Penerjemah: Kazehana
Proffreader: Kazehana
Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.
Kini, Bulan Juni. Perasaan Berkabut
Di kompetisi renang, enam anggota tim akan berenang secara estafet, masing-masing menempuh jarak 25 meter. Waktu tempuh mereka akan diperlombakan. Gaya renang bebas, tapi kebanyakan peserta memilih gaya crawl yang sering menghasilkan catatan waktu tercepat.
Keesokan harinya setelah rapat pemilihan atlet di kelas, sepulang sekolah. Kami, para penanggung jawab lomba dari kelas 2-2, segera mengadakan latihan perdana.
"Bagaimana catatan waktunya?" tanya Mizuno-kun, mengintip buku catatanku yang berisi rekaman waktu usai aku menyelesaikan estafet ketiga. Tubuh rampingnya yang berotot tiba-tiba mendekat, membuat jantungku berdebar.
"Ya, untuk awal-awal ini sudah bagus," jawabku.
Mizuno-kun, yang dipuji Nitta-kun sebagai "perenang super cepat", mencatat waktu jauh di atas rata-rata. Sakashita-san mantan atlet renang juga cepat meski di bawah Mizuno-kun. Keduanya mencatat waktu yang sangat bagus. Nitta-kun, Naito-kun-kun, dan Mikami-san sedikit lebih cepat dari rata-rata, cukup baik untuk latihan pertama. Masih ada ruang mereka jadi lebih baik. Tapi, hanya Miyu yang belum mencapai waktu rata-rata, sedikit tertinggal.
"Maaf, ya, aku yang paling lambat," ujar Miyu, calon perenang pertama, dengan senyum sungkan di tepi kolam.
"Agak mengejutkan. Aku kira renangmu cepat, soalnya larimu sangat kencang."
"Hmm, rasanya dulu aku lebih cepat." Miyu memiringkan kepalanya, bingung. Mungkin karena pelajaran renang tahun ini baru dimulai, dia belum terbiasa berenang lagi. Tapi hebat juga, riasan mata Miyu sama sekali tidak luntur meski telah berenang dengan ganas.
"Tidak usah terlalu diambil pusing," ujar Naito-kun dengan ekspresi ngantuknya yang biasa, mencoba menghibur Miyu.
Wah, kupikir dia selalu linglung, ternyata cukup perhatian juga.
"Benar. Kau tidak terlalu lambat kok dan kami berterima kasih kau mau sukarela ikut," timpal Sakashita-san lembut, mendukung perkataan Naito-kun.
Ucapan keduanya masuk akal. Dalam lomba renang ini, tidak banyak kelas yang berlatih keras untuk menang. Hanya kelas tiga yang cenderung all-out karena ini kesempatan terakhir mereka. Untuk kelas satu dan dua yang penting bisa memeriahkan suasana di hari H, tidak perlu terlalu memaksakan diri. Nuansa seperti itu tersirat dari kata-kata Naito-kun dan Sakashita-san. Tapi ....
"Hmm. Bagaimana caranya renangku lebih cepat, ya? Kita sebaiknya latihan seperti apa, ya?" Gumam Mizuno-kun serius sambil menatap catatannya. Mikami-san membelalakan mata, terkejut mendengar itu.
"Kau serius sekali ya, Mizuno-kun."
Mikami-san yang bilang punya "dendam pribadi" padaku tetap bersikap ramah pada yang lain seperti biasanya di kelas. Yah, sudah kuduga. Padaku pun, dia tak lagi terang-terangan menunjukkan dendam setelah insiden itu. Hanya sesekali kurasakan tatapan dinginnya. Tapi sepertinya Mikami-san yang cukup pandai berenang juga menganggap lomba renang ini sekadar formalitas yang perlu dijalani seadanya. Dia tampak bingung melihat keseriusan Mizuno-kun.
"Lho, kita kan pasti harus latihan selama tiga minggu. Bukannya sayang kalau disia-siakan?"
"Maksudmu sia-sia ...?" tanyaku bingung, tidak mengerti maksud kalimat yang Mizuno-kun ucapkan dengan wajah serius.
"Daripada buang-buang waktu latihan, bukannya lebih baik kita nikmati prosesnya, berusaha maksimal, dan raih hasil bagus di lomba nanti?" Jelasnya seakan itu hal yang wajar. Tidak ada nada sinis dalam ucapannya, hanya ketulusan dan keyakinan yang meyakinkan.
"Benar juga ya ... kalau dipikir-pikir."
"Tumben kau bicara bijak, Sota."
Mizuno-kun tersenyum kecut mendengar komentar Naito-kun.
"Apa maksudmu 'tumben', oi?"
"Habisnya, biasanya kau lesu, sih."
"Lihat siapa yang bicara."
Miyu tertawa riang mendengar percakapan mereka.
"Hahaha! Tapi benar. Aku juga akan berusaha memperbaiki catatanku! Koharu-chan, bisa lihat gayaku?"
Koharu, dia Sakashita-san, mengangguk menyanggupi permintaan Miyu. Mereka berdua kembali masuk ke kolam dan mulai berlatih.
Mizuno-kun benar-benar orang yang bisa menikmati apa pun ya. Sesuai kesan awalku, polos dan ceria. Sementara aku merenungkan itu, Mizuno-kun dan Naito-kun masih asyik berdebat.
"Kau pasti mendengarkan musik lagi saat pelajaran sastra klasik, ‘kan?"
"Daripada tidur, lebih baik tetap terjaga, ‘kan?"
Tiba-tiba Nitta-kun mengajakku bicara.
"Sota memang selalu begitu."
"Dia seperti menikmati dan tidak pernah setengah-setengah dalam melakukan sesuatu. Menurutku sikapnya yang positif itu bagus."
"Oh, begitu."
Dia benar-benar kebalikan dariku. Kalau tahu sifat asliku, Mizuno-kun pasti akan membenci orang hampa sepertiku. Entah mengapa dadaku terasa nyeri memikirkan itu. Ini aneh. Padahal setelah lomba renang selesai, kami pasti jarang berinteraksi lagi. Seharusnya tidak masalah bagaimana Mizuno-kun memandangku.
Saat itu, Mikami-san menghampiri Mizuno-kun dengan wajah gelisah.
"Aku akan berusaha. Tapi maaf, aku juga ingin fokus latihan voli. Boleh aku pergi sekarang?"
Padahal baru setengah jam berlatih, terlalu cepat untuk berhenti. Tapi Mizuno-kun tidak tampak keberatan.
"Tentu saja. Semua punya kesibukan masing-masing. Lakukan sebisamu saja."
Mikami-san tersenyum lega. "Begitu ya, terima kasih. Aku pergi dulu."
Dia bergegas meninggalkan kolam menuju ruang ganti.
Kami sempat berpas-pasan, tapi dia bahkan tidak menyapa atau melirikku sama sekali. Yah, sudah kuduga. Mizuno-kun—dia serius tapi tidak memaksakan kehendaknya pada orang lain. Berusaha menikmati apa pun tapi tidak memaksa. Tampak polos, tapi sebenarnya dewasa. Selalu positif dan bersemangat, juga ramah padaku yang hampir tidak pernah bicara dengannya. Ditambah lagi, senyumnya yang lembut secerah mentari. Kadang jantungku berdebar tak karuan saat berinteraksi dengan Mizuno-kun.
Kenapa ya? Mungkin karena dia sangat berbeda denganku. Aku menatap Mizuno-kun yang kembali terjun ke kolam untuk latihan, termenung.
Beberapa hari setelah latihan lomba renang dimulai. Pelajaran jam kelima setelah makan siang memang selalu membuat mengantuk. Aku berusaha keras membuka mata yang ingin terpejam. Apalagi hari ini jam kelima adalah pelajaran sastra klasik, seperti mendengarkan nina bobo saja. Rasanya aneh kalau disuruh tidak mengantuk. Tapi setelah lomba renang selesai, ujian akhir semester segera menanti. Aku menahan kuap sambil berusaha mencatat tulisan di papan tulis.
Sebenarnya nilai ujian tidak penting bagiku, tapi kalau terlalu jelek Nacchan pasti khawatir. Setidaknya aku harus mendapat nilai rata-rata. Setelah lulus SMA, aku ingin masuk universitas yang cukup baik agar Nacchan tenang, lalu mendapat pekerjaan yang memungkinkanku mandiri. Itu saja sudah cukup. Tapi, demi mencapai itu semua, aku harus menjalani studi dengan tekun laksana semut yang tak kenal lelah.
Tiba-tiba, sang guru sastra klasik mengerutkan dahi sambil melirik ke arah jendela. Penasaran, aku pun mengikuti arah pandangannya. Di barisan dekat jendela, Nitta-kun duduk di urutan ketiga dari depan, diikuti Mizuno-kun dan Naito-kun di belakangnya.
Guru melangkah mantap menuju trio tersebut. Lalu ....
"Aduh!"
"Aw!"
" ...?"
Dengan gulungan buku di tangan, ia mengetuk kepala mereka bertiga berirama. Nitta-kun, yang biasanya tak pernah terlelap di kelas, terlonjak kaget. Mizuno-kun bangkit perlahan sambil mengucek mata. Naito-kun, si raja tidur, sempat terbangun sejenak namun kembali mengangguk-angguk bagai perahu terombang-ambing.
Kembali ke podium, guru itu tersenyum lebar dan berkata, "Kalian bertiga, tugas laporan hari ini lipat dua, ya!"
Nitta-kun tersenyum malu dan menjawab patuh, "Baik, Pak."
Namun Mizuno-kun menatap guru dengan pandangan protes.
"Kok begitu ... kami sibuk latihan lomba renang, mana ada waktu mengerjakan tugas sebanyak itu!"
"Berisik, atau kubuat jadi tiga kali lipat!" Guru itu enggak menerima sanggahan Mizuno-kun.
Mizuno-kun akhirnya menyerah, "Maafkan saya...," ucapnya lirih.
"Oi, Mizuno-kun, bilang ke si bodoh yang masih tidur itu tugasnya jadi tiga kali lipat."
Naito-kun masih saja tidur. Kulihat Sakashita-san di sebelahnya menepuk-nepuk punggungnya, "Hei, hei, bahaya nih, ayo bangun!"
Akhirnya ia membuka mata, tapi tatapannya masih menerawang bagai orang setengah bermimpi. Tawa cekikikan terdengar dari seluruh penjuru kelas. Guru pun sepertinya tak benar-benar marah, suasananya justru terasa menghangatkan hati.
Tiba-tiba, Miyu di depanku berbalik diam-diam. Ia tersenyum geli.
"Katanya tadi pagi mereka bertiga datang lebih awal untuk latihan renang, lho."
"Eh? Benarkah?"
"Iya, tadi mereka cerita. Padahal kalau bilang-bilang, aku juga mau datang pagi untuk latihan bareng."
Aku terkejut mendengar ucapan Miyu. Memang saat latihan pertama ia setuju dengan semangat Mizuno-kun untuk berusaha maksimal, tapi tak kusangka Miyu yang biasanya nyaris terlambat rela bangun pagi demi latihan.
"Miyu, ternyata kau sangat antusias dengan lomba renang ini ya."
"Eh? Ah, ya ... awalnya sih aku ikut karena merasa bertanggung jawab karena sudah menjadikanmu pengurus. Kupikir latihan seadanya dan berusaha di hari H sudah cukup."
"Hmm."
"Tapi melihat semangat Mizuno-kun, entah kenapa aku jadi ingin lebih berusaha. Aneh ya?"
"Oh ... begitu."
Mizuno-kun berhasil membangkitkan semangat Miyu yang awalnya biasa-biasa saja soal lomba renang ini. Sungguh luar biasa. Berbeda sekali denganku yang hanya menjalankan tugas secara mekanis. Hatiku terasa nyeri menyadari betapa tidak pantasnya keberadaanku di sini.
"Totalnya seribu seratus lima puluh yen."
Kusebutkan jumlah yang tertera di mesin kasir kepada nenek langganan. Ia perlahan membuka dompetnya sementara aku melamun memperhatikan. Sepulang latihan renang, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Toko roti sedang ramai-ramainya. Nacchan langsung memintaku membantu di toko. Entah mengapa hatiku terasa gundah.
Beberapa hari telah berlalu sejak latihan lomba renang dimulai. Para atlet terpilih selalu hadir di sesi latihan dan catatan waktu mereka pun semakin membaik. Terutama Mizuno-kun, meski sibuk dengan tugas sebagai pengurus, ia tetap berlatih dengan sungguh-sungguh. Wajahnya memancarkan kegembiraan tulus, seolah benar-benar menikmati setiap momen. Apa pantas orang sepertiku menjadi rekan Mizuno-kun yang sangat bersemangat menghadapi lomba ini?
Semua orang sepakat dengan prinsip Mizuno-kun: "Kalau sudah terlanjur ikut, mari kita nikmati dan berusaha maksimal."
Secara logika aku juga setuju. Tapi, aku sudah tidak lagi bisa merasakan kegembiraan atau semangat murni. Aku yang telah kehilangan emosi sejak enam tahun lalu. Sejak ayah dan ibu pergi, aku selalu dihantui pikiran bahwa "segalanya bisa lenyap dalam sekejap", membuatku kehilangan tujuan hidup. Rasanya tidak pantas jika gadis hampa sepertiku bekerja sama dengannya.
"Ini kembaliannya lima puluh yen."
"Terima kasih, ya, Ai-chan. Kau selalu membantu."
Nenek tersenyum lembut saat kuberikan kembaliannya. Bahkan kebaikan seperti ini membuat hatiku perih. Banyak orang bersikap baik padaku, tapi aku tetap saja tak bergairah. Kupaksakan senyum dan nenek itu membungkuk sedikit sebelum pergi dari toko. Sementara aku kembali larut dalam kegelisahan ....
"Astaga! Nenek itu lupa membawa kunci rumahnya!"
"Eh?"
Usai Nacchan selesai merapikan roti di rak dan berjalan melewati meja konter, dia lekas berteriak setelah melihat kunci di atas meja. Aku terlalu melamun hingga tak menyadarinya.
"Aku tahu alamat rumah nenek itu. Aku mau antarkan kuncinya dulu! Ai, tolong jaga toko sebentar, ya!"
"B-baiklah."
Begitu aku mengangguk, Nacchan menyambar kunci itu dan melesat keluar toko. Jam sibuk telah berlalu, kini hanya ada satu pelanggan pria muda di toko. Kurasa aku bisa menanganinya selama Nacchan pergi sebentar. Pria itu mendekat ke kasir. Kukira ia hendak membayar, tapi ia tak membawa nampan roti atau kantong berisi roti tawar atau kue kering. Heran, aku menatap wajahnya. Lalu ....
"Hei, kenapa kau tidak menghubungiku?" Tanyanya lirih. Ia tampak seperti mahasiswa, berkacamata dan berpenampilan sederhana. Aku sama sekali tak mengenalnya, jadi hanya bisa mengerutkan dahi kebingungan.
Wajah pria itu berubah kesal.
"Bukankah aku sudah memberikan nomor kontakku?"
"Ah ...."
Akhirnya aku teringat. Beberapa waktu lalu, saat aku menjaga toko, ada pria yang memberiku memo berisi nomor kontaknya. Karena toko sedang ramai dan ia memberikannya tanpa berkata apa-apa, aku benar-benar lupa akan keberadaannya.
"Maaf. Saya tidak tertarik."
Kujawab dengan tegas. Aku tak merasakan apa-apa pada pria di hadapanku ini. Lagi pula, aku memang tak berminat menjalin hubungan dengan siapa pun. Tapi ....
"Kau malu-malu ya?"
"Eh...?"
"Ayolah, kau juga menyukaiku, ‘kan?"
Ia tersenyum menyeringai. Aku sama sekali tak mengerti maksud ucapannya, dan mulai merasa tak nyaman.
"Habisnya, kau selalu tersenyum saat aku datang ke toko dan mengucapkan 'terima kasih' dengan manis saat aku membeli roti."
Dia ini ngomong apa, sih.
Itu kan perlakuan yang kuberikan pada semua pelanggan toko roti. Aku tidak pernah melakukan apa pun yang istimewa untuknya. Bahkan sampai tadi aku lupa akan keberadaannya. Aku terlalu terkejut hingga tak mampu berkata-kata.
"Hei, aku mengerti kok. Tak perlu malu-malu."
Ia raih tanganku dari balik meja kasir, menatapku dengan senyum menjijikkan. Sentuhan tangannya membuatku kesal. Dia benar-benar aneh. Mungkin gadis normal akan merasa takut menghadapi situasi seperti ini. Tentu saja ada sedikit rasa takut karena tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi bagiku yang selalu merasa siap mati kapan saja, rasa kesal lebih mendominasi daripada rasa takut.
Bagaimana caranya membuat orang ini mengerti dan pergi? Aku harus cepat menangani ini agar Nacchan tidak khawatir jika melihat kejadian ini. Sementara aku menatap kosong ke arahnya, setengah merasa ini bukan urusanku ....
"Hei. Apa yang kau lakukan?"
Tiba-tiba terdengar suara serak khas remaja laki-laki. Entah sejak kapan ... Mizuno-kun berdiri di sampingku.
"Eh ...? Mizuno-kun ...?"
Aku terkejut dengan kemunculan tiba-tiba Mizuno-kun, tapi ia tidak melihatku, melainkan menatap tajam ke arah pria itu. Lalu ia mencengkeram pergelangan tangan pria yang menggenggam tanganku, memaksanya melepaskan.
"Siapa kau?" Geram pria itu, menatap Mizuno-kun dengan tajam.
Tapi, Mizuno-kun sama sekali tak gentar. Ia balas menatap dengan sorot mata penuh amarah yang tenang.
"Harusnya aku yang bertanya. Apa yang kau lakukan pada pacarku?"
Eh? P-pacar?
Ucapan tak terduga Mizuno-kun membuat pikiranku kacau. Tapi, ia tidak peduli dan terus melanjutkan kata-katanya.
"Yoshizaki ... Ai milikku."
Setelah menyatakan hal itu dengan tegas, Mizuno-kun melingkarkan tangannya di pundakku dan menarikku mendekat. Lelaki asing itu menatapku dengan mata yang menyala-nyala.
Eh?
Tiba-tiba kurasakan sentuhan telapak tangan Mizuno-kun di bahuku. Jantungku berdebar kencang dan meskipun dalam situasi seperti ini, aku merasa seperti melayang.
" ... Apa-apaan kau! Sudah punya laki-laki masih saja menggoda pria lain! Dasar perempuan gampangan!"
Aku terperangah mendengar tuduhan seenaknya itu. Padahal dia sendiri yang salah paham, tapi malah marah-marah. Logikanya kacau.
"Kau tersenyum padaku, tapi kau juga sudah melakukan 'itu' dengan pria ini!"
"Terus kenapa? Kami kan pacaran, wajar saja," ujar Mizuno-kun dengan nada santai, seolah sengaja memancing amarah pria itu.
Mendengar itu, si pria menggigit bibirnya geram.
"Akulah yang tidak mau pada perempuan sepertimu! Dasar jelek!" Teriaknya sambil membanting pintu toko dan pergi.
Meski sedikit terluka karena disebut 'jelek', setidaknya dia sudah pergi tanpa ada masalah besar. Syukurlah.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Mizuno-kun setelah beberapa detik pria itu pergi, sambil menatap cemas wajahku.
"Eh ... ah ...." Aku tergagap, tak bisa berkata-kata karena kejadian yang begitu cepat dan fakta bahwa Mizuno-kun menyebutku sebagai 'pacarnya'. Tiba-tiba, Mizuno-kun tersentak dan cepat-cepat menjauhkan diri dariku. Sepertinya dia baru sadar bahwa tangannya masih merangkul bahuku.
"Ah, maaf. Aku menyentuhmu dan bilang kau pacarku ... kupikir orang seperti itu akan cepat menyerah jika kulakukan hal itu."
" ... Ya."
"Aku datang ke toko untuk beli roti kari. Begitu masuk, aku melihatmu diganggu pria itu. Aku bertindak spontan .... Syukurlah tidak terjadi apa-apa."
Mizuno-kun menatapku lekat-lekat dan tersenyum lembut.
"Terima kasih," ucapku sambil balas tersenyum, setelah berhasil menenangkan diri.
Tiba-tiba, rasa lega yang luar biasa menyelimutiku, membuatku tanpa sadar jatuh terduduk di tempat. Saat diganggu pria itu, kupikir aku tidak merasa takut karena tegang. Tapi ternyata .... Rasa lega yang tiba-tiba muncul ini, sampai bisa membuatku terduduk lemas. Mungkin aku lebih ketakutan daripada yang aku sadari.
"Eh? Eh? Ada apa?! Apa aku melakukan sesuatu?! Atau pria tadi melakukan sesuatu padamu?!" Seru Mizuno-kun panik, tapi tetap terdengar khawatir melihatku jatuh lemas.
"Ah ... um ...." Aku masih belum bisa berdiri, hanya menjawab dengan linglung.
Tiba-tiba ....
"Aku pulang ... aku sudah mengantarkan kuncinya. Ai, terima kasih sudah menjaga to ... Hah?!"
Nacchan, yang sepertinya baru saja mengantarkan kunci pada nenek, kembali ke toko. Aku mendongak—masih dalam posisi duduk—dan melihat Nacchan terpaku menatapku. Lalu ....
"Hei, bocah sialan. Apa yang kau lakukan pada Ai-ku yang lucu ini?" Desis Nacchan dengan nada rendah yang mengancam, perlahan mendekati Mizuno-kun. Matanya menyiratkan aura membunuh yang begitu kuat, seolah siap menghabisi Mizuno-kun saat itu juga.
Eh? Gawat.
Sepertinya Nacchan salah paham karena melihatku duduk lemas dengan wajah kosong, dia mengira Mizuno-kun telah berbuat sesuatu padaku.
"Eh?! Tidak, aku ...."
"Apa yang kau lakukan pada Ai?! Kemari kau!"
Mizuno-kun mundur ketakutan melihat Nacchan yang mengamuk, tapi Nacchan terus mendekat, tak mau melepaskannya.
"Eh, t-tunggu ...!!"
Aku harus melakukan sesuatu. Tapi aku masih belum punya tenaga untuk berdiri dan suaraku pun lemah. Sepertinya suaraku yang kecil tak terdengar oleh Nacchan yang sedang marah besar.
"Hei! Katakan sesuatu!"
"Eh, u-umm ... itu ...."
"T-tunggu...! Nacchan...!"
Butuh waktu cukup lama bagi Nacchan untuk akhirnya mendengar suaraku dan memahami situasi yang sebenarnya. Selama itu, Mizuno-kun dimarahi habis-habisan terus oleh Nacchan yang murka.
"Ahaha ... m-maafkan aku. Um ...."
"Ah, namaku Mizuno-kun."
"Mizuno-kun, ya. Padahal kau sudah menolong Ai, tapi aku malah salah paham."
"Tidak apa-apa, kok."
Nacchan meminta maaf dengan ekspresi menyesal, tapi Mizuno-kun tersenyum, tampak tidak terlalu mempermasalahkannya.
"Kudengar kau dan Ai sama-sama bertugas di festival renang? Semangat, ya. Dan tolong jaga Ai baik-baik."
"Baik. Yoshizaki-san sudah banyak membantu saya. Saya akan berusaha."
Setelah itu, aku akhirnya bisa menjelaskan pada Nacchan jika Mizuno-kun telah menyelamatkanku dari krisis. Sekalian kuceritakan juga bahwa kami berdua bertugas di festival renang. Setelah mengetahui kebenarannya, Nacchan mengundang Mizuno-kun untuk minum teh di rumah kami sebagai permintaan maaf sekaligus ucapan terima kasih.
"Eh? Bolehkah?" Mizuno-kun menerima kebaikan Nacchan dengan polos.
Kebetulan sedang tidak ada pelanggan, jadi kami bertiga masuk ke ruang tamu di area tempat tinggal.
"Silakan cicipi juga kue kering buatan kami. Aku akan kembali ke toko sebentar, jadi santai saja, ya."
Setelah menyeduh teh Darjeeling dan meletakkan piring berisi kue kering di meja makan, Nacchan bergegas kembali ke area toko. Aku terjebak berdua saja dengan Mizuno-kun.
"Wah, kuenya enak sekali," komentar Mizuno-kun yang duduk di kursi dengan nada santai, sambil menggigit brownie. Aku hanya tersenyum samar dari kursi di hadapannya.
Aku merasa malu karena Mizuno-kun melihatku diganggu pria aneh, lalu dia menyebutku 'pacarnya' sebagai alasan untuk menolongku dan akhirnya aku jatuh terduduk lemas. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana setelah dia melihat berbagai sisi memalukan diriku. Tapi setidaknya, aku harus berterima kasih.
" ... Um, Mizuno-kun. Pertama-tama, terima kasih." Aku berusaha tersenyum saat mengucapkannya, tapi karena perasaanku belum sepenuhnya tenang, suaraku sedikit bergetar.
"Sudahlah, tidak apa-apa. Kurasa kau akan baik-baik saja sekarang. Tapi kalau dia mengganggumu lagi, kau bisa menggunakan alasan bahwa aku pacarmu."
Meskipun Mizuno-kun berkata begitu, pria tadi memiliki aura berbahaya yang mengintimidasi. Bahkan laki-laki pun mungkin akan gentar menghadapinya. Pasti dibutuhkan keberanian yang cukup besar untuk menolongku. Tapi aku tahu dia bersikap seolah-olah ini bukan masalah besar agar aku tidak merasa tidak enak. Mizuno-kun, kau benar-benar baik hati ya.
"Sungguh, terima kasih banyak."
"Sudah kubilang tidak apa-apa."
"Ya .... Kurasa aku akan baik-baik saja sekarang. Orang itu mungkin hanya kebetulan sering melihatku, tapi kurasa dia tidak akan terobsesi."
Aku mengutarakan pikiranku untuk mencegah dia khawatir berlebihan. Kalau pria itu terobsesi pada gadis cantik dan mencolok seperti Miyu atau pada orang yang menonjol dengan postur bagus seperti Mikami-san, aku bisa mengerti. Tapi gadis biasa sepertiku, dengan riasan dan gaya rambut yang sederhana, serta wajah yang tidak istimewa, pasti tidak akan menarik perhatian siapa pun.
"Eh? Yoshizaki-san tidak tahu?" Mizuno-kun sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan.
"Tahu apa?"
"Yoshizaki-san cukup populer di kalangan anak laki-laki, lho."
"Hah ...?"
Perkataan Mizuno-kun sungguh di luar dugaan.
Siapa yang populer di antara siapa ...?
"Bohong. Aku hampir tidak pernah diajak bicara oleh anak laki-laki, lho ...?"
"Katanya kau agak sulit didekati dan terkesan dingin. Mereka bilang kau itu 'cool beauty'. Seperti bunga yang tak terjangkau, begitu mungkin?"
"Cool beauty ... bunga tak terjangkau ...."
"Memang benar, sih, kalau dilihat sekilas, Mikami- san atau Miyu-chan lebih mencolok. Tapi Yoshizaki-san juga cantik, lho."
Cantik. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, anak laki-laki menyebutku 'cantik'. Aku jadi salah tingkah.
"A-apa Mizuno-kun juga berpikir begitu?"
Aku spontan bertanya. Lalu Mizuno-kun menjawab, "Aku takut dibenci banyak laki-laki kalau ketahuan menyentuhmu yang manis," candanya sambil tertawa polos.
Kali ini dia bilang 'manis'. Luar biasa, bagaimana bisa dia mengucapkan kata-kata seperti itu dengan mudahnya? Kalau cowok sekeren dia bilang 'manis', mungkin 90% cewek akan langsung jatuh hati. Jantungku sendiri berdegup kencang seperti yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Ada apa ini? Perasaan menggelitik yang kurasa saat ini, rasanya seperti emosi tulus yang pertama kali kurasakan sejak kecelakaan itu .... Tiba-tiba, raut wajah Mizuno-kun berubah serius.
"Tapi ... ada hal lain tentangmu yang lebih membuatku penasaran."
"Eh ...?"
Hal yang lebih membuatnya penasaran? Sejenak aku berpikir mungkin tentang kecelakaan itu, tapi Mizuno-kun bukan tipe orang yang akan menanyakan hal seperti itu dengan sembarangan. Lagi pula, informasi tentang kecelakaan itu bisa dengan mudah ditemukan di internet. Apa ya kira-kira? Sementara aku memiringkan kepala kebingungan, Mizuno-kun menatapku lekat-lekat dengan mata besarnya.
" ... Yoshizaki-san."
"Ya ...?"
"Kenapa kau selalu mematikan perasaanmu sendiri?"
Seketika suasana menjadi beku. Perasaan panik yang kurasakan tadi menguap entah ke mana. Kenapa? Bagaimana bisa? Bagaimana dia tahu bahwa aku hanya bisa melihat pemandangan tanpa warna? Padahal kami baru mulai berbicara belum lama ini. Bagaimana dia bisa mengetahui hal seperti itu?
"Eh, apa maksudmu?"
Aku mencoba tertawa ringan dan hanya mengatakan itu. Aku ingin menghindari pertanyaan lebih lanjut.
Tapi ....
"Entahlah, sulit dijelaskan ... tapi Yoshizaki-san, bahkan saat terlihat senang pun, hatimu tidak merasa begitu. Seolah-olah kau meninggalkan perasaanmu di suatu tempat ... begitulah kelihatannya."
" ...."
Kenapa dia bisa menebak sejauh itu?
" ... Aku tidak mengerti maksudmu. Tidak seperti itu kok," jawabku dengan nada dingin, panik karena tebakannya tepat sasaran. Mungkin kalau bisa menanggapinya dengan santai, pembicaraan ini sudah berakhir. Tapi aku tidak punya ketenangan untuk itu. Dan sepertinya, melihat sikapku yang begitu, dia semakin yakin dengan dugaannya.
"Maaf. Tapi, benar kan?"
"Kenapa kau berpikir begitu?"
"Aku bisa melihatnya."
Mizuno-kun berkata dengan tegas, matanya memancarkan keyakinan. Jangan katakan lebih dari ini. Terutama pada orang yang jujur seperti Mizuno-kun, aku tidak ingin dia tahu. Aku takut dia akan kecewa. Aku sendiri tidak menyukai diriku yang seperti ini. Mana mungkin aku bisa menyukainya. Tapi setelah berjuang selama enam tahun, aku tahu bahwa ini di luar kemampuanku untuk mengubahnya. Berapa kali pun aku berharap ada sesuatu atau seseorang yang bisa menolongku dari keterpurukan ini, sampai sekarang hal itu tidak pernah terjadi.
"Kalaupun begitu, aku tidak menyusahkan orang lain, ‘kan? Jadi tidak apa-apa, ‘kan?" Jawabku ketus. Aku takut dia akan semakin menggali isi hatiku yang selama ini kusembunyikan.
Tapi mata Mizuno-kun semakin berkilat tajam menatapku.
"Tapi ... kau terlihat sangat menderita."
Saat dia mengucapkan kata-kata itu dengan perlahan dan penuh kesedihan, air mata tiba-tiba mengalir dari kedua mataku.
"Eh ... kenapa ...?"
Aku sendiri tidak mengerti. Kenapa aku menangis? Meski kuhapus berkali-kali, air mataku terus mengalir tanpa henti.
"Ah! M-maaf! Aku tidak bermaksud membuatmu menangis! Sungguh, maafkan aku!"
Mizuno-kun panik dan berdiri, menghampiriku.
"A-aku juga... ma ... af..." Air mataku tidak berhenti, membuatku sulit berbicara. Tidak, bukan hanya air mata. Begitu mendengar kata-kata Mizuno-kun bahwa aku "terlihat menderita", emosiku seolah meledak.
Apakah aku menderita? Sejak hari itu, aku tidak bisa menemukan arti hidupku. Tidak peduli seberapa keras aku berusaha atau siapa pun yang kucintai, semuanya terasa sia-sia. Bahkan aku berpikir tidak apa-apa kalau mati kapan saja. Apakah aku menderita?
"M-Mizuno-kun ... maaf, hari ini ... sudah ... pulanglah ...."
Aku merasa tak akan bisa tenang jika dia terus di sini. Aku berkata terbata-bata dengan suara bergetar.
"Ya. Aku benar-benar minta maaf. Sampai jumpa besok."
" ... Ya."
Mizuno-kun berdiri perlahan dan berbalik menuju area toko. Mungkin dia akan membeli roti kari dari Nacchan sebelum pulang.
Karena Nacchan mungkin akan datang ke sini, aku putuskan untuk mengungsi ke kamarku. Dengan langkah goyah, aku menaiki tangga menuju kamar. Di sana, aku melihat album foto yang seharusnya berdiri di rak buku terjatuh dan beberapa foto yang terselip di dalamnya berserakan di lantai. Album yang berkali-kali coba kubuang ke tempat sampah. Tapi, setiap kali Nacchan menyadarinya, ia mengembalikannya ke tempat semula di rak buku.
Album itu berisi kenangan bersama kedua orang tuaku semasa hidup. Jika aku benar-benar ingin membuangnya, aku bisa saja membakarnya atau membuangnya ke gunung. Tapi aku tidak bisa melakukannya. Mungkin karena aku tak punya keberanian untuk benar-benar membuang masa lalu dan di suatu tempat dalam hatiku, aku ingin Nacchan mencegahku.
Tapi sejak kecelakaan itu, aku tidak bisa melihat foto orang tuaku. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padaku jika aku melihatnya. Aku takut. Aku takut menyadari masa-masa bahagia yang pernah ada telah terlepas dari tanganku. Karena itu, aku tidak melihatnya. Aku berpura-pura seolah-olah itu tidak pernah ada. Seolah-olah aku tidak pernah memiliki masa-masa bahagia bersama orang tuaku. Baik di masa lalu maupun di masa depan.
Aku mengumpulkan foto-foto yang berserakan dengan meraba-raba, berusaha untuk tidak melihatnya langsung. Kemudian kuselipkan kembali ke dalam album dan mengembalikannya ke rak buku. Setelah itu, aku merebahkan diri di tempat tidur dan menatap langit-langit.
Apa aku menderita?
Post a Comment