NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Shujinkou no Osananajimi ga, Wakiyaku no Ore ni Guigui Kuru V1 Prolog


Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


 Prolog

Aku Melakukan Apa yang Bisa Kulakukan. Dengan Apa yang Kumiliki, di Tempat di Mana Aku Berada Sekarang



Ketika aku melewati pagar di atap, angin kencang menerpa tubuhku.


Sedikit saja aku kehilangan keseimbangan, aku mungkin akan berakhir menghiasi tanah dengan coretan menjijikkan.


Yah, itu memang tujuan aku ke sini.


"Aku sudah lelah..."


Sepertinya menarik, kalau memang ada yang kesulitan, mungkin aku bisa membantu.


Kalau beruntung, mungkin aku juga bisa mendapat sedikit keuntungan.


Namun, keputusan ringan itu kemudian berubah menjadi kenyataan yang terlalu berat untuk ditanggung.


Seseorang yang pantas diperlakukan apa saja, seseorang yang harus menderita, seseorang yang diinginkan untuk lenyap.


Itulah aku.


Tak ada satu pun yang berpihak padaku. Semuanya telah pergi.


Ayah yang ceria, ibu yang penuh tanggung jawab, adik perempuan yang sulit menunjukkan kejujuran.


Mereka yang selalu ada, membuatku baru menyadari betapa berharganya mereka saat mereka tidak lagi di sini.


Aku sering mendengar hal semacam itu, tapi baru benar-benar memahaminya setelah kehilangan mereka.


Semuanya terlambat... Terlalu terlambat... Aku tak bisa mendapatkan kembali apa pun.


Kalau aku bilang aku tidak membenci mereka, itu pasti bohong.


Namun, ada perasaan lain yang lebih besar. Ketakutan.


Aku tidak ingin kehilangan lagi, tidak ingin terluka lagi, tidak ingin... hidup lagi.


Karena itu, aku memutuskan untuk mengakhirinya.


Di sekolah yang hanya memberiku kenangan merah dan hitam ini, aku akan menciptakan satu lagi kenangan merah dan hitam untuk terakhir kalinya.


Ketika aku melihat ke bawah, beberapa siswa telah memperhatikanku, menatap penuh antusias sambil mengarahkan ponsel mereka.


"Dia akan lompat?" "Taruhan di mana?" "Wah, serius ini gila banget!"


Bahkan sampai di titik ini, bagi mereka, aku hanya sebatas hiburan sesaat.


Sudahlah, tidak apa-apa.


"Tertawalah terus dan hiduplah, dasar sampah."


Aku mengucapkan kata-kata kutukan itu, lalu melangkahkan kakiku ke depan. Ujung kakiku menyentuh udara.


Dari belakang, suara pintu atap terbuka terdengar keras. Ketika aku menoleh, seorang siswi berdiri di sana.


Dia memiliki sifat dingin dan tajam seperti pedang, serta wajah yang terlalu sempurna.


Karena ketidakpeduliannya terhadap siapa pun, dia dijuluki "Ratu Es".


Namun kali ini, dia tampak luar biasa panik, sesuatu yang jarang kulihat.


"────! ─────────!"


Suaranya hilang terbawa angin. Sosoknya perlahan menghilang karena gravitasi.


Yang terlihat di mataku hanyalah langit yang menjijikkan.


Langit tanpa awan, hanya matahari yang bersinar terang.


Aku terus terjatuh mengikuti gravitasi, sambil menatap langit itu.


Saat suara "bruk" yang menjijikkan terdengar di kepalaku, semua pemikiranku hilang.


◆ ◆ ◆


"── Bangun. ── Sadarlah, ── cepat!"


Seseorang mengguncang tubuhku. Menyebalkan... Sudah, biarkan aku sendiri.


"Dengar? ...oi dengar gak!"


Aku sudah mati. Akhirnya, aku terbebas dari neraka itu—


"Bangunlah! Kakak jelekku yang tidak imut ini!"


"Aduh!"


Tamparan keras langsung mendarat di wajahku.


Rasa sakit yang luar biasa membuatku segera bangun. Nyeri itu menyebar dari hidungku ke seluruh wajah.


"Sakit banget! Setidaknya, kasih ak—"


Saat aku menatap pelaku kekerasan itu, amarahku langsung hilang.


"Akhirnya bangun juga! Lama banget! Keterlaluan lamanya!"


Gadis itu berdiri dengan kedua tangan di pinggang, menatapku dengan tatapan kesal.


Rambutnya panjang, mungkin untuk terlihat lebih dewasa karena wajahnya yang agak kekanak-kanakan meski sudah kelas dua SMP.


Aku teringat ketika dia menolak meminjamkan pengering rambut karena katanya, "Perempuan itu ribet!"


"Yu... Yuzuki?"


Kenapa? Kenapa Yuzu ada di sini? Dan ini... di mana?


Aku ingat aku melompat dari atap sekolah... Yuzu memandangku dengan ekspresi bingung.


"Kenapa malah bengong sih? Cepat ganti baju. Sarapan sudah siap, tahu. Keterlaluan kalau sampai terlambat di hari upacara masuk sekolah."


Dia keluar dari kamar dengan langkah kesal setelah mengatakan itu.


"Upacara masuk sekolah?"


Apa maksudnya? Aku jelas-jelas sudah melompat dari atap dan mengakhiri segalanya. Tapi sekarang, aku terbangun di kamarku sendiri dan adikku, yang seharusnya sudah mati, membangunkanku.


"Cepatlah turun!"


Suaranya terdengar dari lantai bawah.


Bingung, aku mengikuti perintahnya dan membuka lemari.


Seragam yang bersih tanpa lipatan tergantung di sana, seperti baru.


Aku mengganti pakaian olahragaku dengan seragam itu dan turun ke lantai bawah. Saat masuk ke ruang makan, aku mendapati mereka.


"Pagi, Kazuki! Tidurmu nyenyak semalam? Ayah juga jadi semangat karena kamu sepertinya sangat antusias!"


"Kazuki, makan yang cepat ya. Nanti telat."


Ayah dan Ibu... Mereka di sini. Ayah, Ibu, dan Yuzu.


"Ugh! Hiks…..hiks! Uwaaahhh!!"


"Eh!? Ada apa, Kazuki? Jangan-jangan, senyum Ayah tidak cocok di matamu? Padahal di kantor, ini disebut senyum andalan!"


Ayah berdiri panik, menggenggam bahuku. Sentuhan itu terasa nyata dan hangat, membuatku tanpa sadar memeluknya erat.


"Eh!? Ada apa ini!?"


"Aku... merindukan kalian!"


"Padahal kita ketemu tadi malam!?"


Ayah bingung, sementara Ibu dan Yuzu hanya menatapku dengan ekspresi tak percaya. Tapi, kenapa? Kenapa mereka masih hidup?


Saat itulah suara berita dari televisi terdengar.


[Hari ini adalah awal tahun ajaran baru! Tahun ajaran 2023 dimulai hari ini!]


Suara pembawa berita yang riang tapi formal menyadarkanku.


Tahun 2023? Itu tidak masuk akal. Sekarang seharusnya tahun 2025.


Keberadaan Yuzu dan yang lainnya sudah cukup aneh, tapi ada begitu banyak hal ganjil yang terjadi.


"…Jangan-jangan..."


Kata-kata 'upacara masuk sekolah' yang diucapkan Yuzu tadi. Fakta bahwa tiga orang yang seharusnya sudah tiada ada di sini. Dan sekarang, berita yang menyebut tahun 2023.


Itu tidak mungkin. Hal seperti ini tidak mungkin terjadi.


Dengan ragu, aku bertanya pada Ibu.


"Ibu... Sekarang tahun berapa?"


"Tahun 2023, tentu saja."


"Buuhh!"


"Jijik! Itu menjijikkan, Kazuki! Setelah air mata dan ingusmu membasahi jas Ayah, sekarang kamu tambahkan air liur? Tolong hentikan!"


"Maaf! Kalau begitu, anggap saja itu bukan air liur, tapi air liur keringat, oke?"


"Jangan asumsikan Ayah punya fetish aneh terhadap cairan tubuh, dong!"


Sambil mendengar protes Ayah, aku akhirnya memahami segalanya.


Waktuku telah kembali... Segalanya kembali ke masa lalu...


Ke hari upacara masuk sekolah di SMA Hirasaka, tempat di mana aku hanya memiliki kenangan terburuk.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close