NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 1 Chapter 1

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


Chapter 1: Kembali Bertemu Sang Ratu


Bangunan sekolah yang diselimuti kebisingan. Parkiran sepedah yang sunyi.

Terkadang, sampai sekarangpun aku masih mengingatnya.

Ialah, sebuah adegan pengakuan cinta yang tak sengaja kulihat.

Bagai halaman pertama masa muda, seorang pemuda yang gugup juga seorang gadis yang berhadapan dengannya.

“Hayashi-san, aku menyukai dirimu”

Dengan suara lantangnya, sang pemuda menyampaikan perasaannya pada sang gadis.

Dilihat dari jauh, muka sang pemuda itu tampak sudah yakin akan jawabannya. Secara penampilan, dengan postur tinggi juga parasnya, tak heran jikalau ia adalah seorang idol dari suatu agensi.

Jika ditembak oleh pemuda seperti itu, umumnya semua gadis pasti akan bahagia sampai berlinang air mata.

Tetapi, entah mengapa sang gadis yang ditembak tampak membuat ekspresi yang masam.

Ditambah, helaan nafas, juga tarikan nafasnya yang sedalam palung mariana, sang gadis pun mengangkat poninya, lalu bilang begini.

“Tidak, memang siapa dirimu”

Semasa SMA, ada seorang ratu di kelasku. Tentu, bukan seorang ratu sungguhan yang mengatur sebuah kerajaan. Ia sedikit lebih cantik dibanding orang lain, suaranya lantang, juga dengan keberaniannya, tanpa ketulusan serta pertimbangan pada orang yang menyatakan cinta kepadanya, sikapnya selalu blak-blakan pada segala sesuatu.

Dirinya yang seperti itu, perlahan membuatnya mendapatkan panggilan ratu.

Seorang ratu yang arogan, juga-.

Dan juga, yah, kesampingkan dulu cerita lama seperti itu, sudah 3 bulan berlalu sejak aku pergi ke Tokyo untuk melanjutkan kuliah.

Hari inipun aku masih berjibaku dengan pekerjaan sampinganku di minimarket. Jika dibanding dengan shift siang, gaji shift malam memang lebih besar. Di sisi lain, aku juga tak perlu khawatir dengan jam mata kuliahku. 

Satu-satunya masalah ialah, rasa kantuk luar biasa yang menyerang selama perkuliahan.

Walau dekat dengan kota, minimarket yang dekat dengan perumahan ini benar-benar sepi pengunjung saat shift malam. Selagi itu, datanglah seorang pengunjung yang tak biasanya berkunjung ke minimarket ini. 

Yang memasuki minimarket adalah seorang gadis. Gadis yang masih muda. Tetapi, sosoknya yang memakai sweatshirt abu-abu, seolah tak ingin mencolok.

Yah, pengunjung perempuan yang mampir di jam segini sebagian memang seperti ini. Saat siang, sebelum aku meninggalkan minimarket, jika kuperhatikan, biasanya perempuan yang berkunjung sudah memakai make-up juga rok mini yang melambai-lambai, banyak juga yang memakai kaos yang terbuka di bagian depannya. Tetapi, entah karena pengunjung yang datang jam segini nantinya hanya akan tinggal tidur atau bagaimana, menjadikannya pemandangan yang tidak menyegarkan mata.

Cepatlah ambil barang yang mau kau beli dan pergi.

 Selagi membatin di dalam hati, aku memperhatikan gerak-gerik gadis itu dari kamera pengawas di ruang istirahat. Berlawanan dengan permohonanku, gadis itu malah melangkahkan kakinya menuju sudut tempat majalah, lalu mulai membaca sambil berdiri.

Sepertinya, ini akan memakan waktu.

Begitulah pikirku tadi, tetapi entah karena isi majalahnya yang tidak terlalu menarik atau bagaimana, ia langsung beralih mencari sesuatu di dalam minimarket.

Kebutuhan sehari-hari. Cemilan. Kemudian ia memasukkan bento ke dalam keranjang belanjaan, lalu berjalan menuju ke kasir.

“Uwwaghh~”

Terdengar suara seperti orang tua saaat aku bangkit dari kursi. Memang bagus sih kalau aku dibayar perjam, tapi aku harus kuliah saat siang. Bekerja paruh waktu di malam hari sendiri sebenarnya sudah cukup menguras tenaga. Walau aku sendiri yang menambah jadwalnya karena kukira akan kuat, sembari memikirkan bahwa mungkin minggu depan aku akan mengurangi shiftku, aku menuju ke tempat kasir.

Gadis itu ada di kasir sembari melihat ke keranjang yang ada di tempat kasir dengan tatapan bimbang.

Walau dari kamera pengawas memang tidak kelihatan, tapi saat dilihat dari dekat, bisa dibilang, gadis yang ada di depan mataku ini ternyata cukup cantik.

Rambut hitamnya yang berkilau. Bulu matanya yang lentik. Hidungnya yang mancung. Juga mulut mungilnya.

Lekuk tubuhnya memang tak terlihat karena sweatshirtnya, juga jarinya yang menggulung-gulung ujung rambutnya, serta ekspresi lesunya, entah mengapa malah membuatnya jadi terlihat seperti seorang model.

Malahan, entah mengapa rasanya aku pernah melihat orang ini, atau mungkin tidak. Hal yang aku ketahui saat bekerja di minimarket, yang malah mungkin tidak hanya berlaku di minimarket tapi juga di toko-toko lain ialah, pasti ada yang namanya pelanggan tetap. Karena itu, selama aku bekerja di minimarket ini, mungkin sudah beberapa kali aku melayaninya. Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan gadis yang ada di depan mataku ini, dan malah jadi fokus dengan pekerjaanku.

*PIP PIP, selagi aku memindai barcode barang belanjaanya.

“Eh, Yamamoto?”

Terdengar suara gadis muda yang sedikit serak seperti husky. Mungkin pemikiranku memang sedikit kolot, tapi aku menganggap kalau perempuan adalah mahkluk hidup yang menjual karakter, pesona, juga kelembutannya. Bagiku, suara serak seperti ini yang menjadi dasar anggapanku… tapi yang paling membuatku penasaran saat ini adalah, bahwa aku ingat kalau pernah mendengar suaranya. 

Lagipula, bagaimana dia bisa tahu namaku?

Aku memalingkan pandanganku dari belanjaan serta mengangkat wajahku.

Kemudian, dengan seksama memperhatikan gadis yang ada di depan mataku.

Gadis yang ada di depan mataku ini, tak perlu diragukan lagi memang cantik. …Tetapi juga sedikit lesu. Akupun ingat pernah melihat wajahnya entah di mana.

Suara, wajah, juga sikap beraninya.

…Walau sempat tak mengenalinya karena sosoknya yang memakai sweatshirt, tapi aku tahu kalau aku mengenal orang ini.

Dahulu kami pernah saling bertemu.

Yaitu saat sebelum aku pergi ke Tokyo, semasa SMA.

Aku dan dia, dahulunya adalah teman seangkatan yang sama-sama menuntut ilmu di kelas yang sama.

“Hayashi, ya.”

“Iya, lama nggak ketemu.”

Hayashi Megumi.

Dia anak perempuan yang sekelas denganku semasa SMA di kampung halaman dahulu.

Raut lesu, suara angkuhnya. Dan sekarang, badan dan style bagusnya yang disembunyikan oleh sweatshirt.

Sang ratu yang kebetulan baru saja kuingat sosoknya… tak lain dan tak bukan, ialah, dirinya semasa SMA dahulu.

“Kau, ternyata tinggal di sekitar sini, ya.”

Aku dan dia, bukan berarti kami akrab semasa SMA dahulu. Bisa dihitung dengan jari jumlah kami berbicara satu sama lain. Aku sendiri pun tidak berpikir kalau kita akan memulai pembicaraan yang begitu berarti, mungkin dia juga merasakan hal yang sama. Malahan, aku merasa kalau dia membenci diriku.

Tetapi, di bawah situasi seperti ini, tak kusangka dia cukup bersahabat dan mau mengajakku berbicara.

“Iya, aku tinggal di apartemen sekitar sini. Kau juga?”

“Yah… Begitulah.”

Rumornya, dia juga pergi ke Tokyo untuk melanjutkan kuliah.

Tapi tak kusangka, ternyata dia malah tinggal di sekitar sini.

Males ah, begitulah isi hatiku.

“Kau kuliah di universitas apa?

“K-University.”

“Heh, boleh juga. Kau pintar juga, ya.”

“Aku Cuma belajar mati-matian. Kalau kau?”

“Eh?”

“Eh? Lah, aku kan tanya nama universitasmu.”

Setelah selesai memindai barang belanjaanya, aku pun bertanya-tanya dengan ekspresi herannya.

Entah mengapa Hayashi tertunduk dengan wajah kesalnya. Padahal, tanpa perlu sampai merasa kesal seperti itu, kan. Tiba-tiba bertanya tentang universitasnya, bukan berarti aku mau menstalkingnya. Aku kan hanya bertanya pertanyaan yang sama dengannya, aku hanya mengikuti alurnya, lho. Kalau mau, langsung lupakanlah obrolan receh ini setelah kau keluar dari minimarket.

“M-University.”

“Hmm. Plastik?”

“Iya.”

Aku menambahkan 3 Yen untuk kantong plastiknya ke tagihannya. Selagi dia memasukkan uang ke dalam mesinnya, aku memasukkan barang belanjaan ke kantongnya.

“Belakangan ini, apa kamu bertemu dengan Kasahara?”

Aku pun melempar tanya.

Kasahara… saat SMA dulu, dia anak perempuan yang paling dekat dengannya.

“Tidak, kok.”

“Hmm. Padahal kalian cukup akrab.”

Yah, aku juga, tanpa sadar sudah 4 bulan berlalu semenjak kelulusan, sudah tak terhitung temanku yang menjadi asing.

Saat sudah masuk kuliah, yang pertama, adalah masa mencari teman baru, dia juga pasti sibuk dengan keadaanya sendiri.

“Apa kau menikmati perkuliahanmu?”

“…Begitulah. Kalau kau?”

“Seperti yang kau lihat, aku bekerja paruh waktu di jam segini. Semuanya berjalan dengan baik.”

“Yang mana, dong. Jangan menjawab dengan perkataan yang sulit dipahami.”

Dengan wajah kesal, begitulah yang dikatakan Hayashi yang cepat naik pitam. Kalau diingat-ingat saat SMA dulu, dia juga selalu begini setiap kali aku bercanda. Mungkin, dia tidak suka cara bicara yang bertele-tele.

Tentu, aku sama sekali tak punya niatan untuk bertele-tele. Sikapku memang sering membuat orang lain salah paham… aku berbicara seperti ini hanya agar mudah mendekati orang lain.

Malah, setelah menghampiriku dengan cukup bersahabat tadi, lalu melihat reaksinya ketika aku tiba-tiba mengubah topik pembicaraannya, seketika diriku pun jadi tidak bisa berkata-kata.

Apakah ini tanda… kalau kehidupan kuliahku tidak akan berjalan mulus, ya.

Jujur aku terkejut.

Mungkin itu semua karena wajahnya yang cantik.

…Mungkin itu juga salah satu faktornya, tapi pasti bukan hanya itu alasannya, begitulah pikirku. Mungkin saat zaman SMA dulu semua memanggilnya ratu dan takut padanya, tetapi sebenarnya diriku juga tidak terlalu memedulikan hal itu. Juga bukan berarti aku suka padanya. Kalau benci… yah, tidak sebegitunya juga, sih.

Pokoknya, aku tidak sampai menganggap kalau Hayashi adalah sosok keberadaan yang begitu istimewa. Hanya saja, aku memang menganggapnya sebagai perempuan yang kuat dan berani, begitulah yang sering kupikirkan.

Walau dirinya sering disamakan dengan ratu, bukan berarti dia orang yang semata-mata bersikap arogan.

Mulutnya hanya sekedar pedas, tak suka dengan hal-hal yang menyimpang, juga cepat naik pitam. Begitulah kesannya.

…Kurang lebih, bukannya ratu yang arogan memang seperti itu, ya?

“Belanjaanmu sudah kumasukkan semua.”

“Iya.”

Aku menyerahkan plastik yang sudah kuisi dengan belanjaannya, lalu menyerahkannya pada Hayashi.

Di saat itu, tak sengaja aku melihatnya.

Yang kulihat, ialah pergelangan tangannya Hayashi. Kulit mulus yang disembunyikan oleh sweatshirt lengan panjang miliknya.

Bukannya ingin menyebabkan kesalah pahaman, tapi aku bukanlah lelaki yang langsung terpancing nafsunya ketika melihat kulit mulus perempuan. Bahkan, dengan orang yang tidak terlalu dekat denganku sekalipun, aku merasa tidak suka dengan perempuan yang suka memamerkan tubuhnya sembarangan, juga suka asal menyentuh siapapun.

Maka dari itu, yang kupandang saat ini adalah pergelangan tangannya. Bukan dada maupun kakinya, melainkan hanya pergelangan tangannya saja.

Dan lagi, aku hanya melihatnya sesaat saat ia mengulurkan tangannya.

Meskipun begitu, secara tak sadar aku terkejut.

Pergelangan tangan Hayashi yang terlihat dari celah sweatshirtnya.

Di sana terdapat memar biru yang terlihat cukup menyakitkan.

Terlebih tidak hanya satu. Tak terhitung jumlahnya.

Aku melihatnya. Bisa dibilang, terdapat raut gemetar yang menyelimuti wajahnya.

“…Pergelanganmu, apa kau terluka?”

Yang kutanyai saat ini adalah… semasa SMA dulu, orang yang paling benci dengan hal-hal yang menyimpang melebihi siapapun, gadis yang punya rasa keadilan yang tinggi dan mampu menghadapi siapapun itu lawannya, tapi di depan diriku, dengan wajah ketakutannya, ia malah memalingkan pandangannya.

…Seperti namanya, ketakutan di wajah Hayashi menjadi semakin kaku.

Luka seperti itu, bukanlah masalah bila diketahui oleh orang lain. Kalau kau bilang sedang dalam tahap penyembuhan, pasti akan banyak yang mengkhawatirkanmu, malah jika dilihat secara positif, luka itu harusnya punya daya tariknya tersendiri, begitulah pikirku.

Tetapi, Hayashi malah menyembunyikannya. Bagaikan akan berbahaya jika luka itu sampai ketahuan, karenya ia menyembunyikannya. Sekarang pun ia menarik lengan sweatshirtnya dengan tangannya yang satu lagi, ia terlihat mati-matian menyembunyikan memarnya dariku.

“Aku dipukul.”

“Oleh?”

“…Pacarku.”

Walau terlembat, aku menyadari kejanggalan ini. Saat ini masih di tengah-tengah musim panas. Mau semalam apa pun ini, tetap saja masih terlalu dini untuk memakai sweatshirt panjang.

Tetapi ia malah sudah memakainya. Terlebih, ia bilang memar di pergelangannya karena pukulan pacarnya.

…Firasat tak enak memenuhi kepalaku. Sebagai orang yang menuntut ilmu di kelas yang sama dengannya, juga orang yang lulus di tahun yang sama dengannya, sungguh firasat yang tak mengenakkan.

Jangan-jangan, kondisi yang ada di balik sweatshirtnya jauh lebih parah. menyedihkan, apakah di sekujur tubuhnya penuh dengan memar biru.

“…Sekarang, dimana pacarmu?”

“Ada di rumah.”

“Di rumah…?”

“Kami tinggal bersama.”

“Bukannya itu terlalu cepat.”

 “…Tchk.”

Dia tidak ingin orang lain tahu. Hayashi tampaknya terganggu dengan perkataanku barusan sampai-sampai mendecakkan lidahnya. 

Setelah kelulusan, baru beberapa bulan berlalu semenjak dirinya pergi ke Tokyo, dia sudah mencapai hubungan yang seperti itu dengan pasangannya. Memang dibutuhkan keberanian untuk melakukannya, tapi terlepas dari itu, sungguh yang menang sebenarnya adalah ketidaksabarannya.

“Kau, hari ini menginaplah di tempatku.”

“Hah?”

“Jangan pelototi aku. Seram tahu.”

Sekilas Hayashi yang berlagak menghadapiku seperti saat di SMA dulu, tak ubahnya tampak menakutkan, saking garangnya sampai-sampai wajah cantiknya pun tampak jadi sia-sia.

“Iya. Aku tak akan melakukan apa pun. Kalau kau memang tidak percaya, hari ini aku akan menginap di kafe internet. Aku hanya akan memberimu kuncinya.”

Dengan intimidasinya, Hayashi masih terus memandangiku.

“…Apa begitu cukup? Pokoknya, hari ini jangan kembali ke rumah. Malahan, jangan pernah ke sana lagi. Kembalilah ke rumah orang tuamu dan bicarakan hal ini.”

“…Tidak bisa.”

“Kenapa?”

“…Orang tuaku mengusirku.”

“Kenapa!?”

“…Mereka murka saat aku dan pacarku bilang ingin tinggal bersama.”

Sungguh mengejutkan, hanya itulah yang bisa kukatakan dengan situasi ini. Sosoknya yang bertahtakan ratu pada saat itu, sudah tak terlihat lagi sekarang. Dirinya yang sekarang, bagaikan anak kucing dalam kardus di hari yang hujan, yang tak punya tempat kembalinya lagi.

“Orang tuaku pun bilang kalau aku melakukannya, maka ia tidak akan membiayai kuliahku. …Karenanya, aku berhenti kuliah.”

“…Pokoknya, sekarang jangan kembali kerumahmu lagi.”

Setelah terdiam, aku bilang seperti itu padanya.

Setelah mendengar semuanya, aku masih terkejut dengan apa yang dikatakan Hayashi, tapi sebenarnya aku juga takut kalau kejadiannya masih lebih dari itu.

“Aku akan ambilkan kuncinya. Nanti akan kuberi tahu alamatnya.”

Aku segera kembali ke tempat kasir setelah pergi mengambil kunci ke ruang ganti. Kalau aku membiarkannya terlalu lama menunggu, dia pasti akan segera kabur.

“Iya.”

Aku menyerahkan kuncinya pada Hayashi.

Tapi, Hayashi tampaknya enggan menerima kunci dariku. Selagi menggulung-gulung rambutnya, dia termenung sambil menatap ke bawah.

“…Aku tidak butuh kuncinya.”

“Hah?”

“…Aku akan menunggu.”

“Hmm?”

“Aku akan menunggu sampai kamu selesai kerja.”

Setelah kuperhatikan, tubuh Hayashi tampak gemetar. Di saat seperti ini, aku baru mengerti apa yang dirasakannya. Sejak tadi dia sudah merasa ketakutan.

Hayashi yang semasa SMA dulu dikenal berani sekalipun, dan dengan dirinya yang merasa ketakutan saat ini, aku paham dengan perasaannya yang ingin bergantung dengan diriku yang bahkan hanya dijumpainya lagi dengan tak sengaja.

“…Karena tinggal sejam lagi, tunggulah sambil membaca majalah.”

Karena di luar mataharinya sudah mulai terbit, kondisinyapun sudah mulai terang.”

Syukurlah aku hanya membuatnya menunggu selama satu jam. Aku baru menyadarinya. Tidakkah pacarnya yang tinggal bersamanya khawatir kalau dirinya keluar jalan-jalan sendirian di jam segini.

Bukannya diri kami semasa SMA dulu akrab atau bagaimana. Malahan, aku merasa kalau dia membenci diriku.

Hubungan kami sekedar teman yang pasti akan hilang kontak setelah kelulusan.

Setelah bertemu lagi dengan dirinya yang seperti ini, dan kemudian mengetahui kondisinya… kira-kira apa ya, amarah yang meluap-luap di dalam diriku ini.

Selagi menahan amarah, akupun menyelesaikan pekerjaanku. Kemudian, tibalah akhir dari jam shiftku.

“Maaf membuatmu menunggu.”

Diriku yang sudah menyelesaikan pekerjaannya di minimarket pun memanggil Hayashi yang sedang menunggu sambil membaca majalah di pojok toko. Setelah Hayashi mengembalikan majalah ke raknya, aku pun langsung mengajaknya pulang menuju rumahku.

===

“Jadi ini rumahmu, ya, Yamamoto.”

“Lumayan bersih, kan.”

“Bukannya ini hanya minim parabotan.”

Tepat seperti apa katamu. Aku bukanlah orang yang materialistik. Malah, kamar yang terlalu banyak barangnya akan membuatnya jadi sulit untuk dibersihkan, jadi begini saja sudah cukup. Terlebih, barang-barang yang seperti itu tak dibutuhkan untukku yang baru saja menjadi mahasiswa. Alhasil, beginilah keadaan kamar ini.

“Pokoknya silahkan duduk dulu. Aku akan mengambilkan teh.”

“…Iya.”

Aku mengeluarkan teh dari kulkas dan menuangkannya ke dalam gelas, lalu memberikan tehnya kepadanya yang sedang duduk di bawah.

Selagi Hayashi meminum tehnya, mengalirlah suasana canggung ke dalam kamar.

Baru sekarang aku sadar, kalau sebelumnya aku tidak pernah membawa anak perempuan ke rumahku, dan ini adalah kali pertamanya. Lagipula, selama SMP bahkan aku hampir tidak punya teman perempuan, juga jarang sekali aku bermain dengan temanku.

…Entah mengapa hatiku malah jadi sakit. Bertahanlah wahai hatiku.

Alasan diriku hari ini membawa Hayashi ke sini. Ialah, bukan karena ingin menjadikannya partner serigala kesepian sepertiku. Melainkan, untuk melindungi Hayashi dari pacarnya. 

…Lagipula, kalau mau menjadikannya serigala juga, rasanya tak akan bisa walau aku punya banyak nyawa sekalipun.

“Fuuh.”

Hayashi yang menghabiskan tehnya, entah karena sudah lega atau bagaimana, dia pun mengambil nafas dalam-dalam. Aku bisa merasakan sedikit kegelisahannya.

“Siapa sangka, akhirnya tiba hari dimana kau membuatku berhutang padamu, ya.”

“Aku bahkan tidak berpikir seperti itu. Ini hanya hal yang sudah sepantasnya kulakukan.”

“…Yah, timingmu pas, sih.”

Hayashi pasti punya banyak pikiran sampai-sampai menghela nafas seperti itu, hanya sepatah kata itu yang dia ucapkan.

Timing?

Aku ingin memastikan keadaan sebenarnya yang dihadapi olehnya dengan kepala dingin. Sweatshirt di tengah-tengah musim panas. Memar di pergelangan tangan. Dan yang memberikan memar itu padanya ialah pacarnya sendiri.

Bisa dibilang yang dilakukan pacarnya kepadanya adalah… Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Aku penasaran, kira-kira orang seperti apa yang sudah melakukan KDRT ini.

“Aku ingin kami sama-sama punya waktu untuk menenangkan diri.”

Sebenarnya, siapa dengan siapa waktu menenangkan diri yang dia bilang itu. Tidak, itu tidak perlu dipikirkan. 

“Kurasa, orang itu juga suasana hatinya hanya sedang buruk saja.”

Orang itu. Maksudnya pacarnya?

Kalau yang ia maksud pacarnya, maka…

“Orang itu, apa maksudmu pacarmu?”

“Benar. Dia tidak selalu memukulku, lho. Hanya, terkadang dia suka menggeretu kalau mengalami hari yang buruk di tempat kerjanya. Tapi akunya juga, sih, yang nggak bisa mendukungnya dengan benar.”

“Aku mendengar perkataan yang tak akan keluar dari mulutmu semasa SMA dulu.”

“Berisik. Diriku juga sudah banyak berubah.”

Hayashi menatapku dengan pandangan tajamnya.

…Entah perubahan itu baik atau malah buruk. Itu adalah sesuatu yang tak bisa ditebak oleh diriku.

Sekali lagi aku memikirkan tingkah dan perkataan Hayashi di dalam kepalaku dan berusaha untuk memahaminya. Setelah memikirkan intisari dari perkataanya, kelihatannya alasan dia mau menerima ajakanku ialah untuk membuat dirinya dan pacarnya sama-sama memiliki waktu untuk berpikir jernih. Walau luka yang dialaminya memang karena pacarnya, namun tampaknya itu hanya karena emosi sesaatnya semata.

Kalau memang benar begitu, maka tindakanku untuk ikut campur sampai sejauh ini menjadi sia-sia. Kalau memang seperti itu, harusnya aku tak menghentikannya untuk pulang ke rumahnya tadi.

Tapi itu hanya jika apa yang dikatakannya memang kebenarannya.

“Hari ini menginap saja, lah.”

“Sungguh? Nggak apa? Maaf, ya.”

“Yah, kita saling bantu saja kalau ada masalah.”

“Kau juga, mengatakan perkataan yang tak akan kau katakan semasa SMA dulu.”

Hayashi mengatakannya padaku dengan wajah senyumnya, hebat juga perubahannya dengan yang tadi.

Aku mengunci mulutku. Aku masih belum berubah sedikitpun semenjak itu. Tapi, kalau memang Hayashi melihatku sebagai sosok yang sudah berubah…

“Apa boleh kalau aku mandi?”

“Lakukan sesukamu.”

“Apa kau punya pakaian ganti?”

“Cuma ada pakaian cowok, lho?”

“Tak apa.”

“…Pakailah kasurku kalau kau mau tidur. Aku akan tidur di bawah.”

“…Maaf.”

Keadaan sudah benar-benar terang di luar. Hari ini kampus libur karena hari minggu. Maka dari itu, setiap hari minggu selepas shift malam aku selalu tidur di kamar sampai siang hari. Untung saja dia mau mengikuti saranku untuk menginap, tampaknya sebelum bertemu denganku juga Hayashi masih belum tidur.

Dinding antara kamar dan kamar mandi memang tipis. Suara showernya tersamarkan dengan suara TV yang ada di kamar lalu mencapai telingaku.

…Ini aneh. Padahal aku ada di kamarku sendiri, tapi rasanya tidak tenang. Entah mengapa rasanya aku gugup.

Ini terlihat bagai aku memperhatikan Hayashi.

…Ah, aku memang memperhatikannya.

“Segarnya.”

“Begitu, ya.”

Rambut basahnya. Wajahnya yang memerah. Entah kenapa aku langsung membuat raut masam saat melihat dadanya yang berisi yang langsung terlihat jelas saat memakai kaos. Mungkin, ini karena aku yang tidak mau dia mengetahui isi pikiranku.

Hanya saja, untuk sesaat aku merasa menyesal telah memberinya kaos dan celana pendek. Sudah kuduga, aku bisa melihat memar di sekujur tubuh Hayashi selain di pergelangan tangannya.

Sepertinya Hayashi sadar dengan tatapan sekilasku.

“…Ah-, cukup parah, bukan?

Hayashi mengatakannya dengan pasrah.

“Semua, karena pacarmu?”

“Begitulah.”



“Lumayan parah juga, ya.”

“Kan~… Rasanya agak berlebihan, kan. Karena dia orang yang bodoh, sih.”

“Hei, Hayashi.”

Hayashi melihatku dengan tatapan diginnya.

“Kelihatannya masih ada luka memar yang belum pulih sepenuhnya?”

“…Terus?”

Terlihat jelas, ia mengerutkan wajahnya. Bukannya karena rasa takut seperti yang tadi. Yang sekarang lebih terlihat seperti ungkapan rasa tak nyamannya.

Jangan sentuh topik ini lebih jauh lagi. Tampak dari suara Hayashi, begitulah yang ia coba sampaikan padaku.

…Andaikan aku yang berada di posisi Hayashi, mungkin aku sudah tak akan mencintai pacarnya lagi. Sudah memukulnya sampai seperti ini, melukainya, ini sudah tak bisa ditoleransi lagi. Begitulah pikirku.

Tetapi, sejauh yang kudengar dari omongannya, tampaknya sekarang pun Hayashi tidak memendam perasaan seperti itu pada pacarnya. Entah itu karena keraguan atau ketergantungannya. Lebih tepatnya, aku tidak bisa membedakan antara keraguan dan ketergantungannya.

Terlepas dari dia mau membeberkan hubungan antara dia dan pacarnya atau tidak, bagiku itu bukan masalah. Walaupun setelah ini dia juga mau kembali ke tempat pacarnya sekalipun, itu juga bukan masalah bagiku.

Aku juga tak merasa kalau pemikirannya itu salah. Kalau begitu, mau aku memberikan segala macam saran pun, kemungkinan dia mau merubah sikapnya pun rendah.

“Menurutku, seharusnya kau tidak memacari orang yang suka memukul seperti itu, lho.”

Tapi, soal aku yang mengatakan pendapatku, itu beda lagi ceritanya.

“Memangnya kau tahu apa?”

Hayashi malah semakin kesal.

“Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu. Yang barusan itu hanya pendapatku saja.”

“Aku tak akan menganggap pendapatmu itu.”

“Maka dari itu, aku juga tak akan mengatakan pendapatku padamu.”

“…Terus, kenapa tadi kau bilang hal seperti itu.”

“Aku mengatakannya untuk diriku sendiri.”

Akupun hanya bisa mengangkat bahuku selagi Hayashi memperlihatkan ekspresi herannya.

“Mulai sekarang, hubungi aku kalau terjadi sesuatu padamu, atau kalau kau bermasalah dengan orang-orang di sekitarmu. Saat waktunya tiba, entah nanti aku bisa menghentikannya atau tidak, dengan begitu cara pandang orang-orang di sekitarmu akan berubah, kan?”

“Sampai memikirkan pandangan orang lain segala, bukannya kau tidak punya teman?”

“Justru karena aku tidak punya teman, semakin hari aku semakin sering menerima perkataan egois dari orang-orang di sekitarku. Manusia itu, asal ada alasan yang mendasarinya, bisa melakukan apapun demi melampiaskan stresnya pada orang lain.”

Seperti pembulian di internet yang terjadi di publik, tentunya menjadi bukti yang paling jelas. Terlepas dari orang luar yang terlibat, biasanya saat orang-orang melihat seseorang yang terkena skandal, maka orang itu tak akan terhidar dari serangan orang lain juga. Yah, walau orang yang terkena skandal di internet tentunya cukup bermasalah, tapi kehadiran pihak ketiga di tengah-tengah korban dan pelaku sendiri sebenarnya cukup aneh. Meskipun begitu, mereka ibarat orang yang telah diberi panggung, menyerang keburukan lawannya… sungguh golongan orang yang bodoh.

“Yah, kesampingkan dulu masalah itu sekarang. Yang ingin kukatakan adalah manusia itu pada dasarnya makhluk yang egois.”

“…Memangnya kenapa?”

“Stres akibat pekerjaannya. Kelihatannya alasan pacarmu memukulmu hanya sebatas itu, ya. Tindakan pacarmu itu, apakah itu demi dirimu?”

“…Itu-.”

“Kau hanya dimanfaatkan oleh pacarmu, lho?”

Hayashi hanya terdiam dan menundukkan pandangannya.

“…Meskipun begitu walau kau tetap ingin kembali ke tempat pacarmu itu, aku tidak akan bilang apa-apa lagi. Aku tetap ingin mendukunya walau dipukul… Sampai sebegitunya kau bisa hidup mengikuti keegoisan orang lain seperti itu, sungguh hal yang luar biasa, ya.”

“…Berisik.”

“Ujungnya, bahkan jika badanmu hancur sekalipun, menurutku sudah sepantasnya kamu mendapatkan pujian dari semua orang.”

“…”

“Tapi anehnya, bahkan kau yang sudah melakukan hal yang tak seorangpun bisa melakukannya sekalipun, tak bisa disembuhkan bahkan oleh pujian dari seorang pun di dunia ini. Pahlawan yang mati-matian mendedikasikan hidupnya untuk mengalahkan raja iblis saja mendapatkan pujian sepenuh hati dari rakyatnya, tapi bahkan jika dirimu hancur sekalipun… tak ada satupun bahkan pacarmu sekalipun yang akan memberikan penghargaan, kau tak akan mendapatkan apapun.”

Jadi yang ingin kukatakan adalah… jika dilihat secara objektif, segala tindak laku yang dilakukan Hayashi selama ini adalah bayarannya atas hutangnya kepada pacarnya, bisa dibilang ini benar-benar tidak setimpal.

Cara bicaraku yang jadi sangat menyindir ini sebenarnya karena sikap burukku yang tak sengaja kebablasan. Walau aku baru berbicara seperti ini sekarang, sebenarnya aku merasa kalau darah yang naik ke kepalaku ini malah akan berdampak sebaliknya kepada lawan bicaraku.

Tapi apa boleh buat, aku hanya bisa cara bicara yang seperti ini.

Dengan kata lain, aku sudah melakukan apa yang aku bisa. Dengan begini, andaikan Hayashi masih tidak mendengarkan ucapanku, maka sudah tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Seperti itu, lah.

“…Aku, nggak mau- “

Tetapi, Hayashi bukanlah orang bodoh yang tidak bisa mengendalikan emosinya. Kalau dilihat secara emosional, kukira dia akan langsung meninggalkan kamar ini, tetapi sejujurnya hasilnya diluar dugaanku. 

Fuh, setelah menghembuskan nafasnya panjang-panjang, Hayashi pun mengangkat poninya dan menjatuhkan dirinya menelungkup ke kasurku.

“…Aku jadi ngantuk.”

Hayashi membenamkan wajahnya ke bantal, lalu berkata dengan suara gumamnya.

“Tidurlah yang nyenyak, lalu pikirkanlah pelan-pelan. Kamu punya banyak waktu.”

“Sok bijak, ya. Kau pasti tidak populer, kan.”

“Memangnya kalau bijak tidak populer, ya?”

Apa jangan-jangan itu alasanku tidak populer, ya.

Satu lagi, mungkin karena aku cerdas. Tetapi, karena aku ini memang sudah cerdas dari dulu, maka masalah yang paling mendasarnya jadi tak bisa terselesaikan, jadi tidak akan datang hari untukku bisa populer seumur hidupku. Sungguh sangat disayangkan.

“Aku matikan, ya, lampunya.”

Walau lampunya kumatikan sekalipun, karena mataharinya sudah terbit tinggi, jadi kamarnya terang. Yah, hiburan sementara, lah.

Aku tidak mendapatkan jawaban dari Hayashi. Apa dia sudah tidur? Kira-kira apa, ya? Setelah menekan tombol lampunya, aku pun berbaring tidur di lantai. 

Tetapi, entah karena situasinya yang aneh karena di dalam kamar ada lawan jenis atau bagaimana. Aku benar-benar tidak bisa tidur.

“Hei.”

Ditambah, terdengar suara Hayashi dari kasur yang tadi kukira sudah tidur.

“Mau?”

Jantungku meloncat sesaat rasanya, tapi aku memutuskan untuk tetap diam. Entah apa yang ingin dia lakukan. Aku sengaja tak menanyakannya. Hari ini aku menampungnya tak lebih hanya karena suasana hatiku saja. Kalau sampai aku begituan dengannya hanya karena perasaan hatiku itu, aku jadi tidak bisa berbicara tentang keburukan pacarnya.

Lebih dari itu, tak ada perkataan lain yang keluar dari mulut Hayashi. Sepertinya dia menggodaku.

Begitulah pikirku, tapi tiba-tiba, aku merasakan sensasi hangat dari punggungku.

“GYAA’!”

Tiba-tiba aku di peluk dari belakang dan malah mengularkan suara keras.

Aku yang panik mencoba melepaskan pelukan Hayashi dariku, tapi dia seolah memberitahuku kalau tawarannya tadi memang sungguhan, lalu dengan kedua tangannya dia mendekap tubuhku dengan sekuat tenaga sampai aku tak bisa melepaskannya. Tapi kalau aku memaksa untuk terlepas darinya, ada kemungkinan kalau aku bisa melukainya, jadi aku tak bisa mengeluarkan tenagaku sepenuhnya.

Tidak, mungkin ada alasan lain mengapa aku tidak bisa mengeluarkan tenagaku sepenuhnya.

Begitu sadar, aku sudah menggigiti bibirku. Begitu lembut, tapi juga terasa sensasi kenyal dan hangatnya di punggungku, akupun tersadar kalau sensasinya memang tidak buruk sama sekali.

Di situlah aku sadar, bahwa hal yang terbaik yang bisa kulakukan sekarang hanyalah dengan menjaga rasionalitasku saja.

“Kau… mau apa?”

 Suaraku terdengar gemetar.

“Ahaha. Tuh, kan, kamu masih bangun.”

“Hanya demi memastikan apa aku masih bangun saja kau sampai melakukan ini?”

“Aku hanya memlukmu saja, lho.”

“Memangnya siapa yang bilang boleh memelukku?”

“Memangnya perlu izin hanya untuk memeluk?”

Memang tidak perlu izin dariku, sih, tapi bukannya kau perlu izin dari pacarmu itu? Memang dia sudah berbuat kejam padamu, tapi begitu-begitu dia pacarmu, kan.

Hanya saja, aku merasa kalau sekarang bukanlah saat yang tepat untuk membahas pacarnya, lalu aku pun berhenti menggiti bibir bawahku.

“…Jangan-jangan, kamu perjaka?”

“Bukan, kok?”

“Bohong.”

Aku tetap diam.

“…Malah pura-pura. Ini pertama kalinya aku menganggapmu imut, lho.”

“…Diam, lah.”

Aku kelabakan melepaskan Hayashi dengan segenap tenagaku. Tapi di saat itu, aku menyadari tubuhnya yang gemetar.

Sepertinya, dia marah karena tadi aku asal ceplos soal pacarnya, tapi aku yakin di dalam hatinya pasti ada rasa skeptis terhadap pacarnya.

“Awalnya, dia bukanlah orang yang seperti itu. Dia baik, perhatian, bahkan biasanya dia mau mendengarkan keegoisanku. Dia berubah sejak kami mulai tinggal bersama.”

“…”

Karena sudah tinggal bersama, sifat aslinya pasti akan terungkap.

Aku tetap diam karena terlepas dari apapun kalimat yang kukatakan sekarang, pasti akan menyakitinya.

“Ini sungguh kejam, lho. Bahkan selain karena pekerjaan, setiap kali moodnya sedang buruk, dia akan memukulku. Sepertinya dia memang orang yang sumbu pendek, ya. Lagian, masa akan marah karena hal seperti itu? Lagian, kok aku malah jadi kepikiran terus.”

Hayashi memusatkan tenaganya pada tangannya yang mendekapku.

“Hari ketika suasana hatinya buruk, sepulangnya kerja dia pasti akan bilang begini. ‘Padahal tak bisa mencari uang sendiri tapi hebat juga, ya, mukamu masih bisa tenang begitu’. Lalu, dia juga bilang ‘Memangnya apa yang bisa dilakukan orang yang hanya lulus SMA sepertimu kalau kamu kerja’ sambil marah. Sungguh, bukan main, deh.”

“…Kamu sudah berjuang, ya.”

“Eh?”

Saat ini, tanpa sadar aku mengeluarkan kalimat yang melenceng dari karakterku. Mukaku jadi memerah. Tak disangka, kalau kalimat seperti ini akan keluar dari mulutku.

…Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Padahal baru beberapa bulan berlalu semenjak kelulusan, tapi sudah diusir oleh orang tuanya, martabatnya juga diinjak-injak oleh pacarnya yang suka main tangan, saat melihatnya yang sudah mengalami hal-hal dramatis seperti itu.

“Barusan, kamu bilang apa?”

“…Tak akan kukatakan lagi.”

“Nggak apa, kan. Coba katakan sekali lagi.”

“Aku mau tidur.”

“Ah… fufu, ya sudahlah.”

Memangnya kamu siapa, menggodaku seperti itu. Sebenarnya aku ingin menyeletuk seperti itu, tapi sejak jawabannya mulai relevan seperti tadi, aku pun tetap diam dan memejamkan mataku.

“…Sudah lama tidak ada yang menyemangatiku seperti tadi, lho.”

Di dekat telingaku, Hayashi berbesik seperti itu.

…Sungguh, sudah berjuang, ya. Dirimu itu.

Setelah terbangun nanti, aku ingin membicarakan tentang dirinya untuk ke depannya. Yang penting, demi menghilangkan penat setelah bekerja paruh waktu, aku memutuskan untuk tidur terlebih dahulu.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close