NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kyou mo Ikitete Erai! [LN] Volume 1 Chapter 8

Chapter 8 - Aku Milikmu

"─Ini tidak apa-apa, kan?"

Aku keluar dari mobil Hino-san, menghadap ke arah Fuyuki, yang juga sudah keluar dari sisi lain mobil, lalu bertanya padanya.

"Hehe. Ya, tentu saja. Kamu kelihatan benar-benar cocok sehingga aku merasa semakin terpesona setiap kali aku melihatmu.”

"... Rasanya jadi malu, dah."

"Tapi begitulah kenyataannya, lho."

Ketika Fuyuki, yang hampir seperti wanita sempurna, menilaiku seperti itu, rasa percaya diriku pun mulai muncul dengan sendirinya. Aku telah meminta bantuannya untuk memperbaiki penampilanku. Aku mencoba pergi ke salon kecantikan yang dia rekomendasikan kepadaku dan bahkan mengunjungi salon perawatan yang dimiliki oleh Toujou Group. Setidaknya, kurang lebih sepekan terakhir ini, aku telah mengunjungi berbagai tempat untuk memperbaiki penampilanku. Tentu saja, efek dari perawatan salon kecantikan akan membutuhkan waktu, tetapi sebagai hasilnya, aku merasa telah cukup berubah, percaya bahwa aku sudah semakin lebih baik. Mungkin agak berlebihan, tetapi rasanya seperti telah terlahir kembali.

"Sejujurnya, aku tidak ingin menunjukkan Haruyuki-kun yang sekarang kepada siapa pun."

"Kalau begitu tidak ada gunanya pergi ke sana kemari, kan?"

"Memang benar sih, tapi … eh, Haruyuki-kun jahat, deh."

Ketika dia mengatakannya seperti itu, aku jadi merasa tidak enak. Aku tidak bisa mengabaikan keinginannya setelah aku sendiri yang meminta bantuannya. Saat aku berpikir keras untuk memutuskan apa yang harus kulakukan, Fuyuki tiba-tiba tertawa terbahak-bahak seakan sudah tidak tahan lagi.

"Haha, aku hanya bercanda, kok."

"Kau mempermainkanku lagi, ya?"

"Maaf, deh. Tapi aku lega melihat Haruyuki-kun masih tetap menjadi dirimu sendiri. Aku hampir mengkhawatirkanmu karena penampilanmu yang sudah begitu sempurna."

"Semua ini berkat Fuyuki, sih."

"Aku tidak menyangkal bahwa aku ikut berkontribusi, tetapi ya balik lagi ini semua karena usaha keras Haruyuki-kun. Aku juga sadar bahwa aku telah memberatkanmu selama sepekan terakhir."

Memang, kesibukan selama sepekan terakhir terasa sangat mirip dengan hari-hariku yang penuh dengan pekerjaan paruh waktu sebelum tinggal bersama Fuyuki. Satu-satunya yang menjadi perbedaan besarnya adalah bahwa aku sama sekali tidak merasa tersiksa. Setiap kali aku mengingat upayaku ini demi Fuyuki, energi selalu saja muncul sekalipun sudah merasa lelah. Sudah lama sekali aku tidak merasa sepositif ini.

"Baiklah, haruskah kita pergi?"

"Ya, ayo kita pergi."

Kami berdua pun berangkat ke sekolah bersama. Setelah hubungan di antara kami terbongkar, maka tidak ada lagi alasan untuk berpisah saat menuju gerbang sekolah. Dalam perjalanan dari sana hingga menuju ruang kelas, kami merasakan tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang terlihat terkejut dan menoleh ke arah kami setiap kali berpapasan. Apakah ini karena dampak perubahanku yang sukses, atau hanya karena Fuyuki saja yang tetap menarik seperti biasa pada hari ini?

"Eh …. Eh! Toujou-san! Orang itu—"

"Yoshida-san, Satou-san, selamat pagi."

Ketika berjalan menyusuri koridor, kami bertemu dengan Yoshida-san dan Satou-san, yang sama terkejutnya seperti yang lain. Mereka menatapku dan Fuyuki secara bergantian, lalu yang anehnya, mereka mengelus dada dengan perasaan lega.

"Syukurlah … ternyata kamu sudah putus dengan Inamori-kun."

"Aku sudah tahu bahwa dia tidak cocok untuk Toujou-san. Tapi, luar biasanya, kamu sudah punya pacar baru."

"Aku terkejut … tapi dari kelas mana dia? Memangnya ada orang seperti dia?"

"Ya, betul tuh. Yah, pasti terlihat lebih cocok daripada si Inamori itu.”

Eh? Jangan bilang mereka menyadari kalau ini aku? Jelas, aku telah mengubah gaya rambutku dan penampilan wajahku sedemikian rupa, tetapi seharusnya perubahan itu tidaklah cukup sampai membuat orang lain mengira bahwa aku adalah orang yang berbeda.

"Hehe. Sepertinya mereka sama sekali tidak menyadarinya. Sungguh membuatku terheran-heran."

Dengan gumaman pelan dari Fuyuki, aku juga menyadari hal yang sama. Mereka bahkan hampir tidak mengenaliku sejak sepekan yang lalu. Mungkin mereka hanya secara sekilas mengetahui tentangku dan tidak pernah memperhatikan wajahku. Namun, bagiku itu bukanlah masalah. Malahan, aku merasa sangat senang sampai-sampai hampir ingin tertawa. Baik aku maupun Fuyuki tidak menyangka usaha kami akan membuahkan hasil seperti ini.

"Perhatikan baik-baik. Orang yang berdiri di sampingku ini adalah Haruyuki Inamori."

""—Eh?""

Dua orang yang mendengar itu, membuka matanya lebar-lebar saat menatapku. Mungkin kesannya tidak pantas, tetapi sikap mereka memang lucu.

"S-Serius, ini Inamori ...?"

"Bohong … apa benar dia punya wajah seperti ini?"

Melihat reaksi mereka, Fuyuki memasang wajah superior di sampingku. Hanya dengan melihat wajahnya, aku merasa semua usaha yang telah kami lakukan tidaklah sia-sia.

"Haruyuki-kun, ayo kita segera masuk ke kelas, oke?" Sambil mengatakan itu, Fuyuki menarik tanganku dan melangkah masuk ke dalam kelas.

Perhatian teman-teman sekelasku terfokus pada Fuyuki dan aku. Ada yang terkejut, bingung terkaget-kaget, dan ada juga yang tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi mereka beragam, tanpa ada keseragaman yang jelas. Beberapa di antara mereka, mungkin sama seperti Satou-san dan Yoshida-san, bahkan tidak mengenali aku. Begitulah, keberadaan Haruyuki Inamori itu sama saja, entah ada di sini atau tidak. Namun, aku tidak bisa lagi membiarkan semuanya tetap seperti itu.

"—Yoo, Haru. Inikah yang namanya evolusi?"

"Ya, aku mencoba berubah sedikit drastis dengan bantuan Fuyuki."
 
"Yah, keren sih. Kau terlihat sangat berbeda!"

Masaya adalah satu-satunya yang menyapaku seperti biasa, tetapi setelah melihat penampilanku lagi, dia tersenyum bahagia. Sepertinya dia merasa puas dengan perubahanku. Tiba-tiba, aku melihat ke arah kepalan tangan Masaya. Inilah yang membuatku kembali tersadar.

"Aku tidaklah sebodoh itu sampai-sampai lupa dengan betapa beratnya hantaman tinju dari seorang jagoan klub basket."

"Haha! Benar juga, ya. Syukur dah."

Sekarang, aku menyadari bahwa Masaya tetap menghantamkan tinjunya padaku meskipun dia tahu bahwa cedera tangannya akan berdampak langsung pada kariernya sebagai pemain. Dia telah mempertaruhkan apa yang berharga dalam hidupnya hanya untuk membangunkanku. Aku memiliki utang budi yang tidak terukur nilainya kepada Fuyuki dan Masaya. Maka dari itu, aku harus membalasnya.

“Ini tidak adil."

"Fuyuki?"

"Persahabatan di antara laki-laki, itu curang. Itulah sesuatu yang tidak bisa aku dapatkan."

"Yah, bahkan jika kau bilang begitu ….”

Fuyuki jarang sekali terlihat tidak puas, sekarang pipinya menggembung dengan jelas.

"Maaf, tapi peran sebagai teman dekatnya harus tetap ada di aku,” ucap Masaya.

"Haah, tidak apa-apalah. Aku juga tidak akan pernah melepaskan peran istri ini,” balas Fuyuki.

"Aku tidak akan membutuhkan itu…”

Obrolan mereka sangat lucu sehingga aku sendiri tidak bisa menahan tawa. Namun, kedua orang yang membuatku tertawa itu, malah menatapku keheranan, seakan aku yang tertawa adalah hal yang tidak biasa.

"M-Maaf … aku hanya merasa irama obrolan kalian terdengar lucu.”

Gelak tawaku meluap dari dalam diriku, dan aku tidak bisa berhenti dibuatnya. Perasaan yang telah kutahan selama ini, seolah meledak dan mengalir keluar—mengisi pikiran, tubuh dan batinku.

"...Kamu akhirnya sudah bisa tertawa dengan bahagia, ya?"

"Ya. Ini semua berkat kalian berdua."

"Sebenarnya, agak kurang tepat, sih. Jelas sekali bahwa Toujou-lah orang yang telah mengubahmu. Aku hanya membantu sedikit."

Memang, semuanya dimulai oleh Fuyuki. Andaikan aku tidak bertemu dengannya, tidak akan pernah terjadi situasi di mana aku dipukuli oleh Masaya. Meskipun begitu, itu tidak akan mengurangi rasa terima kasihku kepada Masaya.

"Tetap saja, terima kasih."

"...Okelah."

Masaya dengan malu-malu menggosok hidungnya, lalu membalikkan badan dan kembali ke tempat duduknya. Sementara aku dan Fuyuki masih berdiri di sana, kami saling berpandangan dan kembali tertawa.

"Fuyuki?"

"Ya, ada apa?"

"Malam ini, ada satu hal yang ingin kusampaikan. Bisakah kau menyediakan waktu untukku?"

“Tidak perlu bertanya segala. Tentu saja, aku akan dengan senang hati menemanimu selama yang kamu mau.”

"Terima kasih ….”

Ada hal yang ingin kusampaikan, sesuatu yang perlu kukatakan, di mana aku sudah mengambil keputusan.

***

Kembali lagi, saat istirahat makan siang. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke kelas setelah sendirian menyelesaikan hajatku di toilet. Aku merasa familiar dengan situasi yang sedang terjadi ini. Saat aku mengingat perasaan itu, aku melihat Adachi bersama seorang teman berjalan dari arah yang berlawanan. Itu benar. Aku juga berhutang budi padanya, meskipun dalam artian yang berbeda dari Fuyuki dan Masaya. Aku tetap berdiri tegap di tengah koridor dan terus berjalan.

"Eh …? Kau ... Inamori, ya?"

"Bagaimana kau bisa tahu? Kukira kau tidak akan mengingat wajahku.”

"H-Hah? Ada apa dengan perubahanmu itu? Apa kau merasa sombong hanya karena berpacaran dengan Toujou?"

Dia masih saja menjadi orang yang sinis seperti biasanya. Namun, aku bukan lagi tipe orang yang akan tersinggung dengan kata-kata seperti itu. Aku hanya menarik napas dalam-dalam dan melepaskannya. Ini adalah satu-satunya orang yang membuatku merasa berhutang budi yang tidak bisa kubayar.

"—Kau menghalangi, minggirlah."

"Hah!?"

Kurasa ini pertama kalinya aku mengucapkan kata-kata yang tajam seperti itu. Aku menatap langsung ke mata Adachi dan menunjukkan tekadku untuk tidak mundur. Aku tidak ingin kalah dari lelaki seperti dia. Sekali-kali, tidak akan pernah aku berikan Fuyuki kepada orang sepertinya.

"Apa maksudmu … dan kenapa pula aku yang harus minggir?"

"..."

"Kau yang sendirian, jadi jangan terus-menerus menghalangi jalanku. Dasar menjengkelkan ….”

Seolah-olah menghindari tatapanku, matanya berkedip menjauh dari tatapanku. Kegelisahan yang jelas dari sikapnya. Oleh karena itu, aku tetap tegar. Aku sudah mengambil keputusan saat itu. Daripada merasa bingung dan ragu, aku harus bergerak sendiri dan tumbuh menjadi lelaki yang tidak akan membuatku malu saat berada di sisi Fuyuki.

"Aku sungguh tidak mengerti, kenapa kau menyusahkan diri dengan cara seperti ini … sungguh idiot.”

Setelah menyadari perkataanku yang tidak mau mundur, Adachi akhirnya menutup mulutnya. Kemudian dia melakukan kontak mata denganku lagi, tetapi dengan cepat kembali memalingkan wajahnya. Aku masih terus menatap Adachi tanpa berkedip.

"—Ah, sudahlah. Ayo pergi."

Adachi menghindariku dan berjalan menyusuri koridor bersama temannya. Aku yang tertinggal, terus maju ke kelas tanpa berbalik untuk melihat. Mungkin itu bukan pembalasan yang besar, tetapi itu adalah langkah maju yang penting bagiku.

"... Yosh."

Sambil mengepalkan tanganku, aku bergerak maju tanpa berpikir untuk berbalik lagi.

***

Aroma bunga yang mewah tercium di udara. Ingatanku membawaku kembali kepada momen-momen di mana orang tuaku sedang mengobrol sambil menonton acara hiburan yang mengundang gelak tawa, di ruang tamu yang tidak begitu luas itu. Saat itu, aku berdiri di sana ketika memberi tahu mereka bahwa aku mendapat nilai bagus dalam ujian sekolah, dan mereka pun sangat memuji usahaku.
Bagiku, itu adalah rutinitas harian yang biasa. Namun, pada malam harinya, semuanya berubah menjadi kacau balau. Aku duduk sendirian di ruang tamu, teringat sedang menonton berbagai acara yang sama dengan yang biasanya kami bertiga tonton pada hari itu. Aku masih bisa mendengar suara ceria dari para pelawak dan selebritas yang tampil dalam segmen-segmen menarik, serta masih ingat betul, bahwa aku berkata dalam hati, 'Acaranya sangat menarik.'.
Namun, di saat yang sama, acara itu tidak terasa lucu sama sekali. Bahkan, aku dilanda keraguan yang samar-samar mengenai apa yang sedang kulakukan. Barulah keesokan harinya, aku mulai menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa. Jika memikirkannya, aku merasa seolah-olah sebagai anak yang tidak tahu terima kasih dan kurang rasa empati. Namun sekarang, aku merasa tindakanku saat itu hanyalah sekadar pelarian dari kenyataan.

"Kau sudah berubah ya, Haru." Masaya berkata seperti itu begitu aku masuk SMA.

Aku sendiri tidak menyadari perubahan yang terjadi di dalam diriku, membuatku hanya meresponnya dengan perasaan bingung.
 
“Entah bagaimana bilangnya, ya? Yah, pada intinya kau tidak berubah, sih….”

"Apa? Katakan dengan jelas."

"... Tidak, tidak usah dibahas lagi."

Masaya mengakhiri pembicaraan di sana dan tidak memberiku kesempatan untuk mengajukan pertanyaan berikutnya. Mungkin, dia ingin menunjukkan bahwa aku sebelumnya tidak pernah tertawa dengan tulus dari hati. Aku bahkan tidak menyadarinya saat itu, tetapi sekarang, aku bisa memahaminya. Sejak bertemu dengan Toujou Fuyuki, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku mengalami saat di mana aku bisa tertawa lega seperti dahulu. Itulah sebabnya, aku membuat keputusan. Selama dia menginginkanku, aku akan—
(TLN: Intinya yang barusan di atas itu hanyalah mimpi.)

"Oh, kamu sudah bangun?"

"... Hmm, aku … ketiduran, ya?"

"Ya, kamu tertidur sangat nyenyak."

Aneh, aku mendengar suara Fuyuki datang dari atas kepalaku. Begitu aku membalikkan badan dan melihat lurus ke atas, ada gunung raksasa di hadapanku. Saat itu juga, aku langsung menyadari bahwa itu adalah payudaranya, dan pada saat yang sama, aku teringat telah tertidur di pangkuannya.

"Hehe. Sepertinya kamu sangat lelah selama sepekan terakhir sehingga kamu langsung tertidur saat aku mencoba membersihkan telingamu. Karena itu, aku jadi bingung harus ke mana memasukkan korek telinga ini."

"Uh … maaf."
 
"Hanya bercanda, deh. Aku senang bisa melihat wajah tidurmu yang menggemaskan. Selain itu, akulah yang memaksamu untuk tidur di pangkuanku ...." Sambil mengatakan itu, tangan Fuyuki dengan lembut membelai kepalaku. Tangannya begitu nyaman hingga rasa kantukku pun kembali menghampiri.

"—Haruyuki-kun? Kamu punya sesuatu yang ingin dibicarakan, bukan?"

"Oh, iya."

Ini bukan saatnya untuk tidur. Aku pun segera bangkit dan menghadap Fuyuki yang berada di sofa ruang tamu.

"Fuyuki, aku punya sesuatu yang ingin ku sampaikan."

"Ya, ada apa?"

Mata Fuyuki sedikit bergetar. Aku bisa merasakan bahwa dia sangat gugup dan hal itu juga membuatku cemas. Kurasa dia mungkin tahu apa yang ingin kukatakan.

"Sebentar lagi, satu bulan yang telah kita janjikan akan berlalu. Selama ini, kau telah memberikan banyak hal kepadaku."

Kenyamanan, kesehatan, dan saat-saat menyenangkan. Tiada    habis rasanya untuk menghitungnya.

"Apa yang pertama kali ingin kukatakan adalah … kau telah membuat hari-hariku menjadi lebih menyenangkan. Jadi, terima kasih."

Aku merasa seolah sedang berjalan di dalam kegelapan yang tidak berujung. Aku telah kehilangan kedua orang tuaku, menolak kerabatku, dan lebih memilih untuk menjalani hidup sendirian. Tiada sedikit pun penyesalan atas keputusanku itu. Bahkan, aku pernah berpikir bahwa lebih baik mati di ladang daripada dirawat oleh kerabat seperti itu. Namun, hanya ada satu hal yang harus kumintai maaf, yaitu atas apa yang telah kulepaskan, memberikan seluruh barang peninggalan kedua orang tuaku. Meski begitu, aku merasa harus berterima kasih kepada mereka yang telah mengajarkanku kebaikan. Aku tahu mereka sedang menertawakanku dari langit, sambil mengatakan bahwa aku adalah anak yang bodoh.

—Aku yakin berkat Fuyuki jugalah, yang membuatku bisa memandang segala hal dalam sudut pandang yang lebih positif.

"Aku ingin membalas budi kepadamu, Fuyuki. Tapi, itu bukanlah sesuatu yang bisa kukembalikan dengan. Jadi, aku telah memikirkan berbagai hal ….”

Apa yang akan kukatakan sekarang pasti akan terdengar seperti ucapan konyol di mata siapa pun yang mendengarnya. Namun, hanya itu yang bisa kupikirkan. Aku memaksa mulutku untuk berbicara, yang hampir tergagap, menatap langsung ke mata Fuyuki, dan melantunkan serangkaian kata-kata.

"Jika kau … jika kau benar-benar menginginkanku, tolong—terimalah diriku seutuhnya.”

"Eh?"

"Aku ingin menjadi milikmu, Toujou Fuyuki."

Mendengar kata-kata ini, seketika itu pula air mata Fuyuki menggenang di sudut matanya. Air mata yang pada awalnya hanya menetes perlahan, kemudian mengalir deras membasahi pipinya. Tingkahnya yang menangis seperti anak kecil, sampai-sampai meleburkan penampilan cantiknya, dan dengan lembut melompat ke dalam pelukanku. Kelembutan dan aroma tubuhnya menjadi rangsangan yang sangat kuat, sekaligus menjadi pertama kalinya aku memeluknya dengan lembut.

"K-Kamu serius, kan? Aku boleh memilikimu seutuhnya…."

"Iya, boleh kok."

"Kamu beneran mau..., kan? Aku ini orangnya pencemburu, tahu?"

"Aku tahu, kok."

"Bahkan, kalau aku menetapkan jam malam buatmu …?"

"Ya, aku tahu."

"Kalau kamu makan malam di luar, aku bakalan ngambek, lho?"

"Aku tidak keberatan, kok."

"Aku mungkin bakalan langsung menuduhmu berselingkuh hanya karena kamu berjalan berduaan dengan gadis lain—"

"Aku siap menerimanya."

"Kalau sampai itu terjadi, aku akan mengurung Haruyuki-kun."

"Baiklah..."

"T-Terus…bagaimana kalau aku bilang ingin dinikahi olehmu?"

"Ayo."

"Serius?"

"Yup, aku serius."

"Nah, kalau begitu, aku boleh memanggilmu Haru-kun?"

"Boleh. Lagian, aku milikmu sekarang."

Aku memutuskan untuk menerima semua yang Fuyuki inginkan. Dengan segera menjawab permintaannya seperti ini, aku rasa aku telah membuktikan bahwa tekadku ini tulus.

"Mulai hari ini, Haru-kun, kamu adalah milikku."

"Yeah."

"Aku tidak akan memberikanmu kepada siapa pun."

"Ya, aku tidak akan berpindah hati ke orang lain."

"Aku sangat … bahagia."

Pelukan Fuyuki menjadi semakin menguat. Pada saat itu, aroma lembut bunga tercium dari lehernya.

"Fuyuki, kau memakai parfum, ya?"

"Hah? Oh, iya. Aku memakai sedikit parfum ‘Suzuran’ supaya bisa membuatmu merasa rileks sih."

Suzuran? Ah, Suzuran ya? Bunga putih cantik yang disukai oleh orang tuaku—‘Suzuran memiliki arti ‘Kembalinya kebahagiaan’.
Begitulah bahasa bunga yang diajarkan oleh mendiang ibuku. Bahkan, saat itu aku yang masih seorang anak-anak, sangat menyukainya.

"Ha-ha, seperti bahasa bunga, ya."

"Iya."

Aku memeluk erat Fuyuki sehingga jatuh terlentang di atas sofa. Dia berada di atas tubuhku, dengan kepalanya yang terbenam di dadaku. Apa yang bisa kulihat dari sini hanyalah ujung kepalanya, tetapi entah kenapa, itu saja sudah membuatku terpesona akan kehadirannya—membuatku tersadar bahwa aku telah jatuh cinta padanya. Aku tidak ingin kehilangan dia. Untuk itu, aku harus terus menjadi lebih dewasa.

"... Hehe."

"Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa kok, hanya saja aku bisa mendengar detak jantungmu dari sini. Haru-kun hidup saja sudah membuatku bahagia."

"Hanya karena mendengar detak jantungku?"

"Ya. Aku sudah bilang padamu sebelumnya, kan? Bahwa Haru-kun bisa bertahan hidup saja itu sudah luar biasa."

Ketika dia mengatakan itu sebelumnya, aku hanya merasa bahwa ucapannya itu agak berlebihan. Namun sekarang, aku bisa merasakan perasaan suka cita saat mendengarnya.

"Saat itu, aku hanya sekadar masih hidup."

"... Ya."

"Tapi, sekarang aku merasakan sedikit perbedaan."

Jantungku memang berdegup, dan aku bernapas. Tentu saja, itu sudah bisa dianggap sebagai hidup. Namun, saat ini, aku merasakan ada makna yang berbeda daripada hal itu.

"Entah bagaimana, aku tahu apa yang Haru-kun maksudkan."

Fuyuki mengangkat dirinya dan bergerak maju sedikit, menatap wajahku dari atas.

"Jadi, biarkan aku mengatakannya sekali lagi. Aku bangga bisa hidup sampai hari ini."

Perlahan-lahan dia mendekat dan mendaratkan sebuah kecupan di dahiku. Berbeda saat aku diliputi rasa malu, tidak peduli seberapa banyak pujian yang dialamatkan kepadaku, sekarang aku merasa benar-benar bahagia. Hanya ada satu alasan. Itu karena aku telah belajar untuk lebih percaya diri dalam menjalani hidup
Bagi kami, 'hidup' itu perihal—berjuang untuk melihat ke depan, dan terus melangkah maju.

TL: Zhone-sensei

ED: Retallia

|| Previous || ToC || Next Chapter ||

0

Post a Comment



close