NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Natsu ni Oboreru Volume 1 Chapter 3

 


Penerjemah: Tanaka Hinagizawa 

Proffreader: Tanaka Hinagizawa


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


Chapter 3


Pada pukul tiga sore, peron stasiun sangat sepi. Mungkin karena tidak banyak orang yang bepergian jauh pada minggu akhir liburan musim panas, dan juga tidak banyak yang pulang kampung ke kota kecil yang membosankan. Dari peron yang sepi itu, kami, yang hanya membawa satu ransel, naik ke shinkansen menuju Tokyo.

"Yah, aku tinggal di Tokyo sampai kelas dua SMP," kataku.

Tiga tahun lalu, ketika orang tuaku yang sudah bercerai memutuskan untuk menikah kembali, aku pindah bersama ibuku dari Tokyo ke kota di Hokuriku tempat ayahku tinggal.

Aku duduk di dekat jendela di kursi bebas, sementara Hikaru duduk di sisi lorong. 

"Shinkansen ini miring sedikit saat berhenti, ya? Aneh," kataku saat menuju kursi dan hampir terjatuh.

"Itu karena saat berbelok pada kecepatan tinggi. Kalau tetap lurus, gaya sentrifugalnya terlalu besar."

"Katanya, berbicara dengan wanita itu lebih penting untuk berempati daripada menyampaikan fakta. Kamu tidak tahu? Hikaru yang populer di kalangan wanita."

"Kalau dengan wanita lain mungkin iya. Rin bukan tipe yang seperti itu."

"Ah, kamu sudah lulus ujian satu tingkat 'Yorunagi' ya."

Bagiku, yang paling penting dalam percakapan adalah bertukar informasi, bukan empati atau hiburan. Aku tidak mencari penghiburan atau simpati. Menyebalkan sekali jika harus menyendoki luka. Artinya, percakapan ringan bukanlah keahlianku.

"Ah, ada LINE dari Sasaki. 'Hari ini juga gak masuk?'"

Aku hanya membaca pesan tersebut dan menutup aplikasinya. Aku belum memberitahukan ketidakhadiran sekolahku baik kemarin maupun hari ini. Ketidakhadiran tanpa pemberitahuan bukanlah hal baru bagi para guru, jadi mereka mungkin tidak terlalu memperhatikannya. Bahkan jika orang tua diberi tahu, mereka yang sibuk dengan pekerjaan pasti akan segera melupakan hal itu.

Namun, bagaimana Sasaki tahu bahwa aku tidak masuk sekolah meskipun kami berada di kelas dan tahun ajaran yang berbeda?

Pikiran itu terputus oleh Hikaru. "…Aku sudah memberi tahu Sasaki tentang LINE."

"Apakah itu masalah?" tanyaku pada Hikaru.

"Ini hanya mengejutkan. Kamu kan tidak suka hubungan sosial yang tidak perlu," kata Hikaru.

"Memang begitu, tapi aku tidak ingin diw marah saat aku menolaknya."

"Oh, baiklah. Ya sudah, tidak masalah."

Aku merasa bingung. Aku sudah lama menganggapnya orang yang aneh, tetapi dua hari terakhir—sejak pelarian aneh ini dimulai—gambar Hikaru yang selama ini aku bangun mulai hancur.

Dia adalah karya agung Tuhan, pernah mencoba bunuh diri, dan ternyata memiliki hobi yang sedikit suram, sudah membunuh ibunya dan terus melakukan pembunuhan. 

"Jadi, siapa yang akan Rin bunuh?"

Saat aku memandang pemandangan yang berganti cepat dari jendela, Hikaru bertanya sambil menatap buku saku yang dia baca. Di sampul buku itu terdapat foto seorang filsuf asing yang hanya aku dengar namanya. Aku berpikir, dia membaca buku yang gelap lagi, dia memang punya selera yang unik.

Aku mengalihkan pandanganku dari Hikaru dan berbisik, "Seorang teman sekelasku di SMP."

"Teman sekelas lama, ya. Kebetulan sekali, jenis kelaminnya?"

"Perempuan."

"Baiklah, apa yang dia lakukan padamu?"

"Tidak ada yang spesifik," kataku sambil mengangkat bahu. "Aku tidak membencinya dengan sangat dalam. Hanya saja dia berada di urutan atas daftar orang yang ku benci."

"Jadi dia yang paling kamu benci."

"Ya, mungkin begitu, tapi rasanya berbeda. Susah dijelaskan lah."

Sebenarnya, aku bingung jika ditanya apakah ada orang yang ingin kubunuh. Tentu saja aku memiliki orang yang kubenci, tetapi rasa benci itu tidak cukup untuk menjadi alasan buat membunuh seseorang. Rasanya sangat kasihan jika seseorang harus mati hanya karena kebencian kecilku. Membenci seseorang sampai-sampai ingin membunuh memerlukan cinta diri yang kuat.

Anehnya, nama teman sekelasku saat SMP muncul di pikiranku.

"Apakah aku hanya boleh memilih orang yang melakukan sesuatu yang sangat menjengkelkan?" tanyaku.

"Tidak masalah," jawab Hikaru sambil tersenyum.

"Ya, aku sudah menduganya."

Ya, ini hanyalah permainan. Ini bukan balas dendam. Rasa benci yang berat tidak diperlukan. Ini hanya bumbu dari pelarian yang tidak pantas dan buruk selera.

"Tapi mengejutkan sekali. Ku pikir Rin akan memilih anak itu terlebih dulu."

Hikaru mengatakan itu dengan nada percakapan biasa

"Anak itu...?"

Jantungku berdegup kencang. Denyutnya semakin cepat. Aku merasa sesak seolah-olah tenggorokanku tercekik, dan aku batuk kecil untuk mengalihkan perhatian.

Anak itu. Pasti dia.

—Ku pikir Rin akan memilih Mitsuya Serina lebih dulu.

Apakah dia tahu? Kata-kata itu hampir keluar dari tenggorokanku, tetapi aku segera menutup mulutku. Apakah Hikaru tahu tentang kejadian yang terjadi sebelum aku bertemu dengannya? Tidak mungkin. Serina tidak mungkin membicarakan hal itu pada Hikaru. Kalau begitu, mungkin dari teman laki-laki lain? Itu juga tidak mungkin. Mereka yang pintar hanya akan memperluas cerita secara sia-sia yang pada akhirnya akan merugikan mereka sendiri. Cara mereka adalah secara diam-diam menyiksa seorang teman sekelas dan menikmatinya.

Mungkin Hikaru melihat Serina mengucilkan atau berbicara buruk tentangku, lalu menyimpulkan bahwa aku membenci Serina. Aku menyimpulkan begitu. Ini adalah kebencian yang sangat umum di kalangan remaja perempuan.

"Aku tidak membenci Serina."

Saat aku mengatakannya, Hikaru tampak terkejut.

—Aku tidak membencinya. Aku bahkan tidak tahu apakah boleh membencinya.

Aku menggelengkan kepala kecil. "Jangan bicarakan Serina lagi."

Kenangan tentangnya terlalu menyakitkan.

Hikaru yang lembut hanya mengatakan "Baiklah" dan tidak pernah membicarakan dia lagi.

"Teman sekelas lamamu itu seperti apa?" tanya Hikaru.

"Jika dikatakan dengan sederhana, dia adalah seorang pengganggu. Meskipun dia tidak mengganggu seseorang secara khusus," kataku.

Aku rasa ada banyak orang di dunia ini yang disebut "pengganggu" meskipun mereka tidak pernah mengganggu orang lain. Anak-anak yang berbicara dengan suara keras, menentang guru, dan suka meremehkan orang lain. Kata "pengganggu" terasa paling tepat untuk menggambarkan anak-anak seperti itu.

Dia adalah anak yang agak trendi pada saat itu. Dia adalah yang pertama memakai kontak lensa di sekolah dan sudah mulai memakai poni tipis yang sedang tren sebelum orang lain.

"Menurutku, orang yang introvert itu menjijikkan, ya?"

Pada masa itu, tren mengklasifikasikan orang sebagai introvert atau ekstrovert sedang populer, dan dia, yang termasuk kategori ekstrovert, mulai meremehkan orang-orang introvert yang tenang dan tidak modis di kelas sebagai kelas bawah. Aku juga tampaknya termasuk salah satu orang yang direndahkan itu.

"Yah, hanya itu saja."

Orang yang tidak layak untuk dibunuh seumur hidup, mungkin itulah yang akan dipikirkan orang-orang. Namun, dalam kasusku, hidupku sendiri tidak begitu berharga. Meskipun aku dihukum mati, aku merasa sedikit menyesal terhadap orang tuaku, tetapi hidupku terasa ringan. Mencolokkan pisau ke dada seseorang yang hanya sedikit kubenci karena panas disaat musim panas, rasanya tidak masalah.

Hikaru-lah yang mengajarkanku hal itu tanpa keraguan.

Ketika shinkansen memasuki terowongan, sinyal ponsel hilang. Saat aku mencoba mengambil buku dari ransel, aku melihat sebuah album biru yang tersembunyi di antara buku catatan dan folder transparan.

"Aku lupa kalau ini ada di ransel," kataku pada diriku sendiri.

Album tipis ukuran A4. Di dalam file yang bisa memuat empat foto per halaman itu terdapat foto yang diberikan Hikaru dua hari lalu.

"Apakah kamu berniat membawanya ke sekolah?"

"Ya, karena setelah bersih-bersih di sekolah, ku pikir akan membosankan, jadi ku pikir akan melihatnya."

Sekolah kami melakukan pembersihan besar pada awal dan akhir semester. Jika pembersihan di tempat tanggung jawab kelompok selesai lebih awal, kami harus menunggu waktu yang lama sampai tempat lain selesai. Kebanyakan siswa menghabiskan waktu itu dengan mengobrol bersama teman, tetapi sayangnya aku hampir tidak memiliki teman dan tidak suka berbicara. Jadi, aku membawa album ini untuk menemani waktu kosongku, tetapi sekarang, setelah melewatkan upacara pembukaan, tidak ada kesempatan untuk itu.

"Kenapa aku merasa tertarik dengan ini ya?"

Aku membolak-balik halaman sambil berkata pada diriku sendiri.

Lautan yang memancarkan cahaya tak terhingga di tengah musim panas, awan cumulonimbus jauh yang tidak pernah bisa disentuh tangan, taman kecil dengan bayangan tebal saat matahari terbenam, dan halte bus tua yang tertutup tanaman.

"Itu karena mirip denganmu," kata Hikaru sambil terus menatap buku saku.

"Eh, di mana bagian miripnya?"

Masih masuk akal jika dikatakan mirip dengan halte bus tua atau taman sore hari, karena dalam hal keterasingan kami memiliki kesamaan. Namun, laut dan awan cumulonimbus sangat megah dan indah, objek yang tak bisa dijangkau meskipun sudah jelas tidak bisa dicapai, dan merupakan objek kerinduan orang-orang. Itu sangat berbeda dariku.

Hikaru kemudian berkata dengan nada datar, "Rasanya sepi, ya, laut dan langit itu, jauh di sana."

"...Apa kamu ingin mengatakan bahwa aku orang yang sepi?"

"Ya, tapi bukan itu maksudku."

"Rasa-rasanya kamu agak ambigu."

Aku menatap ke luar jendela.

Di luar jendela adalah suasana sore, tetapi karena kecepatan shinkansen, tidak ada rasa sentimental. Matahari terbenam terhalang oleh rintangan yang muncul sesekali, membuat sinar matahari berkedip. Gunung-gunung yang hilang dalam sekejap tampak sama satu sama lain.

Aku membayangkan pemandangan di otakku. Pemandangan yang menurutku paling indah. 

Pemandangan yang sentimental, melankolis, penuh kerinduan, dengan intensitas yang menyayat hati, rasa kesepian yang menusuk. Sesuatu yang tanpa ampun merangsang bagian paling sentimental dari hati manusia.

Itu adalah objek yang aku kagumi, dan aku tidak pernah menyamakan diri dengan hal itu. Namun—

"Mirip, ya."

Dikatakan begitu tidaklah buruk. Terutama jika Hikaru yang mengatakannya, mungkin benar adanya. Apakah merasa begitu adalah kesombongan?

Tak lama kemudian, shinkansen tiba di Stasiun Tokyo.

"Yuk, kita pergi," kata Hikaru sambil berdiri. Aku mengikutinya. 

Tanggal 26 Agustus. Kami meninggalkan hotel bisnis di Ikebukuro sekitar pukul sebelas pagi. Setelah makan siang dan berpindah ke kota tempatku tinggal, langit barat sudah mulai memerah dengan cepat.

Meskipun ini Tokyo, kami berada di pinggiran, jadi pemandangan kotanya tidak berbeda jauh dengan Hokuriku. Namun, jumlah orang-orangnya sangat banyak, bahkan di jalan sempit yang hanya bisa dilalui satu mobil, ada beberapa orang di luar kami. Mungkin inilah perbedaan antara Tokyo dan daerah lain.

Pukul empat setengah sore, saat langit mulai memerah samar. Pada saat itu, aku berjalan bersama Hikaru di jalan yang biasa kutempuh bersama teman-temanku.

"Rin, seperti apa sih kamu saat SMP dulu?" tanya Hikaru.

"Eh, tiba-tiba sekali," jawabku.

"Kita kan sudah dekat, jadi tidak perlu basa-basi," kata Hikaru.

"Memang benar," aku setuju.

Aku merenungkan masa SMP-ku, tapi tidak banyak kenangan bagus yang kuingat, dan tidak ada kenangan buruk yang khusus juga. Singkatnya, tiga tahun itu terasa membosankan.

"Dulu orang-orang bilang aku tidak peka atau tidak bisa membaca situasi. Tapi, karena SMP-ku adalah lanjutan dari SD yang sama, jadi aku masih punya teman-teman," ceritaku.

"Ah, ternyata begitu," kata Hikaru.

"Ya, aku juga merasa begitu," balasku.

Anak-anak SD biasanya bisa berteman tanpa usaha khusus. Aku rasa ini karena kepolosan khas anak-anak yang menganggap hubungan sosial sebagai sesuatu yang sederhana.

"Namanya Honda Airi," aku berbisik sambil terus berjalan.

"Apa maksudnya?" tanya Hikaru.

"Nama orang yang akan ku bunuh," aku menjelaskan dengan suara sedikit menurun. "Aneh, padahal sudah empat tahun tidak bertemu, tapi aku masih ingat namanya. Teman-teman sekelas yang lain saja aku tidak bisa mengingat wajahnya. Kenapa ya?"

"Biasanya orang masih ingat nama teman sekelas SMP," kata Hikaru.

"Memori ku tidak seperti itu," jawabku.

Honda Airi. Aku menyebut namanya setelah sekian lama.

Hari ini, aku akan membunuhnya.

SMP-ku di Tokyo sebagian besar diisi oleh lulusan dari dua SD di sekitar, dan aku adalah salah satunya. Jadi, sebagian besar orang di sekelilingku adalah teman masa kecilku, dan aku tidak perlu repot-repot mencari teman baru hanya karena aku masuk SMP.

"Aku mulai terasing pertama kali di SMP setelah pindah," aku menambahkan bahwa itu di Hokuriku, dan melanjutkan. "Sejak hari pertama aku tidak bisa beradaptasi dengan baik, dan terus menjadi kesepian hingga lulus."

Selain memang aku tidak pandai bergabung dengan kelompok, aku juga tidak bisa beradaptasi dengan suasana khas sekolah negeri di daerah tersebut. Mungkin juga aku dianggap sombong karena berasal dari Tokyo.

Setelah itu, karena sifatku yang tidak peka, aku dianggap aneh dan akhirnya menjadi sendirian.

"Karena tidak punya teman, aku selalu membaca buku di tempat dudukku sendiri. Tentu saja, orang-orang menganggapku aneh dan sering digoda oleh anak laki-laki."

"Digoda?"

"Tidak ada yang serius. Hanya gangguan kecil seperti diganggu saat membaca buku atau tersenggol saat berjalan. Sekarang sih aku tidak memikirkan itu lagi."

"Itu pasti ada dampaknya. Kamu jadi punya kepribadian yang gelap, kasihannya."

"Itu memang sudah ada sebelumnya."

Ketika ditanya apa yang membedakan Honda Airi dari anak-anak laki-laki itu, aku tidak bisa menjawab dengan baik. Mungkin benar jika membunuh seseorang yang pernah mengganggu seperti itu adalah pilihan, tapi itu sudah tiga tahun lalu dan aku bahkan tidak ingat wajah atau nama mereka.

Honda Airi masih terasa menjengkelkan sampai sekarang. Aku tidak akan pernah ingin menjadi temannya dan merasa beruntung karena saat aku pindah sekolah di Hokuriku, aku tidak akan bertemu dengannya lagi.

Aku kembali ke masa kanak-kanak dan menendang batu kecil di bawah kakiku. Batu itu meleset dari jalur yang kuinginkan dan mengenai betis Airi sebelum jatuh ke tanah. Aku teringat aturan di SD dulu yang melarang menendang batu saat berangkat dan pulang sekolah.

"Aku tidak pernah benar-benar mengalami perundungan yang parah," kataku.

"Tak terduga ya," kata Hikaru.

"Itu kasar," jawabku. "Ini pendapatku pribadi, tapi perundungan anak-anak biasanya tidak parah jika tidak ada yang bisa dijadikan bahan ejekan secara fisik. Lihat, anak-anak seusia itu suka mengejek penampilan orang."

Sekarang, saat kuingat lagi, sering kali aku mengesampingkan diriku sendiri. Begitulah kurangnya kesadaran diri saat kecil.

Anak-anak yang kukenal sebagai korban perundungan biasanya memiliki fitur yang mencolok. Misalnya, anak dengan mata besar disebut "goldfish" oleh teman-temannya. Rasanya ingin mengatakan kepada mereka untuk melihat mataku yang kecil di cermin.

"Sebaliknya, aku tidak memiliki fitur mencolok di wajahku."

Di angkatan kami, ada seorang anak yang mengalami perundungan yang jauh lebih parah dibandingkan aku. Aku tidak menganggapnya buruk rupa, tapi jarak antara matanya sedikit lebih lebar dari biasanya, dan itu dianggap menjijikkan. Dia pindah ke luar provinsi setelah lulus.

Perundungan dimulai dari penampilan, bau badan, kepribadian, prestasi, hingga latar belakang keluarga, dan bisa berkembang menjadi kekerasan. Ada orang yang jenius dalam menyakiti orang lain, dan itu tidak hanya ada dalam novel.

"Aku tidak merasa aku lucu atau apa, tapi karena penampilanku yang relatif normal," kataku.

Bisa dibilang, "wajah yang tidak mencolok" atau "wajah rata-rata". Itu pernah menjadi kompleks, tetapi jika itu membantu menghindari perundungan yang parah, aku bersyukur.

"Rin, kamu lucu. Kepalamu kecil dan tubuhmu ramping," kata Hikaru sambil tersenyum.

"Wow, pria populer bisa berkata seperti itu dengan santai. Menakutkan," jawabku.

"Aku memujimu," kata Hikaru.

Meskipun aku mengatakan itu, aku merasa telingaku memanas karena pujian yang tidak biasa. Matahari terbenam yang merah terasa membantu.

"Jadi, ini disebut 'cute atmosphere,' ya? Tidak apa-apa," kataku sambil berpaling.

"Bukan begitu," kata Hikaru menolak. "Kamu bilang wajahmu tidak punya fitur mencolok, tapi tidak berarti kamu tidak menarik."

"Eh, … maksudnya?"

Aku tidak mengerti apa maksudnya dan bertanya sambil mengamati ekspresi wajahnya. Hikaru menghela napas dengan ekspresi seolah-olah bosan dan berkata, "Kamu memang tidak peka."

"Jadi," katanya sambil menatapku dengan wajah serius. "Kamu mengerti maksudku bahwa Rin itu sangat imut, kan?"

"Eh?"

"Hm?"

Aku berhenti tanpa sengaja. Hikaru melangkah beberapa langkah maju lalu berbalik menatapku. Suara kereta yang berlalu jauh terdengar.

"...Aku terkejut."

"Kamu malu."

"Berhentilah."

"Kupingmu merah."

"Tidak."

"Eh, tapi..."

"Berisik."

Aku menutupi mulutku dengan satu tangan dan membalikkan wajahku menjauh dari Hikaru. Hikaru terus berusaha melihat wajahku sambil tersenyum-senyum, jadi aku mendorong bahunya untuk menjauh.

"Hei, hentikan ini," kataku dengan suara yang berusaha tenang. "Kita tidak berada dalam hubungan seperti itu, kan?"

Hubungan aneh kami tidak memerlukan pujian seperti itu. Meskipun dalam hubungan pertemanan biasa pun, hal seperti ini tidak perlu dikatakan, Hikaru adalah pria paling populer di sekolah yang tidak ragu untuk memuji teman wanitanya dengan santai seperti yang dia lakukan tadi.

"Baiklah," jawab Hikaru.

"Hikaru seperti apa sih?"

Kali ini aku yang bertanya. Aku ingin cepat berpindah topik.

"Menurutku dia orang biasa."

"Bagaimana bisa. Dengan penampilan dan kecepatan kakinya, tidak mungkin dia tidak populer."

"Kalau 'penampilan' yang dimaksud, berarti Rin menyukai penampilanku, kan?"

Hikaru menutupi bagian bawah wajahnya dengan kedua tangan secara dramatis.

"Enggak. Maksudku, dari pandangan umum, seperti itu," kataku dengan nada kesal.

"Rin itu tsundere, ya."

"Tolong berhenti."

Aku menunjukkan kulit goosebumps di lenganku dan menunjukkan ke Hikaru. Hikaru tertawa dan berjalan lebar di depanku.

Aku melewatkan kesempatan untuk bertanya tentang masa kecilnya. Rasanya seperti aku dihindari.


"Seharusnya di sini."

Aku tahu bahwa Airi Honda tinggal di apartemen dekat sekolah. Aku mendengar rumor dari teman sekelas bahwa dia tinggal di apartemen dan melihat beberapa anak laki-laki melakukan pinpon dash saat pulang sekolah.

Aku ingat itu di lantai satu, tapi aku tidak ingat nomor kamarnya. Karena tidak ada nama yang terpampang, aku memutuskan untuk mengatakannya, sesuatu yang sudah kupikirkan sejak tadi.

"Jadi, Hikaru, tunggu di kafe atau sesuatu."

Mendengar kata-kataku, Hikaru dengan penuh rasa ingin tahu berkata, "Eh, kenapa?"

"Aku akan pergi sendiri."

"Tidak, aku ikut."

"Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri."

"Tapi Rin belum pernah membunuh orang, kan? Aku khawatir jadi aku ikut."

"Tenang saja, aku akan menghadapinya dengan semangat."

"Bagaimana kamu memutuskan cara membunuhnya?"

"Itu... aku akan memutuskan setelah bertemu sekali," jawabku dengan samar.

Sebenarnya, aku masih belum yakin apakah aku bisa membunuh seseorang. Memang benar aku memutuskan untuk mengikuti Hikaru, tetapi saat berhadapan dengan target, aku merasa cemas apakah aku bisa melakukannya. Aku tidak bisa membayangkan masa depanku yang melibatkan pembunuhan.

Oleh karena itu, aku berniat bertemu dengan Airi Honda sekali, dan jika aku merasa tidak bisa membunuhnya, aku akan meninggalkan tempat tersebut. Aku bisa berbohong kepada Hikaru dan mengatakan bahwa aku sudah membunuhnya. Meskipun aku tidak yakin dengan kemampuan aktingku, ku pikir aku bisa menipu Hikaru.

Ketika aku merenungkan apa yang harus dilakukan dengan Hikaru yang ingin ikut, aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku. Saat aku berbalik, aku bertemu tatapan dengan seorang gadis yang tampaknya masih remaja.

"Natsuki-san?" kata gadis itu.

Natsuki adalah namaku, yang merupakan nama belakang ibuku sebelum pindah dari kota ini. Sekarang, nama belakangku adalah Yonagi setelah orang tuaku menikah lagi.

"Eh..."

"Aku, Nagasawa. Kita satu kelas waktu kelas dua SMP."

"Oh..."

Aku ingat dia adalah teman dekat Airi Honda. Meskipun aku tidak bisa mengingat wajahnya, suaranya yang tinggi masih sedikit mengingatkanku.

Karena dia sering melihat ke arah Hikaru, aku memperkenalkan Hikaru sebagai "teman sekelas SMA." Meskipun Hikaru sebenarnya adalah teman sekelas yang tertunda, ku rasa tidak perlu menjelaskan hal itu.

"Baiklah," pikirku, lalu aku bertanya, "Airi Honda, yang kita kenal di SMP, tinggal di apartemen ini, kan? Kamu tahu nomor kamarnya?"

Karena dia adalah teman dekat Airi Honda, seharusnya dia tahu alamatnya.

Aku sempat khawatir bahwa pertanyaanku ini bisa membuatku dicurigai jika mayat Airi ditemukan, tapi aku optimis bahwa aku bisa mengatasi masalah ini sebelum akhir permainan pada tanggal 31 Agustus.

Namun, tampaknya aku tidak perlu khawatir.

"Airi sudah meninggal tahun lalu," kata Nagasawa dengan suara lembut. "Dia overdosis dan dibawa ke rumah sakit, lalu meninggal di sana."

Menurut Nagasawa, Airi Honda kehilangan kesadaran akibat overdosis obat tidur saat kelas dua SMA dan meninggal di rumah sakit. Dia tidak tahu apa yang terjadi sebelum itu.

"Apakah ada yang bisa ku bantu?" tanya Nagasawa, dan aku menjawab, "Tidak, aku hanya kebetulan lewat di depan apartemen ini, jadi aku penasaran."

Aku melihat ke arah Hikaru, yang hanya menyaksikan tanpa ikut campur dalam percakapan.

Ketika aku hendak memanggil nama Hikaru yang tidak menyadari tatapanku, Nagasawa membuka mulutnya.

"Natsuki-san, apakah kamu tidak suka dengan Airi?"

Aku terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa. Lalu Nagasawa melanjutkan.

"Tenang saja, aku juga tidak suka padanya."

Dengan nada ejekan dalam suaranya, aku menyadari bahwa Airi Honda bukanlah ratu kelas. Seperti aku, teman-teman sekelas lainnya juga tidak menyukai sikap sombong dan egois Airi. Bahkan, teman-teman dekatnya pun tidak terkecuali.

Honda Airi menyadari hal itu. Sejak saat itu, ingatan-ingatan dari masa SMP muncul kembali di benakku seperti reaksi kimia yang berantai. "Dia, payudaranya kecil." Selain itu, "rambut di bawahnya—" Pada semester pertama kelas dua SMP, pada hari belajar menginap. Saat itu, dia yang diabaikan dan ditinggalkan oleh kelompok perempuan, mulai bergaul dengan para laki-laki. Di sana, dia memberikan topik yang mereka inginkan dan tertawa seolah-olah mengejek orang di sekitarnya. 

Honda Airi adalah orang seperti itu. Dia selalu merendahkan orang di sekitarnya, membongkar hal-hal yang tidak ingin orang lain sentuh, hanya untuk kesenangannya sendiri. Dengan menjatuhkan orang lain sebagai "konyol" atau "jelek," dia berusaha menjadi "keren" atau "menarik." Dia adalah orang yang hanya bisa naik dengan merendahkan orang lain. Bahkan jika dia berhasil naik, yang ada di bawahnya hanyalah teman sekelasnya yang berjumlah empat puluh orang di SMP. Meskipun begitu, dia berperilaku seolah-olah dia adalah orang yang kuat, menyakiti orang lain dengan setengah bercanda. Ku yakin, dia akan terus hidup seperti itu.

Ah, jadi itulah sebabnya namanya muncul dalam ingatanku. Ketika aku mengingat kenangan yang hilang dan memikirkan orang yang akan ku bunuh, aku mengerti mengapa nama teman sekelasku saat SMP yang samar-samar muncul. 

—Aku sangat membenci dia. 

Kecenderungan untuk menilai orang berdasarkan posisi atau penampilan mungkin sedikit mirip dengan "anak itu." Pikiran-pikiran yang tidak relevan juga muncul. 

"Honda Airi tidak lagi datang ke sekolah setelah liburan musim panas kelas dua SMA. Dan setahun yang lalu, dia meninggal karena overdosis. Aku selalu berpikir bahwa dia malas pergi ke sekolah dan bolos, tetapi mungkin itu tidak benar. "

Jika dipikirkan dengan baik, itu adalah hal yang bisa dipahami. Aku membayangkan. Dia pasti menyadari bahwa tidak ada yang menyukainya. Dia yang sakit mungkin secara rutin melakukan tindakan menyakiti diri seperti memotong pergelangan tangan atau overdosis. Dia berada pada usia di mana dia mungkin menganggap tindakan-tindakan itu sebagai identitasnya. 

Namun, aku tidak merasa iba. Ketika aku berpikir seperti itu, aku menyadari bahwa aku merasa sedikit kecewa karena aku, yang selama ini ragu untuk membunuh, tidak bisa melakukannya.

"Maaf, itu sia-sia." Setelah berpisah dengan Nasagawa, kami langsung menuju stasiun terdekat. Hikaru mengusulkan untuk berjalan-jalan sebentar di kota asal setelah sekian lama, tetapi aku, yang tidak memiliki ikatan emosional dengan kota ini, tidak merasa perlu. Aku berniat menyerahkan keputusan selanjutnya kepada Hikaru.

 Apakah kami akan memesan hotel, pergi ke kafe internet, atau bahkan karaoke semalaman. Aku merasa seperti itu. 

"Tidak apa-apa, kita tidak tahu," kata Hikaru dengan lembut. "Lagipula, targetku besok juga ada di dekat sini." 

"Begitu ya?" 

"Dari sini, dengan kereta dan berjalan, kira-kira butuh waktu sedikit lebih dari satu jam. Apa kita akan melakukannya hari ini? Jika harus bergerak lagi besok, waktunya akan sangat ketat." 

Melakukannya? Aku sudah terbiasa dengan cara Hikaru memperlakukan nyawa seseorang dengan enteng. 

"Siapa yang akan kau bunuh?" 

Ketika aku bertanya seperti itu, seorang pegawai yang berjalan dari arah berlawanan melihat kami dengan wajah terkejut. Aku merasa kesal, tetapi dia segera mengalihkan perhatiannya, seolah-olah itu hanya percakapan tentang manga atau semacamnya. 

"Ayahku. Yang asli (kandung)." 

Aku menatap Hikaru. Pada saat yang sama, sinar matahari menusuk mataku, membuat bagian dalam mataku terasa sakit.

Kami naik kereta dan menuju ke arah timur Tokyo—ke pusat kota. Setelah berjalan beberapa menit dari stasiun yang kami tuju, kami mulai melihat rumah-rumah besar yang berdiri berjejer setelah melewati gedung-gedung tinggi. Itu adalah kawasan perumahan mewah. 

Rumah yang dikatakan dihuni oleh ayah kandungnya adalah rumah bergaya Jepang yang megah. Dengan gerbang bertutup atap genteng di tengah, dikelilingi oleh pagar putih seperti dinding kastil. Di papan nama terukir "Sayama." 

"Wah, rumah yang luas. Apakah dia tinggal bersama keluarga barunya?" 

"Tidak, hanya ada ayah dan kakek-nenek yang tinggal di sini. Jika mereka masih hidup." 

Dari cara bicaranya, aku menduga bahwa dia dan keluarganya sudah bertahun-tahun tidak bertemu. 

Kami berputar ke belakang rumah (yang seharusnya disebut sebagai rumah besar). Ketika aku mengintip dengan berjinjit, aku bisa melihat taman. Pintu belakang terkunci, tetapi jika aku menginjak celah di pagar sebelahnya, aku bisa naik. Selanjutnya, aku bisa bergerak sembunyi-sembunyi di antara tanaman di taman dan dengan mudah masuk ke dalam rumah. 

Karena ini adalah kawasan perumahan mewah, aku sedikit khawatir tentang keamanan, tetapi menurut Hikaru, ayahnya tidak terlalu menyukai hal-hal seperti itu. Meskipun begitu, sudah lebih dari sepuluh tahun sejak Hikaru berada di rumah ini. Tidak heran jika ada perubahan. 

Ketika aku khawatir tentang hal itu, Hikaru tersenyum dan berkata, "Tidak apa-apa." Jika terjadi sesuatu, kami bisa melarikan diri sebelum tertangkap. Meskipun ada kamera pengawas dan suatu saat hal ini akan terbongkar, itu tidak masalah selama itu terjadi setelah 31 Agustus. 

Memang benar, aku mengangguk setuju. 

"Jadi, seperti yang kita bicarakan sebelumnya, Rin, tolong awasi dari luar agar tidak ada orang yang datang." 

"Baiklah. Semoga sukses." 

"Ya." 

Aku berlari ke sudut pagar, memastikan tidak ada orang yang datang, lalu mengangkat tangan kananku sebagai isyarat. Hikaru mengangguk dan melompati pagar untuk masuk. Aku mengawasi dia dengan menahan napas. 

Keamanan yang ku khawatirkan tidak terlalu ketat, sepertinya tidak ada alarm yang berbunyi saat aku melangkah masuk. Mungkin hanya ada kamera pengawas. 

Aku merasa sedikit lega, tetapi aku tidak bisa lengah. Detak jantungku semakin cepat. Ketegangan mengalir di seluruh tubuhku, punggungku tegak. Ketegangan saat pembunuhan akan segera terjadi dan kegembiraan karena aku juga terlibat membuat pikiranku berputar seolah-olah otakku akan meledak. 

Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan pernapasanku yang menjadi dangkal, lalu hanya menggerakkan mata untuk melihat sekeliling. 

Sambil menunggu kembalinya Hikaru, ada beberapa pejalan kaki di jalan di depan pintu belakang. Orang-orang berkelas yang tinggal di kawasan perumahan mewah itu memberiku anggukan kecil ketika melihatku, lalu pergi. Agar tidak mencurigakan, aku berpura-pura sedang menunggu seseorang dan memainkan ponselku, sesekali mengintip di atas pagar. 

Sambil menunggu Hikaru kembali, aku berharap dia segera datang. Semakin lama, suasana semakin gelap, dan aku masih belum mendengar teriakan atau suara kesakitan.

"Selamat malam."

Tiba-tiba, suara itu membuatku terkejut. Ketika aku menoleh, kulihat seorang wanita tua mengintip dari pintu belakang.

"Ada keperluan apa?" tanyanya.

Aku menahan napas. Wanita tua itu kemungkinan besar adalah nenek Hikaru. Aku terlalu fokus memantau jalan sehingga lupa memperhatikan orang di dalam rumah.

Nenek Hikaru menatapku dengan curiga. Sepertinya dia sudah mencurigai kehadiranku. Ketika aku tetap diam, dia menambahkan,

"Kenapa kamu di sini sejak tadi, padahal tidak ada keperluan?"

Dia sepertinya baru menyadari kehadiranku. Aku tidak bisa menemukan alasan yang meyakinkan, dan kata-kataku malah membuatku semakin mencurigakan.

Aku berpikir, mungkin ini malah menguntungkan. Selama Hikaru membunuh ayahnya, aku bisa menarik perhatian neneknya.

Saat aku berpikir begitu, aku mendengar suara langkah di belakangku.

"Ada apa?" tanya Hikaru.

Aku terkejut dan menoleh, melihat Hikaru mendekati neneknya. Aku mengikuti langkah Hikaru dengan mataku. Mungkin dia keluar dari pintu depan. Apakah ayahnya sudah dibunuh?

"Hikaru-kun?" tanya neneknya dengan nada terkejut.

"Ya, sudah lama tidak bertemu," jawab Hikaru dengan santai.

"Wow, kamu sudah besar sekali. Mirip sekali dengan ayahmu," kata nenek Hikaru dengan riang. Hikaru tersenyum lembut.

Aku mengamati percakapan mereka dengan cemas. Hikaru mengaku senang bisa bertemu neneknya lagi, padahal ternyata neneknya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Ouh ya, ayah sudah pulang kerja, kah?" tanya Hikaru dengan nada tidak berubah.

Wajah nenek tiba-tiba berubah.

"Oh, jadi kamu belum diberitahu," katanya dengan nada sedih. "Ayahmu sudah meninggal dua tahun lalu karena stroke. Dia meninggal dalam usia masih sangat muda."

Betapa kebetulannya. Dua target sudah meninggal. Rasanya seperti ada yang lebih dulu menargetkan mereka. Meskipun aku tahu ini hanya kebetulan, situasi ini terasa menyeramkan.

Sementara aku terkejut, Hikaru mengamati dengan tenang.

Kota ini tidak memiliki katak. Meskipun tidak ada gedung tinggi, ini adalah Tokyo, dan tidak ada sawah dengan banyak katak. Aku baru sadar kalo suara katak adalah simbol desa. Ruangan luas dengan tatakan meja kotak di depan Hikaru terasa dingin meskipun malam musim panas.

"Mereka berdua sudah meninggal, kita tidak beruntung," kata Hikaru sambil bersandar pada pipinya.

"Jangan bicara begitu," jawabku.

Kami memutuskan untuk menginap di rumah nenek Hikaru malam itu.

 (Nenek Hikaru tinggal sendiri di rumah besar ini karena kakeknya juga sudah meninggal.) 

Aku memilih kamar terpisah karena merasa tidak nyaman dengan tawa Hikaru yang mengejek.

Sekarang sudah pukul 22:00. Nenek sudah tidur, jadi hanya aku dan Hikaru yang ada di ruangan ini. Ruangan ini sangat tenang, seperti studio film Jepang yang teratur dengan halaman di luar.

Kota ini sangat sunyi. Apakah ini karena isolasi suara dari rumah mewah atau karena kebiasaan penduduknya yang tidak suka membuat keributan? Rasanya seperti seluruh udara di sini menyerap suara. 

"Apakah kamu merasa kesepian?" tanyaku.

Setelah mengatakannya, aku merasa itu adalah pertanyaan yang sangat tidak peka. 

"Apa, tiba-tiba bertanya gitu?" 

"…Orang tua semuanya sudah meninggal. Apakah kamu merasa kesepian?" Aku melanjutkan dengan ragu-ragu. 

"Aku tidak merasakannya," jawab Hikaru dengan tegas. 

"Apakah ada rasa bersalah?" 

"Umm..." 

Dia yang telah melakukan pembunuhan tampak sangat tenang, sampai-sampai aku merasa kagum. Apakah dia pandai berpura-pura, atau memang mentalnya sangat kuat? 

"Ada apa, kenapa bertanya seperti itu?" 

"Ku pikir aku perlu mempersiapkan diri." 

Aku mungkin akan membunuh seseorang dalam waktu dekat. Aku sudah tahu itu sejak aku terlibat dalam permainan ini, tetapi ketika aku memikirkannya lagi, aku merasa perlu mempersiapkan mental. Aku ingin memperkirakan bagaimana perasaanku ketika membunuh seseorang. ... Aku tidak tahu apakah mendengarkan ceritanya akan membantu. 

Karena, tidak ada perubahan sikap yang terlihat pada Hikaru sebelum dan sesudah membunuh seseorang (mungkin aku hanya tidak menyadarinya). Aku merasa, meskipun aku bisa membunuh, aku tidak akan bisa tetap tenang seperti dia. 

"Sejujurnya, aku tidak benar-benar mengerti apa itu niat membunuh. Aku tidak pernah membenci seseorang dengan sangat kuat. Jadi aku tidak bisa membayangkan diriki membunuh seseorang." 

"Kamu tidak perlu berpikir terlalu dalam. Ini hanya permainan." 

Hikaru tersenyum dengan sudut mulutnya yang miring. 

"Permainan yang sangat tidak pantas, ya," gumamku. 

Meskipun disebut permainan, sepertinya Hikaru tidak terlalu terikat pada aturan "membunuh satu orang setiap hari" yang ditetapkannya di awal. Hari ini kami tidak bisa membunuh dua orang, tetapi sepertinya dia tidak berniat untuk menggantinya. Mungkin dia hanya ingin bertindak hati-hati sesuai rencana awal. Namun, itu bertentangan dengan rencananya untuk membunuh ayah kandungnya yang seharusnya dilakukan hari ini atau besok. 

Sepertinya permainan ini hanyalah bumbu dalam pelarian. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan dia tidak ditangkap hingga akhir musim panas, dan pembunuhan hanyalah cara untuk menghabiskan waktu. 

Tetapi tetap saja, ini adalah permainan yang sangat menjijikkan, pikirku. Aku merasa terkejut dengan diriku sendiri yang menikmati situasi yang sangat tidak biasa ini. 

Aku menyalakan ponsel dan membuka aplikasi catatan. Di sana tersimpan novel yang telah ku tulis sebelumnya, dan aku membuat halaman baru. 

Sejak kemarin, aku berpikir bahwa akan menarik jika pelarian aneh ini dijadikan novel. Jika kenyataan lebih aneh daripada fiksi, maka aku akan mengubahnya menjadi novel. 

Pelarian di akhir musim panas dan elemen gelap dari permainan pembunuhan adalah pengaturan yang sesuai dengan seleraku. Ku yakin aku bisa menulis sesuatu yang sangat menarik. Meskipun aku tidak akan mempostingnya di web setelah selesai, dan aku tidak akan menunjukannya kepada Hikaru. 

"Apakah kamu sedang menulis novel?" tanya Hikaru. 

"Aku tidak menulis," jawabku. 

Keheningan. 

Kami saling menatap seperti kucing sebelum bertengkar. 

"Tunjukkan!" 

"Tidak mau!" 

Hikaru meraih ponselku, jadi aku menggerakkan tangan kananku ke belakang untuk menghindar. Namun, entah mengapa Hikaru menjadi bersemangat dan berputar dari sisi meja ke arahku. Dia langsung berlutut dan mencoba meraih ponselku, sehingga aku menjatuhkan ponsel yang ku pegang di tangan kanan dan berusaha menangkapnya dengan tangan kiri. 

Karena aku belum banyak menulis, mungkin tidak masalah untuk menunjukkannya, tetapi karena semangat Hikaru, aku juga merasa ada semacam tombol aneh yang tertekan dalam diriku. Aku ingin melindungi ponselku dengan sekuat tenaga. 

Layar yang hanya memiliki tiga baris tulisan jatuh vertikal. 

Pada saat itu, tubuhku terhuyung ke belakang, dan—aku jatuh ke atas tatami. 

Keheningan kembali terjadi. Aku berkedip beberapa kali, dan saat aku memahami situasinya, rasa malu yang luar biasa melandaku. 

"…Bisakah kamu mundur?" 

Aku berkata sambil mengalihkan pandanganku dari Hikaru di depanku. 

Aku ingin dia menjauh secepat mungkin. Namun, Hikaru tetap menatap mataku dan tidak bergerak. 

"Aku suka matamu, Rin," kata Hikaru. 

"Apa, tiba-tiba gitu?" 

Wajahnya yang sudah terlalu dekat, semakin mendekat. 

"Gelap, dalam, dan—seperti lautan dalam, sangat indah." 

Dia berada dalam jarak yang hampir membuat hidung kami bersentuhan. 

Saat aku berkedip, bulu mataku bergetar. Setiap gerakan yang terjadi di depanku membuat kepalaku berputar-putar karena pesonanya. 

"…Segera mundurlah." 

"Apa, kamu malu?" 

Hikaru menyipitkan matanya sedikit dan tersenyum lebar. 

Ini sangat memalukan. 

"Aku tidak merasa begitu." 

"Anak kecil." 

"…Hah!?" 

 Aku melompat bangkit. Dengan penuh kekuatan, aku menyentuh dada Hikaru dan mendorongnya. Meskipun ada perbedaan fisik, mungkin karena kekuatan yang tidak terduga, Hikaru jatuh ke belakang dengan mudah. 

Aku melirik Hikaru yang mengusap belakang kepalanya dan berkata dengan dingin, 

"Jangan pernah lakukan hal seperti ini lagi. Jika kamu melakukannya lagi, orang yang ingin ku bunuh adalah kamu." 

"…Aku akan hati-hati." 

Mungkin orang ini sama sekali tidak merasa menyesal. 

Aku menghela napas panjang dan mengambil ponselku yang terjatuh bersamanya. Untungnya, layarnya tidak tergores. 

"Ngomong-ngomong," kata Hikaru saat kembali ke posisi semula.

"Ada apa kali ini?"

"Nama belakang Rin adalah Natsuki."

"Benar, ada apa?"

Aku menjawab sambil tetap memandang ponselku. Hikaru kemudian terdiam, dan saat aku mengangkat wajahku, aku bertanya, "…Kenapa kamu tersenyum?"

"Takdir, mungkin?"

"Ah, jangan, itu menjijikkan."

Saat wajahku berkerut hingga hampir mengubah bentuknya, Hikaru tertawa dan menarik pipiku. Aku hampir merasakan bulu kudukku berdiri.

"Natsuno dan Natsuki. Nama belakang dengan huruf musim panas cukup jarang, kan?"

"Tapi Hikaru kan dari Satoyama," kataku. "Lagipula, aku sekarang Kanyanagi."

TL/N: Satoyama adalah istilah dalam bahasa Jepang yang merujuk pada kawasan perbatasan antara kaki bukit gunung dan tanah datar. Secara harfiah, sato (里) berarti desa, dan yama (å±±) berarti bukit atau gunung. 

Hikaru hanya berkata "Memang" dan terdiam. Aku juga kembali menatap ponselku.

"Tapi, ku pikir ini takdir," kata Hikaru seperti berbicara pada dirinya sendiri. Aku tidak terlalu mempedulikannya dan menjawab dengan suara antara "ah" dan "wa."

Setelah masuk ke selimut, aku merasa sulit tidur. Meski lelah karena perjalanan panjang yang tidak biasa, pikiranku tetap aktif, memikirkan berbagai hal. Mungkin kegembiraan mental karena pertama kali mencoba membunuh seseorang belum mereda.

Hikaru sebenarnya sudah lama tidak bisa tidur nyenyak. Kami berdua sepakat untuk beristirahat sehari besok dan begadang malam ini. Hikaru berkata bahwa ada baiknya memiliki hari seperti ini dalam pelarian kami.

Kami memutuskan untuk begadang dengan menonton film. Kami memutar DVD "Hymne d'été" yang dibawa Hikaru dengan TV terbaru yang tidak cocok dengan ruangan tradisional kami.

Dalam film tersebut, Kaito yang telah membunuh teman sekelasnya, melakukan pelarian bersama sahabat masa kecilnya, Masaki. Mereka naik kereta, turun di stasiun tak berawak, melihat pemandangan pegunungan dan laut dalam perjalanan, dan akhirnya sampai ke tempat yang tidak dikenal oleh orang lain.

Selama mereka melihat pemandangan indah ini bersama Masaki, mereka melupakan perasaan gelap sebagai pembunuh.

Laut biru, pantai putih, gunung musim panas, dan langit biru—kontras warna yang menyegarkan. Pemandangan yang membekas di benak. Nostalgia yang menggugah hati.

Mereka dikejar polisi di tengah-tengahnya, tapi mereka tertawa sambil melarikan diri dengan sepeda motor curian. Mereka terus menghindari banyak orang dewasa dengan cara berbahaya, dan cerita berakhir dengan adegan mereka berlari menuju matahari terbenam. Aku bertanya-tanya apa yang terjadi pada mereka setelah itu. Sambil menatap kredit akhir, aku membayangkan tempat mereka berakhir.

Saat aku selesai menonton film yang sudah kulihat puluhan kali dengan penuh perhatian, hari sudah pagi saat aku masuk ke dalam selimut.

Tanggal 27 Agustus. 

Saat aku terbangun, sudah lewat tengah hari. Hikaru, yang bangun lebih pagi meskipun kami begadang bersama, membangunkanku dengan menyentuh pipiku. Aku menggosok-gosok mataku sambil bersiap-siap, mengucapkan terima kasih kepada nenek Hikaru, dan menuju stasiun Tokyo.

Aku merasa aneh melihat banyak orang, ternyata hari ini adalah hari Minggu. Aku baru menyadarinya setelah melihat kalender di ponsel. Rasanya aku kehilangan rasa waktu.

Aku tidur sepanjang perjalanan didalam Shinkansen, sehingga saat tiba di tujuan, rasanya seperti teleportasi. Hikaru tampaknya sudah selesai membaca novel yang dibeli di stasiun.

Kami tiba di stasiun lokal sekitar pukul 17.00. 

Karena pelarian ini, mungkin sebaiknya kami pergi jauh dari tempat asal. Selain itu, membunuh seseorang di daerah asal Hikaru berisiko tinggi. Kami awalnya membahas kemungkinan berpindah hingga ke Hokkaido atau Kyushu tanpa alasan yang jelas. Menghabiskan perjalanan sampai akhir musim panas terdengar menarik. Semakin jauh tujuannya, semakin baik.

Namun, akhirnya kami kembali ke kota berkabut di Hokoriku. Ini adalah keputusan Hikaru. Dia mengatakan bahwa lebih praktis melanjutkan permainan pembunuhan di tempat yang dia kenal. Aku juga merasa canggung membunuh nyawa orang yang tidak dikenal, jadi aku mengikuti sarannya. Meskipun tetap di area tempat kejahatan dilakukan berisiko, aku rasa kami bisa bertahan hingga 31 Agustus.

Udara di Hokoriku terasa lebih ringan daripada di Tokyo. Sepertinya udara di daerah pedesaan lebih transparan, hanya dengan menarik napas lembut, udara lembut langsung masuk ke hidungku.

"Sepertinya kita harus membeli kacamata atau sesuatu," kataku saat melewati gerbang dengan IC card dan melihat Hikaru di sisi lain.

Hikaru mengenakan topi dan masker. Aku menyarankan agar dia juga menyembunyikan area matanya, tetapi dia menolak karena itu justru akan membuatnya lebih mencolok. Meskipun sudah menyamar, seseorang yang mengenalinya pasti akan memperhatikannya.

"Aku belum tahu apakah polisi masih mencari-carinya, tapi kurasa kita harus mengurangi paparan kepada publik."

Jika mayat ibu dan ayah tirinya ditemukan, yang pertama dicurigai adalah anaknya yang hilang.

"Memang benar, kita harus berhati-hati," aku mengangguk. Perilaku Hikaru tampak sangat biasa hingga membuatku meragukan apakah dia benar-benar seorang pembunuh. Aku mendengar bahwa dia menyembunyikan mayatnya agar tidak segera ditemukan, tapi itu hanya masalah waktu. Jika polisi mulai mencari Hikaru dengan serius setelah mayatnya ditemukan, dia akan segera ditemukan.

"Hikaru, sebaiknya kamu lebih waspada. Kamu harus lebih sadar bahwa kamu seorang pembunuh."

"Aku akan berusaha," jawabnya.

Dari luar, kami tampak seperti teman yang bercanda setelah berlibur di akhir pekan. Tidak ada yang akan mengira kami pulang setelah gagal membunuh seseorang, atau bahwa salah satu dari kami adalah pembunuh yang telah membunuh dua orang. Itu terasa aneh.

Saat kami menuju eskalator keluar dari stasiun, aku bertemu tatapan seorang gadis yang berjalan ke arah kami.

"Eh..."

Itu adalah Misaki. Mungkin dia baru saja pulang dari suatu tempat. Karena dia tidak mengenakan kacamata dan berpakaian santai, aku tidak mengenalinya dari jauh. 

"Ini kebetulan sekali," katanya sambil melambai kecil, aku berusaha untuk mengakhiri percakapan, tetapi dia berdiri di depan kami dengan wajah yang sangat serius. Aku dan Hikaru terpaksa berhenti. 

"Kalian berdua habis pergi dari mana?" 

"Ya, gitulah," jawabku dengan samar. Hikaru hanya menatap jauh ke depan, tampak jelas tidak peduli. 

Misaki menyadari bahwa yang berada di sampingku adalah Natsuno Hikaru. Itulah sebabnya aku bilang untuk menyembunyikan wajahnya dengan baik. 

"Aku khawatir," kata Misaki dengan serius. "Kamu tidak datang ke sekolah sejak hari upacara pembukaan, dan kamu juga tidak membalas LINE ku." 

Aku meminta maaf, tetapi ekspresi wajah Misaki tetap tidak berubah. 

"Rin, apakah kamu berkencan dengan Natsuno-senpai?" 

"Tidak," jawabku segera. 

Misaki membuka mulutnya seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya dia hanya terdiam. Aku ingin segera pergi dari situasi ini, jadi aku bertanya, "Apakah sudah cukup?" dan melewatinya. Hikaru juga mengikutiku dalam diam. Misaki tidak mengejar kami. 

Beberapa waktu yang lalu, aku berpikir bahwa Misaki adalah orang yang paling "dekat" denganku di antara orang-orang di sekitar.

 —Tapi, itu pasti salah. Melihat Hikaru yang berjalan di depanku, ku yakin akan hal itu. 

Misaki pasti tidak merasakan apa-apa saat melihat halte bus tua di tepi laut atau awan cumulus di hari musim panas. Dia berbeda dari kami. 

"Kalau begitu, sampai jumpa di sekolah." 

Aku berbalik dan berkata. Aku tidak tahu apakah hari itu akan datang. 

Aku berjalan bersama Hikaru di depan stasiun desa yang sepi, melewati deretan toko yang sering terlihat di desa. Hampir semua toko tutup, dan yang buka pun tampak sepi, tidak jelas apakah mereka benar-benar beroperasi. 

"Aku akan memesan hotel, tapi, gimana denganmu Rin?" 

"Ah, aku akan pulang ke rumah, jadi tidak apa-apa." 

Aku berpikir, bagaimana mungkin pulang ke rumah saat dalam pelarian ini? Namun, jika aku pulang, orang tuaku tidak akan menyadari apa-apa, jadi rumah dan hotel tidak jauh berbeda. Barang-barangku yang ku bawa hanya untuk upacara pembukaan, jadi aku ingin segera pulang untuk mengambil barang-barangku. 

Bus yang seharusnya ku naiki melintas perlahan-lahan di samping Hikaru, jadi aku berkata, "Kalau begitu, aku pergi dari sini," dan berlari menuju halte. Setelah sampai, aku menoleh dan bertanya kepada Hikaru, 

"Selanjutnya kita mau ke mana?" 

—Siapa yang akan kita bunuh selanjutnya? 

Hari ini juga sangat panas. Seolah-olah musim panas mengeluarkan sisa panasnya untuk memancarkan udara panas. Suara hewan malam yang meratapi akhir musim panas terdengar lembab. 

Aku sudah berusaha melewati batasan moral yang melarang untuk membunuh seseorang. 

Udara tengah malam sangat jernih. 

Di ruang yang transparan tanpa adanya kotoran, hanya ada kesunyian. Lampu yang berkedip, peralatan bermain yang dingin, dan bangku tempatku dan Hikaru duduk, semuanya larut dalam kegelapan malam, membunuh bentuk aslinya. 

Kami berkumpul kembali di taman dekat stasiun sekitar tengah malam setelah berpisah sore tadi. Kami harus membicarakan rencana untuk hari esok. Aku menyarankan untuk bertemu di hotel tempat Hikaru menginap, tetapi karena jaraknya sedikit jauh dari rumahku, taman ini dipilih sebagai tempat pertemuannya. 

"Apakah kamu sudah memutuskan siapa yang akan menjadi target selanjutnya?" tanya Hikaru sambil meneguk kopi kaleng. 

Kami yang sedang makan snack panas yang ku beli di konbini untuk makan malam agak terlambat terlihat seperti orang mencurigakan. Sebelum ditanya, kami buru-buru menelan ayam goreng. 

"Sebelum itu, aku ingin bertanya," aku memulai sambil melipat kertas bungkus sosis Amerika yang sudah ku habiskan. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku sejak malam kemarin. 

"Apa?" 

"Apakah semua orang yang ingin kamu bunuh adalah orang-orang terdekatmu?" 

Orang pertama yang dibunuh Hikaru adalah ibu kandungnya, kemudian ayah tirinya, dan orang yang ingin dia bunuh berikutnya adalah ayah kandungnya. Semua orang itu memiliki hubungan darah atau hubungan keluarga secara hukum dengannya. 

Aku tidak langsung menanyakan motifnya, tetapi mungkin itu adalah pembunuhan yang dilakukan setelah bertahun-tahun menyimpan dendam. Aku tidak tahu karena aku belum pernah membunuh anggota keluargaku, tetapi banyak orang yang ku lihat dalam film tentang pembunuhan keluarga melakukan hal yang sama. Jadi, aku merasa sangat kekanak-kanakan dan malu karena ingin membunuh orang lain dengan alasan yang sepele. 

"Tidak, selanjutnya adalah orang lain," jawab Hikaru dengan tenang. 

Meskipun dia tetap tenang setelah membunuh dua orang, suara yang keluar dari mulutnya sesekali mengandung kebengisan yang mencerminkan sifat manusia yang gila. Dia juga, sepertiku, telah kehilangan moralitas yang tepat di bawah panas musim panas. 

"Begitu ya." 

Aku sedikit terkejut mendengar jawaban itu. Aku tidak memiliki gambaran bahwa dia membenci orang asing. 

"Jadi, Rin, siapa yang akan kamu pilih selanjutnya?" 

Hikaru bertanya dengan nada mendesak, jadi aku menelan keraguanku dan menyebutkan nama orang yang ingin ku bunuh. 

" Gotou-sensei." 

Aku mengatakannya pelan ke dalam kegelapan malam, dan Hikaru tampak terkejut. 

"Apa itu, targetmu?" 

"Aku juga berpikir untuk menjadikan Gotou-sensei sebagai targetku." 

"Eh, tidak mungkin." 

Aku juga terkejut dengan kesamaan yang mungkin menjadi hal paling memalukan bagi Gotou. 

Gotou adalah wali kelas kami tahun lalu. Sekarang, dia menjadi wali kelas di kelas Hikaru saat kami naik ke tahun ketiga. Dia adalah seorang guru matematika berusia tiga puluh tahun. Meskipun tingginya tidak terlalu tinggi, dia terlihat besar karena tubuhnya yang gemuk. 

Cara dia berinteraksi dengan kami terasa dekat, seolah-olah dia adalah guru yang baik, tetapi dia tidak pandai berteriak dengan suara tinggi. Itu saja. Dia juga tidak memiliki alasan khusus untuk kubunuh, seperti Honda Airi, tetapi dia adalah orang yang muncul dalam pikiranku ketika mempertimbangkan orang-orang yang ingin kubunuh. 

"Semua ini karena musim panas, kan? Itu sudah cukup." 

Aku teringat kata-kata Hikaru. Ya, itu sudah cukup. 

Hidup yang tidak berarti ini, aku tidak peduli apa yang akan terjadi ke depannya. Aku tidak peduli apakah seseorang akan menderita karena dosa yang ku lakukan. Sekarang, aku hanya ingin menikmati permainan egois bersama Hikaru. 

"Bagus, aku masih bertemu dengan Gotou-sensei minggu lalu. Dia pasti masih hidup." 

"Bagus atau buruk?" 

"Karena kita sudah memilihnya, Rin boleh mengubah orang lain. Aku akan bertanggung jawab untuk membunuh Gotou-sensei." 

"Jangan bertanggung jawab untuk hal seperti itu." 

"Gotou-sensei itu tubuhnya besar, jadi ku rasa Rin tidak bisa membunuhnya," tambah Hikaru. 

Aku kembali membayangkan wajah orang-orang yang telah ku benci selama ini. 

"Memiliki otak yang cerdas tidak berarti menjadi orang baik, itu pasti tidak benar. Di sekolah yang baik pun, ada banyak orang yang tidak berguna. 'Yonagi, berapa banyak pengalamanmu?' tanya Iida dengan lelucon cabul, mencoba melihat reaksinya. 'Yonagi itu orang yang introvert, hanya pengikut Serina,' kata Yamamoto dengan suara rendah seolah-olah mengejek. Di hari hujan, Nakano masuk ke payungku, sementara beberapa laki-laki di belakang tertawa melihatnya. 

Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang membuatku merasa terhubung. 

"Kalau begitu,"  Aku tergerak dan berkata, 

"kalau begitu, ayo kita lakukan bersama." 

Ayo kita bunuh bersama. Cara ajakan yang terasa akrab, seperti mengajak ke konbini. Membeli camilan dan membunuh orang adalah dua hal yang sangat berbeda. Beberapa hari yang lalu, aku bertanya kepada Hikaru, "Apakah kamu mengerti apa artinya membunuh seseorang?" dan sekarang aku sepenuhnya melupakan kengerian itu. 

Malam itu panas. Terik matahari di siang hari seolah-olah menguap menjadi uap yang tetap bersarang di malam hari, membuat kepalaku berputar dan merasa tidak enak. 

Semua ini karena musim panas. Aku terlibat dalam permainan yang buruk ini, dan aku tidak merasa ragu untuk menganggap nyawa sebagai hal yang sepele. Ini semua bukan salahku, tetapi kesalahan musim panas ini. Hikaru mengatakan itu sudah cukup. 

"Karena sudah larut, mari kita bicarakan rencana yang lebih rinci besok pagi." 

"Baiklah. Sampai jumpa besok." 

Setelah mengatakan itu, aku berdiri dan meninggalkan taman.

Ketika aku pulang ke rumah, sepatu orang tuaku berjejer di depan pintu. 

Aku melepas sneaker dan masuk ke dalam rumah. Orang tuaku yang individualis biasanya langsung kembali ke kamar mereka, jadi tidak ada siapa pun di ruang tamu. 

Aku mengambil botol teh dari kulkas dan menuju ke kamarku. Begitu masuk, aku meletakkan ransel di lantai dan menyalakan pendingin udara. Di akhir bulan Agustus, meskipun malam, panas musim panas masih terasa. 

Aku terjatuh ke tempat tidur dan merenungkan semua hal yang telah terjadi. Aku merasa seolah-olah telah memikirkan sesuatu selama tiga hari terakhir. 

"…Ini jadi masalah besar." 

Aku membisikkan itu sambil menekan wajahku ke bantal. 

Aku merasa ini adalah tiga hari terpadat dalam hidupku. Aku sangat lelah. Aku ingin menyerah pada pemikiranku, tetapi otakku terus berputar tanpa henti. 

Malam musim panas sedikit terasa sepi. Entah baunya atau suara serangga, sesuatu yang tidak jelas mengganggu bagian lemah dalam hatiku. 

Seandainya Hikaru membawa ponsel-nya. Jika saja, aku bisa meneleponnya dan mendengar suaranya sekarang. Dia pasti bisa menghilangkan rasa cemasku. 

Aku bergerak cepat dan bangkit. 

Pertama, aku menggantung seragam yang kusut di dalam tas, lalu mengeluarkan semua barang yang tidak diperlukan untuk pelarian, seperti map dan kotak alat tulis. Tempat yang akan ku tuju bukanlah sekolah. 

Setelah mengosongkan tas, aku mulai mengisi barang-barang yang diperlukan. Pakaian ganti, dompet, pengisi daya. Meskipun aku akan membunuh seseorang besok, entah kenapa aku merasa seperti akan pergi berlibur. 

Saat mencari power bank, aku mengacak-acak laci dan menemukan catatan yang terlipat. Setelah ku buka, ternyata itu adalah catatan matematika yang hilang sejak sekitar bulan Juni. 

Aku duduk di tepi tempat tidur dan membolak-balik halaman catatan. Di atas catatan pelajaran, ada banyak garis aneh, mungkin karena aku tertidur di tengah pelajaran. Syukurlah tahun ini bukan Gotou-sensei yang menjadi guru matematika. Gotou-sensei yang sangat ketat pada siswa yang tidur di kelas pasti akan memanggilku dan memarahiku habis-habisan. 

Di luar rumah, suara serangga berbunyi monoton. Suara halus serangga, suara Gotou-sensei yang tinggi, dan suara Hikaru. Di antara semuanya, hanya suara yang keluar dari mulut Hikaru yang berarti bagiku. 

Aku menutup catatan dan membuka album foto yang diberikan Hikaru dengan lebih hati-hati daripada saat membuka buku teks matematika.

Pertama kali aku berbicara satu lawan satu dengan Gotou-sensei adalah sekitar akhir bulan April tahun lalu. 

"Yonagi, kamu benar-benar sudah tamat." 

Sekitar dua puluh hari setelah aku naik ke kelas dua dan mendapatkan kelas baru. Sepulang sekolah, Gotou-sensei memanggilku ke ruang guru dan mengatakan itu. 

Sambil melihat pria gemuk yang duduk menyandar di kursi putar abu-abu yang murah, aku menjawab dengan kepala dingin, "Tamat, maksudnya apa?" 

Kalau kamu bilang tamat, itu adalah kata yang digunakan oleh siswa SMA dalam obrolan santai. Itu bukan kata yang digunakan oleh guru untuk mendidik muridnya. Dia mungkin ingin memasukkan nuansa akrab dan mudah didekati, tetapi sebagai seorang guru, dia seharusnya lebih tepat dalam berbicara. Selain itu, jika dia berbicara tanpa menyebutkan objeknya, aku tidak mengerti bagaimana maksudnya 'tamat'. 

"Hah?" Wajah Gotou-sensei tampak tidak senang. "Apa kamu sedang mengolok-olokku?" 

Aku hanya bertanya tentang sesuatu yang ku ragukan. Salah satu alasanku tidak bisa menghormatinya sebagai orang dewasa adalah karena dia memiliki ambang kemarahan yang rendah. 

"Nilai." 

"Ah." 

"Tes kemampuanmu, sangat buruk. Jika kamu tidak mau belajar, lebih baik masuk jurusan sosial." 

Dia adalah seorang guru matematika yang sangat mendukung jurusan sains. 

Sepertinya Gotou-sensei sangat marah. Alasan dia memanggilku mungkin untuk mengeluh tentang penurunan nilaiku, tetapi dia juga cepat marah dengan tindakan kecilku. Aku merasa sebaiknya tidak mengatakan hal yang tidak perlu. 

"Mulai sekarang, aku akan meningkatkan waktu belajarku. Aku juga akan melakukan persiapan dan ulasan setiap hari." 

Aku mengucapkannya dengan lancar seperti mesin. Jika aku mengatakan ini, guru tidak akan bisa mengeluh. 

"Dan juga—"

Dengan rasa kesal, aku menghadapi Gotou-sensei. 

"Kamu belum meminta maaf pada Serina, kan?" 

Sebuah rasa dingin yang mengerikan menyebar di punggungku. Aku tidak pernah menyangka bahwa nama Serina akan disebut oleh Gotou-sensei. Tahun lalu, dia hanya menjadi guru matematika di kelasku, tetapi dia pasti tahu bahwa kami dekat. Alasan mengapa hubungan kami memburuk juga mungkin telah diceritakan oleh Serina, meskipun tidak sesuai dengan kenyataan—mungkin bagian tentang pelecehan yang mereka lakukan padaku sama sekali tidak diceritakan. 

"Jika kamu telah menyakiti seseorang, mintalah maaf. Kamu sudah siswa SMA," kata Gotou-sensei. 

Aku merasa bingung mendengar orang dewasa yang hanya mendengar satu sisi cerita lalu memutuskannya secara sepihak. Namun, aku tahu bahwa membantah tidak akan ada gunanya, jadi aku menunjukkan itikad baik meski hanya untuk kepura-puraan. 

"Baiklah, aku mengerti dan akan berhati-hati," kataku dengan tenang.

"Apa itu sikapmu?" Gotou-sensei menarik napas dalam-dalam dan wajahnya memerah. "Apakah kamu terus-menerus mempermainkanku?!"

Ku rasa sikapku saat ini tidak pantas untuk dimarahi. Aku tidak bermaksud mempermainkan Gotou-sensei sama sekali. Mungkin dia merasa aku tidak menyesal karena aku menjawab dengan tenang. Mungkin dia ingin aku menunjukkan sikap yang lebih seperti siswa SMA—tapi itu, biarpun aku mati sekalipun, tidak akan kulakukan.

Saat Gotou-sensei terdiam, aku segera bergerak dan berlari ke koridor. 

"Hei!" 

Aku tidak mungkin kalah dari guru gemuk dalam hal kecepatan. Aku berlari menuruni tangga dengan cepat dan berhenti sebentar di platform untuk melihat ke belakang. 

"…Yonagi!" 

"Berisik, bangsatttt!" 

Sejak hari itu, aku berhenti pergi ke sekolah.

Mobil melaju dari depan, jadi aku mundur ke belakang Hikaru. 

"Aku sudah mendengar rumornya, tapi ternyata memang parah," kata Hikaru setelah aku selesai berbicara.

"Benarkah? Jadi sudah jadi rumor?"

"Ya, katanya kamu melarikan diri setelah mengucapkan kata-kata yang mengerikan saat dimarahi oleh guru," jawab Hikaru.

"Aku hanya bilang 'bangsat', itu kan kata-kata yang imut."

"Memang benar, kata-kata yang imut."

"Hikaru memang pintar."

Tanggal 28 Agustus. 

Jam sudah lewat pukul enam sore. Seiring dengan berakhirnya musim panas, hari semakin pendek, dan saat ini matahari hampir terbenam. 

Aku mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Hikaru, dan aku tidak familiar dengan geografi di sekitar sini. Mungkin kami sedang berjalan di sekitar sekolah, tetapi karena ini sisi yang berlawanan dari jalur sekolahku, rasanya seperti berjalan di kota yang tidak kukenal. 

Sambil mengikuti Hikaru, aku melihat lingkungan sekitar. 

Aku selalu memeriksa berita online setiap hari, dan hingga saat ini, tidak ada laporan tentang pembunuhan di kota ini. Aku bisa berasumsi bahwa jenazah orang tua Hikaru belum ditemukan. 

Namun, aku ingin berhati-hati. 

Aku khawatir jika penyelidikan polisi sudah dimulai, dan ada orang yang mengetahui situasi kita dan melaporkan ke 110. Hikaru mengenakan topi, tetapi itu tidak cukup untuk menyembunyikan aura musim panasnya, dan jika seseorang pernah melihat fotonya, pasti akan mengenali dia. 

Karena tidak ada percakapan khusus, aku bertanya tentang hal yang paling membuatku penasaran. 

"Kenapa Hikaru memilih Gotou-sensei?"

"Kita sudah tiba, itu di sana," jawab Hikaru, memotong pertanyaanku dan melanjutkan langkahnya. Aku cepat-cepat mengikuti dia.

"Eh, di sini?" 

Aku terkejut melihat sebuah rumah bergaya Barat yang megah di depan mataku. Di samping gerbang, ada papan nama bertuliskan "gotou". 

"Jadi, Gotou-sensei tinggal di rumah sebesar ini. Tidak terduga ya."

"Kata orang-orang, orang tuanya kaya," kata Hikaru.

Rumah Gotou-sensei adalah sebuah rumah besar bergaya Barat. Di garasi terparkir mobil mewah, dan meski kecil, ada halaman depan. Gerbang yang menghiasi jalan menuju pintu rumah dihiasi dengan dekorasi yang halus.

Hikaru tampaknya sudah biasa mengunjungi rumah Gotou-sensei. Aku tidak pernah mendengar siswa diundang ke rumah guru mereka. Aku merasa ini tidak terlalu baik, tetapi Hikaru bilang dia hanya pernah datang sekali untuk mendapatkan buku referensi. Rasanya perlakuan terhadap siswa yang berprestasi sangat berbeda.

Aku pernah melihat rapor ujian tengah semester Hikaru sebelumnya, dan dia mendapatkan hampir dua kali lipat nilai dari kebanyakan mata pelajaran dibandingkanku. Meskipun nilai akademikku sangat buruk, Hikaru tetap luar biasa. Mungkin hasil dari pendidikan keras ibunya.

Menurut informasi dari Hikaru, klub yang dibimbing Gotou-sensei libur pada hari Senin, jadi dia sudah pulang ke rumah hari ini. 

"Setelah ayahnya meninggal tahun lalu, ibunya di panti jompo. Sekarang dia tinggal sendiri di rumah ini."

"Dia belum menikah, kan?"

"Ya."

"Kesepian, ya?"

Kesepian bagi siapa? Apakah bagi Gotou-sensei yang tinggal sendirian di rumah besar ini dan belum menikah, ataukah bagiku yang terlibat dalam pelarian pembunuhan tanpa masa depan?

"Kalau begitu, dengarkan skenario pembunuhannya ini," kata Hikaru.

Rencana pembunuhan seharusnya disusun oleh Hikaru. Aku belum mendengarnya, dan dari fakta bahwa Hikaru membeli tali plastik di apotek tadi, tampaknya ini akan menjadi kasus pembunuhan dengan cara mencekik. Namun, aku tidak tahu kapan dan bagaimana kami akan melakukannya. Hikaru tetap keras kepala dan hanya berkata akan memberitahuku tepat sebelum pelaksanaannya.

"Instruksi akan diberikan nanti, jadi untuk sekarang, kamu hanya perlu berdiri di sampingku" kata Hikaru sambil menekan bel pintu.

"Apakah ini sudah cukup?" 

Membunuh bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan sembarangan. Seharusnya diperlukan perencanaan yang teliti, pikirku, karena aku kadang membaca novel misteri. Namun, karena bertanya-tanya secara berlebihan bertentangan dengan kebiasaanku, aku tidak bertanya lebih lanjut. Lagipula, Hikaru adalah orang yang pintar, jadi pasti ini tidak masalah.

Sementara aku berpikir, pintu masuk terbuka dan Gotou-sensei muncul. 

"Selamat datang, Natsuno," kata Gotou-sensei.

Ternyata Hikaru telah menghubungi Gotou-sensei sebelumnya.

"Selamat siang."

Melihat mantan guruku setelah sekian lama, tubuhku secara otomatis menjadi kaku. Aku masuk ke dalam sambil bersembunyi di belakang Hikaru, meskipun jantungku masih berdegup keras.

Akhirnya, Gatau-sensei menyadari keberadaanku. Setelah terkejut dan menggoyangkan bahunya, dia menatapku dengan tatapan sinis. Sebelum Gotou-sensei sempat bertanya apa yang kami lakukan di sini dengan suara tingginya seperti biasanya, Hikaru berbicara terlebih dahulu.

"Aku yang mengajaknya," kata Hikaru dengan senyum siswa berprestasi. "Bolehkah kami mengganggu?"

Gotou-sensei mengangguk dengan raut wajah tidak senang. Aku hanya menunjukkan wajah menyesal sebagai formalitas.

Setelah kami naik ke ruang tamu yang megah, kami dipandu ke meja di ruang makan yang luas. Selama itu, Gotou-sensei tidak pernah sekali pun menatapku. Mungkin dia belum memaafkan kejadian hari itu.

Sambil waspada tentang apa yang akan dikatakan, aku duduk di kursi yang dipersiapkan oleh Hikaru.

"Sejak upacara pembukaan hingga sekarang, aku khawatir karena kamu tidak hadir kesekolah," kata Gotou kepada Hikaru.

"Rasanya aku tidak terlalu tertarik," jawab Hikaru dengan senyum seperti siswa berprestasi.

"Yah, kadang-kadang penting juga untuk tidak masuk sekolah."

Meskipun Gotou-sensei dulu sering meneleponku dan mengkritik tentang bolos dan bersikap malas, aku tidak memikirkan hal-hal kekanak-kanakan seperti itu. Aku mengerti bahwa bolos adalah hak istimewa bagi mereka yang telah bekerja keras. Namun, aku sedikit terkejut ketika Gotou-sensei mengatakan bahwa "bolos juga penting."

"Jadi, apa yang kalian lakukan di sini hari ini?"

Aku menjawab dalam hati, "Kami datang untuk membunuhmu." Sebuah tawa tidak pantas terlepas dari mulutku. Dulu aku tidak suka lelucon konyol seperti ini, tetapi dalam beberapa hari terakhir, nilai-nilai aku telah berubah karena Hikaru.

"Kami ingin bertanya tentang masalah matematika," kata Hikaru sambil mengeluarkan buku catatan dan buku referensi dari ranselnya dan mulai membukanya ke arah Gotou-sensei.

Aku bertanya dengan suara pelan tentang apa yang akan dilakukan selanjutnya, tetapi Hikaru tampaknya lebih fokus berbicara dengan Gotou-sensei dan tidak berniat menjawabku. Aku menyimpulkan bahwa Hikaru akan menyerang Gotou-sensei ketika dia lengah selama percakapan.

Aku melihat sekeliling dengan hati-hati untuk menghindari ketidaksopanan. Perabotan dan barang-barang yang ada ditempatkan dengan selera yang bagus dan sesuai dengan suasana ruangan. Mungkin ini adalah pilihan orang tua Gotou-sensei.

Setelah itu, aku hanya memperhatikan percakapan tingkat tinggi yang berlangsung di depanku dengan agak melamun. Di buku catatan Hikaru terdapat rumus dan diagram yang tampaknya sulit. Mungkin ini adalah materi yang dibahas di kelas, tetapi otak ku yang sering mengantuk tidak menyimpan informasi tingkat tinggi seperti ini.

Aku berpikir bahwa Hikaru benar-benar seorang siswa berprestasi. Baru-baru ini, citraku tentang Hikaru telah sepenuhnya berubah dari "manusia sempurna" menjadi "pembunuh aneh," dan aku sedikit terkejut.

Hikaru dan Gotou-sensei berbicara tentang masalah matematika selama sekitar satu jam, dan akhirnya kami mengatakan bahwa kami akan pulang. Kami menuju pintu masuk bersama Gotou-sensei. Akhirnya, aku tidak pernah berbicara langsung dengan Gotou-sensei.

"Besok datang ke sekolah, ya," kata Gotou-sensei sambil menepuk bahu Hikaru.

"Ha ha, aku akan berusaha," jawab Hikaru dengan mode siswa berprestasi dan membuka pintu keluar. Aku melangkah keluar di depan Hikaru dengan bingung.

"Eh, kita akan pulang seperti ini?" pikirku, hampir mengeluarkan kata-kata itu.

Melihat Hikaru mengucapkan terima kasih dengan senyuman kepada Gotou-sensei, aku mulai berpikir apakah ada kekurangan dalam rencana kami. Namun, tiba-tiba.

"Eh?"

Sebuah bentakan terasa di bahuku.

Beberapa detik kemudian, aku menyadari bahwa Hikaru telah mendorongku.

Saat aku mencoba menyeimbangkan tubuhku, pintu masuk tertutup dari dalam dan suara kunci diputar terdengar. Aku menyadari bahwa aku telah dikunci keluar dari rumah Gotou-sensei.

"…Apa ini?"

Aku terkejut dan bingung tentang apa yang terjadi ketika mendengar suara bising dari balik pintu.

"Hei! Apa yang kalian lakukan?"

Suara langkah kaki yang berat dan tergesa-gesa terdengar.

"Hikaru?"

Meskipun aku memutar gagang pintu, pintu terkunci dan tidak bisa dibuka. Aku mengetuk pintu, tetapi tidak ada tanda-tanda akan dibuka.

Detak jantungku semakin cepat.

"Hikaru!"

Saat aku memanggil dengan suara nyaring, terdengar suara dari balik pintu.

"…Ugh, ugh!"

Suara pukulan terdengar.

Kujumpai bulu kudukku berdiri.

"Berhenti! Hentikan!"

Suara sesuatu yang jatuh terdengar.

"A, ugh…"

Suara keluhan terdengar.

Aku tahu bahwa "sesuatu" itu adalah Gotou-sensei.

Kepalaku terasa kosong. Meskipun aku harus tahu apa yang terjadi, pikiranku tidak bisa menerima informasi tersebut.

"Hikaru!"

Suara pecahan kaca terdengar.

Aku teringat akan vas bunga di pintu masuk.

Aku menyadari bahwa napasku semakin cepat.

Kedengarannya ada getaran dan suara tumpul dari dinding atau lantai.

Ketika suara itu berhenti, suara tercekik yang membosankan mengguncang gendang telingaku.

Kemudian, setelah meninggalkan suara mengerang seperti binatang kelaparan yang sekarat, semuanya menjadi hening. Detak jantungku tetap cepat.

Sambil tertegun, setelah sekitar lima menit, pintu terbuka dan Hikaru keluar.

"…Wajahmu mengerikan."

Aku mengatakannya dengan satu kata. Suara tenangku mengejutkan diriku sendiri.

Sebenarnya, Hikaru yang tersenyum lemah melihatku membuatku merasa tenang. Aku baru kali ini melihat Hikaru setelah membunuh seseorang, dan citra "sosok sempurna" yang dulu aku anggap dia miliki sedikit terpecah. Ada memar di sekitar tulang pipi Hikaru. Itu mungkin terjadi saat Gotou-sensei melawan. Ada goresan merah kehitaman dari telinga ke lehernya.

"Segera pergi dari sini," kata Hikaru sambil menarik tanganku untuk pergi.

Tidak ada orang di jalan depan rumah. Kami berjalan cepat menjauh dari rumah Gotou-sensei.

"Kenapa kamu meninggalkanku?"

"Kalau kamu ada, hanya akan menghambatnya."

"Apa maksudmu?"

Aku tidak bisa menerima alasan itu. Seorang yang pintar seperti dia pasti punya banyak cara untuk menangani situasi tersebut.

Jika masalahnya adalah kekuatanku, dia bisa saja membuat Gotou-sensei tidur atau mendorongnya dari tangga. Jika membunuh bersama-sama tidak memungkinkan, aku setidaknya bisa berada di dekatnya. Itu sudah cukup untuk membuatku menjadi kaki tangannya.

Namun dia justru mengusirku dari tempat kejadian pembunuhan seperti orang dewasa menutup mata anak-anak dari pemandangan yang mengerikan. Apakah dia meremehkanku?

"Apakah kamu khawatir tentangku? Kalau begitu, itu terlalu berlebihan."

"Tentu tidak. Aku tidak akan mengundang orang yang aku khawatirkan ke permainan gila ini."

Perasaan itu tampaknya benar dan juga tidak benar sama sekali. Aku menutup mulutku dengan perasaan bingung.

"…Kamu bilang kita akan melakukannya bersama."

Saat aku berbisik dengan nada menyalahkan, Hikaru menurunkan alisnya dan tersenyum.

"Maafkan aku."

"Aku tidak akan memaafkanmu."

"Itu masalah."

"Berisik, sudah lebih banyak masalahkan."

Aku mengatakan itu sambil melepaskan tanganku yang masih digenggam Hikaru.

Angin hangat menerpa wajahku. Langit di barat masih sedikit terang, tetapi hampir malam. Suara obrolan terdengar dari rumah-rumah sekitar. Bau saus hamburger mengalir dari suatu tempat, dan aku berpikir sudah berapa tahun sejak terakhir kali makan malam bersama keluarga.

Saat aku diam, Hikaru menyikut bahuku.

"Keheninganmu aneh, apakah kamu ketakutan?"

Suara tumpul saat memukul tubuh, teriakan pria yang ketakutan, suara mengerang seperti binatang menjelang kematian.

Tidak ada jalan kembali.

"Betul sekali."

Aku mencoba tersenyum. Hikaru ikut tersenyum.

Aku tidak memerlukan keputusasaan. Aku sudah lama membuang perasaan itu. Yang ada hanyalah rasa ingin tahu dan egoisme.

"Ngomong-ngomong tentang besok, kita juga sudah berencana untuk membunuh Gotou-sensei, kan? Jadi, bagaimana kalau kita ambil hari libur satu hari?"

Saat kami meninggalkan rumah Gotou-sensei, aku mengatakannya.

Aku suka kombinasi aneh antara "pembunuh" dan "bermain" dan ingin menggunakan satu hari untuk bermain. Itulah salah satu alasan yang aku jelaskan kepada Hikaru, dan alasan lainnya adalah aku ingin menata pikiranku.

Aku teringat Hikaru yang keluar dari rumah Gotou-sensei. Meskipun dia tidak ketakutan, aku sedikit merasa tertekan.

Tanggal 29 Agustus.

Kali ini, aku tidak pulang ke rumah dan menginap di hotel yang sama dengan Hikaru, tentunya di kamar yang berbeda.

Selama perjalanan dari rumah Gotou-sensei ke hotel di depan stasiun, kami hampir tidak berbicara, dan setelah sampai di hotel, kami memasuki kamar masing-masing dalam keadaan diam.

Malam sebelumnya aku kesulitan tidur. Kepalaku tetap jernih, tidak ada rasa kantuk, dan ketika akhirnya aku tertidur di pagi hari, aku terbangun dalam beberapa menit. Mungkin pembunuhan yang terjadi di balik pintu memiliki efek stimulan seperti obat bius.

Aku membayangkan kejadian yang terjadi di balik pintu berkali-kali.

Gotou-sensei terkejut ketika Hikaru tiba-tiba menutup pintu, mundur dengan wajah bingung. Hikaru segera memukul Gotou-sensei, menjatuhkannya, dan menungganginya untuk mengikatkan tali plastik di lehernya, lalu menariknya dengan kuat. Gotou-sensei melawan dengan menggerakkan kakinya, tetapi Hikaru yang berada di atasnya lebih kuat. Ketika Gotou-sensei mati dengan memuntahkan cairan kekuningan, Hikaru membuka pintu dan melihatku yang tertegun.

Gambar-gambar yang diproyeksikan di layar otakku membuatku merinding. Namun, bersamaan dengan itu, aku merasakan semacam kegembiraan manis di otakku. Jika begini jadinya ketika melihat pembunuhan dari balik pintu, bagaimana rasanya jika aku sendiri yang melakukannya?

Sebaliknya, aku terkejut dengan perilaku Hikaru. Pembunuhan yang aku bayangkan sebelumnya dilakukan oleh Hikaru tampak lebih keren, seperti pembunuh dalam film yang melakukan tindakan secara elegan dan cepat.

Saat aku berpikir seperti itu, aku tiba-tiba tertarik pada keadaan Hikaru. Jam menunjukkan pukul tujuh. Jika Hikaru, dia seharusnya sudah bangun. Ketika menginap di rumah nenek Hikaru, dia selalu membangunkanku pagi-pagi, dan saat menginap di rumahku, selalu tidak ada lagi Hikaru ketika aku bangun.

Aku merapikan penampilanku sedikit dan mengetuk pintu kamar sebelah. Berlawanan dengan perkiraanku bahwa Hikaru akan segera keluar, tidak ada suara dari dalam kamar. Karena masih pagi, seharusnya dia tidak pergi ke mana-mana.  

Setelah beberapa saat terus mengetuk pintu, kunci dibuka tanpa suara.  

"Selamat pagi," kataku.  

Hikaru yang muncul dengan wajahnya terlihat dari celah pintu yang sedikit terbuka, rambutnya tampak berantakan.  

Dia menutupi wajahnya dengan tangan kirinya seolah-olah menghalangi cahaya, jadi aku tidak bisa melihat ekspresinya, tetapi ada sesuatu yang aneh. Ketika aku menyentuh lehernya dengan ujung jariku, aku merasakan suhu yang tidak normal, tidak seperti suhu tubuh normal.  

"Ada apa? Apakah kamu tidak enak badan?"  

Hikaru tidak menjawab.  

Aku memopong Hikaru yang bersandar dan menaruhnya ke tempat tidur, lalu berlari ke toko obat terdekat untuk membeli obat.  

Setelah mengetuk pintu, aku membuka kunci dan masuk. Hikaru tidur di tempat tidur dekat jendela, berbaring dengan punggung menghadap pintu.  

"Aku membawa Pocari,"   Aku mengeluarkan botol dari tas belanja dan membuka tutupnya, meletakkannya di meja samping.  

"Minumlah."  

Tidak ada jawaban.  

Aku berusaha mengelilingi dinding di samping tempat tidur dan memaksa diriku untuk berhadapan dengan Hikaru. Dia menutupi wajahnya hingga dahiku dengan selimut, jadi aku tidak bisa melihat wajahnya.  

Di telapak tangan Hikaru yang terjulur di luar selimut, ada bekas tali plastik yang tertinggal dari kemarin. Bekas luka yang menyakitkan itu tidak cocok dengan tangan yang lentur dan cantik, membuat hatiku bergetar.  

Ku yakin Hikaru pasti sangat kelelahan. Membunuh tiga orang pasti menguras tenaganya. Aku teringat kata-kata seorang pembunuh dalam film yang pernah ku tonton, yang mengatakan bahwa membunuh itu sangat melelahkan. Pembunuh itu mengatakan bahwa setelah membunuh, dia akan terbaring selama dua atau tiga hari. Bagaimana dengan Hikaru? Waktu pemulihan akan mempengaruhi rencana kami ke depan.  

Penampilan Hikaru yang lemah itu sangat baru bagiku. Meskipun aku merasakan ada sesuatu yang berbahaya, dia selalu tampak tenang dan percaya diri. Meskipun Hikaru adalah orang yang sempurna, dia pasti juga lelah dengan keadaan tidak biasa sejak pelarian pembunuhan ini dimulai.  

Aku mengulurkan tangan ke tempat tidur dan mengelus-elus kepala Hikaru beberapa kali, seolah-olah dia adalah boneka. Aku terkesan dengan bentuk kepalanya yang indah.  

"Ketika orang tuamu kau bunuh, kamu tidak merasa apa-apa."  

Segera setelah mengatakannya, aku menyesali kata-kata itu. Ketika aku melihat reaksi Hikaru dengan hati-hati, dia tampaknya masih tidur, dan aku merasa lega.  

Setelah menyimpan jeli yang ku beli di kulkas, aku duduk di atas tempat tidur lainnya. Sambil mengigit onigiri sarapan yang ku beli di konbini, aku memeriksa berita di internet. Tidak ada berita tentang Gotou-sensei. Aku mencoba mengirim LINE kepada Sasaki untuk mencari tahu, tetapi pesan ku tidak terbaca.  

Mengapa Hikaru memilih Gotou-sensei?  

Sulit untuk percaya bahwa Hikaru yang berprestasi mendapat perlakuan buruk dari Gotou-sensei. Tidak, toh permainan ini bukan tentang balas dendam, jadi "hanya sedikit menjengkelkan" pun bisa menjadi motif, dan aku sendiri juga merasakannya.  

Meskipun begitu, aku selalu ingin menggali lebih dalam tentang Hikaru.  

Ibu kandung, ayah tiri, ayah kandung, guru wali kelas. Mungkin dia sudah bertahun-tahun tidak bertemu ayah kandungnya. Apakah itu karena dendam bertahun-tahun, ataukah siapa saja pun bisa menjadi targetnya.  

Aku tersenyum kecil saat memikirkan hal itu. Dulu, aku tidak peduli sama sekali tentang hubungan dan emosi orang lain, tetapi sekarang aku sudah banyak berubah. Apakah tidak pantas untuk tersenyum dalam situasi seperti ini?  

"Aku merasa sejak bertemu dengan Hikaru, aku semakin mendekati kemanusiaan."  

Aku mengatakan itu dengan tenang, berpikir bahwa Hikaru tidak akan mendengarnya.  

Hikaru mungkin memiliki kekuatan khusus. Aku ingin tahu lebih banyak tentang dia. Ini adalah pertama kalinya aku merasa ingin tahu tentang seseorang sebanyak ini. Hikaru lah yang membuatku merasa seperti ini.  

"Rin, kamu sebenarnya adalah manusia."  

Suara serak terdengar dari dalam selimut.  

Sepertinya dia sudah terbangun.  

"Itu berarti kamu sudah menjadi normal."  

Sebaliknya, Hikaru menjadi orang yang gila. Sejak awal, mungkin dia memang sudah tidak waras, dan aku hanya tidak menyadarinya. Aku tidak bisa memahami orang lain lebih dari itu.  

Namun, kenyataannya adalah citraku tentang Hikaru telah hancur, dan keberadaannya dalam hidupku juga telah berubah besar.  

Hikaru Natsuno. Memiliki kecerdasan, penampilan, teman, segalanya. Dia adalah manusia sempurna. Anak yang dicintai Tuhan. Pernah mencoba bunuh diri. Pembunuh yang telah membunuh tiga orang.  

Jika dibandingkan dengan profil itu, aku adalah orang yang cukup normal.  

"Tapi ya, orang yang normal tidak akan mencoba membunuh orang lain."  

Aku tertawa dengan nada mengejek diri sendiri.  

Biasanya, aku akan mendapatkan balasan sarkastik, tetapi kali ini tidak ada kata yang keluar, hanya terdengar napasnya yang berat. Penghinaan yang ku lontarkan hanya menyisakan kekosongan.  

Aku melepas sepatu dan memeluk lututku di atas tempat tidur. Menyembunyikan wajahku di antara lutut, aku menatap punggung Hikaru dengan seksama.  

"…Cepat sembuh ya."  

Aku mengucapkannya dengan suara yang pasti tidak bisa didengar oleh Hikaru. Aku pasti akan merasa malu jika dia tahu bahwa aku merasa kesepian karena tidak bisa berbicara dengannya. Jika dia mendengarnya, aku bahkan berpikir untuk mati, dan aku tertawa sendiri.  

Saat itu, rasa kantuk yang nyaman mulai datang, dan aku perlahan-lahan menutup mataku.  

*

"Ketika serangga semakin banyak, kita tahu bahwa musim panas akan segera tiba," kata Hikaru sambil mengusir lalat kecil yang terbang dengan tangannya.

Udara lembap melekat di kulit pada bulan Juni. Minggu lalu, aku melihat di berita bahwa musim hujan telah dimulai. Saat ini, hujan tipis masih mengetuk jendela kaca. Aku dan Hikaru menghabiskan waktu dengan tenang di kamar pribadiku.

Saat aku bertepuk tangan, Hikaru terkejut dan mengangkat wajahnya dari buku yang sedang dibacanya. Aku berdiri dari tempat tidur sambil berkata, "Hanya membunuh serangga saja." Aku mengambil lalat kecil di telapak tanganku dengan selotip, melipatnya, dan membuangnya ke tempat sampah. Hikaru yang awalnya tampak penasaran melihat cara ini, kini sudah terbiasa.

"Sudah lama aku penasaran, tapi apa arti 'kanji positif' di kalender itu?" tanya Hikaru.

"Oh, ini," kataku sambil menggambar satu garis di tanggal hari ini di kalender. "Setiap hari, aku mencatat jumlah serangga yang ku bunuh."

"Minat yang sangat buruk," kata Hikaru sambil memandang dengan ekspresi jijik.

"Aku tidak merasa begitu," kataku sambil kembali ke tempat tidur dan membuka novel yang sedang kubaca.

"Aku hidup sambil memikul nyawa mereka yang telah aku bunuh."

"Itu sikap yang mulia," kata Hikaru sambil tersenyum. "Suatu saat, jika Rin menghadapi bahaya, mungkin banyak serangga akan datang untuk membantumu."

"Bagaimana itu bisa jadi cerita klasik? Itu sangat menjijikkan dan tidak menyenangkan."

Aku tertawa membayangkan banyak serangga yang muncul di sampingku saat aku hampir mati. Hikaru juga mulai tertawa karena reaksiku.

Suara tawa kami bergema di dalam kepala. 

Hujan turun deras.

*

Ketika aku terbangun dari tidur siang, tempat tidur Hikaru sudah kosong. Selimutnya masih dibiarkan dalam posisi seperti saat dia bangun.

"Ah, kemana dia pergi?" tanyaku, mulai khawatir apakah dia pergi untuk membunuh seseorang lagi, sebelum aku mendengar suara beep dari kamar mandi. Aku dengan hati-hati mendekati sumber suara dan menemukan Hikaru sedang menggunakan pelurus rambut di tengkuknya. Suara yang terdengar tadi ternyata adalah suara pengaturan suhu pelurus rambut.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanyaku sambil melihat Hikaru melalui cermin.

"Ya, jelas bisa dilihat," jawab Hikaru dengan suara malas.

"Aku tidak tahu."

"...Aku sedang menata rambut, karena akan pergi keluar."

"Bagaimana dengan suhu tubuhmu?"

"Sudah turun."

Hikaru kemudian dengan cekatan merapikan poni yang dibaginya di tengah.

"Kalau begitu tidak apa-apa."

Ketika aku berusaha pergi dari kamar mandi, Hikaru tertawa dengan suara kecil.

"Kenapa kamu tertawa?"

"Karena musim panas tahun lalu juga seperti ini."

Hikaru mematikan pelurus rambut dan menoleh untuk melihatku. Aku sempat bingung dengan apa yang dia maksud, tetapi segera menyadari arti kata-katanya. Memang benar, suhu tubuh tidak mungkin turun begitu cepat.

"Kalau saat itu Hikaru bilang itu bukan bunuh diri," kataku dengan kesal.

"Rin satu-satunya yang begitu mudah mempercayai 'baik-baik saja'," kata Hikaru sambil tertawa dan mengusap sudut mata kirinya dengan ibu jari.

"Apa itu?" tanyaku dengan suara rendah. "Mengatakan 'baik-baik saja' dan kemudian bertanya kenapa aku tidak menyadarinya? Itu sangat sombong."

Aku dianggap sebagai orang yang dingin. Dari SD hingga SMA, aku sering disebut begitu. Tak peduli apakah itu teman sekelas, guru, atau orang tuaku. Mereka berbicara dengan nada dingin, seolah-olah aku tidak memiliki perasaan.

"Kenapa aku yang harus disalahkan karena tidak bisa membaca pikiran orang lain? Jika kamu ingin seseorang menyadari perasaanmu, katakan saja secara langsung."

Perasaan orang lain tidak bisa diketahui jika tidak diberitahukan. Itu berbeda dari matematika atau bahasa Inggris.

Kenapa aku harus bisa memahami perasaan yang hanya diketahui oleh orang itu sendiri? Dan meskipun begitu, aku merasa heran mengapa orang-orang berpikir mereka bisa melakukan hal tersebut.

Mereka menyimpulkan perasaan orang lain dan kemudian menyalahkanku karena tidak bisa melakukan hal yang sama. Bukankah itu tidak adil?

"Memang benar apa yang Rin katakan," kata Hikaru setuju. "Namun, kenyataannya banyak orang yang menganggap kepekaan sebelum orang lain berbicara sebagai bentuk kebaikan."

"Semua orang itu egois," keluhku. Aku sadar bahwa ucapan ini mungkin tidak tepat dari seseorang yang berusaha membunuh orang karena musim panas.

"Baiklah," kata Hikaru sambil menutup tutup wax rambut dan berbalik melihatku.

"Persiapan sudah selesai."

Di depanku, ada Hikaru yang terlihat sedikit pucat, tetapi tetap seperti biasanya. Aku tersenyum dan mengulurkan tanganku kepadanya.

"Ayo pergi bermain, si pembunuh." 

*

Aku pernah melihat pemandangan seperti ini dalam film. Cahaya matahari yang menyinari dari seberang cakrawala memantul di permukaan air, menciptakan gelombang-gelombang emas yang mengalir seperti benang. Ketika aku menyipitkan mataku karena silau, aku melihat sekawanan burung yang terbang jauh.

Matahari yang hampir terbenam dan permukaan air yang berkilau, pantai yang cahaya langitnya kemerahan. Itu mirip dengan adegan terakhir dalam "Summer Hymn," di mana Kaito dan Masaki berlari di pantai.

"Sejujurnya, aku berharap kita bisa pergi ke taman hiburan atau sesuatu," kata Hikaru.

"Ini tak bisa dihindari," kataku.

"Jarang sekali kau bersikap lembut."

"Menjengkelkan, merasa rugi sesudah bersikap lembut."

Setelah bertengkar seperti biasa, aku menendang air laut yang dangkal. Tetesan air terasa menyegarkan di kulitku. Setelah berjalan-jalan di tepi pantai selama beberapa waktu, kami duduk di tepi pantai, menghadap laut.

"Aku merasa ada tatapan manusia di punggungku."

"Kenapa ya?"

"Berisik, pria yang populer."

Saat kami bertemu lagi di perpustakaan, aku juga merasakan tatapan semacam ini. Namun, tatapan itu hanya datang dari cahaya.

"Kurasa orang-orang mengira kita pasangan."

"Itu sangat tidak sesuai harapanku."

Aku menatap orang-orang yang sering melirik kami. Ada wanita muda dan juga orang tua. Aku berpikir apa yang mereka lakukan pada usia seperti itu. Aku merasa lebih percaya diri dari biasanya. Sejak pelarian ini dimulai, aku semakin seperti ini. Setelah banyak hal yang kuletakkan, aku sudah tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain tentangku. Sekarang hanya cahaya yang penting bagiku.

Aku mengalihkan tatapan kembali ke laut. Ombak putih mengganggu pandanganku dan aku menyipitkan mata. Batas antara langit dan laut bersinar emas oleh cahaya matahari, memanjang lembut hingga jauh ke cakrawala. Aku menggenggam lututku dan terus menatap matahari yang tenggelam di balik cakrawala tanpa merasa bosan.

"Akan menyenangkan jika kita bisa hidup hanya dengan melihat pemandangan yang indah seperti ini," aku berbisik dengan suara kecil yang nyaris kalah dengan suara ombak.

"Itu tidak mungkin," kata Hikaru dengan tenang.

"Aku tahu," jawabku sambil menatap langit merah jambu. "Itulah sebabnya aku melakukan hal ini sekarang."

Aku berusaha untuk tidak memikirkan apa yang akan terjadi setelah permainan ini berakhir, setelah tanggal 31 Agustus. Kami berdua sudah berusia delapan belas tahun, batasan hukum remaja menjadi kabur. Aku belum langsung terlibat dalam tindakan kekerasan, jadi ini bisa dianggap sebagai bantuan pembunuhan. Bagaimana dengan Hikaru yang telah membunuh tiga orang? Apakah dia akan dihukum mati?

Aku berhenti berpikir. Tidak ada gunanya.

Sambil berpura-pura melihat laut, aku diam-diam mengalihkan tatapanku ke arah Hikaru. Dari lengan yang terlihat dari lengan kaos putihnya, ke bahu, ke leher putihnya, aku mengikuti tatapanku ke wajah samping Hikaru. Angin lembut dari laut mengalirkan poni ke belakang.

Hanya aku yang tahu bahwa wajah tampan yang diterangi matahari sore ini adalah wajah seorang pembunuh. Aku merasa jika aku terus melihatnya, Hikaru akan tampak semakin menarik. Aku berpikir ini berbahaya dan berusaha cepat-cepat mengalihkan tatapanku, namun sudah terlambat. Mata indah Hikaru bertemu dengan mataku dengan jelas.

"Ada apa?"

Dengan suara lembut seperti matahari terbenam, Hikaru bertanya. Aku belum pernah melihat pembunuh dengan suara yang begitu hangat dalam film manapun. Suaranya sama persis dengan Hikaru sebelum musim panas ini dimulai, sebelum dia menjadi seorang pembunuh.

Jika kupikir-pikir, kami hanya bertemu selama setahun dan periode interaksi kami jauh lebih singkat. Namun, Hikaru adalah orang yang paling memahami dan mitra terbaikku, dan kami sedang menuju kehancuran bersama. Rasanya aneh sekali.

Sekarang. Sekarang ketika aku bisa mendekatinya, apakah aku diperbolehkan untuk mengungkapkan perasaan yang telah aku tahan selama ini──

"He, Hikaru, kenapa kamu mencoba mati hari itu?"

Aku terus berpikir tentang ini di sudut kepalaku. Pada musim panas itu, seorang siswa laki-laki duduk di jendela lantai empat. Setelah aku melihatnya, dia tampaknya berubah pikiran dan mengatakan, "Aku akan berhenti untuk sementara," lalu berbicara tentang film dan novel seolah-olah tidak ada yang terjadi, dan kini dia melarikan diri bersamaku.

Hikaru membuka mulutnya dengan tenang.

"Aku tidak memiliki masa depan."

Gelombang kecil yang rendah mengalir di antara aku dan Hikaru, seolah-olah memisahkan kami.

"Hikaru—"

Ketika aku hampir mengucapkannya, Hikaru berdiri dengan cepat.

"Ada apa?"

"Bagaimana kalau kita berlari ke arah matahari terbenam?"

Hikaru berkata dengan tenang sambil melihatku di kakinya.

"Eh," suaraku terdengar bodoh.

"Cepatlah berdiri."

"Berlarian ke arah matahari terbenam? Ke dalam laut?"

"Ada apa lagi?"

"Eh, Hikaru, apakah kamu tidak demam?"

"Makanya mundur. Ini sering terjadi dalam film, pasangan berlari ke arah matahari terbenam."

"Aku tidak mengerti, lagipula kita bukan pasangan."

"Yah, berdirilah."

Karena dia mengulurkan tangannya, aku meraihnya dan berdiri. Aku ditarik ke samping Hikaru.

"Ini agak klise, bukan?"

"Tak apa, ini bukan film."

"Ya, tapi ini terlalu bodoh."

"Apakah kamu mau jadi bodoh bersamaku?"

"...Hanya hari ini saja."

Ketika aku mengatakan itu, Hikaru tersenyum puas.

"Ayo lari."

Dia menarik tanganku dengan kuat. Tubuhku terhuyung, jadi aku dengan terpaksa melangkah maju. Kami semakin cepat. Kami memotong arah angin, menendang pasir, dan menginjak air, terus maju ke depan. Aku merasa seperti berlari dengan kecepatan tertinggi dalam hidupku dan memiliki hati yang paling murni.

Jika aku terus bergerak seperti ini, pasti aku bisa mencapai matahari.

Aku membelah gelombang dengan kakiku yang jarang gerak, dan air laut semakin mendekat ke wajahku.

"Kita akan lari sampai mana?" 

Aku bertanya dengan suara ceria. Ketika permukaan laut mencapai bahu ku, Hikaru berhenti dan berkata,

"Sampai ke tempat yang Rin inginkan."

Dengan cepat, aku ditarik dan terjatuh ke permukaan air yang berkilauan keemasan. 

Terdengar suara "zabun" dan tiba-tiba, suasana menjadi hening. 

Banyak gelembung naik di hadapanku, dan di baliknya, aku melihat Hikaru. 

Kami saling bertatapan melalui air laut. Kemudian, kedua tangan Hikaru menyentuh pipiku, lalu dengan gerakan jari telunjuknya, dia menyentuh bawah mataku seolah-olah ingin memastikan sesuatu yang penting.

Sejujurnya, semuanya terasa istimewa. 

Hari-hari yang kuhabiskan dengan Hikaru tenggelam dalam fiksi, dan sekolah di mana aku menghabiskan waktu setelah jam sekolah bersama Hikaru. Aku merasa menjadi istimewa berkat Hikaru. Mungkin hidupku yang sebelumnya ada hanya untuk bertemu dengan Hikaru.

Hikaru, yang telah membunuh orang. Aku akhirnya bisa menerima keberadaannya setelah melepaskan segala sesuatu.

──Kita seperti dalam novel, ya.

Saat napasku hampir habis dan aku tak bisa melepaskan tatapanku dari Hikaru. Ketika aku merasa tenggelam──

Tiba-tiba, aku ditarik kuat-kuat dan kembali mendengar suara besar "zabun". 

Pandanganku langsung dipenuhi warna merah jambu. Tubuhku merasa dingin setelah menghirup oksigen secara mendalam. Aku terbatuk-batuk sambil terus bernapas, menginjak pasir di dasar laut yang berlumpur. Pandangan yang tidak pasti karena pantulan cahaya matahari memantul mulai menangkap bentuk-bentukku dengan perlahan.

Aku menatap Hikaru. Dia tersenyum.

"Ugh, air masuk ke hidungku."

Rasa nyeri di antara alisku terasa menusuk. Aku menyapu rambut poni basahku ke belakang dan menatap Hikaru dengan marah.

"Itu karena kau bernapas melalui hidung," kata Hikaru dengan nada jahil.

"Itu tak bisa dihindari, tiba-tiba sekali."

Kami bergerak perlahan-lahan menuju pantai, memotong air laut.

"Orang-orang yang tidak baik pada Rin, biarkan saja mereka semua mati."

Hikaru yang menarik tanganku berkata begitu. Aku penasaran dengan ekspresinya, tapi warna merah jambu menghalangiku untuk melihatnya.

Jadi aku menatap permukaan air dan berkata, "Kau mengatakan hal yang sangat hebat."

"Karena Rin yang paling benar."

"Itu tidak mungkin."

"Aku tahu. Aku hanya ingin berpikir begitu."

Dengan suara lembut seperti sinar matahari, Hikaru berkata. Aku senang jika Hikaru menyetujuinya. 

Namun──

"Aku tidak punya nilai seperti itu."

Aku sama sekali tidak lembut, dan bahkan ketika Hikaru menderita, aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Tidak seharusnya orang seperti Hikaru yang luar biasa menemukan nilai dalam diriku yang terburuk.

Kemudian, Hikaru dengan lembut melepaskan tanganku. Dia tidak berkata apa-apa. Dia diam-diam melangkah maju, memotong air dengan kakinya, dan berjalan menuju pantai meninggalkanku.

Aku mengejarnya dengan penuh semangat. Aku ingin berdiri di samping Hikaru. Namun, gelombang yang lembut menempel pada lututku membuatku kesulitan bergerak.

"Hikaru...!"

Akhirnya, aku tidak bisa mengejarnya, dan akupun memanggil namanya seperti berpegang teguh. Hikaru menoleh dan berkata,

"Bagiku, Rin itu istimewa!"

Dia berteriak seperti itu. 

Hikaru yang disinari cahaya merah jambu. Senyumnya lebih dari sekadar "terlalu cerah"—itu "memukau". Pemandangan di hadapanku terukir dalam memori otakku paling terdalam, menembus kedalam otakku dengan cahayanya.

Rasa senang karena hanya Hikaru yang menyetujuiku terasa aneh. Aku merasa seolah-olah hidupku dianggap benar, padahal aku tahu itu adalah kesalahpahaman yang sangat besar.

Meskipun begitu, aku merasa diselamatkan dan mencemooh diriku sendiri.

Di seberang pantai dan jalan, ada sebuah jalan tol kecil. 

Ketika tetesan air mulai menyentuh tubuhku dan terasa tidak bisa diabaikan, kami berlari menuju jalan tol tersebut. 

Ini adalah hujan pertama setelah sekian lama. Di kolam cuci kaki, gelombang kecil tampak mengambang, dan aroma petrichor memenuhi udara sekitar.

"Sudah mulai hujan, ya."

Hikaru melihat ke atas dan berkata. 

Meskipun aku ingin menyalahkan ramalan cuaca yang mengatakan bahwa akan mendung tapi tidak hujan, kita tidak boleh terlalu berharap pada prediksi manusia. Itu adalah hal yang wajar.

"Aku akan membeli payung."

Meskipun kami sudah basah kuyup, berjalan di bawah hujan tidak menyenangkan.

Saat aku hendak menuju ke toko, tanganku dipegang.

"Tidak perlu, kita sudah basah."

Hikaru berkata dengan nada santai, menyembunyikan keseriusan di matanya.

──Seperti yang kukira.

Aku sering merasa seperti ini sejak pelarian ini dimulai, dan kali ini aku yakin.

Hikaru tahu.

"Hikaru, kau tahu tentang itu, ya?"

Mereka yang telah menindasku memiliki kecerdasan yang baik. Jadi, ku pikir foto itu hanya dibagikan di kalangan mereka untuk menghindari diketahui oleh guru atau siswa lain.

Hikaru, yang tahu situasiku, tampaknya menganggap bahwa payung adalah kata yang sangat sensitif bagiku. Apakah dia pikir aku akan terluka? Memang, aku pernah mengalami gangguan terkait hal itu, tetapi aku tidak seperasaan sensitif seperti yang dia pikirkan.

"Jika kau khawatir tentangku, tidak perlu. Aku tidak memiliki trauma terhadap payung."

Lagipula, aku juga bukan gadis yang berdebar-debar hanya karena berbagi payung. Hikaru, yang mengenalku lebih baik dari siapa pun, pasti tahu tentang sifatku ini.

Hikaru tersenyum lembut dan menggenggam tanganku.

"Untuk merasakan masa muda, hujan juga perlu, bukan?"

"…Apa maksudnya?"

Aku diinstruksikan dengan lembut, dan meskipun aku merasa terkejut, aku menggerakkan kakiku untuk maju. 

Air hujan mulai menetes ke punggung tangan kananku yang berada di luar atap, kemudian mengalir ke lengan, bahu, dan pipiku secara berurutan. Ketika tetesan air hujan mulai menyentuh lengan kiriku juga, aku akhirnya siap untuk menghadapi hujan.

Kami berdua berjalan di sepanjang jalan yang membentang di tepi laut menuju halte bus.

"Rin, besok adalah hari terakhir, kan? Sudah kamu putuskan?"

Aku tidak menyebutkan apa yang dimaksud.

Hujan semakin deras daripada sebelumnya. Tetesan hujan memukul tubuhku dengan kekuatan besar, dan sesekali, tetesan hujan yang lebih tajam seperti peluru mengenai bahuku.

Aku sudah lama menutup mata pada sesuatu.

Aku harus mulai membuat keputusan──keputusan untuk mengungkapkan nama dia.

Ketika seseorang menderita, aku tidak bisa mengatakan "Apakah kamu baik-baik saja?" atau saat melihat kesalahan, aku tidak bisa mengatakan "Tidak apa-apa." Aku tidak bisa mengatakan hal-hal yang seharusnya diucapkan.

Aku tidak pandai bersikap lembut terhadap orang lain. Aku kesulitan memahami perasaan orang lain, dan bahkan jika aku bisa memahaminya, aku tidak tahu apa yang harus dikatakan. Yang muncul dalam pikiranku hanyalah lima huruf "Bagaimana?". Semua orang menyebutku "orang yang dingin", dan ku rasa itu benar.

Aku yang tidak bisa menemukan kata yang tepat dan memilih diam seperti orang transparan. Jika tidak berbicara, itu sama saja dengan tidak ada.

Aku menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan diriku saat aku kelas dua SD. 

Salah satu teman dekatku yang menangis karena diperolok oleh anak laki-laki selama latihan drama. Temanku menangis sambil duduk di sudut gym. Karena dia tidak berhenti menangis bahkan ketika waktu untuk pelajaran kelima sudah dekat, aku meninggalkannya dan kembali ke kelas. Aku merasa tidak boleh terlambat dan teman itu mengatakan "Pergi saja ke sana", jadi aku memutuskan untuk mengikuti perintah itu. Saat itu, satu teman lainnya entah mengapa tetap berada di sana.

Akhirnya, kedua temanku tersebut kembali ke kelas sekitar paruh kedua pelajaran kelima. Guru yang tampaknya sudah mengetahui situasinya tidak memarahi teman-teman yang terlambat itu. Pada saat itu, guru tersebut menatapku dengan tajam, tapi aku tidak mengerti apa artinya saat itu.

Sepulang sekolah, aku dipanggil ke ruang guru dan diajak bicara tentang empati, tapi aku hampir tidak mengingatnya. Yang aku ingat hanya bahwa aku merasa ada yang aneh dengan diriku.

Jika berbuat kesalahan, pasti akan ditegur, aku seharusnya bisa merenung dan memperbaikinya. Tapi jika aku tidak mengerti mengapa itu salah, aku tidak bisa memperbaikinya.

Karena jika terlambat pelajaran, itu salah. Makanya aku disuruh pergi ke sana.

Setelah itu, kami bertiga pulang bersama, dan hubungan kami tetap baik sampai aku pindah SMP. Namun, perasaan tidak nyaman ini tidak pernah hilang. Setelah pindah, aku tidak pernah menghubungi mereka lagi. Ku pikir mereka yang telah tumbuh dewasa pasti merasakan kekuranganku dan menjauh dariku.

Komunikasi itu sulit. Menyerah seperti itu adalah obat penenang mental yang paling efektif. Aku adalah anak yang aneh. Anak iblis yang tidak bisa mengatakan kata-kata lembut.

Setelah itu, aku mengalami isolasi di SMP yang baru, lalu melanjutkan ke SMA yang merupakan sekolah unggulan di prefektur sini. Ku pikir aku akan diisolasi seperti di SMP, dan memang benar setelah masuk, aku tidak berbicara dengan siapa pun dan terus-menerus menatap novel di pojok kelas.

Beberapa hari setelah upacara masuk sekolah, Serina lah yang berbicara denganku.

"Rin-chan sangat lucu, ya?"

Gadis dengan rambut panjang yang digulung dengan cantik itu, melihat wajahku yang berada di pojok kelas dan berkata dengan suara ceria. Kemudian, dia menyentuh bahuku yang kaku dengan jari-jarinya yang lembut dan berkata, "Ayo makan siang bersama," sambil tersenyum polos.

Setelah itu, aku mulai menghabiskan waktu bersama Serina dan Miu, teman dekat Serina dari SMP, dan kehidupan isolasiku sepertinya berakhir.

Awalnya, aku sering membuat mereka kesal dengan perkataan yang tidak peka atau tidak bisa membaca suasana. Namun, mereka tidak menjauh dan hanya tertawa, "Rin itu aneh, ya?" Jadi, sebelum "aneh" berubah menjadi "orang yang benar-benar aneh", aku berusaha menjadi manusia yang lebih normal.

Aku belajar tentang cara bergaul dari mereka. Hal-hal seperti "Apakah kamu baik-baik saja?" ketika teman sedih, atau "bagus" ketika memuji barang milik orang lain—hal-hal yang seharusnya bisa dilakukan secara alami sebagai remaja perempuan dan sebagai manusia biasa—aku tiru dari Serina dan Miu. Ku pikir aku sudah mendekati manusia yang normal sekitar musim panas tahun pertama SMA ku.

Aku merasa senang. Pergi ke karaoke sepulang sekolah, berfoto di booth foto. Meskipun panggilan grup sebelum tidur sangat menyiksa, mungkin aku membutuhkan hal-hal umum yang khas sebagai remaja perempuan.

Namun, meskipun aku memiliki teman dan berpura-pura normal, inti dari seseorang tidak berubah.

Serina dan Miu mulai menyadari bahwa aku adalah orang yang aneh. Ku rasa mereka sudah cukup sabar selama setahun. Aku sangat bersyukur karena mereka masih bersahabat dengan orang sepertiku.

Tidak ada pemicu khusus. Hanya saja, ketidaknyamanan yang menumpuk perlahan-lahan meledak. Seperti gula yang larut dalam air, yang akhirnya jenuh dan tidak bisa larut lagi.

"Rin tidak bisa mengerti perasaan orang lain, ya?"

Melihat wajah Serina yang hampir menangis setelah aku dengan dingin mengatakannya, aku berpikir, "Ah, aku membuat kesalahan." Saat itu, hubungan kami mengalami retakan yang tidak dapat diperbaiki.

"Rin-chan tidak baik hati, ya?"

Ini pernah dikatakan oleh seorang temanku saat aku masih di sekolah dasar.

"Yonagi-san adalah orang yang dingin, ya?"

Pernah juga dikatakan oleh seorang guru saat aku masih di SMP.

Aku merasa, jika kamu ingin orang lain mengerti, katakanlah. Jika tidak, mereka tidak akan tahu. Tidak ada orang yang bisa benar-benar memahami perasaan orang lain dengan akurat, jadi katakanlah, jangan hanya bergantung pada orang lain.

Saat aku makan siang sendirian, para pria dari kelompok Serina mulai menggoda. Mereka mulai melontarkan lelucon yang tidak pantas. Serina yang melihatku tidak membalas, hanya tertawa dan berkata, "Hentikan saja, ya."

Kesepian tidaklah menyakitkan. Kesalahannya adalah milikku karena tanpa perasaan, aku melukai Serina. Lagipula, aku adalah orang yang seharusnya sendirian. Meskipun begitu, aku tetap menginginkan kesepian yang tenang.

──Apakah aku seorang yang buruk hingga harus mengalami hal seperti ini?

Aku sering bertanya pada kekosongan. Jika kesalahan yang aku buat kepada dia adalah dosa, dan dia melukainya padaku adalah hukuman, apakah lukaku setara dengan luka Serina? Apakah aku telah melukai Serina sebanyak itu?

Selama aku tidak bisa memahami itu, aku tidak diizinkan untuk membenci Serina.

Aku bukan Kaito. Jadi, betapapun sulitnya aku, aku tidak bisa membunuh orang yang menjatuhkanku. Jika aku melakukannya, tidak ada yang akan menolongku, dan tidak ada Masaki yang akan menarik tanganku dan mengajakku pergi jauh.

Oleh karena itu, aku hanya bisa mengakhiri semuanya sendiri. Jalan yang ku pilih adalah tidak pergi ke sekolah.

Aku menghapus kontak orang-orang dari sekolah, menghapus Instagram yang kubuat untuk hubungan sosial, dan terus mengabaikan telepon dari wali kelas, Gotou-sensei.

Pagi hari, ketika aku bangun di kamar yang remang-remang, aku mengisi pikiranku dengan film dan novel sepanjang hari, dan saat diserang rasa hampa yang tak tertanggungkan, aku menulis novel.

Dan akhirnya, saat aku berniat untuk keluar dari sekolah, aku bertemu Hikaru.

Apakah dia bisa menjadi Masaki-ku?

Akankah dia bisa membawaku keluar dari kegelapan ini?

Hujan terus turun tanpa berkurang.

Di halte bus pedesaan, terutama di pinggir pantai yang tidak ada apa-apa di sekelilingnya, bus datang hanya setiap dua atau tiga jam sekali. Untungnya, halte bus yang akan kami naiki memiliki atap di bangkunya, jadi kami menunggu bus terakhir yang dijadwalkan datang dalam satu jam sambil berlindung dari hujan.

Kami berdiam diri dalam keheningan untuk sementara waktu. Suara hujan yang tenang terdengar sangat keras, dan kekosongan dari kesunyian semakin terasa. Ini adalah pertama kalinya aku merasa canggung dengan keheningan di antara kami.

Tiba-tiba, angin lembut meniup dari celah-celah hujan tipis, menyentuh tenggorokanku dengan lembut.

"……Maafkan aku saat itu."

Kata-kata itu diucapkan dengan suara yang sangat lembut. Dalam pikiranku, diriku di masa lalu tertawa sambil berkata, "Suara apa itu, jelek sekali."

Hikaru yang rambut depannya basah kuyup mengangkat rambutnya, tampak tidak mengerti apa yang ku maksud dan sedikit membungkukkan kepalanya.

"Yang saat itu?"

"Ketika Hikaru bilang bukan bunuh diri, dan aku berusaha pergi."

Ketika seseorang di hadapanmu ingin mati, tidak ada alasan untuk pergi begitu saja. Ada kata-kata yang harus diucapkan saat seperti itu, dan aku harus mengatakannya.

"Aku benar-benar tidak mengerti perasaan orang lain, dan meskipun aku mengerti, aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun yang lembut. Aku juga merasa aku adalah orang yang dingin."

Tetesan air dari rambut depanku jatuh dan menyentuh kepalan tanganku yang aku pegang di atas lutut.

"Mungkin aku tidak punya hati manusia."

Hujan turun dengan deras. Sepertinya hujan semakin kuat dari sebelumnya.

Tetesan hujan yang tajam menembus genangan air di jalan, dan gelombangnya menyebar dan segera tenggelam oleh tetesan hujan berikutnya.

"Rin adalah orang yang baik hati."

"Eh?"

Aku mengangkat wajahku seolah-olah ditarik oleh sesuatu.

"Ha ha, apa itu?" Hikaru tertawa. "Ekspresimu bodoh sekali."

"……Hah?"

Aku melawan dengan suara protes terhadap hinaan tiba-tiba itu, tetapi Hikaru melanjutkan dengan suara yang tenang.

"Rin adalah orang yang baik hati."

Aku tidak mengerti. Aku memahami arti kata-katanya, tetapi aku tidak mengerti mengapa aku dikatakan seperti itu.

Karena aku adalah—

“Tidak mengerti perasaan orang lain?”

Aku bertanya dengan cepat.

“Hanya sedikit kurang peka saja,” jawab Hikaru dengan lembut.

“Tidak bisa mengucapkan kata-kata yang lembut?”

Aku bertanya dengan suara yang bergetar.

“Hanya orang yang canggung dan suka berpikir berlebihan,” jawab Hikaru dengan suara yang hangat seperti sinar matahari.

Aku tidak ingin dia terlalu baik padaku. Aku merasa tidak layak menerima kebaikan seperti itu.

“……Meskipun sedang mencoba membunuh seseorang?”

Seharusnya dia bisa mencemoohku karena tidak bisa merasakan hal-hal seperti itu. Seharusnya dia memarahiku sebagai manusia yang tidak peka dan dingin.

Namun, Hikaru tersenyum padaku dengan wajah yang seolah-olah mengumpulkan semua kebaikan di dunia ini.

“Tidak masalah. Apakah seseorang membunuh orang lain atau tidak, itu tidak mengubah karakternya.”

Kenapa, kenapa, kenapa?

Aku tidak tahu dari mana Hikaru mendapatkan keyakinan seperti itu.

Aku merasa aku bukan orang yang baik. Aku kesulitan memahami perasaan orang lain, dan bahkan jika aku bisa memahaminya, aku tidak bisa mengucapkan satu kata lembut pun, meskipun jelas orang itu membutuhkan kata-kata hangat.

“Lihat, Rin mau mengikutiku, kan?”

Percakapan di tempat parkir sepeda sekolah terlintas dalam ingatanku.

Tidak, itu tidak ada motivasi mulia seperti yang dia pikirkan. Sebaliknya, itu adalah tindakan tanpa pemikiran.

Aku mengucapkan, “Tidak benar.” Hikaru perlahan-lahan menggelengkan kepalanya.

Aku tidak ingin dia terus seperti ini. Aku tidak ingin dia terlalu baik padaku.

Aku adalah anak iblis yang berpura-pura menjadi manusia. Aku adalah makhluk yang tidak bisa memahami perasaan orang lain.

“Dan, meskipun Rin tidak banyak berbicara, aku tahu kamu sangat bergulat dengan perasaanmu di dalam pikiranmu.”

“……Kenapa kamu berpikir begitu?”

“Karena aku membaca novelmu,” kata Hikaru sambil tersenyum. “Rin tidak pandai menulis dialog karakter, tapi dalam narasinya, perasaan karakter ditulis dengan sangat mendalam hingga membuatku terkejut. Tidak mungkin anak yang menulis novel seperti itu tidak memiliki hati manusia.”

Hikaru menatap mataku dengan penuh perhatian. Suara hujan masih terdengar sangat keras.

Jika aku sedikit melepas ketegangan di sekitar mataku, rasanya air mata akan segera meluap. Aku merasa seperti racun yang menempel pada tubuhku selama bertahun-tahun mulai dicuci bersih, dan aku mencoba tersenyum seperti gadis polos.

“Seandainya semua orang di dunia ini seperti Hikaru.”

Kata-kata itu keluar dari mulutku sebelum aku sempat memikirkannya.

Jika dunia ini dipenuhi dengan orang-orang seperti Hikaru, ku pikir aku bisa menjadi orang yang lebih baik.

Ketika aku menatap ke atas, mataku bertemu dengan wajah Hikaru yang sedang tersenyum lebar.

“Ada apa?”

“Rin sangat mencintaiku, ya?”

Hikaru berkata seperti itu, dan aku merenungkan apa yang baru saja kukatakan.

Aku merasakan wajahku memanas karena malu. Aku sadar bahwa aku baru saja mengatakan sesuatu yang luar biasa, mengatakan seandainya semua orang di dunia ini seperti Hikaru.

“……Paling buruk.”

“Dasar tsundere.”

“Berhentilah.”

“Kenapa? Aku senang mendengarnya.”

“Karena aku marah, jangan sekali lagi berbicara padaku seumur hidup.”

“Itu masalah,” kata Hikaru sambil mengerutkan alisnya. “Apa yang harus ku lakukan agar kamu memaafkanku?”

“Aku tidak akan memaafkanmu.”

“Aku akan melakukan apa saja untuk membuatmu memaafkanku.”

“Apa saja?”

“Ya.”

Hikaru mengangguk.

Aku terdiam.

Sebenarnya, sejak lama aku ingin meminta satu hal darinya. Aku lebih ingin tahu bagaimana rasanya melakukan hal itu daripada hanya meminta hal itu. Aku mulai merasa Hikaru adalah orang yang paling tepat untuk itu.

Itu adalah sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang yang telah membangun hubungan saling percaya. Selain itu, aku perlu menyeka air mata yang menumpuk di mataku tanpa disadari oleh Hikaru.

Namun, hal itu sedikit memalukan dan sulit untuk diungkapkan secara sembarangan.

“Cepat katakanlah.”

Hikaru tampaknya gelisah dan mendesakku dengan cepat. Tertekan, aku akhirnya membuka mulutku.

“Kalau begitu, peluklah aku.”

Hujan berhenti sejenak dan suasana di halte bus menjadi hening. Suara hujan yang tadinya bising kini seolah-olah menghilang dari antara kami, dan suara detak jantungku terdengar sangat keras di telingaku.

Sebelum aku sempat mengatakan bahwa aku berubah pikiran, Hikaru membuka mulutnya.

“Tidak apa-apa.”

Sekejap, aku dibungkus oleh kehangatan yang lembut. Ketika aku sadar bahwa itu adalah suhu tubuh Hikaru, kekuatan di tubuhku seperti hilang begitu saja. Ketika aku melingkarkan lenganku di punggung Hikaru dan bersandar padanya, kekuatan pelukan itu semakin kuat.

Tubuh kami melekat erat, dan detak jantung Hikaru langsung terasa di tubuhku. Diberi kehangatan, yang muncul bukanlah perasaan manis, melainkan rasa aman dan kebahagiaan yang menenangkan.

Ini adalah pertama kalinya aku dipeluk seperti ini oleh seseorang, dan rasanya sangat memuaskan sampai-sampai air mataku hampir menetes. Aku merasa ini mungkin yang disebut dengan *kebahagiaan*, pikirku.

“Rin, kamu bukanlah orang jahat seperti yang kamu pikirkan. Jika kamu ingin membenci seseorang, silakan benci saja. Jika kamu merasa sedih, menangislah. Jika kamu merasa begitu, maka itu benar. Perasaanmu tidak boleh dicampuri oleh siapapun, itu adalah milikmu sendiri.”

Kata-kata penguatan yang selama ini kuinginkan diucapkan oleh Hikaru tanpa ragu.

Pelukan Hikaru semakin erat hingga membuatku hampir tidak bisa bernapas. Meski begitu, aku merasa sangat bahagia sehingga aku rela jika tulang-tulangku patah.

“Eh, Hikaru.”

Aku memang tidak baik.

Semua ini salahku. Dan itu sudah cukup.

Aku yang buruk ini hanya bisa menyelamatkan diri dengan cara yang paling buruk. Karena aku adalah orang yang sangat buruk dan terburuk, aku berharap kamu bisa memaafkanku jika aku membunuh seseorang.

Karena, meskipun begitu, Hikaru, kamu pasti akan menerima semuanya, kan?

“Lalu, siapa yang akan kamu pilih berikutnya?”

Hikaru bertanya lembut. Aku bertanya-tanya sampai kapan aku bisa bergantung pada kebaikannya ini.

Hujan semakin deras. Butiran hujan yang semakin cepat memukul atap seng tua. Tanaman di sekitar halte bus menundukkan kepalanya karena beratnya air hujan.

Aku selalu merasa bingung tentang apa yang harus dilakukan. Apakah perasaan ini diizinkan, ataukah aku harus memaafkannya?

Jika aku tidak tahu apa yang benar,

“Mitsuya Serina.”

Aku harus sampai ke titik di mana aku tidak bisa lagi menyalahkan musim panas atas segalanya.


Previous Chapter | ToC |

Post a Comment

Post a Comment

close