Penerjemah: Sena
Proffreader: Sena
Chapter 3 - Sarang Serigala Putih
Hutan lebat membentang di barat laut Ibukota Kekaisaran Zebrudia. Di dalam hutan yang dihuni oleh banyak makhluk liar, sebuah jalan sempit yang hampir seperti jalur hewan membawa kita menuju ke tempat yang disebut Dungeon itu.
──【Sarang Serigala Putih】.
Awalnya, daerah tersebut merupakan wilayah kelompok besar serigala bernama Silver Moon, makhluk asli di hutan lebat yang memiliki bulu menyerupai bulan perak yang bersinar. Mereka memiliki kaki yang kuat untuk bergerak cepat di antara celah-celah pepohonan di dalam hutan yang beralaskan tanah licin. Bulu mereka mampu memantulkan segala jenis sihir serangan. Dengan taring yang bisa meremukkan tubuh Hunter yang terlatih, serta kecerdasan yang memungkinkan mereka menggunakan sihir meski dengan efek kecil, mereka dikenal sebagai dewa kematian hutan yang bahkan mampu memburu makhluk yang lebih kuat dari mereka dalam kelompok besar. Namun, meskipun Silver Moon adalah makhluk yang ditakuti dan tak mudah dikalahkan, mereka memiliki dua kelemahan besar.
Tubuh kecil yang hanya sekitar satu meter bahkan setelah dewasa, dan bulu berwarna bulan yang begitu indah sehingga tak ada yang bisa menahan diri untuk tidak terpesona oleh keindahannya. Tulang, taring, dan bulu mereka adalah bahan berharga yang nilainya di antara yang tertinggi dalam dunia makhluk buas. Sehingga, nilainya bisa dianggap setara dengan hasil eksplorasi Dungeon yang berisiko tinggi. Karena itulah, Silver Moon menjadi incaran para Hunter yang datang ke sana.
Makhluk ini memiliki kecerdasan, kekuatan, dan jumlah, tetapi mereka menjadi mangsa yang sempurna bagi para Hunter yang memiliki lebih banyak kekuatan, kecerdasan, dan jumlah daripada mereka. Makhluk hidup tak akan muncul kembali di dunia layaknya ilusi yang menghantui Dungeon; mereka akhirnya diburu hingga habis.
Seiring perkembangan Ibukota Kekaisaran, jumlah Silver Moon semakin berkurang, dan hal ini justru meningkatkan nilai bulu mereka yang semakin langka. Kehadiran mereka yang dulu dianggap perlu diwaspadai kini malah dianggap sebagai pertanda “keberuntungan” jika ditemukan. Ketika Ibukota Kekaisaran mulai dikenal sebagai tanah suci para Hunter, keberadaan Silver Moon pun sepenuhnya lenyap, meninggalkan sarang yang luas sebagai sisa-sisa tempat mereka berkelompok dalam jumlah besar.
【Sarang Serigala Putih】. Dalam sepuluh tahun terakhir, mulai beredar desas-desus bahwa serigala yang tubuhnya berlumuran darah mulai muncul di sarang yang seharusnya sudah tidak ada lagi penghuninya itu.
…
“Kenapa harus yang jenis refleksi sejarah, sih? Dungeon yang begini biasanya penuh karma...”
Dungeon biasanya muncul di tempat yang melimpah dengan mana dan material, namun ada beberapa jenis yang berbeda, itu sudah diketahui.
“Seram banget! Ini pasti penuh dengan dendam... aduh, aku benar-benar tidak tahan dengan yang begini.”
Aku melempar dokumen yang diberikan kepadaku sambil gemetar. Membayangkannya saja sudah membuatku hampir muntah. Beberapa Dungeon muncul di lokasi yang sama sekali tidak ada kaitannya.
Aku memang payah, tapi di party ini aku terkenal sebagai orang yang paling payah jika harus berhadapan dengan Phantom di Dungeon. Uji nyali? Tidak mungkin bisa. Nyali saja aku tidak punya. Eva melihatku yang pucat pasi sambil tersenyum setengah mengejek.
“Tidak perlu takut seperti itu…”
Beberapa Dungeon mempertahankan lingkungan dan karakteristik tempat munculnya. Dan… beberapa lainnya mencerminkan sejarah yang tertinggal di tempat itu.
Aturan munculnya Dungeon masih banyak diteliti di berbagai negara. Meski belum banyak yang diketahui, kasus kali ini sepertinya merupakan gabungan dari jenis kedua dan ketiga.
Seekor serigala raksasa berwarna merah tua yang berkeliaran, muncul entah dari mana, di sebuah sarang yang dulu dibasmi dan dimusnahkan oleh manusia.
Meski aku tidak merasa simpati pada Silvermoon, ini cerita yang menyeramkan.
“Menurut kesaksian para Hunter yang pernah bertarung melawan Silvermoon… kekuatan mereka sepertinya jauh lebih besar daripada yang asli.”
“Hahaha… kalau tidak ada kulit yang tersisa, buat apa repot-repot?”
Aku hanya bisa tertawa kering.
Prinsip kemunculan Phantom yang hidup di dalam Dungeon hampir sama dengan Dungeon itu sendiri. Dibandingkan dengan monster, kekuatan Phantom mungkin berbeda, tapi ada beberapa perbedaan yang jelas antara Phantom dan monster. Salah satunya adalah… mereka tidak meninggalkan bangkai.
Phantom yang dihancurkan akan terurai kembali menjadi mana dan material, lalu menghilang ke udara. Benar-benar seperti… bayangan semu yang tak pernah nyata.
Meski sangat jarang, bagian tubuh yang paling kuat atau sisa-sisa tertentu bisa tertinggal sebagai benda nyata, tapi setidaknya kulitnya tidak bisa diambil.
Mengunjungi tempat yang dipenuhi makhluk-makhluk macam ini, lalu tidak bisa kembali, rasanya itu Cuma salah para Hunter sendiri.
Eva membolak-balik dokumen tentang Dungeon yang dia kumpulkan dengan ekspresi penuh pertimbangan. Tak terlihat sedikit pun rasa takut. Mungkin karena dia merasa ini cerita dari dunia lain.
“Tapi dari informasi ini, kelihatannya level 3 bukan karena medan atau gimmick, melainkan karena kekuatan Phantom-nya.”
“Hm… yah, sepertinya bakal aman. Tino juga cukup kuat…”
Level Dungeon ditentukan berdasarkan keseluruhan tingkat kesulitan dan jumlah Hunter yang berhasil selamat. Kalau gimmick atau medannya mudah, Phantom atau monster yang muncul biasanya lebih kuat sebagai gantinya. Tergantung pada kemampuan Hunter masing-masing, tapi kali ini Gilbert dan Tino punya otot, jadi meskipun Phantom yang kuat muncul, mereka mungkin bisa mengatasinya.
Ngomong-ngomong, aku melihat Tino bertarung setelah sekian lama, tapi dia sudah setengah berhenti jadi manusia.
Sebenarnya aku sudah menduganya, tapi ya… tidak ada harapan lagi.
“Gilbert bisa setuju dengan begitu tenang, ya.”
“Entahlah. Mungkin dia berubah pikiran setelah dihajar Tino. Mungkin juga informasi yang Eva kumpulkan berhasil bikin dia berpikir dua kali…”
Eva Renfied adalah orang yang luar biasa. Meskipun dia tidak punya pengalaman sebagai Hunter, kemampuan organisasinya sudah tidak diragukan lagi. Dia masih berhubungan baik dengan perusahaan dagang tempat dia bekerja dulu, dan mengurus semua urusan seperti pengadaan barang untuk klan, pengumpulan informasi lewat koneksi luasnya, hingga pemeriksaan dari pihak atas kekaisaran. Semua itu dia lakukan tanpa cela.
Informasi tentang tiga orang yang dia berikan ke Tino juga berhasil dia kumpulkan dalam waktu singkat.
Aku benar-benar tak bisa membalas kebaikan Eva. Sama seperti aku tak bisa membalas Ark.
Kalau saja salah satu syarat menjadi master klan tidak mengharuskan Hunter level 5 atau lebih tinggi, aku sudah lama menyerahkan posisi itu dan pensiun.
Tiba-tiba, aku teringat ekspresi Gilbert saat kami berbicara tadi, dan tanpa sadar senyumku merekah.
“Wah, ekspresinya tadi benar-benar bagus. Memiliki bakat terlalu banyak juga kadang bisa jadi masalah.”
Dia menaklukkan Dungeon dengan cepat. Tapi, rekan-rekannya tidak bisa mengimbanginya. Di dunia ini, kisah seperti itu sering terjadi di mana-mana.
Di medan perang, perbedaan bakat sangat terlihat jelas, sehingga kejadian semacam ini kerap terjadi. Sebenarnya, ini juga terjadi di antara kami, dan aku tahu ada banyak contoh lainnya.
Perbedaan antara kami, “Wailing Phantom/Strange Grief”, dan mereka adalah bahwa Gilbert adalah satu-satunya jenius dalam partynya. Selain itu, si bocah itu memilih keluar dari party alih-alih mencoba mengatasi ketegangan dengan anggota lainnya.
...atau bisa dibilang, ini kebalikan dari situasi kami.
Dia mungkin setengah keras kepala. Ada aura putus asa dalam tindakannya. Adalah hal yang lumrah bagi seorang jenius muda untuk menjadi sombong, dan konflik yang timbul dari itu juga biasa terjadi. Malahan, tipe sepertiku ini yang langka.
Yah, yang paling menderita tentu saja anggota lainnya, yang dipaksa Gilbert masuk ke Dungeon di luar kemampuan mereka, lalu diusir setelah bertengkar.
“Apa kau berusaha mengubahnya?”
“Tidak. Aku hanya mengatakan apa yang ingin kukatakan dan membiarkannya melakukan apa yang dia mau. Mungkin aku berhasil membuatnya sedikit merendah, tapi jujur saja aku bukan orang yang tepat untuk berbicara soal perubahan.”
Di sini, ada terlalu banyak orang bermasalah seperti Tino yang sepertinya punya kekaguman aneh padaku, atau Liz yang mungkin mendorongnya. Gilbert bahkan bukan apa-apa dibanding mereka.
Dan yang paling penting… siapa aku, yang mengelola klan dengan seadanya, untuk menguliahi orang lain?
Terkadang aku dimintai saran tentang hubungan antar anggota oleh para anggota klan, tapi serius, kumohon hentikan. Aku tidak bisa bertanggung jawab, jadi lakukan sesukamu.
Eva mengangguk kecil dengan postur tegapnya yang anggun, seperti biasa.
“Baiklah. Kita anggap saja begitu.”
“………”
Eva memang cerdas, tapi kadang pemahamannya aneh.
Dia sangat membantu, jadi aku tidak punya keluhan, hanya saja kadang dia salah mengerti. Merasa suasana bisa berubah buruk, aku mengalihkan pembicaraan.
“Oh iya, senjata ajaib yang dipegang Gilbert — itu barang bagus.”
“‘Pedang Purgatory’, maksudmu?”
Teringat akan pedang besar dengan bilah seperti api menyala, aku tersenyum kecil. Aku suka senjata ajaib. Ini adalah satu-satunya pelipur laraku.
Senjata ajaib/relic itu hebat. Luar biasa. Aku paham mengapa para Hunter rela mempertaruhkan nyawa untuk mencari mereka. Yang paling menakjubkan adalah, semua orang bisa menggunakannya. Kemampuan luar biasa yang bisa digunakan oleh siapa saja, bahkan tanpa bakat khusus. Betapa luar biasa.
Meskipun aku jarang memakainya, barang bagus tetaplah bagus.
“Enak sekali… Pedang Purgatorium. Kira-kira bisa dibeli tidak , ya… Selain atribut api dan perluasan jangkamuan, mungkin ada efek lainnya kalau diteliti lebih jauh…”
Tapi kemungkinan besar dia tidak akan menjualnya. Butuh waktu lama untuk terbiasa dengan senjata ajaib, dan begitu sudah terbiasa, orang tidak akan mudah melepaskannya.
Saat aku asyik membicarakan kehebatan Pedang Purgatorium yang sempat kurasakan, aku menyadari Eva menatapku dengan ekspresi jengkel. Rupanya aku terlalu bersemangat tanpa sadar. Aku segera menahan ekspresiku.
Eva menyela dengan tegas. “Pemborosan seperti itu sebaiknya dihindari.”
“Tidak, ini bukan pemborosan…”
“Atribut dan perluasan jangkamuan? Krai, kau punya banyak senjata ajaib yang seperti itu, kan?”
Senjata ajaib seperti itu? Jangan samakan semuanya begitu saja. Setiap senjata ajaib adalah hasil keajaiban yang berbeda, masing-masing dengan karakteristik dan nuansa tersendiri.
Aku hendak membantah, tapi tatapan Eva semakin tajam. Dengan nada pelan, aku mengalah.
“…Yah, atribut dan perluasan jangkamuan memang umum untuk senjata jenis itu…”
Di ibu kota, ada banyak toko yang menjual senjata ajaib. Jika mengabaikan kekuatan dan kemudahan penggunaan, senjata jenis ini bisa ditemukan dengan mudah. Tapi, kalau mencari yang punya keduanya pada level tinggi, itu jarang ada.
Apalagi, Pedang Purgatorium terasa sangat mudah digunakan dibandingkan tujuh senjata ajaib serupa yang pernah kumiliki. Jadi, aku paham kenapa Gilbert bisa menguasainya dalam waktu singkat.
Tapi, menjelaskan itu pada Eva sepertinya tidak akan membuatnya paham. Bisa jadi dia tahu soal hobiku membeli senjata ajaib dengan uang klan (tentu saja aku menutupinya nanti).
Aku memandang mata ungu muda Eva yang penuh ketenangan, mencoba menebak pikirannya. Tidak berhasil, aku tersenyum kecil, mencoba melunakkan suasana.
“Terlepas dari itu… mungkin kita bisa pergi makan sesuatu yang manis bersama?”
Gula bisa membuat orang lebih ramah. Mendengar saranku, Eva tampak sedikit terkejut.
“Itu hanya karena Krai ingin makan, kan?”
“…Tidak, bukan begitu.”
Bagaimana dia tahu kalau aku suka manis? Padahal aku berusaha menyembunyikannya karena merusak citra. Eva memang sulit ditebak.
…
Lounge guild. Biasanya hanya satu orang yang duduk di meja itu karena Tino selalu mengambil misi sendirian, namun sekarang anggota party sementara duduk bersamanya. Mereka semua memandang Tino, seolah-olah mengamatinya.
Sebenarnya, Tino lebih memilih menerima misi ini sendirian, tapi karena keadaannya sudah begini, dia harus melaksanakannya bersama party ini. Saat Gilbert bilang dia tidak ingin ikut, Tino sempat merasa sedikit berharap, namun semuanya pasti sesuai dengan keinginan sang Master.
Misi kali ini adalah penyelamatan orang hilang. Mereka harus bergerak cepat. Tidak ada waktu untuk bersiap-siap dengan santai.
Dengan ekspresi serius, Tino melihat ke arah anggota party sementara dan memberikan instruksi pertamanya. “Pertama-tama... tulis surat wasiat.”
“Apa!? Tunggu, tunggu sebentar!?” Rhuda dengan panik berdiri dari kursinya dan menepukkan tangan di meja.
…
“Oh iya, aku baru ingat kalau aku harus mengisi ulang daya dari senjata suciku. Kurasa, sekarang Tino dan yang lainnya sudah sampai di Dungeon …” sambil bermalas-malasan di kamar dan membersihkan Dog’s Chain, aku tiba-tiba ingat kalau energi rantai itu sudah habis.
Senjata-senjata yang didapat dari Dungeon memang kuat, tapi tidak bisa digunakan begitu saja tanpa syarat. Senjata-senjata suci itu membutuhkan energi yang disebut mana, yang biasanya digunakan oleh seorang penyihir (mage) dalam sihir mereka. Semakin kuat senjata tersebut, semakin banyak pula energi yang perlu diisi sebelumnya. Ini adalah salah satu alasan mengapa para Hunter jarang membawa banyak senjata suci.
Mengisi mana ke senjata suci itu sebenarnya mudah, dan setiap makhluk hidup memiliki mana, tapi jumlahnya berbeda-beda bagi setiap orang. Bahkan seorang penyihir yang memiliki banyak mana hanya bisa mengisi beberapa senjata sebelum kehabisan tenaga. Dalam kasusku, sayangnya, jumlah mana yang kumiliki di bawah rata-rata orang biasa, jadi aku selalu bergantung pada teman-teman dan anggota klan untuk mengisi senjataku. Sebenarnya, disarankan hanya membawa jumlah senjata yang bisa kita isi sendiri, tapi ya mau bagaimana lagi.
Ini adalah salah satu alasan mengapa aku berhenti jadi Hunter. Yah, kalau bisa sih, kasih aku kelebihan yang lain, deh.
Mengisi ulang mana tidak gratis. Biasanya, aku meminta Lucia, salah satu teman dari Strange Grief, yang adalah seorang penyihir, untuk mengisinya, tapi dia tidak ada di sini sekarang, jadi mau tidak mau aku harus mencari yang lain. Aku mengumpulkan rantai itu dan pergi ke lounge.
Lounge yang luas bersinar dengan warna oranye dari cahaya matahari terbenam yang masuk melalui jendela besar yang menutupi seluruh dinding. Di beberapa meja terlihat anggota Footprints yang familiar sedang berkumpul. Mungkin mereka baru saja kembali dari tugas hari ini, masing-masing tampak santai sambil mengobrol ringan. Aku langsung masuk tanpa peduli suasana.
Saat mana habis, rasa lelah yang luar biasa akan muncul. Jika sampai habis sepenuhnya, bahkan bergerak pun sulit. Jika perlu mengisi banyak senjata, kita butuh tim yang punya penyihir yang hebat, tapi karena kali ini aku hanya butuh mengisi satu rantai, tim mana saja sudah cukup.
Seorang pria yang tampak sebagai pemimpin, dengan rambut hitam acak-acakan seperti kawat dan janggut yang belum dicukur, menyadari keberadaanku dan tersenyum ramah. Dia terlihat dalam suasana hati yang baik.
“Oh, Master. Kemarin itu benar-benar berat ya.”
“Yah, hal biasa, kok. Maaf, tapi bisa minta tolong isi ulang senjata suciku?”
“Hmm. Butuh berapa orang?”
“Hanya satu orang saja, karena Cuma rantai ini.”
“Oh, kalau begitu, tidak masalah, ya?”
Permintaanku yang sepihak itu langsung diterima dengan baik, dan dia menyerahkan Dog’s Chain itu pada seorang penyihir perempuan dari timnya, yang juga tampak tidak keberatan. Mana dalam senjata suci akan habis seiring waktu walau tidak dipakai, jadi harus sering-sering diisi ulang. Mereka semua sudah terbiasa dengan permintaanku ini.
Kalau aku meminta sebelum mereka berangkat ke Dungeon , kadang-kadang mereka menolak karena alasan keamanan, tapi posisiku sebagai pemimpin klan mungkin masih ada efeknya. Eva juga selalu berusaha keras untuk menjaga suasana klan agar para anggota tidak merasa terbebani.
Saat rantai itu mulai terisi mana dan bersinar samar-samar, si pemimpin itu berbicara seperti hendak berbasa-basi.
“Oh iya, Master. Sudah dengar belum? Di jalan utara muncul ‘stray’ katanya. Meski skalanya kecil, kabarnya sebuah kafilah sampai hancur total.”
Kota kekaisaran Zebrudia adalah kota besar. Jalan menuju ke sana jauh lebih baik daripada jalan di kota-kota lain, dan monster di sekitarnya sering dibersihkan secara berkala, namun kadang-kadang ada juga yang sial diserang.
Jalan menuju kota kekaisaran ini semuanya dilindungi oleh penghalang anti-monster. Monster jarang mendekati jalan ini, jadi ketika ada yang muncul — seperti monster atau phantom, makhluk itu disebut ‘stray’ dan ditakuti. Mereka sulit diprediksi, dan biasanya sangat kuat.
Meskipun daerah ini sudah berkembang, masih berbahaya untuk berkeliaran di luar tanpa pengawalan. Aku sendiri tidak akan pernah keluar tanpa pengawalan, tapi pekerjaan sebagai pedagang memang tidak mudah.
“Bahaya sekali. Monster? Phantom? Kalau di jalan, mungkin phantom, ya.”
Di utara kota kekaisaran terdapat hutan yang kaya akan sumber daya. Monster biasanya akan tetap berada di sana, jadi kemungkinan mereka meninggalkan hutan untuk menyerang kafilah di jalan sangat kecil.
Pemimpin itu menatapku dan mengangguk kecil.
“Iya. Kabarnya, pasukan ksatria ketiga sedang memberi peringatan dan merekrut pasukan pembasmi. Sepertinya cukup berbahaya, soalnya kafilah itu punya tiga pengawal level 3.”
“Sudah ada Hunter, tapi mereka tetap hancur? Memang sial sekali, ya.”
Phantom tidak terpengaruh oleh penghalang anti-monster. Mereka adalah makhluk yang terbentuk dari mana material, dan biasanya tidak meninggalkan area Dungeon tempat mereka muncul. Tapi, di sekitar kota kekaisaran, ada banyak Dungeon , jadi hal seperti ini terjadi setiap beberapa bulan sekali. Yah, tidak perlu terlalu khawatir.
Fakta bahwa tiga orang level 3 sampai kalah menunjukkan kalau phantom itu cukup kuat. Tapi phantom tidak punya tubuh fisik, jadi mereka tidak bisa bertahan lama di tempat yang mana material-nya tipis. Meski butuh waktu untuk menghilang, lama kelamaan mereka akan melemah, dan jika pasukan ksatria ketiga, yang bertugas menjaga keamanan dalam negeri, bergerak, phantom itu akan segera dimusnahkan.
Yah, itu bukan urusanku. Walaupun itu adalah phantom yang sangat kuat, selama berada di dalam kota kekaisaran, semuanya aman. Ada pasukan ksatria yang terkenal kuat, dinding kota yang kokoh, dan para Hunter yang siap berjaga.
Sambil menunggu pengisian ulang rantai dengan santai, pemimpin itu melanjutkan pembicaraan.
“Katanya, seorang Hunter yang kebetulan lewat bersaksi bahwa phantom-nya berwujud serigala. Mungkin saja para pengawal itu lengah, sampai bisa dikalahkan di jalanan terbuka—”
“Hmm… eh?”
Serigala? Wolf? Baru saja aku mendengar kata itu beberapa waktu yang lalu, membuatku mengerutkan dahi.
Aku membuka peta di dalam kepalaku. Jalan utara ibu kota.
Di dalam hutan yang membentang tepat di sebelah jalan itu, terdapat Sarang Serigala Putih, tempat aku mengirim Tino.
Bentuk dan jenis Phantom di Dungeon biasanya sudah pasti. Ketika mendengar bentuk serigala, tentu saja aku langsung memikirkan tempat itu.
Tanpa menyadari kegelisahanku, sang pemimpin berbicara dengan riang.
“Sepertinya evolusi terjadi di Dungeon yang tidak dikendalikan jumlah penghuninya. Terlalu banyak Dungeon juga bisa menjadi masalah. Tapi bagi para Hunter, itu kabar baik.”
“...Yah, yah, maksudku, meskipun di utara ibu kota ada banyak Dungeon , ada beberapa juga di dalam hutan. Kalau Phantomnya berbentuk serigala, kemungkinan besar—”
“Pasti Sarang Serigala Putih.”
Pemimpin mengambil alih kata-kataku dan menyebutkan namanya.
Sebagai anggota Jejak, dia pasti sudah menghafal informasi mengenai Dungeon di sekitar sini.
Walaupun dia sangat yakin, aku tetap mempertahankan senyumku sambil melanjutkan obrolan. Tapi perutku mulai mual.
“Ya, ya, Sarang Serigala Putih dan mungkin ada kemungkinan tempat lain juga—”
“Hah? Ada tempat lain di sekitar sana yang juga mengeluarkan Phantom berbentuk serigala? Itu kan Dungeon yang kurang populer dan tingkat kemunculan Artefak-nya juga rendah. Kurasa ini sudah sesuai kriteria.”
...Serius?
Aku merasakan wajahku menegang.
Seorang Mage yang sedang mengisi energi pada Rantai Anjing tampak bingung melihat perubahan ekspresiku.
“Jika sampai keluar sampai ke luar, sekarang Sarang Serigala Putih pasti penuh dengan Phantom. Pasti sudah ada peringatan dari serikat. Bahkan mungkin negara akan mengeluarkan permintaan untuk memusnahkannya. Saatnya kita dapat uang.”
Phantom yang tidak meninggalkan mayat pada dasarnya tidak menghasilkan uang. Tapi jika mereka mulai meluap hingga mengganggu distribusi barang, ceritanya berbeda.
Tergantung pada skalanya, negara kadang mengeluarkan permintaan pembasmian kepada serikat dengan bayaran yang cukup besar.
…Tapi yah, mungkin saja ini hanya salah paham. Dan meskipun prediksi ini benar, Tino dan timnya yang terdiri dari empat orang sedang menuju ke sana.
Lagi pula, Gilbert membawa Artefak, jadi mereka seharusnya bisa mengatasinya.
“Pemimpin, serigala di sana cukup kuat. Jangan lengah dan mati di sana ya.”
Seorang anggota party menggodanya sambil memasang wajah serius.
Ucapan itu menancap tajam di hatiku.
Kuat? Kuat? Aku belum pernah pergi ke sana, tapi apa tempat itu sekuat itu?
Ah, tapi tempat itu hanya level 3, pasti tidak terlalu kuat. Tidak terlalu kuat, kan? Pasti, Tino juga kuat kok.
…Tapi untuk berjaga-jaga, mungkin lebih baik aku menunjukkan surat tugas ini. Tanpa maksud tertentu, tentu saja.
Sambil tetap tersenyum, aku mengeluarkan surat tugas yang terlipat dua dari sakuku dan meletakkannya di atas meja.
Pemimpin melihatnya, matanya terbelalak kaget.
Dia membaca surat tugas dari atas hingga bawah, lalu mengangguk dengan puas dan tersenyum kagum.
“Ah, Master, licik sekali. Berpura-pura tidak tahu padahal sudah menyelesaikan semuanya.”
“Ya, ya... benar. Aku sudah mengirim Tino.”
“!? Tino, si level 4—eh… begitu. Kau tetap keras seperti biasanya ya…”
Sikap percaya diri sang pemimpin mendadak berubah menjadi tegang. Anggota party yang lain tetap tersenyum, namun sedikit mundur.
Begitulah selalu. Aku selalu sial. Selalu saja waktu yang tidak tepat.
Ini bukan disengaja. Bukan disengaja.
Lagipula, kapan karavan itu diserang? Mana mungkin aku tahu tentang itu.
Aku bukan monster. Kalau tahu, aku tidak akan menyuruh Tino. Kalau tahu, aku pasti akan mencari tugas lain.
Seorang pemuda yang tampaknya seorang Thief memandang surat tugas dengan intens dan bergumam pelan.
“Walaupun ini Dungeon level 3, tapi mengirim anak level 4 sendirian untuk tugas di mana seorang Hunter level 5 hilang…”
“Ya, yah, anggap saja ini sebagai pelajaran… Level 5?”
“...Eh? Maksudku, coba lihat di sini…”
Mendengar informasi yang belum kuketahui, aku bertanya. Lalu si Mage yang telah selesai mengisi energi pada Rantai Anjing meletakkannya di atas meja dan menunjukkan bagian dari surat tugas.
Di bagian daftar nama Hunter yang menjadi target penyelamatan, tertulis nama-nama itu. Bagian yang sebelumnya aku lewatkan tanpa memikirkannya.
Tapi tampaknya anak ini melihat sesuatu yang lain.
“Orang bernama Rudolph Davout ini, dia seorang Hunter level 5 kan? Aku sering melihatnya di serikat, dia cukup terkenal dengan tombak panjangnya. Tidak mungkin, kau tidak tahu ka—”
“Bodoh! Mana mungkin seorang Master yang menguasai seluruh informasi Hunter dan Dungeon di ibu kota tidak tahu hal dasar seperti itu! Ahaha, maaf, maaf. Ina kami ini memang suka lancang—”
Pemimpin tersenyum tegang dan meminta maaf. Gadis penyihir yang dipanggil Ina buru-buru menundukkan kepala dengan canggung.
Aku pun, sambil tersenyum kering, mencoba memberi isyarat dengan gerakan tangan bahwa aku tidak mempermasalahkannya.
Diriku yang bahkan tidak yakin bisa mengingat semua wajah dan nama anggota klanku, dianggap mengetahui semua informasi?
Siapa sih yang menyebarkan rumor aneh seperti itu tentangku?… terlalu banyak kandidat, sulit dipersempit.
Aku tidak peduli pada para Hunter luar. Aku hanya ke serikat jika dimarahi.
Dan apa maksudnya? Mereka benar-benar menguasai informasi tentang semua Hunter? Apa mereka tahu ada berapa banyak?
………
Oke, tenang dulu.
Tino itu, meskipun dia seperti itu, tetap bisa diandalkan. Kalau aku tahu bahwa seorang Hunter level 5 hilang, tentu saja aku tidak akan mengirim Tino. Tapi belum saatnya panik.
…Ngomong-ngomong, waktu aku menunjukkan tugas ini pada Tino, dia bilang sesuatu seperti, “Aku kan masih level 4.”
Sialan si Gark, berani-beraninya memberi tugas merepotkan. Kalau adik junior yang imut mati, gimana coba?
Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.
Setidaknya, aku harus menjaga wibawa sebagai seorang pemimpin klan.
Bukan masalah besar jika aku sampai dipecat dari posisi ini, bahkan aku akan menyambutnya. Tapi bukan itu masalahnya.
“Ini… juga latihan. Tidak apa-apa, aku sudah mengirim tiga Hunter luar untuk menemani Tino.”
Pemuda Gilbert juga tampaknya bersikap patuh pada Tino.
Rhuda dan Greg-san pasti lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
Namun, kata-kataku tidak mendapatkan reaksi yang kuharapkan dari pemimpin.
Dia hanya sedikit mengangkat sudut bibirnya, tapi tampak berkedut.
“Ah… begitu…”
“Jadi, tugas yang sulit ini… ditambah dengan beban tambahan…”
“Inikah… cara sang master Strange Grief , klan terkenal yang menaikkan party top—”
Tatapan kagum penuh rasa hormat dari para Hunter terbaik… ini… menyeramkan.
Terkenal!? Terkenal seperti apa…?
Rasanya terlalu memalukan sampai ekspresiku hampir runtuh, lalu aku mencoba menetralisirnya.
Pemimpin yang tadi tertawa lepas mendadak berdiri setengah, ekspresinya serius seperti berhadapan dengan monster.
Aku mengambil Rantai Anjing yang sudah selesai diisi dan meletakkannya kembali pada sabukku. Lalu, berdeham, mencoba bersikap keren.
“Maaf, aku ada urusan mendesak. Terima kasih untuk sudah membantuku untuk mengisinya.”
“Oh, tidak, maafkan kami. Maafkan kami karena sudah membuat Anda mendengar hal-hal remeh ini—”
Tadi dia berbicara dengan santai, tapi sekarang jadi pakai bahasa formal.
Entah sejak kapan, kelompok dari meja lain mulai mengamati kami.
Bahaya. Kalau begini terus, aku akan dianggap sebagai sampah yang memberikan tugas berbahaya pada Tino.
Tidak! Bukan seperti itu. Ini tidak sengaja.
Aku berbalik dan bergegas. Tanpa tahu ke mana harus pergi, aku menuju ke ruang Master Klan.
Di saat-saat seperti ini, Ark yang bisa diandalkan malah tidak ada, begitu pula dengan anggota Strange Grief .
Biasanya, misi dilakukan setelah persiapan matang, tapi karena ini adalah misi penyelamatan, aku mempercepatnya. Tino dan timnya mungkin sudah tiba di Dungeon sekarang.
Tak ada waktu. Aku menenangkan diriku yang mulai kacau.
“De… Dengar, semuanya baik-baik saja! Kita punya… Pedang Purgatory!”
Oh ya, Pedang Purgatory.
Waktu ujian, energinya sudah habis, tapi… apakah pemuda Gilbert sudah mengisi daya sebelum berangkat ke Dungeon Karun?
…
Memori seorang Hunter bernama Tino Shade.
Yang paling membekas di dalam dirinya adalah pemandangan setelah menyelesaikan beberapa bulan pelatihan dasar, di mana untuk pertama kalinya ia melakukan sparing praktis bersama sang guru.
“Dengar, Ti,”
Guru itu tersenyum padanya. Berbeda dengan Tino yang kelelahan dan terengah-engah di tanah, wajahnya sama sekali tak menunjukkan setetes keringat pun.
Rambutnya yang berkilauan berwarna pirang merah muda diikat kecil di belakang, iris mata merah muda yang lembut dan bulu mata panjang.
Kulitnya sedikit kecokelatan namun halus tanpa satu pun bekas luka atau noda. Siapa pun yang melihatnya pasti akan menyebutnya manis.
Anting hati merah terbuat dari logam tergantung di telinganya, dan lengan kakinya yang ramping tanpa lemak berlebihan, dengan dada yang tak begitu menonjol bahkan jika dibandingkan dengan Tino yang juga tidak besar.
Tingginya juga lebih pendek dari Tino yang masih dalam masa pertumbuhan, sehingga saat pertama kali mereka menjadi guru dan murid, orang-orang sering salah mengira bahwa Tino yang lebih tua.
Namun kini—tak ada lagi orang yang berani berpikir seperti itu.
“Kalau Krai bilang gagak itu putih—berarti itu putih. Apa kau mengerti maksudku, Ti?”
Suara manisnya terdengar bagai sedang memberikan nasihat pada seorang anak kecil.
Telunjuknya teracung, dan dari tubuh mungilnya memancar kekuatan yang sangat besar, melebihi apapun yang pernah diketahui Tino.
Rasanya tak bisa dipercaya bahwa usianya hanya terpaut beberapa tahun.
Dahulu ada sekelompok orang yang melesat di tangga kejayaan lebih cepat daripada siapa pun.
Monster-monster yang dengan mudah menaklukkan Treasure Hall berlevel tinggi, yang berhasil menyingkirkan banyak Hunter.
Generasi kedua seperti Tino yang disebut berbakat hanya bisa mengikuti jejak mereka.
Karena itulah, Tino tak pernah membanggakan bakatnya sendiri.
Sosok gadis yang menjadi gurunya adalah salah satu dari mereka.
Liz Smart si Silent Shadow/Tanpa Bayangan.
Bagai angin, bagai bayangan, melesat melewati daratan dan langit lebih cepat dari siapa pun—sosok yang sekaligus menjadi impian sekaligus ketakutan bagi Tino.
Meski senyum terukir di wajahnya, matanya berkilau seolah energi dalam tubuhnya tak bisa lagi tertahan.
“Ini bukan soal kesetiaan atau kekaguman. Yang aku inginkan darimu, Ti, adalah—‘kepatuhan mutlak’.”
Mungkin para Hunter yang pendekar akan murka mendengar hal ini. Namun suara sang guru benar-benar serius. Sensasi ketegangan menjalar di leher Tino.
“Mengenai Krai…”
Mata yang menatap tajam itu membuat Tino tak bisa mengalihkan pandangan. Dengan jeda setiap helaan napas, dari bibir itu meluncurlah kata-kata yang terus terang.
“Bahkan dalam hal-hal sepele, aku tidak ingin kau menyuarakan pendapat.”
“Seandainya dia mengatakan hal bodoh atau memberimu perintah yang tak masuk akal, bahkan jika nyawamu terancam—aku ingin kau mengikuti kemauannya tanpa berpikir.”
“Jika ada musuh yang melawan Krai, aku ingin kau menghancurkan semuanya tanpa tersisa, tak peduli jika mereka bangsawan besar, Hunter ahli, atau penguasa kuat di Zebrudia. Itu tidak penting bagiku.”
“Aku tak bisa mentoleransi adanya orang yang menentang kita hidup bareng sedetik pun lebih lama. Itulah alasan aku menjadikanmu murid. Jika aku ada, aku sendiri yang akan menghabisi mereka, tapi kalau aku tak ada, kau akan kesulitan, bukan?”
“Ti, kau pintar, jadi kau pasti mengerti, kan?”
“Haa, haa… y-ya, Onee-chan.”
Terkadang Hunter berbakat disebut sebagai monster.
Tino tak mengatakan bahwa semua Hunter demikian.
Namun, gurunya tanpa ragu adalah monster yang ditakuti bahkan oleh sesama Hunter.
Perkataan yang terlontar dengan gaya seolah bercanda itu nyatanya dipenuhi tekad yang tak memberi celah.
Serius. Dengan sikap yang penuh permusuhan terhadap segala sesuatu di sekelilingnya. Jika saat ini Tino menyimpan kebencian pada Krai, sang guru mungkin akan membunuhnya seperti memetik bunga di tepi jalan.
Tubuhnya lebih pendek dari Tino, dan tubuhnya juga lebih kecil.
Sekilas, dia tampak seperti manusia biasa.
Namun, hanya luarnya yang berwujud manusia.
Dan Tino menyadari itu seiring dengan peningkatan kemampuannya sebagai Hunter bernama Tino Shade.
…
Dengan hati-hati, mereka berjalan di jalan sempit menuju ke 【Sarang Serigala Putih】 di tengah hutan yang lebat. Di barisan depan ada Tino, di belakangnya Gilbert, Greg, dan Rhuda yang bertugas menjaga belakang.
Pada dasarnya, sebuah kelompok penjelajah perlu diatur dengan keseimbangan peran yang tepat. Umumnya, kelompok membutuhkan anggota di barisan depan, belakang, pengintai, dan penyembuh. Namun, dalam kelompok sementara kali ini, tidak ada penyihir (Mage) yang andal dalam serangan luas atau penyembuh (Healer) yang dapat menyembuhkan luka besar, yang seharusnya esensial dalam penjelajahan dungeon yang berbahaya.
Greg dan Gilbert berada di barisan depan. Greg adalah seorang prajurit (Warrior) yang mahir menggunakan berbagai senjata, sedangkan Gilbert adalah seorang pendekar pedang (Swordsman) yang ahli dalam pertarungan satu lawan satu dengan pedang besarnya. Mereka adalah tipe standar barisan depan, yang mampu menahan Phantom yang lebih kuat daripada manusia di garis depan, tetapi tidak andal dalam menghadapi banyak Phantom sekaligus atau serangan sihir.
Di sisi lain, Rhuda dan Tino adalah Thief. Meskipun kemampuan tempur mereka tidak sebaik profesi lain, mereka sangat terampil dalam pengintaian. Komposisi kelompok ini memang tidak seimbang, tetapi keberadaan dua pencuri yang andal dalam pengintaian adalah sebuah keberuntungan. Rhuda memiliki kemampuan deteksi bahaya khas dari seorang yang sering bertindak solo, dan Tino pun memiliki kepercayaan diri dalam kemampuannya di bidang itu. Bahkan jika pandangan terbatas, mereka tidak akan melewatkan Phantom yang mendekat dengan niat jahat.
Dalam penjelajahan dungeon yang tidak diketahui, ancaman terbesar adalah serangan mendadak. Meskipun komposisi kelompoknya lemah, mereka tidak perlu khawatir akan habis karena serangan mendadak. Hal yang harus mereka pikirkan saat ini adalah apa yang sedang terjadi di dalam dungeon tersebut. Bahkan sebelum mencapai dungeon, ada atmosfer misterius yang terasa di dalam hutan. Para hunter, yang sudah terbiasa bertarung melawan monster dan Phantom, bisa merasakan keanehan ini, dan raut wajah mereka tampak tegang.
Terdengar suara auman dari kejauhan, membuat Greg memandang sekitar dengan waspada dan bergumam, “Aneh. Apa ini... ada aroma buruk yang menyebar. Padahal kita bahkan belum sampai ke dungeon—serius, nih?”
“Itulah kenapa aku menulis surat wasiat,” jawab Tino sambil memperhatikan lebatnya pepohonan di depannya. “Tepatnya, aku disuruh menulisnya…”
Kecemasan para hunter biasanya tepat sasaran. Dengan bantuan Mana Material, kemampuan sensorik mereka meningkat sampai di luar batas yang bisa diproses otak mereka, dan ini muncul sebagai insting peringatan. Jika nyawamu berharga, begitu merasa ada firasat buruk, mundurlah. Itu adalah salah satu aturan utama yang harus dipatuhi oleh hunter. Semua orang di sini menyadari ada sesuatu yang terjadi di hutan ini.
Namun, Tino, yang menjadi pemimpin kelompok sementara ini, tidak menunjukkan tanda-tanda cemas. Yang ada hanyalah tekad. Sejujurnya, sebagai pemimpin, Tino seharusnya mempertimbangkan keselamatan kelompoknya dan memutuskan mundur jika ada sesuatu yang tidak wajar, apalagi jika itu terasa oleh seluruh anggota. Namun, kali ini berbeda, karena mereka sudah memprediksi keadaan ini sejak awal dan siap menerima risikonya. Mereka pun sudah diberi penjelasan. Meskipun saat diberi tahu mungkin ada yang tidak sepenuhnya percaya.
“Kalau tugas ini diberikan oleh Master, pasti bukan pekerjaan mudah. Aku tidak berniat mati, tapi, untuk berjaga-jaga, aku menulis surat,” kata Tino di ruang santai dengan ekspresi serius yang diingat oleh Rhuda, yang berjalan di barisan paling belakang.
Waktu itu Rhuda berpikir bahwa itu hanya gurauan, namun kini setelah melihat situasi ini, dia tak punya alasan untuk meragukannya.
“Apa… Jadi Krai tahu semua ini dan tetap mengirim kita?”
“Tambahan lagi… kemungkinan besar komposisi anggota ini juga bukan kebetulan.”
“Apa? T-tunggu dulu, itu tidak mungkin—“ Rhuda tampak tak percaya. Kelompok ini terdiri dari dua pengintai dengan anggota yang memiliki kekuatan fisik. Memang, saat Master menyerahkan anggota kelompok kepada Tino, seolah-olah itu sebuah kebetulan. Namun, sebagai Master, Tino bisa melihat bahwa itu hanyalah tipuan.
Tino adalah anggota lama di 《Foot Step》. Bahkan sebelum klan ini didirikan, dia sering berinteraksi dengan 《Strange Grief》, kelompok milik gurunya. Kehidupan Tino sebagai hunter bisa dibilang penuh dengan latihan keras dan berbagai ‘ujian’ yang melatih dirinya. Ini bukan pertama kalinya Tino menerima tugas dari Krai. Awalnya, Tino sendiri sulit percaya, namun sekarang ia mengerti. 《Strange Grief》 mencapai kejayaannya bukan hanya karena mereka memiliki anggota yang berbakat, tetapi berkat Master yang membimbing mereka.
“Master telah memahami seluruh fenomena yang terjadi di dungeon dan mengumpulkan anggota yang diperlukan untuk menghadapi situasi ini. Gilbert, pertemuan kita juga bukan sebuah kebetulan.”
Gilbert, yang menjadi lebih tenang setelah latihan bersama, terkejut mendengar perkataan Tino. Rhuda, yang mulai panik, memotong pembicaraan.
“T-tunggu! Anggota… yang diperlukan? Tidak mungkin, aku bergabung ke 《Foot Step》 secara kebetulan dan… lagipula, di tempatmu ada banyak hunter yang lebih kuat, kan?”
“Itu benar! Pertemuan pertama kita dengan 《Seribu Trik》 waktu itu hanya kebetulan—“
Para anggota kelompok terlihat tak percaya dan tak ingin mempercayainya, namun Tino hanya mendesah kecil. Meski belum sampai di dungeon, jika mereka membuat keributan di sini, Phantom atau monster kemungkinan besar akan menyerang. Mungkin itu juga sudah diperkirakan, namun Tino hanya ingin segera menyelesaikan ini dan kembali pulang. Tentu saja, bukan sebagai mayat, tetapi dalam keadaan hidup.
Untuk itu, mereka perlu memahami bahwa ini bukanlah kecelakaan. Apa yang akan terjadi ke depannya, Tino tidak tahu. Dia bahkan tidak bisa memprediksinya. Namun, memiliki tekad membuat perbedaan yang sangat besar dibandingkan jika tidak memilikinya.
“Master telah mengumpulkan semua informasi mengenai para hunter di ibukota dan tentang Treasure Hall. Bahkan jika ia belum pernah bertemu mereka, membaca tindakan mereka adalah hal yang sepele bagi Master.”
Hal seperti itu diketahui oleh semua anggota Footsteps, bukan hanya Tino. Setiap tindakan Master selalu memiliki tujuan tertentu. Lagipula, tidak mungkin seorang hunter level 8 dengan sertifikasi datang terlambat dalam perekrutan anggota tanpa alasan, kemudian membuat keributan yang memancing amarah Gilbert hingga setengah menghancurkan kedai, atau menjadikan Tino target ujian dari Gilbert. Itu akan sangat bodoh. Itu semua adalah akting. Meski dari perspektif Tino, sulit terlihat sebagai akting, namun itu adalah kebohongan yang tak bisa dibaca oleh mata biasa. Semua itu telah dihitung dengan matang.
Perkataan Tino yang agak kesal membuat Gilbert terdiam, tak mampu berkata-kata lebih lanjut. Itulah tingkat kehebatan yang dicapai Thousand Changes. Ada sesuatu yang benar-benar misterius tentangnya yang membuat pedang Purgatory terasa sangat berat di pundak.
Di antara sihir-sihir yang digunakan oleh para penyihir, ada juga teknik yang membuat senjata mereka berselimutkan elemen seperti air atau api, meningkatkan kekuatan dan jangkauannya. Kemampuan “pemberian atribut” yang sering dimiliki oleh senjata legendaris dapat menciptakan efek yang sama tanpa konstruksi sihir. Kemampuan pemberian api dari pedang Purgatory, yang melapisi bilahnya dengan panas yang menyala, memungkinkan untuk membakar sekaligus memotong, memberikan kekuatan serang yang luar biasa. Di Treasure Hall sebelumnya, tidak ada yang dapat bertahan melawan kemampuan itu. Namun, bagaimana dengan kali ini?
Manipulasi api yang dilakukan Thousand Changes berada di luar pemahaman Gilbert tentang kekuatan Purgatory. Jika itu adalah kekuatan penuh dari pedang Purgatory, maka ia hanya menggunakan sebagian kecil dari potensi sesungguhnya. Gilbert, yang telah menjelajahi berbagai Treasure Hall, merasakan firasat buruk yang jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Mungkin saja itu bukan sekadar perasaan.
Melihat ketiga temannya yang tampak cemas, Tino berkata dengan nada ringan. “Tenang saja. Master memahami segalanya. Ia tidak akan memberikan tugas tanpa jalan keluar. Jika kita mempertaruhkan nyawa, kita bisa menaklukkan tempat ini. Apapun yang terjadi, kita tidak akan mundur. Lagipula, aku sudah menulis surat wasiat.”
“O-Oh... benar juga, ya.”
Jika mengikuti prinsip dasar para hunter, seharusnya mereka memilih mundur. Namun, berapa nyawa yang telah mereka korbankan untuk mendapatkan tulang belulang ini? Dengan perasaan bahwa ia telah terjebak dalam masalah besar, Greg memasang senyum yang kaku, menunjukkan harga dirinya sebagai seorang yang lebih tua.
Pada saat itu, sebuah phantom melintas dalam pandangannya.
Phantom itu menutupi matahari. Menangkap pergerakan dari langit, Tino dengan cepat mendorong Greg ke samping. Satu detik yang lalu, cahaya abu-abu tumpul melintas di tempat di mana kepalanya berada. Sejenak kemudian, Gilbert dan Rhuda mundur dan bersiap untuk bertempur. Greg, yang terpental akibat dorongan itu, secara refleks berguling untuk menjaga keseimbangan. Matanya menangkap sosok phantom yang mendekat tanpa suara maupun bau. Rhuda terkejut saat melihat sosok merah darah yang berjongkok tak bergerak dan mengeluarkan suara parau.
“…Eh… katanya Phantom di sini adalah… serigala, kan!?”
Mata emas yang bersinar menghadap langsung pada Gilbert, yang menarik pedang Purgatory sambil mengarahkan ujungnya. Makhluk berwarna merah itu, setelah serangan awalnya gagal, perlahan berdiri. ──Dengan dua kaki.
Berbulu merah seperti kawat dengan telinga tegak khas hewan canidae/serigala, ia memiliki ekor tebal berwarna sama yang memanjang dari belakang, dan hidungnya bergerak pelan seolah mencoba memahami situasi. Namun, sebagian besar tubuh makhluk itu tertutup oleh baju zirah berwarna merah darah.
Tangan yang dilindungi oleh sarung tangan pelindung menggenggam senjata yang berayun perlahan, seolah-olah sedang memperingatkan lawan. Dengan ekspresi bingung, Gilbert berteriak kaget.
“M-Mahluk ini… pakai zirah!? Ini berbeda dari yang diceritakan!”
“Dia membawa pedang... Master... Master selalu melampaui perkiraanku…”
Phantom yang muncul di Lair of the White Wolf seharusnya adalah serigala raksasa. Namun, makhluk di depan mereka ini, kecuali warna dan wajahnya, tampak sangat berbeda dari ekspektasi mereka. Di tengah kata-kata Tino yang terdengar sedih, serigala ksatria berzirah merah itu mengeluarkan raungan yang menggema.
…
“ekhh, rasanya mau muntah. Aku benar-benar ingin berhenti jadi hunter.”
Sudah sepuluh menit berlalu sejak aku diberitahu tentang bahaya yang tidak terduga dari permainan hukuman yang awalnya kupikir mudah. Aku mengomel sendirian sambil mondar-mandir di ruang Klan Master yang kosong. Kalau Eva ada di sini, dia pasti akan menatapku dengan dingin. Sungguh, kalau saja Tino mau menolak dan memberi alasan yang jelas, aku juga tidak akan...
Yang terlintas di pikiranku hanyalah keluhan-keluhan yang sama sekali tidak produktif. Bagi diriku, murid temanku jauh lebih penting daripada target penyelamatan yang mungkin sudah tak bernyawa. Lagipula, Tino sudah mencapai level 4, jadi dia seharusnya sudah paham teori hunter. Kalau situasinya benar-benar berbahaya, dia pasti akan pulang.
Tapi, dari yang kulihat selama ini, anggota Footprints semuanya nekat. Mereka selalu bertindak melampaui standar hunter biasa. Sekuat apa pun musuh yang dihadapi, mereka tak mudah mundur.
Tino juga terpengaruh oleh hal itu. Atau lebih tepatnya, dia terpengaruh oleh sikap nekat para anggota Strange Grief, terutama oleh gurunya sendiri. Ini berbahaya. Kalau Tino mati karena perintahku, bagaimana reaksi gurunya yang temperamental, Liz?
“Ah, paling buruk, aku bisa saja menggunakan Gilbert dan Greg sebagai tameng...”
Aku yakin mereka akan rela berkorban untuk Tino. Memilih anggota sembarangan adalah kesalahanku. Setidaknya aku seharusnya menugaskan anggota Footprints yang lebih berpengalaman. Gara-gara si Gark, aku tidak diberi peringatan yang cukup—tidak, ini salahku. Tidak ada alasan yang bisa kubuat.
“Sungguh, aku benar-benar minta maaf!”
Pasti mereka akan baik-baik saja. Tino seharusnya tahu bahwa di Sarang Serigala Putih hanya ada serigala besar, jadi pastinya dia sudah menyiapkan langkah-langkah antisipasi. Lawannya hanyalah binatang yang sedikit lebih berbulu. Tentu saja, persiapan takkan terlalu sulit... mereka takkan kalah... kan? Aku mencoba meyakinkan diriku, tapi tetap saja perasaanku tidak tenang.
Di luar sudah gelap. Jika di dalam ibu kota, setidaknya ada lampu jalan, tapi di luar, lampu tidak dipasang. Meminta bantuan anggota Footprints di lounge mungkin bisa jadi solusi... tapi tidak mungkin. Monster dan binatang liar lebih aktif di malam hari, sehingga perjalanan malam hari sangat dihindari. Lagi pula, meskipun aku mengirim bantuan sekarang, mereka pasti takkan bisa menyusul Tino.
Aku benar-benar tidak bisa apa-apa tanpa Ark. Dengan setengah hati yang mencoba lari dari kenyataan, aku mendekati rak buku di dinding ruang Klan Master, bertekad untuk menghadapi situasi ini. Rak tersebut dipenuhi buku tentang pengelolaan Klan dan sejarah ibu kota. Aku menggenggam pegangan yang dipasang secara tidak lazim di situ dan menariknya sekuat tenaga. Mekanisme rahasia berfungsi, dan rak buku itu terbuka ke dalam tanpa suara, menampakkan tangga yang menurun ke bawah.
Aku menuruni tangga itu dengan langkah cepat, meraba-raba dalam kegelapan untuk menemukan saklar. Begitu saklar dinyalakan, lampu yang lembut menerangi ruang yang dua kali lebih besar dari ruang Klan Master.
Di balik pintu rahasia ini adalah ruang pribadiku. Sebuah kamar tanpa jendela, dilengkapi ranjang besar yang cukup untuk beberapa orang tidur, rak buku, meja, dan sofa. Di dinding, terdapat lukisan yang entah dari siapa, serta kertas yang memuat tiga aturan kebijakan Klan kami. Namun, yang paling mencolok adalah—senjata-senjata legendaris yang memenuhi ruangan ini tanpa celah.
Pedang, tombak, zirah, mantel, rantai, cincin, semuanya dengan bentuk dan jenis yang beragam. Ada yang kubeli, ada yang diwariskan, dan tentu saja, ada yang kudapatkan dari menyusup ke dungeon. Ini adalah koleksi hasil pencapaian kami sebagai hunter dari Strange Grief. Jika dijual dengan harga yang tepat, koleksi ini akan membuat kami bisa hidup bersenang-senang selama puluhan tahun. Tapi tujuan kami belum tercapai.
Sambil menahan rasa mual, aku mulai mencari senjata legendaris yang bisa digunakan untuk menghadapi situasi ini.
Saat aku baru saja menaiki tangga dan keluar ke ruang Klan Master, aku bertemu Eva. Dia melihat ke arah pintu rak buku yang terbuka, lalu menatapku dan berkedip.
Dengan persenjataan yang telah kupilih dengan hati-hati, aku sekarang ibarat dungeon hidup. Mantel biru tua, senjata berbentuk crossbow yang kugendong, dan pedang yang panjangnya setengah-setengah. Di setiap jari, aku mengenakan cincin senjata, dan karena masih kurang, aku menggantung rantai yang penuh dengan cincin di pinggang, sementara sisanya dimasukkan ke dalam kantong di sabuk. Ternyata, banyak juga senjata yang berbentuk cincin. Kenapa ya manusia Cuma punya sepuluh jari?
Pakaian dan celanaku bukan senjata, hanya pakaian hunter yang kuat, tetapi hampir seluruh perlengkapanku adalah senjata. Namun, meskipun sudah begitu, aku tetap merasa ingin muntah, karena berdasarkan pengalamanku, orang biasa yang mengenakan senjata sebanyak ini tidak akan banyak terbantu. Tapi tetap saja, aku harus melakukannya. Ini tanggung jawabku.
Wakil Klan Master tetap mengenakan seragam putih seperti biasa. Meski sudah malam, dia tetap terlihat rapi tanpa cela. Mungkin karena masih bekerja, dia memang sangat rajin. Oh, dan tentang kamar pribadiku, hampir semua orang sudah tahu keberadaannya, jadi tidak ada tanda-tanda terkejut di wajah Eva.
“Ada apa, Krai? Kenapa memakai perlengkapan seberat itu?”
“Hahaha... hanya mau jalan-jalan sebentar.”
“Kalau memang khawatir, kenapa tidak bilang saja?”
Seketika, dia menebak dengan tepat.
“Hahaha... aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan.”
Aku hanya bisa tertawa aneh karena sudah sangat cemas. Eva menatapku dengan heran. Bukan karena dia melihatku memakai senjata. Dia sudah mengenalku cukup lama sehingga bisa membaca sifatku.
“Bagaimana kalau membawa party lain sebagai bantuan?”
Eva memberikan saran yang sangat menarik. Tapi, meskipun kami dari Klan yang sama, kami berbeda party. Tak ada party yang rela menempuh bahaya malam untuk pergi ke dungeon, dan aku tak bisa memaksa mereka.
Aku menenangkan napas dan berusaha bersikap tegar.
“Tidak masalah. Semua sudah sesuai perhitungan.”
“Tunggu sebentar.”
Eva mendekat padaku tanpa peduli dengan kata-kataku, matanya tertuju pada liontin yang tergantung di leherku.
Sebuah liontin sederhana dengan kapsul logam yang tergantung. Bukan senjata legendaris, tetapi lebih berbahaya daripada senjata legendaris biasa.
“…Itu, bukankah itu Sitri Slime?”
“......”
“Katanya, jangan pernah membukanya karena bisa menghancurkan ibu kota….”
Eva menatap tajam, tetapi dia tak berusaha menyentuhnya. Kemampuan pengendalian diri yang bagus.
Aku bertanya-tanya, dari siapa Eva mendengar itu? Ada beberapa kandidat yang mungkin, tapi saat ini, tidak penting.
Kapsul ini sebelumnya tersimpan di dalam sebuah senjata berbentuk brankas di tengah ruanganku. Katanya, di dalamnya ada slime yang sudah dimodifikasi, tapi aku sendiri belum pernah melihatnya. Slime adalah salah satu jenis monster yang berbentuk cairan dan dianggap paling lemah di antara semua monster. Tubuhnya yang mirip cairan itu sepenuhnya berfungsi sebagai organ, jadi monster ini sangat mudah dikalahkan. Entah dipukul, dipotong, direbus, atau dibakar, slime akan kalah dengan mudah. Ada banyak jenis slime, tapi kebanyakan tak perlu diperhitungkan.
Dalam pandanganku, slime adalah monster yang paling lemah di antara yang lemah—semacam versi monster dari diriku sendiri. Tapi slime yang ada di dalam kapsul ini sepertinya berbeda. Aku tak tahu apa yang membuatnya berbeda, tetapi kalau si pembuat mengatakan demikian, maka mungkin memang begitu.
Senjata legendaris itu kuat, tapi kekuatannya tergantung pada jumlah kekuatan magis yang disimpannya, yang menentukan dampak dan durasinya. Aku selalu berusaha menjaga agar senjataku tetap terisi, tetapi terakhir kali senjataku diisi ulang adalah lebih dari dua minggu yang lalu, sebelum Strange Grief berangkat ekspedisi, jadi senjataku saat ini hampir kehabisan energi. Aku tak bisa berharap banyak dari kekuatannya.
Kapsul ini adalah cadangan. Aku yakin Tino cukup tangguh, dan aku berencana menghindari pertempuran serta kabur, tetapi sebagai seorang hunter, sudah sewajarnya punya rencana cadangan untuk situasi darurat. Aku ini pria yang penuh perhitungan dan keras kepala. Meskipun aku sebenarnya tidak ingin membawa ini, dan sangat ingin menghindarinya, senjata lain terlalu besar dan sulit dibawa, jadi ini pilihan terbaik. Aku sedikit ragu tentang cara menggunakannya, tapi selama aku di dungeon, aku bisa saja melemparkannya dan kabur. Tak ada yang lebih berharga daripada nyawa adik kelasku yang manis.
“Aduh, jangan bercanda. Mana mungkin aku punya benda yang berbahaya dan ilegal seperti itu.”
“......”
Tetapi, berbeda dengan diriku yang menghargai ketaatan hukum, teman-teman lamaku cenderung berpikir bahwa aku akan melanggar hukum.
Karena aku tak ingin terbongkar lebih jauh, aku segera bergegas ke belakang meja kerja dan menggenggam pegangan jendela besar, membukanya. Angin dingin yang lebih kencang dari perkiraanku bertiup masuk.
Jendela ini bisa dibuka karena, jika tidak, orang-orang dengan santainya akan memecahkannya dan masuk. Persiapan seperti ini bermanfaat dalam situasi seperti ini.
Eva, yang biasanya tidak menunjukkan kekhawatiran, kali ini menatapku dengan cemas. Pandangannya sebagian besar tertuju pada Sitri Slime.
Dia mungkin khawatir kalau-kalau tindakanku yang sembrono akan mengganggu pengelolaan Klan.
“Apa... benarkah, kau yakin ini aman?”
Saat Eva bertanya dengan ragu, aku berusaha mempertahankan senyum sebaik mungkin.
Iya, benar juga. Ini memang berbahaya...
Aku sebenarnya ingin membawa seseorang, tetapi ‘Night Hiker’ ini hanya untuk satu orang.
…
“Uh… mungkin kita sebaiknya mundur sekarang?”
Sang ksatria serigala yang mengamuk itu lenyap tanpa meninggalkan jejak apapun. Rhuda, yang menatap penuh amarah ke tempat dimana ksatria serigala itu menghilang seperti larut ke udara, menyarankan hal itu pada Tino. Greg menurunkan pedangnya yang sudah usang setelah pertempuran berat dan setuju.
“Ya, kita sudah tahu ini akan sulit, tapi situasinya benar-benar di luar dugaan. Lebih baik mundur dulu. Lagi pula, sepertinya target penyelamatan kita juga sudah tidak bernyawa lagi. Akan sia-sia jika kita terus maju.”
Ksatria serigala itu sangat kuat. Baju zirah yang menutupi seluruh tubuhnya memantulkan hampir semua serangan, dan tebasan dari lengan kuatnya dapat memberikan luka fatal jika terkena langsung. Phantom berbentuk binatang buas biasanya memang gesit dan kuat, namun ditambah dengan persenjataan seperti ksatria serigala ini, mereka adalah musuh yang seharusnya tidak muncul di dungeon level 3.
Greg adalah petarung berpengalaman yang telah mencapai level 4, tetapi bahkan untuknya, melawan ksatria serigala ini satu lawan satu adalah hal yang sulit. Hanya karena ksatria serigala itu tersesat dan mereka memiliki keunggulan jumlah, serta Tino yang terus mengalihkan perhatian Phantom itu, mereka berhasil mengalahkannya tanpa terluka.
Namun, jika salah satu dari mereka terluka atau gerakannya melambat di tengah pertempuran, pertarungan itu akan berlangsung lebih lama.
Menanggapi tatapan Greg dan Rhuda, sang pemimpin tidak menunjukkan reaksi sedikit pun.
“Keputusanku tidak berubah. Lagipula, kita bahkan belum masuk ke dungeon itu.”
“A-ayo, kenapa kau begitu keras kepala? Sebagus apa pun harta itu, nyawa lebih penting, kan?! Ksatria serigala yang kita lawan tadi jelas berasal dari ‘Sarang Serigala Putih’. Memang jarang ada Phantom yang keluar dari dungeon, tapi kemungkinan besar di dalam sana penuh dengan makhluk serupa.”
“Padahal terakhir kali kita datang ke sini hanya ada serigala biasa...”
Rhuda menatap arah dungeon dan menggigil.
Biasanya, Phantom yang muncul di Sarang Serigala Putih adalah serigala yang bentuknya hanya lebih besar dari biasanya. Mereka disebut sebagai Red Moon karena kemiripannya dengan Silver Moon yang telah punah. Bukan manusia serigala bersenjata dengan pedang dan baju zirah.
Beberapa minggu yang lalu, Rhuda pernah datang ke sini sendirian untuk mencoba melawan Phantom dan hanya menemukan Red Moon biasa, yang mana ia bisa kalahkan sendirian. Meski saat itu, ia segera mundur saat dikelilingi oleh beberapa dari mereka. Namun, ksatria serigala yang muncul kali ini jauh lebih kuat.
Baju zirah ksatria serigala bersenjata berat tadi tidak mungkin dapat ditembus oleh belati Rhuda. Satu-satunya cara melukainya adalah menargetkan bagian kepala yang tidak terlindungi atau sendi-sendi dengan lapisan zirah yang lebih tipis.
Dengan kemampuan Rhuda sekarang, sulit baginya untuk mengincar kepala ksatria serigala yang gesit sambil menghindari serangannya. Itu mungkin bisa dilakukan dengan latihan, tapi ia tak ingin mencoba hal itu dalam situasi hidup dan mati.
“Ini akan jadi latihan yang bagus.”
“Latihan… apa…?”
Namun, ketika Greg dan Rhuda mendesak, Tino mengangkat bahunya dengan tenang seolah-olah itu adalah hal yang biasa. Sikap Tino yang begitu tenang dalam situasi berbahaya ini membuat Rhuda merasa dirinya masih sangat jauh di belakang. Seakan-akan dia pernah melewati situasi seperti ini berkali-kali sebelumnya.
Inilah… First Step.
“Lagipula, Greg-san masih salah paham.”
“Cukup panggil Greg.”
“Greg masih salah paham.”
Sambil menatap pedang yang dipegangnya dengan ekspresi penuh tanda tanya, Tino memastikan keberadaan Gilbert. Ia memiliki senjata dengan daya hancur tertinggi—sebuah senjata legendaris. Meski kepribadiannya sulit ditebak, kali ini dia akan menjadi penyerang utama.
Sang Master tidak memasukkan seorang bocah tak berpengalaman dalam tim tanpa alasan. Dalam pertempuran sebelumnya, Tino melihat gerakan Greg, dan peran Rhuda. Keterampilan anggota tim yang diberikan kepada Tino kali ini sebenarnya tidak rendah. Setidaknya, tidak serendah itu sampai Tino perlu memutuskan untuk mundur.
Semua yang diperlukan sudah ada. Sang Master tidak salah.
Tino mengangguk, memandang ke arah dungeon yang masih terdengar deru dan raungan dari kejauhan, lalu berkata.
“Jika Master mengirim kita, itu berarti target penyelamatan kita masih… hidup.”
“Apa!?”
Greg terkejut mendengar keyakinan Tino. Mungkin sulit baginya untuk memahami. Tidak, pada umumnya, itu memang sulit dipahami.
Dungeon adalah wilayah yang berbahaya, dan kebanyakan orang yang hilang di sana sudah mati. Apalagi di dungeon terpencil yang tak mungkin meminta bantuan Hunter lain.
Untuk memastikan apakah target masih hidup atau tidak, satu-satunya cara adalah masuk ke dungeon itu. Bagaimana mungkin seseorang di ibu kota bisa menebaknya dari jauh? Semua orang pasti akan mengatakan bahwa hal itu mustahil.
Tetapi, ia mampu melakukannya. Mewujudkan hal yang tidak mungkin. Melampaui batas akal sehat.
Itulah sebabnya, Krai Andrey berada di level 8.
“Jika Master, yang memiliki kecerdasan setara dewa, memberikan perintah, itu berarti ada alasan yang pasti. Greg, menurutmu apa itu level 8? Di ibu kota ini, hanya ada tiga orang level 8.”
Dihadapkan dengan tatapan dingin Tino yang membawa tekanan kuat, Greg mulai berkeringat dingin.
Rhuda, yang berusaha menghilangkan suasana tegang, mengangkat suaranya dengan riang
"T-Tentu saja. Kalau target penyelamatan masih hidup... kita harus maju, kan? Ya, Gilbert?"
Gilbert, yang tiba-tiba diajak bicara, mengerutkan wajahnya dan berkata tanpa menanggapi langsung.
"…Mana dari Pedang Purgatory sudah habis. Padahal baru saja aku mengisinya… dan aku tidak bisa mengisi ulang sendiri..."
"Apa?"
Mengisi mana dari senjata suci adalah hal yang wajar dilakukan bagi para hunter. Pedang Purgatory adalah senjata suci yang sangat kuat, tapi itu juga membutuhkan banyak mana dan cepat habis. Dengan jumlah mana Gilbert yang tidak begitu tinggi, mengisi ulang sendiri adalah beban yang berat baginya. Karena itu, dia biasanya meminta seorang mage khusus yang ada di ibukota kekaisaran untuk mengisi ulang secara rutin.
Terakhir kali diisi ulang adalah beberapa hari yang lalu, tepat sebelum dia pergi untuk rekrutmen anggota di "First Step." Seharusnya, masih ada cukup banyak mana yang tersisa karena dia belum pernah kembali ke Treasure Hall. Tapi kini, jelas pedangnya sama sekali tidak memiliki aliran mana.
Jika ada seorang mage dalam tim, dia bisa membantu mengisi ulang, tapi tidak ada seorang pun mage di sini. Mendengar keluhan Gilberto, Tino segera memahami situasinya dan bergumam, "Master… Apakah Master tidak menyukai aku…"
Mereka bahkan belum memasuki Treasure Hall.
"Sarang Serigala Putih" adalah sebuah Treasure Hall berbentuk gua. Silvery Moon adalah makhluk yang cerdas dan memiliki organisasi sosial yang tinggi. Mereka hidup dalam kelompok besar dan menggali sarang untuk hidup bersama. Pada puncaknya, ada lebih dari seribu ekor Silvery Moon dalam satu kelompok, membangun sarang besar yang mencakup wilayah sebesar desa kecil.
Sarang itu tetap terjaga hampir persis seperti saat para Silvery Moon masih hidup, meskipun sekarang sarang itu berubah menjadi Treasure Hall setelah mereka punah. Di tengah semak-semak, Tino mengamati dengan hati-hati pintu masuk Treasure Hall besar yang terbuka lebar di tanah.
Sebelum menjadi Treasure Hall, selalu ada beberapa ekor Silvery Moon yang berjaga di depan pintu masuk sarang. Namun kini, yang terlihat berkeliaran di depan pintu adalah serigala berbulu merah menyala. Mereka adalah serigala ksatria yang dipersenjatai lengkap dengan senjata dan baju besi. Dari jarak sekitar lima puluh meter, bau binatangnya sangat tajam. Mata mereka yang bersinar menyala jelas terlihat dalam kegelapan.
Pedang telanjang yang mereka genggam memantulkan cahaya rembulan samar di langit malam. "Hei, bukan hanya pedang. Ada yang membawa busur dan senjata api juga," kata Gilbert dengan suara rendah.
"Sial, sepertinya bukan hanya individu tertentu yang kuat. Apakah ada kelebihan Mana Material di daerah ini? Apa ada sesuatu yang terjadi di sini?" Grieg mengamati dengan cermat phantom itu sambil mengernyit.
Ketika Mana Material di dunia mencapai konsentrasi tertentu, Treasure Hall dan phantom tercipta. Jika ada sesuatu yang menyebabkan konsentrasi tersebut meningkat lebih jauh, phantom dan Treasure Hall akan menyerap Mana Material tersebut dan bertransformasi menjadi entitas yang lebih kuat—fenomena yang dikenal sebagai "evolusi," yang sangat ditakuti oleh para hunter. Evolusi ini jarang terjadi.
Mana Material biasanya bersirkulasi mengikuti aliran ley line yang merata di seluruh dunia, sehingga ada batas jumlah Mana Material yang dapat terkumpul di suatu tempat. Biasanya, evolusi hanya terjadi jika ada faktor eksternal yang meningkatkan laju kenaikan konsentrasi Mana Material, seperti perubahan ley line atau lingkungan.
Kekaisaran Zebrudia, yang mendapat keuntungan besar dari Treasure Hall di sekitarnya, sangat peka terhadap perubahan ley line. Jika ada tanda-tanda perubahan, informasi tersebut akan diberikan kepada para hunter. Namun, saat ini, tidak ada informasi tentang perubahan lingkungan. Akan tetapi, melihat phantom yang lebih kuat dari perkiraan di depan mata mereka, ini bukan waktu untuk mengabaikan kenyataan.
Tino menarik napas dalam-dalam, menganalisis kekuatan lawan dengan tenang. Sebenarnya, Sarang Serigala Putih adalah tempat yang seharusnya bisa dia atasi sendiri. Namun, phantom yang muncul kali ini berbeda. Ukuran phantom di depan mereka dua kali lipat lebih besar dari Red Moon yang biasa mereka temui. Selain itu, dibandingkan dengan Red Moon yang berjalan dengan empat kaki, serigala manusia ini berdiri di atas dua kaki, dengan tinggi yang jauh lebih besar.
Dari pertempuran yang mereka alami sebelum tiba di sini, mereka menyadari bahwa kekuatan dan daya tahan makhluk ini meningkat secara proporsional. Fakta bahwa mereka dapat memperkirakan kekuatan lawan sebelum benar-benar masuk ke sarang adalah keberuntungan. Tidak diragukan lagi, ini mungkin bagian dari perhitungan sang Master.
"Aslinya, sarang ini dibuat berdasarkan ukuran Silvery Moon. Dengan ukuran sebesar itu, gerakan mereka di dalam sarang akan terbatas. Mereka tidak akan bisa melompat-lompat," kata Tino.
"Jadi, lebih baik kita masuk ke dalam daripada bertarung di area terbuka. Tapi aku tidak punya senjata jarak jauh," kata Gilbert.
Di luar sarang, ada lima serigala manusia berjaga-jaga. Meskipun seluruh tubuh mereka tertutup baju zirah yang tampak kuat, senjata mereka berbeda-beda—tiga membawa pedang, satu membawa busur, dan satu lagi membawa senjata api panjang yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Melihat jumlah dan posisi mereka, masuk tanpa ketahuan sepertinya tidak mungkin. Jika mempertimbangkan kemungkinan dikepung, melewati mereka dan masuk ke sarang bukanlah ide yang bijak.
"Apakah target penyelamatan ada di dalam? Mengapa mereka masuk ke Treasure Hall yang jelas-jelas berbahaya seperti ini?"
"Mungkin mereka tidak menyadari keanehan ini sampai masuk ke dalam. Namun, ini juga punya sisi positif. Jika Treasure Hall telah berevolusi, kemungkinan kita akan menemukan senjata suci yang lebih kuat."
Kekuatan senjata suci, phantom, dan Treasure Hall bergantung pada konsentrasi Mana Material. Semakin tinggi konsentrasi, semakin kuat senjata suci yang mungkin ditemukan. Selain itu, kurangnya orang lain di sekitar adalah keuntungan besar karena senjata suci biasanya diambil oleh yang menemukannya lebih dulu.
"Ada yang bisa menyerang jarak jauh?" tanya Tino, melihat ke belakang.
Grieg dan Rhuda saling memandang. Dalam situasi ini, serangan jarak jauh yang dimaksud adalah serangan yang bisa memberikan dampak pada serigala manusia berzirah itu. Misalnya, Rhuda bisa melemparkan belati, tetapi serangan itu tidak akan efektif melawan zira dan bulu tebal mereka. Melihat kedua rekannya yang terdiam, Tino semakin sadar akan ketidakseimbangan tim mereka. Dalam tim yang ideal, seharusnya ada satu anggota yang mahir serangan jarak jauh.
Gilbert mengangkat sedikit tubuhnya dan menggenggam Pedang Purgatory dengan kedua tangan.
"Kalau begitu, aku akan maju lebih dulu. Kalau aku bisa menjatuhkan pemanah dan yang bawa senjata api dulu, sisanya kita bisa atasi."
"...Hah? Kau gila?" balas Tino.
"Walau tanpa mana, Pedang Purgatory masih lebih kuat dari pedang biasa. Aku sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini," Gilbert menjawab dengan suara tenang.
Gilbert hanya mengenakan pelindung kulit yang ringan, dengan lembaran logam tipis di dalamnya. Ini pakaian yang umum untuk hunter yang mengutamakan kelincahan, tapi tidak cocok untuk seseorang yang akan menjadi umpan. Berbeda dengan Tino dan Rhuda, yang lebih berfokus pada kelincahan sebagai pencuri, Gilbert tidak membawa perisai. Pedang besar dua tangan yang dia pegang lebih mengutamakan kekuatan daripada kelincahan dan sulit untuk digunakan dalam situasi mendesak.
Namun, suara Gilbert yang tenang menunjukkan bahwa dia benar-benar terbiasa menghadapi situasi seperti ini, yang membuat Grieg setengah kagum mendengar ucapannya.
“Ngomong-ngomong, kau tadi bilang kau dari party yang ‘one-man party’, ya?” Gilbert mendengus mendengar pertanyaan itu.
“One-man party” adalah istilah untuk sebuah kelompok yang berfokus pada satu anggota yang sangat unggul. Bakat seorang hunter sangat bervariasi, sehingga perbedaan kemampuan di antara anggota dalam satu kelompok adalah hal yang biasa.
Terlebih, hunter yang terbiasa bertarung dengan anggota yang lebih lemah sering kali cenderung maju ke depan. Itu terjadi karena mereka sudah terbiasa menang dengan cara seperti itu, jadi hal ini tidak bisa dianggap kelemahan sepenuhnya. Namun, dalam kelompok baru, kebiasaan ini bisa menjadi sumber ketidakcocokan.
Saat Gilbert hendak berdiri, Tino menatapnya tajam.
“Jangan bertindak sesukamu. Kalau kau mau mati, terserah, tapi meskipun ini hanya kelompok sementara, sebagai pemimpin, aku bertanggung jawab untuk memastikan kita semua kembali dengan selamat.”
“...Hah?”
Gilbert terkejut mendengar perkataan yang tidak diduganya. Mengingat bagaimana kelompok ini dibentuk serta sifat masing-masing anggotanya, Gilbert tidak menyangka Tino akan mengkhawatirkan dirinya. Mereka bukanlah kelompok yang sudah lama bersama; ini hanyalah kelompok yang sementara dan terdiri dari anggota yang dikumpulkan secara acak.
Sebagai anggota yang paling lincah di kelompok ini, Tino sebenarnya bisa dengan mudah kabur jika harus menghadapi para manusia serigala sendirian. Bahkan, ada sedikit kemungkinan dia akan dijadikan tameng.
Karier sebagai hunter memang mempertaruhkan nyawa. Dalam kelompok sementara yang tidak permanen, hal seperti itu bukanlah hal yang langka.
Menyadari arti pandangan Gilbert, Tino mengernyitkan dahi dan menegaskan,
“Aku tidak akan meninggalkanmu. Kali ini, aku diharapkan oleh Master untuk bertindak sebagai pemimpin. Mengembalikan kalian semua dengan selamat adalah, bisa dibilang… syarat minimum.”
Tino juga tahu bahwa menjadi seorang hunter tidak selalu berjalan dengan indah. Kadang, untuk melindungi seluruh kelompok, pemimpin harus membuat keputusan untuk meninggalkan anggota. Namun, kali ini, bukan itu yang diharapkan.
Pasti gurunya akan berkata seperti ini:
“Jangan samakan aku dengan hunter biasa yang akan meninggalkan anggotanya di tengah jalan.”
Master-nya tidak akan memberikan misi yang mengharuskannya meninggalkan teman-temannya. Itulah gaya dari Krai Andrey, Master dari First Step. Meski ini hanya kelompok sementara yang dipasangkan dengan orang-orang yang tidak dikenal, atau mungkin justru karena itu, saat ini, kualitas kepemimpinan Tino Shade sedang diuji.
Dia menarik napas dalam-dalam di udara malam yang dingin dan menenangkan debaran jantungnya yang mulai berdegup kencang jelang pertarungan.
Kemudian, Tino menatap seluruh anggota tim dan membuka mulutnya. Suaranya penuh percaya diri, pantas untuk seorang pemimpin.
“Aku dan Rhuda yang paling lincah akan maju dulu untuk menarik perhatian musuh. Kami sudah berlatih menghindari serangan jarak jauh. Saat itu, Greg dan Gilbert akan menyerang dari belakang ke arah musuh yang berada di garis belakang. Begitu mendekat, senjata jarak jauh mereka tidak akan berbahaya lagi.”
…
“Aduh, kumohon setidaknya Tino saja yang selamat. Dalam keadaan ini, tak masalah bagiku jika harus menggunakan anggota lain sebagai tameng.”
Dengan menggertakkan gigi, aku berlari di bawah langit malam yang hanya diterangi oleh cahaya bulan purnama yang samar. Rasanya seperti menerobos udara dingin yang menghantam seluruh tubuh.
Aku terbang di udara berkat jubah artefak yang memberiku daya dorong, seperti panah yang dilepaskan dari busur. Sekali terlepas, aku tidak bisa kembali, persis seperti panah. Aku hanya mengarahkan diri menuju ke depan, menerobos kegelapan malam.
Aku melewati tembok tinggi yang mengelilingi ibu kota kekaisaran, melintasi gerbang besar dalam sekejap mata, dan di bawahku terbentang hamparan padang luas serta jalan yang tak diterangi lampu. Pemandangannya indah, tapi yang aku rasakan hanya mual ingin muntah.
Night Hiker, atau “Sayap Malam”, adalah sebuah jubah artefak. Dengan kain biru tua yang indah, seolah malam itu sendiri dijadikan bentuk fisik, dan dihiasi permata putih di bagian kerah, artefak ini memberikan penggunanya kemampuan terbang yang luar biasa. Dari sekian banyak artefak, yang memberikan kemampuan terbang sangatlah langka. Terutama yang memungkinkan terbang sendiri tanpa kendaraan, artefak seperti ini sangat diminati dan mahal harganya.
Satu-satunya artefak terbang dalam koleksiku hanyalah Night Hiker ini, tapi artefak ini memiliki beberapa cacat serius. Tragedi “Kasus Peluru Kendali Manusia” yang disebabkan oleh pemilik sebelumnya menunjukkan betapa berguna sekaligus berbahayanya artefak ini, dan itu menjadi peristiwa yang sangat menyedihkan.
Hunter yang menabrak langit-langit dengan kekuatan besar itu langsung meninggal dan Night Hiker hampir saja dibuang sebagai artefak yang membunuh hunter berbakat, tapi aku berhasil mengambilnya. Artefak ini benar-benar barang cacat.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa benda ini bisa membuatku terbang. Meski penuh masalah—tidak bisa dikendalikan dengan halus, terlalu fokus pada daya dorong hingga tidak memiliki “melayang” seperti artefak terbang lainnya, dan yang paling penting, tidak memiliki rem—tetap saja aku bisa terbang dengan ini.
Dan kecepatannya benar-benar luar biasa. Secepat ini jelas tanpa memperhitungkan keamanan sama sekali. Melihat benda ini bisa menjadi artefak, mungkin ada item asli yang mendasarinya, tapi aku sungguh ingin memberi ceramah panjang kepada orang yang pertama kali menciptakannya.
Dalam sekejap aku melewati jarak yang biasanya membutuhkan waktu lebih dari satu jam bagi seorang hunter dengan kecepatan tinggi, dan langsung memasuki hutan. Jika berjalan di tanah, pandanganku pasti akan terhalang oleh pepohonan lebat, dan jalannya penuh dengan batu serta ranting sehingga akan menguras tenaga, tapi itu tak jadi masalah karena aku terbang di udara.
Saat aku terbang di atas hutan dengan kecepatan tinggi, burung dan hewan-hewan di hutan berkicau dan melengking ketakutan. Yang ingin menjerit ketakutan sebenarnya adalah aku.
Dalam penglihatan yang berguncang hebat, aku akhirnya menemukan tujuan—Treasure Hall. Area terbuka tanpa pepohonan, sebuah lubang besar di tanah. Di sekitar sini tidak ada Treasure Hall berbentuk gua lainnya, jadi ini pasti tempatnya.
Cepat. Bahkan aku terpukau dengan kecepatanku sendiri. Dengan ini, kemungkinan besar Tino masih hidup.
Masalah selanjutnya hanyalah fakta bahwa aku tidak punya rem.
Dengan menggertakkan gigi, aku mengarahkan diri ke bawah pada sudut yang miring dan langsung menerjang masuk ke dalam lubang dengan kecepatan penuh.
…
“Phantom” bukanlah monster tak terkendali atau tak terkalahkan. Seperti halnya artefak yang diciptakan berdasarkan “item yang pernah ada” yang tersimpan dalam ingatan di suatu tempat di dunia, Phantom juga diciptakan berdasarkan “makhluk” yang pernah ada sebelumnya.
Ukuran tubuhnya yang menjulang dan senjata tajam yang diayunkannya—semuanya pernah ada di suatu waktu dan tempat. Gilbert menahan pedang putih yang menyabet dari atas dengan pedang besar yang digenggamnya dengan kedua tangan. Dengan tenaga luar biasa, tangannya terasa nyeri, dan lututnya nyaris patah, tetapi ia bertahan.
Wolf Knight—demikian mereka menyebut manusia serigala yang membawa senjata demi kemudahan—memiliki senjata berbeda-beda, tetapi semuanya memiliki kekuatan dan daya tahan luar biasa, serta gerakan yang ringan yang tak bisa dipercaya dari tubuh sebesar itu.
Mereka baru melawan beberapa, tetapi tenaga mereka melebihi Gilbert, yang bangga dengan kekuatannya, dan kecepatannya setara dengan Rhuda, yang bangga dengan kelincahannya. Stamina dan daya tahan mereka jauh lebih tinggi daripada manusia seperti Tino dan lainnya.
Serangan yang dilancarkan dari lengan monster ini akan menyebabkan cedera serius jika diterima langsung. Bagi Gilbert dan Rhuda, yang terbiasa bertarung dengan lebih santai di harta karun, musuh ini terasa sangat berbeda. Musuh yang benar-benar sulit, tetapi untungnya, Tino dan timnya memiliki keunggulan: kerja sama tim.
Saat Gilbert menahan serangan pedang, Greg maju dan menusukkan pedangnya ke persendian di lengan lawan—celah antara pelindung tangan dan pelindung lengan. Begitu tenaga lawan melemah sejenak, Gilbert mengarahkan pedang besar itu ke kiri dengan kekuatan luar biasa.
Pedang besar yang tumpul jatuh tepat di samping Gilbert. Wolf Knight menggeram, menatap penuh kebencian ke arah Gilbert dan Greg, lalu tubuh raksasanya roboh dengan mata yang masih terbuka.
Dari belakang, Tino telah melompat tinggi hingga hampir menyentuh langit-langit dan menebas leher Wolf Knight dari belakang. Tino menggunakan dua pedang pendek berbilah merah-hitam yang didapatnya dengan keberuntungan setelah mengalahkan Wolf Knight di “Sarang Serigala Putih.”
Tebasan yang diarahkan dengan berat badannya menembus bulu tebal, otot, dan tulang, terbenam setengah di leher lawan. Itu adalah serangan fatal, sehingga Phantom menghilang tanpa sempat mengeluarkan suara, seolah larut ke dalam udara.
Tino mendarat tanpa suara. Gilbert menghela napas lega sambil melihatnya, menunjukkan kelelahan di wajahnya.
“Hah... hah... akhirnya selesai.”
“Sungguh, misi yang tidak sepadan,” Greg mengerutkan alis, masih merasakan ketebalan bulu tebal di pedangnya. Walaupun lebih mudah daripada armor logam, bulu Wolf Knight cukup keras sehingga sulit untuk memberikan luka fatal kecuali dengan kekuatan penuh.
Sesuai dugaan Tino, bagian dalam sarang ini tidak cukup tinggi untuk Wolf Knight. Meskipun lebarnya cukup, langit-langit hampir menyentuh tinggi tubuh Wolf Knight, sehingga mereka tidak perlu khawatir akan diserang dari atas. Meski begitu, ketegangan menghadapi monster raksasa di ruang yang sempit dan gelap secara perlahan menguras semangat tim.
Tino yang tadi dengan sigap memberikan serangan mematikan hanya berkomentar tanpa ekspresi, “Seperti yang kuduga, dengan empat orang kita bisa mengalahkannya. Seberapa kuat pun lawannya, mereka tidak punya konsep kerja sama.”
Itulah kelemahan terbesar Wolf Knight kali ini. Meskipun mereka memiliki kekuatan masing-masing, mereka sama sekali tidak bekerja sama. Bahkan ketika rekan mereka hampir mati, mereka lebih fokus menyerang musuh di depan mereka tanpa berusaha membantu.
Jika muncul beberapa Wolf Knight sekaligus, strategi yang dilakukan Tino adalah menarik satu ke arah lain untuk menjauhkannya, sementara tiga lainnya menyerang satu Wolf Knight secara bersamaan. Tentu saja, ini berisiko, tetapi di lingkungan yang dipenuhi musuh seperti ini, itu adalah taktik efektif.
“Senjata baru didapat,” kata Greg. “Kalau saja ada satu lagi yang jatuh.”
Tino memang mahir dalam pertarungan tangan kosong, tetapi melawan Wolf Knight tanpa senjata jelas tidak menguntungkan. Dia memang membawa belati kecil sebagai senjata cadangan, tetapi senjata itu hanya untuk pertahanan diri minimal. Beruntung mereka bisa mendapatkan senjata yang mampu memberikan serangan mematikan.
Rhuda, yang hanya fokus mengawasi dan menghindari serangan, merasa lega. Meskipun tegang dan lelah, eksplorasi di ruang harta karun berjalan lancar. Dengan dua orang pencuri di tim, mereka memiliki keunggulan dalam pengintaian, jadi mereka tak perlu khawatir diserang tiba-tiba.
Wolf Knight tampaknya beraksi sendirian, jadi cukup mudah untuk menghindari mereka di lorong-lorong sarang. Ketika mereka terpaksa bertarung, kombinasi tim yang sederhana sudah cukup untuk mengatasinya. Gilbert, yang sombong saat rekrutmen di markas Footprints, memiliki kekuatan yang memadai, dan Greg berpengalaman dalam menyesuaikan diri dengan rekan tim.
Jika Tino menarik perhatian lawan, Gilbert dan Greg akan memanfaatkannya untuk memberikan serangan. Sebaliknya, ketika musuh fokus pada Gilbert atau Greg, Tino akan memanfaatkan celah itu untuk melancarkan serangan.
Meski situasinya genting dan berbahaya, mereka sejauh ini berhasil bertahan. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana, bahkan sampai senjata jatuh pun tampaknya sudah diprediksi. Rasanya seperti semua ini diatur oleh seseorang yang tahu segalanya.
“Seperti yang kuduga, Master benar. Master adalah seorang dewa.”
“...Uh, ya. Betul sekali,” Greg menanggapi, meski agak heran dengan keyakinan Tino yang tampak berlebihan terhadap sang Master.
Setiap hunter tentu percaya diri dengan kekuatannya sendiri, dan seorang pemimpin klan atau ketua tim harus memiliki karisma yang cukup untuk memimpin para hunter ini. Namun, keyakinan Tino terhadap Master-nya terlihat sangat berlebihan.
Greg tidak melihat karisma di Krai. Dengan pengalaman bertahun-tahun sebagai hunter, Greg merasa tidak ada “sesuatu yang menarik” yang biasanya dimiliki oleh para hunter kuat. Saat pertama kali tahu siapa sebenarnya Krai di pertemuan rekrutmen, Greg mengira itu hanya lelucon.
Bahkan setelah tahu bahwa Krai adalah “Seribu Trik,” dan walaupun dijelaskan bahwa semua ini telah direncanakan, Greg masih merasa itu sebuah kesalahan. Rasanya lebih masuk akal jika dikatakan Krai naik ke level 8 karena koneksi, tetapi dari sikap Tino yang jelas menunjukkan kepercayaan penuh, dia hanya bisa memendam komentar itu.
Jika mereka berhasil keluar hidup-hidup, mungkin akan ada kesempatan untuk memeriksa semua ini. Tapi untuk saat ini, yang penting adalah bertahan di ruang harta karun yang aneh ini.
Saat Greg menyarungkan pedangnya, Tino menepuk bahunya, dengan nada serius berkata,
“Tapi, pasti akan ada sesuatu lagi. Ujian dari Master biasanya tidak sesederhana ini...”
“Hah? Apa maksudmu?” Gilbert, dengan nada kesal, mengekspresikan kebingungannya.
Bahkan dalam situasi sekarang, hunter biasa akan memilih melarikan diri. Jika ruang harta karun ini adalah ruang yang biasa, mungkin ini tidak masalah, tetapi jika tiba-tiba muncul hal tak terduga di ruang yang penuh dengan Phantom, ini berarti situasi darurat.
Baik Rhuda, Greg, maupun Gilbert, mereka tak bisa membayangkan ujian yang lebih sulit daripada ini.
“Untuk sementara, kita lanjutkan dengan hati-hati ke dalam. Tidak ada tanda-tanda di dekat pintu masuk. Tidak ada mayat atau jejak lainnya. Target yang akan kita selamatkan mungkin ada di dalam.”
Meskipun kelelahan menekan seluruh tubuhnya, mental Gilbert Bush terasa sangat tajam. Udara tegang di medan perang, bau yang menusuk, dan munculnya Phantom yang kuat dan belum pernah terlihat sebelumnya justru tidak menimbulkan ketakutan, melainkan semangat.
“Aku sudah tak bisa terus begini. Aku tidak bisa mengikuti lagi. Aku akan keluar dari kelompok ini.”
Gilbert teringat kata-kata yang diucapkan seorang pemuda sehari sebelum dia keluar dari kelompoknya. Pemuda itu tiga tahun lebih tua dari Gilbert. Dia telah bertarung bersama Gilbert sejak Gilbert tiba di kota ini. Meskipun usianya lebih tua dan sejarahnya sebagai hunter lebih panjang, kemampuannya masih jauh di bawah Gilbert. Dia memang berusaha keras, memikirkan apa yang bisa dilakukan, bahkan sering berkonsultasi dengan Gilbert tentang strategi. Namun, perbedaan mereka semakin besar. Gilbert pun tidak pernah bermalas-malasan.
Saat dia menerima keputusan itu, dan saat anggota kelompok lainnya, dengan ragu-ragu, juga mengumumkan keputusan yang sama, Gilbert merasa sangat marah. Namun, saat ini, ketika dia menyusup ke dalam Ruang Harta yang jauh melampaui kekuatannya, dia sedikit memahami perasaan mereka. Mereka mungkin juga merasa bimbang, dan Gilbert sendiri seharusnya lebih memperhatikan perasaan mereka.
Namun, lebih dari itu, bertarung bersama anggota kelompok yang memiliki kekuatan setara atau lebih hebat membangkitkan semangat Gilbert. Sejak tiba di ibukota, dia selalu berada dalam kelompok yang sama. Walaupun kadang-kadang ada anggota sementara, pada dasarnya rekan-rekannya selalu lebih lemah daripada dia.
Namun kini, keadaannya berbeda. Dia memiliki rekan yang bisa bertarung bersamanya. Serangan Greg mungkin tidak sekuat Gilbert, tetapi dia teknikal dan cepat, mampu menyerang celah armor musuh. Serangan mendadak Tino — melompat untuk membidik leher Wolf Knight dengan akurasi tanpa keraguan — adalah pemandangan yang mengesankan. Rhuda mungkin tidak memiliki senjata yang cukup kuat untuk melukai Wolf Knight dengan fatal, tetapi dia bisa menangani pengintaian dan gangguan dengan baik. Dalam hal ini, Gilbert bahkan tidak bisa menandinginya.
Melawan Wolf Knight, musuh yang sulit untuk dihadapi seorang diri, mereka bertarung sebagai satu kesatuan. Perasaan yang sudah lama tidak dirasakannya membuat darah Gilbert membara, seolah-olah tenaga baru mengalir dalam tubuhnya, memungkinkan dia mengayunkan pedangnya yang berat tanpa merasa lelah.
Sudah beberapa jam sejak mereka memasuki Ruang Harta. Melihat Gilbert yang tetap bertenaga, Greg berkata dengan nada takjub, “Hei, kau terlihat sangat bersemangat.”
“Hmph. Aku baru saja mulai merasa hangat.”
Pada awalnya, Gilbert hanya mampu menahan serangan Wolf Knight, tetapi sekarang dia perlahan bisa mulai melawan balik. Dia memang tidak menahan diri sejak awal. Namun, entah karena faktor mental atau fisik, perubahannya sangat terasa. Satu lagi Wolf Knight tumbang, dan Gilbert menarik napas dalam-dalam.
Jika ada satu keluhan yang ia miliki, itu adalah—
“Hah... Seandainya aku punya mana untuk Pedang Purgatory ini...”
Gilbert menatap Pedang Purgatorynya dengan desahan. Saat ini, pedang itu kehilangan seluruh kekuatan sebagai senjata pusaka. Mengisi pedang itu dengan mana akan menjadi beban besar bagi Gilbert, begitu pula bagi anggota kelompok lainnya. Jika dia bisa memanfaatkan kekuatan pusaka itu, dia pasti bisa mengalahkan Wolf Knight dengan lebih mudah. Meskipun dia tidak bisa melakukan hal-hal seperti ‘seribu perubahan’, setidaknya dia bisa melapisi pedangnya dengan api untuk membakar senjata musuh.
Mendengar suara kecewa Gilbert, Tino berkomentar dengan nada mencemooh, “Pedang pusaka masih terlalu dini untukmu. Mengandalkan pusaka hanya akan membuat kemampuanmu berkarat. Itu sebabnya aku juga belum memiliki pusaka.”
“Kau... Kau belum punya pusaka?”
Gilbert, yang sudah terbiasa dengan ucapan sombong dari pemimpin kecil ini, terkejut mendengar kata-kata yang tak terduga. Benar, dia belum pernah melihat Tino menggunakan pusaka. Mempertimbangkan jumlah eksplorasi yang dilakukan di Ruang Harta, mereka pasti sudah menemukan satu atau dua pusaka. Terlebih lagi, dengan berada dalam klan besar, Tino pasti bisa mendapatkan pusaka dari rekan-rekannya jika dia mau.
Melihat ekspresi heran Gilbert, Tino melanjutkan sambil menepuk lengannya.
“Pusaka hanya untuk keadaan darurat. Tidak seharusnya digunakan dalam pertempuran biasa, dan kau tidak seharusnya bertarung melawan musuh yang tidak bisa kau kalahkan tanpa pusaka. Misi kali ini diberikan oleh Master untuk mengajarkanmu hal itu. Percayalah, ini bukan karena dia sengaja menguras mana Pedang Purgatorymu sebagai bentuk balas dendam.”
“… Itu sungguh perhatian yang berlebihan.”
Gilbert merasa sulit untuk mempercayainya, tetapi fakta bahwa Tino tidak menggunakan pusaka memperkuat kebenaran perkataannya. Memang benar, Gilbert tidak bisa menandingi Tino dalam pertarungan tangan kosong. Sambil mengernyitkan dahi, Gilbert kembali menatap Pedang Purgatorynya. Tino menambahkan, “Karena itulah, pusaka yang aku temukan di Ruang Harta akan diberikan pada Master melalui Onee-chan... guruku. Jika Master menyetujui kualitas pusaka itu, dia akan membawaku makan es krim. Jadi Master adalah dewa.”
“… Apa dia tidak sekadar memanfaatkanmu saja?”
Greg menatap Tino dengan mata berkedut.
“Tidak. Master tidak suka makanan manis, tapi dia tetap menemaniku. Jadi Master adalah dewa.”
Gilbert juga cenderung setuju dengan pendapat Greg, tetapi melihat wajah serius Tino, dia enggan untuk berdebat.
Setelah berjalan selama hampir satu jam, pandangan mereka tiba-tiba melebar. Jalan menjadi lebih luas dan langit-langitnya lebih tinggi. Rhuda menghapus keringat di dahi dengan punggung tangan sambil perlahan melihat sekeliling. Lebar jalannya cukup besar hingga beberapa Wolf Knight bisa berjajar di samping. Napas Tino tetap tenang, ekspresinya hampir tidak berubah sejak mereka memasuki Ruang Harta, dan pakaiannya tidak terganggu.
“Tampaknya ruangan raja ada di depan. Sebelum menjadi Ruang Harta, ini adalah ruang kepala kawanan Silver Moon,” kata Tino.
“Ruangan bos, ya... Haruskah kita beristirahat sebentar?” Greg mengernyit.
‘Ruangan bos’ adalah istilah dalam dunia hunter. Itu merujuk pada bagian terdalam Ruang Harta—tempat di mana Phantom yang sangat kuat sering muncul. Phantom yang muncul di Ruang Harta tidaklah acak. Secara umum, semakin dalam di Ruang Harta, semakin besar kemungkinan Phantom kuat akan muncul, terutama di Ruang Harta tipe sejarah, tempat kemunculan Phantom yang kuat biasanya sudah ditentukan.
Jika bangunan berbentuk kastil, biasanya berada di ruang tahta. Jika berbentuk menara, biasanya di lantai teratas. Jika berbentuk kapal, biasanya di ruang kapten. Dalam kasus kali ini, lokasi tersebut adalah ruang yang dulunya menjadi tempat tinggal pemimpin kawanan.
Tentu saja, tidak selalu ada ‘Bos’ di tempat tersebut, tetapi kewaspadaan tetap diperlukan. Greg mengerutkan wajah mendengar perkataan Tino, yang kemudian memeriksa kondisi timnya—Gilbert, Rhuda, dan Greg. Level sertifikasi mereka adalah Rhuda di level 3, sementara yang lainnya di level 4. Masing-masing adalah hunter berlevel menengah.
Pada level 3, kekuatan fisik dan mana mereka telah diperkuat hingga level tertentu. Pertarungan mereka sejak memasuki istana harta karun ini adalah perjuangan hidup-mati tanpa celah untuk berleha-leha. Namun, Gilbert dan Rhuda masih menunjukkan ekspresi yang tenang. Meski lelah, mereka masih sanggup bertarung tanpa harus beristirahat. Gilbert menyadari tatapan Tino yang memastikan kondisinya, lalu mengepalkan tangannya kuat-kuat.
“Aku masih bisa lanjut,” kata Gilbert.
“Aku juga… kurasa masih bisa bertahan untuk beberapa pertarungan lagi,” tambah Rhuda.
Tidak ada tempat yang benar-benar aman di istana harta karun. Jika mereka memiliki anggota yang bisa membuat barikade, keamanan mungkin bisa dijaga hingga tingkat tertentu, tapi tim ini tidak memiliki anggota dengan kemampuan tersebut. Lagipula, bahkan jika mereka tetap berada di satu tempat, ada kemungkinan bahwa serigala malam yang berkeliaran akan menemukan mereka.
Setelah memastikan kondisinya, Tino membuat keputusan seketika. “Kita akan memeriksa ruang bos dulu baru memutuskan selanjutnya. Target penyelamatan seharusnya berada di dekat sini. Akan lebih baik jika kita segera menyelamatkannya dan kembali.”
“Oke, Pemimpin. Mari kita hajar mereka!” ujar Greg sambil mengatur napas dan menatap ke arah ruang bos.
Dengan berhati-hati agar tidak mengeluarkan suara, mereka bergerak di sepanjang tepi lorong menuju ruangan tersebut. Meskipun jarak pandang tidak terlalu baik, mereka bisa melihat dengan bantuan batu bersinar yang diletakkan setiap beberapa meter, mungkin oleh hunter sebelumnya.
Sekitar sepuluh meter dari ruang bos, Tino berhenti. Ia menutup mata, menempelkan telapak tangannya pada dinding, dan memusatkan pendengarannya serta penciumannya untuk melacak keberadaan apapun yang jauh dari jangkauannya. Ia merasakan aliran udara dingin yang menyentuh pipinya, dengus nafas rekan-rekannya yang disembunyikan, dan detak jantung mereka.
Setelah beberapa saat berkonsentrasi, Tino menghela napas panjang. “…Ada sesuatu di sana.”
“Uh, mungkinkah itu target penyelamatan kita?” tanya Greg.
“Sembilan puluh persen itu adalah Bos. Lagipula, jika ada tugas dari Master, biasanya ada makhluk besar yang menunggu,” jawab Tino.
“Serius?” Greg menampakkan wajah tidak tahu bagaimana harus bereaksi, bingung apakah ia harus heran atau mengeluh karena seolah-olah ia terlalu sering mengalami hal-hal yang mustahil untuk diceritakan.
Phantom yang muncul di ruang bos biasanya satu atau dua tingkat lebih kuat daripada yang biasa mereka hadapi. Berdasarkan kekuatan serigala malam yang mereka lawan di perjalanan, musuh ini seharusnya masih bisa dikalahkan dengan usaha maksimal mereka. Tapi jika dilihat dari sudut pandang seorang hunter biasa, itu adalah tindakan yang nekat.
Greg mencoba memberi saran, “Bagaimana kalau kita mundur saja?”
Mendengar itu, alis Tino sedikit berkerut. “Kau juga bilang begitu di awal.”
“…”
“Tapi, kita berhasil sampai di sini hampir tanpa cedera. Bosnya juga pasti bisa kita atasi.”
Kata-kata Tino tersebut membuat Greg terdiam dan memikirkan ucapan itu dalam-dalam. Meski pernyataannya masuk akal, tetap saja ada bagian dari dirinya yang merasa keberatan.
Greg mengernyitkan alis, mencoba mengingat, tetapi gagal. Saat Greg terdiam, Tino mengucapkan sesuatu yang sulit dipercaya.
“Master mengajakmu ke dalam party ini mungkin demi tujuan itu.”
“Apa!?”
“Misi ini adalah kesempatan terbaik untuk mengatasi keadaan sulit yang sedang kau alami, Greg. Kalau bukan karena itu, tidak ada alasan bagi Master untuk memasukkanmu hanya karena pertemuan singkat di tempat perekrutan anggota. Master mencoba menyelamatkan semua orang. Dengan kata lain, Master itu seperti dewa.”
“Itu...,” Greg menelan ludah.
Memang benar. Kata-kata Tino membuatnya berpikir. Sungguh misterius kenapa dia menarik perhatian “Sang Seribu Trik”. Pertemuan mereka hanya sesaat dan bukan interaksi yang terlalu baik. Masuk akal jika Rhuda dipilih, tetapi dirinya? Itu benar-benar aneh. Saat Tino datang memanggilnya, Greg bahkan sempat berpikir mungkin terjadi kesalahan identitas.
Greg terkejut. Saat dia melihat ke arah dua orang lain yang juga terdiam, Tino berkata dengan nada heran.
“Kalian benar-benar berpikir Master asal memanggil orang sembarangan? Master tidak akan melakukan hal seperti undian acak. Semua ini adalah hasil dari perhitungan cermatnya. Dengan kata lain, Master itu seperti dewa.”
Tino menegaskan, membuat Greg memandang Gilbert dengan perasaan tidak percaya. Entah dewa atau bukan, yang dikatakan Tino memang masuk akal. Masalahnya, bayangan tentang Master yang Tino bicarakan tidak sesuai dengan pemuda yang ditemuinya.
“Sang Seribu Trik,” seorang hunter level 8 yang namanya terkenal, namun identitasnya tak diketahui. Greg menggigil saat mengingat julukan yang disematkan pada pemuda itu.
Dengan ragu, Rhuda mengangkat tangan. “Kalau begitu... kenapa aku dipanggil?”
Tino memandang Rhuda dengan enggan, matanya berhenti di bagian dadanya yang jauh lebih besar. Meskipun mengenakan jaket kulit yang sama, desainnya tampak sangat berbeda. Tino menatap dengan ekspresi serius, lebih ketat dari saat dia menghadapi phantom.
Saat memperkenalkan Rhuda, Master berkata seseorang ingin pergi ke ‘Sarang Serigala Putih.’ Namun, jelas itu hanya alasan. Memilih anggota party untuk misi yang mematikan tak mungkin berdasarkan alasan remeh seperti itu. Jika memang itu alasan sebenarnya, perkataannya tentang memilih ‘Gilbert dan Greg’ secara acak juga akan menjadi kenyataan, sesuatu yang tak mungkin dilakukan oleh ‘Master yang tercinta.’
Rhuda menatap dengan ragu. Setelah beberapa saat, Tino menghela napas dan berkata, “Aku tidak tahu... mungkin karena dadamu besar. Tapi aku juga akan segera tumbuh besar. Tidak seperti ‘Onee-chan’ yang sudah selesai tumbuh.”
“Apa!? Tadi kau bilang apa!?”
“Tidak tahu. Jangan bermain-main, kita harus segera mengalahkan bos dan menyelesaikan misi ini. Aku akan memimpin.”
“Tunggu! Apa maksudnya!?”
Mengabaikan Rhuda yang berteriak, Tino bergerak maju mendekati ruangan bos. Wolf Knight besar, kuat, tangguh, dan berbahaya. Namun, dalam hal kecepatan, Tino lebih unggul. Gurunya, Lise Smart, juga seorang pencuri (thief), dan Tino telah berlatih banyak dengan orang yang jauh lebih cepat darinya. Penglihatannya cukup tajam untuk mengikuti setiap gerakan Wolf Knight.
Masalahnya adalah apakah dia bisa melukai tubuh besar yang dilindungi bulu tebal itu. Pada dasarnya, peran thief bukan untuk mengalahkan phantom dan pelatihan Tino lebih terfokus pada kecepatan.
“Aku rasa hanya satu. Sebelum phantom lain datang, kita selesaikan ini.”
Masing-masing bersiap untuk bertarung. Greg menghunus pedangnya, Gilbert mengangkat pedang penyiksa (Purgatory Sword), dan Rhuda menghunuskan belati sambil menjaga jarak.
“Tanpa tahu siapa musuhnya, sebaiknya aku maju dulu,” saran Gilbert. Tino menghela napas dalam-dalam dan tersenyum.
“Tidak apa-apa. Onee-chan pernah berkata, ‘Serangan pertama itu simbolis. Aku harus mendapatkannya.’”
“Itu hanya berbahaya. Apa manfaatnya menyerang lebih dulu?” Tino meluruskan tangan dan kakinya, melemaskan otot, dan mengangguk.
“Aku... seorang hunter.”
Tino mulai berlari menuju ruangan bos.
Ruangan bos luas, lebih dari sepuluh meter persegi, dengan langit-langit lebih tinggi. Di tengah ruangan, bayangan besar berdiri, membuat ruangan tampak sempit. Seekor serigala besar, memegang kapak perang berwarna merah darah sebesar tubuh Tino.
Tubuhnya tertutup baju besi hitam tanpa celah, dua kali lebih besar dari Wolf Knight yang pernah ditemui Tino. Itu adalah sosok menyeramkan, dengan bulu berwarna perak bulan yang mengerikan.
Tino berlari melewati sisi serigala itu, sementara sang ksatria serigala menoleh perlahan, matanya yang seperti raja menangkap sosok Tino. Sebuah aura pembunuh melintasi tubuh Tino, dan serigala itu menggeram.
Sambil memperhatikan gerakannya, Tino berpikir bahwa menghadapi serigala dengan baju besi penuh adalah skenario terburuk. Tino ahli dalam teknik tendangan, tetapi tidak cukup kuat untuk menghancurkan baju besi ini, dan jika dia melukai kakinya, kecepatan yang hilang berarti kematian.
Sampai sebesar ini, bahkan memastikan apakah dia bisa kehilangan keseimbangan pun sangat meragukan. Jantung Tino berdegup kencang karena ketegangan, dan yang lebih dari itu, kegembiraan yang kuat menyesakkan hatinya. Kapak besar itu mengayun ke arahnya. Kapak tempur pada dasarnya adalah senjata yang sulit diayunkan. Kekuatan serangan memang tinggi, tetapi berat, dan pusat gravitasinya cenderung pada bagian mata kapaknya, sehingga sulit menjaga keseimbangan setelah mengayunkannya tanpa kekuatan yang cukup besar.
Namun, serigala itu mengayunkannya dengan mudah, seolah-olah itu hanya sebatang kayu. Mata kapak yang sangat besar, lebarnya hampir satu meter. Serangan yang dilancarkan dengan kecepatan menakutkan itu berhasil dielakkan Tino dengan melangkah kuat ke samping. Mata kapak itu melewati tepat di depan Tino, seperti pendulum. Mata kapak itu membelah udara.
Meskipun Tino telah menghindar sepenuhnya, angin yang kuat akibat ayunan kapak itu menerpa seluruh tubuhnya. Itu adalah serangan yang mengerikan. Sekadar tersentuh pun, tubuh Tino pasti akan terpental. Mata yang merah bagai darah, dipenuhi dengan kebencian, menatap Tino. Badan besar itu berputar. Hanya untuk berbalik saja, gua kecil itu bergetar sedikit.
Meskipun ukurannya besar, gerakannya tidak terlihat lamban sedikit pun. ─Kuat. Tino terkesiap melihat serangan yang menyerupai raja lalim itu. Ia berusaha keras memikirkan cara untuk menang. Jika hanya melarikan diri, mungkin masih bisa. Masalahnya adalah sulitnya mengalahkan musuh itu. Menerima serangan kapak berat dari depan pun akan sulit bahkan bagi Gilbert.
Selain itu, pedang Purgatori pun tidak mungkin memotong baju zirah tersebut. Dia menyusup di bawah lengan yang diayunkan. Sambil lewat, dia menebas bagian kaki yang dilindungi zirah dengan pedang pendeknya. Suara logam bertabrakan menggema, meninggalkan getaran yang menyengat di telapak tangannya.
Meskipun zirahnya hanya tergores sedikit, keseimbangannya tetap tidak terganggu sama sekali, seolah-olah berakar kuat ke tanah. Yang lebih penting lagi, serigala itu memiliki kecerdasan. Mata merah penuh kebencian itu terus menatap Tino, tetapi waspadanya juga diarahkan pada sekelilingnya. Ini berbeda dengan Wolf Knight yang mereka lawan sebelumnya. Serangan mendadak tidak akan berhasil.
Anggota lainnya mendekat dari belakang, dari pintu masuk─dari arah belakang bos itu, dan mereka berhenti setelah melihat kegagahan musuh mereka. Pada awalnya, rencana mereka adalah agar Tino menjadi umpan, lalu menyerang dari belakang.
Namun, sepertinya Gilbert dan yang lainnya pun memahami setelah sekali lihat. Bahwa serigala itu sepenuhnya waspada terhadap kemungkinan serangan mendadak. Gilbert dan Greg yang memahami situasi dengan benar mengangkat pedang mereka dan dengan cepat menyebar ke kanan dan kiri.
“Apa-apaan ini?! Musuh macam apa ini?!”
“Celaka! Aku belum pernah melihat yang seperti ini!”
Mata Gilbert melebar melihat kapak besar yang berayun ke atas dan ke bawah. Greg menatap tajam ke arahnya, mencari kelemahan. Rhuda mengambil posisi sedikit berjauhan sesuai rencana, mengamati seluruh tubuh musuh sambil tetap waspada.
Serigala perak itu dikepung oleh empat musuhnya, tetapi tetap tidak terlihat panik. Dia bahkan tampak memiliki wibawa seorang raja. ─Kepala. Tino menarik kesimpulan. Bos ini jauh lebih kuat daripada Wolf Knight biasa, tetapi hanya satu bagian yang sama, yaitu dia tidak memakai helm. Kelemahannya mungkin sama seperti Wolf Knight. Masalahnya adalah ukuran tubuh bos ini yang jauh lebih besar dari Wolf Knight biasa.
Jika ingin mencapai kepala, Tino harus melompat dengan kekuatan penuh, tetapi itu akan membuatnya terbuka tanpa perlindungan. Serangan dari belakang juga mungkin tidak akan berhasil, dia hanya akan diayunkan saja. Mata serigala itu memperhatikan seluruh tim, namun tetap paling waspada terhadap Tino. Ada kecerdasan yang sangat mirip dengan manusia dalam tatapan itu.
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Mundur saja?”
Beruntungnya, meskipun berada di depan bos ini, Gilbert, Greg, dan juga Rhuda, tidak dikuasai oleh ketakutan. Pada awalnya, Tino melihat mereka tampak lemah, tetapi selama perjalanan mereka ke sini, Tino telah melihat bahwa mereka memiliki keberanian. Jika mereka tidak punya keberanian, pasti mereka sudah melarikan diri sebelum sampai ke ruang harta ini.
Jika ada peluang untuk menang, itu ada pada mereka. Bos ini adalah lawan yang sulit dikalahkan seorang diri oleh Tino. Berbeda dengan Wolf Knight yang bisa dia tangani sendiri. Namun, sekarang Tino memiliki teman. Anggota tim yang telah bersamanya sejauh ini. Ini adalah ujian. Melihat serigala yang mengobarkan semangat juangnya, Tino mengerti.
Krai Andrey memberikan ujian hidup dan mati kepada anggota yang dianggapnya berbakat. Seperti yang disebutkan dalam kata-kata dari anggota “Duka Janggal (Strange Grief)” dan dari julukannya─ujian seribu. Ini adalah langkah pertama menuju kejayaan (First Step). Dan Tino harus mengatasinya.
“Tahan serangannya. Aku akan lakukan sesuatu.”
“Uoooooo!”
Gilbert berteriak, dan dengan itu, pertempuran pun dimulai. Pemandangan itu adalah pertempuran paling hebat yang pernah dialami Rhuda Runebeck. Kapak besar yang berayun naik turun itu seperti badai. Gilbert membuka matanya selebar mungkin, menahan setiap serangan yang datang dari atas atau dari samping dengan pedang Purgatori. Setiap kali pedang bertemu pedang, kedua tangan Gilbert menggenggam gagangnya erat. Purgatori memang pedang besar, tetapi kapak Wolf Knight berbalut tengkorak manusia itu jauh lebih besar.
Serangan besar memang menyisakan celah, tetapi setiap pukulan yang dilontarkan memiliki kekuatan yang luar biasa, dan Gilbert yang biasanya tak pernah mundur, kini terdesak mundur sedikit demi sedikit saat memantulkan setiap serangan.
Menerima serangan dari depan adalah sesuatu yang tidak mungkin. Meskipun Gilbert memiliki sifat yang berani, dia juga seorang pemburu yang telah melalui beberapa tahun pelatihan dan memiliki pengalaman bertarung dengan musuh yang lebih kuat dari dirinya. Peluh mengalir di dahinya. Napasnya terdengar berat, tetapi dia tetap menerima setiap pukulan yang mematikan dan menangkisnya tepat waktu.
“Celaka! Zirah ini terlalu keras! Tidak mungkin menembusnya dengan pedangku!”
Sambil menahan serangan, di sebelah Gilbert, Greg berusaha menyerang setiap celah sekecil apapun. Namun, serangan tajamnya pada tangan, lengan, atau gagang kapak itu hanya mampu menunda sedikit laju serangan bos. Kemampuan bertarung bos memang tidak terlalu tinggi.
Setidaknya, dia tidak setingkat Tino dan timnya. Namun, dia keras, besar, cepat, dan kuat. Hanya dengan itu, dia mampu menguasai empat orang sekaligus. Kapak yang berputar menghalau Gilbert dan Greg di depan, sambil tetap menjaga agar Tino tidak dapat mendekat dari sudut mati. Wolf Knight perak ini tampaknya benar-benar menganalisis kekuatan anggota tim.
Dan, prioritasnya bukanlah Gilbert yang memegang pedang besar atau Greg yang bertubuh besar, melainkan pemimpin yang ramping. Baru kali itu Rhuda menyadari betapa mengerikannya kecerdasan tinggi yang ditunjukkan oleh “phantom.” Dan juga—betapa gemilangnya para pemburu yang berhadapan dengannya.
Tino menghindari ayunan kapak perang dengan gerakan seminimal mungkin. Beberapa helai rambut hitamnya yang mengkilap terserempet oleh kapak dan beterbangan di udara. Keringat mengalir di kulitnya karena menghindari mata kapak yang melintas di depannya, namun matanya tetap terbuka lebar, penuh konsentrasi tanpa ada tanda ketakutan.
Mengapa dia bisa bergerak begitu? Mengapa dia tetap tenang di hadapan serangan yang bisa membunuhnya jika terlambat satu detik? Tino memang tidak luar biasa cepat. Bahkan jika secepat apapun, dia tidak akan bisa bergerak lebih cepat dari kapak yang terayun. Yang terlihat darinya adalah keberanian. Di tengah tekanan luar biasa itu, Tino dengan elegan dan tenang menghindari serangan, sebuah pemandangan yang menggetarkan hati Rhuda.
Selama ini, Rhuda yang selalu beraksi sendirian, belum pernah melihat pergerakan pencuri yang levelnya lebih tinggi darinya kecuali di tempat pelatihan serikat. Gerakan dan keterampilan yang pernah dia lihat memang luar biasa, tetapi tak pernah menggetarkan hatinya. Namun, melihat sosok Tino yang tak gentar di hadapan lawan yang jauh lebih kuat hari ini, dia merasa berbeda. Rhuda merasa tergetar oleh kekaguman kuat pada gadis muda yang mungkin sebaya atau lebih muda darinya.
“…Dasar, keras sekali! Pedangku tak bisa menembusnya!” Gilbert menggerutu, entah sudah berapa kali dia menahan serangan. Setiap ayunan kapak perang yang menghantam terasa seolah memotong dunia. Walau “phantom” itu pasti punya batas stamina, namun tak tampak tanda-tanda serangan kapaknya melemah.
Walaupun tidak menahan secara frontal, beban pada lengan Gilbert setiap kali ia menahan serangan pasti sangat berat. Jika pedangnya bukanlah senjata harta, pasti sudah patah. Suara benturan senjata yang memekakkan telinga menggema di gua yang remang-remang. Gilbert dan Greg bertahan mati-matian dari ayunan kapak yang menghantam mereka berdua. Keadaan yang jelas menguntungkan sang bos, terlihat jelas bahkan dari posisi Rhuda yang berada di jarak aman.
Tak ada yang terluka parah, sebuah keajaiban.
Namun—keajaiban itu tak akan berlangsung lama.
“…Eh?” Suara siapa itu? Suara berat menggema. Sebilah pedang berukuran setengah panjang berputar di udara. Mata Gilbert dan Tino terbelalak melihatnya. Namun, yang paling terkejut mungkin adalah Greg, yang pedang panjangnya kini patah di tengah, menyisakan ujung pedang yang terjatuh ke tanah dengan suara kering.
Orang yang pertama kali menyadari kenyataan itu adalah Rhuda yang melihat dari kejauhan—dan “phantom” yang dihadapinya.
Waktu terasa terpotong. Dalam momen yang seolah diperlambat, Rhuda melihat wajah bos yang menyeringai keji, memperlihatkan rahangnya yang besar. Pandangan bos itu tertuju bukan pada Tino atau Gilbert, melainkan pada Greg yang terkejut. Kapak perang yang diangkat tinggi-tinggi siap dihantamkan. Secara refleks, Rhuda melempar belati yang digenggamnya.
Belati itu berputar di udara menuju wajah bos. Meskipun dilempar tanpa berpikir panjang, senjata itu kemungkinan besar tidak akan melukai kepala bos yang tertutup bulu dan tulang tebal. Namun, bos itu menanggapi belati yang melesat dengan kewaspadaan tinggi. Dia memiringkan kapaknya dan memukul belati itu dengan sisi kapaknya.
Sebuah jeda sesaat. Gilbert segera memposisikan diri, dan dengan kekuatan penuh menahan kapak yang terayun. Menangkis akan membuat Greg terkena serangan. Kali ini, Gilbert menahan secara langsung. Dalam sekejap, Gilbert berlutut, terdorong ke belakang.
Namun, jeda itu cukup. Saat itu, tubuh Rhuda yang bergerak cepat sudah mendorong Greg yang jauh lebih besar darinya. Rhuda berada di luar pertempuran untuk keadaan darurat seperti ini.
Kapak raksasa melesat melewati punggung Rhuda dan menebas bekas tempat Greg berdiri. Dengan suara berat, mata kapak yang besar itu menghantam tanah, membuat celah yang dalam. Rhuda dan Greg berguling di tanah. Sambil berguling, mereka melirik ke arah bos. Sebuah celah besar muncul. Tino sudah melompat. Menginjak bagian belakang kapak yang tertanam di tanah, tubuh mungil Tino melayang di udara.
Mata bos yang awalnya dipenuhi dengan kebencian sejenak menunjukkan ekspresi keterkejutan. Keputusan bos hanya berlangsung sekejap. Dari kedua tangan yang menggenggam kapak perang, tangan kiri dilepaskan untuk mengejar Tino.
Lompatan Tino melampaui tubuh besar bos dengan jauh. Cakar yang mencuat dari pelindung tangan bos hampir menyentuh kaki Tino yang sedang melompat di udara. Wajah Tino yang anggun menunjukkan ekspresi kesakitan saat darah segar menyembur dari paha kanan yang terluka. Namun, gerakannya tidak berhenti.
Tino kemudian mendarat di punggung bos. Pedang pendek berwarna merah yang dia genggam berkilauan, dan tanpa suara, dia menusukkan pedang itu ke leher bos. Tubuh besar itu terkejut sejenak. Mata yang mengeluarkan darah berputar, dan tangannya menggapai seolah ingin meraih Tino yang menempel di punggungnya. Namun, akhirnya cakarnya tak berhasil menangkap Tino, dan tubuh besar itu berlutut. Saat Tino mendarat, tubuh besar dari Phantom menghilang.
“Berhasil...?”
Gilbert berkata sambil terengah-engah dengan nada terkejut. Pedang Purgatory jatuh dari tangannya dan menggelinding di tanah dengan bunyi berat. Suaranya kali ini terdengar lebih muda, sesuai usianya.
“Tamat.”
Tino memegang pahanya yang terluka dan berkata dengan suara dingin tanpa emosi. Dia duduk di tanah dan memeriksa luka panjang yang mengalir di paha kanannya. Untungnya, meskipun luka itu tidak mengenai arteri utama, tetap saja tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jika tidak berhasil mengakhiri serangan tadi, mungkin Tino tidak akan bisa melarikan diri.
Sambil menahan rasa sakit, Tino mengambil botol kaca kecil berisi cairan merah muda dari sabuknya. Cairan itu adalah ramuan sihir yang diciptakan oleh Alkemis untuk menyembuhkan luka. Di pesta tanpa penyembuh, ramuan ini adalah barang yang tak tergantikan. Tino menuangkan isi botol ke luka di pahanya, dan meskipun terasa perih, luka itu segera menutup.
Greg yang sebelumnya terlempar bangun dan memandang pedangnya yang patah dengan ekspresi pucat.
“Nyaris... kupikir aku akan mati. Sial, pedangku patah di saat seperti ini.”
“Masih untung kau hidup, kan, pak tua?” ujar Tino.
Greg tersenyum getir dan mengangguk. Dia lalu memandang ke arah Rhuda yang telah menolongnya meski mempertaruhkan nyawa.
“Terima kasih, Rhuda.”
“Syukurlah aku bisa tepat waktu. Tino, kau baik-baik saja?”
“Tidak masalah. Aku bisa berjalan. Seiring waktu, rasa sakit ini akan hilang.”
Tino mengambil pedang pendek berwarna merah miliknya dan memberikannya pada Greg sebagai pengganti pedang yang patah.
Gilbert dan Greg kemudian duduk di tanah dengan napas terengah-engah sambil meneguk air dari kantung mereka. Rhuda memikirkan kembali pertempuran yang barusan terjadi dan berkata,
“Jika ada yang seperti itu di sini... para hunter yang tersesat juga mungkin dalam bahaya.”
“Oh... ya, level lima, ya? Kalau mereka melawan makhluk seperti ini, mungkin mereka dikalahkan.”
Mendengar itu, Tino mengernyitkan dahi. Memang, bos yang baru saja mereka lawan sangat kuat, lebih kuat dari yang Tino perkirakan sebelum masuk ke dalam istana harta karun ini. Melawan bos ini bahkan dengan tiga anggota level empat sangatlah sulit.
Namun, anehnya, tidak ada tanda-tanda jejak yang ditinggalkan oleh pemburu yang tersesat di sekitar ruangan bos ini, yang biasanya dilakukan untuk memberitahu kelompok penyelamat. Tino menatap ke sekeliling, merasa kebingungan.
“Master... aku benar-benar tidak mengerti...!”
Dengan suara yang sedikit muram, Tino bergumam pelan. Tepat saat itu, telinganya menangkap sebuah suara. Melihat Tino mengangkat wajah, salah satu anggota yang sedang duduk kelelahan memandangnya dengan ekspresi curiga.
“Ada apa, pemimpin?”
“Berdiri. Ada sesuatu yang datang.”
“!? Phantom?”
Ketegangan dan kelonggaran. Mereka baru saja bebas dari ketegangan pertempuran melawan bos, dan tubuh yang hampir tak berdaya karena kelelahan memaksa mereka untuk bangkit kembali.
Tino berbalik dan menghindar, menyadari sesuatu yang melesat di udara. Sebuah panah panjang berwarna merah menancap di dinding dengan suara tumpul. Wajah Tino seketika memucat.
“…Apa?”
Gilbert terlambat bersuara, terdengar kebingungan.
Dari jalan di depan yang terhubung ke ruangan bos—jalur yang Tino dan yang lainnya lewati saat mereka datang—muncul sosok kesatria serigala perak yang mengenakan baju zirah hitam, yang baru saja mereka kalahkan dengan susah payah. Namun, kali ini mereka tidak hanya menghadapi satu.
Delapan mata merah, dari empat sosok kesatria serigala, menatap tajam ke arah Tino dan timnya.
Apakah bos yang baru saja mereka kalahkan sebenarnya sedang menunggu teman-temannya? Pikiran itu melintas di benak Tino. Jika dipikirkan lebih jauh, gerakan bos sebelumnya tampak terlalu hati-hati, seolah-olah sedang mengulur waktu.
Getaran langkah mereka membuat tanah bergetar. Greg memandang dengan ekspresi seperti melihat mimpi buruk, bibirnya gemetar.
“Ini… tidak masuk akal…”
Meski mirip dengan bos yang mereka kalahkan, tiap kesatria serigala ini memiliki senjata yang berbeda. Ada pedang besar, tongkat raksasa yang hampir setinggi langit-langit, busur besar yang jelas tak mungkin digunakan di ruangan, dan sebuah senjata api berwarna besi hitam dengan tali peluru panjang yang menjulur hingga menyentuh tanah.
Mereka bergerak dengan tenang saat memasuki ruangan, menunjukkan keunggulan mereka yang jelas. Namun, di mata mereka terpancar kebencian terhadap manusia yang sama seperti yang baru saja mereka kalahkan.
Rhuda, dengan suara gemetar, berbisik, “Bagaimana bisa? Padahal sudah kita kalahkan…”
“Bukan bos… mungkin?”
Mereka tahu bahwa bos tak selalu hanya satu, tetapi kemungkinan ini benar-benar di luar dugaan.
“…Master, tambahan musuh ini… ini terlalu berat.”
Mereka sulit percaya. Memang, ujian kali ini berjalan lebih mulus dari biasanya, tetapi kemenangan sepertinya tak mungkin dicapai.
Sambil tercenung, Tino menyentuh paha kanannya yang terluka sebelumnya. Rasa sakitnya masih tersisa. Bertarung seperti sebelumnya jelas tak memungkinkan. Jika lukanya terbuka lagi, harapan untuk menang akan hilang.
Di hadapan Tino dan tim yang tampak kecil dan lemah, para kesatria serigala perak membentuk formasi. Dengan pedang besar dan tongkat di depan, serta senjata api dan busur di belakang, pergerakan mereka terlihat disiplin, seperti tentara kekaisaran, berbeda dari kesatria serigala yang mereka hadapi di sepanjang jalan sebelumnya.
Greg, dengan tergesa, mengangkat pedang pendek merahnya. Namun, di hadapan empat kesatria serigala besar, sikapnya tampak tak meyakinkan. Gilbert juga tak lagi menunjukkan keberanian seperti sebelumnya, meski ia mengangkat pedang berapinya.
“Apa yang harus kita lakukan?”
Dengan suara tertahan, Tino yang berusaha tetap tenang menjawab. Sebagai pemimpin, dia harus membuat keputusan. Jika dia goyah, timnya akan runtuh. Tidak ada yang bisa dia andalkan sekarang.
“Kita harus melakukannya…”
Luka di kakinya tidak parah, tetapi melarikan diri juga tidak mungkin. Musuh mereka memiliki senjata jarak jauh, dan jika mereka berbalik, mereka akan ditembak. Bahkan Tino tidak dapat bergerak lebih cepat dari peluru.
Namun, menyerah bukanlah pilihan. Dia harus berjuang demi keselamatan timnya. Dengan hati yang hampir putus asa, dia mencoba mencari jalan untuk bertahan hidup.
Kepercayaan pada Master adalah satu-satunya yang menopangnya. Dia percaya bahwa Krai tidak mungkin memberinya misi yang tak bisa diselesaikan. Kepercayaan itu, bagai keimanan, membantu Tino tetap waras.
Dengan tetap memperhatikan empat musuh di depannya, dia melirik ke arah jalan di kanan yang menghubungkan ke ruangan bos. Kesatria serigala perak ini lebih besar dari biasanya. Jika mereka masuk ke jalur yang lebih sempit, gerakan mereka akan terhambat.
Dengan tenang, dia memberi instruksi kepada tim. Tubuh mereka yang tadinya gemetar sedikit berhenti.
“Kita tak mungkin menang di ruangan besar ini. Kita kabur ke jalur kanan. Di jalur sempit itu, kita bisa membatasi jumlah musuh yang dihadapi sekaligus. Pedang dan tongkat besar mereka juga tak akan bergerak leluasa karena langit-langit rendah. Aku akan jadi yang paling belakang.”
Kemudian, pertarungan putus asa dimulai.
Auman mereka menggema seperti petir, mengguncang ruangan. Suara itu, yang bahkan bisa mengguncang gua saat mereka hanya satu, kini terasa nyata berkat kehadiran empat kesatria. Tubuh mereka bergeming, memperlihatkan ketenangan yang mengerikan seakan memastikan tak ada satu pun yang akan lolos.
Melihat kesatria dengan tongkat raksasa yang mencoba menghalangi jalur di kanan, Gilbert melangkah maju. Menyerang mereka tak mungkin, tetapi jika mereka tak mencoba membuka jalan, tim akan musnah.
Dengan berteriak keras, ia mengayunkan pedang apinya. Keletihan yang ekstrim tidak mengurangi ketajaman serangannya, malah justru menambahnya. Ujung pedang merah besar itu berkilauan samar, membara karena energi magis yang dikeluarkan Gilbert secara refleks.
Dalam menghadapi tebasan yang tajam, kesatria dengan tongkat itu memukul balik. Energi destruktif murni dari pukulan tongkatnya bahkan tak memberikan perlawanan; serangan Gilbert justru terpental, membuat tubuhnya terlontar.
Gilbert terjatuh, dan Rhuda berteriak tanpa suara. Untungnya, dia masih sadar dan segera bangkit, meskipun wajahnya menunjukkan keputusasaan.
“…Tak mungkin… Itu terlalu kuat…”
Tongkat itu begitu berat, begitu besar. Dia tak bisa menangkisnya, apalagi menghancurkannya.
Greg maju dengan pedang pendeknya, mengincar kesatria bertongkat yang baru selesai mengayun. Kesatria itu dengan cepat mengayunkan tongkatnya kembali. Greg meloncat mundur dengan cepat saat ujung tongkat hampir menyentuh tubuhnya.
Rhuda menarik belati baru dan melemparkannya, tak lagi memiliki waktu untuk menganalisis. Kesatria dengan pedang besar mengaum dan maju, dan Tino melompat dengan tekad bulat menghadapi mereka.
Pedang yang diayunkan ke bawah dihindari dengan langkah cepat. Pedang yang diayunkan menyerong ke atas juga dihindari dengan satu langkah mundur. Serangan pedang besar lebih cepat daripada serangan kapak perang, namun masih bisa dihindari. Tetapi, sekali terkena pukulan, tubuhnya bisa terbelah. Yang paling membuatnya putus asa adalah, tidak ada sedikit pun peluang untuk menang.
Mata mereka bertemu. Keringat dingin mengalir di kening Tino. Kekuatan serangan mereka kurang. Pedang pendek yang tadi digunakan telah diberikan kepada Greg. Ia hanya memiliki belati, tetapi meskipun ditusukkan dengan sekuat tenaga, belum tentu bisa menembus kulit binatang itu. Tino berpikir keras, mencoba menemukan jalan keluar.
Ini adalah ujian. Ujian yang diberikan oleh Master. Pasti ada petunjuk untuk menyelesaikan ini. Mengarahkan serangan panah atau senjata api untuk membuat mereka salah sasaran dan mengalahkan mereka? Mustahil. Prajurit-prajurit serigala di barisan belakang tidak tampak hendak menyerang. Entah mereka sudah membaca pikiran Tino atau mereka merasa pedang besar dan tongkat saja sudah cukup untuk membunuh Tino dan kelompoknya.
Tidak perlu mengalahkan mereka. Yang terpenting adalah mundur dari tempat ini. Tino terus menghindari ayunan pedang yang melintas dari segala arah. Paha yang baru saja sembuh dari luka mulai terasa nyeri lagi.
Serangan prajurit serigala yang menghalangi jalan di sebelah kanan memang lebar. Senjata yang berupa tongkat logam raksasa itu terlalu besar untuk digunakan layaknya pedang, meskipun prajurit serigala ini memiliki kekuatan besar. Mungkin Tino dan Rhuda yang lebih lincah bisa lolos. Namun, ia segera menepis pikiran itu.
Tidak ada waktu untuk itu. Jika Tino mundur sekarang, pedang besar itu akan bebas dan bisa saja Greg atau Gilbert terbunuh. Tidak ada waktu untuk mengalahkan prajurit serigala bertongkat dari belakang. Tino tahu, kekuatannya tidak cukup besar untuk itu.
Prajurit serigala bertongkat itu maju perlahan, menekan Greg dan Gilbert. Gilbert sesekali menyerang, tetapi serangan itu ditahan dengan tenang, dan serangan balik tidak dilakukan. Mungkin mereka tidak menyerang agar tidak memberi kesempatan mundur. Atau mungkin mereka menunggu Tino kelelahan, karena tahu posisi mereka jauh lebih menguntungkan.
Seluruh tubuh terasa seperti terbakar. Tino terus menghindar dengan gerakan seminimal mungkin, namun ia tahu ini tidak akan bertahan lama. Waktu berpihak pada musuh. Apa yang harus dilakukan? Bagaimana caranya?
“Tino, larilah! Kami akan menahan mereka!”
Gilbert berteriak sambil menyiapkan pedang nerakanya menghadapi tubuh besar prajurit serigala. Suaranya penuh keteguhan. Greg juga mengangguk dengan ekspresi pahit.
“Kalau memang itu satu-satunya cara, sial... betapa tidak beruntungnya kita kali ini.”
Kadang, seorang pemburu harus membuat keputusan akhir. Ada saat-saat di mana mereka harus meninggalkan rekan untuk menyelamatkan diri.
“Tino, Rhuda. Lakukan apa saja agar kalian bisa lolos. Sampaikan ini ke Guild Penjelajah,” kata Greg serius.
“Tidak mungkin…”
Rhuda terkejut mendengar kata-kata Greg. Namun, Greg hanya menunjukkan wajah serius.
“Bagaimanapun juga, kita akan habis di sini. Lebih baik daripada mati semua. Jangan merasa bersalah. Ini sering terjadi. Kali ini giliran kita saja. Kita kurang beruntung.”
Seolah menyesal tidak berlatih lebih keras, Greg tersenyum getir. Tak ada sedikit pun rasa dendam pada Tino di wajahnya. Gerakan prajurit serigala di hadapan mereka makin ganas. Panah dan senjata api mengarah ke mereka. Semua serangan itu mematikan jika mengenai sasaran.
Apakah benar tidak ada jalan lain? Apakah situasi ini di luar prediksi Master? Dalam pikirannya yang kacau, suara-suara di sekitar Tino terdengar jauh. Party yang ia kagumi, Duka Janggal (Strange Grief), adalah kelompok langka yang sejak didirikan belum pernah kehilangan satu anggota pun. Apakah Master benar-benar mengirim misi yang memaksa Tino untuk membuat keputusan sekejam ini?
Tidak. Meski ia tahu seorang pemburu harus siap membuat keputusan seperti itu, namun sekarang belum saatnya.
Suara kembali normal. Pedang yang diayunkan mencungkil tanah. Mata merah yang berkilauan penuh amarah menatap Tino.
—Kuberikan padamu, meskipun hanya ini yang bisa kuberikan.
Pada saat itu, suara Master yang dihormati Tino terlintas dalam benaknya. Ketika ia menunjukkan cincin yang diambil dari Gilbert di acara perekrutan anggota, percakapan itu teringat kembali. Sebuah pencerahan terlintas. Tino menatap tangan kirinya. Matanya. Bahkan serigala berbaju zirah dan berbulu tebal pasti tidak bisa melindungi matanya.
Menyerang mata adalah dasar dalam menghadapi monster atau ilusi (phantom) yang kuat. Meski tidak bisa mengalahkan, menghilangkan penglihatan musuh dapat mengurangi kekuatannya. Tino tidak melakukannya karena tidak punya cara untuk menyerang mata. Prajurit serigala dua kali lebih besar darinya, dan ia tidak punya senjata jarak jauh. Atau setidaknya ia pikir begitu.
Namun, ada. Ia punya cara. Tino menatap tangan kirinya. Di jari manisnya terpasang cincin emas yang baru ia terima dari Krai, Cincin Peluru (Shot Ring). Cincin yang mampu menembakkan peluru sihir.
Tino tak memiliki senjata sakti, tetapi ia tahu tentang cincin peluru dari pembicaraannya dengan Master. Cincin ini tak populer karena kekuatan peluru sihirnya lemah, tidak cukup untuk membunuh ilusi kuat atau prajurit serigala.
Namun, ia memindahkan cincin itu ke jari telunjuk kanan, jari dominannya. Tampaknya cincin itu telah terisi energi sihir. Mengaktifkan senjata sakti tak mudah; diperlukan latihan keras untuk menggunakannya. Meski begitu, Tino pernah berlatih menggunakan cincin ini bersama Master di toko senjata sakti.
Seolah segalanya telah diatur, kini yang perlu ia lakukan hanya berkonsentrasi.
“Tino?!”
“…Target matanya.”
Tino menjawab dengan lirih. Cincin peluru tidak membutuhkan banyak gerakan, tentu jauh lebih cepat daripada melempar belati. Ia mungkin tak bisa mengalahkan musuh, tetapi cukup melukai mata mereka agar bisa kabur. Lawan pasti akan melawan, dan Tino butuh dukungan dari rekan-rekannya.
“Aku akan menghancurkannya. Bantu aku,” katanya.
Tanpa kata-kata, ia merasakan koneksi dengan teman-temannya. Gilbert dan Greg bergerak ke kiri dan kanan, dan prajurit serigala bertongkat itu memperlihatkan kewaspadaan. Ini adalah rencana yang berisiko. Jika gagal, tak ada kesempatan kedua.
Tino fokus pada prajurit serigala bertongkat, sementara serangan pedang di depannya ia hindari secara naluriah. Ia mengatur napas, fokus, dan takkan meleset. Gilbert mengangkat pedangnya dan menerjang dengan raungan tinggi, membuat prajurit serigala bertongkat itu membalasnya. Pada saat itu, Greg juga menyerang. Dalam keadaan terkepung, Rhuda menarik napas dan melemparkan belatinya, membidik mata lawan. Belati itu berputar dan mengenai kelopak mata, namun dengan mudah terpantul.
Rhuda menahan napas. Prajurit serigala itu mengangkat kelopak matanya, tepat saat peluru sihir Tino—cahaya biru yang tak terdengar suaranya—meluncur ke mata lawan. Tak mampu bereaksi, prajurit serigala itu menjerit, tongkatnya terlepas. Tanah bergetar ketika tongkat besi itu jatuh.
Semua anggota tim langsung berlari.
Pedang besar yang dilayangkan menghantam keras, dan Tino melompat mundur dengan sigap. Rhuda dan Greg juga mulai berlari, mencoba meloloskan diri dari pertempuran sengit ini. Namun saat itu, Tino menyadari kesalahan seorang rekannya.
“Gilbert! Jangan!”
Seruan itu muncul secara refleks. Mungkin Gilbert mengira ini adalah kesempatan, atau mungkin ia salah menangkap maksud instruksi singkat Tino. Gilbert ternyata tidak berusaha melarikan diri. Sebaliknya, ia mengayunkan pedangnya tinggi-tinggi untuk menyerang ksatria serigala yang sedang menutup matanya dengan satu tangan setelah kehilangan tongkat besar miliknya.
Ekspresi Gilbert sejenak tampak kosong ketika mendengar teriakan Tino. Namun, ayunan pedang yang sudah dilayangkan tak mungkin dihentikan. Bilah pedang itu meluncur ganas, berusaha membelah tubuh ksatria serigala, namun tertahan oleh lengannya yang tebal.
Suara logam beradu menggema, menciptakan goresan besar di lapisan baja yang melindungi lengan ksatria serigala, meski tak cukup dalam untuk melukai daging di baliknya. Ksatria serigala itu, yang awalnya terkejut, kini tampak dipenuhi kemarahan atas serangan tersebut. Greg, yang berusaha lari ke sisi lain, tak sengaja terbentur oleh lengannya yang menghantam tanpa ampun, membuatnya terlempar.
Kini tak ada celah lagi untuk meloloskan diri.
Ksatria serigala itu mulai pulih dan menatap tajam ke arah Tino, yang telah menggunakan trik licik untuk menyerangnya. Sialnya, kekuatan peluru sihir ternyata jauh lebih lemah dari yang Tino kira, dan meski mengenai mata ksatria serigala itu, efeknya tampak tidak berpengaruh.
Kini harapan Tino runtuh. Strategi yang sama tak akan berhasil lagi. Kakinya terasa goyah di bawah tekanan rasa putus asa, dan ketika pedang besar kembali diayunkan ke arahnya, tubuh Tino bereaksi secara otomatis, berguling ke samping untuk menghindar.
Tubuhnya sudah hampir mencapai batas. Mungkin ia bisa pulih jika diberi waktu istirahat, namun ksatria serigala ini tak akan memberinya waktu itu.
“Sial... maaf...”
Gilbert menggumamkan permintaan maaf, tapi Tino tidak bisa menyalahkannya. Andai serangan itu berhasil, semuanya akan jadi lebih mudah. Meski hasilnya buruk, itu hanyalah hasil yang tak diinginkan.
Ketika ksatria serigala berusaha meraih tongkat besarnya yang terjatuh, Gilbert dengan putus asa menyerang, seolah hendak menebus kesalahannya. Dalam kekacauan itu, Greg, yang berguling di tanah, bangkit dan ikut menyerang dengan pedang pendek di tangannya. Gerak-gerik mereka seakan memberi isyarat agar Tino dan yang lain melarikan diri.
Ksatria serigala mengeluarkan auman marah. Seakan tahu apa yang direncanakan oleh Tino dan yang lainnya, pasukan penembak dengan busur dan senapan mulai mengarahkan serangan ke arah yang hendak mereka lalui. Sekalipun bisa lolos, kemungkinan untuk bertahan hidup tetaplah rendah.
Tino kehabisan strategi. Tenaga dan keberaniannya hampir habis terkuras. Peluang untuk bisa selamat nyaris tidak ada, dan peluang untuk mengalahkan empat phantom ini hampir nihil.
Ia bertukar pandang dengan Rhuda, yang ekspresinya pun menunjukkan kelelahan yang amat sangat, seolah akan roboh kapan saja. Seluruh rekan-rekannya dalam keadaan sekarat, menghadapi musuh terkuat yang pernah mereka temui, dan melarikan diri pun kini sulit dilakukan.
Apa yang sebaiknya dilakukan dalam situasi seperti ini? Tino berusaha mengingat ajaran gurunya. Ia sudah mendengar nasihat ini berkali-kali. Tak perlu berpikir lagi, sudah tertanam dalam ingatannya.
Jantungnya berdegup keras, seolah menanggapi tekanan itu.
Jika ini adalah gurunya, atau kakaknya, mereka pasti akan berkata:
──Bunuh dengan taruhan nyawa, jika perlu.
“...Haha, mana mungkin, Onee-chan...”
Tino melontarkan keluhan kecil, merasa kata-kata itu sama sekali tidak berguna saat ini. Dan tepat di detik itu, seolah sudah direncanakan sebelumnya, sesuatu tiba-tiba menghantam ksatria serigala perak di depannya.
Post a Comment