NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Cool na Doukyuusei no 10-nen-go V1 Chapter 7

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 7: Semoga Kita Tetap Bersama di Masa Depan


~Masa SMA~

Sejak pergi menonton film bersama Himuro-san, waktu terasa berlalu lebih cepat. Mungkin karena setiap harinya terasa begitu penuh—seperti pergi ke planetarium saat Natal.


Dan tanpa sadar, ujian akhir semester yang melelahkan telah berakhir, sekolah memasuki liburan musim dingin, dan tahun pun segera berganti.


Di televisi, para idol dan penyanyi terpilih tampil membawakan lagu-lagu hits dan kenangan klasik.


Menontonnya membawa suasana malam tahun baru. Tapi, aku pribadi berharap acara komedi di saluran lain—yang dihukum dengan pukulan jika tertawa—bisa kembali.


"Rencana tahun baru ya?"


Seperti yang kurasakan saat liburan musim panas, karena hampir setengah hari bersama kehabisan bersama Himuro-san di sekolah, rasanya sepi saat tidak bisa bertemu dengannya. Tapi mungkin hanya aku yang merasa begitu.


"Tidak ada rencana khusus, kenapa?"


Sebagai langkah terakhir, aku memutuskan untuk menanyakan rencana Himuro-san saat tahun baru. 


Tujuannya jelas: mengajaknya ke kuil untuk berdoa bersama. Sulit rasanya tidak bertemu hingga semester baru dimulai. Aku ingin kami bisa pergi berdoa bersama dan mengambil ramalan keberuntungan.


"Kalau kamu tidak keberatan, maukah pergi ke kuil untuk berdoa bersama?"


Di keluargaku, tradisi tahun baru biasanya dihabiskan di rumah, duduk di bawah kotatsu sambil makan sup mochi dan menonton acara TV spesial dari pagi hingga malam. Tapi, kunjungan ke kuil adalah pengecualian. Kami selalu pergi setelah pergantian tahun. Berjalan ke kuil dengan mata mengantuk di tengah udara dingin sungguh terasa seperti ujian.


"Ke kuil, ya... Aku tidak keberatan sih."


"Benarkah!? Bagaimana kalau tanggal tiga? Tanggal satu dan dua pasti ramai sekali..."


"Benar juga. Bahkan lebih baik jika kita undur sedikit lagi..."


Aku memahami alasannya, dan sebenarnya setuju. Tapi kalau terlalu mundur, suasana khas awal tahun baru akan hilang. Lebih baik pergi saat tiga hari pertama tahun baru.


"Jadi, bagaimana dengan waktu dan tempatnya?"


"Hmm... Bagaimana kalau bertemu di depan stasiun jam sembilan pagi? Tempatnya di kuil terkenal—"


Saat kami sedang berdiskusi, tiba-tiba aku bertatapan mata dengan adikku, yang seharusnya sedang menonton TV.


"Ada apa? Ada sesuatu di wajahku?"


"Bukan apa-apa... Aku cuma merasa akhir-akhir ini kakak terlihat senang."


"Be-benarkah? Rasanya aku biasa saja, sih..."


"Mana mungkin. Aku tahu, selama ini kakak tidak pernah keluar saat Natal. Sekarang tiba-tiba peduli soal pakaian juga. Kakak pasti sedang jatuh cinta. Betul, kan?"


Adikku memang peka, apalagi setelah aku memeriksa pakaian saat akan menonton film bersama Himuro-san. Tapi jangan libatkan ibu, itu memalukan.


"Baguslah. Kalau Su-kun akhirnya menemukan cinta, Mama ikut senang."

Ibuku menjawab santai sambil minum teh. Ibuku orang yang selalu tenang, bahkan katanya sudah begitu sejak kecil. Tapi, kupikir dia terlalu santai memanggilku "Su-kun," bahkan di luar rumah.


"Sebagai adik, aku juga senang kalau kakak punya pacar. Tapi... apa kakak tidak tertipu?"


"Apa maksudmu?"


"Karena kakak itu terlalu baik. Aku khawatir ada orang jahat yang memanfaatkan kakak. Kakak tidak memberikan uang, kan?"


Adikku benar-benar meremehkanku. Walau aku baik, aku tidak akan mudah mengeluarkan uang untuk orang lain.


"Ya, Su-kun memang terlalu baik, jadi Mama juga agak khawatir."


"Hahaha..."


Kalau sudah begini, aku hanya bisa tertawa pasrah. Mungkin seharusnya aku bersyukur memiliki keluarga yang peduli.


"Tapi kalau Su-kun yang memilih, Mama percaya itu orang yang baik. Ngomong-ngomong, kapan Mama bisa lihat cucu?"

Pertanyaan tak terduga dari ibuku membuatku terkejut, sementara adikku berteriak.


"Mama, apa-apaan itu!? Kakak bahkan belum pacaran!"


"Kamu sayang sekali pada kakakmu, ya. Calon istri Su-kun nanti pasti harus siap bersaing."


"Bu-bukan begitu! Aku cuma khawatir! Jangan salah paham!"


Melihat adikku yang seperti tsundere klasik dan ibuku yang santai, aku hanya bisa menghela nafas. Himuro-san bahkan belum menjadi pacarku, apalagi menikah.


"Apa kamu akan pergi ke kuil bersama gadis itu? Kalau iya, Mama juga mau ikut. Perkenalkan Mama padanya!"


"Ide bagus, Ma! Ayo, Kak, cepat bilang kapan dan di mana!"


Adikku bersemangat, tapi aku segera memotongnya.


"Maaf, tapi itu tidak bisa. Kalau kalian ikut, Himuro-san bisa kaget dan pulang."


"Kenapa!? Apa kamu malu mengenalkannya pada kami!?"


"Bukan begitu. Hanya saja belum saatnya. Jadi, tolong jangan ikut dulu!"


Aku kembali ke kamarku sambil memikirkan cara menghindar.


Jika waktu keberangkatanku diketahui, adikku pasti akan ikut. Aku harus memikirkan rencana untuk menghindarinya.



Dan tibalah tanggal 3 Januari. Waktu saat ini baru menunjukkan jam sepuluh pagi.


"───Begitu ya. Jadi alasan pertemuan di tempat langsung itu karena hal ini."


"......Iya. Maaf merepotkan mu sejak awal tahun."


Sebelum memberi salam Tahun Baru, hal pertama yang aku lakukan adalah meminta maaf dan memberi penjelasan kepada Himuro-san.


Sebenarnya, aku ingin naik kereta bersama dan pergi berdoa, tetapi…


"Tak perlu minta maaf. Malahan, aku berterima kasih kamu sudah memikirkan hal ini."


Himuro-san berkata sambil tersenyum manis.


Strategi yang kupikirkan untuk menghindari "neraka" karena membawa keluarga adalah pertemuan di tempat, cara yang sama seperti sebelumnya, dan sangat sederhana.


Namun, jika aku berangkat dari rumah seperti biasa, ada kemungkinan adikku akan mengikuti ku. Maka dari itu, aku keluar rumah sejak jam tujuh pagi.


"Tapi bukankah sulit untuk menghabiskan waktu? Kali ini, tidak ada toko yang buka seperti sebelumnya…"


"Iya, jadi aku hanya berkeliling berjalan-jalan di sekitar sini."


Berjalan-jalan di tempat yang tidak dikenal terasa segar dan menyenangkan. Namun, setelah berjalan lebih dari dua jam sebelum pertemuan, tentu saja tubuhku menjadi lelah. Akhirnya, aku menghabiskan waktu di restoran cepat saji.


"Kalau begitu, kenapa tidak memberi tahuku? Aku bisa datang lebih awal kalau gitu jadinya."


"Eh, tidak! Aku tak bisa membiarkanmu melakukan hal merepotkan seperti itu! Lagipula, pasti banyak persiapan yang harus kamu lakukan…"


Himuro-san tampak khawatir dan menurunkan alisnya. 


Sebenarnya, ini semua karena masalah keluargaku, jadi dia tak perlu memikirkannya.


"Sudahlah, ayo kita segera berdoa! Kalau kita terlalu santai, orang-orang akan makin ramai dan semuanya jadi lebih sulit!"


"...... Kamu benar. Tapi lain kali, konsultasikan dulu padaku ya, kalau hal seperti ini terjadi lagi?"


"Ugh, baiklah... Akan kulakukan."


Aku berjalan melewati gerbang besar menuju area kuil, berusaha menyembunyikan kegembiraanku atas kemungkinan "lain kali." Saat masuk ke dalam, ternyata tempat itu dipenuhi banyak orang, bahkan hampir seperti taman hiburan terkenal di Tokyo meski ini berada di Chiba.


"Memang benar-benar suasana Tahun Baru ya... Aku sudah dengar ini bakalan ramai, tapi aku tak menyangka akan sebanyak ini."


"Ada juga orang-orang yang memakai kimono, dan itu terlihat sangat meriah."


Aku ingin sekali melihat Himuro-san mengenakan kimono. Rambut hitamnya yang indah pasti akan sangat cocok. 


Bahkan, aku yakin setiap orang yang berpapasan pasti akan menoleh. Namun, hal itu juga akan menarik perhatian orang-orang yang tidak sopan, seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Kalau itu terjadi, apa yang harus kulakukan? Mungkin aku harus mulai melatih diri untuk tahan dengan pandangan seperti, "Pria di sebelahnya terlihat tidak pantas."


"Jangan-jangan, kau sedang memikirkan sesuatu seperti 'Aku ingin sekali melihat Himuro-san memakai kimono,' ya?"


"Eh, bagaimana kamu tahu!? Apa mungkin Himuro-san seorang cen───"


"Aku bukan cenayang. Tapi itu tertulis di wajahmu."


"Hahaha, mustahil," gumamku.


Padahal, aku cukup percaya diri dengan kemampuan poker face-ku.


"Hm, meski kamu bilang begitu, wajahmu jelas-jelas memperlihatkannya. Kamu harus lebih berusaha menyembunyikan pikiranmu."


Himuro-san menghela nafas kecil, tapi sudut bibirnya tampak tersenyum. Jadi, aku memutuskan untuk berterus terang saja.


"Menurutku, keinginan untuk melihat Himuro-san yang sedang mengenakan kimono setidaknya sekali adalah hal yang wajar. Itu pasti sangat imut."


"......Sudah kuduga, kamu suka menggodaku seperti ini... Tapi, ya... kalau kamu benar-benar ingin melihatnya, mungkin tahun depan aku..."


"Eh? Apa tadi kau bilang, Himuro-san?"


Dia menggumam pelan, sehingga aku tak bisa mendengar jelas apa yang dia katakan karena suasana yang ramai.


"T-tidak, aku tidak bilang apa-apa... dasar Bakaaa."


Entah kenapa pipi Himuro-san tampak kemerahan malu, tapi mungkin itu karena udara dingin. Kami pun bergabung dalam antrean panjang untuk berdoa.


Aku sempat berpikir, apa yang akan kuucapkan pada Tuhan? Memohon kesehatan? Atau mungkin kesejahteraan? Namun, saat aku melihat wajah samping Himuro-san, pikiranku langsung terhenti.


Wajahnya yang seperti boneka, dengan bulu mata panjang dan hidung yang sempurna, membuatku terpesona.


"Ada sesuatu di wajahku?"


"T-tidak, tidak ada apa-apa!"


Sepertinya permohonan cinta terbalas bukanlah sesuatu yang pantas diminta pada Tuhan. Itu harus kuusahakan sendiri. Tapi, mungkin aku bisa memintanya sedikit, seperti sebesar butiran nasi.


"Seperti biasa, kamu aneh ya, Sakuragi-kun. Tapi jangan keterlaluan, ya?"


"...Akan kuusahakan."


Sambil mengobrol santai seperti itu, tiga puluh menit berlalu. Meski antrian panjang biasanya melelahkan, aku sadar, jika ada orang yang kusukai di sampingku, waktu terasa berlalu dengan cepat.


"Baik? Ingat, dua kali membungkuk, dua kali tepuk tangan, lalu satu kali membungkuk lagi, ya? Jangan sampai salah!"


"Tenang saja, aku sudah mensimulasikannya berkali-kali di kepalaku."


Setelah tiba di depan kotak persembahan besar, aku mengikuti panduan Himuro-san.


Aku memanjatkan permohonan, "Semoga terkabul." Aku penasaran, apa yang diminta Himuro-san? Pasti sesuatu yang serius seperti kesehatan atau prestasi akademik.


Setelah berdoa, kami menarik keberuntungan dan menulis harapan di ema. Namun, isi harapan Himuro-san tetap misteri bagiku. Bahkan, dia memastikan aku tidak bisa melihatnya dengan berkata, "Pokoknya, jangan dilihat, ya!"


Dalam perjalanan pulang, Himuro-san tiba-tiba berkata, 


"Sebenarnya, aku dulu ingin cepat jadi mahasiswa dan hidup mandiri."


"Eh?"


Aku bingung mendengar pengakuannya yang tak terduga. Tapi sebelum sempat bertanya lebih lanjut, dia melanjutkan, 


"Namun, akhir-akhir ini, aku mulai merasa bahwa kehidupan seperti sekarang... tidak terlalu buruk, mungkin karena seseorang───"


"Itu pasti bukan karena siapa-siapa, kan?"


Tanpa perlu berpikir, secara alami aku mengucapkannya begitu saja.


Himuro-san telah berubah. Jika dibandingkan dengan saat pertama kali bertemu di upacara penerimaan, kini dia seperti orang yang berbeda. Dia terlihat menikmati setiap percakapan dengan Mashiro-san setiap hari, bahkan dengan aku dan Somemiya-kun. Yah, meski terkadang dia masih memberikan balasan yang tajam, es yang menyelimutinya perlahan mulai mencair.


"Setidaknya, aku hanya mengajakmu bicara. Tidak lebih dari itu."


"Hal itu saja sudah sangat berarti bagiku…"


"──Aku suka dirimu apa adanya, Himuro-san. Tanpa hiasan, selalu menjadi dirimu sendiri."


"…Eh?"


Bukan hanya siswa, semua orang pada dasarnya hidup dengan memakai topeng tertentu. Untuk berbaur dalam kelompok, terkadang mereka harus memerankan karakter yang berlawanan dari diri mereka yang sesungguhnya.


Meski tahu itu melelahkan, mereka tetap melakukannya agar diterima oleh lingkungan sekitar.


Namun Himuro-san berbeda. Dia tetap menjadi dirinya sendiri, tidak peduli apa yang orang lain katakan. Bahkan jika itu membuatnya dijauhi atau kesepian. Aku terpesona dengan sosok seperti itu, sampai tidak bisa melepaskan pandanganku darinya. Yah, awalnya aku takut dan tidak punya keberanian untuk mengajaknya bicara karena khawatir akan ditolak.


"…Kamu benar-benar orang yang aneh. Bisa-bisanya menyukai seseorang seperti aku."

"Benarkah? Himuro-san yang selalu anggun terlihat keren dan memukau, tapi senyummu seperti sekarang ini begitu menggemaskan, sampai rasanya ingin kumiliki sendiri."


Saat aku mengungkapkan apa yang kupikirkan, wajah Himuro-san langsung memerah malu seperti suara letupan gunung berapi yang terdengar jelas.


"Haah… Jika kamu terus dengan mudah mengatakan hal seperti itu, suatu saat kamu akan menghadapi masalah besar."


"Ahaha… Aku akan berhati-hati. Tapi tahu tidak, ini pertama kalinya aku mengatakan hal seperti ini kepada seseorang. Jadi jangan salah paham, ya?"


"Sebaliknya, kalau kamu mengatakan ini ke orang lain selain aku, aku tidak akan membiarkanmu!"


Dengan memegang lengan bajuku, Himuro-san menatapku dari bawah.


"Itu maksudnya apa…?"


"…T-tidak ada apa-apa! Jangan pikirkan itu!"


Ketika aku masih bingung dengan maksud ucapannya, Himuro-san menjadi gugup dan panik.


"Lupakan apa yang baru saja kukatakan! Segera hapus dari ingatanmu. Mengerti?"


"I-iya… baiklah."


Dia melepaskan tangannya dengan cepat, memalingkan wajahnya, namun dengan suara tegas menyuruhku melupakan itu. Aku mengangguk berkali-kali seperti boneka yang rusak. Aku bertanya-tanya apakah wajahnya yang merah itu hanya perasaanku saja.


"Pembicaraan ini sudah selesai. Ngomong-ngomong, bolehkah aku bertanya satu hal?"


Masih membelakangiku, Himuro-san kembali memegang lengan bajuku dengan ragu, seolah emosinya sedang tidak stabil.


"A-ada apa?"


"Apa yang kamu tulis di ema*?"


Tiba-tiba saja dia mengganti topik pembicaraan. Aku tidak menyangka dia akan membahas papan doa yang dia sendiri tidak mau beritahukan isinya.


"Uhh… itu rahasia… Bagaimana denganmu, Himuro-san? Kalau kamu memberi tahu, aku juga akan memberitahumu."

"Kalau kamu merahasiakannya, aku juga begitu. Tapi, yah, harapanku hampir setengah tercapai, sih."


"…Kalau begitu, aku juga sama."


Isi permintaanku di papan doa adalah, "Semoga Himuro-san bisa tersenyum setiap hari." Tentu saja, aku terlalu malu untuk memberitahunya.


"…Semoga suatu hari nanti, kita bisa saling menceritakan apa yang kita tulis."


"Ya, aku juga berpikir seperti itu."


Sambil berbicara tentang masa depan, kami berjalan bersama melewati pintu tiket dan naik kereta. Berharap bahwa percakapan itu suatu hari akan menjadi kenyataan.


~10 Tahun Kemudian~

"Apa yang baru saja ibu ceritakan tadi… itu beneran? Ayah melindungi Ibu?"


"Benar sekali! Saat itu, Ayah benar-benar keren! Oh, tentu saja sekarang juga tetap keren!"


Pagi hari ketiga setelah tahun baru dimulai. Saat kami sedang menikmati sup mochi sambil menonton lomba lari estafet, entah bagaimana Kuru-chan mulai menceritakan kejadian ketika kami pertama kali menonton film bersama kepada Haru.


Namun, sedihnya, Haru yang mendengar cerita itu justru memandangku dengan mata penuh keraguan, seakan tak mempercayainya. Tidak adil!


"Papa berusaha melindungi Mama meskipun saat itu juga merasa ketakutan. Seriusan, Ayah memang pangeranku sejak dulu!"


"Baiklah, cukup sampai di situ. Ceritanya mulai memalukan."


Rasanya seperti ingin menghilang saja, atau lebih tepatnya saat itu aku benar-benar nekat karena tidak tahu rasa takut.


Tentu saja aku takut, tapi aku pikir Kuru-chan pasti jauh lebih takut, jadi aku hanya ingin melindunginya. Ada banyak yang ingin kukatakan, tetapi bukan untuk mengenang masa lalu hari ini.


"Ayo, kita mulai bersiap untuk pergi ke kuil. Kalau kesiangan, tempatnya pasti sudah penuh sesak seperti tahun lalu."


Dengan paksa, aku mengakhiri topik pembicaraan dan bangkit dari sofa. Acara utama hari ini adalah mengunjungi kuil untuk berdoa bersama keluarga. Sejak kami mulai berpacaran, tradisi itu selalu dilakukan setiap tanggal tiga Januari.


"Ah, kamu malu, ya… seperti biasa."


"...Cepat bersiap, kalau tidak, aku akan meninggalkanmu di rumah."


"Jangan kejam begitu! Aku tidak mau ditinggal!"


Mengabaikan tangisannya, aku mulai membereskan piring bekas makan mereka. Kalau kami terlalu santai-santai, waktunya bisa habis begitu saja.


Setelah kira-kira satu jam bersiap-siap, akhirnya kami berjalan menuju kuil terdekat. Kuil ini adalah tempat di mana aku dan Kuru-chan pernah diajak orang tua kami sewaktu kecil.


"Seperti biasa, hari ketiga di tahun baru selalu ramai, ya."


"Apa ya, yang enak dimakan di kedai? Haru, kamu mau makan apa?"


"Aku mau apel karamel!"


Kami berjalan bergandengan tangan bertiga, menikmati waktu bahagia sebagai keluarga.


Sewaktu remaja, aku pernah berpikir untuk tidak memanjakan anakku nanti. Namun sekarang, Kuru-chan justru lebih memanjakan Haru dibanding aku. Manusia memang bisa berubah.


"Ngomong-ngomong, saat pertama kali kita pergi ke kuil bersama, kamu juga makan apel karamel, kan? Memang ya, anak dan orang tua itu mirip."


"I-itu tidak masalah, kan? Meskipun lengket dan agak sulit dimakan, apel karamel tetap enak!"


"Aku tidak bilang itu masalah. Kalau begitu, kamu bisa makan bersama Haru."


Kuru-chan merajuk sambil mengembungkan pipinya. Aku hanya bisa tersenyum kecil melihat sikapnya yang ternyata tidak berubah sejak dulu. Yang berubah hanyalah hubungan kami.


"...Sepuluh tahun lalu, saat pertama kali bertemu denganmu, aku tak pernah membayangkan kita akan seperti ini."


Saat itu, aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, tetapi sulit untuk mendekatinya. Dengan bantuan teman-teman seperti Mashiro dan Somemiya, aku akhirnya bisa mendekatkan diri dan menjadi keluarga seperti sekarang.


"Aku juga… Sebenarnya, aku pernah bermimpi beberapa kali. Tentang dunia di mana aku tidak pernah bertemu denganmu, atau bertemu tapi tidak bisa akrab denganmu…"


Kuru-chan menatap langit biru cerah tanpa awan, berbicara dengan nada sedih yang belum pernah kudengar sebelumnya. Aku terkejut mendengar hal itu untuk pertama kalinya.


"Dunia seperti itu, menurutmu bagaimana?"


"Dunia yang gelap dan sepi… itu mimpi buruk. Tapi, sejak bersama denganmu, aku tak pernah memimpikannya lagi."


"Tahu kenapa?" tanyanya dengan senyuman, matanya berkilauan diterpa cahaya matahari.


"Aku tahu, mungkin alasannya sama denganku."


"Ya, benar… Terima kasih, sayang."


Melihat senyumnya, aku ingin segera memeluknya. Namun, aku menahan dorongan itu dengan berusaha mengalihkan pembicaraan.


"Ngomong-ngomong, Kuru-chan. Apa yang akan kamu tulis di papan doa tahun ini?"


"Kenapa tiba-tiba bertanya begitu? Apa yang kutulis? Itu… rahasia."


"Eh, lagi? Tahun ini juga tidak mau kasih tahu? Sudah lama sekali ya, setidaknya sekali saja tunjukkan dong!"


Sejak pertama kali kami berdoa bersama di kuil saat SMA, Kurumi selalu merahasiakan apa yang ditulisnya di papan doa.


"S-soalnya… itu sedikit memalukan. Aku tidak mau ada yang melihatnya."


"Kamu bilang begitu setiap tahun! Apa sih sebenarnya yang kamu tulis?"


"R-rahasia! Katanya, ada hal yang lebih baik tidak diketahui. Lagi pula, wanita yang punya rahasia itu lebih cantik!"


"Tapi kalau tidak tahu, malahan aku jadi penasaran, tahu! Lagipula, tanpa rahasia pun kamu tetap cantik."


"Jangan bicara seperti itu tiba-tiba! Malu, tahu! Tapi… terima kasih."


Kuru-chan memeluk lenganku dengan wajah malu. Sementara itu, Haru yang melihat kami menatap dengan pandangan tidak percaya, seperti Kuru-chan saat SMA dulu.



"Baiklah! Ayo cepat selesaikan doa kita, lalu nikmati sisa libur tahun barunya!"


Kuru-chan berteriak sambil mengangkat tangan dan mulai berlari. Aku memanggilnya agar berhati-hati sambil menggendong Haru.


Semoga di masa depan, kami bisa terus menjalani hari-hari bahagia bersama sebagai keluarga. Dengan doa itu di hati, aku mengejar sosok wanita yang kucintai.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close