Penerjemah: RiKan
Proffreader: RiKan
Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.
Chapter 2: Ratu Dengan Segudang Masalahnya
Siang hari, rasa sakit di sekujur tubuhku akibat tidur di lantai pun membangunkanku dari tidur. Aku pun langsung terkejut. Entah bagaimana ceritanya, di depan mataku sudah ada gadis dengan celana pendek dan kaosnya yang tersingkap.
Oh iya, aku pun teringat dengan kejadian sebelum tidur tadi. Dia adalah Hayashi Megumi. Teman sekelasku semasa SMA dulu, di sekitar daerah tempat kami merantau ke Tokyo, kami bertemu kembali di tengah malam ketika aku sedang bekerja. Bisa dibilang dia adalah korban dari KDRT.
Beberapa jam sejak kami bertemu kembali. Baru-baru ini aku sadar, kalau rambut warna linennya semasa SMA dulu sudah diwarnai dengan warna hitam. Bukan, bukannya di warnai… Tapi kembali diwarnai. Yah, itu bukanlah bagian pentingnya.
“Sudah berubah, ya.”
Sendirian, aku merasa bagai sudah menyaksikan kejamnya aliran waktu, sungguh memuakkan. Padahal gadis yang tidur di depan mataku ini sebelumnya masih seorang siswi SMA, tapi sekarang ia tinggal bersama pasangannya yang seperti itu, juga mendapatkan tindak KDRT yang parah. Ia sedang merasakan pengalaman yang tak pernah dirasakannya selama masa-masa tanpa tekanan seperti di SMA dahulu. Tentu, aku tak merasa iri sedikit pun. Malah, aku merasa kasihan padanya… tapi, kira-kira apa ya perasaan seperti ditinggal ini. Bukan berarti hubunganku dekat dengannya semasa SMA dahulu.
Tapi tetap saja…
Bulu mata lentiknya. Wajah polosnya saat tertidur. Pinggulnya yang tampak karena kaosnya yang tersingkap.
Betapa rentan sosoknya. Sosok yang tak bisa kubayangkan dari seorang ratu yang jelas-jelas mengarahkan padangan ketusnya kepadaku semasa SMA dahulu.
Diriku yang merasa sedikit lapar pun memutuskan untuk bangun lalu membuat makan siang. Siapa tahu, mungkin Hayashi yang terpancing dengan baunya akan membuka matanya. Setelah menutup kulkas, aku yang telah memutuskan akan membuat yakisoba pun memotong bahan-bahannya, lalu mulai menggoreng mi dan bahan-bahannya.
“Huaah…”
“Sudah bangun, ya. Apa badanmu tidak sakit?”
Rupanya dia benar-benar bangun karena terpancing dengan baunya. Aku mengatakannya selagi terus menyiapkan makanan.
Hayashi yang sudah bangkit dari posisi tidurnya pun mengepalkan tangan lalu mengucek matanya, Fuaaah, sambil menguap, dengan matanya yang baru setengah terbuka ia memandangi sekeliling ruangan.
“Ah—, iya.”
Hayashi menggaruk-garuk kepalanya.
Sebenarnya, apa yang—, oh, iya. Begitu, ya.
“Selamat pagi, Yamamoto. Badanku sakit semua, nih”
“Padahal sudah kusuruh tidur di kasur tadi.”
“Berisik, ah. Jadi cowok jangan bawel.”
Kan dirimu sendiri yang bilang kalau badanmu sakit. Tapi aku menghentikan niatku untuk mengatakannya. …Ah, tapi karena tadi aku yang sudah menanyainya, ditambah dia juga sudah menjawabnya, ya. Berarti, aku yang salah, ya.
“Yakisoba?”
Begitu menyadarinya, Hayashi yang sudah menegakkan punggungnya pun bertanya padaku.
“Iya.”
“Ternyata kau bisa masak, ya.”
“Sedikit, sih.”
Karena sudah beberapa bulan tinggal sendiri, jadi paling tidak aku sudah bisa masak untuk diriku sendiri. Yah, sedikit doang, sih.
“Sedikit lagi matang, tunggulah sebentar lagi.”
“Nggak apa, nih?”
“Iya.”
“…Hmm.”
Setelah memasak beberapa saat, aku pun membagi yakisobanya ke dua piring dan kembali lagi ke kamar.
“Selamat makan.”
Kami pun menempelkan kedua telapak tangan kami, lalu mulai menyantap yakisoba. Hmm. Lumayan enak. Rasanya seperti yang biasa dijual.
“Enaak.”
“Makasih.”
Selagi menjawabnya, aku pun mengeluarkan dan mulai melirik handphone. Sejak tinggal sendiri, sudah tidak ada orang yang akan protes kalau aku bermain handphone saat makan. Karenanya aku jadi kebiasaan melakukannya.
“Itu nggak sopan, lho.”
Tetapi, sekarang rumah ini memiliki tamu. Setelah meminta maaf, aku pun meletakkan handphone ku di meja.
“Terimakasih atas makanannya.”
“Terimakasih atas makanannya. Ini enak banget, lho.”
“Yah, aku hanya memasak mengikuti petunjuk yang ada di belakang kemasannya.”
“Duh, padahal sudah dipuji, jangan langsung bilang blak-blakan begitu, dong.”
“…Mohon maaf.”
Tak kehilangan kesannya seperti masa SMA dulu, itupun karena aku takut dimarahi olehnya, juga dengan terpaksa aku meminta maaf padanya. Di meja tersisa dua piring yang sudah kosong. Aku pun bangkit juga dengan niat untuk mencucinya.
“Biarkan saja. Aku yang akan mencucinya.”
“Kenapa? Dirimu kan tamu.”
“…Tamu sehari semalam, lho.”
“Sungguh hutang budi yang tak diperlukan.”
“Berisik.”
Semenjak Hayashi datang ke rumah ini kemarin, dia ingin berterimakasih karena sudah membawanya ke sini untuk menenangkan diri. Berarti mau sesulit apa pun itu, dengan sendirinya dia merasa berhutang budi padaku.
Menurutku, dengan segala kesulitan yang ia alami selama ini, sebenarnya aku ingin dia bisa bersantai selama berada di rumah ini, tapi akan merepotkan kalau dia akan balas budi dengan cara yang macam-macam seperti sebelum tidur tadi, setidaknya sampai perasaannya kembali membaik, aku akan membiarkannya mencuci piring.
Lalu, kali ini, tanpa takut dimarahi Hayashi, aku memainkan handphoneku. Aku punya sesuatu yang ingin kucari.
“Sudah selesai.”
“Terimakasih.”
Kemudian Hayashi menumpukan kedua tangannya pada sisi-sisi meja kemudian duduk di hadapanku. Setelah aku berhadapan dengannya … aku pun langsung teringat dengan kejadian sebelum tidur tadi, lalu seketika jadi tidak bisa menatap matanya. Ya ampun, mau setakut apa pun dirimu, tolong jangan jadikan orang sebagai guling. Lalu, tolong jangan goda aku lebih jauh lagi. Semua bisa beres tanpa masalah karena aku yang dirimu peluk, sungguh begitulah yang ingin kuceletukan. Kalau tidak ada orang pengecut sepertiku ini, mungkin sudah berantakan saat ini. Aku sungguh tak tahan ingin menceramahinya seperti itu.
Tentu saja, aku bukanlah orang yang punya nyali untuk berkata seperti itu.
“Apa pikiranmu, sudah baikan?”
Aku bertanya pada Hayashi.
“…Uhm, begitulah.”
“Kalau begitu, mari bicara. …Meski begitu, kau tahu, kan, kalau sifatku begini? Maka dari itu, pada akhirnya semuanya bergantung pada dirimu sendiri.”
“… Kemarin juga sudah kukatakan, kan, kau itu sok bijak, ya. Seakan-akan dirimu itu sedang menjalani kesempatan kedua dalam hidupmu.”
“Bukan.”
“Benar juga. mana ada orang yang mendapatkan kesempatan kedua di dunia ini.”
“Bukan begitu. Cara bicaramu itu, … bagaikan jika seseorang mendapatkan kesempatannya yang kedua, maka kehidupannya akan jadi mulus, atau akan menapaki kehidupan yang menyenangkan.”
“Hampir benar. … Bukankah begitu?”
“Bukan.”
Aku langsung menjawabnya.
“Bahkan jika aku sudah memiliki kesempatan kedua sekalipun, aku bisa jamin. Kalau tetap seperti itu, maka tak ada bedanya kehidupan yang baru dengan yang saat ini.”
“Kok bisa.”
“Bahkan jika ini kesempatan keduamu, apabila nanti dirimu bertemu dengan persimpangan yang sama, dan apabila kau tidak mengubah pola pikirmu, pada akhirnya jalan yang akan kau tempuh akan tetap sama.”
“Hmm.”
“Lalu, kenapa banyak orang yang beranggapan bahwasanya jika ia mendapatkan kesempatan kedua, maka kehidupannya akan jadi jauh lebih baik. Kupikir, itu karena pola pikir mereka yang belum berubah.”
Entah sebenarnya Hayashi mendengarkan penjelasaku atau tidak…
“Yang terpenting adalah, mengalami pengalaman yang bisa merubah pola pikirmu. Kalau dirimu mengalami pengalaman-pengalaman seperti itu, pertama yang harus dirimu lakukan ialah tidak lari darinya, tetapi menurutku kau harus menghadapinya dengan cermat. Kalau kau bisa melakukannya, tentu tanpa perlu kesempatan kedua sekalipun, hidupmu pasti akan jadi lebih indah lagi.”
“Heeh.”
“Sungguh jawaban yang ambigu, ya. …Ya sudahlah. Intinya yang ingin kukatakan adalah, kau harus menghadapi situasimu saat ini dengan sunguh-sunguh."
“Situasiku saat ini…?”
“Benar. Jangan lari, cermati situasinya secara objektif, lalu pikirkan apa yang ingin kau perbuat, itu semua akan membimbingmu pada jawabannya. Kalau benar-benar memikirkannya, pasti dirimu tak akan menyesal di kemudian hari.”
“…Bukannya itu sama saja?”
Hayashi menundukkan pandangannya seraya terlihat khawatir.
“Bahkan jika aku mencermati situasiku, pada akhirnya pemikiranku akan bercampur dengan hal-hal yang bersifat subjektif. Saat aku mencari jawabannya sekalipun, aku juga pernah terlarut dalam keraguan. … Rasanya mustahil kalau sampai tanpa penyesalan.”
“Itu tidak mustahil.”
“Mustahil…”
“Tak apa.”
“…Bagaimana kau bisa sampai berkata begitu.”
“Mudah saja.”
Aku pun tersenyum.
“Habisnya, karena itulah aku ada di sini, kan?”
Aku mengatakannya dengan kata dan raut senyum yang tak biasanya kutampilkan. Yah, jarang-jarang ekspresi skeptisku bisa terhenti begini dan tergantikan dengan cara bicara terus terang seperti itu, tapi memang begitulah inti dari apa yang ingin kukatakan.
“Ini bukanlah pembicaran yang begitu berat. Kalau kau merasa cemas bila hanya sendirian, maka andalkanlah orang lain. Kalau kau bisa menerima pemikiran itu, lalu curhat dengan orang lain, dan berbagi sudut pandang dengan mereka, itulah keunggulan seorang manusia. Benar begitu?”
“…Berkata hal yang sangat meyakinkan seperti itu, bukan kau banget.”
“Itu bukanlah perkataan yang sangat meyakinkan. Pada akhirnya, diriku juga hanya memberimu saran dengan prinsip diriku seorang.”
“Apa coba.”
Aku tidak bermaksud mengatakannya sebagai lelucon, tapi Hayashi malah cekikikan dan tersenyum. Kemarin, sejak kami bertemu kembali, inilah senyuman pertamanya.
“Kalau begitu mari kita pikirkan bersama. Tentang apa yang seharusnya kau lakukan mulai saat ini. Pertama… mungkin akan menyakitkan, tapi tolong beritahu aku tentang pacarmu sampai sejauh ini.”
“… Iya.”
Mulai dari sekarang Hayashi, selama beberapa menit ke depan, menceritakan padaku, tentang apa yang terjadi selama ini sejak dia pergi ke Tokyo, tentang apa yang terjadi padanya, terkadang sembari diselingi dengan topik yang santai dan gurauan, sejujurnya, ini adalah pembicaran yang jauh dari kata menarik.”
Pertemuannya dengan sang pacar.
Dirinya yang diusir oleh orang tuanya.
Tinggal bersama. Kemudian kekerasan. Kekerasan. … Kekerasan.
Hebatnya, kalau memikirkan dan merenungi apa yang menimpanya, mau dirinya membicarakan penderitaanya sambil tergelak sekalipun, itu tetap tidak membuatnya terdengar menyenangkan sama sekali.
“Tapi, kan, orang itu nggak selalu marah, lho. Dia juga mau minta maaf. Maaf tiba-tiba memukulmu. Pasti sakit, kan, aku tak akan melakukannya lagi. Karenanya, maafkanlah aku. Dia selalu memohon seperti itu.”
“Orang yang melakukan tindak KDRT sepertinya memiliki kecenderungan untuk melakukan siklus itu. Fase melakukan tindak kekerasan, lalu fase terlelap dalam instropeksi dan kebencian atas dirinya sendiri. Kemudian, fase dimana mereka merasa terganggu bahkan dengan hal-hal sepele.”
“…Ah—”
Kelihatannya, Hayashi merasa memiliki kecocokan dengan poin-poin yang kusebutkan tadi.
“Kau, tahu banyak, ya.”
“Baru kucari tahu tadi.”
“Tadi? Kapan?”
“Saat kau mencuci piring tadi.”
“Begitu, toh.”
Dengan suara yang terdengar seperti terkesan, Hayashi pun menerimanya.
“Teman curhatmu selama ini?”
“Dirimu yang pertama.”
Memang tidak aneh kalau memikirkan situasi dirinya, tapi begitu aku mengingatnya saat zaman SMA dulu, aku merasakan perasaan tidak nyaman. Mungkin memang tidak memungkinkan kalau membuat orang tua sebagai teman curhat, berbeda denganku, dia harusnya punya banyak teman dekat. Tapi dia pasti merasa tidak bisa untuk menghubungi mereka.
“Oh iya, dimana handphonemu?”
Sejak bertemu lagi di minimarket, sampai kubawa dia ke sini, Hayashi hanya terlihat membawa dompet dan pakaian yang dikenakannya saja. Kira-kira kenapa, ya, dia tidak membawa handphone yang umumnya merupakan barang yang selalu dibawa oleh orang zaman sekarang.
“Aku tidak punya.”
“Tidak punya?”
“… Asal ada aku sudah cukup, kan, begitu katanya …”
“… Dia rusak, ya.”
Sambil terdiam, Hayashi pun mengangguk.
“Seperti kontak teman-temanku, semuanya—. Dia juga tidak mengizinkanku membeli yang baru, aku benar-benar terisolasi.”
“… Begitu, ya.”
Ternyata situasinya lebih serius daripada yang kukira, intonasi suaraku yang sebisa mungkin berusaha kuperjelas pun semakin merendah. Kalau boleh jujur, sikap posesif pacar Hayashi sangat ekstrem. Mendengarnya saja sudah membuatku merinding.
“Kurang lebih aku sudah paham. … Cerita pedihmu itu sungguh tak termaafkan, ya.”
“Dia sudah minta maaf dengan sepenuh hati.”
“… Kalau dia tidak bisa meminta maaf setelah membuatmu merasakan penderitaan, maka itu karena kau sudah bersama dengan pacarmu.”
“Ah—, aku paham—”
“Beneran kau sudah paham?”
“Huhu. Entahlah.”
Hayashi pun tersenyum pahit. Entah itu karena dia sudah terbiasa dengan tindak KDRT yang diterimanya, atau malah karena sekarang dia sudah merasa tenang, dengan fakta bahwa kondisi hatinya tidak begitu parah, aku merasa setidaknya dia butuh sedikit uluran tangan.
“Kalau begitu, mari bicarakan apa yang sebaiknya kau lakukan kedepannya. Pertama, ini hanya pendapatku, sih … tetap saja, pendapatku masih tak berubah dengan yang tadi malam kukatakan. Sudah seharusnya kau tidak kembali ke sisi pacarmu. Secepatnya, putuskanlah hubunganmu dengannya.”
Aku langsung mengatakannya dengan blak-blakan. Yah, yang kuucapkan tetap tidak berubah seperti yang sebelum tidur tadi. Hanya saja saat itu, hasilnya mendapatkan penolakan darinya. Kalau sekarang, kira-kira bakal bagaimana, ya?
Aku merasa khawatir terhadap tindak tuturnya selanjutnya. Apakah dia, pada akhirnya akan menunjukkan persetujuan atas apa yang telah kukatakan.
Aku sudah bilang dengan jelas, jikalau sesuatu terjadi padaaya dirinya. Tak apa kalau dia mau lari dari tanggungjawab itu. Itulah yang terpikirkan olehku untuk pertama kalinya. Lagipula, kelihatannya dia sendiri akan menampik perkataannya, tapi dalam hal kali ini, pertemuanku dengannya bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh siapa pun. Karenanya, bahkan apabila terjadi sesuatu pada Hayashi, tak akan ada yang bisa menyalahkanku.
… Kalau begitu, sebenarnya siapa yang akan menyalahkanku.
Itu tidak lain tidak bukan, adalah diriku sendiri. Paling tidak jika sesuatu terjadi pada dirinya yang mana merupakan kenalanku, bagai tanpa perlu tersiksa oleh perasaan bersalah, diriku yang sebelumnya, telah menyampaikan saranku padanya.
Tetapi, setelah mendengar kondisinya … pendapatku berubah. Aku malah jadi mengetahui hubungan peliknya dengan lelaki sampai sejauh ini. Setelahnya, kalau aku hanya membiarkannya saja, aku pasti akan dihancurkan oleh perasaan bersalahku.
Dengan kalimat apa pun itu. Mau dia sebenci apa pun denganku. Aku, harus memutuskan hubungannya dengan pacarnya.
… Hayashi.
“… Yah, walau terkadang dia melakukan kekerasan. Dia juga punya kebaikannya tersendiri, juga keimutannya tersendiri, orang itu adalah orang itu dengan caranya sendiri. Seperti itulah orang itu, orang itu—”
“Begitu, ya.”
“… Tapi—”
Hayashi, menampakkan senyum lembutnya.
“Tepat seperti yang kau katakan. Pada akhirnya orang itu, hanya mengambil keuntungan dariku demi dirinya sendiri, dia memanfaatkanku. Mengekangku, demi memuaskan sifat posesifnya, sebut saja sikap sok angkuh seorang raja. … Perkataanmu, telah membuka mataku.”
“… Kalau begitu.”
“Aku akan putus dengan orang itu. Aku, sudah tak ingin berhubungan dengannya. Tak akan lagi.”
Lega, aku pun mengusap dadaku.
Sekarang, setelah kelegaan sesaat, sekali lagi aku megarahkan pandangan seriusku pada Hayashi.
“Sebenarnya aku juga punya sebuah saran, tapi apa kau mau mendengarnya?”
“Apa?”
“Tentang obsesi pelaku KDRT.”
Yah, intinya… dengan pacar Hayashi yang memperlihatkan sikap posesifnya selama ini, kalau target obsesinya tiba-tiba menghilang dari pandangannya, sudah terlihat jelas apa yang akan dipikirkannya.
“Pacarmu itu akan mendendam padamu, juga belum tentu dia tidak akan menuntut balas.”
Lagipula, kalau sekonyong-konyong kau bilang putus, aku tak yakin dia akan menerimanya. Kalau kau tiba-tiba bilang hal seperti itu, mudah dibayangkan kalau dia akan main fisik lagi. Tetapi, aku juga tak akan membiarkannya putus tanpa berkata apa-apa pada pacarnya, dan melanjutkan hidupnya dengan terus kabur dari itu.
“… Benar juga.”
“Karenanya, aku punya sebuah saran. Intinya adalah, dengan membuat pacarmu itu tidak ingin berhubungan lagi denganmu. Sebuah saran untuk membuatnya berpikir seperti itu.”
“Apa? Jangan-jangan, kau mau menghajarnya?
“Itu terlalu berlebihan.”
Aku terkagum dengan ide pikir pendeknya yang kepikiran untuk langsung main kekerasan, lalu aku pun melanjutkannya.
“Ada tempat yang ingin kudatangi.”
“Kemana?”
“Rumah sakit dan kantor polisi.”
“Polisi?”
Mata Hayashi membelalak. Walau terpikirkan kalimat menghajarnya, aku paham alasan kenapa dia tak berpikir untuk lapor polisi.
“Kita akan membuat laporan, dan melaporkan pacarmu itu ke polisi. Yang jelas, setelah dia berada di bawah pengawasan polisi dan mendapat rekam jejak kriminal, dia tidak akan mendekatimu lagi, kan?”
“Tu-Tunggu dulu. Memangnya perlu sampai seperti itu?”
Dia kepikiran untuk menghajarnya, tapi apa dia tidak berniat untuk melibatkan polisi, Hayashi kelihatannya agak bimbang.
“… Sekujurnya tubuhmu sudah dilukai, akses komunikasimu dengan temanmu juga sudah diputus, dia juga yang jadi penyebab kau diusir orang tuamu. Handphonemu juga. Dia juga menghancurkannya, membiarkanmu terasingkan dan tak berdaya, itu semua untuk menghilangkan tempatmu untuk kabur. … Dirimu yang sudah diperlakukan sampai seperti itu, apa tidak berniat untuk melibatkan polisi?”
Dengan jelas, aku telah menyampaikan perlakuan yang diterimanya dari pacarnya.
Bisa dibilang sejauh ini, aku sudah memahaminya. Perlakuan yang diterimanya dari pacarnya bukanlah hal yang normal. Ini sudah tidak wajar. Begitu juga dengan keterlibatan polisi.
Tetapi, nampak raut wajah Hayashi yang tak kunjung cerah.
Aku pun memutuskan untuk menunggu jawabannya sebentar. Ini tentang pasangannya yang hubungannya sampai pada tingkat tinggal bersama. Tentu aku juga sadar kalau dia merasa ragu.
Tetapi, sudah lama aku menunggunya, Hayashi tak kunjung memberikan jawabannya.
“Apa jangan-jangan kau tidak punya tekad untuk putus dengan pacarmu?”
Aku mengatakannya untuk meyakinkannya, tanpa niat untuk menekannya.
“… Soal putus, dan lapor polisi itu berbeda.”
Akhirnya, Hayashi pun membuka mulutnya. Tetapi dengan suara yang terkesan menentang, juga bibirnya yang dimanyunkan, dia hanya terlihat seperti anak kecil yang tersudutkan.
Dengan mendengar perkataannya saja, aku sudah mengerti apa yang ingin Hayashi sampaikan. Berarti, Hayashi masih memiliki perasaan yang tersisa pada pacarnya. Tidak, ada kemungkinan kalau itu adalah perasaan bersalah. Apa pun itu, keterikatannya dengan pacarnya adalah tanggung jawabnya sendiri. Karenanya, dia tidak ingin melibatkan polisi. Mungkin kurang lebih seperti itu yang dia rasakan.
Yah, sebenarnya, aku juga tidak mengerti dengan Hayashi yang tidak memiliki niat untuk melibatkan polisi. Tapi, karena alasan apa pun itu sekarang aku bisa memahami niat Hayashi yang tidak ingin melaporkan pacarnya ke polisi.
Kalau memang begitu … hanya satu yang ingin kukatakan pada Hayashi.
“Baiklah. Kalau begitu kita tidak akan pergi ke kantor polisi.”
“… Sungguh?
Tatapan mata Hayashi yang mengarah ke atas, tampak gemetar cemas.
“Ah, aku nggak masalah, kok.”
“… Begitu …”
“Sebelumnya juga aku sudah bilang. Pada akhirnya, aku hanya sekedar bisa menjadi tempat curhatmu. Walau aku bilang kalau begini lebih baik, tentu saja bakal ada bagian yang tidak kau setujui. Kalau kau memang tidak setuju, bilang saja, seperti saat ini.”
“… Iya.”
“Yah, kalau aku terlalu memaksa, tanggapi saja perkataanku dengan lebih santai. Kalau tidak setuju bilang saja tidak setuju, tolong langsung saja katakan itu. Dengan begitu akan lebih efisien.”
Aku tahu kalau Hayashi kesal.
“Aku mengerti, sih. Tapi itu karena kau memang orang yang seperti itu. Tapi, kan, ada cara lain untuk mengatakannya.”
Kalau diingat-ingat, sedari zaman SMA, Hayashi memang orangnya seperti ini. Walau kelakuannya garang, tapi dia selalu menghindari perkataan yang bisa melukai perasaan lawan bicaranya.
Tapi ini lain hal, kan.
“Memangnya aku harus mengatakannya seperti apa.”
Karenanya, sebenarnya aku sengaja memanas-manasinya.
“Kayak begitu, tuh, maksudku.”
“Tadi aku sudah bilang, kan. Kalau kau menginginkan agar kehidupanmu jadi lebih baik lagi, maka hadapilah segala sesuatunya. Dasar, padahal dirimu sedang berada dalam masalah, memangnya kau masih sempat mengurusi orang lain?”
“Uh …”
“Aku juga bakal bilang begini. Kalau ada permasalahan yang tak bisa kau tangani sendiri, sudah sewajarnya kau mengandalakan orang lain. Saat ada permasalahan yang tak bisa kau tangani sendiri, dengan begitu kau masih sempat mengurusi orang lain dan melepaskan kesempatanmu? Tidakkah kau berpikir kalau cara hidup yang seperti itu merupakan kebodohan.”
“… Mau gimana lagi, kan.”
“Jangan mau gimana lagi. Coba bayangkan kalau posisi kita terbalik. Aku sedang menanggung masalah yang menyulitkan, di saat itu manusia yang bisa kuandalkan hanyalah dirimu. Kemudian, di saat dirimu sedang memberikanku saran. Dirimu ingin aku melakukan apa.”
“… Nggak mungkin bakal ada hal yang begituan, jadi mana aku tahu.”
“Benar juga.”
“Kan?”
“… Hmm.”
Aku berdehem sekali.
“Kalau begitu, coba Kasahara. Coba bayangkan kau sedang menyaksikan sosok Kasahara, teman dekatmu yang sedang kesulitan di depan matamu, di saat dirimu sedang memberikan Kasahara saran, saran apa yang dirimu ingin untuk Kasahara lakukan.”
“… Jelas, aku ingin agar dia bisa secepatnya menyelesaikan masalahnya.”
“Benar. Berarti, diriku yang sekarang juga sama, tepat seperti apa yang kau katakan tadi, aku juga memikirkan hal yang sama terhadap dirimu.”
Yah, kalau dipikir dasar atas tindakan Hayashi yang ingin menolong teman dekatnya, dengan dasar atas tindakanku yang ingin menolong Hayashi jelas berbeda. Hanya saja, inti dari tindakan yang dilakukan keduanya sama saja.
Ingin menolong teman yang sedang menanggung masalah merepotkan yang tak bisa diselesaikan kalau hanya sendiri.
Hanya yang satu itu, kami melihatnya dengan pandangan yang sama.
Lalu, asalkan sekarang kita setuju dengan pandangan yang satu itu, maka itu sudah cukup.
“Aku ingin menolongmu yang sedang berada dalam situasi sulit. Makanya kita saling bertukar pendapat tentang berbagai hal. Aku juga akan memberikan saranku. Tergantung situasinya, mungkin saran itu akan melukai perasaanmu juga. Mungkin terkadang juga aku akan memaksa. Tapi, jangan telan mentah-mentah perkataanku begitu saja. Paling tidak terimalah satu saran dariku.”
“… Uhmm.”
“Lalu, sambil jadikan perkataanku sebagai referensi, yang akan membimbingmu pada jawaban akhirnya adalah dirimu sendiri.”
“… Diriku sendiri.”
“Benar.”
Diriku menatap langsung pada Hayashi.
“Kalau bukan dirimu yang memutuskannya, maka semuanya tak akan berarti.”
“… Baiklah.”
“Untuk sekarang, kita tidak akan melibatkan polisi. Setelah bilang kalau aku ingin membantumu, tapi jika hasilnya malah membuat perasaanmu menjadi tidak nyaman, bantuanku justru melenceng dari tujuan utamanya namanya.”
“Coba bilang begitu dari awal …”
“Maaf, ya.”
Aku pun menghela nafas karena rasa heran, lalu melanjutkannya.
“Kemudian, sementara tinggallah di kamar ini.”
“Eh.”
Jelas terdengar maksud penolakan dari suara Hayashi. Seketika dia terus mengambil jarak menjauh dariku.
“… Ujung-ujungnya, yang begituan?”
“Begitu gimana?”
“Dasar rendahan.”
“Hei. Apa, apa yang sebenarnya kau bayangkan.”
Untuk kedua kalinya aku terheran-heran.
“Dirimu tinggal bersama pacarmu, kan?”
“… Ah.”
“Kau nggak bisa balik ke rumah itu, kan. Lalu, sekarang, karena pacarmu itulah komunikasimu dengan temanmu terputus. Begitupula dengan hubunganmu dan orang tuamu.”
Lagipula, di bawah situasi dimana aku tidak tahu dari mana kemungkinan pacar Hayashi mengetahui keberadaan Hayashi, aku merasa bahwa dengan mengandalkan kenalan lama saja bukanlah tindakan yang bijak. Soal itu, diriku juga tidaklah begitu akrab dengannya, kami juga memiliki sedikit teman yang sama, kurang lebih seharusnya ini sudah aman. Pacar KDRTnya … Ah, kalau sekarang sudah mantan pacar, ya. Bahkan aku saja tidak tahu sedikit pun tentang dirinya. Yah, dengan hasrat ingin tahu dan jiwa penasaranku, sebenarnya ada sedikit perasaan untuk ingin mencoba melihatnya dari kejauhan.
“Pasti pacarmu itu, saat ini, dengan matanya yang memerah sedang mencarimu, lho.”
“Uhm …”
Aku tahu kalau wajah Hayashi sedang menegang.
Di luar dugaan ternyata dia cukup ekspresif, ya … Semasa SMA dulu, aku tak tahu raut wajahnya sedang lesu atau sedang marah, karena aku tak pernah melihat selain raut lesunya, aku pun terkejut.
“Makanya, sudah seharusnya untuk sementara dirimu tidak keluar dari kamar ini. Itulah saran yang kupikirkan.”
“… Baiklah.”
Terakhir, seumpama dia menemukannya, mudah untuk dibayangkan bagaimana perlakuan kasar yang akan diterima Hayashi dari pacarnya.
Pokoknya setelah semua yang bisa terpikirkan olehku selesai kukatakan, aku pun mengambil helaan nafas. Sejak pindah ke Tokyo, karena kesempatanku untuk berbicara lama dengan orang lain seperti ini berkurang drastis, rasanya aku kelelahan bicara.
Apa lagi, ya. Sementara aku memikirkannya … aku pun teringat.
“… Dan, satu lagi, ada hal yang tetap harus kau turuti sekalipun kau tidak mau.”
“Apa?”
Hayashi langsung memperlihatkan raut terkejut di mukanya.
Pembicaraannya akan mudah kalau dia sudah mengerti maksudnya. Begini-begini aku juga bukan iblis. Paling tidak aku memang sudah berniat untuk meminta izinnya.
Seketika, aku sadar kalau wajah Hayashi sudah diselimuti rasa takut. Ekspresi wajah yang jarang terlihat dari dirinya yang penuh percaya diri semasa SMA dulu. Setelahnya, Hayashi memandangku dengan tatapan tajam, kemudian dengan teguhnya ia berlagak.
“Yah, tak masalah, kok. Walau kadang aku juga agak tidak suka dengan cara bicaramu, tapi dirimu juga berniat untuk menolongku, sih.”
Baru saja ia meracau, Hayashi sudah membanjiriku dengan kata-katanya.
Aku pun tersadar.
Orang ini, pasti sudah salah paham tak karuan lagi.
“Maksudmu tentang memperlakukan tubuhku sesukamu, kan?”
“Jangan ngomong nggak karuan.”
“Apanya yang nggak karuan!”
… Kepalaku sakit.
Selama bersama pacarnya yang suka KDRT, apa dia sudah tercemar oleh cara pikir pacarnya sampai-sampai kepikiran hal seperti itu?
Kalau memang begitu aku turut prihatin.
Dengan seksama kupandangi Hayashi. Padahal dia sendiri yang mengatakannya, tapi Hayashi mengarahkan tatapan penuh was-wasnya padaku. Tatap matanya, sungguh berkebalikan dengan perkataanya, terpampang jelas rasa jijik soal dia yang ingin menyerahkan tubuhnya padaku.
Kampret, padahal sebelum tidur tadi dia yang menyuguhiku …
Jadi maksudnya boleh kalau hanya semalam, tapi tidak kalau keterusan, ya? Atau malah, dia tidak suka bila diperlakukan hanya sebagai objek, ya?
… Yah, dari segi kepribadian, mungkin dia tipe yang kedua itu, ya.
Aku pun menghela nafas.
Namun demikian, karena dia juga sedang mengungsi di rumah ini, sebenarnya sudah berapakali diriku ini menghela nafas.
“Kalau nggak mau, ya jangan bilang tak masalah untuk memperlakukan tubuhmu sesukaku, dong. Ini bukan soal begituan, kok.”
Diriku pun mengatakannya.
“Terus apa, dong.”
Bahkan perkataanku juga, seolah-olah mendapatkan pandangan ketidak percayaan.
… Ke depannya bakal repot, nih.
“Ayo, ke rumah sakit.”
“… Rumah sakit?”
“Lukamu itu tidak bisa dibiarkan begitu saja, kan?”
Aku mengatakannya sambil menunjukkan jariku pada pergelangan tangan Hayashi.
“… Ah, benar juga.”
“Nah. Makanya.”
“… Baiklah.”
Padahal tadi, dirimu itu memandangiku dengan tajamnya.
Tapi entah mengapa sekarang Hayashi … terlihat, agak sedikit kecewa.
Sepertinya aku memang benar-benar tidak dapat memahami apa yang dipikirkan oleh ratu yang satu ini.
Post a Comment