Penerjemah: Ootman
Proffreader: Ootman
Chapter 8 – Shimizu-san dan Berbagi Payung
Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.
“Ada urusan?”
“Ya, aku ada rencana untuk nongkrong dengan temanku saat telepon tadi.”
Setelah meninggalkan game center, kami bertiga beristirahat di food court.
Kami bertiga menikmati minuman yang baru saja kami beli.
“Kalau begitu, apakah tidak apa-apa kalau kamu berlama-lama di sini?”
“Tidak apa-apa. Di telepon barusan, kami akan bertemu di sini.”
“Baiklah, apakah itu berarti kita akan berpisah hari ini?”
Seharusnya memang begitu. Aku khawatir Teruno mungkin bosan menunggu karena aku tinggal di sini lebih lama dari yang kurencanakan, itu juga karena aku bertemu dengan Shimizu bersaudara, tapi aku yakin dia akan mengerti jika aku menjelaskannya.
“Mungkin, tapi kalian tidak.”
“Hah?”
“Ya?”
“Karena kita bersenang-senang bersama, kalian pulang bareng!”
* * *
“Kamu tidak harus pulang bersamaku.”
“Yah, aku berencana untuk segera pulang setelah urusanku selesai.”
Shimizu-san dan aku berada di kereta setelah mengobrol sebentar di food court.
Pada akhirnya, Ai-san pergi jalan-jalan dengan temannya sementara Shimizu-san dan aku pulang.
Ai-san memberitahuku lokasi rumah Shimizu-san, dan ternyata rumahku dan rumah Shimizu-san relatif dekat.
“Apakah Shimizu-san tidak punya kegiatan lain?”
“Tidak, tidak. Sejak awal aku tidak suka tempat yang ramai.”
“Lalu, apakah kamu datang ke mall hanya karena Ai-san mengajakmu?”
“Ya, waktu dia tanya aku ada rencana atau tidak, aku bilang tidak. Terus dia bilang, ‘Ayo kita beli baju bersama,’ jadi aku ikut saja.”
“Ohh, jadi seperti itu.”
Ai-san jelas memberi kesan yang cukup semangat untuk melakukan hal seperti itu.
“Dia selalu memaksa.”
Shimizu-san mendesah. Jarang sekali melihat Shimizu-san didorong-dorong oleh seseorang.
“Kalian berdua tampak sangat dekat.”
Shimizu-san tampak tidak senang.
“Yah, karena kalian selalu bersama, kurasa kebanyakan orang akan berpikir seperti itu. Bukankah itu tanda bahwa kalian berdua dekat?”
“Dia masuk ke kamarku tanpa izin.”
“Itu artinya Ai-san benar-benar menyukaimu, Shimizu-san.”
“Katakan apa pun yang kamu mau.”
Shimizu-san berpaling. Sepertinya dia sudah menyerah untuk berdebat denganku.
“Ngomong-ngomong, kamu punya adik perempuan, kan?”
“Ya, aku punya.”
“Bagaimana hubunganmu dengan adikmu?”
“Sebenarnya aku tidak tahu banyak tentang hubungan saudara kandung, jadi aku tidak bisa memastikannya, tapi kurasa kami cukup dekat. Kami bermain game dan menonton anime bersama.”
“Kamu tidak punya keluhan apa-apa?”
Keluhan tentang Teruno?
Ada beberapa hal kecil, seperti dia tidak suka sayur dan malas, tapi secara keseluruhan…
“Kurasa dia terkadang bisa sedikit egois, dan itu satu-satunya yang kukhwatirkan.”
“Jadi, kamu juga punya hal-hal yang kamu khawatirkan pada keluargamu.”
“Ya, ada kemungkinan Teruno akan menghadapi sedikit kesulitan di masa depan.”
“Apa maksudmu?”
“Jika dia terlalu bergantung padaku, dia mungkin akan kesulitan saat aku tidak ada lagi karena kuliah atau kerja.”
Untuk saat ini, aku memasak dan melakukan pekerjaan rumah lainnya sampai orang tua kami pulang, jadi tidak masalah. Tapi aku tidak bisa membayangkan Teruno mengerjakan pekerjaan rumah tangga jika aku tidak ada.
“Pada akhirnya, ini adalah kekhawatiran pada adikmu. Apakah kamu sedikit siscon?”
“Yah…setiap orang yang punya adik perempuan pasti mengkhawatirkannya, mungkin?”
Aku merasa seperti membuat alasan yang buruk dengan membesar-besarkan topik ini, tetapi menurutku tidak ada yang salah apa yang kukatakan barusan.
“Itu berlebihan. Setidaknya Ai tidak pernah mengkhawatirkanku.”
“Itu tidak benar. Ai-san pasti terkadang juga mengkhawatirkanmu, Shimizu-san.”
“Bagaimana kamu tahu itu?”
Aku tidak bisa mengatakan itu karena aku membicarakannya dengan Ai-san di restoran saat Shimizu-san tidak ada di sana…
Lagipula, Ai-san sepertinya ingin merahasiakan pembicaraan itu.
“Kurasa aku punya firasat itu karena aku dan Ai-san sama, punya adik perempuan.”
“Apa yang kamu bicarakan?”
Shimizu-san menatapku dengan ekspresi bingung.
Aku pikir itu wajar karena itu adalah alasan yang bahkan aku sendiri tidak mengerti.
“Ngomong-ngomong, kurasa Ai-san juga selalu memikirkan Shimizu-san.”
” …baiklah, kalau kau bersikeras seperti itu, kita selesaikan saja.”
Shimizu-san tampak tidak yakin, tetapi sepertinya dia paham apa yang kukatakan.
“Ngomong-ngomong, aku baru pertama kali bertemu Ai-san hari ini, tetapi dia seorang onee-san yang sangat baik, bukan?”
“Benarkah? Dia hanya melakukan apa yang dia ingin lakukan.”
Mungkin karena dia keluarganya, Shimizu-san tampaknya memiliki pandangan yang beda terhadap Ai-san.
“Aku memang merasa bahwa dia setia pada keinginannya, tetapi menurutku dia juga memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Dia sangat mudah diajak bicara meskipun aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya, berbicara dengannya seru dan menyenangkan.”
“…Muu.”
Huh, mengapa Shimizu-san tampak sedikit tidak puas?
“Kelakuan Ai itu jauh tidak pantas saat berada di rumah.”
“Mungkin dia tidak perlu khawatir tentang apa pun karena berada di rumah.”
“…Dia selalu rewel tentang bagaimana dia tidak paham soal pelajaran sebelum ujian.”
“Begitu ya, dia belajar keras sebelum ujian.”
Tiba-tiba, Shimizu-san mulai mengungkap hal-hal tentang Ai-san.
Apakah ini balasan karena Ai-san mengungkap kenangan lama di restoran?
“Shimizu-san, kenapa kamu menceritakan padaku tentang kekurangan Ai-san?”
“Karena… kamu terus memuji Ai… “
Aku tidak tahu kenapa, tetapi sepertinya Shimizu-san tidak suka jika hanya Ai-san yang dipuji. Kalau begitu, aku sudah memutuskan apa yang harus kulakukan.
“Kalau begitu, apa yang ingin aku puji darimu, Shimizu-san?”
“Hah? Ada apa ini tiba-tiba?”
“Shimizu-san tidak suka jika hanya Ai-san yang dipuji, kan? Kalau begitu, kupikir akan lebih baik jika memuji Shimizu-san juga.”
Menurutku itu ide yang bagus. Memuji seseorang akan terasa menyenangkan dan orang yang dipuji pun akan merasa lebih baik.
“Apa yang kamu bicarakan? Aku tidak menginginkannya. Lagipula, tidak ada yang bisa dipuji dariku.”
Penilaian diri Shimizu-san tampaknya lebih rendah dari yang kukira. Sepertinya aku perlu memberi tahu Shimizu-san kelebihannya.
“Itu tidak benar. Aku akan memberi tahu apa yang menurutku bagus dari Shimizu-san. Pertama-tama, kamu baik. Shimizu-san berinisiatif membantuku saat aku satu-satunya yang bertugas memotong bahan-bahan di kelas memasak beberapa waktu lalu. Kurasa aku sudah memberitahumu saat itu, tetapi itu membuatku senang. Kedua, kamu pekerja keras. Saat kamu memberiku bento sebelumnya, kamu berlatih memasak begitu keras sampai-sampai kamu harus menutupi jari-jarimu dengan plester. Aku mengagumi usaha seperti itu. Ketiga——”
“Berhenti.”
“Err, kenapa? Aku baru saja mulai.”
“Terlalu banyak, aku sudah cukup mendengarnya.”
Shimizu-san menutupi mulutnya dengan boneka beruang, membuatku tidak bisa membaca ekspresinya.
“Kamu tidak perlu bersikap pendiam karena masih banyak hal yang ingin kukatakan.”
“Aku tidak bersikap seperti itu. Diam saja sampai kita tiba di stasiun.”
Ketika aku melihat lebih dekat ke arah Shimizu-san, telinganya tampak sedikit memerah.
Dia sepertinya malu.
“Baiklah, oke.”
Sejak saat itu, Shimizu-san dan aku duduk diam di tempat duduk kami, tanpa berbicara sampai kami tiba di stasiun terdekat.
(Tl: Kayaknya ini Seto dan Toshiya)
*
“Hujan, kah?”
“Iya.”
Saat kami hendak meninggalkan stasiun, hujan mulai turun.
Hujan yang awalnya gerimis, lama-kelamaan bertambah deras dan segera berubah menjadi hujan lebat.
“Shimizu-san, apakah kamu bawa payung?”
“Aku tidak membawa payung. Kamu bawa?”
“Iya. Aku membawa payung lipat.”
Aku mengeluarkan payung lipat dari tas selempangku dan menunjukkannya kepada Shimizu-san.
“Jika kamu punya, itu bagus. Kurasa kita akan berpisah di sini.”
“Aku tidak keberatan, tapi bagaimana denganmu, Shimizu-san?”
“Aku akan menelepon orang tuaku.”
Mengatakan hal itu, Shimizu-san mengeluarkan ponselnya dari tas dan menunjukkannya kepadaku.
“Kalau begitu, kurasa kamu akan baik-baik saja.”
“Ya, jadi cepatlah pergi.”
“Baiklah. Sampai jumpa di sekolah.”
“Sampai jumpa.”
Aku berbalik badan dan meninggalkan stasiun.
* * *
(…Apa yang harus kulakukan?)
Setelah beberapa waktu sejak Hondo pergi, aku tetap di stasiun dan menatap langit yang hujan.
Aku memberi tahu Hondo bahwa aku akan menelepon orang tuaku, tapi mereka pergi hari ini dan tidak akan kembali sampai malam ini.
Aku tidak tahu apakah Ai membawa payung, dan aku tidak ingin mengganggu dia dengan teman-temannya.
Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah pulang sendiri, tapi hujan semakin deras dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Aku benar-benar bingung.
Aku mungkin akan masuk angin jika berlari di tengah hujan ini tanpa payung, dan yang lebih penting, gaun yang kubeli barusan dan bonekaku akan basah.
Tanpa sadar, aku lebih mengutamakan kondisi gaun dan bonekaku daripada kesehatanku sendiri.
(Apa yang kupikirkan...)
Hanya karena pakaianku dipuji olehnya.
Dia pernah memuji Ai, dan dia juga memuji pakaian lain yang kukenakan.
Tapi ada sesuatu yang berbeda dari wajahnya ketika dia memuji gaun ini, mungkin... dia terpesona oleh gaun yang kukenakan.
Aku menggelengkan kepalaku ke kiri dan ke kanan. Tidak mungkin orang itu akan bereaksi seperti itu.
Laki-laki itu tidak akan pernah menyadari perasaanku, tidak peduli seberapa keras aku berusaha menunjukkannya.
Namun, bukan berarti dia tidak sadar sama sekali, dia menyadari beberapa hal...
Aku menggelengkan kepalaku ke kiri dan ke kanan sekali lagi. Aku tidak peduli dengan reaksi orang itu.
Lagi pula, bagaimana dengan boneka beruang ini? Itu hanya boneka beruang biasa yang bisa aku temukan di mana saja. Tapi yang ini terasa istimewa, karena ini adalah sesuatu yang dia pilih untukku...
“...Shimizu-san “
Aku pasti terlalu banyak memikirkannya sampai-sampai aku mendengar sebuah halusinasi. Apakah aku benar-benar selemah ini?
Sejak menjadi siswa SMA, aku berusaha menjauhkan diriku dari orang-orang dan tidak menunjukkan kelemahanku. Namun, ketika orang itu ada di sampingku, perlahan-lahan membuatku semakin lemah sedikit demi sedikit.
“Shimizu-san ?”
Sebuah wajah muncul di hadapanku.
“Ah?!”
Aku terkejut, aku mengeluarkan suara yang aneh dan melompat mundur.
Hondo berdiri memegang payung di depanku seolah-olah itu adalah hal yang biasa.
* * *
“Hondo, kenapa kamu di sini?”
“Kenapa? Karena aku putar balik saat pulang.”
“Aku bertanya kenapa kamu kembali.”
“Kurasa, tidak ada alasan yang khusus.”
“Hah?”
Shimizu-san menatapku seolah-olah dia tidak mengerti.
Yah, kurasa reaksi itu bisa dimengerti.
“Aku punya firasat kalau Shimizu-san masih di sini. Aku berpikir begitu saat dalam perjalanan pulang. Shimizu-san sangat baik padaku, mungkin Shimizu-san berbohong agar aku bisa pulang lebih awal.”
“Apa yang kamu rencanakan jika aku sudah pulang?”
“Kalau begitu, aku akan berpikir bahwa aku terlalu banyak berpikir, lalu aku pulang lagi.”
“Kamu…”
Wajah Shimizu-san tampak sebal, dan dia tampak sedang memikirkan sesuatu.
“Yah, untung saja Shimizu-san ada di sini. Kalau kamu di sini berarti kamu tidak bisa pulang, kan?”
“…ya. Apa kamu punya solusi untuk itu?”
“Yah… tentang itu.”
“Kenapa kamu tiba-tiba ragu?”
“Kamu bisa pakai payungku.”
“Hah?”
Reaksi Shimizu-san tidak jauh berbeda dari yang kuduga.
“Aku pergi ke minimarket terdekat tadi, dan payungnya sudah habis terjual. Jadi aku hanya punya satu payung untukmu.”
“Lalu bagaimana denganmu? Bagaimana kamu akan pulang?”
“Entahlah, mungkin aku akan meminta Teruno untuk menjemputku.”
Meskipun Teruno tidak suka keluar, aku yakin dia akan datang untuk membantuku jika aku dalam kesulitan.
“…Setengah.”
“Iya?”
“Bisakah kamu memberikan setengahnya?”
“Maksudmu berbagi payung?”
“Tidak perlu mengulanginya! Jadi, apakah kamu mau?”
“Apakah Shimizu-san tidak apa-apa dengan itu?”
“Aneh sekali kamu punya payung dan tidak menggunakannya. Tapi aku tidak ingin gaun atau bonekaku basah karena hujan. Jadi…tolong biarkan aku membawa ini bersama di dalam payungmu.”
Shimizu-san mengatakan itu dengan suara tegang.
“Baiklah, kalau begitu, bisakah kamu masuk ke bawah payung ini?”
“O-Oke.”
Shimizu-san dengan ragu-ragu masuk ke bawah payungku. Jadi, Shimizu-san dan aku mulai bergerak menuju rumah kami dari stasiun.
“Hujan tidak berhenti, ya?”
“…Kurasa begitu.”
Beberapa menit setelah meninggalkan stasiun, kami berjalan dalam diam di bawah langit yang hujan.
“Shimizu-san, apakah aku berjalan terlalu cepat?”
“Tidak.”
“Bagus kalau begitu.”
Percakapan terhenti. Aku heran bagaimana kita bisa berbicara dengan normal sebelumnya.
Itu bukan pengalaman yang biasa bagiku, jadi aku juga tidak tahu harus berbuat apa.
“Hei.”
“Ada apa, Shimizu-san?”
“Kemari, lebih dekat padaku.”
“Ada apa tiba-tiba?”
“Bahumu basah. Kamu akan masuk angin.”
Shimizu-san tampak khawatir pada sisi yang berlawanan dengan sisi yang memegang payung.
“Hanya sedikit basah, tidak apa-apa.”
“Aku tidak ingin kamu masuk angin saat meminjamkanku payung. Kemarilah lebih dekat.”
“Tidak apa-apa memangnya kalau sedikit sempit?”
Payung ini tidak terlalu besar karena ini adalah payung lipat.
Untuk menghindari basah, mungkin perlu lebih dekat sehingga bahu kita pasti bersentuhan.
” …tidak apa-apa. Jadi kemarilah.”
Jika Shimizu-san berkata begitu, tidak ada alasan untuk menolak.
Aku bergerak mendekati Shimizu-san hingga bahu kami hampir bersentuhan.
“I-itu cukup bagus.”
“Terima kasih, Shimizu-san.”
“Ini payungmu, jadi tidak perlu berterima kasih padaku.”
“Fufu.”
“Apa yang kau tertawakan?”
Shimizu-san melotot padaku. Ups, aku tidak sengaja tertawa.
“Kupikir Shimizu-san sangat baik.”
“Apa? Ada apa ini tiba-tiba?”
“Tidak apa-apa. Hanya sesuatu yang kupikirkan.”
“Jika kamu berpikir seperti itu, kamu jauh lebih baik daripada aku, karena kamu kembali ke stasiun untukku meskipun kamu bahkan tidak yakin aku ada di sana.”
“Entahlah… Aku hanya melakukannya untuk memastikan aku tidak menyesali apa pun.”
“Kamu pernah mengatakan itu sebelumnya, tapi apa artinya itu? Apakah ada alasannya?”
Hmm, apakah aku pernah mengatakan itu kepada Shimizu-san sebelumnya? Aku tidak ingat.
“Itu bukan cerita yang penting, tapi aku memiliki sedikit penyesalan di masa lalu, aku hanya tidak ingin merasakannya lagi.”
“…Apa yang terjadi?”
Aku tidak menyangka Shimizu-san akan tertarik. Aku ragu untuk berbicara, tetapi kurasa itu bukan sesuatu yang perlu disembunyikan.
*
“Ini adalah cerita waktu aku masih kecil. Aku punya teman bernama Yu-kun. Aku tidak tahu dia dari mana, tapi dia selalu ada di taman. Kami bermain bersama, dan tanpa sadar, Yu-kun dan aku menjadi teman dekat.”
Shimizu-san diam-diam mendengarkan ceritaku.
“Kami bermain di taman dekat sini setiap hari, tapi setelah sekitar setahun, anak-anak yang lebih besar mulai datang ke taman…”
“Lalu?”
“Mereka mulai meledekku dan Yu-kun. Aku mengabaikan mereka, dan Yu-kun tidak bereaksi terhadap mereka, jadi kupikir Yu-kun juga tidak keberatan. Tapi aku salah. Setelah sebuah kejadian, Yu-kun tiba-tiba berhenti datang ke taman.”
Shimizu-san tidak mengatakan apa pun. Dia tampaknya menungguku untuk menceritakan sisa cerita ini.
“Setelah itu, tidak peduli berapa kali aku pergi ke taman, Yu-kun tidak ada di sana. Aku sangat menyesalinya saat itu. Kupikir jika aku menyuruh mereka berhenti meledek kami, mungkin Yu-kun tidak akan menghilang. Sejak saat itu, aku berusaha untuk tidak menyesali apa pun.”
Itu tidak tampak seperti cerita yang penting ketika aku selesai bercerita.
Itu juga bukan cerita yang menarik atau menghibur.
Baik Shimizu-san maupun aku tidak mengatakan apa-apa lagi, dan hanya suara hujan yang terdengar.
“…maaf.”
“Ya?”
Shimizu-san adalah orang pertama yang membuka mulutnya.
Aku tidak berharap akan dimintai maaf, jadi aku tidak dapat memberikan tanggapan yang tepat.
“Kurasa itu sesuatu yang tidak ingin kamu ingat.”
Shimizu-san tampaknya khawatir karena mengingatkanku pada kenangan pahit.
“Benar, sedih karena kita tidak bisa bertemu lagi, tetapi ada banyak kenangan indah bersama Yu-kun. Aku tidak begitu benci mengingatnya.”
“Bukankah kamu terlalu memaksakan diri?”
“Aku baik-baik saja. Lagipula, aku senang.”
“Apa maksudmu senang?”
“Aku senang Shimizu-san menunjukkan ketertarikannya padaku.”
“Ughh…”
Shimizu-san mencoba menjaga jarak dariku, jadi aku buru-buru bergerak untuk mendekatinya agar tidak basah.
“Shimizu-san, jangan tiba-tiba bergerak seperti itu.”
“I-Itu karena kamu tiba-tiba mengatakan sesuatu yang aneh seperti itu!”
Aku tidak bermaksud mengatakan sesuatu yang aneh. Mungkin aku tidak menggunakan kata-kata yang tepat.
“Yah, hanya saja aku sering berbicara dengan Shimizu-san kan, tapi Shimizu-san tidak sering bertanya padaku. Jadi ketika kamu bertanya tentang diriku, itu membuatku senang karena sedikit demi sedikit rasanya kita menjadi lebih dekat, Shimizu-san.”
“…Apakah kamu benar-benar senang menjadi lebih dekat dengan seseorang sepertiku?”
Shimizu-san bergumam pelan.
“Tentu saja aku senang.”
“Ha? Tapi kenapa?”
“Yah, karena menyenangkan bersama denganmu, Shimizu-san.”
“Menyenangkan bersamaku…”
“Ya. Shimizu-san selalu menyenangkan untuk diajak bicara.”
“…Kamu orang yang aneh.”
Shimizu-san menundukkan wajahnya, dan aku tidak bisa melihat ekspresinya.
“Benarkah? Shimizu-san pendengar yang baik dan menarik untuk diajak bicara, jadi kurasa orang lain juga akan senang berbicara denganmu.”
“Hanya kamu yang berpikir seperti itu.”
“Benarkah? Ngomong-ngomong, Shimizu-san, telingamu agak merah sejak tadi. Apakah kamu baik-baik saja? Atau karena kedinginan?”
“Apa? Sama sekali tidak merah.”
Shimizu-san refleks menoleh ke arahku.
“Ah, wajahmu juga agak merah. Apa kamu yakin itu bukan karena kedinginan?”
“Bukan. Kamu hanya salah paham.”
“Kalau begitu, ya sudahlah.”
Aku khawatir itu mungkin gejala flu.
“Kalau begitu Shimizu-san, apakah kamu merasa gugup akan sesuatu?”
“Kenapa aku harus gugup?”
“Maksudku, ada orang yang wajahnya memerah saat gugup, jadi aku bertanya-tanya apakah Shimizu-san juga seperti itu.”
“A-aku tidak!”
Sepertinya itu juga bukan karena gugup.
Kalau begitu, apakah itu hanya kesalahpahamanku bahwa wajahnya tampak lebih merah dari biasanya?
“Bukankah kamu yang tampak gugup?”
Sekarang giliranku untuk dicurigai. Aku mencoba berpikir apakah aku merasa gugup.
“…Mungkin.”
“Apa maksudmu ‘mungkin’? Apa yang membuatmu gugup?”
“Eh? Aku gugup berbagi payung bersama?”
“Ha? …Haa???”
Di sela-sela [Ha?] dan [Haa?], ekspresi Shimizu-san berubah drastis. Ekspresinya berubah dari ekspresi yang seolah berkata, [Apa yang kamu bicarakan?] menjadi ekspresi yang seolah berkata, [Jadi kamu berpikir seperti itu!?].
“Kurasa aku tidak mengatakan sesuatu yang aneh.”
“Barusan, kamu benar-benar orang yang tenang ya.”
“Benarkah? Mungkin aku tipe orang yang pikirannya tidak terlihat dari wajahku.”
“Tapi tetap saja…”
Aku sendiri tidak menyadarinya, tapi mungkin wajahku terlihat datar.
“Memang benar aku gugup.”
“B-benarkah? Apa yang kamu pikirkan saat ini?”
“Apakah kamu akan merasa jijik jika aku memberitahumu?”
“Tergantung apa yang kamu katakan.”
Itu mungkin benar, tapi aku tidak ingin mengatakannya dan membuatnya merasa jijik.
Saat aku memikirkan hal seperti itu, Shimizu-san menghela napas kecil.
“…Oke. Aku akan berusaha untuk tidak jijik. Jadi, apa yang kamu pikirkan?”
“Biasanya, aku tidak sedekat ini dengan Shimizu-san, jadi aku merasa sedikit bersemangat.”
“K-kamu…!”
Shimizu-san dengan cepat mencoba menjauhkan diri lagi dariku, dan aku dengan cepat bergeser sambil tetap memegang payung.
“Sudah kubilang jangan tiba-tiba bergeser Shimizu-san! Dan kamu bilang tidak akan merasa jijik!”
“Aku hanya bilang akan berusaha! Lagipula… kalau kamu mengatakan sesuatu seperti itu…”
Dia mengatakan bagian terakhir dengan suara yang pelan, dan agak sulit didengar.
“Bagaimana denganmu, Shimizu-san? Apakah kamu pernah berbagi payung dengan seseorang sebelumnya?”
“Kalau itu, antara basah bersama atau meminjam payung jika ada yang punya.”
“Ai-san sepertinya tidak punya payung.”
“Bahkan saat hujan, orang itu mungkin tidak membawa payung.”
“Ahaha.”
Aku tidak bisa menahan tawa.
Mudah dibayangkan Ai-san berlari di tengah hujan tanpa payung.
“Kalau begitu, Ai-san tidak akan bisa pulang saat hujan.”
“Yah, semoga saja hujannya berhenti sebelum Ai kembali.”
“Kuharap begitu.”
Percakapan kami kembali hening.
Suara hujan yang kudengar terdengar sedikit lebih pelan dari sebelumnya.
“Tapi, ngomong-ngomong, itu sangat disayangkan. Kalau bukan karena Ai, kita bisa sampai rumah sebelum hujan mulai turun.”
“Iya? Aku senang bisa bertemu Shimizu-san dan Ai-san hari ini.”
“Kenapa?”
Shimizu-san tampaknya tidak mengerti alasannya.
Tidak sulit untuk mengetahuinya.
“Itu karena aku bisa melihat sisi Shimizu-san yang tidak kuketahui.”
“Ugh…”
“Shimizu-san yang akur dengan Ai-san, Shimizu-san yang asyik bermain game, sisi Shimizu-san yang tidak pernah kulihat di sekolah. Aku senang melihat sisi lain dirimu.”
“H-hentikan!”
Wajah Shimizu-san menjadi lebih merah dari sebelumnya. Dia tampaknya sadar dan memalingkan wajahnya dariku.
“…Sekarang sudah tidak apa-apa. “
“Shimizu-san?”
“Aku tidak butuh payung lagi.”
“Tapi masih hujan…”
Saat aku hendak mengatakan itu, aku menyadari hujan telah berhenti.
Saat aku mendongak, sinar matahari mengintip melalui celah-celah awan.
“Hujan sudah berhenti, jadi kita tidak perlu berbagi payung lagi.”
“Tapi mungkin akan turun hujan lagi… Ah, Shimizu-san?”
Saat aku menoleh ke samping, Shimizu-san tidak ada di sana.
Menoleh ke sekeliling, aku melihat Shimizu-san sudah jauh beberapa meter, dan tubuhnya perlahan mengecil.
Sepertinya dia memutuskan untuk berlari sebelum hujan mulai turun lagi.
“Sampai jumpa di sekolah nanti, Shimizu-san!”
Aku berteriak kepada Shimizu-san, yang sekarang sudah sangat jauh untuk mendengarku.
Post a Comment