NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Gyaru ni mo Fukezu Jilid 1 Bab 2

 Penerjemah: Randika Rabbani 

Proffreader: Randika Rabbani 


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


BAB 2

“WE LOVE MIyaken”


Bagian 1

Entah bagaimana, informasi bahwa Mikane bergabung dengan klub sastra yang hanya beranggotakan aku menyebar dengan cepat, dan keesokan harinya seluruh kelas mengetahuinya. 

Biasanya aku hanya duduk di pojokan, tapi setelah jam sekolah aku dibawa ke tengah kerumunan dan ditanyai macam-macam oleh banyak orang.

Mungkin bagi sebagian orang, situasi ini akan sangat menyenangkan. 

Tapi aku tidak tahu harus memasang ekspresi seperti apa, tak lama akhirnya aku kabur dengan alasan ada kegiatan klub.

Aku menutup pintu ruang klub dengan tangan di belakang, dan menghela napas, "Fuuh".

Aku memang mengira ini akan ketahuan suatu saat nanti, tapi kenapa bisa secepat ini? 

Padahal tidak ada yang melihat kami bersama, dan formulir pendaftaran klubnya juga tidak dipublikasikan.

"Yukki, lama sekali!"

Wajah Mikane muncul dari balik rak buku di tengah ruangan.

Sepertinya dia sudah lebih dulu sampai di ruang klub.

"Ah, maaf. Aku ditanyai macam-macam..."

"Tentang aku?"

"Iya, semua orang sudah tahu. Padahal baru kemarin kamu masuk, kenapa bisa begitu, ya..."

"Karena aku mengumumkannya di media sosial."

"Eh..."

Ya, memang bukan hal yang harus disembunyikan, jadi tidak masalah, tapi mengumumkan di media sosial, itu hal yang tidak terpikirkan olehku, si penyendiri. 

Gadis gyaru memang berbeda.

"Ngomong-ngomong," suara Mikane terdengar dari balik rak buku.

"Nama akunku 'Mikaneppu'! Follow aku ya. Aku juga akan follow Yukki!"

"Tidak, aku biasanya hanya scroll-scroll saja, dan tidak pernah memposting apa-apa. Tidak perlu follow aku."

"Eh? Benarkah?"

"...Iya."

Semua orang suka media sosial, tapi aku tidak pernah menyukainya. 

Aku tidak tahu harus posting apa, dan aku takut dikritik atau dihujat. 

Aku lebih suka membaca buku sendirian dengan tenang daripada terhubung dengan seseorang di internet.

Saat aku duduk di sofa, Mikane datang dengan langkah ringan.

Dia memegang buku tipis di depan dadanya dan menunjukkan sampulnya.

"Ne, boleh aku baca ini hari ini?"

"A Poisonous Moth? Ah, iya, tentu saja..."

‘A Poisonous Moth’ juga merupakan karya Miyazawa Kenji, meskipun kurang terkenal.

Ini adalah cerita tentang ngengat beracun yang muncul dalam jumlah besar di berbagai tempat. 

Ada adegan di mana mereka mendiskusikan apakah amonia efektif untuk mengobati kulit yang terkena sengatan, ada adegan di mana mereka mengamati struktur sisik ngengat dengan mikroskop, dan ada adegan di mana mereka menggunakan kertas lakmus. 

Pengetahuan Miyazawa Kenji sebagai ilmuwan ditampilkan dengan baik di sini.

Tapi—

Aku mengalihkan perhatianku ke Mikane.

Kemarin dia membaca buku, dan hari ini dia juga berniat membaca dengan sungguh-sungguh. 

Jangan-jangan dia memang benar-benar suka membaca?

Aku suka membaca. 

Aku akan sangat senang jika Mikane juga suka membaca.

Sekitar lima menit kemudian, di luar ruang klub mulai ramai.

Terdengar suara orang-orang berbicara melalui pintu, "Apa dia di sini?", "Shibusawa itu kan gadis gyaru itu?", "Klub sastra? Benarkah?", "Hei, coba kita intip."

Sepertinya ada orang-orang yang datang karena penasaran dengan Mikane.

Mikane sendiri masih membaca buku tanpa bergerak sedikit pun.

Mungkin karena dia memakai earphone wireless, tapi kurasa dia juga sangat fokus sampai tidak menyadari sekelilingnya.

Aku tidak suka kalau dia diganggu saat sedang serius membaca. 

Mengintip ke ruang klub jelas merupakan hal yang buruk, dan Mikane pasti tidak menyukainya. 

Meskipun aku tidak pandai dalam hal seperti ini, sebagai ketua klub, tentu aku harus melakukan sesuatu.

Aku meletakkan buku ku dan berdiri dengan tenang.

Aku membuka pintu ruang klub dan melangkah keluar dengan ragu-ragu.

"...A-anu... karena sangat mengganggu... etto, itu... tolong jangan... berkumpul di sini..."

Mungkin karena mereka hanya penasaran, mereka langsung pergi setelah kutegur.

Tapi, ada satu murid yang tetap tinggal.

Otozumi Futa.

Otozumi mencengkram bajuku dengan putus asa dan mengguncang-guncangkannya dengan keras.

"Kenapa? Bagaimana bisa? Kenaapa Shibumi-chan berada di klub sastra? Bagaimana kau bisa mengajaknya bergabung?"

"Tidak... sudah kujelaskan, kan, bukan aku yang mengajaknya bergabung, tapi dia sendiri yang mau bergabung ke sini."

"Berduaan saja dengan gadis gyaru, bikin iri saja!"

"Meskipun kau bilang begitu..."

"Uuu..."

Dia gemetar.

Beberapa detik kemudian, dia berteriak, "Baiklah, sudah aku putuskan!", dan mengangkat wajahnya.

"Aku juga akan bergabung ke klub sastra!"

"Eh? Bagaimana dengan klub komputermu? Bukankah kau bilang senang membuat game? Itu kan cita-citamu?"

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa."

Dia tertawa dengan ekspresi cengengesan.

Sambil melambaikan tangannya di depan wajahnya, dia berkata,

"Daripada membuat game simulasi kencan, tentu saja lebih baik bersama gadis gyaru, kan? Mimpi tetaplah mimpi, ini hal yang berbeda, aku keluar dari klub komputer mulai hari ini."

"Be-benarkah? Apa kau yakin?"

"Makanya kubilang tidak apa-a—"

Dia berhenti bicara di tengah kalimat, mungkin karena menyadari ada seseorang di belakangnya.

Seorang gadis dengan ekspresi tegas dan poni yang rapi berdiri di sana entah sejak kapan.

Dia menyilangkan tangan dan menatap tajam punggung Otozumi.

Aku tidak ingat namanya, tapi aku mengenalnya karena ruang klubnya bersebelahan. 

Dia adalah ketua klub komputer tempat Otozumi bergabung.

Otozumi berbalik seperti robot berkarat, dan terlihat sangat panik.

"I-itu! Bu Ketua, tadi itu—"

"Sayang sekali. Padahal aku berharap Otozumi-kun bisa menjadi andalan klub kita. Tapi kamu malah memilih gadis sungguhan daripada game simulasi kencan."

"Tu-tunggu, aku cuma bercanda! Mana mungkin aku meninggalkan game simulasi kencan!"

Dia berbalik arah dengan cepat...

Memang dia tidak tahu malu, tapi aku tidak bisa melakukan itu, jadi aku sedikit kagum.

"Ayo, Bu Ketua, kita pulang saja."

Otozumi mendorong punggungnya seolah melupakan apa yang baru saja terjadi, dan kembali ke ruang klub komputer.

Suara pintu yang tertutup bergema, dan keheningan kembali menyelimuti koridor Gedung Tiga.

...Syukurlah. Akhirnya aku bisa membaca.

Aku menghela napas lega.

Aku membuka pintu, melirik Mikane yang sedang asyik membaca dengan posisi yang sama seperti sebelumnya, dan aku mulai berjalan pelan-pelan.

Berdua saja dengan gadis gyaru, ya...

Memang benar situasinya seperti itu. 

Tapi, bukan berarti akan terjadi sesuatu hanya karena kami berdua saja. 

Ini bukan kencan, dan aku rasa ini tidak akan berkembang menjadi kencan juga.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, Mikane tiba-tiba meletakkan buku dan melepas earphone-nya.

Dia mengangkat tangannya dan berkata, "Hai!", seperti ingin bertanya sesuatu.

"Ah, iya, ada apa?"

"Etto... sejak aku datang ke sini, aku sering dengar kata 'Ihatov', apa itu sama dengan Ihatov yang ada di buku ini?"

"Ah, iya. Sama. Ihatov itu kata yang diciptakan oleh Kenji Miyazawa, dan ejaannya sedikit berbeda di setiap buku, seperti Ihatovo atau Ihatov."

"Oh, begitu ya. Ini apa sih? Sepertinya kata yang penting, ya?"

"Sangat penting!"

Aku tidak sengaja menjawab dengan semangat.

Merasa sedikit malu, aku berdehem.

"Ihatov itu adalah tanah impian dalam hati Kenji Miyazawa. Kebanyakan karya Kenji Miyazawa berlatar di Ihatov. Alasan kenapa kamu sering mendengarnya di sini adalah karena Ihatov terinspirasi dari Iwate."

"Ah, jadi ini tentang Iwate."

"Iya. Di buku 'A poisonous Moth' yang sedang kamu baca, kan ada ibu kota Ihatov yang bernama Mario, dan kota bernama Harmukia? Mario itu adalah Morioka, ibu kota prefektur. Harmukia adalah Hanamaki, tempat Kenji lahir dan tumbuh."

"Wah..."

Dia tampak kagum. Tapi, ekspresinya segera berubah menjadi bingung.

"...Aku kan baru datang ke sini, jadi aku sama sekali nggak tahu tentang Iwate. Yukki, ajak aku jalan-jalan, dong."

"Hah?"

"Aku mau kamu jadi pemandu wisataku. Kalau nggak tahu tentang Ihatov, aku nggak bisa benar-benar paham buku ini, kan? Besok kan libur, jadi pas banget."

Dia mengangkat jari telunjuknya saat mengatakan "pas banget", dan mengedipkan mata.

Dalam hati, aku panik.

Meskipun ini seperti kegiatan klub sastra, pergi berdua pada dasarnya kencan, kan?

Tentu saja, aku juga ingin berkencan dengan gadis gyaru seperti Mikane. 

Tapi, aku belum pernah pergi dengan seorang gadis pun. 

Aku tidak tahu harus pakai baju apa, atau harus mengobrol apa. 

Kalau aku pergi kencan dalam kondisi seperti ini, aku pasti akan melakukan banyak kesalahan dan membuat Mikane kecewa.

Aku ingin pergi... Tapi... Lebih baik aku tolak...

"...Etto, kalau begitu, bukankah lebih baik minta orang lain saja? Kalau pergi denganku, pasti membosankan."

"Eh...?"

Mikane membelalakkan matanya, lalu bertepuk tangan dan tertawa "hahaha".

Aku tidak tahu kenapa dia tertawa. Saat aku memanggilnya, "A-ano... Mikane?", dia berkata dengan nada ringan,

"Yukki, menurutku kamu boleh lebih percaya diri, tahu. Kamu nggak seburuk itu, kok. Aku minta tolong sama Yukki karena aku mau pergi sama Yukki. Kalau aku mau pergi sama orang lain, aku pasti sudah minta tolong sama orang lain."

"...Eh, kamu mau pergi denganku?"

"Iya, benar."

"..."

Ini pertama kalinya aku mendengar hal seperti itu.

Hatiku bergetar pelan, dan aku merasakan gelombang seperti angin musim semi yang kebiruan menyebar ke seluruh tubuhku.

Keinginanku yang terpendam keluar sebagai kata-kata.

"...A-aku, aku juga mau pergi. Tapi, apa tidak apa-apa denganku?"

"Kalau begitu, sudah diputuskan!"

Dia menjentikkan jarinya.

"Besok di Morioka, dan lusa di Hanamaki. Aku ada urusan sampai siang, jadi kita bertemu di Stasiun Morioka jam satu siang, oke?"

"Ah, iya."

"Ah, tapi Stasiun Morioka itu luas, ya? Ada tempat yang mudah ditemukan?"

"Emm..."

Aku mengangkat pandangan dan membayangkan stasiun dan sekitarnya.

"Kalau begitu, bagaimana kalau di depan air terjun?"

"Di depan air terjun? Ah, yang ada air terjun buatan di depan stasiun itu, kan? Oke. Kalau ada apa-apa, hubungi aku lewat LINE ya. Nama LINE-ku juga 'Mikaneppu'."

LINE?

Mendengar kata itu, aku sedikit mundur.

"Ma-maaf. Aku, agak kurang suka pakai LINE..."

"Eh? Yukki, nggak pakai LINE?"

"Ya, begitulah. Aku punya smartphone, kok. Jadi bukannya nggak bisa..."

"Wow..."

Dia tampak terkejut.

Tapi, mungkin karena menurutnya itu bukan masalah besar, dia tidak bertanya kenapa atau memaksaku untuk memakainya.

"Ya udah, yang penting bisa menghubungi kamu. Kalau begitu, aku kasih nomorku ya, kalau ada apa-apa, telepon aja."

.


Bagian 2

Area di dekat pintu timur Stasiun Morioka disebut "Plaza Air Terjun".

Ada air terjun buatan yang besar dan bangku-bangku yang cantik. 

Selain aku, ada juga orang-orang lain yang sepertinya sedang menunggu seseorang, seperti mahasiswa, ibu rumah tangga, dan pekerja kantoran. 

Karena aku tinggal di Morioka, aku datang dengan sepeda yang biasa kugunakan untuk sekolah, dan sampai sekitar tiga puluh menit lebih awal.

Aku memakai kemeja kotak-kotak dan celana panjang biru tua.

Terlalu sederhana? Aneh, ya? Apa mungkin lebih baik pakai seragam sekolah saja? Tapi, pakai seragam sekolah di hari libur, itu lebih aneh lagi, kan?

Ada hal lain yang membuatku khawatir.

Meskipun aku sudah memutuskan mau mengajaknya ke mana, ada banyak tempat bagus di Morioka, jadi aku agak bingung. 

Apa dia akan senang dengan tempat-tempat yang kupilih? 

Aku ingin dia suka Morioka, tapi bagaimana kalau dia malah merasa tempat-tempatnya membosankan...?

Saat aku mengangkat tangan kiriku dan melihat jam tangan, jarum jam menunjukkan pukul 13.01.

Sudah satu menit lewat dari waktu janjian.

"Dia terlambat? Jangan-jangan... aku dikerjain..."

Saat aku berpikir begitu, aku mendengar suara perempuan dari belakang.

Mengira dia akhirnya datang, aku langsung menoleh.

"Ha-hai, apa kamu naik kereta? Aku kira aku-"

"Baru buka! Diskon seratus yen untuk semangkuk mie dingin!"

Salah... Ternyata itu mbak-mbak yang sedang membagikan brosur...

Aku kecewa dan malu, jadi aku hanya diam mematung. 

Mbak itu tersenyum lebar dan menyodorkan brosur warna-warni ke dadaku.

"Silakan, kalau mau!"

"...I-iya."

Sepertinya ada restoran yakiniku baru buka di kota. Di pojok brosur itu ada kupon diskon seratus yen untuk Morioka Reimen.

Morioka Reimen adalah salah satu dari tiga mi khas Morioka, bersama dengan Wanko Soba dan Ja Ja Men. 

Mi yang seperti pasta segar disajikan dalam kuah yang pekat, dengan kimchi pedas dan buah-buahan sebagai penyegar. 

Rasa asam, pedas, dan manisnya berpadu dengan menyegarkan, dan sangat lezat. 

Kudengar orang-orang dari prefektur lain selalu makan yakiniku di restoran yakiniku, tapi orang Morioka seringkali hanya makan Reimen saja.

Kalau restoran baru, pasti tempatnya bersih, dan aku jadi ingin mengajak Mikane ke sana. 

Tapi... Mikane-nya sendiri tidak datang-datang. 

Mungkin aku benar-benar dikerjain...

Tiba-tiba, angin bertiup kencang.

Angin itu mulai menggoyangkan pepohonan di jalanan, dan goyangan itu mendekat... 

Saat aku sadar ada bahaya, sudah terlambat, brosur itu terbang terbawa angin.

Aku turun dari sepeda dan mengejar brosur yang beterbangan di atas ubin.

Brosur itu terbang lebih dari sepuluh meter, lalu mendarat di sepatu sneakers kasual.

Sepertinya itu sneakers seorang gadis. 

Warnanya dan desainnya terlihat manis.

"Ma-maaf..."

Saat aku mengambil brosur itu sambil meminta maaf, suara yang kukenal terdengar dari atas, "Maaf ya, sudah lama menunggu?"

Eh?

Perlahan-lahan, aku mengangkat wajahku.

Yang kulihat adalah kaki ramping dan rok mini hitam. Rok itu tertiup angin dan—

"Ah, tidak~!"

Dengan gerakan menggoda, tangan kanannya yang putih menahan roknya.

Pemilik suara itu adalah Mikane—dia mengenakan kemeja pendek yang hampir memperlihatkan pusarnya dan jaket tipis, dia terlihat sangat keren.

(TLN : disini MC memuji Mikane dengan kata “ikete iru” yang artinya bisa keren, fashionable, good-looking dll)

Sambil tersenyum jahil, Mikane berkata,

"Hampir saja dilihat Yukki. Bahaya, bahaya."

Aku tersentak dan melompat mundur.

"Ma-maaf! Aku cuma mau mengambil ini, aku tidak bermaksud mengintip—"

"Aku tahu, kok. Ngomong-ngomong, maaf aku terlambat. Aku bingung mau pakai celana pendek atau rok. Yukki sudah lama sampai?"

"...Aku baru saja... sampai..."

Omong-omong, yang ditahan Mikane dengan tangannya adalah sepeda lipat yang kecil.

Warnanya biru langit. Desainnya sangat sederhana, tidak ada keranjang atau gigi. Sepedanya agak mirip sepeda balap, tapi apa mungkin itu terbuat dari karbon? Sepertinya sangat ringan.

"Mikane, apa kamu bawa itu ketika naik bus?"


"Iya, rumahku di Kompleks Perumahan Shoen, agak jauh. Jadi aku naik bus.. Dan ini adalah sepeda custom-made, tahu! Karena dibuat seringan mungkin, aku bisa membawanya. Aku, kan, sebisa mungkin nggak mau jalan kaki, tapi aku juga nggak kuat kalau harus mengayuh sepeda terus. Jadi, ya, ini dia."

Sepeda Custom-made, ya... kedengarannya mahal.

Sepedaku cuma sepeda butut untuk sekolah, jadi aku agak malu.

Mikane memiringkan kepalanya dan berkata, "Eh?"

"Yukki nggak bawa sepeda? Kita mau jalan-jalan naik apa hari ini?"

"Ah, nggak, aku juga bawa sepeda. Ada di bangku sana. Aku ambil dulu ya, tunggu sebentar."

"Oke."

Aku bergegas mengambil sepedaku dan kembali.

Mikane juga duduk di jok sepeda dan mulai memegang stang.

"Kita mau ke mana dulu? Jauh dari sini?"

"...Dekat, kok. Ikut aku saja."

Aku mengayuh pedal dan mulai melaju.

Di Morioka, meskipun sudah bulan Mei, masih banyak hari yang dingin, tapi hari ini cuacanya hangat.

Mungkin hari seperti ini yang disebut musim semi yang indah.

Saat aku sedang memikirkan itu, tujuan pertama kami pun terlihat.

Sebuah jembatan besar di seberang persimpangan.

Kerangka baja berbentuk lengkungan yang dicat putih itu tampak seperti gunung bersalju dan indah.

Saat aku menyeberangi persimpangan dan menghentikan sepedaku, Mikane juga berhenti dan menurunkan satu kakinya ke tanah.

"Jembatan ini yang mau Yukki tunjukkan?"

"Iya, benar. Ini namanya 'Jembatan Kaiun', simbol kota ini. Di bawah jembatan ini mengalir Sungai Kitakami."

"Sungai Kitakami?"

"Sungai yang mengalir di tengah Iwate, disebut juga sebagai 'Ibu Iwate'. Karena airnya bersih, ikan salmon akan berenang ke hulu saat cuaca dingin. Di dekat sini, sungai ini bercabang menjadi Sungai Nakatsu, yang juga merupakan tempat perkawinan ikan salmon. Ibu kota prefektur yang dilewati salmon mungkin cukup langka."

"Wow, meskipun kota ini lumayan besar, tapi ada salmonnya? Kalau tinggal di sini, bisa makan salmon sepuasnya, dong!"

"Eh? Ah, mungkin tidak begitu..."

Aku tersenyum kecut.

Ada orang yang datang untuk melihat salmon, tapi aku belum pernah melihat orang yang menangkapnya.

Tapi yah, syukurlah dia terlihat tertarik. 

Aku agak khawatir dia akan bilang jembatan ini membosankan.

"Daripada diam di sini terus, bagaimana kalau kita lewati jembatannya?"

"Oke."

Kami turun dari sepeda dan berjalan sambil menuntunnya.

Saat kami sampai di tengah jembatan, Mikane berseru, "Wah!", dan berhenti.

"Gunung itu, Gunung Iwate? Pemandangannya indah sekali!"

Aku senang dia memperhatikan hal yang ingin kutunjukkan.

Dari atas Jembatan Kaiun, kita bisa melihat Gunung Iwate dan Sungai Kitakami sekaligus. 

Kalau berdiri di sini dan melihat pemandangan ini, seharusnya orang bisa langsung memahami seperti apa kota Morioka itu.

Mikane turun dari sepedanya dan meletakkan tangannya di pagar jembatan.

Aku berdiri di sampingnya dan melakukan hal yang sama.

Waktu terasa mengalir dengan tenang.

"Entah kenapa, terasa aneh..."

Mikane tiba-tiba bergumam.

"Pemandangan ini indah, tapi membuatku merasa kesepian."

"Kesepian?"

"Entahlah, suasananya, warnanya, semuanya berbeda dengan Tokyo. Aku jadi benar-benar merasa sudah datang ke tempat yang sangat jauh, dan entah kenapa aku merasa kesepian. Padahal aku sudah memutuskan untuk berjuang di sini."

"Ah—"

Karena aku lahir di sini, aku tidak pernah merasakannya, tapi kudengar orang yang datang dari jauh memang merasakannya.

"Mungkin wajar kalau kamu merasa kesepian. Jembatan ini punya nama lain, yaitu 'Jembatan Dua Tangisan'. Pertama, orang yang datang ke sini menangis karena merasa sudah datang ke tempat yang sangat jauh. Kedua, saat mereka pergi dari sini, mereka menangis karena tidak ingin pergi. Karena orang menangis dua kali, jembatan ini disebut Jembatan Dua Tangisan."

"Memang mirip denganku sekarang. Apa aku juga akan menangis dua kali, ya?"

"Entahlah? Aku akan senang kalau kamu bisa menangisinya..."

Setelah mengatakannya, aku langsung khawatir apa aku salah bicara.

Maksudku, aku ingin dia sampai menangis karena sangat menyukai tempat ini, tapi mungkin terdengar seperti aku ingin dia pergi dari sini.

Tapi, sepertinya aku terlalu khawatir.

Mikane berkata dengan tenang,

"Iya juga, ya. Kota ini indah, jadi aku ingin lebih mengenalnya, sampai aku menangis karena sangat menyukainya, dan bisa tinggal di sini selamanya."

"Ah, iya!"

Aku mengangguk tegas.

Aku sangat senang mendengarnya.

Aku suka kota ini. 

Aku ingin Mikane juga menyukainya.

Meskipun aku merasa khawatir, sekarang aku jadi sedikit percaya diri.

Aku kembali naik ke sepeda dan melihat ke belakang.

"Ayo, kita pergi. Ada banyak tempat yang ingin kutunjukkan. Ikuti aku."

.

Bagian 3

Aku dan Mikane mengayuh sepeda di sepanjang Sungai Kitakami dan memasuki Zaimokucho.

Ada dua hal menarik di Zaimokucho.

Pertama adalah pasar yang disebut 'Yoichi'.

Pasar ini buka setiap hari Sabtu dari musim semi hingga musim gugur, mulai pukul tiga sore, dan menjual sayuran segar dan produk khas Morioka.

Yang kedua adalah—

"Yukki! Lihat itu!"

Tiba-tiba, Mikane mengayuh pedalnya lebih cepat. 

Dia mendahuluiku, lalu membelokkan stangnya dan berhenti mendadak.

Sambil menoleh ke belakang, dia menunjuk sebuah patung di jalan dengan wajah gembira.

"Ah, iya. Patung itu, patung Kenji Miyazawa."

Sambil berkata begitu, aku juga menghentikan sepedaku.

Benar, jalan ini adalah tempat yang berhubungan dengan Kenji Miyazawa, dan disebut 'Ihatov Avenue'. 

Di pinggir jalan ada beberapa monumen yang berhubungan dengan Kenji, dan yang ditunjuk Mikane adalah salah satunya, yaitu 'Patung Kenji yang sedang duduk beristirahat di lokasi penambangan batu'.

Mikane menatap patung Kenji sambil tetap duduk di sepedanya.

"Kenapa ada patung di sini? Apa ini tempat yang spesial?"

"Di jalan ini ada penerbit yang menerbitkan buku-buku Kenji Miyazawa. Meskipun sekarang sudah tidak menerbitkan buku lagi, bangunannya sendiri sangat keren, dan ada pameran manuskrip asli dan kafe yang menyajikan kopi yang enak, akhirnya tempat ini dijadikan tempat wisata."

"Wah, sepertinya seru! Tapi sebelum itu—"

Dia duduk di samping patung itu dan melambaikan tangannya, menyuruhku untuk mendekat.

"Yukki, ayo kita foto bertiga."

"Eh? Bertiga?"

"Aku, Yukki, dan Miyaken. Sudah pasti, kan?"

"Miyaken?"

Penulis hebat itu dipanggil seperti teman sendiri... Lagipula, itu sama saja foto berdua, kan?

"A-aku tidak ikut, deh... Aku tidak suka difoto..."

"Mana ada suka atau tidak suka difoto? Ayo, cepat, menunduk di samping Miyaken. Kita foto dengan pose menyentuh pipinya dari kedua sisi."

Sambil berkata begitu, dia mengeluarkan tongkat selfie dari tasnya.

Dia bahkan membawa benda seperti ini, sasuga gyaru.

Mikane memasang smartphone-nya, lalu sambil berkata, "Shakin!", dia memanjangkan tongkatnya dan menyentuh pipi patung Kenji dengan jari telunjuknya.


Melalui layar smartphone, dia memberi isyarat agar aku melakukan hal yang sama.

"...Se-seperti ini?"

Dengan ragu-ragu, aku menyentuh pipi patung itu.

"Iya, benar. Kalau begitu aku foto ya, tiga, dua, satu."

Cekrek!

Saat melihat hasil fotonya, aku merasakan perasaan yang aneh.

Gadis gyaru, patung Kenji yang khidmat, dan aku yang tersenyum canggung.

Sungguh tidak cocok. 

Aku sudah tahu sih, tapi aku dan Mikane... jelas sekali tidak cocok, kan?

Saat aku sedang memikirkan itu, Mikane mengepalkan tangannya.

"Bagus, ayo kita lanjutkan!"

Setelah itu, aku baru tahu kalau Mikane suka fotografi.

Dia suka memotret, tapi dia juga suka difoto. 

Dia memberiku smartphone-nya, dan aku harus memotretnya dua kali di depan monumen cello, dua kali di depan monumen galaksi, dan tiga kali di depan gedung penerbit.

Saat aku sedang melihat-lihat foto yang kuambil, aku mendengar suara gembira, "Jadi dalamnya seperti ini!"

Sepertinya Mikane sudah masuk ke dalam gedung penerbit.

'Kohgensha', penerbit yang menerbitkan buku-buku Kenji Miyazawa, dari luar tampak seperti toko yang menjual manisan Jepang, tapi sebagian bangunannya berbentuk terowongan, dan kalau kita melewatinya, kita akan sampai di halaman tengah dengan lantai bata.

Saat berdiri di halaman tengah yang dikelilingi oleh beberapa bangunan antik, rasanya seperti tersesat di dunia lain.

Mikane sedang membuka mulutnya lebar-lebar di samping patung katak yang sedang membuka mulut, meniru patung itu.

"Yukki, ayo, foto, foto!"

"Ah, iya."

Aku mengangkat smartphone Mikane dan mengarahkan kameranya.

Ini sudah foto yang ke berapa, ya? Dia suka sekali foto-foto.

Setelah suara rana kamera berbunyi, Mikane berlari mendekat sambil bertanya, "Gimana? Sudah?"

"Coba lihat, coba lihat!"

"Seperti ini."

"Ahahaha, lucu!"

Dia membuka telapak tangannya di depan mulut dan tertawa gembira.

Mikane mengambil smartphone-nya dariku, lalu melihat sekeliling sekali lagi, dan berkata, "Suasananya bagus, kan?"

"Entah kenapa, rasanya seperti masuk ke dunia dongeng."

"Iya, terasa seperti dunia Kenji Miyazawa."

"Ah, yang di sana itu kafe, ya?"

Mikane menunjuk sebuah bangunan cantik yang terbuat dari kayu, dinding putih, dan batu bata. 

Jendela-jendelanya yang kecil dipasangi kaca patri.

"Ah, iya, itu dia."

Aku berencana untuk minum teh di sini, tapi tempat ini ternyata jauh lebih bagus dari yang kukira, dan aku jadi ragu.

Apa tidak apa-apa mengajaknya ke tempat seperti ini...? Bagaimana kalau dia tidak suka...?

Semakin kupikirkan, semakin aku khawatir.

Saat aku mencoba melirik wajah Mikane, tanpa diduga, mata kami bertemu.

Mikane sepertinya menyadari kekhawatiranku, dia melihat ke dalam kafe dan berkata, "Sepertinya ada tempat duduk kosong."

"Emm..."

Aku menggaruk kepala, mencoba menyembunyikan rasa maluku.

"...Kalau begitu... mumpung sudah disini, bagaimana kalau kita masuk?"

"Oke."

Dengan jantung berdebar, aku membuka pintu, dan Mikane berbisik, "Wah, tempatnya bagus sekali."

Memang, aku juga berpikir begitu.

Dinding bata, kaca patri, lampu-lampu bergaya retro, kursi kulit, suasana yang tenang, semuanya serasi dan menciptakan atmosfer yang unik. 

Yang tidak cocok di sini hanyalah Mikane si gadis gyaru dan aku si anak penyendiri.

Karena tempat ini sangat kecil, pelayan segera datang menghampiri kami.

"Untuk dua orang?"

"I-iya..."

"Kalau begitu, silakan lewat sini."

Kami diantar ke tempat duduk di bagian belakang.

Ada jendela tepat di samping kami, dan kami bisa melihat taman misterius dengan pohon seperti monster dan pot besar.

Setelah memesan kopi dan kue, Mikane melihat sekeliling kafe dengan mata berbinar.

"Yukki juga baru pertama kali ke sini?"

"Ah, iya. Aku pernah ke tempat yang mirip seperti ini."

"Ada tempat lain seperti ini?"

"Morioka terkenal dengan banyaknya kafe retro kecil. Pernah ada surat kabar Amerika yang menulis artikel tentang kafe-kafe itu."

"Wow."

"Permisi—"

Pelayan datang membawa kopi dan kue kami.

Cangkir diletakkan di depan kami, dan aroma harum pun tercium.

"—Silakan dinikmati."

Setelah pelayan pergi, aku dan Mikane langsung mengambil cangkir kami.

Saat meminumnya, aroma harum itu melewati hidung dan terasa sangat nyaman.

Mikane menutup kedua matanya dan memiringkan cangkirnya, mungkin untuk menikmati rasanya dengan lebih baik.

Sekitar satu menit kemudian, Mikane perlahan membuka matanya dan menatapku dengan pandangan penuh arti.

"Bolehkah... aku bicara serius?"

Bicara serius? Ada apa?

"Boleh, memangnya ada apa?"

"...Menurut Yukki, apa itu kebahagiaan sejati?"

Kebahagiaan sejati?

Mungkin kalau ditulis dalam kanji adalah '本当の幸い'—itu adalah kata yang muncul di 'Night on the Galactic Railroad', karya terkenal Kenji Miyazawa, tapi ada juga pemikiran serupa di karya-karyanya yang lain, dan mungkin tercermin dalam cara hidup Kenji, jadi ini bukan hanya tema satu karya, tapi tema yang sangat besar.

Lagipula—

Aku menatap Mikane dengan heran.

Meskipun dia terlihat seperti orang yang santai, terkadang dia membahas hal yang sangat dalam.

 Aku penasaran apa yang ada di pikirannya di balik mata berbinar itu.

"Kenapa kamu menanyakan itu?"

"Karena aku penasaran."

Mendengar jawabannya yang santai, aku hanya bisa tersenyum kecut dan berkata, "Ya, memang tidak salah sih."


Padahal aku bertanya karena ingin tahu lebih lanjut.

Mungkin menyadari penjelasannya kurang, Mikane berpikir sejenak, lalu melanjutkan,

"Karena, kan, hidup manusia itu terbatas, kan? Miyaken meninggal di usia 37 tahun karena sakit, kan? Aku juga nggak tahu kapan akan meninggal. Mungkin 50 tahun lagi, 10 tahun lagi, atau tahun depan. Meskipun hidupku pendek, aku nggak mau meninggal sambil melihat langit-langit rumah sakit dan menangis menyesali hidup yang nggak berarti. Aku mau meninggal sambil tersenyum dan merasa bahagia. Makanya, aku selalu mencari cara untuk bisa bahagia."

Aku rasa, cara berpikirnya unik.

Tentu saja, aku juga pasti akan meninggal suatu saat nanti, tapi itu masih lama sekali. 

Aku tidak pernah memikirkan kematian dalam keseharianku, dan aku tidak pernah memikirkan kebahagiaan dengan dasar bahwa aku pasti akan meninggal.

Tapi, tatapan Mikane sangat serius. Sepertinya dia tidak sedang bercanda.

Merasa harus menanggapinya dengan serius, aku meletakkan cangkirku.

"...Seperti yang sudah kamu baca, kata 'kebahagiaan' muncul berkali-kali di 'Night on the Galactic Railroad'. Yang pertama... Sepertinya itu ucapan Campanella. Dia bilang, dia akan melakukan apa saja demi kebahagiaan ibunya, tapi dia tidak tahu apa itu kebahagiaan ibunya… Yang selanjutnya mungkin di adegan penangkap burung? Tokoh utama, Giovanni, merasa bahwa dia rela menangkap burung selama seratus tahun demi kebahagiaan si penangkap burung yang malang."

"Itu juga muncul di cerita kalajengking, kan? Kalajengking yang hampir mati itu berpikir, daripada mati seperti ini, lebih baik dimakan oleh seseorang. Dia berdoa kepada Tuhan, 'Semoga tubuhku ini bisa digunakan untuk kebahagiaan semua orang.' Setelah itu, kalajengking itu terbakar dan menjadi cahaya yang menerangi dunia, kan?"

"Iya..."

Suasana menjadi haru.

"...Apa Miyaken ingin bilang kalau pengorbanan diri adalah kebahagiaan sejati?"

"Tidak—"

Aku menggelengkan kepala.

"Memang, di 'Night on the Galactic Railroad', meninggal demi sesuatu yang berharga digambarkan sebagai hal yang indah. Tapi, kupikir itu sedikit berbeda dengan pengorbanan diri."

"Apa bedanya?"

"Pengorbanan diri itu mengorbankan diri sendiri demi orang lain secara terpaksa, kan? Kupikir, tokoh-tokoh di 'Night on the Galactic Railroad' itu sudah menemukan sesuatu yang mereka anggap lebih berharga daripada nyawa mereka sendiri. Jadi, mereka tidak mengorbankan diri dengan terpaksa, tapi mereka mengorbankan nyawa mereka untuk kebahagiaan mereka sendiri."

"...Kalau dipikir-pikir... semua orang pasti menganggap nyawa mereka sendiri yang paling berharga, kan? Kalau kita bisa menemukan sesuatu yang lebih berharga dari itu, mungkin itu benar-benar kebahagiaan. Jadi, menemukan hal itu adalah arti dari kebahagiaan sejati?"

"Itu juga mungkin tidak tepat. Campanella yang mati seperti itu, dan penumpang kapal yang melakukan hal yang sama, mereka memang bisa sampai ke surga, tapi mereka tidak bisa melangkah lebih jauh. Kebahagiaan sejati mungkin ada di tempat yang lebih jauh lagi. Hanya Giovanni, tokoh utama, yang masih hidup, jadi dia punya tiket spesial yang bisa membawanya ke mana saja. Hanya Giovanni yang bisa melanjutkan perjalanan untuk mencari kebahagiaan sejati."

"...Jadi, tidak ada jawabannya?"

"Iya, mungkin 'Night on the Galactic Railroad' disebut sulit dipahami karena tidak ada jawaban yang jelas. Kupikir, Kenji Miyazawa ingin kita masing-masing memikirkan sendiri apa itu kebahagiaan sejati."

"Oh, begitu..."

Mikane menyangga pipinya dengan tangan, seperti sedang berpikir, lalu meminum kopinya.

Dia melakukannya selama beberapa saat, lalu tiba-tiba, seperti melihat sesuatu, dia mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap ke luar jendela.

Tidak tahu apa yang terjadi, aku hanya bisa mengedipkan mata.

"Ada apa?"

"Emm, tadi sepertinya aku melihat sesuatu yang aneh di balik pohon itu."

"Sesuatu yang aneh?"

"Cuma bayangan sih, tapi bentuknya seperti kucing pakai topi."

"Itu—"

Seperti dunia dongeng yang digambarkan oleh Kenji Miyazawa, tapi hal fantastis seperti itu tidak mungkin terjadi.

Aku melihat ke arah jendela dengan ragu.

"...Di mana? Di mana kucingnya?"

"Emm, sepertinya aku salah lihat."

"Salah lihat?"

"Lihat, dedaunan di balik pohon itu sedang bergoyang, kan? Mungkin aku salah lihat itu. Tempat ini punya suasana seperti dongeng, mungkin itu penyebabnya."

"Ah, yah, mungkin begitu..."

Kami saling menatap lalu tertawa kecil.

Saat aku kembali meminum kopi, Mikane mencondongkan tubuhnya ke depan dan perlahan mendekatkan wajahnya.

Dengan suara berbisik seperti sedang menggoda, dia berkata,

"Ngomong-ngomong, menurutmu kita ini terlihat seperti apa? Kakak-beradik? Teman? Atau... pasangan?"

"Uhuk!"

Aku hampir saja menyemburkan kopiku.

Uhuk, uhuk, uhuk...

Sambil melihatku yang sedang batuk-batuk, Mikane bergumam, "Sudah kuduga."

"Yukki, sepertinya kamu tidak terbiasa berduaan dengan perempuan, ya?"

Ugh...

"I-iya... Aku tidak terbiasa. Aku, kan, beda dengan Mikane..."

"Eh? Apa maksudnya? Apa kamu pikir aku terbiasa? Kenapa?"

"Tidak, tapi... kamu terlihat sangat tenang? Padahal aku gugup..."

"Hmm."

Dia cemberut, sepertinya tidak senang.

Eh? Dia kan gadis gyaru dari Tokyo, cantik dan populer, jadi kupikir dia sudah sering mengalami hal seperti ini. Jangan-jangan, aku salah?

Mikane mengacungkan jari telunjuknya seperti sedang memperingatkan.

"Mungkin aku cuma jago menyembunyikannya. Sebenarnya, mungkin aku juga sangat gugup."

"Eh? Benarkah?"

"Siapa tahu?"

Dia mengacungkan jarinya dan tersenyum lebar.

"Entahlah? Yah, kalau kita sering bersama, nanti juga kamu tahu sendiri."

"............"

Ada apa dengannya? Meskipun penampilannya sangat mudah dibaca, tapi setelah mengobrol dengannya, aku jadi tidak mengerti sama sekali. 

Yang mana yang sebenarnya? Aku jadi gelisah.

Dengan wajah masam, aku menghabiskan kopiku dan meletakkan cangkirnya.

"...Bagaimana kalau kita pergi sekarang?"

"Oke, kita mau ke mana selanjutnya?"

"Nah, itu dia, aku masih bingung... Aku sudah merencanakan sampai sini, tapi setelah ini, aku ingin melihat situasinya saja. Kalau mau wisata di dekat sini... ada Ishiwarizakura, Kastil Morioka, itu yang standar. Kalau yang berhubungan dengan Kenji Miyazawa, ada Kenji dan Takuboku Youth Literature House. Kalau mau makan, ada Reimen, Ja Ja Men, Wanko Soba, Peternakan Koiwai, akhir-akhir ini ada juga yang wisata kafe retro."

"Aku mau ke semuanya!"

"Eh? Semuanya?"

Waktu dan uang kita pasti tidak cukup.

"Itu agak..."

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita ke tempat yang dekat dulu? Pertama, etto... Gakugiwari Zakura."

"Ishiwarizakura."

(TLN : Pohon ceri gede yang tumbuh dicelah batu gede juga, kadang dikenal sebagai pohon penghancur batu)

.

Bagian 3

Awalnya kami mau ke Ishiwarizakura, tapi rencananya langsung berubah setelah kami keluar dari kafe.

Karena sudah lewat pukul 15.00 saat kami minum kopi, jalanan ini sudah ditutup untuk kendaraan roda dua. 

Ada banyak kios yang berjejer, dan suara penjual yang bersemangat terdengar di mana-mana. 

Suasananya sangat berbeda dengan siang hari yang tenang.

"Yukki, ini apa? Festival?"

Mikane juga terlihat bersemangat.

"Ini Yoichi. Pasar ini buka setiap Sabtu di jam segini."

"Jadi setiap minggu ada festival?"

"Emm, ini bukan festival, tapi seperti pasar. Yah, memang ada banyak kios, orang-orang minum alkohol, dan terkadang ada acara kecil, jadi mungkin seperti festival. Tapi, pasar ini tidak buka di musim dingin. Hanya dari musim semi sampai musim gugur."

"Wahh! Boleh kita lihat-lihat?"

"Ah, iya, boleh."

Di Yoichi, ada berbagai macam barang yang dijual, seperti sake lokal, bir lokal, sayuran lokal, dan produk khas Morioka. 

Ada juga banyak jajanan yang bisa dimakan sambil berjalan-jalan.

Aku mencoba 'agedango'. Itu adalah dango yang ditusuk dengan tusukan sate, dilapisi tepung, lalu digoreng, dan ditaburi bubuk kinako gula merah, aromanya sangat harum.

Setelah melihat-lihat, aku menoleh ke belakang dan berkata, "Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi ke tempat berikutnya?", dan ternyata Mikane sedang bersandar di pohon.

Aku mengerutkan kening.

"...Ada apa?"

"...Maaf. Sepertinya aku nggak kuat lagi..."

"Eh?"

Aku terkejut.

Suara Mikane terdengar serak.

"...Apa aku terlalu bersemangat, ya...? Tiba-tiba aku merasa lelah, dan nggak bisa jalan..."

"..."

Memang kami sudah lumayan banyak berjalan, tapi seharusnya tidak sampai tidak bisa jalan.

Apa perasaanku saja? 

Apa semua orang Tokyo seperti ini? Tidak mungkin, kan?

Awalnya aku ragu, tapi setelah melihat kaki Mikane yang gemetar, aku jadi panik.

Aku memapah Mikane yang sempoyongan dan mendudukkannya di bangku terdekat.

Mikane meletakkan tangannya di dahi dan mendongak.

"...Kalau istirahat sekitar sepuluh menit... mungkin aku bisa jalan lagi. Tapi, Ishiwarizakura... sepertinya nggak bisa. Padahal kamu sudah repot-repot mengajakku ke sini..."

"Ja-jangan khawatirkan itu."

Kulitnya pucat, dan napasnya terlihat agak sesak. Sepertinya lebih baik dia segera pulang.

"Mikane tinggal di Shoen, kan? Mau pulang naik apa? Mau kupanggilkan taksi?"

"...Kalau istirahat sebentar, aku bisa naik bus... Ada halte bus di dekat sini?"

"Ada, kok. Aku carikan bus yang pas, ya."


Pasti tidak masalah.

Di Shoen ada 'Terminal Bus Shoen', jadi akses dari sini seharusnya bagus.

Aku mengeluarkan smartphone dari saku dan membuka situs web bernama ‘Bus Morioka Center'.

Setelah memasukkan kriteria dan mencari, ternyata ada bus tujuan Terminal Bus Shoen yang akan datang tiga puluh menit lagi. 

Tadi Mikane bilang kalau dia istirahat sekitar sepuluh menit... jadi bus ini sepertinya pas.

"Bagaimana dengan ini?"

Saat kutunjukkan layar smartphone-ku, dia mengangguk pelan dan tersenyum dengan susah payah.

"Aku naik ini saja. Terima kasih. Besok seharusnya aku tidak apa-apa... tapi kalau belum, aku akan telepon sebelum pagi..."

"Iya, jangan memaksakan diri."

Setelah itu, aku dan Mikane duduk beristirahat selama sekitar dua puluh menit, lalu perlahan berjalan sambil menuntun sepeda menuju halte bus terdekat.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close