NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tatoe Mou Aenakutemo, Kimi no Ita Kiseki wo Wasurarenai V1 Chapter 9

 


Penerjemah: Kazehana 

Proffreader: Kazehana


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


Kini, Bulan Juli, Tidak Apa-apa Karena Aku Memilikimu


 "Bersulang!"

 Semuanya mengangkat gelas berisi jus tinggi-tinggi. Raut wajah mereka dipenuhi senyum cerah dan rasa puas. Usai sekolah, kami anggota tim lomba renang berkumpul di toko milik Nacchan. Lidah kami dimanjakan oleh lezatnya pizza hangat, pai buah, dan pai daging yang baru keluar dari oven.

 Ketika aku mengajak mereka untuk merayakan keberhasilan kita di rumahku seusai pertandingan, semua tampak antusias menyambutnya. Yah, aku memang sudah menduga anggota tim laki-laki, Miyu, dan Sakashita-san akan dengan senang hati datang. Namun, sungguh di luar dugaan Mikami-san pun langsung menyetujui tanpa berpikir dua kali.

 "Semua makanannya lezat!"

 "Kan sudah kubilang! Masakan Bibi Ai memang tidak ada duanya!"

 "Iya, roti kari tadi juga enak."

 Nitta-kun menggigit pizza dengan mata berbinar. Miyu dan Mizuno-kun menyahut dengan bangga. Naito-kun tampaknya terlalu asyik makan. Sejak tadi ia hanya mengunyah dalam diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ngomong-ngomong, Mikami-san duduk agak jauh dariku. Sesekali ia mengobrol dengan Sakashita-san di sebelahnya sambil menikmati hidangan.

 "Tapi, tidak apa-apa? Kami jadi banyak merepotkan ...."

 "Tidak apa-apa, santai saja! Kalian semua sudah berlatih keras, ‘kan? Anggap saja ini hadiah!"

 Nacchan menjawab dengan senyum lebar seraya membawakan roti kari yang masih hangat, menanggapi ucapan Sakashita-san yang terdengar sungkan.

 "Terima kasih banyak, Nacchan."

 "Benar-benar tidak masalah, kok. Yang paling membuatku bahagia adalah melihat Ai berjuang bersama teman-temannya."

 Mendengar ucapan terima kasihku, mata Bibi berkaca-kaca. Dalam hati, aku diam-diam menambahkan, "Maafkan aku selama ini, ya."

 "Ngomong-ngomong, MVP hari ini jelas Yoshizaki-san, ya. Gaya kupu-kupumu keren abis!"

 "Aku sampai merinding melihatnya."

 Aku menggaruk pipiku, bingung harus merespons bagaimana atas pujian berlebihan dari Nitta-kun dan Naito-kun.

 "Betul! Mungkin cedera yang kualami malah jadi berkah tersembunyi?"

 "J-jangan bicara begitu!"

 Aku buru-buru menggeleng menanggapi canda Sakashita-san. Sebenarnya, jika dilihat dari catatan waktu, aku sedikit lebih lambat dibanding saat Sakashita-san yang berenang. Sakashita-san hanya tertawa, "Ahaha, begitu ya?"

 "Tapi serius, baru kali ini aku lihat ada yang bisa berenang gaya kupu-kupu seperti itu. Yoshizaki-san, jangan-jangan kamu pernah ikut klub renang?"

 Mizuno-kun menatapku lekat, bertanya dengan sorot mata penuh arti. Entah mengapa, aku kembali merasa ia mungkin tahu aku sebenarnya jago berenang. Tapi yah, kalau dipikir-pikir lagi, rasanya tidak mungkin juga. Meski begitu, aku mulai merasa bersalah karena selama ini berbohong pada mereka tentang alergi klorin. Namun, aku khawatir mereka akan kecewa jika kuberitahu kebenarannya sekarang. Tiba-tiba, mataku bertemu pandang dengan Miyu. Ia tersenyum lembut dan mengangguk pelan.

 —Tidak apa-apa.

 Aku bisa merasakan Miyu memahami kegelisahanku dan meyakinkanku lewat tatapannya. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu dengan hati-hati mulai berbicara.

 "Sebenarnya, teman-teman. Mungkin kalian sudah menduganya ...."

 Begitu aku berkata dengan nada serius, semua yang tadinya asyik mengobrol langsung terdiam dan memusatkan perhatian padaku.

 "Soal alergi klorin itu ... bohong. Sebenarnya aku hanya merasa tertekan secara mental untuk berenang, makanya aku beralasan begitu."

 "Apa ini ada hubungannya dengan kecelakaan enam tahun lalu itu?"

 Yang menyela dengan tepat sasaran adalah Mikami-san. Aku mengangguk.

 "Iya. Waktu itu aku masih aktif berenang, tapi saat pulang dari kejuaraan nasional di Osaka ... kami mengalami kecelakaan."

 Suasana hening sejenak. Nacchan yang duduk agak jauh menatapku dengan ekspresi serius. Mata yang lain memancarkan kesedihan.

 "Maafkan aku. Gara-gara aku cedera, kamu jadi terpaksa berenang."

 Sakashita-san mulai berkaca-kaca. Sepertinya ia merasa bersalah, mengira aku berenang sambil menahan trauma. Aku buru-buru menggeleng.

 "Bukan, bukan begitu. Aku tidak terpaksa sama sekali. Belakangan ini, aku merasa tidak ingin terus-terusan seperti ini. Makanya aku bersyukur mendapat kesempatan ini. Aku sangat berterima kasih pada Sakashita-san ... pada kalian semua. Justru, maafkan aku karena sudah membohongi kalian."

 "Yoshizaki-san ...."

 Sakashita-san tersenyum, matanya berkaca-kaca. Aku pun membalas dengan senyuman.

 "Kalaupun dibilang dibohongi ... yah, kami sih tidak merasa begitu."

 "Betul. Justru kami berterima kasih kamu mau berenang dalam situasi seperti itu tanpa persiapan."

 Nitta-kun dan Naito-kun berkata dengan nada santai.

 "Terima kasih, kalian berdua."

 Aku sangat bersyukur. Bisa mengungkapkan semuanya pada mereka. Bisa diterima oleh mereka. Mikami-san tidak bereaksi apa-apa, hanya diam mengunyah pai. Namun, sikapnya yang tenang itu pun terasa seperti bentuk kebaikan.

 ... Tiba-tiba.

 "Huwaaaaa! Ai ... Ai ...."

 Aku terkejut saat Nacchan tiba-tiba menangis keras seperti anak kecil.

 "Bi-Bibi...? Ada apa?"

 "Ha-habisnyaaa! Ai...! Ai sudah bisa bersikap positif lagi seperti ini! A-aku senang sekali! Huwaaaaa!"

 Melihat Bibi menangis tersedu-sedu, aku merasa bersalah karena selama ini membuatnya khawatir. Tapi cara menangisnya yang lucu membuatku tersenyum canggung.

 "Nacchan! T-tenanglah!"

 "Miyu-chaaaan! Terima kasiiih!"

 "S-saya mengerti perasaan Bibi! Tapi tolong tenanglah!"

 "Huwaaaa! Aiii!"

 Miyu yang sudah lama mengenal Bibi tampaknya tidak tahan melihatnya seperti itu. Ia mendekat dan berusaha menenangkan Bibi. Yang lain hanya bisa melongo melihat tingkah Bibi yang tak terduga. Lalu, Mizuno-kun yang duduk di sebelahku menoleh dan berkata.

 "Kamu benar-benar disayangi Bibi, ya, Yoshizaki-san."

 Ia tersenyum lembut.

 "Iya." Aku mengangguk sambil tersenyum malu.

 Benar. Aku bahagia bisa diasuh oleh Bibi yang ceria dan pandai membuat roti lezat. Dulu aku bahagia bersama ayah dan ibu, tapi sekarang pun aku masih disayangi oleh orang-orang di sekitarku. Ucapan Mizuno-kun membuatku merasakan kebahagiaan itu. Tapi, aku sedikit khawatir melihat ada secercah kesedihan di balik senyumnya.

 "Ah! Iya, benar juga! Ini, ini!"

 Nitta-kun mengeluarkan kantong plastik berukuran cukup besar dan membuka isinya.

 "Wah! Kembang api!"

 Ya, itu adalah berbagai jenis kembang api, mulai dari yang digenggam tangan, petasan kecil yang diluncurkan, roket, hingga kembang api tikus.

 "Setelah kita selesai makan, aku pikir kita bisa menyalakannya bersama di pantai depan toko. Tadi aku membelinya bersama Souta dan Ryouta ...."

 "Wah, ide bagus! Ayo kita lakukan!"

 Mata Sakashita-san berbinar-binar.

 Kapan terakhir kali aku bermain kembang api, ya? Rasanya sejak masa kecil, saat bersama ayah dan ibu. Kenangan manis yang menggugah nostalgia. Meski teringat mereka berdua masih membuat kesedihan merebak, tapi itu tidak boleh kulupakan. Karena berkat merekalah aku bisa ada di sini sekarang. Usai menikmati hidangan, kami pun menuju pantai yang diselimuti temaram senja.

 "Oi, Ryouta! Jangan arahkan roket kembang api ke sini!"

 " ...? Bukannya memang dimainkan dengan mengarahkannya ke orang lain?"

 "Oh, begitu ya. Kalau gitu aku juga akan mengarahkannya ke Hiroki."

 "Hah!? Jangan coba-coba!"

 Mizuno-kun dan Naito-kun mengejar Nitta-kun sambil membawa roket kembang api. Kasihan Nitta-kun, tapi tingkah mereka membuatku tak bisa menahan tawa.

 "Wah, indah sekali ya."

 "Iya, betul. Aku tidak main kembang api sejak kecil, tapi memang seru, ya."

 Miyu dan Sakashita-san asyik menikmati cahaya warna-warni dari kembang api yang mereka pegang. Mikami-san juga menatap lekat percik api yang rapuh dari kembang api dupa. Aku berjongkok di dekat mereka bertiga, mengamati tingkah semua orang. Matahari baru saja terbenam, laut malam yang gelap dihiasi kerlip bintang sesekali. Pemandangan yang sempurna untuk keindahan kembang api.

 "Ah, ember pemadam apinya sudah penuh, ya."

 Miyu berkata sambil memandangi ember tersebut. Sepertinya kembang apinya terlalu banyak, ember berisi air itu dipenuhi sisa-sisa kembang api yang sudah dipakai.

 "Kalau begitu, aku akan ambil ember baru."

 Saat aku berdiri dan berkata demikian, terdengar suara Miyu, "Tolong ya~"

 Aku pun pergi ke toko untuk meminta ember pada Nacchan, lalu mulai mengisinya dengan air dari keran di luar. Samar-samar terlihat yang lain masih asyik bermain kembang api. Suara riuh mereka terdengar jelas. Tiba-tiba ....

 "Yoshizaki-san."

 Aku tersentak kaget saat tiba-tiba ada yang memanggilku ketika air sudah terisi cukup banyak. Setelah menutup keran dan berbalik, kulihat ada ....

 "Mikami-san."

 Entah sejak kapan ia berdiri di belakangku. Ekspresinya tak terbaca dalam keremangan, tak bisa kutebak apa yang ia rasakan. Ada apa? Meski sikapnya padaku terasa lebih lunak dari sebelumnya, kami nyaris tak pernah berbicara selain hal-hal yang sangat perlu. Itu pun sepertinya karena terpaksa, mengingat ada orang lain di sekitar kami. Terakhir kali kami bicara berdua adalah saat ia mengatakan punya "dendam pribadi" padaku.

 "Sebenarnya, aku sudah lama tahu banyak hal tentangmu, Yoshizaki-san."

 Mikami-san berkata demikian saat aku terdiam.

 "Eh ... tahu banyak tentangku ... maksudnya?"

 "Setelah kecelakaan itu, kau cukup banyak disorot media, ‘kan? Soalnya ...."

 "Maksudmu sebagai 'gadis ajaib', satu-satunya yang selamat?"

 Aku berkata dengan nada sedikit mengejek diri sendiri.

 "Ya, itu. Aku mengikuti semua berita tentang kecelakaan itu, baik di internet maupun koran."

 "Kenapa ...?"

 "Karena sahabatku juga menjadi korban kecelakaan itu."

 Mikami-san berkata demikian, lalu duduk di sebelahku yang masih berjongkok di depan keran. Wajahnya dihiasi senyum sendu. Aku tak bisa berkata apa-apa. Suasana dipenuhi gelak tawa anak laki-laki yang bermain kembang api dan debur ombak yang bergulung-gulung. Korban tewas dalam kecelakaan itu mencapai tujuh ratus orang. Tak aneh jika ada kenalan korban di sekitarku.

 "Aku ingin tahu detail penyebab kecelakaan dan proses penyelamatan, aku terus bertanya-tanya mengapa sahabatku meninggal begitu mendadak. Makanya, aku yang masih SD waktu itu mencari tahu semua yang bisa kutemukan—acara TV, artikel koran, bahkan postingan di forum internet."

 "Begitu ya. Pantas saja kau jadi tahu banyak tentangku."

 Wajar saja, mengingat aku adalah sosok yang tak bisa dipisahkan dari narasi kecelakaan itu. Bahkan sampai sekarang terkadang masih ada orang yang tampak seperti wartawan datang ke toko Bibi.

 "Ya. Aku tahu kau anak tunggal. Kedua orang tuamu yang ikut dalam kecelakaan itu meninggal. Kau diasuh oleh bibimu yang mengelola toko roti. Dan ... bahwa sebelum kecelakaan, kau atlet renang junior yang berbakat."

 " ...."

 Pantas saja ia curiga saat aku beralasan alergi klorin ketika diminta ikut lomba renang. Tapi aku masih belum paham alasan di balik ucapannya tentang "dendam pribadi" padaku.

 "Lama-kelamaan, aku jadi tertarik padamu yang selamat. Kita sebaya, sih. Aku penasaran bagaimana anak seusiaku bisa bertahan hidup setelah mengalami kecelakaan seperti itu dan kehilangan kedua orang tua secara mendadak. Bukan simpati, lho. Hanya keingintahuan biasa."

 "Hmm ...."

 "Lalu ... karena kamu yang selamat menggantikan sahabatku, aku mulai beranggapan bahwa kamu pasti hidup dengan tegar dan positif. Media juga mendorong persepsi seperti itu. Orang-orang suka cerita inspiratif semacam itu, ‘kan?"

 "Ya, benar."

 Setiap kali menghadiri acara peringatan tahunan, aku selalu jadi santapan media. "Gadis ajaib itu kini sudah SMP", "Gadis ajaib itu kini sudah SMA", begitu kata mereka. Meski belakangan ini mereka tidak lagi mengganggu kehidupan sehari-hariku, sejujurnya aku tidak suka menjadi pusat perhatian. Padahal, aku tidak hidup seperti yang diharapkan orang-orang.

 "Makanya, saat tahun ini aku sekelas denganmu, Yoshizaki-san, aku merasa kecewa. Kau selalu terlihat tidak peduli dengan apa pun, begitu datar. Seolah-olah kau berkata, 'Aku tidak meminta untuk selamat.' Aku berpikir, 'Padahal kamu yang selamat menggantikan sahabatku, tapi apa-apaan sikapmu itu?'"

 " ...."

 "Padahal kalau itu sahabatku, dia pasti hidup dengan lebih ceria. Aku juga akan lebih senang kalau begitu ...."

 Profil wajah Mikami-san mengeras saat mengatakan itu. Suaranya sedikit bergetar.

 "Aku tahu ini egois. Kamu sudah melewati hal mengerikan, memaksamu untuk hidup ceria justru tidak masuk akal. Tapi setiap melihat wajahmu, aku selalu teringat kematian sahabatku. Kenapa sahabatku yang baik dan ceria harus mati, sedangkan kau yang begitu datar bisa hidup? Karena itulah aku membencimu."

 "Begitu ... rupanya."

 Aku satu-satunya yang selamat dari kecelakaan itu. Wajar saja jika keluarga dan kerabat korban memiliki perasaan kompleks terhadapku. Mengapa keluarga kami yang meninggal, sedangkan anak itu bisa hidup?

 "Maafkan aku selama ini. Yoshizaki-san tidak salah sama sekali. Sungguh, seperti yang kukatakan di awal, ini hanya dendam tak berdasar dariku."

 "Ya .... Terima kasih sudah memberitahuku."

 Aku sungguh berterima kasih dia mau jujur tentang alasannya membenciku. Itu sesuatu yang benar-benar ingin kuketahui. Mikami-san juga korban dari petaka itu. Aku bahkan merasa senang dia mau membuka hatinya padaku.

 "Tapi, padahal sampai baru-baru ini kamu sangat membenciku. Kenapa kamu malah meminta maaf seperti ini?"

 Mikami-san yang sekarang tidak lagi setajam saat memintaku menjadi peserta lomba renang. Aku merasa heran.

 Mikami-san tersenyum lembut. "Karena Yoshizaki-san sudah berubah."

 "Berubah?"

 "Ya. Dibanding sebelum mengurus lomba renang, kamu jelas lebih ceria dan positif. Ekspresimu juga jadi lebih beragam. Saat Sakashita-san cedera dan kau menawarkan diri untuk menggantikannya, aku terkejut melihat matamu begitu berapi-api. Melihatmu seperti itu, tanpa sadar perasaan tidak sukaku padamu menghilang."

 "Aku ... berubah ...?"

 Belakangan ini banyak orang mengatakan hal yang sama. Nacchan, Miyu, dan yang lainnya. Memang, aku sendiri merasa hari-hariku lebih menyenangkan dari sebelumnya. Aku tidak lagi berpikir, "Toh, suatu saat semuanya akan hilang."

 Ayah, Ibu, aku berhasil berubah.

 "Yah, mungkin ini berkat Mizuno-kun, ya."

 Saat aku tenggelam dalam pikiran tentang orang tuaku, tiba-tiba Mikami-san menggoda dengan perkataan yang tak terduga, membuatku gelagapan.

 "Eh?! Kenapa tiba-tiba membahas Mizuno-kun?!"

 "Hah? Bukannya kau menyukainya? Kau jadi lebih positif karena jatuh cinta pada Mizuno-kun, ‘kan?"

 "Kenapa kamu berpikir begitu!?"

 "Terlihat jelas, kok."

 Terlihat jelas .... Padahal aku sendiri tidak merasa begitu, tapi memangnya sikapku padanya seperti apa?

 "Pokoknya, itu tidak benar!"

 Aku menyangkal keras-keras. Mana bisa aku menerima dibilang suka pada seseorang tanpa aku sadari sendiri.

 "Oh, kalau begitu aku akan mengambil Mizuno-kun untukku sendiri."

 Mikami-san tiba-tiba berkata dengan wajah serius.

 "Eh?!"

 "Mizuno-kun dia tampan dan sifatnya juga baik. Aku juga tertarik padanya."

 "J-jangan!"

 Mulutku bergerak sendiri sebelum aku sempat berpikir. Tepat saat aku terkejut dengan ucapanku sendiri, Mikami-san tersenyum jahil.

 "Tuh kan, kau memang suka Mizuno-kun."

 "Uh ...."

 Aku menunduk sambil memegang kepala.

 "Yah, tenang saja. Aku cuma bercanda soal mengambil Mizuno-kun. Aku lebih suka yang lebih tua. Anak seangkatan terlalu kekanak-kanakan buatku."

 Mikami-san berkata dengan santai. Dalam hati aku menggerutu, ternyata dia hanya memancingku. Tapi, saat membayangkan Mikami-san menjadi pacar Mizuno-kun, hatiku terasa nyeri. Aku benar-benar tidak suka. Jadi, ini yang namanya suka? Aku belum pernah benar-benar jatuh cinta pada lawan jenis, makannya aku tidak sadar.

 Pengalaman cinta yang kuingat hanyalah saat SMP, ketika seorang anak laki-laki yang jarang kuajak bicara menyatakan cintanya padaku. Tapi waktu itu aku masih terpuruk karena kecelakaan itu, sama sekali tidak terpikir menjalin hubungan dengan seseorang. Lagi pula aku tidak begitu mengenalnya, jadi aku menolak. Dan selama ini, aku belum pernah menyukai siapa pun. Aku tidak punya energi untuk itu, bahkan tak pernah terpikir bahwa aku bisa jatuh cinta pada seseorang.

 Tapi sekarang ....

 "Ya. Sepertinya aku menyukai Mizuno-kun."

 Saat aku mengatakannya dengan jujur, Mikami-san hanya tersenyum lembut tanpa berkata apa-apa. Mizuno-kun sekarang sedang mengejar Nitta-kun sambil membawa kembang api. Berbahaya sekali. Anak-anak baik tidak boleh meniru itu. Aku menyukai Mizuno Souta. Melihatnya yang kegirangan seperti anak kecil, aku menyadari perasaanku.


Previous Chapter | ToC | 

0

Post a Comment



close