Penerjemah: Tensa
Proffreader: Tensa
Chapter 1: Perkenalan
Tetangga sebelah ternyata seorang Elf...
Mungkin kalian bingung dengan apa yang kukatakan, tapi jujur saja, aku sendiri juga tidak mengerti.
※ ※ ※
Saat ini aku berdiri di depan sebuah kamar di lantai satu apartemen berlantai dua.
Di depan pintu berwarna hijau muda itu, aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.
Di tanganku ada sebotol deterjen yang dibungkus rapi dengan kertas kado cantik. Jariku menyusuri permukaan bungkusannya, memastikan tidak ada kusut atau noda.
Ini deterjen yang sengaja kuminta dibungkus di konter layanan saat pergi ke supermarket bersama ibu.
Untuk apa?
Tentu saja, untuk diberikan kepada orang lain.
Katanya di zaman sekarang, kebiasaan berkunjung untuk memperkenalkan diri ke tetangga setelah pindah rumah sudah jarang dilakukan di kota besar. Tapi di sini berbeda—ini adalah kota kecil yang hijau dan berpenduduk sedikit.
Untuk menghindari masalah yang tidak perlu, setidaknya aku ingin memberikan kesan pertama yang baik.
Yah, sebenarnya ini juga karena ibuku yang perfeksionis berkata dengan tegas "Kamu akan tinggal di sini mulai sekarang. Jadi pergilah memperkenalkan diri pada tetangga."
Jujur saja, berkunjung tiba-tiba ke kamar orang yang tidak dikenal itu terlalu sulit bagiku.
Sebenarnya aku tidak mau melakukannya. Tapi karena aku paham alasan ibu ada benarnya, kuputuskan untuk menganggap ini sebagai salah satu pengalaman hidup.
Setelah orang tua dan petugas pindahan yang membantuku sudah pulang dan semuanya mulai tenang, aku memutuskan untuk mulai dari kamar 101 yang bersebelahan—begitulah kronologinya.
Meski sudah lewat siang, tapi karena hari Minggu, mungkin banyak yang ada di rumah.
...Kuharap begitu.
Karena merepotkan kalau harus berkunjung berkali-kali, aku ingin menyelesaikan ini sekaligus dalam satu kali jalan.
Setelah berpikir begitu, aku mengangkat wajah.
Di plat nama plastik di atas bel tertulis "Morie" dengan spidol.
Karena spidolnya tebal, huruf "Mori"-nya hampir tidak terbaca, tapi masih bisa kubaca. Karena nama keluargaku juga banyak coretannya, aku sangat paham bagaimana rasanya ketika huruf-huruf menjadi tidak jelas karena ditulis dengan pena tebal.
Sambil merasa sedikit terhubung dengan huruf-huruf yang hampir tidak terbaca di plat nama itu, aku menekan bel dengan hati-hati.
Ting tong.
Setelah melepaskan jari dari bel sederhana yang mirip sakelar lampu seperti di kamarku, aku menarik napas pelan.
"Pe-permisi. Saya Watarase yang baru pindah ke sebelah. Saya datang untuk memperkenalkan diri."
Karena tidak ada interkom dengan kamera atau mikrofon, aku menyampaikan maksudku lewat pintu.
Mungkin karena gugup dan tidak terbiasa menggunakan bahasa formal, suaraku jadi lebih kecil dari biasanya.
Setelah menunggu beberapa detik, tidak ada respon.
Apakah sedang tidak ada orang, atau mungkin suaraku tidak terdengar—saat kekhawatiran itu melintas di kepalaku.
"...Ya."
Akhirnya, terdengar suara seorang wanita.
Dari suaranya, sepertinya masih muda. Meski suaranya terdengar sangat malas.
Setelah terdengar suara berisik dari dalam kamar, langkah kaki mendekat ke pintu masuk.
Morie-san, ya. Seperti apa orangnya?
Tepat setelah detak jantungku mencapai puncaknya karena gugup, terdengar suara kunci dibuka.
Kemudian dari pintu yang terbuka setengah, muncul sosok wanita bertubuh ramping.
Rambutnya yang lembut terurai hingga ke dada, berwarna emas terang yang begitu indah dan mengejutkan. Warna rambut seperti ini, aku hanya pernah melihatnya di gim ponsel.
"——!?"
Saking terkejutnya, aku refleks mengalihkan pandangan dari wanita itu.
Bukan karena terkejut dengan warna rambutnya yang seperti yankee—yah, itu juga membuatku sedikit terkejut, sih.
Apakah ini yang disebut negligee?
Morie-san keluar dengan mengenakan pakaian yang sangat tipis...
Dari tulang selangka hingga lengan atas dan ujung jari, tidak ada kain yang menutupinya sama sekali, memperlihatkan kulit putih transparannya.
Dari ujung negligee yang begitu pendek hingga hampir memperlihatkan pakaian dalam, terjulur kaki jenjang yang ramping.
U-uwaa...
Seorang wanita seusianya, berani-beraninya keluar dengan pakaian seperti ini di depan orang... Apa dia sudah membuang konsep rasa malu? Apakah ini yang disebut orang mesum...
Atau mungkin, semua wanita sebenarnya memang seperti ini?
Kalau begitu, menjadi dewasa itu mungkin hal yang menyedihkan. Kulit yang diperlihatkan tanpa rasa malu membuat nilai plus-nya berkurang setengah. Seharusnya masih ada sedikit misteri yang dijaga.
Tidak, bukannya aku tidak senang, sih. Ya, sama sekali tidak.
Ah, tanpa sadar aku jadi terus memperhatikan. Aku harus mengalihkan pandangan lagi...
Tapi, rasanya tidak sopan kalau terang-terangan memalingkan wajah ke samping. Namun kalau terus memandangi seperti ini bisa jadi pelecehan seksual...
Karena tidak tahu harus memfokuskan pandangan ke mana, akhirnya aku terpaksa kembali menatap wajah Morie-san dengan serius.
"Ah..."
Tanpa sadar aku mengeluarkan suara.
Ini pertama kalinya dalam hidupku aku menahan napas saat melihat wajah seseorang.
Jujur saja, tadi aku terlalu terpaku pada tubuhnya sampai tidak menyadarinya.
Wajahnya sangat cantik. Sampai kukira dia seorang selebriti.
Dia benar-benar cantik.
Sesuai dengan kesan dari suaranya, sepertinya dia memang lebih tua dariku. Yah, sebenarnya itu sudah jelas dari penampilannya tadi, sih.
Dan apakah dia memakai lensa kontak? Matanya berwarna hijau seperti hutan.
Meski aku tahu ini prasangka, tapi tetap saja orang yang mewarnai rambutnya secerah itu dan bahkan memakai lensa kontak terlihat sedikit menakutkan di mataku yang baru lulus SMP bulan lalu. Di SMP-ku dulu tidak ada anak nakal seperti ini.
Tapi, aku tidak bisa kabur begitu saja. Bagaimanapun juga, ini pertemuan pertama dengan tetangga sebelah.
"E-eh... ini, hanya bingkisan sederhana..."
Sambil mengucapkan salam perkenalan yang baru pertama kali kuucapkan dalam hidupku—meski aku sudah tahu caranya—aku menyodorkan deterjen yang sudah kusiapkan.
"Ah... terima kasih."
Morie-san menerima deterjen itu dengan senyum yang sangat kaku.
Kami berdua sama-sama menunduk sedikit memberi salam.
Saat itu, rambut emas panjang Morie-san mengalir ke depan dan—
Melihat itu, tubuhku langsung membeku.
Telinganya panjang...
Eh, eh? Tunggu dulu. Kenapa telinganya panjang begitu?
Lebih dari itu, ujung telinganya... bukankah itu terlalu runcing? Sepertinya bisa diukur dengan busur derajat saking mancungnya?
...Tidak, tenang dulu.
Di dunia ini ada berbagai macam orang.
Ada yang hidungnya mancung, matanya besar, bibirnya tebal, dan sebagainya.
Jadi wajar-wajar saja kalau ada orang dengan telinga sepanjang ini...
...
Ti-tidak tidak tidak!? Tetap saja ini terlalu panjang! Apapun alasannya ini kelewatan!
Ini bukan sesuatu yang bisa dijelaskan sebagai "keunikan" seseorang!
Ah—!?
Jangan-jangan ini semacam cosplay!?
Mungkin dia memakai ear cuff yang sangat khusus? Sekarang kan banyak aksesori cosplay di toko serba ada. Mungkin dia sedang menikmati cosplay sendirian, makanya berpakaian berani seperti itu—
Tapi saat itu.
Seolah sudah direncanakan, angin berhembus melewati kami, membuat rambut Morie-san berkibar.
Dan seolah mengejek dugaanku, ujung telinganya bergerak-gerak kecil.
Seperti telinga kucing yang ditiup.
Ujung telinganya bergerak-gerak.
Twitch twitch.
Twitch twitch.
Untuk beberapa saat, aku terpaku menatap telinga yang bergerak-gerak itu.
...Ini bukan salah lihat, telinganya benar-benar bergerak.
Kalau bergerak, berarti telinga ini asli?
Eh, serius? Bukan CG atau semacamnya?
Tidak, mana mungkin ada CG muncul di dunia nyata tanpa peralatan canggih seperti di tempat konser. Ini cuma apartemen biasa di pedesaan.
Setelah menyangkal pikiranku sendiri, aku akhirnya tersadar.
Bagaimanapun juga, aku terlalu lama menatap telinganya.
Memelototi orang yang baru pertama kali ditemui itu sangat tidak sopan. Mungkin dia menganggapku menyeramkan.
Tapi entah kenapa Morie-san malah tersipu malu dengan pipi memerah, lalu berkata,
"A-aku Morie..."
Dia menyebutkan nama keluarganya.
Sepertinya Morie-san mengartikan tatapanku sebagai "Sebutkan namamu."
Tidak, bukan itu maksud tatapanku...
Yah, pokoknya aku harus membalas.
"Ah, iya. Morie...san. Mohon bantuannya mulai sekarang."
"Sa-sama-sama, mohon bantuannya juga..."
Setelah bertukar salam dengan canggung, Morie-san memberi hormat singkat lalu menutup pintu.
"..."
Aku terdiam sejenak di depan pintu hijau muda itu.
Telinga seperti itu, aku pernah melihatnya di gim dan manga. Itu yang disebut "Elf."
Tapi, ini Jepang modern. Tidak ada unsur dunia fantasi sama sekali, hanya ada peradaban dan teknologi modern.
...Ya, benar.
Mana mungkin ada Elf di tempat seperti ini.
Lihat saja plat namanya lagi. Dia bahkan punya nama keluarga Jepang "Morie."
Dia juga menyebut nama keluarganya sendiri. Dia berbicara bahasa Jepang dengan sangat normal. Menganggap seseorang sebagai makhluk dunia fantasi hanya dari melihat bagian tubuhnya itu sangat tidak sopan pada Morie-san.
Telinga yang kulihat bergerak tadi pasti cuma halusinasiku. Beberapa hari ini aku kurang tidur karena sibuk mempersiapkan pindahan. Ya, pasti begitu.
Setelah memaksakan diri untuk melupakan hal itu, aku kembali ke kamar untuk mengambil deterjen yang akan kuberikan saat berkunjung ke kamar berikutnya.
Dari kamar 103 yang plat namanya bertuliskan "Nagashima", keluar seorang nenek berambut putih yang terlihat sangat ramah.
Saat aku menyodorkan deterjen, Nagashima-san menerimanya dengan senang hati.
"Ara ara. Terima kasih sudah repot-repot. Kalau ada yang tidak dimengerti, jangan sungkan-sungkan bertanya, ya."
Syukurlah. Sepertinya dia orang yang sangat baik. Matanya terlihat sangat lembut dan menenangkan. Suaranya juga sangat lembut. Auranya hangat seperti sedang diselimuti cucian yang baru kering.
Saat aku merasa lega, wajah Morie-san tiba-tiba muncul dalam pikiranku.
Tadi aku memang memaksakan diri untuk menerima... tapi telinganya itu benar-benar terlihat bergerak.
Mungkin nenek ini bisa memberitahuku...
Tidak, tapi rasanya tidak pantas tiba-tiba menanyakan tentang telinga orang lain, deh?
Kalau ada cara yang lebih halus untuk menanyakannya—
"Pe-permisi... maaf kalau pertanyaan saya lancang..."
"Ara, ada apa? Tanyakan saja."
"Itu... apakah Morie-san di kamar 101 orang Jepang...?"
Meski pertanyaanku jadi berbelit-belit, aku tidak punya keberanian untuk langsung bertanya "Apakah dia manusia?" Bisa-bisa aku dianggap gila.
...Ah.
Setelah mengucapkannya, aku baru sadar kalau Morie-san mungkin saja orang asing.
Rambut pirang dan warna mata itu. Mungkin bukan hasil pewarnaan atau lensa kontak, tapi memang asli begitu. Mungkin telinganya runcing karena dia orang asing.
Karena plat namanya menggunakan nama keluarga Jepang, aku langsung mengira dia orang Jepang, tapi mungkin tidak. Bisa jadi salah satu orangtuanya orang asing—
Tanpa mengetahui pemikiranku itu, Nagashima-san menjawab sambil tersenyum.
"Oh. Maksudmu Ruf-san?"
Ruf-san.
Nama yang sangat tidak cocok untuk diucapkan oleh seorang nenek berambut putih.
Jadi nama kakak itu Ruf...
Ternyata memang orang asing, ya.
Aku cukup terkejut mendengar nama yang begitu asing di telingaku.
Yah, dampaknya tidak sebesar saat ada teman sekelas bernama "Sparrow" waktu kelas 1 SD, tapi ini jelas nomor dua. Oh ya, katanya "Sparrow" itu diberi nama begitu karena orangtuanya penggemar berat tim baseball tertentu.
...Eh, tunggu?
Waktu itu aku tidak tertarik baseball jadi tidak sadar, tapi kalau begitu harusnya "Swallow" kan, bukan "Sparrow"—baru kepikiran sekarang.
Omong-omong, "Sparrow" pindah sekolah saat liburan musim panas tahun itu, jadi aku tidak tahu kabarnya setelah itu.
Ah tidak, sekarang bukan saatnya memikirkan "Sparrow". Benar-benar bukan saatnya.
Daripada teman sekelas di masa lalu yang mungkin tidak akan pernah kutemui lagi, sekarang lebih penting memikirkan tentang Ruf-san tetangga sebelah.
Nagashima-san menoleh ke arah kamar 101—
"Ya, dia bukan orang Jepang."
"Ah, ternyata begitu, ya."
"Fufu. Cantik sekali, kan?"
"Ya..."
Jawabanku jadi tidak jelas.
Memang dia sangat cantik, tapi kalau aku menjawab dengan tegas di sini, bisa-bisa dia salah paham dan mengira "aku tertarik padanya".
Dari dulu, wanita paruh baya selalu suka topik semacam ini. Aku tahu betul. Makanya di TV dan berita online selalu ada berita tentang skandal asmara selebriti.
Pokoknya, sudah dipastikan bahwa Morie-san bukan orang Jepang asli. Entah kenapa hatiku jadi lega setelah mengetahui hal itu.
"Um, terima kasih. Mohon bantuannya ke depan."
"Ya, sama-sama."
Aku mengucapkan terima kasih pada Nagashima-san lalu kembali ke kamar.
Ada tiga deterjen tersisa di pintu masuk.
Baiklah, selanjutnya menyapa penghuni lantai dua—
Saat itu, aku menyadari sesuatu.
Nama keluarganya Morie. Nama kecilnya Ruf.
Jadi, Morie Ruf.
Mori Elf...
Elf...
...
"TERNYATA MEMANG ELF!?"
Tanpa sadar aku berteriak seperti detektif yang baru memecahkan kode.
Soalnya lihat bagian kanan kanji "e" (江)! Ini pasti disengaja, kan!? Jelas-jelas bacaannya "e"! Kalau digabung jelas terbaca "Elf"!
Mungkin ini cuma kebetulan, tapi terlalu pas! Soalnya Elf itu tinggal di hutan, kan!? Aku pernah lihat di film! Seperti "Beruang di Hutan", ini "Elf di Hutan"!
Dia sendiri pasti sadar akan hal ini. Malah tidak mungkin kalau dia tidak sadar...!
Kenapa aku langsung puas dengan penjelasan "orang asing"?
Kalau dipikir baik-baik, orang asing mana pun tidak akan punya telinga seperti itu.
Lagipula Nagashima-san hanya bilang "bukan orang Jepang", bukan "orang asing".
Dia adalah Elf. Tidak salah lagi. Di kepalaku ini sudah pasti.
Tapi—
Kenapa Nagashima-san bisa begitu tenang padahal Morie-san punya telinga yang tidak manusiawi? Itu yang sedikit mengganjal. Apakah saat sudah tua, hal seperti itu pun bisa dianggap sepele?
"..."
Tidak, sudahlah jangan dipikirkan. Apapun yang kupikirkan, pada akhirnya hanya imajenasiku saja.
Yang penting sekarang adalah melakukan apa yang harus dilakukan.
Aku pun menenteng sisa deterjen untuk menyapa penghuni lantai dua.
Setelah kembali ke kamar, aku duduk di tempat tidur dan menghela napas panjang.
Capek...
Memang, ya, hal-hal seperti ini bikin tegang.
Penghuni kamar 201 sedang tidak ada, tapi aku berhasil menyapa penghuni kamar 202 dan 203.
Omong-omong kamar 202 dihuni oleh seorang kakak yang sepertinya bekerja malam.
Karena dia baru mau tidur, dia keluar dengan pakaian tidur tipis dan sikat gigi di mulut, membuatku sangat malu.
Morie-san juga begitu—hipotesisku bahwa wanita dewasa kehilangan rasa malu mereka semakin menguat.
Kuharap mereka berdua hanya kebetulan tinggal di apartemen yang sama dan merupakan pengecualian.
Sementara itu, kamar 203 dihuni oleh sepasang laki-laki dan perempuan yang kelihatannya masih dua puluhan.
Aku jadi deg-degan dalam artian lain, bertanya-tanya apakah mereka tinggal bersama... Memang apartemen 1DK ini cukup untuk dua orang sih kalau mau.
Lebih lagi, rambut mereka berwarna-warni berbeda dari Morie-san, dan dengan penampilan serta ekspresi yang mirip yankee, mereka terlihat agak menakutkan.
Tapi saat kuberi deterjen, kakak laki-lakinya mengucapkan terima kasih dengan suara keras dan ceria, jadi sejujurnya kesan pertamaku tidak buruk.
Seperti kata ibu, rasanya bagus juga melakukan kunjungan perkenalan saat pindah rumah. Memang melelahkan karena tegang, tapi setidaknya sekarang tidak akan canggung kalau bertemu di luar.
Untuk kamar 201 yang sedang kosong, aku berencana mencoba lagi sore nanti—saat itu.
Ting tong.
Suara bel sederhana itu memotong paksa pikiranku.
Siapa, ya? Urusan listrik, air, dan gas sudah diselesaikan saat orangtuaku masih di sini. Apa mungkin sudah ada yang menawarkan langganan koran? Kalau iya, aku bisa mengelak dengan bilang "Saya masih di bawah umur jadi tidak bisa memutuskan."
Sambil perlahan mendekati pintu, aku memfokuskan pendengaran.
Sejauh ini tidak ada yang menyebutkan nama. Agak mencurigakan...
Ting tong.
Bel berbunyi lagi. Temponya sedikit lebih cepat dari sebelumnya.
Dengan was-was aku mengintip dari lubang pintu—
"Eh—?"
Tanpa sadar aku bersuara.
Yang berdiri di sana adalah dua gadis dengan wajah seperti anak SD kelas atas atau SMP.
Dua gadis dengan warna rambut biru muda dan merah muda. Warna yang terlalu cerah, tidak mungkin dimiliki orang Jepang—tidak, manusia mana pun.
"Permisiii."
Suara jernih itu menyadarkanku.
Ini bukan saatnya terkejut dengan warna rambut mereka. Sepertinya mereka tidak bermaksud jahat, jadi aku harus menanggapi dulu.
"Ya."
Hampir bersamaan dengan jawabanku, aku membuka pintu.
Ternyata benar bukan salah lihat, rambut mereka berwarna biru muda dan merah muda.
Meski aku yang terkejut dengan rambut pirang Morie-san, tetap saja gugup bertemu orang dengan warna rambut yang belum pernah kulihat, walaupun mereka lebih muda.
Kalau dipikir normal, mungkin mereka mewarnai rambut atau memakai wig.
Tapi tunggu dulu...
Setelah melihat telinga panjang Morie-san, aku terpikir kalau mungkin mereka berdua juga Elf?
Yah, entah mereka manusia atau Elf, tetap saja aku yang dari pelosok desa ini merasa ciut dengan warna rambut mereka.
Tapi wajah mereka berdua sangat mirip, mudah ditebak kalau mereka kembar.
"Um, terima kasih atas deterjennya tadi."
"Kami sedang pergi belanja tadi, jadi kami datang untuk memperkenalkan diri."
"Deterjen..."
Mendengar itu aku langsung paham. Pasti mereka ada hubungannya dengan Morie-san. Penghuni kamar lain tidak terlihat punya hubungan dengan mereka.
Refleks aku melirik telinga mereka.
Dari rambut bob mereka, sedikit terlihat ujung telinga yang mengintip.
Sesuai dugaan. Ujung telinganya runcing.
Tapi tidak sepanjang telinga Morie-san. Hanya sepanjang yang bisa disembunyikan dengan sedikit menyisir rambut. Apa karena mereka masih anak-anak? Meski cara bicara dan sikap mereka jauh lebih dewasa dari Morie-san.
"Ya. Terima kasih atas perhatiannya. Ah, maaf terlambat memperkenalkan diri. Kami tinggal di sebelah, kamar 101. Aku Titrey dan ini Neroly."
Si rambut biru muda berkata begitu, lalu si rambut merah muda mengangguk kecil.
Sampai sini, aku sudah tidak terkejut lagi dengan nama yang bukan nama Jepang.
Malah akan lebih kaget kalau dengan penampilan seperti ini mereka bilang "Namaku Toshiko."
"Kalian bersaudara?"
"Ya. Kami kembar."
Yah, itu sudah jelas dari wajah kalian.
Maksud pertanyaanku itu, apakah kalian adik Ruf-san? Tapi...
"Watarase-san, kan? Mohon bantuannya mulai sekarang."
Aku tidak diberi kesempatan untuk bertanya lagi. Karena mereka berdua membungkuk dengan sopan bersamaan, menciptakan atmosfer "selesai" yang tidak bisa dihindari.
"Ya, mohon bantuannya juga."
Dan aku tidak bisa melawan atmosfer itu untuk bertanya lagi.
Mereka mengangkat kepala, tersenyum kecil, lalu berpamitan dan kembali.
Beberapa detik setelah aku menutup pintu dengan pelan, terdengar suara pintu sebelah ditutup.
Mereka benar-benar tinggal bersama Ruf-san, ya... Hubungan mereka seperti apa?
Saat aku berpikir apakah warna rambut Elf tidak diturunkan bahkan dalam hubungan darah—
『Bagaimana, bagaimanaaa!?』
Suara Ruf-san yang bersemangat terdengar dari balik dinding dan...
『Suaramu terlalu keras!!』
Diikuti suara (mungkin) Titrey-chan yang langsung menegurnya.
"Suaranya terlalu keras..."
Tanpa sadar aku juga menggumamkan hal yang sama.
Yah, mungkin karena dindingnya tidak terlalu tebal. Ini kan apartemen kayu.
Tapi, reaksi Ruf-san itu.
Jangan-jangan kesan pertamaku padanya tidak terlalu bagus...?
Tiba-tiba dadaku dipenuhi perasaan tidak enak.
Penasaran sih, tapi mungkin karena dimarahi Titrey-chan, suara Ruf-san tidak terdengar lagi setelah itu. Tidak mungkin aku menempelkan telinga ke dinding, jadi aku terpaksa mengabaikan hal itu.
...Ah.
Yang pertama kulihat saat membuka mata adalah tatami pudar yang sangat dekat.
Sepertinya aku tertidur setelah itu.
Aku memang ingat berbaring di tatami. Tapi setelah itu ingatanku hilang begitu saja.
"Aduh..."
Aku memegang leher sambil perlahan bangun.
Mungkin karena tidur di tempat keras, seluruh tubuhku agak sakit.
Terutama wajahku. Saat aku menyentuh pipi kiriku yang terasa kesemutan, aku bisa merasakan bekas tatami yang tercetak jelas.
Aku sama sekali tidak tahu sudah tidur berapa lama. Dengan panik aku melihat jam weker yang kuletakkan di lantai. Jarum jam menunjukkan sedikit lewat dari jam lima sore.
Sepertinya aku tidur cukup lama...
Hari ini aku bangun pagi untuk mengurus berbagai hal terkait pindahan, mungkin aku lebih lelah dari yang kusadari. Tapi berkat itu, kepalaku jadi lebih jernih.
Ah, benar juga. Apa penghuni kamar 201 sudah pulang, ya.
Sambil berdiri, aku melihat keluar jendela.
Langit sesaat sebelum matahari terbenam mulai berubah menjadi kebiruan.
Aku berdiri di depan cermin di samping toilet. Bekas tatami di pipiku sudah mulai memudar.
Kulitku masih kencang, ya, pikirku sedikit berbangga sambil mencuci muka sekilas. Lalu aku mengambil deterjen lagi dan keluar kamar menuju kamar 201.
Tangga ke lantai dua agak menakutkan. Tangga besi sederhana ini membuatku merasa bisa jatuh ke bawah melalui celah pegangan kalau sedikit saja terpeleset.
Tepat setelah menaiki tangga luar yang menakutkan itu.
Berbeda dengan kamar lain, plat nama kamar 201 kosong.
Yah, bagiku justru aneh kalau kamar-kamar lain dengan santainya menuliskan nama mereka.
Waktu datang melihat-lihat dengan orangtua dan orang dari agen properti, aku terlalu fokus pada bagian dalam kamar sampai tidak memerhatikan hal seperti itu. Ini membuat perbedaan kesadaran privasi antara desa dan kota jadi terasa.
Mungkin penghuni kamar ini tipe yang peduli hal-hal seperti itu.
Aku merasa lega melihat lampu menyala dari jendela kecil.
Syukurlah. Sepertinya sudah pulang.
Setelah menekan bel sederhana yang sudah tidak asing lagi, aku menarik napas dan—
"Ya."
Aku sedikit terkejut karena pintu terbuka sebelum aku sempat mengatakan maksudku.
Yang muncul adalah seorang gadis berambut pendek yang terlihat ceria.
Usianya mungkin sekitar seusiaku? Apa dia tinggal dengan orangtuanya?
"Saya Watarase yang baru pindah ke kamar 102 hari ini. Ini hanya bingkisan sederhana, silakan."
Sudah yang kelima kalinya, jadi aku mulai terbiasa dengan kalimat pembuka ini.
Sambil merasa sedikit bangga bisa mengucapkannya dengan lancar, aku menyodorkan deterjen.
"Ah, aku Mizuse... Terima kasih sudah repot-repot."
Gadis itu menerima deterjen dengan agak ragu.
Dia mengamati tubuhku dari atas ke bawah, lalu setelah jeda sebentar—
"Um... mungkin ini kebetulan, tapi apakah kamu murid sekolah Moririi?"
"Ah, iya. Aku baru masuk tahun ini."
"Sudah kuduga! Um, aku juga pindah ke sini untuk masuk sekolah itu! Tiga hari yang lalu!"
"Serius!? ...Ah."
Aku tanpa sadar menggunakan bahasa informal karena terkejut.
Tapi dia melanjutkan sambil tertawa.
"Sepertinya kita seumuran, jadi tidak perlu pakai bahasa formal. Aku Mizuse Kotori. Salam kenal, ya, Watarase-kun."
"Salam kenal juga. Tidak kusangka ada calon murid sekolah yang sama di apartemen ini."
"Aku juga. Aku kaget karena tidak menyangka ada orang lain yang baru mulai hidup sendiri di sini selain aku."
Mizuse-san tiba-tiba berbisik, "Omong-omong..."
"Watarase-kun sudah bertemu? Dengan Morie-san di kamar 101?"
"Ya. Aku sudah menyapanya."
"Dia memang sangat cantik, tapi bagaimana, ya..."
Mizuse-san berhenti sejenak seolah kesulitan mengatakannya, tapi sepertinya dia sudah memutuskan karena langsung mengangkat pandangannya yang tertunduk ke arahku.
"Dia bukan manusia, kan? Anak-anak yang tinggal bersamanya juga."
Langsung to the point!
Tapi, wajar sih kalau dia penasaran?
"Kamu juga berpikir begitu?"
Tanpa sadar suaraku juga jadi berbisik.
"Maksudku, panjang telinganya itu tidak normal, kan..."
"Iya, ya..."
Seiring waktu berlalu, memang ada pikiran "Mungkin itu cuma salah lihat?" muncul di sudut pikiranku, tapi ternyata memang bukan ilusi mata.
Aku harus lebih percaya pada penglihatanku sendiri.
"Tapi anehnya, penghuni apartemen ini seperti tidak mempermasalahkannya... seperti menerima begitu saja. Aku pernah melihat Morie-san dan kakak sebelah berpapasan di tempat parkir, mereka saling sapa dengan natural lalu selesai."
"Aku tadi bertanya ke Nagashima-san di kamar 103, 'Apakah dia orang Jepang?' Tapi dia cuma menjawab 'Dia bukan orang Jepang' tanpa menjelaskan lebih lanjut."
"Berarti, semua orang memang sudah menerima Ruf-san, ya?"
"Mungkin begitu..."
Hebat, ya, orang-orang di sini.
Padahal dia Elf, lho? Bukan manusia, lho?
Tapi mereka bisa hidup normal bersama makhluk yang tidak dikenal.
"Tapi kenapa, ya, Ruf-san dan yang lain tinggal di apartemen pedesaan seperti ini?"
"Benar juga, ya. Dan dari mana mereka berasal?"
"..."
Keheningan sesaat.
Tentu saja, sebanyak apapun kami memikirkannya sekarang, kami tidak akan menemukan jawabannya.
Ekspresi Mizuse-san juga terlihat bingung.
Aku sedikit menyesal sudah mengutarakan pertanyaan itu.
"Um... mendadak ganti topik, tapi kenapa Watarase-kun memilih tinggal di sini?"
Sepertinya tidak tahan dengan suasananya, Mizuse-san memaksa mengubah topik.
Aku bersyukur dan memutuskan untuk mengikuti alurnya.
"Ada klub yang benar-benar ingin kuikuti dan hanya ada di sekolah Moririi... Tapi karena bukan sekolah berasrama, aku memilih apartemen ini yang dekat."
"Eh, aku juga karena klub! Wah kebetulan sekali. Aku jadi merasa dekat~!"
Aku ikut tersenyum melihat Mizuse-san yang tersenyum lebar. Aku juga merasa sangat dekat dengannya.
Meninggalkan kampung halaman dan mulai hidup sendiri untuk pertama kalinya demi klub—
Rasanya sangat menenangkan ada orang dalam situasi yang sama begitu dekat.
"Omong-omong aku masuk klub musik."
"Oh, yang katanya levelnya tinggi itu, ya."
"Kalau Watarase-kun?"
Wajar kalau dia bertanya tentang klub yang kuinginkan setelah ini.
Tapi aku ragu-ragu hampir sepuluh detik sebelum menjawab.
"K-klub kerajinan alam..."
Mendengar jawabanku yang terpaksa kukeluarkan itu, Mizuse-san membeku sejenak meski masih tersenyum.
Yah, reaksi yang sudah kuduga, sih.
Soalnya klubnya sangat tidak terkenal, wajar kalau tidak tahu.
"Maaf, baru pertama kali dengar. Apa yang kalian lakukan?"
"Membuat patung dan kerajinan dari bahan alam... Yah, anggap saja cabang dari klub seni..."
"Heee~ Ada klub seperti itu, ya. Sebenarnya aku cuma melihat info klub musik saja, jadi sama sekali tidak tahu klub apa saja yang ada."
Mizuse-san mungkin tipe yang hanya fokus pada hal yang dia minati.
Yah, aku sendiri juga hampir tidak melihat info klub lain sih, jadi tidak bisa berkomentar.
Saat itu, Mizuse-san tiba-tiba menoleh ke belakang.
Aku ikut melihat ke arah yang sama dan menemukan jam dinding di posisi yang mudah terlihat.
"Ah, maaf. Aku ingin ngobrol lebih lama, tapi orangtuaku akan datang hari ini."
"Tidak apa-apa, aku juga tidak berniat lama-lama, kok. Jangan dipikirkan."
"Makasih. Kalau begitu, sampai ketemu di sekolah, ya."
Mizuse-san melambaikan tangan lalu menutup pintu.
Baru saja pindah, tapi sudah dapat kenalan dari sekolah.
Mungkin terlalu cepat untuk menyebutnya teman... tapi karena sempat siap mental untuk hidup menyendiri di tempat asing, ini awal yang bagus.
Bibirku tanpa sadar tersenyum karena perasaan gembira.
Langit yang terlihat dari lantai dua apartemen baru saja kehilangan matahari. Tapi seolah merespon perasaanku, masih tersisa warna oranye cerah yang mewarnainya.
Saat pemandangan di luar jendela mulai diselimuti keremangan.
Aku mengambil teh oolong botol dari kulkas dan meletakkannya dengan keras di atas meja kecil.
Nasi putih, oke.
Ayam goreng, oke.
Sup miso, oke.
Salad, oke.
Aku memandangi makanan yang tersusun di meja sambil menikmati perasaan bangga kecil yang muncul.
Bukan bangga pada makanannya, tapi pada diriku yang berhasil memasak sendiri di hari pertama.
Yah, meski sup misonya instan dan ayam goreng serta saladnya dari supermarket, sih.
Aku membeli berbagai bahan makanan dengan ibu di supermarket yang sama tempat aku membungkus deterjen tadi.
Bagiku yang selama ini hanya pernah membeli makanan di minimarket, berbelanja di supermarket adalah pengalaman yang sangat baru.
Soalnya menurutku, masuk supermarket sendirian sebagai siswa SMA laki-laki itu cukup menantang... Lebih luas dari minimarket, susah mencari barang, dan yang paling bikin tegang adalah semua orang di sekitar adalah orang dewasa.
Tapi karena sudah pernah mencoba, sepertinya aku bisa masuk tanpa masalah mulai sekarang.
"Kalau beli makanan di minimarket terus, biayanya bisa berat. Setidaknya siapkan nasi putih sendiri. Dengan begitu kamu tinggal beli lauknya saja. Kamu kan belum bisa masak dengan baik, jadi manfaatkan apa yang bisa dipakai."
—Itulah saran ibu. Sambil mengangguk paham, aku memilih ayam goreng sebagai lauk hari ini.
Kalau dipikir lagi, yang kulakukan hanya menanak nasi dan memanaskan air untuk sup miso. Tapi karena aku belum pernah memanaskan air selain untuk mie instan, ini juga terasa seperti pengalaman baru.
Pokoknya, ini makan malam pertamaku hidup sendiri.
"Selamat makan."
Mengatupkan tangan, aku langsung menyuap nasi putih.
...Rice cooker hebat, ya. Padahal cuma menyiapkan beras dan menekan tombol tapi bisa seenak ini. Lembut dan pas kelembabannya.
Baiklah, sekarang waktunya menu utama, ayam goreng—saat aku mengulurkan sumpit.
Ting tong.
Bel berbunyi untuk kedua kalinya hari ini.
Siapa, ya, jam segini?
Aku langsung berdiri dan bergegas ke pintu. Saat akan mengintip dari lubang pintu...
"Se-selamat malam. A-aku Morie dari sebelah..."
Suara yang sedikit gugup tapi jernih dan mudah didengar terdengar dari luar.
Ruf-san!? Ada perlu apa denganku?
Kami sudah saling menyapa, dan aku sama sekali tidak punya bayangan.
Saat kubuka pintu, di sana berdiri Ruf-san sendirian dengan pakaian yang lebih pantas (meski cuma kaos dan celana pendek) dari sebelumnya.
Aku diam-diam mengecek telinganya lagi.
Ya...
Tetap saja telinganya sangat panjang bagaimanapun dilihat. Terima kasih banyak.
Ruf-san dengan telinga elfnya itu membawa piring putih yang dibungkus plastik wrap.
"Sebenarnya, a-aku membuat terlalu banyak lauk. Ini nikujaga, kalau kamu tidak keberatan, mau menerimanya...?"
Ruf-san menatapku dengan malu-malu sambil menggerak-gerakkan kakinya.
"——!?"
I-ini...!? Aku pernah melihatnya di manga.
Event "Tetangga Sebelah Berbagi Masakan Lebihan"!
Eh, aku kaget. Ternyata hal seperti ini benar-benar ada!?
Dan yang membawanya Elf! Tapi malah nikujaga! Rasanya benar-benar Jepang!
Yah, kalau dia membawa masakan misterius penuh nuansa fantasi, itu juga akan merepotkan, sih.
Hmm, keberadaan Ruf-san makin misterius...
"Ah... Apa kamu tidak suka nikujaga?"
Mungkin karena aku tidak langsung menjawab, alis tipis Ruf-san menurun dengan jelas.
Gawat. Dia salah paham.
"Ma-maaf! Bukan begitu! Saya hanya kaget karena baru pertama kali mengalami hal ini. Dengan senang hati saya terima!"
Saat aku menjawab dengan penuh semangat, Ruf-san menghela napas lega kecil lalu menyerahkan piring itu padaku.
Bagian bawah piring masih cukup hangat, menandakan makanan ini baru saja selesai dimasak.
Nikujaga yang terlihat dari balik plastik wrap kelihatan sangat lezat.
"Terima kasih banyak."
"Aku juga, terima kasih atas deterjennya tadi."
"Nanti piringnya akan saya cuci sebelum dikembalikan."
"Ti-tidak perlu. Aku yang memaksa memberikannya. Tidak perlu repot-repot. Lagipula, bukan daku yang mencuci piring."
"——!?"
Daku!?
Aku hampir saja mengulangi kata itu dengan keras, tapi untungnya bisa kutahan di detik terakhir.
Tunggu, daku?
Ini pertama kalinya aku bertemu orang yang menggunakan kata ganti orang pertama seperti itu di dunia nyata!?
Lagipula kata "daku" itu, bukankah salah tempat dan waktu? Ini bukan istana di negeri antah berantah, tapi apartemen biasa di pedesaan, lho!?
Sepertinya Ruf-san memang punya pemahaman yang berbeda tentang norma Jepang modern...
Tapi anehnya dia tetap melakukan "Event Tetangga Berbagi Masakan" dan membawa nikujaga, aku benar-benar tidak mengerti.
Dan ada informasi baru yang sebenarnya tidak terlalu ingin kuketahui. Sepertinya dia tidak mencuci piring sendiri.
Jadi maksudnya, Ruf-san adalah Elf yang berkedudukan tinggi?
Apa Titrey-chan dan Neroly-chan semacam pelayan pribadinya?
"Ka-kalau begitu, nanti aku akan datang mengambil piringnya."
"Ah, iya."
Tanpa sempat bertanya apa-apa, Ruf-san kembali ke kamarnya.
Aku berdiri sendirian di pintu masuk dengan nikujaga yang masih hangat.
"...Yah, dimakan saja dulu."
Kepalaku hampir meledak karena informasi yang datang bertubi-tubi di luar dugaan.
Demi menjaga ketenangan pikiran, aku memaksa diriku mengabaikan semua informasi selain "dapat tambahan lauk" dan kembali ke meja makan.
Kesimpulan: nikujaga-nya enak sekali...
Tentu saja rasanya sedikit berbeda dari buatan ibu, tapi entah kenapa nikujaga dari Ruf-san juga punya rasa yang membuat rindu.
Aneh, ya... Padahal aku tidak ingat punya orangtua Elf.
Begitu kumakan, tiba-tiba terbayang rumah kedua yang belum pernah kulihat, membuatku kaget sendiri.
Omong-omong, tempat itu seperti kafe bergaya elegan di tengah hutan, dengan dua tupai lucu berlarian di luar jendela. Aku sedikit takut dengan imajinasiku yang terlalu jelas.
Setelah menghabiskan makan malam termasuk lauk dari supermarket, aku langsung membawa piring kotor ke tempat cuci.
Tepat saat itu, seolah menunggu timing yang tepat, bel berbunyi dan terdengar suara Ruf-san dari luar pintu, "Wa-Watarase-san."
Eh, dia benar-benar datang mengambil piring. Bagaimana ini.
Padahal aku berniat untuk segera mencucinya dan mengembalikan, jadi merasa tidak enak. Sambil membawa piring kotor, aku bergerak ke pintu dengan perasaan canggung.
"Ba-bagaimana? Um, aku akan lebih terbantu kalau kamu jujur tanpa sungkan..."
Ruf-san langsung bertanya begitu aku membuka pintu. Sepertinya dia sangat penasaran.
"Sungguh, tanpa basa-basi, ini sangat enak. Terima kasih atas makanannya!"
Begitu aku menjawab dengan jujur, wajah Ruf-san langsung berseri-seri.
"Syu-syukurlah...!"
Ruf-san menerima piring dariku dengan senyum lebar.
"Terima kasih banyak, ya."
"Ti-tidak, aku yang tertolong karena membuat terlalu banyak. Terima kasih."
Setelah membungkuk kecil, dia kembali ke kamarnya seraya rambut panjangnya berkibar.
Aku tidak tahu seberapa banyak nikujaga yang mereka buat berlebihan, tapi berkat itu aku jadi kenyang, jadi aku sangat senang.
Baiklah. Tinggal cuci piring lalu mandi—tepat setelah aku memutuskan apa yang akan kulakukan selanjutnya...
『Uhyooooooo!』
Teriakan aneh yang tiba-tiba terdengar dari balik dinding membuatku tersentak kaget.
A-ada apa!? Apa yang terjadi!? Kamu baik-baik saja!?
『Sudah! Kan sudah kubilang suaramu terlalu keras! Mengganggu tetangga!』
Yang terdengar berikutnya adalah suara Titrey-chan.
Sepertinya bukan hanya perasaanku kalau suaranya terdengar agak kesal.
Untuk saat ini, sepertinya tidak ada masalah serius...
Mungkinkah bagi Ruf-san, mengeluarkan suara (?) seperti itu adalah hal yang normal?
...Entahlah.
Ada terlalu banyak hal yang tidak kumengerti tentang Ruf-san saat ini.
Yah, mungkin aku akan mengerti sedikit demi sedikit, jadi lebih baik tidak memikirkannya sekarang. Sejujurnya, aku juga sudah lelah berpikir...
Sekarang aku hanya ingin berendam di bak mandi dan bersantai. Ya, ayo bersantai.
Begitulah malam pertama kepindahanku yang sedikit tidak biasa berlalu.
Previous Chapter | ToC |
Post a Comment