NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tomeina Yoru Ni Kakeru-kun Volume 1 Chapter 1

 


Chapter 1 - Pertemuan 


Seorang dokter berdiri dengan tangan terlipat di samping tempat tidur.

Di dekat jendela, bunga-bunga hias diletakkan. Batang yang kokoh menjulang tegak dan berbagai bunga putih mekar di tiap ujungnya.

Melihatnya, membuatku merasa seperti sedang melihat kembang api yang mekar di langit malam. 

Setiap kali tirai putih bergerak, ada aroma manis yang tercium. 

Setelah beberapa saat, dokter pun berbicara. Meskipun aku telah siap, hanya suara tersendat yang keluar, 

"Cukup, mari kita akhiri saja."


🔸◆🔸


Pada saat aku terlelap dalam tidur, suara keras dari Narumi membangunkanku. 

Aku bertanya-tanya, apa yang dia lakukan? Mempersembahkan lelucon dari wilayah Kansai? 

Saat membuka mata, semua orang bertepuk tangan dan tertawa.

Seorang pria besar dengan wajah bangga berdiri di sampingku. Itu Narumi. 

Aku sama sekali tak merasa menyesal karena melewatkan penampilan Narumi yang hanya sekali itu. Lebih tepatnya, aku merasa agak kesal karena telah dibangunkan. 

Aku menyodok Narumi yang hendak duduk, dengan sikuku.

"Oi, Sorano, sudah bangun?"

Narumi dengan wajah ceria memukul punggungku.

"Aku mimpi aneh."

"Aneh gimana?"

"Entahlah.... rasanya suram."

"Apa sih itu?"

Saat ini, sedang berlangsung acara penyambutan mahasiswa baru gabungan yang diselenggarakan oleh beberapa klub.

Dipaksa Narumi untuk ikut, aku memilih duduk di kursi paling belakang, yang letaknya memungkinkan aku melihat keseluruhan ruangan tatami dengan jelas.

Rasa kurang bersemangat karena bergabung dengan pesta yang tidak aku minati, ditambah dengan kurangnya waktu tidur, membuat semangatku merosot drastis.

"Bangun dong. Kalau sudah datang, sebaiknya kita nikmati saja. Kalau tidak, kau sendiri yang rugi, lho."

"Tapi kan kau yang memaksaku kemari."

Narumi, teman sekamarku di asrama universitas, tadi malam tiba-tiba berkata, 'Gimana kalau kita rombak kamarnya?' Alhasil, kami mengubah tata letak kamar semalam, dan aku harus begadang hingga pagi.

Hari ini, aku rasanya ngantuk sekali sepanjang hari. Setelah kuliah selesai, kupikir aku bisa langsung tidur, tapi ternyata Narumi malah memaksaku ikut dalam pesta penyambutan mahasiswa baru gabungan. 

Di sebelahku, Narumi dengan penuh semangat mengamati seluruh ruangan.

Sungguh, stamina seperti apa yang dia miliki...?

Sambil memegang segelas teh oolong, aku tiba-tiba melihat sekeliling tempat itu juga. Dan mulai menyadari pemandangan yang sangat tidak nyata di depan mataku.

Sebenarnya, acara pesta besar penyambutan anggota baru ini dimulai dengan suasana yang tenang. 

Perwakilan dari masing-masing klub menyampaikan sambutan, dan sambil mengangkat sampanye, mereka mengangkat gelas dengan khidmat.

Sekarang, bagaimana bisa jadi begini?

Ruangan besar tempat empat puluh mahasiswa baru berkumpul terasa kacau. Tidak ada yang tetap berada di tempat duduknya.

Dengan segelas minuman di tangan mereka, semua orang berkeliaran layaknya zombie.

Mie Champon telah ditambahkan ke dalam motsunabe di atas meja, tetapi tidak ada yang mencoba memakannya. Mienya terus mendidih dan membesar hingga hampir dua kali lipat ukuran aslinya.

Terdengar banyak suara keras dan riuh dimana-mana. 

Beberapa pria dengan santai berbicara dengan para wanita. Di sudut ruangan, ada juga beberapa orang yang terlihat seperti otaku, sedang merapatkan punggung. Dan terakhir, wanita-wanita dengan riasan berlebihan sedang bertepuk tangan seraya berteriak bagai mainan rusak. 

Ruang restoran yang dibatasi oleh pintu geser bambu terasa panas karena banyaknya orang yang berada di dalamnya. Selain itu, rasanya kadar karbondioksida di udara semakin tinggi hingga membuatku merasa sesak. 

Semua orang terlalu semangat berbicara.

Aku membuka kerah pada leher kaos dan menghembuskan udara dengan tanganku. Suhu panas dan udara yang buruk. Indeks ketidaknyamanan terasa sangat tinggi, rasanya aku ingin cepat-cepat keluar saja.

Sambil berpikir tentang hal itu, terdengar suara rendah dan berat melalui pintu geser dari ruang sebelah kami, "Happy Birthday to You." 

Seolah merespons suara itu, orang-orang di ruangan kami juga mulai bersorak dengan tepuk tangan sambil mengucapkan, "Happy Birthday to You."

Semua orang merayakan seseorang yang masih tidak jelas di balik pintu geser.

Mungkinkah sebelumnya ruangan sebelah membuat permintaan ini?

Aku memikirkan sejenak apakah ini semacam flashmob, tetapi beberapa orang mencoba menonjolkan diri dengan vibrasi yang diimprovisasi dari tempo biasa saat mereka menyanyikan, "Ha-ppy birt-hday t-to you." 

Ada juga orang yang berteriak seakan hampir pingsan saat menyanyikan, "Ha-ppy birt-hday t-to yo-o-o-ou!!" 

Jika disebut flashmob, ini terlalu berantakan dan kualitasnya juga buruk. Jadi, kemungkinan ini hanya semacam getaran alami yang muncul begitu saja. Seperti hewan-hewan di dalam sangkar yang bersama-sama mengeluarkan suara di kebun binatang.

Dari balik pintu geser, terdengar suara perempuan muda yang mengatakan, "Terima kasih!" 

Beberapa pria di meja kami mulai gusar dan berkata, "Ayo! Ayo kita intip!" sementara para wanita melihat mereka dengan pandangan dingin.

Ugh... 

"Kenapa kau kelihatan jijik?" 

Ternyata ekspresiku terbaca jelas. Narumi tersenyum, tampak senang dengan situasi ini

"Ya jelas aku jijk." 

"Bukannya ini menyenangkan?" 

"Sedikitpun, aku tidak merasakannya."

"Hee~" 

Merasa sedikit kesal pada Narumi yang mencoba meremehkan, aku menunjuk ke arah meja yang berjarak dua meja dari kami.

"Jadi, Narumi, kau tidak merasa jijik dengan yang seperti itu?" 

Di tempat itu, sekelompok pria berkumpul di sekitar meja yang diduduki beberapa wanita.

Percakapan mereka, awalnya bermaksud untuk mengajak wanita-wanita itu bergabung dengan klubnya, tapi pada akhirnya malah berubah menjadi pembicaraan tentang urusan asmara wanita-wanita tersebut. 

Mereka bahkan berani menggambarkan secara terbuka diri mereka sendiri dengan niat yang kurang terpuji. 

"Aku tidak suka rokok," kata seorang wanita, lalu dengan cepat, semua pria meraih rokok mereka dan mematikannya. 

"Aku suka otot di lengan," kata wanita lainnya, dan tiba-tiba semua pria mulai menggulung lengan baju mereka.

"Jadi kau jijik sama yang begituan? Haha, Sorano kau ini benar-benar pria yang naif." kata Narumi sambil tertawa.

"Kau mengejekku?"

Narumi menggelengkan tangannya dengan santai. 

"Nah, tapi aku yakin emang kayak gitu lah dirimu itu."

Dia tersenyum seakan dia mengerti segalanya.

"Apa maksudmu, aku..."

"Lihat saja, sekarang kau duduk dengan punggung menempel di dinding, terlihat seperti tidak mau bergerak dari sini. Sementara semua orang berusaha keras membangun hubungan baru."

"Yang dimaksud 'berusaha keras' itu---"

Sebelum sempat menyelesaikan kalimat itu, tiba-tiba suara tepuk tangan terdengar dari meja lainnya.

"Perhatian!" teriak seseorang. 

Aku merasa dia mungkin adalah perwakilan dari sebuah klub, tetapi aku tidak ingat dari klub yang mana. 

Mungkin terkait dengan musik? ataukah mungkin olahraga?

Aku tidak bisa mengingat apakah itu klub tenis atau bukan, tapi aku merasa sepertinya dia memang dari klub tenis. 

Intinya, yang jelas seorang pria berambut cokelat muda yang seakan mendapati suasana untuk dirinya sendiri sedang berdiri dengan santainya.

"Aku punya pernyataan penting di sini!"

Suaranya terdengar penuh percaya diri, seolah-olah tidak pernah tahu apa itu kesulitan. 

Kepercayaan dirinya yang berlebihan itu jujur saja menjengkelkan. Mungkin karena kebodohannya itu, terdengar tawa kecil dari beberapa orang.

Dengan cara yang seolah-olah penting, pria itu merebut perhatian semua orang... atau begitulah yang terlihat, sampai akhirnya ada seseorang yang mulai menyantap champon yang sudah sedikit dingin. 

Suara menyeruput mie juga terdengar dari berbagai sudut. 

Meskipun tampaknya kurang sopan, entah tuli karena mabuk atau karena mentalnya sangat tebal, pria ini tidak berhenti berbicara.

"Mahasiswa baru, Hayase Yuko!"

Tampaknya, seseorang yang dia panggil adalah salah satu dari mereka yang sedang makan.

Dengan mulut penuh mie, dia menunjukkan ekspresi yang seolah berkata, 'Eh, aku?'

Didorong oleh orang-orang di sekitar untuk berdiri, dia akhirnya bangkit dengan satu tangan masih menyentuh mulut, dan tangan lainnya menyisir rambut dengan canggung.

Wah, wah, ini dia. Pandangan penuh rasa ingin tahu terkumpul padanya.

Pria itu menggaruk rambutnya dan memandang wanita bernama Hayase Yuko dengan mata berbinar. Sementara itu, wanita tersebut hanya menatap malu-malu sambil memalingkan pandangannya.

Adegan dramatis dimana mereka akan menatap satu sama lain... sepertinya tidak akan terjadi.

Pria itu mengambil napas dalam-dalam dan berkata, "Aku belum pernah jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi jujur saja, aku tidak bisa menahannya. Jadilah pacarku!"

Apa-apaan dengan suara arogannya itu? Kalau saja aku tidak sedang mabuk, aku pasti keluar karena terganggu.

Namun begitu, orang-orang malah memberikan tepuk tangan yang gemuruh.

"Yes, I can! Yes, I can!"

Mereka mulai menyanyikan yel-yel. Entah kenapa, mereka menuntut jawaban dalam bahasa Inggris.

"Terserah apapun itu! Ayo kita berkencan!"

Teriakan kasar tidak bertanggung jawab terdengar.

"Aku! Aku juga ingin berkencan denganmu!" 

Teriakan egois lainnya terdengar.

Seolah-olah tidak mendengar teriakan-teriakan itu, dia merendahkan kepala dalam-dalam. 

"Maaf!" 

Itu adalah penolakan yang sangat tegas. Meskipun kata-kata itu sudah cukup jelas, dia menambahkan, "Kamu sama sekali bukan tipeku!"

Tanpa belas kasihan dia memberikan serangan lanjutan, seakan-akan memukul pihak yang sudah terluka dengan benda tumpul.

Pria yang ditolak terlihat tidak percaya. Dia bertanya, "Serius?" Sementara wanita itu dengan ragu membuka mulutnya, dan perlahan-lahan menjawab, "Ya, aku serius..."

Sekali lagi, ruangan penuh dengan sorakan dan tepuk tangan. Semua orang tertawa dan bersorak. 

Termasuk Narumi disampingku, dia juga tertawa terbahak-bahak.

"Tapi, Sorano, kau ini cuek sekali, ya," kata Narumi sambil terus menepuk punggungku.

"Sejak dulu, aku memang tidak pernah tertarik dengan orang-orang yang mencolok seperti itu." 

"Kenapa sih? Itu kan lucu."

"Yah, mungkin aku cuman tidak suka ketidakberdayaan yang seperti itu. Atau bagaimana harus menyebutnya... Semua usaha yang dia lakukan."

"Mungkin dia cuman ingin membuat kesan diawal debut kuliahnya? Kampus memanglah tempat yang seperti itu, bukan?"

"Tapi itu bukan berarti aku suka kalau dia membuat kehebohan yang tidak perlu. Jika itu aku, aku bahkan tidak akan mau menimbulkan riak kecil."

Aku sangat merasakan hal ini dari lubuk hatiku.

Memiliki kesan di mata orang lain, atau mengukir kenangan di ingatan mereka, ini membutuhkan daya tarik tersendiri. Ini memerlukan banyak energi. 

Lebih mudah bagiku untuk hidup secara dangkal, memberikan respon yang tidak mencolok, membaca suasana, dan menyesuaikan diri dengan situasi. 

Namun begitu, aku tetap tidak suka berinteraksi dengan orang lain secara aktif.

"Ini semua gara-gara Narumi. Kalau bukan begitu, aku tidak sudi untuk datang."

Aku berucap tanpa berpikir, sebelum akhirnya tiba-tiba menyadari kata-kata itu. Ini bukan sesuatu yang biasanya aku katakan.

Apa aku sangat terganggu? 

Apa aku sebegitu frustrasinya hingga berkata seperti itu? 

Apa ucapanku keterlaluan?

Namun, ternyata penyesalan itu sia-sia. Pria besar di sebelahku terlihat cukup optimis dan berkata, "Mungkin kita harus coba pergi kesana sebentar, ya?" 

"Seriusan? Kau bercanda, kan?"

Dia mengarahkan pandangannya ke arah meja wanita yang menolak pengakuan cinta tadi.

Tidak mungkin, aku menghela nafas dalam hati.

Sebagian besar meja diisi dengan pria yang mendekati wanita dalam semacam koloni kecil. 

Namun, anehnya, tidak ada pria yang menunjukkan minat pada dua wanita di meja itu. Mejanya kosong tanpa ada pria yang mengelilinginya.

Meski sulit untuk melihat dari kejauhan, tapi mereka tidak terlihat jelek, bahkan aku bisa menjamin bahwa mereka tampak lebih menarik dibandingkan yang lain. 

Wanita yang disebut-sebut sebagai Hayase Yuko tadi tidak diragukan lagi pantas menerima pengakuan cinta, dan lebih dari itu, wanita di sebelahnya, yang bahkan bisa disalahartikan sebagai model fashion papan atas, sungguh sangat mempesona.

Meski ada wanita secantik itu di sana, para 'zombie' tidak memperhatikannya sama sekali.

Kenapa ya...? Seolah-olah meja itu berada di dunia yang berbeda.

Memang benar, dengan tingkat kecantikan yang tinggi seperti itu, sulit untuk mendekatinya. Entah karena mereka tidak akan merespon ketika diajak berbicara atau karena mereka memiliki kepribadian yang rumit sejak awal.

Dalam hal apapun, aku tidak boleh mendekatinya... Itulah yang dikatakan naluri bertahan hidupku

Namun, Narumi di sampingku punya pendapat yang berbeda.

"Mari! Ayo pergi mencobanya!" katanya dengan santai sambil menarik lenganku.

"Tunggu dulu!" Aku berusaha melawan, tapi itu sia-sia.


"Halo, boleh kami duduk disini?" 

Narumi duduk di hadapan wanita itu, diikuti denganku yang terpaksa duduk di sampingnya.

Wanita bernama Hayase menunjukkan ekspresi penuh kewaspadaan. Di sisi lain, wanita yang terlihat seperti model itu menyambut dengan senyum ramah.

"Aku Narumi Ushio. Dan dia..."

"Ah, Sorano Kakeru."

Dengan sedikit membungkukkan kepala, kami saling memberi salam. 

Hayase menghela nafas, seperti ingin mengatakan bahwa ini tak bisa dihindari.

"Aku Hayase Yuko. Dan ini..."

"Aku... Fuyutsuki Koharu."

Saat wanita bernama Fuyutsuki mengucapkan namanya, dia tersenyum dengan lembut. Entah mengapa, aku merasa agak kaget. Ternyata dia memanglah secantik itu.

Saat Fuyutsuki diam, dia terlihat cantik, tetapi saat dia tersenyum, dia tampak sangat manis. Matanya besar dan ekspresif. Rambut panjangnya berkilauan karena cahaya. 

Dengan cara berbicara yang lembut, dia terlihat seperti seorang idol, mengubah kesan seorang model yang kudapat sebelumnya menjadi sesuatu yang sangat berbeda. 

Bagaikan makhluk dari dimensi lain, atau seseorang yang tinggal di dunia yang berbeda. Dia terlalu cantik, aku merasa terganggu. Ini pengalaman yang baru bagiku.

Namun, ada satu hal yang aneh tentang Fuyutsuki. Dia hanya menatap lurus ke depan, tanpa berpaling sama sekali.

Aku mengikuti pandangannya dengan rasa penasaran. Tapi, aku hanya mendapati dinding pada arah pandangannya. Aku bertanya-tanya apa yang ada di sana, tapi aku tidak bisa melihat apa-apa. 

Entah kenapa, karena dia yang cantik ini sedang menatap dinding itu, aku merasa seolah-olah ada sesuatu di sana, meskipun itu mungkin hanya ilusi.

Mungkinkah itu bangunan terkenal di dunia? Tapi, kemudian aku mengingat bahwa kita hanya berada di restoran dan itu tidak mungkin.

Saat aku mengembalikan pandangan dari dinding yang penuh misteri itu kembali ke Fuyutsuki, dia sedang mencoba mengambil segelas jus jeruk dengan tangan kanannya. 

Namun, sepertinya dia kesulitan. Dia terlihat seperti orang yang berjalan di dalam kabut yang tebal. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan.

Kemudian, Hayase dengan lembut mengetuk bahu Fuyutsuki dan berbisik padanya. 

"Koharu-chan, arah pukul dua belas."

"Terima kasih, Yuko-chan."

Fuyutsuki kemudian meraih gelas itu dengan tangan terulur, perlahan-lahan menyentuhnya, dan kemudian mengambilnya.

Aku bingung dengan situasi ini, sementara Narumi, dengan gampangnya bertanya, "Kenapa? Fuyutsuki-san, apa penglihatanmu buruk?"

Aku merasa agak terganggu oleh pertanyaan sensitifnya terhadap seseorang yang masih tidak begitu akrab. Namun, Fuyutsuki tidak terlihat terganggu. Dia dengan lembut meletakkan gelasnya dan tersenyum.

"Ya, begitulah. Atau mungkin lebih tepatnya, aku tidak bisa melihat sama sekali."


🔸◆🔸


Ketika kami keluar dari restoran, angin dingin menyapu pipi kami dengan lembut. Angin itu memberikan rasa nyaman pada tubuh yang sedang berkeringat. 

Udara di dalam ruangan cukup buruk, sampai-sampai udara yang penuh dengan cemaran gas buangan di sepanjang jalan raya bahkan terasa lebih baik.

Kemungkinan besar, keramaian yang mengganggu sudah pergi ke acara lanjutan. Tawa-tawa dari sekelompok orang tampak terdengar dari jauh. Mungkin itu berasal dari mereka.

Sebelumnya, ketika kami bangkit dari meja, Hayase berbicara pelan, seolah agar tidak terdengar oleh Fuyutsuki.

"Mereka langsung pindah meja setelah tahu kalau Koharu-chan tidak bisa melihat."

"Jadi itu alasan kenapa meja ini terlihat seperti pulau terpencil."

"Pulau terpencil?" Hayase membuka matanya lebar-lebar.

"Maksudku seperti pulau terpencil di daratan yang luas."

Mendengarkannya, Hayase tertawa sambil berkata, "Apa-apaan itu?"

Setelahnya, kami berjalan dari tempat perjamuan di Tsukishima menuju Kiyosumi-dori lalu lanjut pergi ke Monzen-Nakacho. 

Aku dan Narumi berniat kembali menuju asrama universitas. Sementara itu, setelah mengantarkan Fuyutsuki, Hayase berencana pergi menggunakan kereta bawah tanah. 

Saat ini, Fuyutsuki berjalan dengan menggunakan tongkat yang disebut 'hakujou', di atas jalan bata berhuruf braille yang berwarna kuning.

Sedangkan Hayase, dia berjalan di sebelahnya dan menopang lengan Fuyutsuki.

Lalu terakhir, ada Narumi yang berbicara penuh antusias kepada mereka berdua. 


TL/N:

Tongkat Hakujou (the white cane) - Tongkat bantu untuk tunanetra.

Huruf Braille - Sistem tulisan yang digunakan untuk membantu tunanetra dalam membaca dan menulis.


Ketika kami berjalan di sepanjang jalan raya, suara ketiga orang didepanku itu terdengar redup oleh suara mobil.

Menatap pemandangan langit malam, aku menyadari bahwa ini adalah malam yang cerah. Bulan purnama terlihat jelas dengan cahaya terangnya. Entah karena bulan itu terang atau karena cahaya kota itu sendiri, aku tidak bisa melihat adanya bintang. 

Meski begitu, cahaya redup dari apartemen-apartemen yang tersebar terlihat seperti menggantikan bintang-bintang di langit yang kosong.

Bulan besar tergantung di antara celah gedung apartemen tinggi, tampak seolah-olah mengapung di antara langit penuh bintang. 

Ini adalah pemandangan kota yang indah, dan membuat hatiku berdebar.

Apakah Fuyutsuki juga tidak bisa melihat bulan ini?

---Aku tidak bisa melihat.

Ekspresi Fuyutsuki tenang dan ceria saat dia mengucapkan kata-kata itu.

Jika aku kehilangan penglihatanku, apa yang akan aku lakukan? 

Mungkin, aku hanya akan mengurung diri di kamar sembari meratapi nasib.

Mungkin juga, aku akan merasa putus asa. 

Saat makan, berjalan, atau membuat orang lain merasa terganggu, aku mungkin akan merasa bersalah. 

Pasti sangat sulit. Aku pasti tidak akan bersikap ceria sepertinya.

'Kenapa kamu datang ke pesta penyambutan ini meskipun tidak bisa melihat?' Sewaktu kami di pesta penyambutan, Narumi bertanya padanya seperti itu. Aku merinding mendengar cara bertanyanya yang blak-blakan. Suasana menjadi sedikit canggung, tetapi Fuyutsuki menjawab dengan santai.

"Karena belum pernah mengalaminya sebelumnya, ya..."

Setelah aku tanpa sadar mengulangi kata-kata Fuyutsuki, terdengar suara dari sebelah, "Apa maksudmu?"

Spontan, aku berteriak dengan nada keras karena kaget.

Hayase memiringkan kepalanya dan melihat ke arahku.

"Eh, apa kamu membenciku?"

"Tidak, tidak."

"Ya, hanya lelucon~" 

Hayase melipat bibirnya sebentar, lalu segera tersenyum. 

Mungkin karena kami telah berbicara disepanjang pesta, kewaspadaan awalnya terhadapku telah berkurang.

"Boleh aku melepaskan tanganku?"

Sekarang, Fuyutsuki yang berada di depan sedang berjalan sendiri di atas blok huruf Braille. 

"Katanya, jika tidak ada hambatan di blok huruf braille, dia bisa berjalan sendirian. Sebenarnya, tidak baik untuk memaksakan bantuan tanpa diminta, tahu?"

"Kamu... teman lamanya Fuyutsuki?" 

"Hmm, ada apa?"

"Karena kamu menemani dan sangat mengkhawatirkan Fuyutsuki, jadi aku berpikir mungkin saja kamu itu teman lamanya."

"Oh, aku bertemu Koharu-chan saat upacara masuk. Kamu tahu kan, 'Hayase' dan 'Fuyutsuki', maka 'Ha' dan 'Fu'."

"Ah, begitu..." 

Sejenak, aku hampir berpikir itu adalah teka-teki. 

Tapi itu mungkin hanya tentang mereka yang duduk berdampingan karena tempat duduk pada upacara masuk diatur berdasarkan urutan abjad.


TL/N:

Dalam abjad Jepang, urutan nama biasanya diatur berdasarkan suku kata, yang dikenal sebagai urutan gojūon. Dalam urutan gojūon, suku kata "Ha" (は) dan "Fu" (ふ) berada cukup dekat. Tepatnya, dalam tabel gojūon, "Ha" berada di kolom "H" dan "Fu" juga berada di kolom yang sama. Oleh karena itu, jika nama diatur berdasarkan urutan gojūon, nama yang dimulai dengan "Ha" dan "Fu" akan ditempatkan berdekatan.


"...Aku mengerti sekarang."

"Hei, kamu tahu soal 'Pemandu Mahasiswa' di kampus kita? Mereka sedang mencari relawan di papan pengumuman."

"Aku belum pernah mendengarnya."

"Begitukakah? 'Pemandu Mahasiswa' ini adalah relawan yang memberikan dukungan bagi penyandang disabilitas untuk menghadapi kehidupan kampus, tentunya berdasarkan keinginan mereka sendiri."

Dia menceritakan secara singkat, tetapi intinya adalah 'Pemandu Mahasiswa' ini ada untuk membantu dalam berbagai hal seperti mendampingi mereka ke kelas, membantu mereka berpindah di dalam kampus, serta membantu dalam hal makanan. 

Menurutku, itu adalah tindakan mulia. Namun, pada saat yang sama, aku merasa itu bisa cukup rumit. Seperti misalnya saat Fuyutsuki berkonsultasi dengan Hayase apakah dia bisa menghadiri pesta malam ini. 

Tapi yah, terkadang memang ada orang-orang yang ingin melakukan tindakan seperti ini. Orang-orang yang sungguh bertolak belakang denganku.

"Umumnya, sebaiknya jangan menawarkan bantuan kecuali diminta oleh orang lain. Tapi aku tetap susah menahan diri untuk menawarkan bantuan." 

"Begitukah?"

"Karena itu adalah sisi lain dari mengatakan 'kamu tidak bisa melakukan sesuatu sendiri.' "

"Oh, Aku mengerti...." 

Memang, aku bisa membayangkan bahwa akan tidak menyenangkan jika seseorang selalu ikut campur dalam hal-hal sepele.

"Saat jadi mahasiswa, aku selalu ingin mencobanya."

Dengan suara pelan, Hayase berkata, "Itu sungguh luar biasa, bukan?" dia berbicara dengan penuh empati.

"Kurasa, itu benar sekali."

Hayase tiba-tiba menoleh dengan ekspresi berlebihan setelah mendengar jawabanku.

"Sorano-kun, kita berada di jurusan yang sama bukan?"

"Eh? Hayase juga ada di jurusan distribusi?"

"Distribusi. Koharu-chan juga di jurusan distribusi."

"Oh, begitu. Jadi hanya Narumi yang berada di jurusan yang berbeda."

"Lalu Sorano-kun, apa kamu mengambil kelas ilmu komputer?"

"Kelas pertama hari Senin? Ya, aku mengambilnya tapi hanya sebentar."

"Kalau aku, aku tidak mengambilnya."

"Kelas itu... memang aku mendaftarkan mata kuliahnya, tapi aku menyesal. Aku sama sekali tidak paham isinya."

"Koharu-chan juga mengatakan hal yang sama."

"Fuyutsuki?"

Seketika, aku teringat akan seseorang yang memang tampak seperti Fuyutsuki, duduk di belakang pada kelas waktu itu.

Tapi, entah mengapa, aku merasa bahwa aku tidak tertarik dan sulit mengingatnya.

Sambil berpura-pura memutar otakku, tiba-tiba Hayase mulai berbicara tentang hal ini.

"Sorano-kun, apa kamu tertarik menjadi 'Pemandu Mahasiswa'?"

Suasana pembicaraan menjadi tegang. Aku merasa bahwa ini adalah arah yang salah.

"Kenapa begitu?"

Aku hanya menjawab dengan penolakan yang ringan.

Namun, Hayase mengabaikan penolakan itu dengan santai.

"Kamu dan jadwal kuliahku tidak ada yang tabrakan, kan? Jadi, kupikir aku bisa minta bantuan kamu buat jagain dia, untuk mata kuliah itu saja."

"Tapi, umn.."

"Tidak apa-apa, kamu tidak akan bingung, kok. Kalau bingung, aku siap bantu, oke?"

Ini adalah bentuk campur tangan dan ikut campur yang hebat. Aku benar-benar kagum dengan seberapa jauh Hayase pergi dalam campur tangan ini.

*Gashan*

Ketika aku merasa sedikit terpojok, tiba-tiba terdengar suara keras dari depan.

Di depan, aku melihat sebuah sepeda terjatuh, diikuti Fuyutsuki yang terhuyung-huyung.

Tampaknya dia secara tidak sengaja menjatuhkan sepeda yang terparkir di atas blok huruf Braille dengan tongkat putihnya.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Hayase sambil berlari mendekati Fuyutsuki.

"Maaf, maaf, aku tidak menyadarinya." 

Aku hampir melangkah maju. Namun, melihat Narumi mencoba mengangkat sepeda yang jatuh, aku menghentikan langkahku.

"Maafkan aku!"

Lebih tepatnya, aku hanya berdiri terpaku, melihat Fuyutsuki yang terus meminta maaf.

"Tidak apa. Sepeda tua seperti ini, siapa saja bisa menjatuhkannya."

Apa ada yang rusak pada penopangnya? Sepeda yang penuh dengan karat itu tidak stabil dan terus jatuh. Narumi bahkan tampak kesulitan dalam mengembalikannya ke posisi semula. 

Setelah itu, Hayase kembali dengan ekspresi khawatir di wajahnya.

"Aku baru-baru ini mulai sadar tentang tidak boleh memarkir sepeda di atas blok braille. Aku harap lebih banyak orang tahu tentang ini."

"Benar."

Dengan respon otomatis, Hayase tampak sedikit marah dan berkata, "Tuh, benarkan!", lalu dengan nada kesal, kembali ke topik sebelumnya, "Jadi, bagaimana dengan 'Pemandu Mahasiswa' tadi?"

Suasana kembali tegang dalam percakapan kami. Aku merasa ini menjadi lebih buruk.

"Aku... tidak tahu, sih..."

Aku menunjukkan beberapa keraguan.

Namun, Hayase tetap kukuh dalam niatnya. 

"Aku bisa jamin kalau kamu tidak akan kesulitan. Lagipula, jika memang kamu benar-benar merasa kesulitan, aku pasti akan menolongmu, oke?"

Aku sebenarnya berharap suasana akan mereda setelah insiden sepeda tadi.

Aku merenung sejenak dan berkata, "Biar aku pertimbangkan."

Ini adalah penolakan halus untuk kedua kalinya.

Namun, Hayase tetap cerdik dengan mengatakan, "Tolong berikan aku kontakmu." 

Dia mendorongku dengan suara pelan lalu kemudian menunjukkan kode QR LINE-nya. Aku merasa enggan, tetapi pada akhirnya, aku setuju untuk bertukar ID LINE. 

Kemudian saat itu, dengan senyuman, Hayase berbicara, "Kalau-kalau Koharu-chan kesulitan, tolong bantu dia yah~" lalu berlari menuju Fuyutsuki dengan penuh semangat.

Ini adalah situasi terburuk.

"Karena..."

---Aku tidak terlalu suka hal-hal seperti ini.

Aku hampir saja mengucapkan kata-kata tersebut, tetapi kemudian menelannya kembali.

Sejak kecil, aku telah pindah dari satu rumah ke rumah lainnya. 

Ibuku yang bercerai harus merawatku sendirian, dan itulah sebabnya kami terpaksa hidup dengan terus berpindah. 

Pertama kalinya, aku tinggal dengan kakek nenek. Tapi, ketika kondisi mereka memburuk, aku tinggal dengan bibi. Setelah itu, kami berpindah ke rumah keluarga jauh. Aku bahkan pernah menyusahkan teman dari ibu yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. 

Di mana pun kami pergi, jika aku menunjukkan ketidakpatuhan, aku dibenci. Tapi, jika aku terlalu sopan, aku bahkan juga tetap tidak disukai. 

Saat berpindah-pindah sekolah pun sama, jika aku terlalu mencolok, mereka akan membenciku. Namun, disaat aku berusaha untuk tidak terlibat, tidak ada reaksi apapun dari mereka. 

Dari sanalah aku akhirnya sadar. Orang-orang lebih menyukai mereka yang diam tidak mencolok. Membaca suasana dan menyesuaikan diri dengan itu, lalu memutuskan tidak terlibat. Itulah yang terbaik menurutku. 

Mencari tahu di mana zona aman, di mana zona kepedulian dan ketidakpedulian, itu adalah keahlian yang tumbuh tanpa kusadari.

Aku menatap ke atas, dan nampak kabut awan yang sedang menyembunyikan bulan.

Di dalam kabut, bulan samar-samar terlihat. 

Cahaya remang-remang bulan menghiasi gedung-gedung apartemen dengan aneh, dan pemandangan yang sebelumnya terlihat indah, sekarang tiba-tiba terasa seram, hanya menyoroti beton yang tak bernyawa.

"Oh, ini bukan apartemennya?"

Hayase berhenti dan berkata demikian.

Ini adalah area di bawah Jembatan Aioi. Di seberang jembatan, universitas berada.

"Wow, apartemen yang bagus," Narumi berseru sambil menatap apartemen.

Di depan kami ada dua gedung pencakar langit setinggi sekitar lima puluh lantai. Ada tangga pendek dan jalur landai bagi kursi roda, serta jalan setapak yang panjang. 

Di belakang jalan setapak itu, terdapat pintu masuk, dan di pintu masuk, terlihat air terjun kaca. Ini adalah apartemen mewah, begitulah pikirku. 

Aku berpikir Fuyutsuki memiliki kesan tampilan yang sangat bersih, tetapi sekarang aku bisa dengan pasti mengatakannya bahwa dia memanglah orang kaya dengan penampilan yang sangat terjaga.

Ketika Hayase memberikan pegangan tangan dari jalur landai kursi roda kepada Fuyutsuki, Fuyutsuki memukul blok huruf Braille dengan tongkat putihnya sambil berkata, "Terima kasih," dengan sangat sopan.

"Yah, selamat malam."

"Selamat malam."

"Selamat malam, juga."

Kami saling berbicara seperti ini sambil berjabat tangan.

Pada saat itu, suara 'dor' tiba-tiba terdengar, dan cahaya merah memantul dari jendela apartemen.

'Dor, dor,' suara ledakan terus berlanjut di langit malam. Setiap kali suara itu terdengar, jendela apartemen menjadi berwarna. Kuning, biru, merah. Kaca apartemen diwarnai dengan pantulan yang cerah mengkilap.

Narumi mengarahkan pandangannya ke seberang Jembatan Aioi.

"Bukankah itu dari sana?"

Hayase keluar dari jalur landai kursi roda dan ikut nenatap langit.

"Apa itu dari kampus? Apa mereka diizinkan mengadakan pesta kembang api?"

Sepertinya dia ingin melihatnya juga.

Kemudian, tiba-tiba Fuyutsuki datang dengan tergesa-gesa, "Eh, eh. Apa itu kembang api?" dia berlari di sepanjang jalur landai, lalu tergelincir dan hampir terjatuh.

"Hati-hati!"

Dengan refleks, aku langsung memeluk Fuyutsuki. 

Aku membantunya untuk berdiri, dan ketika aku menyentuh telapak tangan Fuyutsuki, aku merasakan betapa dingin tangannya.

"Tangan Sorano-san hangat, ya..." ucap Fuyutsuki dengan santainya.

"Kamu harus lebih berhati-hati."

"Maaf."

"Baiklah, itu tak apa."

Aku membawa Fuyutsuki ke trotoar, dan ternyata pertunjukan kembang api telah berakhir.

"Aku ketinggalan ya...."

Aku merasa aneh dengan senyum Fuyutsuki yang seakan dipaksakan.

"Kamu... bisa melihatnya?"

Ketika aku bertanya, Fuyutsuki memalingkan wajahnya ke arahku dan menjawab, "Tidak." Namun, ia kemudian menambahkan, "Tapi aku suka kembang api."

"Suka...."

---Meskipun kamu tidak bisa melihatnya?

Aku menelan kata-kata itu.

"Suatu saat nanti, aku ingin menyalakan kembang api bersama teman-teman," kata Fuyutsuki dengan senyum di wajahnya.

Di dunia yang bahkan tidak bisa dia lihat, bagaimana caranya menyalakan kembang api?

Di dunia yang bahkan tidak bisa dia lihat, bagaimana dia akan melihatnya?

Hanya dalam kegelapan yang pekat, sendirian.

Di tengah suara ledakan yang bergema, sendirian.

Apakah seperti itu?

Namun, dia bisa mengatakannya dengan begitu gembira.

Apakah dia hanya berpura-pura atau itu sungguh-sungguh dari hatinya?

Aku merasa dia adalah orang yang aneh.


"Hey, Sorano-kun."

Tiba-tiba, Hayase berbisik di telingaku.

"Tidakkah kamu berpikir kalau Koharu-chan itu imut?"

Aku tidak ingin mengatakan tidak, jadi aku menjawab dengan samar, "Ah, iya, mungkin..."

"Dia imut dan keren, kan? Koharu-chan itu!"

Dia terus-menerus bertanya sampai aku benar-benar harus menjawab, "Ya, mungkin dia memang begitu."

"Dia benar-benar imut dan keren, lho!"

Aku heran dengan kegigihannya yang mengerikan. Sampai disaat kami akhirnya berpisah, dia terus-terusan mengatakan hal-hal seperti, "Kapanpun kamu berminat atas ajakanku tadi, maka silahkan!"

Dia benar-benar bersikeras, hingga membuatku hampir mengucapkan kata 'Aku sungguh tak bisa' beberapa kali.

Tapi pada akhirnya, aku memilih untuk mengabaikan.

Dan dengan begitu, aku bisa berhasil menghindari pembicaraan lebih lanjut atas tawaran yang dia sebutkan sebelumnya.


Translator: Rion (Grub WhatsApp)

Proffreader: Tanaka Hinagizawa


Illustrasi | ToC | Next Chapter


Post a Comment

Post a Comment

close