Penerjemah: Kazehana
Proffreader: Kazehana
Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.
Kuni, Bulan Juni. Sama Sepertiku
Ketika aku terbangun, kelopak mataku bengkak, mungkin karena semalaman menangis tersedu. Akibatnya tatapanku terlihat lebih suram dari biasanya, membuat wajahku yang sudah biasa-biasa saja menjadi semakin tak menarik. Meski Mizuno-kun bilang aku manis, tetap saja aku tak bisa melihat diriku seperti itu.
Aku berusaha menyamarkannya dengan eyeshadow dan maskara, lalu pergi ke sekolah. Tapi, aku merasa upayaku sia-sia. Ah, seharusnya aku meminta tips dari Miyu tentang cara membuat mata terlihat lebih besar.
"Sota, masih ada waktu sebelum bimbingan kelas pagi. Ayo main sepak bola sebentar," ajak Nitta-kun kepada Mizuno-kun yang duduk di dekat jendela saat aku memasuki kelas.
Mengingat kejadian kemarin, rasanya canggung untuk bertatap muka dengan Mizuno-kun. Padahal nanti sore ada latihan untuk lomba renang .... Sambil memikirkan hal itu, aku berjalan melewati mereka menuju kursiku. Tempatku berada di belakang tengah, cukup jauh dari mereka. Setidaknya untuk saat ini, aku bersyukur berada di posisi yang tidak mengharuskanku berinteraksi dengan Mizuno-kun. Miyu—yang biasanya sibuk berdandan dan menata rambut hingga nyaris terlambat—tentu saja belum datang. Aku membuka tas sekolahku dan mulai mempersiapkan pelajaran.
"Ehh ... malas, pagi-pagi begini," ujar Mizuno-kun dengan suara yang terdengar agak mengantuk. Jawaban yang tidak biasa darinya. Apa dia kurang tidur hari ini?
Mungkinkah dia tidak bisa tidur karena mengkhawatirkanku semalam? Ah, apa aku terlalu percaya diri ya?
"Aku kan sedang absen dari klub demi lomba renang ini."
"Uhh ... ya ya, aku mengerti," Mizuno-kun pun pasrah sambil tersenyum masam, menerima ucapan bercanda Nitta-kun yang memang benar adanya.
"Oke, kau juga ikut Ryota," Mizuno-kun memanggil Naito-kun yang duduk di belakangnya. Seperti biasa, Naito-kun masih terlelap dengan kepala terbenam di meja. Suara Mizuno-kun saja tidak cukup untuk membangunkannya. Mizuno-kun mencolek kepala Naito-kun dan berbisik di telinganya, "Hei, ayo main bola.". Akhirnya Naito-kun perlahan mengangkat wajahnya.
"Hah ...? Kenapa aku harus ...?"
"Hmm, kayaknya aku kasih tahu ke guru kalau kau di kelas dengar lagi pakai ...."
"Sip, ayo!!" Naito-kun langsung berdiri dengan penuh semangat begitu Mizuno-kun melancarkan ancaman andalannya.
"Tapi, cuma lima menit."
"Justru hal-hal kecil yang rutin dilakukan itu penting dalam sepak bola."
"Ah ... tapi aku benar-benar masih mengantuk ...."
Mereka bertiga pun meninggalkan kelas sambil mengobrol.
Selain itu ....
Bagaimana Mizuno-kun bisa menyadari sisiku yang aku sembunyikan? Memang kami jadi lebih sering mengobrol sejak ditugaskan mengurus lomba renang, tapi itu baru seminggu yang lalu. Sebelumnya, kami hampir tidak pernah berinteraksi. Bahkan aku nyaris tidak menyadari keberadaannya. Lalu kenapa ...? Saat aku tenggelam dalam pemikiran itu, suara cempreng Kato-san terdengar, "Memang keren ya, mereka bertiga!"
"Nitta-kun si pangeran sepak bola, Mizuno-kun si ceria dan menyegarkan, dan Naito-kun si santai tapi imut ... benar-benar sempurna!" Timpal teman di sebelah Kato-san yang tampaknya juga setipe dengannya.
Yah, memang ketiga orang itu keren sih. Ditambah lagi mereka rajin ikut latihan lomba renang dan kepribadiannya baik.
Saat aku berpikir begitu, seolah tidak ada hubungannya denganku, Kato-san berkata dengan nada penuh arti, "Eh, tapi kalian tahu tidak? Tentang Mizuno-kun, lho."
Aku, sedang meletakkan buku kimia untuk pelajaran pertama di meja, langsung memasang telinga. Meski kursi Kato-san ada di depan serongku dan suaranya cukup keras, entah kenapa aku merasa perlu mendengarkan lebih seksama.
"Eh, apa? Apa?"
"Katanya, seluruh keluarga Mizuno-kun sudah meninggal."
Begitu mendengarnya, tubuhku langsung menegang.
Apa katanya barusan ...?
"Eh?! Masa sih?! Kenapa?!"
"Entah, aku juga tidak tahu detailnya. Mungkin kecelakaan atau apa. Aku cuma tidak sengaja dengar orang membicarakannya."
"Wah! Mizuno-kun kelihatan ceria, jadi tidak kelihatan, ya!"
Seluruh keluarganya sudah tidak ada. Sejenak aku berpikir mungkin keluarganya juga korban kecelakaan kereta yang sama, tapi sepertinya bukan. Aku sering bertemu dengan keluarga korban kecelakaan itu saat negosiasi kompensasi dengan perusahaan kereta api atau acara penghormatan. Aku tidak pernah melihat Mizuno-kun di sana.
Tapi, Mizuno-kun juga tidak punya keluarga. Bahkan semuanya. Aku tidak tahu apakah yang dikatakan Kato-san dan temannya itu benar. Tapi kalau memang benar, bukankah itu sama dengan keadaanku?
"Meski kelihatan ceria, mungkin dia tipe yang akan mencurahkan keluh kesahnya pada sahabat atau pacarnya, ya."
"Kalau begitu, aku ingin menjadi orang yang menghiburnya! Ah, seharusnya aku ikut jadi panitia lomba renang. Dengan begitu aku bisa dekat dengan Mizuno-kun, Nitta-kun, dan Naito-kun."
Kato-san melirik ke arahku. Tatapannya tajam menusuk, seolah dipenuhi emosi negatif. Sepertinya dia masih kesal soal penunjukan panitia itu. Aku sedikit terkejut, tapi tidak peduli dengan Kato-san. Aku pura-pura tidak menyadari tatapannya dan kembali memikirkan Mizuno-kun.
Mungkin karena dia mengalami hal yang sama denganku, makanya dia bisa menyadari kekosongan di dalam diriku. Mungkin karena dia memperhatikanku yang bernasib sama dengannya, dia bisa melihat di balik emosi palsu yang kutunjukkan. Hanya itu yang bisa kupikirkan. Tapi kalau begitu, kenapa? Meskipun sama-sama kehilangan keluarga, kenapa dia bisa tertawa dengan tulus dan bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu? Aku yang penakut ini merasa tidak mungkin bisa melakukan hal seperti itu, Mizuno-kun.
Setelah latihan lomba renang di hari aku mengetahui tentang keluarga Mizuno-kun, kami berdua sedang membereskan stopwatch dan tali pembatas kolam yang digunakan untuk latihan di gudang kolam renang. Yang lain mungkin sedang berganti pakaian di ruang ganti. Karena kejadian kemarin di mana aku tiba-tiba menangis di hadapannya, ditambah aku jadi tahu tentang keadaan keluarganya, aku jadi bingung harus bersikap dan berbicara seperti apa. Saat latihan tadi, karena ada orang lain, kami tidak banyak mengobrol. Tapi sekarang hanya berdua, rasanya canggung jika hanya diam saja.
Tapi ....
"Sudah membereskan stopwatch-nya? Terima kasih, ya."
Tapi, Mizuno-kun tetap seperti biasanya. Sambil berkata begitu, dia tersenyum polos.
"Iya ... terima kasih juga sudah membereskan tali pembatasnya. Pasti berat, ‘kan?”
"Ah, segini sih tidak masalah. Kan aku laki-laki," candanya.
Syukurlah, sepertinya dia tidak memikirkan kejadian kemarin saat aku tiba-tiba mengusirnya.
"Oh iya, Yoshizaki-san. Boleh lihat buku catatannya?"
"Iya.”
Dipinta, aku pun memberikan buku catatan berisikan rekam waktu renang yang lain. Setelah menerimanya Mizuno-kun membalik halaman dan menatapnya dengan serius.
"Waktu semuanya sudah mulai membaik, ya. Yah, memang Hiroki dan Sakashita-san dari awal sudah cepat sih."
"Iya."
"Tapi, anak kelas tiga pasti lebih cepat ya. Kalau lihat saat latihan saja, semangatnya beda."
Karena latihan lomba renang semua kelas dilakukan bersamaan, terkadang kami berlatih di jalur sebelah kelas tiga. Seperti kata Mizuno-kun, berbeda dengan anak kelas satu dan dua yang berlatih santai, dari arah kelas tiga sering terdengar teriakan seperti "Postur tubuhmu salah!" atau "Pergantian perenangnya terlambat!", menunjukkan betapa seriusnya mereka menghadapi lomba ini. Yah, meski kelas 2-2 kami termasuk serius berlatih untuk ukuran kelas dua berkat semangat Mizuno-kun di hari pertama latihan. Tapi karena semua anggota tim kita orangnya baik, suasananya sama sekali tidak tegang.
"Iya ... sepertinya memang sulit ya mengalahkan kelas tiga," ujarku sambil mengingat latihan kelas tiga yang baru-baru ini kulihat.
Tapi tiba-tiba ....
"Masa? Menurutku kita punya peluang, lho. Semua sudah berusaha keras."
"Ada ... peluang?"
"Sepertinya begitu. Miyu-chan juga jadi jauh lebih cepat dibanding saat awal .... Tinggal bagaimana mempercepat pergantian perenang, ya ...?"
Mizuno-kun tampak berpikir keras sambil melihat buku catatan. Ekspresinya benar-benar serius.
Aku jadi tidak tahan melihatnya. Kenapa orang ini ....
"Hei, kenapa kamu bisa berusaha sekeras ini ...?" Tanyaku sambil menunduk, tidak berani menatap matanya.
Kudengar Mizuno-kun berkata, "Eh?"
"Kenapa kau bisa sesenang ini? Saat latihan lomba renang, saat mengobrol dengan Nitta-kun dan Naito-kun, bahkan saat hendak membeli roti kari di kantin."
Di saat itu, aku perlahan mengangkat wajah, berusaha bertemu dengan tatapan dirinya.
"Mizuno-kun, kau tidak punya keluarga, ‘kan? Sama sepertiku."
Mizuno-kun terdiam sejenak, membalas tatapanku. Dia tidak membantah, jadi sepertinya apa yang dikatakan Kato-san dan temannya memang benar.
"Sejak kecelakaan itu ... aku tak bisa tersenyum tulus. Aku tidak bisa bersungguh-sungguh dalam melakukan apa pun."
Bahkan berenang yang dulu kukerjakan dengan penuh semangat, sejak saat itu tak pernah kutekuni lagi.
"Padahal Mizuno-kun sama sepertiku. Bagaimana kau bisa hidup seperti itu ...?" tanyaku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Kenapa Mizuno-kun bisa tetap ceria meski telah kehilangan orang-orang terkasih? Kenapa Mizuno-kun bisa memancarkan semangat yang bahkan menular pada orang-orang di sekitarnya? Aku tidak bisa melakukan hal seperti itu. Rasanya mustahil bagiku.
Tiba-tiba ....
"Kedua orang tuaku ... mereka dokter," ucap Mizuno-kun dengan senyum dan nada santai seperti biasa. Suaranya terdengar lembut, seolah berusaha membuatku tenang.
"Dokter ...?"
"Ya, ayahku dokter bedah di rumah sakit gawat darurat dan ibuku psikiater. Jadi ...."
"Ya?"
"Kurasa ayah dan ibuku lebih akrab dengan kematian dibanding orang biasa."
Aku teringat cerita tentang paman yang selamat dari kecelakaan lalu lintas dan dibawa ambulans, serta isi dokumenter tentang psikiatri yang pernah kutonton di TV. Memang benar apa yang dikatakan Mizuno-kun. Bahkan pamanku yang terluka parah itu, sedikit saja berbeda mungkin telah kehilangan nyawa di rumah sakit. Selain itu, di TV dikatakan bahwa tingkat bunuh diri pasien psikiatri cukup tinggi.
"Jadi entah bagaimana, aku juga memiliki kesadaran seperti itu."
"Kesadaran seperti itu ...?"
"Kesadaran bahwa kita tidak tahu kapan akan mati," jelasnya dengan jelas dan perlahan, seolah ingin memastikan aku mendengarnya dengan baik.
"Orang tuaku memang tidak pernah menceritakan hal-hal yang terjadi di rumah sakit. Tapi mereka sering berkata 'Hiduplah tanpa penyesalan' atau 'Jadilah orang yang bisa bertahan hidup sendirian' di saat-saat tertentu."
Mizuno-kun tersenyum sedikit sedih. Mungkin mengucapkan kata-kata orang tuanya membuatnya teringat masa-masa yang dihabiskan bersama mereka.
"Karena itu ... kurasa aku jadi seperti ini. Padahal menurutku aku biasa saja. Oh, jadi aku selalu terlihat gembira ya? Eh, apa itu membuatku terlihat bodoh?"
Dia merendahkan diri dengan santai, membuatku melupakan perasaan sedih tadi dan tersenyum kecil.
"Tapi Yoshizaki-san, atau mungkin sebagian besar orang, pasti sulit menerima jika tiba-tiba kehilangan keluarga."
"Ya ...."
"Jadi, mungkin akulah yang aneh. Kurasa lebih wajar jika seseorang mematikan perasaannya untuk melindungi diri, seperti Yoshizaki-san."
"Eh ...?"
Melindungi diri?
"Kau terlihat sangat menderita, mungkin karena kau menekan perasaan sedih kehilangan keluargamu."
Kesedihan kehilangan keluarga ....
Biasanya aku berusaha untuk tidak memikirkan ayah dan ibu. Aku bahkan menghindari melihat foto mereka. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa orang-orang seperti itu tidak pernah ada dalam hidupku. Bahkan di saat-saat aku hampir teringat mereka, aku memaksa diriku untuk berpikir demikian. Karena aku tidak ingin mengakui kenyataan kejam bahwa aku tidak akan pernah bisa bertemu lagi dengan ayah dan ibu yang sangat kucintai.
Ah, jadi begitu. Itu artinya aku berusaha melindungi diriku sendiri. Agar kesedihan tidak membanjiri hatiku.
"Maaf. Aku lancang bertanya 'kenapa kau mematikan perasaanmu?' Aku sempat melihatmu terlihat sedih beberapa kali, makanya aku bertanya. Tapi meski sedih, kau pasti sedang menahan sesuatu yang jauh lebih menyakitkan. Maaf aku tidak mengerti."
Setelah berkata demikian, Mizuno-kun menoleh ke arah pintu gudang.
"Ayo kita pergi. Kalau kita berdua terus berada di sini, Hiroki dan Ryota mungkin akan membayangkan yang tidak-tidak."
Dia tersenyum kecut dan mulai berjalan ke arah pintu gudang. Sebenarnya aku tidak keberatan jika ada rumor aneh tentang kami. Asal dengan Mizuno-kun .... Entah mengapa aku berpikir seperti itu. Yah, mungkin aku tidak masalah, tapi bagaimana jika Mizuno-kun tidak suka? Ah, tidak, bukan itu masalahnya ....
"Mizuno-kun," panggilku saat dia hendak meraih gagang pintu. Dia berbalik tanpa membuka pintu.
"Mizuno-kun itu keren, ya. Aku benar-benar mengagumimu," ucapku perlahan dan jelas. Aku ingin mengatakannya dengan benar karena itu adalah perasaan tulus dari hatiku.
Dia menatapku dengan mata terbelalak.
Selama ini aku berpikir bahwa setelah mengalami hal seperti itu, aku tidak akan bisa lagi menikmati sesuatu, tenggelam dalam suatu hal, atau berusaha keras untuk apa pun seumur hidupku. Aku yakin itu mustahil bagiku. Tapi Mizuno-kun bisa. Padahal dia mengalami hal yang sama sepertiku. Aku merasa tidak bisa terus seperti ini.
"Aku ingin berusaha keras dalam tugas lomba renang ini. Agar waktu tempuh semua orang bisa sedikit lebih cepat. Aku ingin berusaha sepertimu."
Sudah enam tahun aku takut untuk melangkah maju. Aku tidak bisa langsung menjadi sepertinya. Mungkin seumur hidup pun aku tidak akan bisa. Tapi aku benar-benar berpikir cara pandang Mizuno-kun itu bagus. Untuk awalnya, aku akan mencoba menirunya meski hanya sebatas tindakan.
Mizuno-kun menatapku sejenak, lalu entah mengapa wajahnya memerah dan dia mengalihkan pandangannya dariku.
"Umm ...."
"Eh?"
"Mengatakan aku keren dengan wajah serius begitu ... bukankah, curang?"
Aku memiringkan kepala, tidak mengerti maksud ucapannya. Curang? Apa aku melakukan sesuatu yang tidak adil?
"Ah, bukan apa-apa."
"Hm?"
"Tapi syukurlah kalau Yoshizaki-san jadi bersemangat. Iya, ayo kita berusaha bersama-sama."
Meski wajahnya masih sedikit merah, Mizuno-kun tersenyum ramah dan aku pun membalas senyumnya. Ya, untuk sekarang, aku akan mencoba melakukan apa yang kubisa. Meskipun memikirkan kecelakaan itu, mengingat ayah dan ibu, masih terasa menyakitkan.
"Sepertinya ... memang sudah takdirku menjadi seperti ini," gumam Mizuno-kun pelan. Sepertinya itu gumaman untuk dirinya sendiri, tapi aku mengerutkan dahi karena tidak mengerti maksudnya.
Tapi, karena Mizuno-kun segera keluar dari ruang persiapan, aku memutuskan untuk tidak mengejarnya. Yah, sudahlah. Dan saat aku kembali ke pinggir kolam dan berbincang dengan para perenang, aku pun melupakan gumaman kecil Mizuno-kun itu.
Post a Comment