NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Hitotsu Yane no Shita, Boukei no Konyakusha to Koi wo Shita V1 Chapter 1

 Penerjemah: Rion 

Proffreader: Rion 


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


Chapter 1 - Orang Yang Merupakan Tunangan Dari Kakakku.


Kakak laki-lakiku meninggal pada musim semi ketika aku menjadi siswa tahun kedua SMA.

Itu terjadi di awal April, ketika bunga sakura yang mewarnai jalanan kota mulai berguguran.

Penyebab kematiannya adalah penyakit. Lebih spesifik lagi, kanker pankreas, yang mana jarang terjadi pada anak muda.

Ia meninggal tepat pada usia dua puluh empat tahun, padahal terkena kanker pada usia dua puluhan itu sangat jarang terjadi.

Selain itu, salah satu karakteristik kanker pankreas adalah gejalanya yang sangat sulit dideteksi secara dini. Seperti dalam banyak kasus lainnya, diagnosis penyakit kakakku terlambat, dan ketika diketahui, semuanya sudah terlambat.

Penyakit itu terungkap pada bulan Desember tahun lalu, dan pada saat itu, dokter menyatakan bahwa ia hanya punya kurang lebih empat bulan waktu tersisa.

Dia juga diberitahu bahwa paling banyak, dia hanya akan mendapatkan waktu satu tahun lebih banyak meskipun mengabdikan diri sepenuhnya untuk pengobatan.

Mungkin kedengarannya seperti aku tidak tahu apa-apa tentang itu, seolah-olah aku tidak mengetahuinya.

Dan memang benar, aku tidak diberitahu tentang penyakit kakakku sampai tidak lama sebelum dia meninggal.

Dia terus bekerja sambil menyembunyikan kankernya, lalu setelah mengungkapkannya, dia dirawat di rumah sakit dan meninggal setengah bulan kemudian.

Kenapa dia tidak menjalani pengobatan dan terus berusaha hidup sampai batas akhir?

Kakak terus mengalihkan perhatian dengan senyumannya sampai akhir.

Tapi alasannya jelas, karena kami tidak punya orang tua.

Orang tua kami meninggal dalam kecelakaan lalu lintas ketika kembali dari menitipkan kami kepada kerabat ketika aku berusia tiga tahun.

Setelah itu, kami diambil oleh paman dari pihak ibu, tetapi sejak kakak lulus SMA dan mulai bekerja, kami menyewa apartemen dan hidup berdua, dan sudah hampir enam tahun kami tidak berkomunikasi dengan mereka.

Dengan kata lain, karena tidak ada orang lain yang bisa diandalkan, kakak terus bekerja demi aku yang akan ditinggalkan.

Jika dia tak bisa diselamatkan, dia ingin bekerja sampai akhir untuk meninggalkan uang sebanyak mungkin.

Aki pikir bagaimana seseorang memilih untuk menjalani sisa waktu mereka adalah kebebasan mereka.

Tapi aku... aku berharap dia bisa hidup lebih lama, meskipun hanya satu hari lagi.

Bukan hanya karena dia adalah satu-satunya keluarga, tetapi lebih dari itu, demi wanita yang sangat menghargainya, aku berharap dia bisa fokus pada pengobatan dan hidup lebih lama, meskipun dia tidak bisa diselamatkan.

Perasaan itu tidak berubah bahkan saat ini, ketika kita menghadapi momen perpisahan terakhir.

"Minoru-kun..."

Setelah semua tamu pemakaman telah pergi.

Suara yang lembut bergema dalam ruangan sunyi di rumah duka.

"Apa kamu sudah mengucapkan selamat tinggal pada Takeru?"

Saat aku menoleh, ada seorang wanita dewasa yang berpakaian serba hitam.

Namanya Mirumachi Shiho, tunangan kakakku---Takeru Nanase.

Tidak... lebih tepatnya, mungkin sekarang dia bisa disebut sebagai mantan tunangan kakakku.

Dia adalah satu-satunya orang yang tahu bahwa kakakku menderita kanker, dan wanita yang terus mendukungnya hingga akhir.

Segera setelah beliau meninggal, Shiho-san melakukan semua prosedur dan pengaturan pemakaman menggantikan aku yang belum bisa menerima kenyataan. Berkat dia, aku bisa mengucapkan selamat tinggal kepada kakakku seperti ini.

Tapi begitu---

"Rasanya seperti bohongan, ya..."

Kata-kata itu terlontar tanpa sengaja.

"Wajahnya begitu tenang, seperti hanya sedang tidur dan akan segera bangun, tapi... itu tidak akan terjadi. Dia tidak akan pernah membuka mata lagi. Aku tak percaya aku tidak akan bisa mendengar suaranya lagi..."

Meskipun aku memahaminya di kepalaku, hatiku masih belum bisa menyusul dan menerima kenyataannya.

Wajah kakak terlihat begitu menawan, tidak sedikitpun terlihat seperti orang yang baru saja berjuang melawan penyakit. Aku tahu itu karena riasan setelah kematian, tapi aku masih berharap dia akan membuka mata dan mulai berbicara dengan senyum polosnya seperti biasa.

Wajahnya... begitu indah, namun juga dingin.

"Aku benar-benar tak percaya..."

Mungkin karena aku menolak untuk menerimanya.

Sudah tiga hari sejak kakak meninggal, tapi belum ada satu tetes air mata pun yang aku keluarkan.

Aku pernah dengar bahwa ketika seseorang terluka parah, adrenalin akan dikeluarkan secara berlebihan, dan akhirnya orang itu tidak akan merasakan sakit. Mungkinkah.... ketika seseorang merasakan kesedihan yang tidak bisa ditahan, hatinya juga bisa jadi mati rasa?

Seperti kehilangan semua emosi, hatiku tak bergerak. Aku bahkan berpikir bahwa yang mati bukanlah kakak, tapi aku sendiri. Solah-olah perasaanku telah kehilangan panasnya, dan darah yang mengalir di pembuluh darahku telah diganti dengan air dingin, seluruh tubuhku terasa membeku.

Jika aku menutup mata, aku tidak akan pernah bangun lagi; seakan tenggelam ke dalam kegelapan yang pekat.

Itulah sebabnya, sejak kakak meninggal, aku tidak bisa tidur dengan baik.

"Kalau aku menerima kematian kakak, itu berarti aku jadi sendirian---"

Itu adalah pertama kalinya aku mengucapkan kata 'kematian' setelah kakakku meninggal.

Tiba-tiba, emosi yang meluap membuat hatiku terasa remuk dan suaraku serak.

Seharusnya hatiku masih mati rasa, tapi begitu, aku tidak bisa tahan dengan rasa sakit yang sangat dalam ini.

Dilanda kesakitan yang seolah-olah merupakan campuran dari semua emosi negatif yang bisa diungkapkan dengan kata-kata, aku mencoba bertahan agar hatiku tidak hancur berkeping-keping dengan menutup mata erat-erat.

"Kamu pasti baik-baik saja---"

Tak lama setelah itu, suara lembut dan menenangkan terdengar di telingaku.

"Aku tidak akan membiarkan Minoru-kun sendirian."

Rasanya seperti dibungkus oleh kehangatan yang sama seperti saat berjemur di bawah sinar matahari yang menembus celah-celah pepohonan.

Dunia yang sebelumnya kehilangan warna, kini seakan kembali mendapatkan warnanya.

Saat aku perlahan membuka mata, aku mendapati Shiho-san memelukku dari belakang.


Rasanya seperti hatiku juga dipeluk bersamaan.

"Mulai sekarang, aku akan berada di sisimu sebagai pengganti Takeru."

"Shiho-san..."

Tanpa sadar, aku meraih lengan Shiho-san seperti sedang mencari pegangan.

"Kita akan baik-baik saja. Aku akan menjadi pengganti Takeru, jadi jangan khawatir."

Baik-baik saja---Kata-kata yang diulang-ulang itu, meluluhkan hati yang telah beku.

Benang ketegangan yang tadinya begitu kencang pun putus, dan aku tak kuasa menahan emosi yang meluap dari lubuk hatiku.

Bahkan sebelum sempat menyadarinya, air mata sudah mengalir dan meluncur di pipiku. Ketika aku akhirnya sadar bahwa aku menangis, aku tidak bisa menahannya lagi. Seperti bendungan yang jebol, perasaan-perasaanku menjadi riak suara yang bergema di ruangan.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku menitikkan air mata di depan seseorang.


◈ ⟡ ◈


Sabtu pagi, satu minggu setelah pemakaman kakak. 

Aku bangun lebih awal dari biasanya untuk membereskan ruang tamu, sesuatu yang sudah lama tidak kulakukan. 

Hal ini dikarenakan, sejak kakak meninggal, aku telah sibuk dan menjalani kehidupan tanpa bisa melakukan apa-apa, sehingga ruang tamu menjadi sangat berantakan. 

Pakaian berserakan, botol plastik minuman yang sudah habis dibiarkan begitu saja. 

Jemuran yang sudah kering di luar tidak diangkat-angkat sampai harus dicuci ulang, dan aku bahkan belum memilah sampah untuk dibuang. Tentu saja, kondisi dapur juga begitu; dengan wastafel yang penuh dengan piring kotor terendam air.

Jujur, kata-kata 'pemandangan yang menyedihkan' sangat cocok untuk situasi ini.

Situasinya bahkan lebih menyedihkan lagi karena biasanya aku ini tipe orang yang selalu menjaga kebersihan.

"Haa... tak peduli apa yang kukatakan, dengan situasi seperti ini, tidak mungkin ada yang percaya..." 

Meskipun aku tidak sedangvmenjelaskan kepada siapa pun, kondisi yang sangat buruk ini membuatku ingin mencari-cari alasan.

Dulu, setiap kali menonton acara TV yang menampilkan tentang sekelompok orang sedang membersihkan rumah orang-orang yang hidup dalam kekacauan, aku tidak bisa mengerti bagaimana kondisi rumah mereka bisa sampai seperti itu. Namun, sekarang aku bisa memahami apa yang mereka rasakan.

Tampaknya, orang bisa menjadi tidak mampu melakukan apapun ketika mengalami tekanan mental yang ekstrem.

"Huft, aku tidak bisa terus-terusan tinggal di ruangan seperti ini..." 

Aku sudah bicara dengan wali kelas dan diizinkan untuk tidak masuk sekolah sampai akhir minggu ini. 

Karena kakak meninggal pada tanggal 5 April, sebelum upacara pembukaan, aku belum masuk sekolah sama sekali sejak menjadi siswa kelas dua SMA. Jika aku terus absen lebih lama lagi, aku rasa itu akan mengganggu kehidupan sekolahku ke depannya.

Maka dari itu, aku ingin menyelesaikan bersih-bersih selama akhir pekan dan kembali ke kehidupan yang teratur.

"Ini harus jadi pembersihan besar-besaran..."

Karena sudah begini, aku memutuskan untuk membersihkan ruangan lain juga dan mulai bergerak meskipun malas.

Aku membawa kantong plastik berkapasitas besar dan mulai memasukkan sebanyak mungkin sampah yang kulihat.

Seberapapun berantakannya, aku biasanya tidak akan sampai menghabiskan satu hari penuh cuman untuk bersih-bersih. Namun, jujur saja aku merasa dua hari penuh di akhir pekan tidak akan cukup kali ini.

Ada dua alasan, yang pertama adalah karena aku tidak merasa bersemangat dan laju pekerjaan juga lambat.

Yang kedua adalah karena rumah ini adalah unit apartemen tipe maisonette 3LDK yang cukup luas.

Mungkin terdengar terlalu luas untuk ditinggali berdua dengan kakak, tapi ketika kami menyewa ruangan ini, kakak dan Shiho-san sudah bertunangan, dan sudah diputuskan bahwa kami akan tinggal bersama setelah mereka menikah.


TL/N:

Apartemen tipe maisonette 3LDK ini adalah apartemen yang terdiri dari 3 Kamar tidur, ruang tamu (L - Living room), ruang makan (D - Dining room), dapur (K - Kitchen). Dan untuk tipe 'maisonette' nya ini sendiri berarti ruang apartemennya itu punya dua lantai. Berbeda dengan tipe 3LDK biasa yang hanya punya satu lantai.


Jadi, kami menyewa properti dengan tiga kamar agar masing-masing bisa punya kamar sendiri...

Tapi... Kehidupan baru untuk kami bertiga tidak akan bisa terwujud, dan aku harus hidup sendiri mulai sekarang.

"Mulai sekarang... hidup sendiri... di tempat sebesar ini?"

Saat aku bergumam, aku sekali lagi menyadari betapa luasnya tempat ini, dan di saat yang bersamaan, aku merasa kesepian.

Tidak boleh, jangan pikirkan itu---aku mencoba keras untuk mengatakan itu pada diri sendiri, tapi dengan mengatakannya, aku justru mulai memikirkannya... dan hatiku sekali lagi digerogoti oleh kesedihan yang datang dan pergi seperti gelombang laut.

Entah sudah berapa kali aku tenggelam dalam kesedihan seperti ini.

Aku mencoba mengusir perasaan negatif dengan menggelengkan kepala.

Tiba-tiba, interkom berbunyi, membuatku mulai tersadar kembali.

"...Tamu?"

Aku melihat ke arah jam dinding di ruang tamu dan ternyata saat ini sudah lewat pukul sembilan.

Sambil bertanya-tanya siapa yang datang pagi-pagi begini, aku berjalan ke pintu depan dan perlahan membukanya.

"Pagi, Minoru-kun!"

Aku mengerutkan wajah, mungkin karena terpaan sinar matahari yang menyilaukan.

Atau mungkin juga karena senyuman yang tiba-tiba muncul di depan mata.

"...Shiho-san?"

Di depan pintu, dengan sinar matahari pagi di belakangnya, berdiri Shiho-san yang tersenyum.

Sekali lagi, namanya adalah Mirumachi Shiho, tunangan mendiang kakakku.

Seorang wanita dewasa dengan rambut panjang yang tergerai hingga punggung, memasang senyum cerah yang ramah. 

Dia berusia 21 tahun, tiga tahun lebih muda dari kakakku. Dia juga merupakan teman sekelas SMA dari Yuuka-san, seorang wanita yang bekerja di perusahaan surat kabar lokal tempat kakakku bekerja. Mereka diperkenalkan oleh Yuuka-san dan telah berkencan selama satu setengah tahun sejak itu.

Dialah orang yang seharusnya menikah dengan kakakku dan mulai tinggal bersama kami pada bulan Oktober tahun ini, bulan yang menandai tepat dua tahun hubungan mereka.

"Maaf tiba-tiba datang. Kamu sedang tidur, kan?"

"Tidak, aku sudah bangun..."

"Kalau begitu, baguslah."

Shiho-san menghela napas, menyibakkan rambut panjangnya ke belakang telinga sambil menunjukkan ekspresi lega di wajahnya.

Di jari manis tangan kanannya, bersinar cincin pertunangan yang diberikan kakakku.

"Apa yang terjadi dari pagi begini?"

"Aku akan menceritakan detailnya nanti, sekarang ayo kita masukkan barang-barangnya dulu."

"Masukkan barang-barang?"

"Kalau truknya terparkir terlalu lama, tetangga bisa terganggu."

Sebelum sempat bertanya apa-apa, Shiho-san berbalik.

"Maaf membuat Anda menunggu. Silakan mulai memindahkan barang-barangnya!"

Dia mengatakan itu dengan suara keras kepada seseorang di luar.

Ketika aku keluar dari pintu depan tanpa mengetahui apa yang dibicarakan, aku melihat sebuah truk besar diparkir di depan rumah.

Melihat kata-kata yang tertulis di bak truk, sebuah kemungkinan tak terduga terlintas di pikiranku.

Dan kemungkinan itu tak perlu dipertanyakan lagi, karena 'Perusahaan Pindahan' tertulis dengan huruf besar di sana.

"Tunggu sebentar-----!"

Meskipun aku mengatakan itu, tidak mungkin mereka akan menunggu lebih lama.

Shiho-san masuk ke rumah dengan cara yang terlihat sangat santai sambil berbicara dengan staf.

Tidak heran; Shiho sering datang mengunjungi kakak hampir setiap minggu saat dia masih hidup.

Bahkan, saat menyewa ruangan ini, aku, dia, dan kakak pergi melihat-lihat agen real estat bersama-sama. Tentu saja rencananya adalah tinggal bersama, tapi kami kesulitan menemukan tempat yang bagus 

Sudah hampir setengah tahun sejak itu, rasanya seperti kenangan...

Tidak, tidak, ini bukan saatnya untuk bernostalgia!

"Shiho-san-----"

Aku mengikuti Shiho-san ke dalam rumah.

Kemudian, Shiho-san membeku saat melihat keadaan ruang tamu yang berantakan.

"Umn, ini sangat tidak biasa untuk melihat Minoru-kun terlihat sangat berantakan, ya?

".....Maaf," ucapku tanpa sadar, walau tak ada yang memarahiku.

Aku merasa seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang berbuat nakal oleh orang tuanya.

"Biarkan aku ikut membantu. Mari kita bereskan semuanya sementara barang-barangnya diangkut."

Shiho-san menyingsingkan lengan bajunya dan mulai membersihkan sampah dengan kantong plastik di tangannya.

Ada hal yang ingin aku tanyakan, tapi tidak ada gunanya membuat keributan sekarang.

Bagaimanapun, seperti yang Shiho-san katakan, lebih baik kami berdua mulai membersihkan ruang tamu sekarang.


◈ ⟡ ◈


Setelah itu, butuh waktu kurang dari satu jam sampai pengangkutan barang selesai.

Staf itu berkata, "Ada banyak kotak, tapi karena tidak ada peralatan rumah tangga seperti kulkas atau mesin cuci, semuanya jadi lebih mudah!" Meskipun begitu, kemahiran mereka benar-benar luar biasa, tak heran kalau mereka adalah profesional.

Adapun pembersihannya, itu belum selesai.

Bahkan setelah pengangkutan selesai, kami berdua terus membersihkan, tapi itu semua tidak ada habis-habisnya. Sampai pada akhirnya, karena ruang tamu sudah bersih, kami memutuskan berhenti di titik yang tepat untuk mulai membahas cerita lengkapnya dari awal.

Aku kurang lebih sudah cukup memahami situasinya, tapi aku ingin mendengar penjelasannya langsung dari mulut Shiho-san.

Aku membuat dua cangkir teh di dapur sebelum kembali ke ruang tamu.

Kemudian, Shiho-san sedang duduk di depan altar kecil di sudut ruangan.

Altar ini disiapkan oleh kakakku setelah dia mulai bekerja untuk orang tua kami yang telah meninggal, dan sekarang, selain foto orang tua kami, ada juga foto kakakku, dan di sebelahnya, ada kotak kayu paulownia yang berisi abu kakakku.

"....."

Shiho-san menyalakan dupa dan perlahan menutup matanya dalam doa.

Wajah seriusnya yang berbeda dari senyum polos yang biasa dia tunjukkan membuatku terpesona.

Shiho-san adalah wanita yang ceria dan polos. Seperti matahari, ia secara alami membuat orang di sekitarnya tersenyum, meskipun kadang-kadang ia juga bisa menunjukkan sisi dewasa yang bertentangan dengan kesan tersebut.

Kepolosan seperti anak kecil dan wibawa seorang wanita dewasa.

Kakak juga berkata bahwa salah satu pesona Shiho-san adalah gap yang dia tunjukkan secara tiba-tiba itu.

"Maaf sudah membuatmu menunggu."

Setelah menyelesaikan penghormatan kepada kakak, Shiho-san berbalik menghadapku sambil berkata demikian. 

Ekspresi indah sekejap itu berubah kembali ke senyum polos yang biasanya. 

"Aku tahu karena bisa menebaknya. Tapi... apa kamu benar-benar berencana tinggal di sini?"

"Yap! Seperti yang bisa diharapkan dari Minoru-kun, kamu dan Takeru sama-sama cepat tanggap, ya~"

Aku bertanya sambil memberikan gelas, dan Shiho-san langsung menjawabnya 

Melihat Shiho-san menjawab dengan nada main-main, aku tanpa sadar memegang kepala. 

Meskipun aku minta maaf karena berkata seperti ini, tapi aku benar-benar tak bisa tidak berpikir 'Dia melakukannya lagi?'.

Karena, bukan kali ini saja Shiho-san tiba-tiba melakukan sesuatu. 

Misalnya, tiba-tiba mengatakan ingin makan es krim pas tengah malam, atau segera setelah bangun pagi mengatakan cuaca bagus jadi mari kita pergi jalan-jalan, atau merencanakan perjalanan ke pemandian air panas di akhir pekan dan lupa mengatakannya pada kami sampai tepat hari keberangkatan. 

Shiho-san sepertinya percaya bahwa waktu itu terbatas, jadi ketika kamu memikirkan sesuatu yang menyenangkan, maka lakukanlah segera setelah kamu memikirkannya.

Kakakku adalah tipe orang yang optimis, atau lebih tepatnya, tipe orang yang 'oke saja' asalkan itu menyenangkan. Akibatnya, dia sering kali dengan senang hati menemani, yang akhirnya malah membuatku selalu terombang-ambing oleh tingkah laku mereka berdua.

Memikirkannya kembali sekarang, aku mungkin juga menikmatinya, meskipun banyak mengeluh.

Jadi, daripada kaget dengan situasi saat ini, aku lebih merasa kalau ini sama saja seperti yang sebelum-sebelumnya.

"Aku akan bertanya sekali lagi, ......Kamu serius mau pindah kesini?" 

"Aku sudah bilang sebelumnya, kan? Aku akan selalu bersamamu." 

Kenangan saat Shiho-san memelukku di pemakaman kakak melintas di pikiranku. 

"Kamu memang bilang begitu, tapi tolong hubungi aku dulu sebelum langsung pindah."

"Aku sudah kirim pesan, tapi kamu belum jawab. Aku juga coba telepon, tapi nggak tersambung."

"Ah..." 

Kalau dipikir-pikir, aku bahkan tidak ingat di mana aku meletakkan ponselku. 

Mungkin, ia tergeletak di suatu tempat dalam keadaan baterai habis. 

"Aku juga pernah datang sampai menekan bel beberapa kali, lho?" 

Memang, aku ingat bel pintu berbunyi beberapa kali. 

Aku tidak punya keinginan melakukan apa pun, jadi aku tidak menjawab, tapi ternyata itu Shiho-san. 

...Tampaknya, aku tidak dalam posisi untuk mengeluh di sini.

"Apa yang kamu lakukan kalau hari ini juga, aku tetap tidak mau membukakan pintu?"

"Kalau itu terjadi, aku berencana menggunakan kunci yang aku terima dari Takeru untuk membukanya."

Shiho-san mengatakan itu sambil memamerkan kunci rumah yang diberikan kakakku.

"Haa..."

Tanpa sadar, napas terlepas.

Aku senang melihat Shiho-san memperhatikanku.

"Maaf, kita tidak bisa tinggal bersama."

Tapi bukan berarti, aku bisa menerimanya.

Aku mencoba menjelaskan dengan hati-hati agar Shiho-san bisa mengerti.

"Aku bisa memakluminya kalau Shiho-san menikah dengan kakak. Dalam hal itu, kita akan jadi saudara ipar. Tapi karena kalian berdua tidak menikah, Shiho-san tak punya kewajiban untuk merawatku. Aku menghargai perhatian yang diberikan Shiho-san, tapi Shiho-san juga punya kehidupannya sendiri untuk diurus."

Sebagai orang yang lebih muda darinya, sulit untuk mengatakan hal ini, tapi Shiho-san masihlah sangat muda dan punya masa depan cerah di masa depan.

Mungkin tidak terbayangkan sekarang, tapi suatu hari nanti akan ada pertemuan baru. Jika saat itu tiba dan dia masih tinggal bersama adik dari tunangannya yang telah meninggal, dia mungkin akan kehilangan kesempatan tersebut.

Aku tidak ingin masa depan Shiho-san terikat karena diriku.

"Untungnya, kakakku telah mengasuransikan dirinya, jadi dia meninggalkan cukup uang untukku sampai aku dewasa. Shiho-san tidak perlu khawatir tentangku, silakan jalani kehidupan Shiho-san sendiri."

Lebih dari itu, jika tinggal bersama adik dari tunangannya, Shiho-san mungkin tidak akan pernah bisa melupakannya.

"Minoru-kun itu serius ya. Serius dan sangat baik."

Satu kata itu menusuk ke dalam hatiku.

"Tidak, aku bukannya baik atau apapun..."

Karena apa yang baru saja aku pikirkan juga berlaku untuk diriku sendiri.

Jika aku tinggal bersama Shiho-san, aku takut akan terus terbayang-bayang akan kematian kakak dan tidak bisa melupakannya.

Perasaan ingin memikirkan masa depan Shiho-san bukanlah bohongan, tapi itu juga untuk diriku sendiri.

Aku yang mencoba menolak dengan alasan itu demi Shiho-san tidak bisa disebut baik.

"Tidak, Minoru-kun itu memang baik sekali."

Namun, Shiho-san tetap mengatakannya.

"Mungkin tidak ada peringkat pertama atau kedua dalam kesedihan, tapi Minoru-kun yang kehilangan satu-satunya kerabat dekat juga pasti menderita. Namun, karena kamu memikirkan masa depanku, kamu pastilah seseorang yang baik hati."

Kata-katanya seolah-olah melihat langsung ke dalam hatiku.

"Tentu, aku tahu betul bahwa Minoru-kun mengatakannya karena memikirkan aku. Aku juga mengerti bahwa Minoru-kun punya pikirannya sendiri. Meski begitu, aku sudah memutuskan untuk tinggal bersama Minoru-kun sejak sebelum Takeru meninggal."

Kata-katanya punya nada yang tenang dan lembut, tetapi memiliki maksud yang jelas.

Matanya juga dipenuhi dengan perasaan kuat yang takkan goyah, apapun yang kukatakan.

Dan pada saat berikutnya, Shiho-san mengatakan sesuatu yang sangat tidak terduga.

"Ini bukan hanya keinginanku, tapi juga keinginan yang dipercayakan Takeru kepadaku."

"Dipercayakan kakak...?"

Aku mengulangi kata-katanya dengan terkejut.

Kemudian, Shiho-san mengangguk perlahan.

"Takeru memintaku untuk berada di sisi Minoru-kun."

Dipercayakan Takeru---kata-kata itu terus berputar di kepalaku.

Bagi orang yang tak tahu apapun soal situasinya, mungkin terdengar seperti sebuah cerita indah dimana seorang kakak yang hidupnya tidak lama lagi, mempercayakan tunangannya kepada adiknya. Mungkin ada yang terharu oleh cinta seorang kakak yang masih memikirkan adiknya bahkan setelah meninggal itu.

Jika kamu mencari satu atau dua drama mengharukan seperti itu, kamu mungkin akan menemukannya.

Namun, apa yang muncul di hatiku bukanlah rasa haru, melainkan keraguan.

Aku tak percaya kalau kata-kata itu adalah maksud sebenarnya dari keinginan sejati kakakku.

"Apa maksudmu kakak meminta Shiho-san untuk menjagaku?"

"Iya! Dia ingin aku merawatmu sebagai penggantinya."

Tidak tahu harus menjawab apa, aku menutup mulutku dengan tangan dan terdiam.

Melihatku seperti itu, Shiho-san mungkin berpikir bahwa aku sedang mempertimbangkan untuk tinggal bersama.

"Maaf kalau membuatmu terkejut, tapi aku pikir memang lebih baik kalau aku ada bersamamu!"

Dia menunjuk satu per satu dengan jari, mengangguk-angguk sambil menyebutkan keuntungan tinggal bersamanya.

Menurutnya, tinggal sendiri sebagai pelajar itu berbahaya dari segi keamanan. Selain itu, beban pekerjaan rumah bisa dibagi dua. Shiho-san juga tipe orang yang kuat di pagi hari, jadi dia bisa membangunkanku setiap pagi. Ditambah lagi, dia bisa mengantarku dengan mobil saat pergi.

Mungkin karena berpikir dia bisa melakukan semua itu, dia datang dengan penuh semangat, seolah-olah melihat sebuah kesempatan.

"Selain itu, aku rasa akan ada banyak masalah kalau Minoru-kun yang masih di bawah umur tinggal sendiri. Misalnya, tentang kontrak sewa tempat ini juga, Takeru sudah mengubahnya menjadi namaku sebelum dia meninggal, dengan mengingat apa yang akan terjadi setelah kepergiannya."

Kapan itu terjadi...

Tapi, memang seperti yang dikatakan Shiho-san.

Selain masalah kontrak, mungkin akan ada lebih banyak masalah terkait perwalian di masa mendatang.

Sebenarnya, aku masih punya kerabat, jadi secara teknis aku tidak sepenuhnya sendirian. Tapi, aku tak berencana untuk bergantung pada kerabat yang bahkan tidak muncul di pemakaman kakak, dan aku juga tidak mau bergantung pada mereka meskipun aku kesulitan.

Namun, akan tiba saatnya ketika aku, sebagai anak di bawah umur, tidak dapat melakukan apa pun sendiri dan membutuhkan bantuan orang dewasa.

Mungkinkah kakak mempertimbangkan semua ini dan mempercayakan aku kepada Shiho-san?

"Lebih lanjut lagi, kalau kamu tinggal bersamaku, kamu bisa dapat banyak makanan enak sebagai bonusnya!"

"Memang, masakan Shihosan itu enak, jadi aku pikir itu tawaran yang cukup menarik..."

Pada akhirnya, dia seperti mencoba memancingku dengan bonus yang hanya tersedia untuk waktu terbatas.

"Kalau mau, mulai hari ini kamu bahkan bisa memanggilku onee-san!"

"Tidak, itu tak perlu."

"B-begitu ya..."

Saat aku menjawab dengan wajah serius, Shiho-san tampak kecewa; bahunya terkulai lemas.

Terlepas dari semua lelucon itu... serius, apa yang harus kulakukan?

Situasi tinggal satu atap dengan tunangan mendiang kakakku bukanlah sesuatu yang salah. Meskipun ada sedikit keraguan dari segi etika, tapi tidak ada tindakan yang melanggar hukum.

Jadi, semuanya tergantung padaku...

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan proses pembatalan kontrak apartemen tempat kamu tinggal sebelumnya?"

"Aku akan menyerahkan kuncinya nanti sore. Jadi, akan sulit bagiku jika kamu mengatakan tidak dan menyuruhku pergi sekarang... bukan? Lagipula, masih terlalu dingin untuk tidur di jalanan pada awal musim ini, kan? Ha... haha... ha..."

Shiho-san akhirnya menyadari bahwa dia telah bertindak terlalu jauh.

Dia tertawa kecil dengan wajah cemas bercampur keringat dingin. Tubuhnya gemetar saat melihat wajahku.

Aku hampir tertawa melihat kepanikannya; rasa jahil dalam diriku muncul, tapi aku merasa kasihan jika harus mengusirnya dan menyuruhnya tidur di luar. Karena itu, aku mengurungkan niat tersebut.

Aku bukanlah orang yang menikmati kesenangan dari bersikap jahat terhadap wanita.

Namun, aku tetap ingin memberinya sedikit pelajaran.

"Tolong jangan bertindak terlalu impulsif lagi ke depannya."

"...!? Kamu bilang 'ke depannya'...!"

Wajah Shiho-san berubah dari yang tadinya cemas menjadi tersenyum seperti bunga yang sedang mekar. 

Meskipun situasinya begini, tapi kurasa senyuman itu memang sangat cocok untuk Shiho-san.

"Untuk sementara, kita lihat situasinya. Masih perlu dipertimbangkan, jadi keputusannya ditunda."

"Terima kasih! Mulai hari ini, mari kita berdua melakukan yang terbaik---eh?"

Di saat yang sama ketika dia menjerit kegirangan, selimut di sofa bergoyang. 

Kami berdua menatap ke arah itu, lalu seekor kucing tiba-tiba muncul dari balik selimut. 

Kucing itu merangkak naik ke pangkuan Shiho-san, mengeluarkan suara miaw yang keras dengan ekspresi seolah tidak puas.

"Maaf, maaf. Maksudku bukan hanya berdua, tapi kita bertiga." 

Meminta maaf; Shiho-san mengangkat kucing itu.

Kucing ini merupakan kucing yang kami pelihara di rumah ini, seekor kucing betina bernama 'Chikuwa'. 

Dulu, saat aku dan kakak baru mulai tinggal bersama, kami menemukannya terbuang di parkiran tempat kerja kakakku. Kami mencari orang tua asuh untuknya selama beberapa waktu, tapi tidak menemukan siapa-siapa, jadi kami memutuskan untuk memeliharanya, dan itu sudah enam tahun yang lalu.

Waktu itu dia masih anak kucing yang baru lahir, tapi sekarang, dia sudah menjadi kucing dewasa, baik dari segi usia maupun fisik.

Nama 'Chikuwa' itu sendiri berasal dari warna bulunya yang putih dan coklat, membuatnya terlihat seperti chikuwa (makanan Jepang), itulah sebabnya kakak memberikan nama itu.


TL/N:

Cikuwa adalah makanan Jepang berupa olahan daging ikan berbentuk seperti tabung. Cikuwa dibuat dari bahan surimi yaitu olahan daging ikan yang dicampur garam, gula, tepung, monosodium glutamat, dan putih telur.


Mengesampingkan selera nama kakakku yang sangat buruk, aku merasa kasihan pada Chikuwa; meski ternyata dia sepertinya suka dan akan mendekat dengan senang hati ketika dipanggil begitu.

Agak frustasi rasanya karena sekarang dia lebih terikat pada Shiho-san dibandingkan denganku atau bahkan kakakku

Apakah memang ada sesuatu yang membuat sesama wanita dewasa merasa terhubung satu sama lain? Entah itu kucing betina dewasa atau wanita manusia dewasa.

Namun begitu, alasan mengapa aku masih bisa mempertahankan kehidupan layaknya manusia di tengah kekacauan ini adalah karena kehadiran Chikuwa. Aku membuatnya untuk tinggal di ruangan lain karena kondisi ruang tamu sangat mengenaskan, tapi sepertinya dia menyadari kehadiran Shiho-san dan keluar.

"Chikuwa juga, mari kita lakukan yang terbaik mulai sekarang♪"


Seolah menjawab, Chikuwa mengeluarkan suara dengkuran keras seperti suara mesin motor yang sedang dalam kondisi idle (hidup namun tidak bergerak).

Sambil menatap mereka yang saling peluk dan mencium pipi, aku menghela napas. Mungkin karena sibuk sejak pagi, atau mungkin karena aku akhirnya bisa mengatur situasinya, perutku mulai keroncongan.

Shiho-san, yang mendengarnya, menatap perutku dengan seksama.

Rasa-rasanya tidak mungkin aku bisa membuat alasan dengan mengatakan kalau itu suara dengkuran Chikuwa.

"…Kamu lapar?"

Aku diliputi rasa lapar yang belum pernah kurasakan sejak kakakku meninggal.

Kemudian Shiho-san, sambil masih memeluk Chikuwa, berdiri.

"Aku akan membuatkanmu makanan sekarang, jadi tunggu sebentar ya!"

Saat dia membuka kulkas setelah menuju ke dapur, dia membeku.

"Ugh...!?"

Itu bisa dimengerti, karena isi kulkasnya benar-benar kosong.

"Maaf... Aku belum sempat pergi belanja untuk beberapa waktu."

"Tidak apa-apa. Aku akan pergi belanja dengan mobil sekarang!"

Setelah meninggalkan ruang tamu dengan tas di tangan sebagai pengganti Chikuwa, Shiho-san berkata di pintu masuk, "Aku akan membelikan makanan chikuwa juga," lalu pergi dari rumah dengan penuh semangat.


Selanjutnya, ketika Shiho-san pulang, dia membuat makan siang sambil bersenandung. 

Aku sudah menawarkan diri untuk membantu, tapi dia malah berkata, "Serahkan saja padaku," dan tidak membiarkanku masuk dapur, jadi selama menunggu masakan selesai, aku lanjut bersih-bersih sambil menaruh Chikuwa di bahu. 

Satu jam kemudian, semua hidangan mewah sudah tersaji di atas meja.

Di bawah meja, makanan yang bisa membuat kucing tergila-gila dan lebih mahal dari biasanya juga disiapkan untuk Chikuwa. 

Saat menyatukan tangan dan membawa makanan ke mulut, aku bahkan hampir menangis karena terlalu puas.

Aku bertanya-tanya, kapan terakhir kali aku makan masakan buatan orang lain... Tanpa sengaja, kenangan sebelum kakak masuk rumah sakit saat kami berempat, makan makanan yang dibuat Shiho-san untuk makan malam muncul kembali.

Hari-hari seperti itu tidak akan kembali, tapi aku bersyukur masih ada seseorang yang bersedia makan bersamaku. 

Mungkin itu saja sudah cukup membuatku bahagia.

Dengan begitu, keputusan untuk hidup bersama di bawah satu atap dengan tunangan kakakku telah ditetapkan. 

Tanpa aku sadari, rasa sakit yang terus menggerogoti hatiku seperti racun, sudah terasa sedikit mereda.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter


Join server Discord disini: https://discord.com/invite/HMwErmhjMV

Post a Comment

Post a Comment

close