-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

OmiAi [LN] Volume 2 Chapter 4

 CHAPTER 4 : “FIANCÉE”’S FEELINGS

(Perasaan ``Tunangan”)


Sudah masuk pertengahan bulan Oktober, musim gugur semakin dalam.


Hari itu adalah ulang tahun Yuzuru.


“Jadi, dengan kata lain, Yuzuru-san. …eh, aku bikin kue ulang tahun.”


Saat masuk ke rumah, Arisa memberikan salah satu dari dua kantong kertas yang dibawanya kepada Yuzuru.


Aku pikir ada bau manis, jadi aku sudah menebak mungkin itu kue…


“Bikin sendiri?”


“Iya”


“Siapa yang bikin?”


“Aku”(Use ask anjay)


Ini membuat Yuzuru terkejut sampai matanya terbelalak.


Seumur hidupnya, dia belum pernah makan kue buatan seseorang.


Di rumah Yuzuru, kue itu dibeli.


“Kayaknya, aku merasa tidak enak.”


“Tidak, aku selalu dibantu oleh Yuzuru-san. …eh, hari itu juga”


“A, ah…”


Hari itu.


Arisa menginap di rumah Yuzuru.


Meskipun keesokan harinya dia sudah membalas dengan menyuguhkan sarapan, dari sudut pandang Yuzuru, dia merasa sudah membalas budi.


“Yah, pokoknya. Boleh aku makan sekarang?”


“Iya”


Setelah mendapat izin dari Arisa, Yuzuru membuka kantong kertasnya.


Di dalamnya ada es batu dan kotak kertas.


Dia mengeluarkan kotaknya dan membukanya.


“Wah… ini serius banget.”


Di dalamnya ada kue cokelat utuh.


Ukurannya, jika dimakan berdua, mungkin sedikit banyak.


Namun, jika ada sisa, bisa dimakan besok.


Yuzuru mengambil pisau dari dapur dan memotong kue itu.


Menyiapkan kopi, mereka berdoa sebelum makan.


“Ayo, makan.”


Dia memotong kue dengan garpu dan membawanya ke mulut.


Rasa cokelat yang kaya dan mewah menyebar di mulut.


“Gimana? Enak?”


“Enak, cocok banget sama kopi.”


Ketika Yuzuru memujinya, Arisa sedikit mengalihkan pandangannya.


Pipinya memerah.


“Begitu, ya… Terima kasih. Eh, tapi kalau dibandingkan dengan yang dibuat profesional dan yang dijual di toko, rasanya mungkin kurang.”


“Tidak juga, menurutku tidak kalah kok.”


“Itu mungkin karena aku menyesuaikan dengan selera Yuzuru-san. Aku pikir, Yuzuru-san pasti suka rasa seperti ini saat dipadukan dengan kopi. Aku senang kamu suka.”


Para profesional membuat produknya agar cocok dengan selera umum sebanyak mungkin.


Sedangkan Arisa, karena cukup jika Yuzuru merasa enak, dia menyesuaikan dengan selera Yuzuru.


Jadi meskipun kemampuan Arisa mungkin kurang dari profesional, kesan saat memakannya terasa tidak kalah.


…seperti itulah ceritanya.


“Itu, luar biasa ya… Eh, kamu tahu banget ya selera aku.”


Sudah enam belas tahun hidup…


Namun, aku sendiri tidak terlalu mengerti tentang selera rasa makananku sampai bisa dijelaskan dengan kata-kata.


“Kita sudah bersama lebih dari setengah tahun.”


Arisa tersenyum saat berkata itu.


Yuzuru tanpa sadar menggaruk pipinya. 


Seneng banget bisa diingetin selera makananku sama dibikinin makanan sesuai itu. Tapi, bingung juga sih...


(Ini ga bener... Ga baik ini)


Harusnya aku ga boleh suka sama Arisa.


Yuzuru mikir gitu.


Kalo masih mau lanjutin hubungan "tunangan", ini garis yang harusnya ga boleh dilewatin.


"Kamu makan juga dong?"


"Iya deh"


Buat nutupin perasaan campur aduk, Yuzuru ngajak Arisa buat makan bareng.


Arisa juga akhirnya nyobain makan pake garpu.


"Gimana? Rasanya kue buatanmu?"


"Delapan puluh deh"


"Bukan sempurna ya? Keras juga"


"Tentu aja, aku udah kasih usaha maksimal. Tapi... mungkin masih bisa diperbaiki lagi"


Padahal menurut aku udah enak banget sih.


Tapi, kayaknya Arisa masih mau coba tingkatin rasa kuenya.


"Jangan terlalu keras kerjanya ya? Kayaknya kamu lebih baik santai dikit"


Tentu aja, asal-asalan kayak Yuzuru juga ada masalahnya sih.


Kayaknya Arisa terlalu banyak mikir.


"Berusaha keras... itu beda sih"


"Bedanya gimana?"


"Masak buat Yuzuru-san itu seru. Seneng bisa bikin kamu bahagia dengan masakanku. Jadi... ga kerasa capeknya"


"Ya udah, kalo kamu bilang gitu"


Kalo dia seneng melakukannya, dan itu jadi cara dia buat santai, Yuzuru juga ga punya alasan buat nyuruh dia berhenti.


Tentu aja, kalo itu jadi sesuatu yang dianggep wajib dan semacam dipaksa, itu ga baik.


Makanya, Yuzuru selalu bilang ke Arisa, "Ga usah terlalu dipikirin".


"Ngomong-ngomong, Yuzuru-san... aku siapin hadiah ulang tahun buat kamu"


Arisa bilang gitu sambil ngeluarin kotak yang dibungkus rapi dari tas kertas lainnya.


Dihias pake pita yang lucu.


"Ini, ga seberapa sih"


"Terima kasih. Maaf ya, udah dikasih kue sama hadiah lagi. Boleh dibuka ga?"


"Silahkan"


Yuzuru pelan-pelan buka bungkusnya dan pita, terus buka kotaknya.


Yang keluar adalah...


"Gelang?"


Gelang yang dibuat dari tali kulit anyaman, keliatan kece banget.


Langsung keliatan ini buatan yang dikerjain dengan serius.


"Iya... sempet mikir mau beli apa, tapi bingung. Pas tanya saran dari Ayaka-san, katanya paling berkesan itu yang buatan sendiri. Ini mungkin sederhana ya... gimana?"


Yuzuru ga langsung jawab, malah coba pake gelangnya di pergelangan tangan kiri yang biasa dipake jam.


Yuzuru cukup pilih-pilih soal jam, ingin pake jam yang bagus... tapi desain gelangnya keliatan cocok banget sama jamnya.


Keliatan keren, dan cocok banget sama selera Yuzuru.


"Terima kasih. Aku suka banget. Mulai sekarang, akan aku pake terus"


Ketika Yuzuru bilang gitu, Arisa keliatan lega banget. 


Tapi meskipun begitu... dia masih keliatan agak khawatir.


"Iya. Seneng deh kalo kamu suka. Tapi, ini bukan barang yang bagus banget sih. Kalo kamu gak suka, gak usah dipaksa pake ya."


Dengan perasaan gak yakin, Arisa ngomong sambil Yuzuru narik tangannya ke kepala Arisa.


Terus dia elus-elus rambut pirangnya yang lembut.


Matanya yang warna zamrud itu sedikit berair.


"Gak ada laki-laki di dunia ini yang gak seneng dapet hadiah buatan sendiri dari kamu. Aku ini orang yang beruntung banget... beneran seneng."


"Terima kasih banyak."


Arisa merem melek dengan nyaman.


Nah, kebetulan sabtu itu adalah ulang tahun Yuzuru...


Tapi sebenarnya, tinggal empat hari lagi sebelum ujian nasional berikutnya.


Jadi, suasana ulang tahunnya cuma sebentar.


Yuzuru dan Arisa langsung buka buku dan mulai belajar lagi.


Kalo belajar bahasa atau literatur modern sih udah terlambat, jadi mereka fokus ke bahasa kuno, tata bahasa Inggris, vocab, sama latihan matematika.


"Kamu semangat banget kali ini ya, Yuzuru-san"


"Kali ini aku serius sih, pengen ngalahin Ayaka. Gak mungkin terus-terusan kalah sama keluarga 'Tachibana', kan?"


Tentu saja, salah satu alasannya adalah karena terinspirasi dari semangat belajar dan sikap Arisa.


"Kalo Yuzuru-san mau ngalahin Ayaka-san, berarti aku harus ngalahin Yuzuru-san dong."


"Kalo gitu, kamu yang nomor satu dan aku yang nomor dua ya. Ayo semangat bersama."


Saat Yuzuru dan Arisa lagi semangat-semangatnya...


Tiba-tiba HP Yuzuru berbunyi, mengganggu mereka.


"Ngomong-ngomong soal setan, dari Ayaka nih."


Pesan yang dikirim.


Isinya, ‘Yuk, jalan-jalan besok.’


"Jalan-jalan... apa ini? Kelompok belajar?"


Itu yang dipikir Yuzuru dan dia balas, ‘Ini kelompok belajar?’


Lalu, Ayaka mengirim stiker yang kayaknya setuju dengan itu.


‘Aku, Souichirou, dan Chiharu-chan udah fix’


‘Souichirou ngajak Zenji-san, dan Chiharu ngajak Nagiri-san’


"Yuzuru, kamu dan Arisa-chan mau ikut gak?"


Yuzuru nunjukin layar itu ke Arisa.


Terus dia tanya.


"Gimana? Tapi harusku bilang dulu ya... kemungkinan besar kita gak bisa belajar dengan serius. Mereka pasti lebih pengen main daripada belajar."


Tentu saja, mereka akan belajar sedikit.


Ayaka itu tipe yang bisa ngapa-ngapain dengan sedikit usaha, dan Souichirou itu keliatannya bisa dapet cara yang efisien, jadi mereka pasti belajar dikit-dikit.


...Tapi Chiharu itu tipe yang bakal main aja.


Tapi, belajar bersama pasti lebih seru daripada sendirian.


"Kelompok belajar, ya... Pengen ikut sih."


"Yakin?"


"Iya. Lagian, belajar sedikit tiga hari sebelumnya juga gak bakal mengubah hasil ujian secara drastis sih."


"Ya, itu juga benar."


Yuzuru dan Arisa masih kelas satu SMA.


Mereka gak perlu terlalu fokus sama hasil ujian. 


"Ujian" itu penting, tapi hubungan dengan orang lain itu lebih penting.


"Nah, aku akan bilang kita pergi ya"


"Baik"


Yuzuru bilang ke Ayaka, ‘Aku dan Arisa akan bergabung.’


Langsung dapet balasan, ‘Wah, cepet amat jawabnya. Arisa-chan, lagi di sana ya?’ Yuzuru kagum sama kepekaan Ayaka.


__--__--__


Hari Minggu pagi.


Di stasiun terdekat rumah Ayaka, tempat belajar kelompok, Yuzuru dan Arisa janjian ketemu.


"Kamu nunggu lama gak?"


"Enggak, aku juga baru sampai kok. Yuk, kita berangkat."


Arisa gak tau rumah Ayaka.


Makanya Yuzuru yang jadi pemandunya.


"Tenang, keliatan kok dari jauh."


"…Rumah Ayaka-san juga gede ya?"


"Ya, lumayan lah."


Ngobrol-ngobrol dikit, mereka sampai di rumah Ayaka—rumah keluarga Tachibana.


Arisa kaget banget.


"Ini keren banget ya"


"Rumah ini dibangun jaman Meiji loh, arsitektur gaya barat gitu. Bisa dibilang warisan budaya deh."


Rumah Ayaka beda banget sama rumah Yuzuru.


Dibangun pake batu bata merah yang cantik, arsitekturnya gaya barat.


Tapi… sebenarnya itu disebut "arsitektur gaya barat tiruan", jadi semacam gaya Eropa tiruan gitu deh.


Campuran gaya barat, Jepang, dan Cina di desain dan ornamennya.


"Ngomong-ngomong, rumah Yuzuru-san juga tua ya?"


"Ya… udah beberapa kali dibangun ulang sih, dan sering direnovasi… tapi dasarnya dibangun sekitar waktu yang sama dengan rumah ini."


Tentu saja, mungkin tahun pembuatannya sedikit berbeda.


Setelah ngobrol bentar, Yuzuru pencet bel rumahnya.


"Halo, ini aku Yuzuru."


"Kata sandinya apa?"


"Gak ada itu."


"Oke."


Tidak lama kemudian, gerbang terbuka.


Ayaka yang tersenyum lebar berdiri di sana.


"Selamat datang. Ayo masuk."


Mereka masuk lewat gerbang dan masuk ke dalam rumah.


Berjalan di atas jalan setapak batu, lalu naik ke pintu depan rumah.


"Permisi"


"Maaf mengganggu"


Setelah masuk, seorang pria paruh baya menyambut Yuzuru dan Arisa.


Yuzuru membungkuk sedikit.


Lalu Arisa juga membungkuk.


"Hari ini kami akan merepotkan,Tachibana-san"


"Terima kasih telah mengundang aku. Aku Arisa Yuzurushiro."


Setelah Yuzuru dan Arisa menyapa, pria paruh baya itu dengan ekspresi dingin dan suara yang agak dingin menjawab.


"Yuzuru-kun selalu merepotkan keponakanku… dan ini pertama kali kita bertemu, Yuzurushiro-san. Aku sudah sering mendengar tentang ayahmu… Amagi-san."


Kemudian pria itu—paman Ayaka—berkata singkat, "Silakan santai di sini," lalu pergi ke dalam rumah.


Arisa kelihatan cemas dan bertanya pada Ayaka dan Yuzuru.


"…Apakah aku melakukan kesalahan?"


Untuk menenangkan Arisa, Yuzuru menjawab.


"Pak tua itu memang selalu begitu." 


Kepala keluarga Tachibana saat ini (yang ngaku-ngaku sebagai kepala keluarga "sementara"), Tachibana Toranosuke itu tipe yang jarang ngomong dan kelihatannya selalu bete.


Tapi, sebenarnya dia cuma ga jago bergaul doang.


"Sebenernya, dia lagi mood bagus hari ini loh. Pamanku itu, tipe yang cool tapi sayang keluarga gitu deh."


Ayaka ketawa terbahak.


Meskipun hubungannya paman dan keponakan, dua-duanya punya kepribadian yang beda banget.


"Oh, gitu ya. …Ah! Eh, ini, oleh-oleh… Lupa ngasih tadi."

Arisa bilang gitu sambil ngasih Ayaka tas kertas.


Itu kue yang dia dapet dari ayah angkatnya sebagai oleh-oleh.


"Wah, makasih ya. Ga usah sungkan-sungkan gitu kok. Nanti aku buka."


Ayaka terima tas kertas dari Arisa.


Terus dia ngelambai-lambai.


"Ayo, masuk."


"Oh."


"Maaf ganggu ya."


Yuzuru dan Arisa lepas sepatu, pakai sandal, dan jalan di koridor yang panjang.


Dari luar udah keliatan merah… Ternyata di dalam juga banyak yang merah.


"Rumahnya tetep aja kayak rumah vampir ya."


"Keren kan?"


Bagi Yuzuru, rumah yang udah sering dia kunjungi ini ga ada yang baru.


Tapi buat Arisa, sepertinya banyak yang menarik.


Dia keliatan antusias banget melihat sekeliling sambil jalan.


"Yuzuru, Arisa-chan udah datang nih!"


Ayaka buka pintu kamar.


Ada meja marmer cantik dengan sofa kulit mengelilinginya.


Ada empat orang duduk di situ.


Satou Shuichirou, Uenishi Chiharu, Zenji Hijiri, Nagari Tenka.


Kayaknya Yuzuru dan Arisa yang datang terakhir.


"Kalian telat nih."


"Harusnya ada hukuman dong?"


"Nungguin kalian loh, Yuzuru, Yuzurushiro-san."


"Lama ga ketemu. Takasegawa-kun, Yuzurushiro-san."


Rasanya agak mual karena kekentalannya.


Itu yang dipikir Yuzuru dalam hati.


"Aku pikir gini loh. Belajar sebelum ujian itu, aneh menurutku."


Setelah belajar selama satu setengah jam.


Ayaka tiba-tiba mulai ngomong gitu.


"Nah, Ayaka. Siapa yang ngadain pertemuan ini hari ini?"


Shuichirou tanya ke Ayaka dengan nada yang sedikit kesal.


Ayaka miringin kepala.


"Aku dong."


"Ini pertemuan apa?"


"Belajar bareng."


"Jangan nolak alasan pertemuan yang kamu sendiri adain."


Shuichirou masukin komentar yang masuk akal.


Ayaka ngebales, "Dengerin dulu dong pendapatku," sambil menahan dengan tangannya.


"Ujian itu kan buat tau posisi kita gimana kan? Jadi, yang penting itu belajar rutin. Belajar cepet-cepetan sebelum tes, naikin beberapa poin, menurut aku ga ada gunanya."


"Itu kata-kata yang harusnya diucapin sama anak yang belajar rutin, bukan sama kamu yang biasanya ga ngapa-ngapain... malah tidur pas pelajaran." 


Ketika Yuzuru bilang gitu, Ayaka langsung senyum-senyum kecut.


"Tapi, aku, waktu itu juga di tes luar sekolah, ranking di dalam sekolah juga paling top loh"


"...... Yah, untuk itu sih aku memang nggak bisa ngomong apa-apa"


Sebenarnya, soal belajar, Yuzuru juga bukan tipe yang belajar serius tiap hari, cuma usaha dalam pahamin materi pelajaran doang, jadi ya nggak bisa banyak ngomong soal orang lain.


"Dahsyatnya Ayaka! Bener banget itu. Udah nggak guna lagi deh berusaha keras sekarang! Udah, berhenti aja!"


"Chiharu, kamu belajar sana. ...... Kamu kena marah sama orang tuamu kan?"


Chiharu yang seolah-olah setuju sama Ayaka, berdiri, tapi langsung didorong duduk lagi sama Souichirou.


Mungkin karena konsentrasinya terganggu, Arisa yang selama ini belajar dengan baik, meletakkan penanya.


Terus dia mengungkapkan keraguannya.


"Tapi, Ujian kali ini lebih penting dari ujian sebelumnya kan? Namanya juga Ujian Tingkat Kesulitan Tinggi'"


"Katanya sih, soal-soal yang lebih sulit bakal muncul...... itu yang digosipkan"


Yuzuru setuju dengan kata-kata Arisa.


Dan Souichirou yang duduk di sebelah Chiharu melanjutkan.


"Katanya, nilai deviasinya juga susah naik. Karena yang ikut tesnya orang-orang tingkat tinggi, jadi susah bedain levelnya"


Lalu Tenka yang sedang minum teh, mengangkat alisnya.


"Itu tergantung soal yang dikeluarin sih, menurutku. Kalau pihak penyelenggara salah kasih soal, dan semua orang nggak bisa jawab, mungkin ada yang nilai deviasinya malah naik?"


Pas itu, ada yang mendesah besar.


Itu adalah suara Hijiri.


"Kalian ini, nilai deviasi, nilai deviasi...... manusia nilai deviasi apa? Di saat kayak gini masih bisa aja ngomongin hal sepele begitu"


"Itu cuma Hijiri-kun aja. Aku sih seneng loh? Nilai deviasi. Soalnya tes sebelumnya bagus. Kasihan deh ya, aku simpati"


"Eh, Tenka-san. Itu, buat aku juga kena tuh, tolong deh jangan......"


Tenka yang mengejek Hijiri, dan Chiharu yang kena sasaran liar.


Sementara itu, Hijiri malah menyalahkan Tenka.


"Diam. Perhatikan dong, perhatikan. Di dunia ini, ada lho orang yang benci sama kata 'nilai deviasi', atau bahkan nggak ada hubungannya sama sekali"


Chiharu juga nyambung.


"Iya dong. Sekolah aja boring, kenapa cerita cinta sekolah bisa seru ya? Karena adegan belajarnya dipotong"


Tapi sayangnya, Chiharu dan Hijiri bukan orang yang nggak ada hubungan sama kata 'nilai deviasi'.


Malahan, kalau dilihat dari hasil sebelumnya, mereka harus lebih serius memperhatikannya.


"Yah, tapi pertemuan kali ini kan 'sesi belajar'. Terutama kalian berdua, harusnya serius dong kalau nggak mau bermasalah?"


Ketika Yuzuru bilang gitu, mereka berdua mendesah besar.


Dan menatap Yuzuru dengan tatapan tajam.


"Bicara jujur begitu bisa bikin orang benci loh"


"Jangan harassment(merendahkan) logika orang doang dong"


Lalu Arisa menarik-narik baju Yuzuru dengan gerakan yang menggemaskan.


Dan mendekatkan bibirnya yang membingungkan ke telinga Yuzuru.


"......Kalau kamu pikir itu benar, kenapa kamu nggak lakuin?"


"Karena lebih repot lagi. ......Sama aja dengan aku nggak bersih-bersih, alasannya sama kok" 


Jadi, Yuzuru sendiri juga mikir "Harus bersih-bersih nih..." tapi dia gak terlalu serius sampe akhirnya ngerasa bakal merepotkan Arisa.


Intinya, masalahnya adalah kesadaran akan krisis dan pemicunya.


"Kalau udah jatuh, baru deh keluar tenaga beneran."


"...Tapi, gak keburu telat gitu?"


"Tapi, katanya lebih dari setengah siswa di sekolah kita akhirnya ngulang tahun?"


"Eh? ...Beneran?"


"Meskipun keliatan bakal gagal, guru-gurunya kayaknya gak nahan."


"Heh..."


"Jadi, kalo kayak sekarang, Hijiri dan Chiharu bakal ikut jalur itu. Kita harus belajar dari mereka sebagai contoh yang buruk..."


"Kami denger nih," "Kami dengar loh."


Chiharu dan Hijiri seharusnya baru pertama kali bertemu hari ini...


Tapi sepertinya mereka udah akrab tanpa kita sadari.


Yuzuru cuma mengangkat bahunya.


"Kita malah ngelantur, tapi intinya, aku pengen main. Kita udah kumpul banyak gini!"


“Yaudah mainnya setelah ujian aja dong”


Ketika Yuzuru menyela begitu, Ayaka mulai malu-malu sambil pipinya merona.


"Eh, tapi aku sama Tenka-chan kan gak punya banyak kesamaan? Takutnya dia gak mau ikut kalo aku ajak main tiba-tiba. Kan, Tenka-chan?"


Begitu katanya, Ayaka mendekatkan kepalanya ke bahu Tenka.


"Eh, eeh... Iya sih."


Dengan gaya coolnya, Tenka kelihatan bingung karena diganggu Ayaka.


Yuzuru minum teh sambil sedikit memikirkan kombinasi grup mereka.


Di antara mereka, ada beberapa orang yang sebenarnya punya kenalan tidak langsung, tapi gak terlalu sering berinteraksi.


Ada juga yang pernah bertemu tapi gak terlalu dekat.


Bagi Yuzuru, orang yang gak terlalu dia kenal adalah Tenka.


Bagi Arisa, adalah Hijiri, Tenka, dan Souichirou.


Bagi Souichirou, adalah Tenka dan Arisa.


Bagi Ayaka, adalah Hijiri dan Tenka.


Bagi Chiharu, adalah Hijiri.


Bagi Hijiri, adalah Ayaka, Chiharu, dan Arisa.


Bagi Tenka, adalah Yuzuru, Arisa, Souichirou, dan Ayaka.


Jadi, buat meningkatkan keakraban dengan main bareng, itu bukan pilihan yang buruk.


...Tapi, kalo ditanya ini waktunya tepat atau enggak, itu cerita lain.


"Mau main atau enggak, sebentar lagi jam makan siang kan. Gimana kalo kita istirahat dulu?"


Yang ngusulin itu adalah Arisa.


Karena semua orang mulai kehilangan konsentrasi, jadi mungkin bagus buat istirahat siang.


"Itu ide bagus! Yaudah, kita pesan makanan deh."


Dengan dukungan dari Ayaka, mereka memutuskan untuk istirahat siang.


Masalahnya sekarang adalah makanan apa yang harus dipesan, tapi sepakat bahwa pizza adalah pilihan terbaik untuk dibagi banyak orang.


Dan beberapa menit setelah pesanan, pizza pun tiba...


"...Arisa, ini pertama kalinya buatmu?"


Melihat Arisa yang tampak sedikit gelisah di depan kotak pizza, Yuzuru bertanya.


Lalu Arisa terlihat sedikit terkejut.


"...Keliatan dari mukaku?"


"Ya, gitu deh..." 


Lebih ke suasananya daripada wajahnya sih.


Udah setengah tahun kenal, jadi mulai bisa nangkep perasaan si Arisa dari gerakan tubuhnya, ekspresi, sampe perubahan suaranya.


"Keluargaku jarang beli online sih... Tentu aja, pernah makan pizza, tapi pizza yang diantar ke rumah gini baru pertama kali."


Keluarga Amagi kayaknya ga terlalu suka junk food deh.


Kalo keluarga ga makan, ya jadi jarang ada kesempatan makan.


"Berarti hari ini jadi hari pizza ya."


"Ahaha, iya dong."


Arisa cengengesan kecil.


Senyumnya imut banget dan alami.


Belakangan ini, ekspresinya lebih kaya daripada sebelumnya... itu juga bikin Yuzuru kadang-kadang tergoda, sih, jadi agak bingung.


"Gimana Arisa?"


Yuzuru nanya pendapat sambil Arisa nyemil pizza (yang diantar) buat pertama kalinya.


Pada pandangan pertama, dia tetap kelihatan kalem dan tenang, jadi susah baca perasaannya.


"Hmm... Enak."


Suara dia kedengeran sedikit meleleh gitu.


Mata zamrudnya yang biasanya kelihatan gelap dan ga ada semangat, sekarang kelihatan ada cahayanya.


Arisa yang seperti ini... lumayan, eh, malah sangat imut.


"...Arisa-chan, kamu imut banget deh."


"Hah?"


Arisa kelihatan bingung pas Chiharu tiba-tiba bilang gitu.


Chiharu yang duduk tepat di depan Arisa, tersenyum dengan nuansa yang agak berbahaya, terus menatapnya.


"Kamu biasanya kelihatan cool, tapi tiba-tiba menunjukkan sisi imut gitu. Itu bikin aku ga tahan."


"O-oh... gitu... Terima kasih."


Kayaknya dia bingung harus jawab apa.


Arisa berterima kasih ke Chiharu.


Terus, Ayaka nyela pembicaraan.


"Ngomong-ngomong soal cool, Tenka-chan juga imut lho!"


"Hah?"


Tenka yang tadi makan pizza dengan sikap acuh tak acuh, terkejut pas namanya disebut tiba-tiba.


Ayaka yang duduk di samping Tenka, mendekatkan diri.


"Tenka-chan itu tsundere ya, tapi kadang-kadang dere juga. Terus, malu-maluin. Ah, mukanya merah. Imut!"


"Ah, nggak... Eh, stop, Tachibana-san."


Tenka, dengan muka yang memerah karena malu, mencoba menjaga jarak.


Tapi, sikapnya itu malah makin bikin Ayaka tertarik.


Ayaka semakin mendekat...


"Tolong deh."


"Aduh, sakit, sakit! Souichiro!!"


Ayaka ditarik oleh Souichiro dari lehernya.


Setelah itu, Souichiro menatap Chiharu yang mencoba mendekati Arisa dengan tatapan tajam.


Chiharu langsung mengkerut dan duduk manis di sofa lagi.


"Ngomong-ngomong, setelah makan, mau main apa?"


Ayaka coba mengalihkan pembicaraan seperti itu.


Dengan asumsi mereka akan main. 


Walaupun begitu, Yuzuru juga gak bisa langsung mood buat belajar sekarang ini.


Setelah makan pasti langsung ngantuk, jadi pengen main-main dikit buat refreshing.


"Main Raja Perintah yuk?"


Souichirou yang ngasih usul kayak gitu.


Kalo dipikir-pikir, ini game yang pas buat nambah keakraban dan manfaatin banyak orang.


"Raja Perintah ya... oke, bagus tuh"


"Raja Perintah! Bagus tuh!!"


Ayaka dan Chiharu setuju dengan ide Souichirou... dan entah kenapa langsung liat ke arah Arisa sama Tenka.


Keduanya cuma bengong sambil miringin kepala.


"Ingat ya... kalian juga bisa dijadiin target perintah,"


Yuzuru ngasih peringatan biar Ayaka sama Chiharu gak ngasih perintah yang aneh-aneh.


Di sisi lain, Hijiri ketawa seneng.


"Kenapa tidak? Termasuk kemungkinan balas dendam, ini kan Raja Perintah."


Kayaknya semua orang udah semangat.


Langsung deh, Ayaka bikin kertas undian buat semua orang.


Dan...


"‘Raja yang mana nih?’"


Game yang nguji akal sehat dan kerjasama dimulai, nunjukkin sifat asli manusia.


__--__--__


Akhirnya Raja Perintah dimulai.


Souichirou kena perintah grappling sama Chiharu, Ayaka harus squat, Tenka disuruh lari keliling rumah Tachibana dengan full speed.


Souichirou harus ngomong ala cewek sampai game selesai, Hijiri kena perintah ngomong pake akhiran yang gak jelas artinya.


Dan raja yang keenam adalah...


"Aku nih."

Chiharu yang jadi.


Setelah mikir sebentar... Chiharu nyengir.


"Gini aja, ceritain deh tipe lawan jenis yang kamu suka. Boleh juga sebutin nama orang yang kamu suka loh? Nomer... tujuh!"


Dan yang pegang nomor tujuh itu adalah...


Yuzuru.


Tanpa sadar Yuzuru langsung garuk-garuk kepala.


"Tipe lawan jenis?"


"Iya. Pasti ada dong?"


Chiharu nyengir sambil desak Yuzuru.


Tanpa sadar... sebentar saja, Yuzuru melirik ke arah Arisa.


Dan Arisa juga tepatnya lagi lihat ke arah Yuzuru.


Pandangan mereka bertemu.


Yuzuru ngerasa mukanya panas.


Tanpa sadar, dia mengalihkan pandangan.


"Ayo, cepetan..."


"...Oke, deh"


Setelah mikir sebentar, Yuzuru menjawab.


"Orang yang bisa terima semua tentangku, tapi juga bisa bilang kalau ada yang gak bagus dari aku, mungkin?"


"Eh... itu, mungkin..."


"Sudahlah, udah jawab kan! Lanjut, lanjut!"


Yuzuru dengan keras memotong kata-kata Chiharu.


Dan memaksa game Raja Perintah terus berlanjut.


Dan yang jadi raja selanjutnya adalah...


"Akhirnya giliranku juga nih."


Ayaka.


Ratu Ayaka menyilangkan tangan, mulai berpikir keras.


"Sebenarnya pengen nyuruh ngomongin siapa yang disuka gitu... tapi Chiharu-chan udah duluan." 


Setelah berpikir keras untuk sementara waktu... Ayaka akhirnya memutuskan.


"Iya, aku punya ide. Kita bicara tentang situasi pengakuan cinta atau kata-kata yang ingin didengar dari orang yang kita suka! Eh, oke deh... nomor tiga!"


"...Itu aku ya."


Mendengar suara yang sudah familiar tapi penuh kasihan itu, Yuzuru langsung merasakan degup jantungnya meningkat.


Yuzuru menyadari bahwa dia sangat gugup.


"Si, situasi... pengakuan cinta... ya?"


"Iya, boleh juga kalau mau ngomongin tentang lamaran, loh?"


Sekilas, Arisa menoleh ke arah Yuzuru.


Wajahnya... merah seperti tomat.


"Kalau diminta bicara spesifik, aku masih belum bisa merasakannya jadi aku nggak bisa jawab..."


Arisa terlihat malu-malu dan gelisah.


Gesturnya sangat menggemaskan.


Yuzuru menyimak suara Arisa dengan penuh perhatian.


"Aku suka yang romantis. Di hari spesial, di tempat spesial, dengan hadiah spesial, gitu deh yang bagus..."


Setelah berkata begitu, Arisa tampak malu-malu dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan.


Sepertinya Ayaka tidak bisa memaksa Arisa yang seperti itu.


"Kamu lihat kan, Yuzuru?"


Tiba-tiba dia mengalihkan sasarannya.


Kata-katanya jelas terdengar oleh Yuzuru dan juga Arisa.


Keduanya langsung merona.


"Berhenti mengejek, Ayaka "


"I, iya... Kami itu nggak seperti itu..."


Ketika Yuzuru dan Arisa berkata begitu, Ayaka hanya tersenyum lebar...


"Hm? Apa itu? Aku nggak ngerti sama sekali"


Dia pura-pura tidak tahu.


Yuzuru dan Arisa merasa sangat tidak nyaman telah membuat kesalahan.


 


"Yah, pada akhirnya kita nggak terlalu bisa belajar ya"


Di jalan pulang.


Yuzuru berkata kepada Arisa sambil tersenyum pahit.


Tentu saja, mereka sudah tahu dari awal bahwa belajar bersama mereka mungkin tidak akan efektif.


"Maaf ya..."


Yuzuru merasa tidak apa-apa jika dia yang tidak bisa belajar, tapi dia merasa bersalah karena telah mengganggu belajar Arisa juga.


Entah bagaimana, Yuzuru merasa seolah-olah dia telah menyeret Arisa ke jalan yang salah.


Di sisi lain, Arisa hanya tersenyum pahit.


"Aha ha... Yah, memang belajarnya nggak sebanyak yang aku pikirkan, jadi aku harus belajar lagi pas pulang nanti..."


Lalu dia memicingkan matanya.


"Tapi itu menyenangkan"


Arisa merangkul tangan di belakangnya, berjalan dengan langkah yang agak melompat.


"Bermain bersama banyak orang seperti itu, sudah lama, eh, mungkin ini pertama kalinya"


"Kamu nggak pernah punya kesempatan sebelumnya?"


Yuzuru juga tidak memiliki banyak teman, sebenarnya.


Tapi dia memiliki teman seperti Souichiro atau Hijiri.


Tampaknya Arisa sebelumnya hanya memiliki kenalan yang hubungannya sebatas "makan siang bersama sambil mengetuk-ngetuk secara acak", tapi tidak pernahkah mereka mengajaknya bermain bersama? Yuzuru bertanya-tanya.


Seharusnya ada satu atau dua kesempatan dalam enam belas tahun hidup.


"Tidak, kesempatan itu... sekarang aku pikir tentang itu, sepertinya ada. Ada orang yang mengajakku. Salahku juga, sih" 


Jadi, Arisa ngeluarin napas panjang.


Padahal sebelumnya keliatan lagi seneng-seneng aja. Tapi, kayaknya dia balik lagi ke mode "aku ini anak jahat".


"Yang udah lewat ya udah lewat. Lagian... kamu gitu juga ga ada salahnya kok. ...Pasti ga suka kan? Kalo urusan pribadi kamu diketahui orang lain"


Kalo udah cukup deket, pasti ada saatnya urusan rumah tangga diketahui.


Bisa jadi malah jadi jauhan.


Atau malah ada yang bikin gosip aneh buat seru-seruan.


Daripada gitu, mending ga usah deket-deketan sama orang dari awal.


Itu alasan kenapa Arisa kayaknya menjauhkan diri dari orang lain.


Itulah yang Yuzuru pikirin... tapi...


"....Ternyata sedikit beda"


Kayaknya ada yang beda dikit.


"Yang aku ga suka itu... eh, aku ga mau orang lain terlibat dalam masalahku"


"...Ga mau ngeribetin?"


"Bukan karena alasan mulia gitu kok"


Arisa lemes, geleng-gelengin kepala.


Trus, kayaknya dia nyengir sedikit, ngejek diri sendiri gitu.


"Kalo ada yang bikin salah dan posisiku jadi jelek, aku ga mau. Cuma itu aja"


"Oh, gitu ya"


"....Egois, kan?"


"Kalo buat melindungi diri sendiri, ya wajar aja kan"


Mungkin bisa dibilang egois.


Tapi, usaha buat melindungi diri sendiri ga mungkin salah dong.


"Tapi..."


"Kamu ga salah"


Yuzuru memotong pembicaraan Arisa.


Sambil terlihat sedikit kaget, Arisa mendengarkan Yuzuru mengulanginya.


"Kamu ga salah. Aku udah bilang sebelumnya, itu yang bisa aku jamin"


"....Itu karena Yuzuru-san ga tau aku"


Jangan ngomong sembarangan.


Itu yang Arisa bilang, seperti menyalahkan Yuzuru.


Kayaknya dia sadar kalo dia udah marah-marah ke Yuzuru.


Walaupun wajahnya marah pas ngomong itu, tapi langsung berubah jadi sedih.


Tapi, kayaknya dia ga bisa ga marah.


"Aku itu.... lebih buruk dari yang Yuzuru-san pikir loh"


"Ya kira-kira? Aku mungkin ga tau semuanya, tapi kita udah kenal setengah tahun. Aku pikir aku cukup tau tentang kepribadianmu"


Tentu saja, aku tau sisi baiknya.


Dan juga sisi buruknya.


Aku sadar kalo dia bukan orang yang suci dan benar banget.


"Bohong bohong"


"Kalo bohong atau tidak, kamu ga bilang, aku ga akan tau"


"...."


Yuzuru bilang gitu, Arisa diam sebentar.


Trus dengan suara kecil, dia bilang satu kata.


"Aku itu egois"


"Cuma itu?"


Yuzuru nanya, trus Arisa geleng-geleng kepala.


"Introvert, menyebalkan, negatif..."


"Aku tau"


"Sombong, iri, narsis..."


"Itu juga aku tau"


"Tolong deh, bantah dikit!"


"Jangan lupa masukin 'setan dari langit' juga"


Yuzuru ketawa sambil ngomong, Arisa dengan muka cemberut nengok ke samping.


Dia pengen sisi buruknya dibantah. 


Tapi, rasanya juga nyebelin kalo ada orang yang ngomong sembarangan tentang diri sendiri tanpa tau apa-apa.


Sifatnya itu, lumayan ribet sih.


"Manusia tuh ya, namanya juga punya kekurangan satu dua biji. Itu mah, masih jauh dari sifat jelek."


"Tapi..."


"Bukan tapi... Kalo cuma karena punya kekurangan trus kamu jadi anak jahat, berarti aku ini super jahat."


Yuzuru coba bercanda sambil mengangkat bahu.


Tapi Arisa tetep aja bilang "tapi tapi".


"Yuzuru-san itu... banyak juga kok, sisi baiknya."


"Kamu juga banyak."


"…enggak ada."


"Rajin, pekerja keras, jago masak, pintar belajar, bisa olahraga, baik, perhatian, keren, imut, lucu, cantik, trus badannya itu loh..."


"Itu pelecehan seksual!"


Arisa bilang begitu sambil nutupin telinganya.


Mukanya merah banget, sampe-sampe.


Matanya yang hijau kebiruan, sedikit berair, menatap tajam ke Yuzuru.


"Maaf, kebawa suasana. Maafkan aku."


"…enggak kumaafin."


"Apa pun deh yang kamu mau."


"…boleh satu, ya?"


Arisa berhenti.


Dengan mata berkaca-kaca, suara yang hampir hilang, dia menatap ke atas ke Yuzuru.


"Boleh pinjam dadamu?"


"Boleh."


__--__--__


"Hah... hari ini juga gagal."


Setelah pulang.


Di kamar mandi, Arisa bergumam begitu.


Di cermin, terpantul wajahnya... dan matanya yang sedikit bengkak merah.


Memalukan, hari ini juga dia menangis di dada Yuzuru.


Bahkan, dia mengaku semua keburukannya.


"..."


Tapi, dia gak merasa menyesal.


Dia bisa mengeluarkan semua sifat buruknya itu, dan yang penting Yuzuru menerima itu.


Dari awal pun, Yuzuru udah tau dan tetep berhubungan dengannya.


Artinya... dia gak dibenci karena sifatnya, dan kedepannya juga gak akan dibenci.


Bisa dilihat dari sisi positif.


"…Jadi negatif itu, gak baik ya."


Sambil berendam di bathtub, Arisa bergumam sendiri.


"…Orang yang menerima semuanya, bahkan bisa menegur keburukannya, ya?"


Dan dia teringat saat dia menangis di dada Yuzuru... saat itu yang baru saja terjadi.


Saat main game raja... kata-kata Yuzuru.


Apa tipe lawan jenis yang kamu suka. Itu jawabannya.


"Ini... tentang aku ya?"


Sambil menempatkan kedua tangannya di pipi, Arisa bergumam.


Wajahnya merah bukan hanya karena berendam di bathtub.


"…Gak mungkin ada orang lain selain aku kan?"


Setidaknya, dari semua orang yang Arisa kenal, gak ada yang pas selain dirinya sendiri.


...Kecuali tiba-tiba muncul orang yang bilang "Aku adalah mantan tunangan Yuzuru-san!" Arisa pasti adalah orang yang dimaksud. 


"Dalam situasi kayak gitu, aku satu-satunya yang cocok, dia bilang depanku... ya, pasti tentang aku. Pasti banget."


Arisa menganggap itu sebagai pesan kasih sayang dari Yuzuru.


Makanya, Arisa juga membalas.


Ngomong-ngomong, pengakuan cinta itu harus romantis ya.


"Eh, tapi... apakah aku yang harus ngungkapin perasaan duluan ya..."


Arisa nyemplungin muka setengahnya.


Nggak baik cuma nunggu terus. Harusnya aku yang mulai bergerak.


Begitu pikirnya...


Tiba-tiba, dia jadi bertanya-tanya.


"Kalau aku sama Yuzuru-san... jadi pacaran, gimana dengan pertunangan ya?"


Hubungan mereka sekarang, secara resmi, adalah pertunangan.


Lebih tepatnya, kayak pertunangan sementara gitu....


Bukan rahasia sih, tapi nggak diumbar-umbar banget juga oleh keluarga Takasegawa dan Amagi sebagai pengumuman resmi.


Seperti gitu deh keadaannya.


Dan sebenarnya... Yuzuru dan Arisa nggak berniat nikah.


Pertunangan palsu, dan nanti kalau waktunya tiba, pertunangan akan dibatalkan.


"Kalau kita suka sama suka... nggak ada bohong-bohongan..."


Artinya jadi tunangan beneran dong.


Itu berarti...


"Eh, nikah...?"


Pada akhirnya, nikah dan hidup sebagai suami istri.


Berarti hidup bersama seumur hidup.


Dan punya anak.


"Eh, tapi... ya, kalau sama Yuzuru-san sih, aku nggak keberatan..."


Tapi, ngomongin nikah pas masih SMA terasa agak cepet.


Pikirannya jadi ke 'pembicaraan berat' gitu deh... Arisa sadar.


"Ah, begitu ya..."


Alasan Yuzuru nggak menyatakan perasaannya.


Akhirnya, jelas banget.


"Meskipun jadi pacaran sih oke, tapi kalau sampe nikah, ceritanya jadi berat ya..."


Bahkan Arisa aja, mikir gitu.


Yuzuru juga pasti mikir begitu... ragu-ragu itu wajar.


"Hah... gimana ya"


Arisa mendesah sendirian.


__--__--__


Pertama kali ketemu anak itu... waktu aku kelas 5 SD.


Tiba-tiba, ayah bilang keluarga kita nambah.


Adik baru yang nambah... anak cewek yang lucu banget.


Rambut sebening kristal, mata berkilauan seperti permata.


Anak itu lebih muda tiga tahun dariku, langsung mencuri hatiku.


Anak itu adalah anak dari adik ibuku.


Jadi, dia itu sepupuku.


Aku tau ada sepupu, tapi baru ketemu waktu itu.


Katanya, orang tuanya meninggal karena kecelakaan.


Makanya, dia dititipin ke keluarga kita... itu ceritanya.


Kasian banget, aku simpati.


Sebagai kakak, aku harus baik sama dia, itu yang aku putuskan. 


Baru sampai di rumah, sepupu aku itu... umurnya sih masih muda, tapi agak manja.


Dia masih kelas dua SD, jadi ya gitu deh, apa yang dipikirin langsung diomongin, anak yang polos.


Kayaknya orang tuanya, atau lebih tepatnya paman sama bibi, manjain dia banget waktu kecil.


Tapi... bukan berarti dia anak yang buruk.


Adab dasarnya dia paham kok.


Selain itu, dia juga perhatian dan baik hati, sering ngurusin adiknya (yang sebenarnya sepupunya), dan suka main bareng.


Yang paling penting, senyumnya yang polos dan ceria itu menawan banget.


Tapi... kayaknya ibu aku gak suka sama dia, sama keponakan sendiri.


Setiap ada kesempatan, ibu selalu keras sama dia.


Setiap kesalahan kecil dia langsung diperhatiin, dan tiap kali itu terjadi ibu langsung marah-marah.


Setiap liat mukanya, langsung deh bilang "makanan sia-sia" atau "anak yang gak terdidik", gitu deh omongannya.


Kadang-kadang, ibu juga ngomongin hal buruk tentang orang tua dia yang udah meninggal.


Dan kalo dia sedikit aja nunjukin sikap melawan, pipinya langsung ditampar, atau pake sapu dan ikat pinggang buat ngepuk pantatnya, bahkan kadang-kadang dikunci di lemari.


Peraturan-peraturan "pendidikan" itu selalu dilakukan pas ayahku gak ada di rumah.


Ayah adahal workaholic.


Kerjaan dan kehormatan diri sama keluarga itu yang paling dia pikirin.


Jadi, mungkin kalo dia liat "pendidikan" itu, dia bakal coba buat menghentikannya.


Karena itu bakal buruk buat reputasi.


Tapi itu bukan karena dia peduli sama keluarga.


Setidaknya itu yang aku pikirin.


Nyatanya, ayah sering banget gak ada di rumah, jarang banget ikut campur soal asuh anak.


Jadi, "pendidikan" itu dianggap wajar aja.


Lama-kelamaan, dia jadi jarang ketawa.


Matanya yang indah itu jadi keruh dan mulai kelihatan suram.


Dan dia jadi selalu keliatan kayak lagi ngukur mood orang.


Aku pengen banget nolongin dia.


Jadi, berkali-kali aku minta sama ibu, supaya gak keras-keras sama dia.


Pas dia lagi "dididik", aku pernah melindunginya.


Beruntungnya, pas aku naik ke SMP, aku jarang liat dia "dididik" lagi.


Aku pikir aku udah bisa melindungi dia... itu yang aku rasain.


Tapi... pemikiran aku itu ternyata naif.


Suatu hari, secara gak sengaja aku liat kulitnya.


Aku langsung minta maaf...


Tapi saat itu, aku benar-benar liat.


Ada lebam ga wajar di kulit putihnya.


Ternyata, aku gak liat ibu "mendidik" dia lagi karena aku mulai SMP dan jadi sibuk dengan kegiatan ekstrakurikuler, jadi pulangnya sering malam.


Dia ternyata masih sering "dididik" pas aku gak liat.


Suaraku gak sampai ke ibu.


Aku cuma merasa gak berdaya.


Jadi... sebagai langkah terakhir, aku meminta bantuan ayah.


Aku memang gak terlalu dekat dengan ayah.


Jarang banget dia pulang ke rumah, dan dari dulu juga dia gak terlalu terlibat dalam urusan mengasuh anak.


Dan lagi... 

Aku pengen bantu dia dengan kekuatanku sendiri.


Makanya, aku ga terlalu mau mengandalkan ayah.


Ketika aku cerita ke ayah kalo dia lagi "dididik"...


Ayah kaget banget.


Kayaknya dia bener-bener mikir kalo dia udah ngelakuinnya dengan cukup baik.


Besoknya, ayah pulang ke rumah lebih awal dan ngobrol sama ibu sebentar.


Suara ibu yang teriak-teriak histeris dan ayah yang jawab dengan dingin, itu yang paling kuingat.


Ibu, yang biasanya ngotot, kayaknya sedikit merespon setelah dikasih tau sama ayah.


Untuk beberapa waktu, "didikan" itu jadi ga terdengar.


Tapi, itu ga berlangsung lama.


Di suatu hari di musim dingin, aku pulang lebih awal dari ekskul, dan... dia duduk di taman hanya dengan pakaian dalam.


Dia keliatan kedinginan.


‘Kamu baik-baik aja? Apa lagi dimarahin ibu?’


Aku rasa aku sempet nanya gitu.


Dan dia menjawab...


‘Biarkan aku sendiri.’


Dengan tatapan dingin yang bikin merinding, dia ngomong gitu.


Aku ga punya pilihan selain masuk ke rumah dengan terburu-buru.


Menurut yang aku denger dari adikku, dia dimarahin mama karena kesalahan sepele, seperti biasa.


Sejak dia masuk sekolah dasar kelas atas, dia mulai bantu-bantu kerjaan rumah, tapi karena suatu kesalahan dia bikin ibu marah.


Tapi, cara ibu marah kali ini kayaknya ga wajar.


Bukan, sebenarnya kesalahan itu cuma pemicu... yang sebenarnya ibu marah karena alasan lain.


Adikku ketakutan dan kabur ke kamarnya, jadi dia ga tau pasti ibu marah karena apa.


Cuma...


Pembohong.


Perempuan jalang.


Bitch.


Pelacur.


Itulah teriakan marah yang kadang-kadang terdengar... begitulah ceritanya.


Pokoknya, aku sendiri ga ngerti kenapa ibu bisa sekejam itu sama dia, jadi aku juga ga ngerti apa maksudnya "pelacur" itu.


Aku coba terus untuk membantu dia...


Tapi, situasi ga pernah membaik.


Malahan, rasanya semakin buruk.


Waktu berlalu, dia jadi siswa SMP, dan aku jadi siswa SMA.


Entah kenapa, dia mulai menghindariku, dan aku jadi ga bisa ngobrol dengan baik sama dia karena merasa ga berdaya.


Sekarang, dia udah mulai ngerjain hampir semua kerjaan rumah.


‘Aku tanya, ga berat? Ga benci?’


Dia cuma jawab, aku suka ngelakuinnya, itu aja.


Lagi pula, "didikan" dari ibu ke dia mulai berkurang.


Ketika dia masuk SMP, secara fisik dia mulai berkembang.


Dia memang anak yang aktif secara fisik dari dulu.


Mungkin ibu secara tidak sadar takut dibalas oleh dia.


Tapi... sindiran dan kata-kata kasar tetap sama.


Bukan berarti ibu berubah, tapi secara efektif kekerasan terhadap dia berkurang.


Hubungan antara dia dan ayah tetap sama, ga ada perubahan.


Dan dia dengan adikku... keliatannya cukup baik.


Sekiranya tetap sama seperti dulu.


Atau mungkin sedikit membaik.


Meski begitu, aku merasa hanya aku yang jadi jauh dari dia.


Aku jadi mikir, aku ga mau di rumah lagi. 


Jadi, aku memutuskan buat ngelamar ke universitas yang jauh dan mulai hidup sendirian.


Aku pikir dia udah nggak butuh bantuan aku lagi.


Dengan alasan itu, aku kabur.


...


Kalo aja aku tau.

Kalo aja aku tau dia dipaksa ikut perjodohan sama keluargaku, aku pasti nggak bakal lari.


Dia dipaksa ikut perjodohan, dan bahkan udah tunangan.


Aku baru denger beritanya pas liburan musim panas universitas udah deket.


Pasangannya itu anak sulung dari keluarga "Takasegawa".


Takasegawa.


Aku pernah denger nama itu beberapa kali.


Itu nama keluarga besar yang udah ada sejak jaman dulu di Jepang.


Dan buat ayahku, itu mitra bisnis yang penting.


Jelas ini pernikahan politik.


Beneran, setelah tunangan itu dibuat, ayahku kayaknya dapet pinjaman uang gede dari keluarga Takasegawa dan investor yang terkait sama mereka.


Liburan musim panas.


Setelah aku selesai ngurusin kuliah dan kerja paruh waktu yang nggak bisa ditinggal, aku buru-buru pulang ke rumah.


Pas itu...


Entah itu kebetulan baik atau buruk, aku bertemu sama dia.


Dia lagi sama seorang cowok muda.


Pas aku mendekat dan nyapa mereka... aku sedikit nyium bau kaporit.


Dia pegang tas yang kayaknya buat bawa perlengkapan renang.


Dan dia keliatan sedikit terbakar matahari.


Kulitnya yang putih itu langsung merah kalo kebakar matahari, jadi keliatan banget.


Dia yang biasanya nggak suka nunjukin kulitnya ke orang lain, jadi terkejut banget pas tau dia pergi ke kolam renang sama cowok.


Tapi, dia yang kayaknya nggak punya banyak temen, punya temen main biarpun cowok, itu seharusnya membuat aku, sebagai "kakak", senang.


...Tapi entah kenapa, aku kesal.


Ada sesuatu yang aku nggak suka.


Mukanya yang rapi, penampilannya yang keliatan baik-baik.


Dan matanya yang biru gelap, membuatnya tampak dewasa.


Awalnya aku pikir dia cuma teman biasa, jadi aku kaget pas tau dia tunangannya.


Soalnya, dia keliatannya masih muda banget.


Aku pikir kalo udah ngomongin soal nikah, pasti sama orang yang lebih tua dan udah kerja, jadi agak kaget.


Pas ngobrol, emang dia keliatan dewasa dan tenang, punya kesan yang dingin dan tenang.


Kesan buruk sih nggak ada.


Dari penampilan dan sikapnya, keliatan kayak orang baik.


Mungkin... mungkin aja, kalo aku bujuk, dia bisa ganti pikiran. Kalo aku ceritain tentang keadaan dia, mungkin dia bisa bantu menyelamatkan dia.


...Gitu pikirku.


Makanya aku tanya dia.


‘Kamu beneran mau nikah?’ Kata aku.


Trus dia, dengan cara yang kayaknya kesal, bilang, siapa sih yang tunangan tapi nggak mau nikah.


Kata-katanya itu kayak ada sindiran, bikin aku makin kesal.


Trus, dia tarik lengan dia, kayak maksa, "Iya kan?"


Trus dia bisikin sesuatu ke dia.


Dan mereka bilang, mereka memang mau nikah.


Mereka yakin bisa jalanin semuanya dengan baik.


Ini aneh.


Terlalu aneh.


Anak SMA umur lima enam tahun, dengan tenang dan biasa aja, karena kesepakatan orang tua, tunangan, dan punya tekad buat jadi suami istri di masa depan... 


Pikirannya itu aneh banget kalo dipikir-pikir dengan logika sehat.


Gak mungkin ada kejadian kayak gini di Jepang zaman sekarang.


Jadi, aku mikir.


Pasti dia dipaksa sama ayah, dipaksa buat nikah.


Dia pasti lagi pura-pura sayang karena dipaksa.


Dan dia, dia pasti percaya banget sama aktingnya.


Kalo ada cewek imut bilang suka, ya wajar aja sih kalo cowok seusianya bisa terbang melayang kegirangan.


Kalo aku ceritain situasinya, pasti dia bakal ngerti.


Itulah yang aku pikir, sambil hati remuk redam aku ceritain keadaan si cewek ke dia.


Tapi, dia susah banget percayanya.


Dan entah kenapa, dia malah ngecek kebenarannya sama si cewek.


Dia, karena posisinya, ya pasti jawab suka lah, karena gak ada pilihan lain... aku jelasin gitu juga, susah banget sampe ke dia.


Setelah usaha keras biar dia ngerti...


Dia seperti heran banget, nanya, lagi mau apa sih?, gitu.


Tiba-tiba... mataku tertuju ke jam tangan yang dia pake di tangan kiri.


Itu jam tangan merek terkenal dari Swiss.


Harganya paling murah juga udah lewat sepuluh ribu yen... jam tangan mewah itu.


Ah, jadi ini toh keluarga Takasegawa.


Buat dia, sepupuku ini sama kayak jam tangan itu.


Dengan kekayaan, dia paksa sepupuku untuk nikah... aku yakin banget itu.


Padahal kelihatan kayak cowok baik-baik, tapi ternyata dia sama kayak ayahku yang menjual dia.


Orang yang dengan santainya melakukan hal yang mirip perdagangan orang, orang jahat.


Makanya, aku bilang jelas ke dia.


Jangan maksa nikah.


Kalo beneran sayang sama dia, gak mau dia jadi tidak bahagia, batalkan tunangan itu.


Aku berharap sedikit... mungkin ada, hati nurani.


Eh, dia malah dengan tenang ngebantah.


Dia bilang kalo dia gak beli sepupuku, sepupuku cuma akan dijual ke laki-laki lain.


Dia malah terang-terangan.


Kayak bilang salah aku gara-gara gak punya duit.


Puncaknya, dia malah mengejek, bilang apa yang bisa dilakukan orang gak berguna kayak aku.


Aku mau bantah.


Tapi gak nemu kata-kata.


Pas aku lagi bingung gitu, dia naik taksi, dan kabur.


Setelah dia pergi, aku mendekat ke sepupuku.


Kamu baik-baik aja?


Kamu pergi ke kolam renang ya?


Kamu gak diperlakukan buruk kan?


Kamu diancam?


Ada yang pegang rahasia kamu?


Aku akan jadi temanmu... 

Jadi, begitu aku ngomong.


Terus dia menjawab,


"Udahlah, jangan ganggu hidupku lagi."


"Kamu sendiri gak bisa apa-apa, jangan ikut campur urusanku."


"Urusan kamu apa."


Sambil nangis, dia teriak gitu.


Terus dia lari masuk ke rumah.


Bener juga sih.


Aku... masih gak punya kekuatan apa-apa.


Tapi aku gak bisa ninggalin dia nangis gitu aja.


Aku harus pastiin suatu hari nanti, aku bisa bantu dia.


Aku mikir gitu.


Beberapa waktu berlalu, sepertinya dia diajak ke festival musim panas sama dia.


Sebenernya aku pengen nyuruh dia gak usah pergi.


Tapi dia gak mau denger, dan tetep pergi.


Lama banget, dia gak pulang.


Akhirnya dia telpon.


Katanya... karena kereta berhenti, dia jadi nginep di rumah cowok itu.


Dia gitu loh.


Nginep di rumah cowok.


Entah kenapa, aku jadi mual.


Pas muka aku pucat...


Adikku nyengir sambil bilang,


"Tiap Sabtu kan, Arisa-san selalu ke tempat dia tuh."


"Udah kayak istri aja."


Aku gak tau soal itu.


Mungkin dia udah kena racun dari cowok itu.


Mungkin dia dipaksa buat ngelakuin hal-hal yang kejam.


Aku mikir gitu, dadaku rasanya mau pecah.


Keesokan harinya, dia pulang dengan selamat.


Aku tanya, "Kamu gak apa-apa?"


Dia cuma jawab dingin, "Gak ada kaitannya dengamu."


Dia pasti gak mau diungkit-ungkit.


Sikapnya... seolah-olah ada yang terjadi.


Aku jadi makin khawatir.


Makanya, sampe liburan musim panas berakhir, sampe akhir September, aku memutuskan untuk tinggal di rumah.


Dan aku sadar satu hal.


Ibu aku marah-marahin dia, jadi jarang banget.


Biasanya... kalo dia pulang malem, ibu akan teriak-teriak dan marah-marah.


Tapi sekarang, cuma dengan sindiran satu dua kali, selesai.


...Sepertinya, bahkan ibuku juga takut sama keluarga Takasegawa.


Keluarga itu sebegitu kuatnya.


Aku sendirian gak bakal bisa menang.


Aku mikir gitu. 



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close