasaanku. Tidak penting apa yang dipikirkan orang lain, mereka tidak punya kuasa untuk memaksakan sesuatu di antara hubunganku dengan Fuyuki. Aku seharusnya menyadari hal itu, tetapi aku malah mengabaikannya. Aku lebih memilih terperangkap di rawa yang gelap dan kehilangan arah.

"Terima kasih, Masaya."

"Yah, kurasa kau sudah bangun sekarang."

"Yeah, berkatmu."

Aku mengambil tangan yang ditawarkan oleh Masaya dan berdiri. Kami berdua menjadi malu setelah berlalunya momen-momen canggung sebelumnya. Namun dengan ini, aku merasa telah menemukan jalan yang harus kutempuh.

"Kau kembali seperti Haru di masa SMP."

"Apa-apaan, dah? Apakah aku mengalami regresi?"

"Tidak. Tapi, yah sebenarnya aku mengharapkan hal itu."

Entah apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Masaya, tetapi saat ini, itu bukanlah masalah. Aku tidak akan memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Hal yang terpenting sekarang, aku hanya perlu menjaga api kecil yang menyala di di dalam hatiku, agar tidak padam.

"Mau kembali?”

"Ya, ayo kita kembali.”

Sungguh, aku sangat bersyukur bahwa dia adalah sahabatku.

***

Saat aku dan Masaya kembali ke kelas, ternyata waktu istirahat makan siang sudah hampir berakhir. Aku hanya bertukar sekilas kontak mata dengan Fuyuki, lalu kami kembali ke tempat duduk masing-masing. Meskipun aku masih merasakan tatapan tidak menyenangkan dari beberapa orang, aku sudah tidak terlalu mempermasalahkannya lagi. Mungkin inilah bentuk 'kesungguhan' yang telah kukendalikan.

Waktu terus berjalan, dan tibalah saat sepulang sekolah. Ketika aku bersiap- siap pulang bersama Fuyuki, dia memintaku untuk menunggu sebentar, sehingga aku hanya menghabiskan waktu di dekat kotak sepatu. Melihat ke sekeliling, ada banyak siswa yang sibuk berlalu-lalang. Ada yang sibuk akan kegiatan klubnya, ada yang tinggal di kelas untuk belajar, dan ada juga yang hanya duduk-duduk dan mengobrol. Aku mendapati diriku memandangi mereka dengan perasaan yang damai.

‘Ah, begitu ya.’

Sebelumnya, aku bahkan tidak memperhatikan keberadaan mereka. Namun, begitu aku mengetahuinya sekarang, terbesit perasaan iri di dalam hatiku. Aku tidak ingin memiliki pandangan negatif terhadap seseorang yang bahkan belum pernah aku ajak bicara. Ditambah lagi, berkat Fuyuki-lah, aku bisa menikmati momen luang seperti ini, kendati aku pernah berniat meninggalkannya tanpa membalas budi.

Saat memikirkannya lagi, rasanya masih saja menyedihkan.

"—Hmm?"

Saat aku menegur diriku sendiri, terdengar suara seorang lelaki dari tikungan yang ada di ujung koridor, seolah-olah dia sedang mendebatkan sesuatu. Perlu diketahui, sebagian besar siswa yang ada di sekolah sekarang, mungkin telah pergi untuk mengikuti kegiatan klub atau sedang dalam perjalanan pulang, menyisakan area sekolah yang sepi. Mungkin itulah sebabnya aku bisa mendengar suara yang samar-samar ini.

‘Akan sangat buruk jika itu adalah pertengkaran ….’

Contohnya sudah terjadi saat jam makan siang sebelumnya. Dengan asumsi situasi di mana aku seharusnya memanggil sensei, aku dengan takut-takut menuju ke ujung koridor. Di ujungnya, terdapat deretan ruang kelas yang biasanya tidak digunakan, dan terbilang sepi. Namun, di tempat yang seperti itu pula, masih terdengar gema suara seorang lelaki yang marah.

"Kenapa bisa ...! Hei!"

Ketika aku mendengarkannya lebih dekat, itu adalah suara orang yang sama dengan yang kudengar selama makan siang sebelumnya, yakni Adachi, jagoan dari klub sepak bola.

"Bagaimana bisa kau berpacaran dengan si Inamori itu?"

Ketika namaku tiba-tiba disebut, aku secara refleks mengintip dari sudut ruangan dan memeriksa situasinya. Di sana, aku melihat Adachi dan Fuyuki. Memang benar, bahwa Fuyuki telah dipanggil oleh Adachi. Apalagi dia tadi mengatakan bahwa ini menemuinya, tetapi—

"Ya, aku sedang berpacaran dengan Haruyuki. Memangnya ada yang salah?"

"Itu aneh, kan?"

"Aneh?"

"Tadi aku bertemu dengan Inamori di koridor. Tapi, daripada berpacaran dengan orang yang membosankan seperti itu, maka jelas aku lebih baik, kan?”

Seketika, aku terkesiap.

"Kau menolak pengakuan cintaku. Saat itu aku begitu terkejut, padahal aku belum pernah ditolak sebelumnya. Tapi, karena kau seorang putri dari sebuah perusahaan besar, aku terpaksa menerima keputusanmu, barangkali kau sudah dijodohkan melalui relasi perusahaanmu. Namun, kau malah berpacaran dengan laki-laki membosankan seperti itu? Aku bahkan tidak mengerti lagi."

"Lagian, tidak ada hubungannya denganmu, kan?"

"Aku tahu. Tapi, aku suka denganmu. Itu sebabnya aku tidak bisa menerima saat kau berpacaran dengan lelaki seperti itu."

Adachi dengan penuh emosi menempelkan tangannya ke dinding sambil mendekati Fuyuki.

"Jangan-jangan, kau sedang bermain-main dengan Inamori? Kalau memang begitu, aku akan bekerja sama denganmu, tapi jadikan aku sebagai cinta sejatimu?"
[ED Note: Ini alasanku ngedrop TLnya, mules liat drama manusia aneh kepedean kyk gini -_- Thx sensei, udah ngelanjutin~]

Wajah mereka sangat dekat. Suatu perasaan gelap yang berbeda dari yang menghampiriku saat istirahat makan siang, membuatku seketika hampir melompat keluar. Namun—

"Haha …. Hahaha."

Sebelum itu terjadi, sebuah tawa keluar dari mulut Fuyuki.

"Eh, apa?"

"Oh, maaf. Aku hanya merasa lucu ketika kamu bilang hubunganku padanya hanyalah permainan." Dia tertawa sejenak, lalu mengembuskan napas dalam- dalam untuk menenangkan dirinya.

"Sejujurnya, aku serius. Setiap hari aku harus menyimpan rasa takut di dalam hatiku, khawatir kalau-kalau dia akan meninggalkanku dan merasa jijik padaku."

"...Takut?"

"Terus terang, aku malah sangat ingin bermesraan dengannya. Tapi, jika aku mendekatinya begitu tiba-tiba maka itu hanya akan membuat bingung dirinya yang tulus itu. Dan sekalipun aku ingin memamerkannya kepada orang-orang, aku merasa tindakanku itu hanya akan mengancam kehidupan sekolahnya yang damai. Bukannya aku sombong atau apalah ya. Tapi, aku sendiri sangat paham, dampak seperti apa yang akan terjadi jika ada hal yang melibatkanku. Yah, meski sekarang sudah terlambat, sih."

Fuyuki mengungkapkan semuanya dengan nada sinis, seolah sedang menyalahkan dirinya sendiri. Menghadapi keadaan itu, membuat Adachi kebingungan. Mungkin sebelumnya dia mengira bahwa Fuyuki itu orang yang sempurna dalam segala hal, sopan, dan tenang. Aku pun juga memikirkan hal yang sama. Namun, itu hanyalah sebagian kecil dari kebenaran seorang Toujou Fuyuki. Begitu kami mulai menghabiskan waktu bersama, aku akhirnya menyadari.

"... Alasan aku tidak bisa berpacaran denganmu adalah karena sejujurnya aku tidak menyukaimu. Aku tidak suka gaya rambutmu yang mencolok itu, aroma rambutmu yang menyengat dan aneh, caramu memandang rendah orang lain karena hanya kamu sedikit lebih baik dari mereka, semuanya membuatku tidak nyaman. Kenapa kamu tidak mencoba untuk hidup dengan lebih rendah hati? Percaya diri itu memang hal yang bagus, tapi dalam kasusmu, itu terlalu berlebihan, oke? Harusnya kamu itu sadar dengan batasan dirimu untuk hidup bermasyarakat nantinya. Kuharap kamu bisa merenungkan hal ini."

"Ah … Aaah.”

"Syukurlah. Kalau begitu—Haruyuki-kun, ayo kita pulang."

Aku terkejut ketika namaku dipanggil secara tiba-tiba di luar kesadaranku, membuatku melepaskan suara yang aneh. Adachi hanya menatapku dengan ekspresi heran. Sementara itu, Fuyuki memandangku dengan pandangan yang penuh perhatian.

"Yah, itu … maaf. Aku tidak bermaksud mengintipmu."

"Kamu mengkhawatirkanku, kan? Haruskah aku bilang kalau Haruyuki-kun itu orang yang sangat perhatian, kan? Sekarang, urusanku sudah selesai, jadi ayo kita pulang bersama."

"Ah … ya, baiklah."

Aku membungkuk pelan pada Adachi yang terlihat tertegun, dan menunggu Fuyuki yang dengan segera datang menghampiriku. Kemudian dia berhenti di tengah koridor dan menoleh ke arahnya.

"Ah, aku tidak keberatan kok kalau kamu ingin menjelek-jelekkan diriku sebagai bentuk balas dendammu. Tapi, biar kukatakan bahwa aku bukanlah tipe orang yang akan terpengaruh oleh hal-hal seperti itu. Kalau ada hal yang mau dikatakan, langsung saja bicarakan dengan terus terang. Mari kita bahas sampai tuntas.”

Selanjutnya—Setelah mengatakan kata-kata penutup itu, Fuyuki menarik tanganku dan meninggalkan Adachi. Sejujurnya, dia sangat keren.

"Maaf ya, Haruyuki-kun."

"Eh, kenapa begitu?"

Saat kamu sedang dalam perjalanan menuju tempat Hino-san memarkir mobilnya, aku dibuat bingung dengan permintaan maaf mendadak dari Fuyuki.

"Entahlah … aku merasa telah menunjukkan sisi burukku padamu."

Sisi buruknya? Aku tidak mengerti apa yang dia maksudkan saat itu.

"Kurasa sudah waktunya bagiku untuk memberitahu Haruyuki."

"Hah!?"
 
"Tentang alasan sebenarnya aku jatuh cinta sama Haruyuki-kun."

Itulah hal yang paling ingin kuketahui. Ada kecanggungan tipis yang mengalir di antara kami. Meskipun aneh untuk diungkapkan, tetapi itulah satu-satunya cara untuk mengungkapkan perasaan itu.

"Sampai saat aku SMP, aku kurang perasaan empati."

"Kurang?”

"Haha, mungkin kamu tidak tahu, ya? Tapi ya, sebenarnya aku menjalani hidup tanpa memperhatikan perasaan orang lain."

—Hal itu dimulai saat dia masih di sekolah dasar. Toujou Fuyuki adalah seorang anak yang berbakat. Dia bisa menangani berbagai hal dengan sempurna. Dalam hal pelajaran sendiri, dia bisa mendapatkan nilai sempurna saat ujian tanpa perlu mengikuti les tambahan. Dia menyadari keistimewaan yang bersemayam di dalam dirinya.

Suatu hari, dia mengetahui bahwa seorang karyawan perusahaan ayahnya telah melakukan kesalahan besar. Ayahnya memaafkan kesalahan karyawan tersebut dan memberinya lebih banyak pekerjaan untuk menebusnya. Namun, karyawan tersebut akhirnya malah menggelapkan uang perusahaan dan melarikan diri. Itulah yang sebenarnya direncanakan oleh karyawan tersebut sejak awal. Adapun Fuyuki, dia telah diajari untuk tidak terlalu baik kepada orang lain.

Kemudian, tibalah saat dia duduk di bangku SMP. Toujou Fuyuki, dengan bakatnya yang luar biasa, membuatnya semakin populer. Banyak orang mulai datang untuk mendekatinya, mencoba mengambil keuntungan darinya. Akan tetapi, dia tidak menolak mereka, bahkan lebih suka bersosialisasi dengan mereka, mengagumi arti penting dari sebuah persahabatan. Dia melupakan pelajaran untuk yang melarangnya terlalu baik kepada orang lain dan tidak mudah mengulurkan tangan langsung untuk memberikan bantuan.

Namun, dia dikhianati. Seketika itu juga, dia teringat kembali pelajaran di masa SD-nya dan mempelajari sebuah pelajaran baru, bahwa terlalu baik kepada orang lain justru akan merugikan dirinya sendiri

"Sejak saat itu hingga lulus, sikapku menjadi sangat buruk. Aku menjauhi siapa pun, tidak mempercayai siapa pun, dan melontarkan kata-kata yang kasar kepada setiap orang yang mencoba mendekatiku. Aku yakin jika Haruyuki-kun melihatku saat itu, kamu pasti akan membenciku."

"Apa benar bakal begitu, ya?"

"Haha, jangan terlalu khawatir. Itu hanya kisah masa lalu yang kelam kok.”

"... Terus, bagian mananya yang terkait denganku?"

"Suatu hari saat perjalanan pulang sekolah, Dari jendela mobil yang dikemudikan oleh Asahi, aku melihat seorang anak laki-laki berbicara dengan seorang perempuan tua yang kesulitan menaiki jembatan penyeberangan."

Fuyuki tersenyum dengan ekspresi yang penuh kenangan saat menatapku.

"Lelaki itu adalah satu-satunya orang yang berbicara dengan perempuan tua itu, sementara sebagian besar orang hanya mengabaikannya, terlalu malas untuk mendengarkan. Kemudian, dia menggendong perempuan tua itu di punggungnya dan mulai memanjat jembatan penyeberangan dengan tekad. Tapi, tubuhnya yang belum terlalu kuat sebagai siswa SMP, tidak mampu mengatasi beban yang begitu berat. Aku masih ingat bagaimana ekspresi kelelahannya saat dia menaiki tangga dengan segenap kekuatannya."

"Haha, agak memalukan, ya." Aku menanggapinya.

"Hehe, mungkin begitu. Tapi dia tidak menyerah dan berhasil sampai ke atas. Dia terlihat begitu mempesona bagiku. Dan saat itu aku menyadari bahwa ada begitu banyak orang baik di dunia ini."
 
Jari-jari Fuyuki terselip ke dalam tanganku. Lalu, dia mengangkatnya, dan menjalin jari-jariku dengan kedua tangannya, seakan ingin menegaskan.

"Tentu saja, lelaki itu adalah dirimu, Haruyuki-kun. Hari itu, dan tempat itu adalah tempat pertama kali aku merasa jatuh cinta."

"Fuyuki ..."

"Jangan khawatir, Haruyuki-kun. Apapun yang terjadi kedepannya, aku akan selalu berada di sisimu."

Aku yakin kata-kata itu mengacu pada situasi yang kami hadapi di sekolah. Di saat yang sama, kata-katanya itu membuatku bahagia. Itu sebabnya aku punya sesuatu yang juga harus kusampaikan padanya. Aku harus memberitahunya bahwa kami tidak akan pernah terpisah.

"Fuyuki, ada hal ingin kuminta darimu.”

"Ya, apa itu? Aku akan membantu, jika aku bisa."

"Aku ingin kau—"

—Menjadikan aku lelaki yang layak untukmu.

"...Baiklah. Jika itu yang kamu inginkan."

Fuyuki memahami maksudku dan terlihat bahagia bercampur semangat. Lalu, kami pun saling berpegangan tangan dengan erat.

TL: Zhone-sensei

ED: Retallia

|| Previous || ToC || Next Chapter ||

0

Post a Comment



close