NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tomeina Yoru Ni Kakeru-kun Volume 1 Chapter 5

 


Penerjemah: Rion 
Proffreader: Rion 

Chapter 5 - Melodi Piano


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.

Jangan lupa juga join ke DC, IG, WhatsApp yang menerjemahkan light novel ini, linknya ada di ToC ini.


Ketika dokter menjelaskan, "Titik ini adalah tumor ganas kecil," itu terdengar seolah-olah hal itu tidak ada hubungannya dengan diriku. 

Beban pada kondisi fisikku pada saat itu hanya sedikit rasa lelah dan sakit kepala, tidak begitu parah. Mungkin karena ukurannya sekecil kuku jari kelingking, operasi sederhana tanpa menggunakan pisau bedah berjalan sukses dengan mudah. 

Rasanya seperti semudah itu, semuanya sudah selesai.

Namun beberapa tahun kemudian, ditemukan metastasis. 

"Mari kita mulai kemoterapi," kata dokter, yang menjadi awal dari neraka berkelanjutan.

Untuk menekan pertumbuhan sel kanker, obat-obatan yang sangat kuat disuntikkan ke dalam tubuhku. 

Pertumbuhan sel buruk terhenti, tetapi fungsi sel normal juga melambat. 

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Pertama-tama, mual dan diare yang sangat parah menyerangku. 

Rambutku rontok. 

Aku mulai mengenakan topi rajut bahkan di dalam rumah. 

Lama kelamaan, aku tidak bisa tidur. 

Karena tidak bisa tidur, pikiranku menjadi kabur. 

Ingatanku mulai buram. Katanya ini disebut 'kemobrain'.

Aku bahkan kesulitan mengingat peristiwa dari kemarin atau beberapa hari yang lalu.

Oh ya, apa yang sedang aku pikirkan waktu itu? Pikiranku sungguh kacau dan itu membuat frustrasi.

Lambat laun, perasaan itu memudar, dan aku berhenti berpikir. Menjadi kosong. Melamun. 

Namun, sesekali, rasa cemas yang hebat menyerang. Aku menangis sendirian hampir setiap hari. 

Itu jelas merupakan gejala depresi. 

Kenapa hanya aku yang harus mengalami penderitaan seperti ini? 

Aku mengutuk takdir. 

Aku mengutuk diriku sendiri. 

Aku bahkan mulai berpikir, "Mungkin lebih baik jika aku mati saja."

Jika aku mencekik leherku dengan handuk...

Jika aku jatuh dari atap...

Jika aku memotong pergelangan tanganku...

Jika aku menggigit lidahku....

Aku memikirkan kematian setiap hari. 

Namun, keluargaku tidak membiarkan pikiran itu menjadi kenyataan. "Hiduplah. Hiduplah," Itu adalah harapan yang aku terima sepanjang waktu. 

Bisakah kamu membayangkannya? Diharapkan untuk hidup lebih dari kematian, betapa menyiksanya hal

Ah, begitu ya. Nungkin itulah yang disebut sebagai... Neraka kehidupan.


🔸◆🔸


Setelah mengirimkan video pernyataan cinta kepada Fuyutsuki, kabarnya belum ada balasan darinya. 

Bahkan selama seminggu ini, aku tidak bertemu dengan Fuyutsuki sama sekali. Ini bukan karena rasa malu atau ketidaknyamanan, melainkan karena kami benar-benar tidak bisa bertemu secara fisik.

Hal yang sama terjadi dengan Narumi dan Hayase, kami tidak dapat berkomunikasi dengannya meskipun sebelumnya kami sering berhubungan.

[ Yuko: Apa ada yang mendapat kabar dari Koharu sejak itu? ]

[ Ushio: Aku tidak, sama sekali tidak ada kabar. ]

[ Sorano: Aku juga tidak... ]

Aku bahkan tidak bisa mendapatkan bacaan terbaca (read receipt) saat mengirim pesan kepada Fuyutsuki. Tidak ada tanggapan dari panggilan telepon atau pesan LINE. 

Dia bahkan tidak datang ke kampus. 

Apa yang sebenarnya terjadi? Perasaan cemas yang tak terhingga mulai menyerang.

Pada jam pertama hari Senin, Fuyutsuki tidak hadir. Tempat duduk di teras yang biasa ditempati Fuyutsuki juga kosong. Seolah-olah Fuyutsuki Koharu tidak pernah ada, tempat duduk di teras itu sunyi.

Duduk sendirian di teras, sambil melihat awan yang bergerak dan minum soda dari botol. Rasa manis dari soda berkarbonasi meledak di atas lidah, lalu mengalir ke tenggorokan.

Setelah kelas pertama pada hari Senin, kami biasanya menghabiskan waktu di teras kantin bersama. Aku selalu berpikir bahwa kebiasaan itu akan terus berlanjut. 

Fuyutsuki minum teh susu dengan gula lebih banyak di sampingku, sementara aku makan makanan ringan kantin. Kami berbicara tentang hal-hal sepele dan dia tersenyum.

Entah kenapa, aku masih terus berpikir semua itu akan terus berlanjut.

Aku berbisik pada diri sendiri, "Dimana ya Fuyutsuki?"

Dia pernah berkata, 'Aku pernah bilang mesin penjual otomatis itu seperti Russian roulette, kan? Aku tidak suka minuman berkarbonasi. Jadi kalau dapat dan aku minum, rasanya seperti tenggorokanku terbakar.'

Aku mengingatnya sekarang, bahwa dia tidak suka minuman berkarbonasi. 

Sambil mengingat hal itu, aku melihat awan yang bergerak. Di langit biru, hanya ada satu awan putih yang perlahan bergerak dari kanan ke kiri. Terdengar suara burung dari suatu tempat, dan suara tawa perempuan yang berjalan di kampus.

"Ah, ingin dengar suaranya."

Tanpa sadar, kata-kata itu keluar dari mulutku. Lambat laun, aku mulai menyadari dan rasa malu perlahan muncul. Untuk mengalihkan perasaan itu, aku mengambil ponsel dan membuka LINE.

[ Sorano: Hari ini, kamu datang ke kampus? ]

Pesan yang aku kirim kemarin masih belum dibaca. Apa dia sengaja mengabaikannya? Apa aku diblokir? Imajinasi buruk mulai muncul. 

Rasanya seperti ada yang mengganjal di tenggorokanku. Sulit bernapas, jantungku sakit. Dadaku terasa seperti tercekik.

"Apa ini? Yang mereka sebut 'Patah hati'?"

Namun, rasanya ini berbeda. Aku merasa ada sesuatu yang lebih serius yang terjadi pada Fuyutsuki. Ada perasaan cemas yang menghantui. Oleh karena itu, aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin memastikan bahwa dia tidak menghilang begitu saja. 

Seseorang yang penting bisa tiba-tiba menghilang, seolah-olah mereka tidak pernah ada. Ayahku juga begitu. Dia tiba-tiba menghilang tanpa jejak, lenyap. 

Seseorang mengatakan kepadaku, "Jika itu sangat berharga bagimu, maka bawa itu kembali padamu."

Saat mengingatnya, aku merasa seperti sesuatu yang selama ini aku sembunyikan di dalam hati telah diambil.

Apa ini hukuman? Tapi, apa yang telah aku lakukan?

Aku berkata pada diri sendiri, "Mungkin, aku telah melakukan dosa yang sangat berat di kehidupan sebelumnya..."

Sekarang, aku merasa bahwa aku hanya bisa bergantung pada konsep kehidupan sebelumnya ataupun takdir, karena aku tidak memiliki kendali atas situasi ini. Hampir menangis, aku tertunduk. 

Rasanya seperti ada yang mengganjal di tenggorokanku. Sulit untuk bernafas, jantungku terasa sakit, seakan-akan dadaku ditekan.

“Selamat pagi.”

Tiba-tiba, aku mendengar suara Hayase saat sedang menatap semut di atas aspal. Aku mengangkat wajah dan melihat Hayase dengan ekspresi yang gelap.

“Hayase, apa yang terjadi?"

Melihatnya seperti itu membuatku khawatir. Entah karena riasan yang kurang atau lingkaran hitam di matanya, dia terlihat seperti panda yang menderita penyakit kronis.

“Rasanya aneh melihat Hayase sampai seperti ini.”

"Selama ini... aku kelihatan kuat, ya?"

"Orang yang secara aktif bergerak mengambil inisiatif sendiri biasanya terlihat seperti itu."

"Sejujurnya, aku lemah secara mental."

Memang, Hayase sekarang terlihat seperti dia kehilangan tulang punggungnya.

"Koharu-chan, dia memang tidak ada, ya?" Mungkin Hayase berharap bahwa Fuyutsuki akan muncul dengan tiba-tiba, tersenyum dan mengatakan, "Aku membuatmu khawatir ya? Ehehe~" 

Dia mungkin mempertaruhkan harapan seperti itu. Aku bisa mengerti perasaannya.

"Ap karena aku mengirim video aneh?"

"Aneh bagaimana maksudmu?"

"Melakukan lelucon dengan perasaan seseorang dalam pernyataan cinta."

"Oh, aku mengerti sekarang."

Mungkin Hayase tidak terbiasa dengan seseorang yang tiba-tiba menghilang. 

Aku, yang sudah terbiasa dengan pergantian orang dewasa di sekitarku, tidak merasakannya seberat Hayase.

Tidak, itu bohong. Sebenarnya, Fuyutsuki adalah pengecualian, dia juga sangat berarti bagiku.

"Apa yang terjadi padanya ya?"

Meskipun aku mengatakan itu, dia hanya menjawab lesu, "Aku juga tidak tahu."

"........."

"........."

Percakapan terasa mati.

"Mengenai ujian semester depan," aku mencoba mengeluarkan topik dengan paksa. "Apa kamu bisa mendapatkan kumpulan soal ujian dari para senpai?"

"Senpai seharusnya memberiku..."

"Boleh aku menyalinnya? Aku akan mentraktirmu camilan sebagai gantinya."

"Baiklah."

Seharusnya dia akan mengejekku dengan mengatakan bahwa itu terlalu murah sebagai imbalan, tetapi Hayase tampak terlalu sibuk memikirkan 'Fuyutsuki' dalam benaknya. 

Hayase terlihat seperti sedang terdiam sambil menatap tanah, dalam kelesuan, sambil terus memperhatikan barisan semut.

Pada saat itu, "Sorano!"

Itu suara Narumi.

Narumi berlari sambil melambaikan tangannya. Karena Narumi memiliki postur yang besar, dia terlihat seperti pemain rugby. Orang-orang yang berjalan di sekitar kampus berusaha menghindarinya. Menabraknya akan lebih seperti 'ditabrak' daripada 'bertabrakan'.

Narumi berdiri dengan tangan di lutut, berusaha mengatur napas.

"Ada apa?"

"Kenapa kamu berlari?" tanya Hayase.

Terengah-engah, Narumi menjelaskan secara terputus-putus bahwa dia berlari dari Tsukishima.

Tampaknya dia berlari dari Stasiun Tsukishima, sekitar satu kilometer jaraknya. Sepertinya perlu ada peraturan dalam Undang-Undang Lalu Lintas Jalan Raya yang melarang pria besar seperti dia berlari di trotoar.

Saat hendak mengatakan lelucon semacam itu, Narumi melontarkan kata-kata yang tidak pernah kami duga.

"Aku melihat Fuyutsuki."

Segera setelah mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Narumi, aku dan Hayase saling pandang.

" "Di mana?" "

"Dia berjalan dari Shintomicho dan masuk ke rumah sakit besar."

Frasa 'rumah sakit' membuatku merinding seketika.

Aku teringat akan masa lalu Fuyutsuki.

Kanker, metastasis, rawat inap.

Apakah dia sakit lagi? Pikiranku mendadak panas.

Aku ingin bertemu dengannya. Emosi itu menguasai lubuk hatiku.

"Terima kasih. Aku akan pergi."

"Aku ikut," kata Hayase sambil menggenggam lengan bajuku erat-erat.

"Bagaimana denganmu, Narumi?"

"Maaf... Aku ada kelas wajib yang tidak bisa ditinggalkan."

"Tidak apa-apa, kami akan pergi sendiri!"

Sambil berkata demikian, kami mencoba berlari secepat mungkin.

"Kau tahu arahnya?" 

Aku berpaling ke arah Narumi yang berteriak dari belakang dan mengangkat ponsel.

"Aku akan lihat di peta, jadi jangan khawatir! Terima kasih!"

"Hati-hati!"

Kami berlari dengan kecepatan penuh sampai kehabisan napas. Saat kehabisan napas, kami mengambil jeda dengan berjalan cepat, lalu kembali berlari dengan kecepatan penuh. 

Sisi perutku mulai sakit, terasa seperti ada rasa darah di mulutku. Paru-paruku juga terasa nyeri, tapi itu tidak penting. Aku ingin bertemu Fuyutsuki secepat mungkin, bahkan jika itu hanya sedetik lebih cepat.



🔸◆🔸


Dari Stasiun Tsukishima, hanya satu stasiun dengan kereta bawah tanah menuju Shintomicho. Aku sempat bimbang apakah harus naik kereta atau tidak, tapi akhirnya aku memutuskan untuk berlari. Lebih baik berlari daripada turun ke bawah tanah dan menunggu kereta.

Sambil mengenakan sepatu hak tinggi, Hayase segera berkata, "Tolong, lanjut saja duluan," dan memilih untuk mundur. Akhirnya, aku pun melanjutkan berlari sendirian.


Mulai dari Jembatan Tsukuda, rumah sakit besar itu sudah terlihat. Aku telah berlari sekitar dua kilometer, dan aku sudah sangat lelah. Rumah sakit yang lebih mirip sebuah benteng ini terlihat mewah dengan perpaduan bangunan rendah dan tinggi.

Wow, bahkan ada taman gantung (taman diatas gedung) di sana. 

Seperti yang bisa diharapkan dari rumah sakit umum di kota besar.

Ketika aku memasuki lantai pertama, aku disambut oleh aroma kopi, bukan aroma sanitasi rumah sakit seperti yang kubayangkan. Suasana di dalam gedung mewah ini juga membuatku merasa terheran-heran.

Ada toko kopi hijau yang menjadi sumber aroma itu, juga ada restoran. Entah mengapa, bahkan ada galeri seni. Rasanya seperti hotel mewah. Aku merasa tidak pantas berada di tempat ini.

Ketika sampai di sini, apakah resepsionisnya juga berpakaian seperti staf hotel? Aku sempat berpikir begitu, tapi ternyata resepsionisnya tampak seperti resepsionis rumah sakit pada umumnya.

"Maaf, permisi. Boleh saya bertanya?"

"Ya, ya. Apakah ini kunjungan pertama Anda?"

Aku berkata dengan napas tersengal-sengal, dan resepsionis wanita itu tampak sedikit kebingungan.

"Apakah ada seseorang di rumah sakit ini yang bernama Koharu Fuyutsuki?"

Ekspresi resepsionis itu segera berubah menjadi curiga.

"Maaf, itu informasi pribadi."

"Kumohon. Saya sudah lama tidak bisa menghubunginya."

Aku sangat putus asa. Aku tahu betapa bodohnya apa yang kukatakan. Tapi, aku tidak bisa berhenti. Aku ingin tahu. Aku ingin diberi tahu. Aku ingin bertemu dengan Fuyutsuki Koharu.

"…Meskipun Anda berkata begitu…"

Seorang yang tampaknya adalah atasan dari resepsionis itu datang dengan senyuman yang tampak dipaksakan.

Aku tahu itu senyuman yang digunakan untuk menghadapi orang yang mencurigakan.

"Apa yang terjadi?"

"Maaf, semuanya baik-baik saja."

Aku tidak tahu apa yang baik-baik saja dalam situasi ini, jadi aku hanya memutar tumit dan meninggalkan meja resepsionis.

Aku tahu betapa konyolnya tindakanku. Aku tahu itu.

Tiba-tiba, tanah seakan berguncang.

Seperti kekurangan oksigen, pandanganku menjadi putih. Aku tidak mampu berdiri dan terkulai di bangku yang ada di lobi. 

Kapan terakhir kali aku berlari sekuat ini?

*Ping pong* suara elektronik terdengar, dan antrian nomor '107' dipanggil.

Aku mulai berpikir, apakah mungkin jika aku terus duduk di lobi, nama Fuyutsuki akan dipanggil? Tapi ternyata mustahil. Tampaknya rumah sakit ini tidak memanggil nama pasien, jadi tidak peduli berapa lama aku terkulai di sini, nama Fuyutsuki tidak akan dipanggil.

"Kemana kamu pergi?"

Aku mengeluarkan ponsel, membuka LINE.

Tidak ada tanda-tanda bahwa pesan yang aku kirim kemarin telah dibaca.

Fuyutsuki, Fuyutsuki, Fuyutsuki.

Pikiranku penuh dengan Fuyutsuki.

"Sorano-kun!"

Hayase tiba-tiba muncul di lobi rumah sakit.

"Kamu datang dengan kereta?"

"Tidak, aku berhasil dapat taksi."

Ekspresi Hayase terlihat tegang. Dia datang dengan cepat, itu sudah jelas.

"Jadi, bagaimana? Apa Koharu-chan ada di sini?"

"Saat aku bertanya di meja resepsionis, mereka tidak memberi tahuku."

"Bodoh. Sudah jelas mereka tidak akan memberitahu! Tapi, ya, aku bisa paham kondisimu."

Hayase tampaknya telah membuat keputusan.

"Kita harus mencarinya sendiri. Aku akan mencari di gedung lama sebelah, jika aku menemukannya, aku akan menghubungimu."

Dengan kata-kata itu, Hayase pergi menuju gedung lama.

Kemudian, aku juga mulai mencari Fuyutsuki di dalam rumah sakit. Rumah sakit tersebut memiliki dua belas lantai. Aku mencarinya dengan hati-hati agar tidak terlihat mencurigakan, seolah-olah aku sedang mencari kamar pasien tertentu, dan memeriksa setiap lantai satu per satu.

Ketika aku naik ke lantai yang lebih tinggi, bau khas rumah sakit seperti cairan disinfektan mulai tercium di udara.

Bagian yang paling memungkinkan adalah departemen oftalmologi (bagian yang menangani masalah mata dan sistem penglihatan). Aku mencari-cari orang yang menggunakan tongkat putih..... tapi sayang, tidak ada diantaranya.

Fuyutsuki, Fuyutsuki, Fuyutsuki.

Kepalaku dipenuhi Fuyutsuki.

Belum ada kabar dari Hayase.

Di mana dia berada!

Aku mulai merasa semakin gelisah.


"♪"


Saat aku hampir kembali dari departemen pediatrik (bagian yang menangani perawatan medis untuk anak-anak) karena berpikir dia tidak mungkin ada di sini, aku mendengar suara piano.

Melodi lembut memenuhi koridor rumah sakit. Suara yang familiar itu membuat jantungku berdebar kencang. Wajah Fuyutsuki yang sedang bermain piano terlintas di benakku.

Mungkin ini adalah 'ruang anak-anak', seperti yang tertulis disana. 

Dindingnya berwarna biru pastel, dan lantainya dilapisi dengan matras sambung yang lembut berwarna kuning dan hijau. Banyak mainan dan buku cerita dipajang di rak dinding, dan ada sekitar sepuluh anak di sana. 

Mungkin itu ibu mereka, tiga wanita tampak memandang anak-anak dengan penuh kasih. Di ruang anak-anak itu juga terdapat piano upright, dan di ujung tuts piano, ada tongkat putih yang disandarkan.

Jantungku berdebar keras...

Aku tertegun, dia ada... dia disana, aku benar-benar menemukannya!

Fuyutsuki duduk tegap, bermain piano. Mengalunkan melodi lembut, rambut panjangnya bergerak-gerak mengikuti irama gerak tubuhnya.

Lagu apa ini? Ini adalah lagu yang sering dimainkan di gereja.


“Kasih yang tak berkesudahan~♪"


Suara nyanyian yang ringan dan lembut terdengar, bagaikan suara seorang profesional dengan vokal yang indah. Sementara itu, anak-anak juga mulai ikut bernyanyi.

Mendengar suara Fuyutsuki, perasaan lega menyebar dari ujung kaki hingga ujung kepala, hampir membuatku terjatuh.

Aku menemukannya. Aku berhasil menemuinya.

Syukurlah. Syukurlah.

Dia tidak menghilang. Dia tidak lenyap, syukurlah.


"Menghapus dosa dan kekhawatiran~♪"


Tanpa menyadari perasaanku, Fuyutsuki bernyanyi dengan suara murni dan santai.

Apa ini? Dia pandai sekali.

Haha... haha... suara kecil keluar dari mulutku. Pandanganku mulai kabur, sudut mataku terasa panas, dan pipiku basah.

Aku mengeluarkan ponsel dan memberi tahu Hayase.

[ Sorano: Dia ada disini. ]

[ Yuko: Di mana!? ]

[ Sorano: Ruangan anak-anak, departemen pediatrik. ]

[ Yuko: Apa yang dia lakukan? ]

[ Sorano: menjadi teman menyanyi anak-anak. ]

Setelah itu, aku menerima stiker dari Hayase yang tampaknya aneh dan menunjukkan perasaan yang sulit untuk kucerna.


Setelah berkumpul dengan Hayase, kami menunggu Fuyutsuki keluar ke lantai tunggu departemen pediatrik.

Waktu Fuyutsuki bernyanyi mungkin berlangsung sekitar lima belas menit. 

"Terima kasih,” suara anak-anak terdengar kencang, sementara Fuyutsuki mengucapkan, "Sampai jumpa," saat dia keluar.

"Ayo pergi."

Aku memanggil Hayase. Dia mengangguk dan mengikutiku.

Bagaimana aku harus memulai percakapan? Meskipun hanya berlalu satu minggu sejak kami terakhir bertemu, rasanya seperti sudah bertahun-tahun lamanya.

Jantungku berdebar. Gawat, apa yang harus kukatakan?

“Fuyutsuki!”

Fuyutsuki terkejut mendengar suaraku.

Melihat tingkah lakunya, aku merasa ada yang aneh.

"Maaf, Fuyutsuki. Ini Sorano. Aku di belakangmu."

Saat memanggil Fuyutsuki yang tidak bisa melihat, aku tahu pentingnya menyebutkan nama agar dia tahu siapa yang berbicara. Pada awal pertemuan kami, aku juga selalu menyebutkan namaku, tetapi lama kelamaan dia bisa mengenaliku hanya dari suaraku saja.

Namun kali ini, itu tidak berfungsi.

Rasa aneh perlahan berubah menjadi kecemasan.

'Ahh, Kakeru-kun~' suara santai yang biasa kudengar kini menghilang.

Fuyutsuki yang membalikkan badan terlihat ketakutan.

Kecemasan meningkat. Seluruh darah di tubuhku terasa beku, dan tenggorokanku kering.

Untuk menutupi kecemasan itu, aku tanpa sadar mengatakan sebuah lelucon, "Aku sudah lama mencarimu. Apakah Anda punya waktu, Nona?"

Biasanya, Fuyutsuki akan tersenyum sambil bergurau mengikuti alur. Dia akan menjawab dengan lelucon yang tak berarti seperti 'Siapa kamu?' atau 'kamu salah orang!' Namun, kali ini, dia hanya menjawab dengan "Ya?" secara singkat.

Apa yang terjadi? Jawabannya, nada suaranya, semuanya terasa aneh.

Naik satu lantai dari ruang anak-anak, ada taman gantung, jadi aku, Fuyutsuki, dan Hayase pergi ke sana.

Ketika Hayase mencoba menawarkan lengannya, Fuyutsuki menolak dan berjalan sendiri mengikuti pegangan pada tangga.

Meski berada di atas gedung, pohon-pohon ditanam dan halaman rumput diatur dengan rapi. Di area taman, azalea merah mekar di antara semak-semak. 

Di ujung taman ada terowongan lengkung hijau. Berjalan melewatinya, terdapat sebuah bangku.

Aku membuat Fuyutsuki duduk di bangku itu. Fuyutsuki mengenakan piyama berwarna pastel yang lembut.

Kami berhadapan, tapi aku kesulitan memulai percakapan.

Akhirnya, aku memilih kata "lama tidak jumpa" sambil menyembunyikan perasaan rinduku.

Hayase duduk di samping Fuyutsuki, menggenggam tangannya, "Kami sangat khawatir."

"Kenapa kamu tidak bisa dihubungi?"

Mungkin karena Hayase tiba-tiba menggenggam tangannya, Fuyutsuki tampak tegang.

Ada yang aneh.

Kemudian, Fuyutsuki membuka mulutnya dan mengucapkan kata-kata yang sangat mengejutkan.

"---Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Dia mengatakannya seolah-olah kami baru pertama kali bertemu. 

Hayase terbelalak dan tampak terkejut. "Bohong," katanya lirih, sambil menatapnya dengan tatapan tak percaya.

Tentu saja aku juga tidak percaya dengan apa yang kudengar.

Tanpa sadar, nada bicaraku menjadi keras.

"Kamu serius mengatakan itu?!"

"Hi---" Fuyutsuki mengeluarkan suara pendek, seolah-olah dia sangat takut. 

Tentu saja, dia akan merasa takut dihadapkan pada suara seperti itu dari seseorang yang tidak bisa dia lihat.

"Maaf, aku minta maaf."

Aku mengulangi sekali lagi, seolah-olah untuk meyakinkan diriku sendiri. 

Akhirnya, akhirnya, aku bertemu dengannya.

Tapi, apa-apaan ini?

Detak jantungku berdebar. Aku merasa pusing saat melihat matahari yang bersinar terang di atas kepala. Bersamaan dengan itu, asam lambungku mulai naik.

"Ini hanya lelucon, kan?" aku bertanya lagi, sebagai upaya terakhir. Jika ini bukanlah lelucon, maka semua selesai. Harapanku benar ini berakhir.

"Apa yang kamu maksud dengan lelucon?" 

Apa yang kutakutkan terjadi, ini bukanlah lelucon.

Ketika kenyataan itu menamparku, Hayase yang duduk di sebelahnya mulai berlinang air mata.

"Begitu..." 

Secara alami, kata itu keluar dari mulutku.

Ini adalah penerimaan. Atau lebih tepatnya, aku harus menerimanya, agar aku bisa menjaga ketenangan diriku.

"Senang bertemu denganmu. Aku Sorano Kakaru. Dan ini, Hayase---"


🔸◆🔸


Setelah berbicara dengan Fuyutsuki, saya memutuskan untuk kembali ke asrama. 

Saat keluar dari rumah sakit, hari sudah menjelang petang. Sungai Sumida di bawah Jembatan Tsukuda berwarna oranye, dan meskipun masih terang, lampu jalan di jembatan sudah menyala. Mungkin karena wajahku terlihat sangat muram, ada seekor anjing pudel yang sedang berjalan-jalan menggonggong ke arahku.

Merasa sangat putus asa, aku mengambil batu kecil yang tergeletak di tanah dan melemparkannya ke sungai dari jembatan.

"Aku juga mau," kata Hayase sambil berlinang air mata, lalu dia juga mengambil batu kecil dan melemparkannya.

Aku mengambil batu kecil lainnya dan melemparkannya untuk menyesuaikan dengan Hayase. Riak kecil menyebar saat batu itu jatuh ke air. Namun, riaknya terlalu kecil. Meskipun hatiku bergejolak seperti ini, permukaan air di depanku tetap tenang. Tak peduli seberapa banyak batu kecil yang aku lempar, air tetap tenang. Meskipun Fuyutsuki menjadi seperti itu, ketenangan yang tak tergoyahkan ini membuatku marah.

"...Aku bahkan tidak akan mau menimbulkan riak kecil," aku teringat kata-kata yang pernah kuucapkan, dan menyadari betapa aku sangat terpaku pada hal ini. 

Tanpa sadar, aku berteriak, "Aaaah!" sementara Hayase juga berteriak sambil melemparkan batu kecil.

Kali ini, seekor chihuahua yang sedang berjalan-jalan menggonggong ke arah kami.

Seorang pria paruh baya yang menjadi pemilik anjing itu datang mendekati kami dan bertanya, "Apa kalian baik-baik saja?" 

Pertanyaannya lebih seperti konfirmasi apakah kami ancaman atau bukan daripada rasa perhatian. Dia bahkan tampak siap untuk melapor dengan ponsel di tangannya.

Aku berlari, melarikan diri.

Hayase akhirnya mengikutiku kembali ke asrama.

Lebih tepatnya, saat melamun, Hayase tanpa sadar sudah berada di depan asrama.

Membuka pintu, aku langsung mencium bau bawang putih yang kuat. Terlihat bahwa Narumi sedang memanggang gyoza. 

"Selamat datang. Kalian juga mau makan?" Narumi yang santai membuatku hampir menangis. Di sisi lain, Hayase menangis dan berteriak, "Bau sekali!"

Di tengah meja bundar yang ditempatkan di tengah kamar, ada lima puluh gyoza yang berjejer.

"Baiklah, mari kita urutkan situasinya," Narumi berkata sambil mencelupkan gyoza ke dalam saus cuka dan kecap, lalu menyantapnya dengan nasi.

"Minggu lalu, di hari festival---," 

"Tapi makanlah dulu sebelum bicara." 

"Kenapa dia bisa sesantai ini," Hayase meletakkan jarinya di sudut matanya. Dia memanggil Narumi dengan sebutan 'dia'.

Narumi menelan makanan.

"Tenanglah, mari kita susun situasinya." 

Pada hari Minggu setelah festival kampus, aku berciuman dengan Fuyutsuki.

"Jadi, selama hari Senin. Kamu tidak bertemu dengannya, kan?" Hayase bertanya. 

"Ya. Dia tidak hadir saat kuliah," aku mengangguk.

"Dan pada malam Senin, aku mengirim video pengakuan cinta itu di restoran monjayaki," Hayase berkata sambil melipat tangan di dadanya.

Setelah itu, selama seminggu, aku tidak bisa bertemu atau menghubunginya, dan ketika akhirnya bertemu lagi, dia tampak seperti kehilangan ingatan.

"Dan sekarang, meskipun aku mengatakan bahwa kami semua berteman, dia terus menyangkalnya."

"Bagaimana dengan ponselnya? Kenapa tidak mencoba memeriksa riwayat pesan LINE-nya." 

"Aku juga berpikir begitu dan meminta dia menunjukkan ponselnya. Tapi..." Hayase terhenti, dan Narumi bertanya, "Apa yang terjadi?"

"Layar ponselnya, itu retak parah," aku menambahkan, dan Hayase mengangguk.

"Ya, layar ponselnya sudah hancur seperti sarang laba-laba. 'Aku masih bisa menelepon! Tapi, aku tidak bisa mengoperasikan layar dengan baik,' kata Koharu-chan dengan nada yang agak aneh."

Narumi tertawa terbahak-bahak dan menepuk pahanya, "Itu memang terdengar seperti Fuyutsuki!"

"Ini bukan saatnya tertawa!" Hayase yang duduk bersila bangkit dan berteriak.

"Aku tahu situasinya tidak bagus, tapi kita tidak bisa hanya tenggelam dalam kesedihan."

"Kamu bisa mengatakan itu karena kamu belum bertemu Koharu-chan."

Hayase terisak.

"Aku merasa kasihan pada Koharu-chan."

"Ahh, tidak perlu menangis " 

Aku mengerti alasannya untuk menangis. Ketika Fuyutsuki dengan ekspresi polos bertanya, "Siapa kamu?" itu sangat menghancurkan.

Rasanya seperti semua yang terjadi dihapus.

Padahal kami begitu bahagia. Kami tertawa bersama. Hati kami berdebar-debar.

Tapi semua itu hilang begitu saja, dan apakah aku bisa menerimanya? Tidak, itu tidak mungkin.

Apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa Fuyutsuki menjadi seperti itu?

Memberikan penyakit mengerikan ini, membuat matanya buta, dan bahkan setelah usaha kerasnya untuk masuk universitas, ia masih memberikan ujian yang sulit padanya... Jika Tuhan memang ada, bukankah dia terlalu kejam?

"Yah, yah, menangis tidak akan menyelesaikan apa-apa. Kita harus melakukan sesuatu, kan?"

"Apa maksudmu dengan 'melakukan sesuatu'?"

"Memangnya kita tidak bisa melakukan sesuatu bersama-sama?"

"Apa yang kamu maksud dengan 'melakukan sesuatu'!?"

Hayase berteriak histeris.

"........"

"........"

"........"

Semua orang terdiam. Gelak tawa berat para pria tetangga di lorong terdengar bergema.

Narumi bangkit perlahan dan berkata, "Baiklah, apapun itu, mari kita lakukan yang terbaik."

Lalu, dia mulai mencari-cari makanan yang ada di dalam lemari es.

"Sorano, Hayase, mau sup miso?"

"Seperti ibuku saja," aku menyela seperti biasa.

"Ada banyak nasi juga, jadi ambil lebih banyak kalau mau."

"Benar-benar seperti seorang ibu. " 

Akhirnya, Hayase tertawa kecil.

"Kuu, jangan membuatku tertawa."

"Menangis pun tak ada gunanya." 

"Kenapa kalian begitu santai?" 

"Santai? Apa? Santai? Tentu saja tidak!" 

Aku tanpa sadar berteriak dengan suara besar. Narumi merentangkan kedua tangannya untuk menengahi.

"Baiklah, baiklah, mari kita makan gyoza-nya sebelum dingin. Oke?"

"Hentikan. Aku tidak mau," kata Hayase dengan wajah cemberut. Mungkin aku sudah berkata terlalu banyak.

"Tidak ada gunanya kita bertengkar. Ayo, makan gyoza-nya."

"Seperti ibu-ibu saja," kata Hayase dengan lemah, lalu mengambil satu gyoza dan memakannya.

"…Enak."

"Benar, kan?"

Narumi tampak puas, sementara Hayase memandangnya dengan sedikit kesal dan mulai memakan gyoza satu per satu. Meski awalnya enggan, Hayase akhirnya makan dengan lahap.

"Oi, oi, jangan makan semuanya."

"Biarkan. Aku jadi lapar kalau sedang kesal. Apa ada lauk lain selain gyoza?"

"Oh ya, keluarga Narumi mengirimkan sosis..." 

Aku melirik ke arah kulkas, dan Narumi langsung berdiri di depan kulkas dengan reaksi berlebihan khas Kansai, "Jangan harap aku memberikannya!"

"Itu favoritku! Sosis melingkar itu, sosis yang menggulung itu!" lanjut Narumi.

"Kenapa? Kedengarannya enak sekali. Jangan pelit, keluarkan semuanya!"

Hayase mencoba menarik Narumi dari kulkas dengan memegang bahunya. Narumi menolak dengan menggelengkan kepala sambil berkata, "Tidak mau, tidak mau." 

Aku tertawa terbahak-bahak melihat kejadian itu.

Sebelum masuk universitas, aku tidak pernah membayangkan diriku bersenang-senang dengan teman-teman.

Memanggang gyoza, memikirkan masalah, menangis, bertengkar, dan mencoba menghadapi masalah bersama. 

Mungkin itu pemikiran yang dangkal.

Mungkin kami hanya bisa menemukan jawaban yang tidak sempurna.

Tapi, meskipun begitu, aku merasa bahwa usaha keras seperti ini tidaklah buruk.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter


Join server Discord disini: https://discord.com/invite/HMwErmhjMV

Post a Comment

Post a Comment

close