NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Nageki no Bourei wa Intai Shitai V1 Chapter 4

Penerjemah: Sena

Proffreader: Sena


Chapter 4 -  Berubah-ubah 


“Aku punya ide bagus. Kalau kita kumpulin senjata kuat, mungkin kita bisa berhasil, kan?” 


“Luke... Tidak peduli seberapa bagus peralatannya, kalau orangnya lemah, dia tetap bakal mati.”


Percakapan dengan rekan-rekanku di masa lalu melintas dalam benakku, seperti kilas balik. Naluriku sudah hampir menyerah untuk hidup karena kecepatan yang membuat seorang pemburu yang diperkuat Mana Material pun bisa kehilangan nyawa.


──Aku akan mati! Aku akan mati, mati, matiiiii!


“Sarang Serigala Putih” begitu luas sehingga sulit dipercaya tempat ini pernah menjadi sarang makhluk buas. Meski cukup lebar dan tinggi, namun ruangnya terlalu sempit untuk terbang dengan “Sayap Kegelapan Malam” (Night Hiker) yang tak bisa direm.


Di dalam gua yang temaram ini, terdapat bebatuan yang memancarkan cahaya redup di sana-sini. Untungnya, aku memiliki peningkat penglihatan, yaitu “Mata Burung Hantu” (Owl’s Eye), sebuah senjata khusus yang disematkan di jempol kananku. Jadi, aku masih bisa melihat sekeliling, meskipun keberuntungan ini tampak tak seberapa dibandingkan malapetaka yang sedang kualami.


Dinding semakin dekat di pandangan. Aku berusaha keras mengendalikan senjata agar bisa melewati tikungan.


Lubang-lubang di sini gelap dan suram; biasanya aku tidak akan pernah ingin masuk ke dalamnya. Tapi yang ada dalam benakku sekarang hanyalah bagaimana caranya berhenti. Meski membawa peta, aku sama sekali tak tahu lagi di mana aku berada.


Senjata ini sangat sulit dikendalikan di tempat sempit; tubuhku terus membentur dinding, langit-langit, dan lantai. Pandanganku berguncang hebat, seolah-olah aku berubah menjadi bola karet. Aku bahkan tidak bisa memahami apa yang terjadi.


Wajahku terus-menerus meringis.


Kalau kupikir-pikir lagi, seharusnya aku berhenti sebelum masuk ke dalam harta karun ini. Kecepatan yang begitu tinggi membuatku lupa diri. Rasanya mau muntah. Ini murni kesalahanku sendiri.


Aku melesat melewati bayangan besar (phantom) yang sempat menutupi jalan. Sekuat apapun phantom itu, sulit baginya mengikuti gerakanku yang seperti peluru dan acak. Bahkan aku sendiri tak tahu apa yang kulakukan.


Saat phantom itu menyadari keberadaanku, aku sudah melewatinya.


Mari anggap aku tak melihat serigala yang berdiri dengan pedang besar itu.


──Di mana Tino!?


Tidak seperti phantom yang hilang saat mati, tubuh hunter akan tetap ada cukup lama. Kalau dia tewas dimakan phantom, pasti ada sisa-sisa pertempuran. Aku memiliki kemampuan melihat yang buruk, tapi di antara pandangan yang terus bergerak ini, tidak ada tanda-tanda mayat Tino atau teman-temannya. Kemungkinannya kecil bahwa mereka sudah tewas.


Kalau ternyata Tino dan kelompoknya masih di ibukota, ini pasti bakal jadi bahan tertawaan.


Tino adalah orang yang bertanggung jawab, jadi dia tak akan menyerah begitu saja. Namun, sebagai murid Liz, dia cukup licik, jadi mungkin saja──!


Kepalaku terbentur keras ke langit-langit, membuat pandanganku goyah.


Di koridor lurus yang panjang, seekor bayangan serigala tampak terkejut melihatku, manusia misil yang tiba-tiba muncul. Tapi aku segera melewatinya. Bahuku menghantam sisi kepalanya, menyebabkan tubuhku terpental ke dinding. Benturan itu mengguncang seluruh tubuhku. Aku berhasil berbelok tajam dengan menempelkan tubuh ke dinding.


Dengan refleks yang pas-pasan, aku masih belum menghantam dinding sepenuhnya – itu suatu keajaiban.


Beruntung, senjata lain membantuku sedikit mengubah arah. Senjata-senjata ini sungguh membantu.


Namun, meski aku masih bertahan, aku pasti mati jika tidak segera menemukan cara untuk berhenti.


Dan mungkin aku akan dikenang selamanya sebagai orang bodoh yang menerobos masuk ke dalam ruang harta karun sebagai misil manusia kedua, menggunakan “Sayap Kegelapan Malam” (Night Hiker) yang sudah menelan korban. Itu sangat menyebalkan. Tidak adil sama sekali. Saat pikiran itu melintas, aku membuat keputusan dalam hati.


Sudah cukup. Apapun caranya, aku harus berhenti sekarang juga. Jika tidak, ini akan melewati batas.


Entah bagaimana aku tiba di jalan yang lebih luas. Di depanku, punggung besar sosok phantom tampak terlihat. Dalam situasi berbahaya ini, dengan ketajaman intuisi yang muncul, aku memutuskan untuk menggunakannya sebagai bantalan.


Sekarang tinggal memantapkan diri. Aku menundukkan kepala, memejamkan mata, dan berdoa sekuat tenaga. Lalu, tubuhku diterjang oleh benturan yang lebih keras dari sebelumnya.


Aku kembali sadar. Pandanganku yang sempat buram perlahan kembali jernih. Sepertinya aku berhasil berhenti dengan selamat. Aku menurunkan tangan yang melindungi kepalaku dan mencoba berdiri, lalu menyadari bahwa aku sudah dalam posisi berdiri. Tidak ada cedera. Meski benturannya luar biasa keras, tampaknya aku berhasil selamat.


Sistem keseimbanganku terasa terganggu. Berdiri di atas tanah yang tidak bergerak membuatku hampir ingin muntah, namun aku menahannya dengan susah payah. Aku menggelengkan kepala untuk mempertahankan kesadaranku. Meskipun sudah lama tidak terlibat dalam aksi seperti ini, aku tahu bahwa kehilangan kesadaran di ruang harta karun sama saja dengan kematian.


Setelah menepuk debu dari bahu, aku menarik napas panjang. Jantungku masih berdetak kencang, dan jika aku tidak segera tenang, rasanya akan meledak. Wajahku masih kaku. Namun, setelah melihat kenangan-kenangan berlalu di depan mata, aku masih bersyukur bisa bertahan.


Seperti yang kuduga, “Sayap Kegelapan Malam” adalah barang yang cacat. Orang yang pertama kali merancangnya pasti sama gilanya dengan teman-teman masa kecilku. Hal seperti fitur pelambat seharusnya menjadi hal pertama yang dipikirkan.


Phantom yang jadi bantalan ternyata tertusuk ke dinding dengan kepala lebih dulu. Meski sebelumnya tidak terlalu jelas, tampaknya ada dua sosok phantom yang tergeletak bertumpuk dan tidak bergerak. Setelah ditabrak misil manusia dari belakang, phantom di ruang harta karun level 3 tidak memiliki harapan. Armor hitam tebalnya penyok besar dan retak.


Di dekat dinding, tergeletak busur dan pedang besar yang mungkin dimiliki oleh phantom itu. Anehnya, ukuran, bentuk, dan warna phantom ini berbeda dari yang kubayangkan. Di ruang harta karun ini, phantom seharusnya berwujud serigala. Namun, yang terbaring ini mengenakan armor tebal yang bahkan ksatria elit tidak akan memakainya.


Dulu, ketika aku terjebak di ruang harta karun (Treasure Hall) level 3, phantom-nya tampak… jauh lebih lemah. Tapi sudah lama aku tidak datang ke sini, jadi mungkin memang seperti ini sekarang. Ada kemungkinan penampilannya saja yang mengintimidasi, namun… rasanya ingin muntah.


Aku akhirnya memeriksa sekeliling. Pandanganku yang sebelumnya buram kini menjadi lebih jelas. Saat melesat tadi, aku tidak punya kesempatan untuk memeriksa arah, namun ternyata ini bukan koridor melainkan ruangan yang luas. Langit-langit yang tinggi, lantai dan dinding yang rata—sulit dipercaya ini berada di bawah tanah dan digali oleh serigala. Jika ada jendela, penerangan yang baik, dan tanpa phantom, ruangan ini pasti akan sangat bagus.


Kemudian, aku menemukan sosok yang familiar. Rambut hitam kusut, wajah yang tampak pucat. Meskipun tidak ada luka, dia terlihat jauh lebih lelah dibandingkan saat aku menitipkan misi di rumah klan. Ya, itu Tino, gadis yang secara tidak sengaja kubebankan dengan tugas yang aneh.


Di dekatnya, ada Gilbert dan Greg-san yang juga terlihat kelelahan dan sedang menatapku dengan kaget. Semua tampaknya masih hidup.


“Ma... Master!?” 


“Ah Tino, ketemu.”


Beruntung.


...Ah, bukan ketemu, ya. Seharusnya aku minta maaf dengan benar. Walaupun mereka aman, Tino tampak sangat pucat dan kelelahan, jauh dari penampilannya yang biasa. Jelas sekali, ruang harta karun level 3 ini memberikan beban berat pada Tino. Sepertinya sudah waktunya aku menunjukkan keahlian bersujudku pada junior.


Aku hanya bisa tertawa. Ketika aku tersenyum canggung, Gilbert berteriak dengan panik.


“Hei, Paman! Di belakangmu, di belakang!” 


“Apa?”


Aku bukan paman. Aku ini kakak.


Pikiran itu adalah hal pertama yang muncul di kepalaku—ini pasti tanda bahwa aku sudah benar-benar terlena dengan kedamaian hidupku.


Mengabaikan bahaya di Treasure Hall adalah sesuatu yang memalukan bagi seorang Hunter.


Dengan kepala kosong, aku perlahan menoleh ke belakang, dan yang terlihat di pandanganku adalah phantom yang sama dengan yang tadi kujadikan bantalan.


Seekor phantom besar mengenakan armor berwarna besi hitam. Tubuhku yang penakut secara refleks menepi ke dinding karena melihat sosoknya yang megah.


Saat aku melihat lebih dekat, aku menyadari ada satu lagi di dekat Gilbert. Phantom yang membawa gada yang sangat besar.


Ada dua phantom di sini, jadi jika ditambah dengan yang sudah tumbang tadi, totalnya ada empat.


Saat aku menabrak mereka tadi, aku tidak menyadari kalau kepala mereka bukan kepala manusia, melainkan kepala serigala. Tapi, setengah bagian kanan kepala mereka adalah tengkorak manusia.


Mata merah menyala seperti darah menatap ke arahku, si penyusup yang tidak tahu waktu.


Mereka bernafas berat sambil menggoyangkan bahu. Dari rahang yang besar, tetesan liur yang kental jatuh ke lantai.


Dalam situasi normal, aku pasti sudah lemas dan muntah hanya dengan tatapan itu. Tapi, perasaanku yang sudah mati rasa karena hidup damai malah memberi reaksi yang berbeda.


“Wah, ternyata di level 3 sekarang ada yang sebesar ini, ya. Kemajuannya pesat.”


Kalau level 3 seperti ini, lalu apa yang muncul di level 8? Untung aku sudah lama tidak datang ke Treasure Hall.


Masa laluku yang cemerlang benar-benar sebuah kejeniusan. Apa aku seorang dewa?


Seekor serigala berlapis baja besar yang memegang senjata berat itu mundur perlahan saat melihatku tersenyum.


Serigala besar dengan gada logam yang menjulang setinggi langit-langit berdiri di depan Gilbert, seolah melindunginya.


Hidungnya bergerak mencium-cium, dan matanya yang tajam menyipit, mengamatiku dengan sangat cermat.


Baru saat itulah aku menyadari situasi yang sebenarnya, dan senyumku memudar.


Eh. Apakah ini artinya aku akan mati? Bahaya, nih?


Mereka memang belum menyerang, tapi kalau Hunter berbakat seperti Tino saja sampai terluka parah, tidak mungkin aku bisa menang melawan mereka.


Saat aku sedang mati-matian mencari jalan keluar, Greg-san berseru dengan suara gemetar di belakangku.


“Ti-tidak mungkin… B-bagaimana bisa… Bosnya… ketakutan!?”


...Apa?


“Mereka ketakutan?”


Mustahil. Kalau mereka adalah serigala, maka aku adalah seekor domba.


Aku hanyalah domba yang kelihatannya berlevel tinggi, tapi sebenarnya tidak punya kekuatan mana yang kuat.


Namun, di depan mataku, serigala berbaju zirah itu mundur lagi selangkah.


Hidungnya terus bergerak naik turun, dan perhatiannya kini hanya tertuju padaku, bukan lagi pada Tino dan yang lainnya.


Matanya memancarkan kewaspadaan yang kuat.


Apa yang membuat mereka takut padaku? Greg-san jauh lebih menakutkan daripada aku lho.


Aku mengikuti arah tatapannya. Matanya tidak tertuju pada wajahku, tetapi pada bagian dadaku—lebih tepatnya, pada kapsul logam yang tergantung di leherku yang seharusnya berisi Sitri Slime.


Saat aku melangkah maju, serigala itu mundur selangkah lagi.


Tatapannya tertuju padaku, tapi jelas bukan karena melihatku sebagai ancaman.


Hm? Kok bisa?


Masa iya phantom sebesar ini takut hanya karena melihat kapsul itu? Apa yang sebenarnya ada di dalamnya?


Apa yang sebenarnya sudah kubawa ke sini?


Aku melangkah mendekat lagi, dan kedua serigala berbaju zirah itu mundur dua langkah sekaligus.


...Mereka benar-benar menganggapku seperti domba beracun.


Keberuntunganku sepertinya sedang memuncak. Tampaknya di sini bukanlah tempatku mati hari ini.


Sambil terus memperhatikan mereka, aku memanggil ke belakang dengan nada tenang meski jantungku masih berdetak kencang.


“Tino, kamu bisa lari?”


“Ya… tentu saja!”


Tino yang tadinya terdiam langsung menjawab dengan semangat setelah mendengar pertanyaanku.


Ada tiga jalur di ruangan ini. Jalan di depan terhalang oleh serigala berbaju zirah.

Walaupun mereka takut padaku, kemungkinan mereka memutuskan untuk menyerangku dengan anggapan “toxic tapi nggak apa-apa” tetap ada. Tidak mungkin aku bisa melewati mereka berdua.


Sebaiknya kita mundur dulu, membiarkan Tino dan yang lain beristirahat, lalu keluar dari sini bersama-sama.


“Arah sana.”


Aku menunjuk ke arah jalan di kanan, jalur yang tadinya dihalangi oleh serigala yang membawa gada. Sekarang mereka sudah minggir, jadi kita bisa memanfaatkannya.


“Ma-master, bukankah sebaiknya kita mengalahkan mereka?”


Tino bertanya dengan wajah ragu.


Iya, benar sekali. Kalau bisa mengalahkan mereka, sebaiknya dikalahkan. Tapi apa dia menganggap aku bisa melakukan itu?


Bertaruh dengan melempar Sitri Slime ke mereka juga bisa jadi opsi, tapi mempercayakan nasibku pada sesuatu yang aku sendiri tidak tahu jelas terlalu berisiko.


Kalau kapsul itu bisa memberikan efek hanya dengan ada di dalamnya, maka lebih baik tetap dibiarkan seperti itu.


Sambil mendesah, aku memberi nasihat pada juniorku yang manis.


“Tino, jangan salah menilai apa yang paling penting.”


“!! Itu… adalah—“


Yang paling penting? Tidak perlu disebutkan lagi.


Jawabannya adalah—nyawa sendiri.


Pertarungan hidup-mati hanyalah hal bodoh bagiku.


Memang tanggung jawab ada pada masing-masing, dan kalau orang lain ingin melakukannya, terserah. Tapi aku tidak akan pernah melakukannya.


Tiba-tiba, terdengar suara dentuman dari suatu tempat. Tino terkejut dan mengeluarkan suara kecil.


“Ah—”


Bayangan gelap muncul di pandanganku. Armor hitam pekat mendekat.


Serigala berbaju zirah yang sebelumnya tersungkur akibat serangan misil manusia tadi bangkit kembali, mendekat hanya dengan satu langkah besar.


Saat menyadari hal itu, pedang besar yang panjangnya hampir setinggi tubuhku sudah terayun dari atas.


Raungan yang mengandung kemarahan dan tekanan serta bau binatang yang kuat mengguncang seluruh indraku. Tubuhku seakan terkunci kaku.


Aku tidak bisa bereaksi. Bahkan satu jari pun tak bisa kugerakkan.


Seperti sebuah guillotine, pedang besar itu terayun dari atas.


Sebuah serangan yang bisa dengan mudah membelah tubuhku datang menyerang, ──Namun, pedang itu terpental tanpa meninggalkan satu goresan pun.


“...Hah?”


Suara Greg-san terdengar. Mata serigala berzirah yang barusan mendekat itu terbelalak. Jelas sekali dia tidak menduga hal ini.


Serigala itu mundur beberapa langkah, dan sesaat saja dia melupakan kebenciannya, menunduk menatap pedang yang tergenggam di kedua tangannya.


Lalu, suara dentuman keras seperti tembakan terdengar saat anak panah raksasa meluncur dan menghantam dahiku, tetapi terpantul dengan cara yang sama.

Ternyata, phantom yang kuterjang tadi tidak ada yang mati.


Dan… mereka marah. Wajar saja. Aku sendiri pasti akan marah kalau tiba-tiba diserang dari belakang dan dilemparkan ke dinding.


Panah, pedang besar, dan para serigala berzirah lainnya menatapku dengan tatapan penuh kemarahan.


Aku hanya bisa tersenyum kecut. Itu satu-satunya yang bisa kulakukan.


Ini… aku pasti akan mati. Ini adalah akhirnya.


Akhirnya, aku terpikir untuk melakukan serangan balik.


Aku mengulurkan jari telunjuk, mengarahkannya ke para serigala berzirah layaknya senjata api.


Di jari kelingking kiriku terpasang senjata artefak, “Shot Ring” — salah satunya adalah “Shock Shot Ring,” Cincin Tembakan Kejut.


Cahaya biru menyala di ujung jariku, membentuk peluru sihir.

Sesaat sebelum menembakkan peluru, aku tiba-tiba terpikirkan sebuah kalimat keren dan mengucapkannya secara refleks.

“Sayang sekali, nyawaku── ada tujuh belas.”


Menjadi seorang Treasure Hunter adalah soal bakat.


Manusia itu lemah. Kemampuan fisiknya sangat rendah dibandingkan makhluk-makhluk lainnya; mereka tidak dirancang untuk menjelajahi tempat berbahaya seperti gudang harta karun, atau bertarung dengan monster dan phantom.


Untuk melawan kodrat itu dan menjadi seorang Hunter, seseorang memerlukan beberapa bakat tertentu yang mutlak, seperti tingkat absorpsi Mana-Material yang tinggi. Bahkan di era di mana Treasure Hunter diagung-agungkan, jumlah mereka tidak akan pernah melebihi batas tertentu.


Ketidakberuntunganku adalah aku menyadarinya setelah menjadi seorang Hunter.


Namun, keberuntunganku adalah hanya akulah di antara teman-teman masa kecilku yang tidak berbakat.


Kelompok kami, yang diberi nama Strange Grief, cukup berbakat untuk menaklukkan gudang harta karun bahkan tanpa aku.


Harta yang kami bawa pulang dan kehormatan yang terkumpul sedikit demi sedikit membuat hidupku terasa “lebih baik.”


Jadi, meski aku tidak punya bakat, keberanian, atau motivasi, dan meskipun aku tidak punya mimpi, harapan, atau keberuntungan, aku masih hidup sampai sekarang.


Safe Ring adalah jenis artefak yang cukup terkenal, setara dengan Shot Ring.


Fungsinya adalah untuk secara otomatis menciptakan penghalang pelindung dengan kekuatan tertentu ketika menerima serangan.


Singkatnya… itu adalah artefak yang bisa menahan satu serangan.


Safe Ring hadir dalam berbagai macam jenis tergantung pada kekuatan dan durasi penghalangnya. Meski harga dan kelangkaannya bervariasi, aku yang sangat tidak ingin mati, membeli sebanyak mungkin tanpa peduli kekuatan atau durasinya.


Jumlah Safe Ring yang kumiliki saat ini adalah── tujuh belas. Harganya bisa membeli dua atau tiga gedung markas klan.

Kemungkinan besar, hanya akulah satu-satunya orang di ibu kota ini yang memakai sebanyak ini sepanjang waktu, meski jari hanya sepuluh, jadi sebagian besar kusimpan di kantong.


Jika bukan karena ini, aku tidak mungkin bisa menggunakan artefak menakutkan seperti Night Hiker.


Tentu saja, ini bukan berarti aku tak terkalahkan.


Safe Ring hanya bertahan sekitar satu detik. Biasanya bahkan hanya sekejap saja.


Begitu aktif, cincin itu akan kehilangan seluruh daya magisnya dan menjadi cincin biasa. Dengan tabrakan di dinding sebelumnya, beberapa dari mereka sudah terpakai, jadi jika aku terkena beberapa serangan lagi, aku pasti akan rata.


Aku harus kabur sebelum itu terjadi. Mengatakan punya tujuh belas nyawa barusan mungkin sedikit berlebihan.


“Dia… menghindar!”


Rhuda berteriak. Sang serigala berzirah yang memegang pedang besar itu bereaksi cepat terhadap peluru biru yang ditembakkan dengan kecepatan panah.


Dia sedikit merendahkan tubuhnya, menghindari peluru yang mengarah ke kepalanya.


Gerakannya membuatku sedikit kesal. Gerakan itu seolah dia tahu peluru itu akan datang.


Peluru biru itu meluncur melewati kepalanya── lalu tiba-tiba berbalik arah, menghantam bagian belakang kepalanya dengan keras, menghantam serigala itu ke tanah.


Para serigala berzirah tampak terguncang. Aku berteriak sambil tetap menatap mereka.


“Tino, lari!”


“!? Iya, siap!”


Tino dan Gilbert langsung berlari.


Para serigala berzirah hanya melihat ke arahku, tanpa mengejar mereka.


Shot Ring adalah nama umum untuk artefak yang menembakkan peluru sihir.


“Shock Shot” Ring adalah cincin peluru yang dapat menembakkan hingga tujuh peluru dengan kekuatan penuh yang memberikan dampak besar saat mengenai target. 

Namun, sayangnya, walaupun terlihat mencolok, kekuatannya hampir tidak ada. Bahkan, jika ditembakkan ke kepala Serigala berzirah yang terjatuh ke tanah, mungkin mereka hanya akan sedikit terkejut.


Ada berbagai jenis peluru ini, namun tidak ada satu pun yang cukup kuat untuk mengalahkan phantom; paling-paling, mereka hanya berfungsi sebagai pengalih perhatian. Serigala berzirah yang terjatuh perlahan bangkit dengan menumpukan tangannya ke tanah. Sesuai perkiraan, tidak ada luka yang berarti.


Para serigala membentuk formasi kipas mengelilingiku, dengan dua di depan dan dua di belakang, cukup seimbang. Aku mengamati situasi dengan seksama dan mengerutkan alis ketika melihat senjata api yang dipegang serigala belakang.


Itu senapan? Bukankah serangan tembakan beruntun adalah yang paling sulit kuhadapi?


Awalnya, mereka takut dengan Sitri slime, tetapi kini mereka tampak lebih marah, mungkin karena membalas serangan. Perasaan mereka sekitar sepuluh persen takut, tiga puluh persen marah, tiga puluh persen dendam, dan tiga puluh persen waspada (itu Cuma perkiraanku).


Hal pertama yang harus kupikirkan adalah memberi waktu bagi Tino untuk kabur. Jika hanya aku sendiri, dalam keadaan terburuk, aku bisa melarikan diri lagi. Dengan menggenggam senjata, setidaknya aku bisa sedikit mengalihkan perhatian mereka.


Dengan senyum yang lebar, aku mencoba menarik pedang suci dari sarung di punggungku — tapi, tanganku malah melayang kosong. Setelah beberapa kali mencoba meraih, yang terasa hanyalah senjata berbentuk crossbow — sebuah senjata dengan kemampuan manipulasi lintasan peluru, yang tidak ditembakkan oleh siapa pun dan pernah membantuku mengendalikan peluru magis. Itu disebut “Si Penembak Tepat” (namanya kuberikan sendiri, walau sebenarnya kemampuannya tidak menjamin keakuratan).


Apa aku menjatuhkannya? Sarungnya ada, tapi isinya hilang. Aku mencoba mengingat perjalananku, tapi aku terlalu fokus menghindari tabrakan sehingga tak ingat kapan hilangnya. Padahal harganya mahal.


Yah, bagaimanapun, senjata itu tidak memiliki kemampuan yang bisa mengubah situasi saat ini. Serigala berzirah mulai waspada terhadap gerakanku yang tampak aneh.


“Master!? Apa yang…”


Tino, yang seharusnya berlari, kini malah melihatku dari pintu masuk. Bahkan, anggota tim lainnya juga terlihat menungguku. Sudah kubilang untuk lari, kan?


Sebenarnya, apa yang sedang kulakukan? Menjatuhkan senjata di Ruang Harta Karun, sungguh konyol. Ini bukan soal sial, aku memang bodoh. Aku Cuma bodoh.


Phantom yang membawa tongkat besar menggenggamnya dengan kedua tangan, seolah berusaha menaklukkan ketakutan, dan melangkah maju dengan raungan. Cincin di jari kelingking kananku, yaitu artefak bernama “Disaster Slip” dengan kemampuan mendeteksi bahaya, mulai terasa panas karena merasakan niat membunuh. Namun, tidak ada kesempatan untuk menghindar.


Serangan berat itu menghantam tubuhku dengan kekuatan besar, namun terhalang oleh pelindungku. Sial, situasi ini lebih buruk dari perkiraan. Aku tidak bisa bergerak. Meski aku tahu aman, tetap saja menakutkan.


Serigala berzirah yang membawa tongkat tampak gentar melihatku, bahkan tubuhku juga gemetar. Rantai “Anjing Setia” di pinggangku bergetar, merasakan bahaya yang mengancam. Rantai ini cukup berharga, dan akan sangat menyedihkan jika rusak, tapi nyawaku lebih penting. Setidaknya, mungkin bisa menghentikan mereka sebentar.


Rantai tersebut mulai bergerak sendiri, melilit kaki Serigala berzirah yang memegang tongkat, membuatnya kehilangan keseimbangan. Phantom lainnya yang belum pernah melihat rantai ini tampak waspada.


Namun, satu rantai saja tidak akan cukup untuk menghentikan mereka. Dan senapan serta panah itu terlihat menakutkan, bukan? Dunia ini penuh dengan bahaya. Apa mereka akan mengejarku jika aku kabur?


Para Serigala berzirah tampak waspada terhadap Sitri slime dan aku, tapi dalam mata mereka, tersirat kemarahan yang tak terbendung. Padahal aku hanya ingin kabur, tidak peduli lagi soal misi penyelamatan, aku hanya ingin pulang.


Dengan putus asa, aku mengangkat kedua tangan dan mengaktifkan peluru magisku.


Artefak berbentuk cincin biasanya dikenal luas, dan ada yang harus dikenakan untuk berfungsi, serta ada pula yang hanya perlu disimpan untuk mengaktifkan efeknya. Peluru magis ini termasuk jenis yang kedua.


Gilbert menatap tertegun saat banyak peluru cahaya muncul di telapak tanganku. Aku mengaktifkan seluruh peluru magis yang kupunya. Keunggulan dari cincin artefak adalah bobotnya yang ringan, dan harganya cukup terjangkau.


Warna peluru sihir berbeda tergantung jenis pelurunya. Mereka berwarna-warni dan mencolok — walaupun lemah.


Serigala berzirah mulai resah, mungkin mengira ini adalah serangan sihir. Namun, tidak ada jalan untuk menghindar dari serangan ini. Peluru sihir biasanya bergerak lurus, kecuali dengan peluru khusus, namun aku memiliki “Si Penembak Tepat” untuk mengendalikan lintasan peluru.



Peluru mulai bergerak bebas sesuai kendaliku, meluncur menghantam Serigala berzirah yang mencoba menghindar. Mereka mengira peluru ini mengincar secara otomatis dan akhirnya berlutut, membalikkan tubuh mereka seperti kura-kura. Aku menembakkan peluru-peluru itu dengan kejam.


“Sungguh luar biasa… Jadi ini Level 8…”


Gilbert terkesima melihat aksiku, begitu juga dengan Rhuda dan Tino yang matanya berbinar-binar. Pujian mereka membuatku senang. Peluru-peluru sihir itu mengenai berbagai bagian tubuh Serigala berzirah.


Ada yang membakar, membekukan, membuat mati rasa, atau meledak. Setiap peluru dari cincin peluruku memiliki efek berbeda-beda, tanpa ada yang sama.


Phantom itu mengeluarkan erangan rendah seperti binatang buas. Cahaya dari peluru sihir meredup, kegelapan kembali menyelimuti.


Namun, ada satu kelemahan fatal dalam strategiku yang tampak kuat dan mencolok ini: kelemahan yang sangat kentara. Di bawah tatapan semua orang yang menahan napas melihat pertempuran, para ksatria serigala yang bertahan layaknya kura-kura itu bangkit berdiri seolah tidak terjadi apa-apa, tanpa luka sedikit pun di tubuh atau kepala mereka.


“Ha!? Padahal, aku sudah mengenai mereka berkali-kali...” 


Rhuda mengeluh dengan suara hampir menangis. Bukan hanya Rhuda; bahkan para phantom yang menerima serangan itu tampak mengeluarkan erangan heran.


Tak bisa disalahkan, sebagian besar pusaka ini memang tidak dimaksudkan untuk membunuh. Pusaka yang berbentuk senjata memang berbeda, tetapi sebagian besar bergantung pada kemampuan penggunanya, dan karena aku tidak memiliki bakat dalam ilmu bela diri, pusaka semacam itu tidak berguna bagiku.


Para phantom itu bangkit, memastikan keadaan mereka baik-baik saja, lalu menatapku—orang yang melemparkan serangan main-main itu—dengan tatapan marah. Ternyata, benar-benar tidak mempan. Beberapa peluru dari Shot Ring yang kugunakan memiliki efek melumpuhkan atau membuat target tertidur, tapi tampaknya mereka bisa menetralkannya. Yah, pusaka ini memang dirancang untuk menghadapi manusia, jadi tidak heran jika tidak berfungsi pada monster.


Sekarang aku hampir tidak memiliki pilihan lain. Aku harus memutuskan, karena jika terus begini, situasinya hanya akan semakin buruk.


“Tidak ada pilihan lain, meskipun aku tidak ingin menggunakannya,” 


kataku setengah putus asa sambil melepaskan sebuah kapsul logam seukuran jari telunjuk yang tergantung di leherku.


Para ksatria serigala membuka mata lebar-lebar dan mundur beberapa langkah seolah mengingat sesuatu. Mereka tampaknya takut bukan padaku, tapi pada benda ini. Aku tahu itu sejak awal.


Kalau aku akan mati, mungkin lebih baik kami semua tenggelam dalam Sitri slime yang sangat berbahaya buatan salah satu teman masa kecilku, Sitri-chan. Aku membuka tutup kapsul dengan jari yang gemetar karena tegang, lalu mengintip ke dalamnya sebelum melemparkannya.


“......”


Aku mengusap mata dan memeriksa lagi. Dengan hati-hati, aku memasukkan telunjuk ke dalamnya. Tino dan yang lainnya memandangku dengan cemas.


Setelah mengangguk dengan yakin, aku menutup kembali kapsul itu, lalu melemparkannya dengan keras ke arah para ksatria serigala, sambil menembakkan peluru sihir ke arahnya. Para ksatria serigala gempar dan mundur dengan cepat.


Saat peluru sihir mengenai kapsul, aku berlari ke arah Tino.


“Tino, cepat!”


Tino dan yang lainnya tampak tersadar saat melihatku berlari mendekat, dan mereka semua mulai berlari.


Kapsul logam itu meledak. Para ksatria serigala mengaum marah, tetapi aku tidak punya waktu untuk peduli. Aku harus segera kabur sebelum mereka menyadari kalau kapsulnya kosong.


…Kemana perginya isinya? Kenapa kosong? Seram sekali.


Aku berlari sekuat tenaga, mengatur napas dengan susah payah, dan terus bergerak. Sudah lama sekali aku tidak berlari. Aku tidak punya waktu untuk melihat ke belakang. Aku terus berlari di sepanjang jalan gelap dan sempit, udara dingin menyapu wajahku.


Di depanku, Greg-san, Gilbert, Rhuda, dan Tino berlari dengan cepat. Meskipun aku sudah mengerahkan segalanya, jarak di antara kami tetap tak berkurang. Aku mulai menyadari sesuatu.


Eh? Apa mereka sengaja melambatkan diri supaya aku tidak tertinggal?


Gilbert, yang berlari sambil membawa pedang besar, melirik ke belakang dan memandangku dengan dahi berkerut. Meskipun situasi berbahaya baru saja terjadi, ekspresinya kini terlihat tenang. Apa mungkin dia sudah sembuh sambil berlari?


“Dengan kecepatan seperti itu, kita akan terkejar. Kau harus mempercepat—“


“Bodoh! Krai sedang menjaga Tino yang terluka!”


“!! Oh, benar juga… maafkan aku.”


Rhuda membentak, dan Gilbert pun segera menyadari kesalahannya serta meminta maaf.


Eh? Tino terluka? Dan kecepatan maksimalku sama dengan kecepatan Tino yang terluka?


Eh? Aku tidak pelan, kan? Tino saja yang cepat, kan? Apa aku secara tidak sadar sedang menjaga dia?


Perasaanku agak tersakiti, tapi perkataan itu membuatku sedikit tenang. Setelah memastikan tidak ada suara mencurigakan dari belakang, aku berhenti berlari.


Meskipun aku tidak punya kemampuan pencuri, kalau ada yang mengejar, pasti Tino akan memberi tahu. Tampaknya kami berhasil melarikan diri.


Melihatku berhenti, yang lain juga berhenti. Mereka cukup kooperatif, mungkin karena kami sudah saling mengenal selama eksplorasi ini.


“?? Apa sudah aman?”


“Kita sudah lolos. Itu tadi berbahaya sekali. Benar-benar tertolong berkatmu,” 


kata Greg-san sambil berterima kasih, meskipun sebenarnya aku yang harusnya meminta maaf.


Namun, sekarang adalah waktu untuk menyusun ulang formasi.


Aku menahan rasa mual, mencoba menstabilkan napasku yang terengah-engah, dan memandang ke arah Tino.


Tino melihat tatapanku dan memeluk bahunya dengan takut.


“K-krai...”


“Krai. Tino benar-benar… sudah berusaha keras. Kalau bukan karena Tino, sebelum kau datang, kami pasti sudah habis—“


“Ya, aku mengerti. …Maafkan aku. Kalau satu kata maaf cukup, aku pasti akan mengatakannya.”


“?!”


Tak perlu diucapkan, aku bisa melihat dari penampilannya betapa keras dia berusaha. Rambutnya yang biasanya rapi sekarang berantakan, wajahnya pucat seperti tak ada darah yang mengalir, dan celana pendek hitamnya robek di bagian paha kanannya, memperlihatkan kulit putihnya yang menarik perhatian.


Tino, yang tampak menyadari tatapanku, tiba-tiba memegang ujung celananya dan semakin memperlihatkan pahanya.


…Kau sedang apa? Dengan celana panjang yang sudah pendek begitu… pantatmu bisa kelihatan, tahu?


Tino mengalihkan pandangannya dengan malu.


Saat aku menatap bibir Tino yang terkatup rapat, Gilbert menatapku dengan ekspresi bingung dan berkata, 


“Seribu Trik (Senpen Banka)... bahkan perawatan pun bisa kau lakukan?”


...Oh, jadi lukanya itu yang dia maksud. Yah, kalau begitu seharusnya kau bilang saja. Aku tidak akan sadar kalau tidak diberitahu. Kupikir itu hanya salah satu candaanmu lagi.


Yah, sebenarnya memang aku berhenti untuk merawatnya. Di hadapanku sekarang adalah paha putihnya yang tampak menonjol, terlihat samar-samar pembuluh darahnya, meskipun tak ada luka yang terlihat.


Namun, meskipun luka tak terlihat, tampaknya dia benar-benar merasakan dampaknya. Terbukti, kecepatan larinya tadi hanya setara dengan kecepatan penuhku.


Tentu saja aku juga membawa relik untuk penyembuhan. Malah, aku tak mungkin tak membawa barang seperti itu. Aku melepas kalung salib perak di leherku—Healing Hope—dan menyentuhkannya pada paha Tino.


Saat cahaya biru dari salib itu meresap, ekspresi wajah Tino melunak sejenak.


“Terima kasih, Master. Sakitnya sudah hilang,” ucap Tino.


Yah, Tino memang masih harus bekerja keras. Melihat pemandangan penyembuhan itu, Gilbert menghela napas lega dan berkomentar, 


“Ah... ternyata memang perawatannya dengan menggunakan relik.”


Semua yang kulakukan memang mengandalkan relik, jadi ada apa dengan itu? Apa itu masalah?


Jika saja ini bukan tempat penyimpanan relik, mungkin aku sudah kesal dan langsung pulang ke markas klan.


“Krai, apa kau sudah mengalahkan para Serigala berzirah itu?” 


tanya Greg-san dengan nada waspada sambil menatap jalan yang baru saja kami lewati.


Kalau ditanya apakah mereka sudah dikalahkan, jelas tidak. Serigala dikenal karena hidungnya yang tajam. Mungkin yang mereka takuti adalah aroma dari slime yang menempel pada kapsul tadi.


Aku tidak tahu apakah slime punya aroma, tapi aku tak bisa memikirkan alasan lain. Mungkin sekarang mereka sedang marah besar karena ditipu oleh kapsul kosong dan mangsanya berhasil melarikan diri.


Saat ini, satu-satunya hal yang harus kupikirkan adalah bagaimana caranya melarikan diri. Tampaknya para phantom yang mengejar kami akan berhenti begitu kami keluar dari tempat penyimpanan ini.


Lagi pula, target yang harus diselamatkan mungkin sudah mati. Tidak ada gunanya jika kami tewas hanya demi mencoba menyelamatkan mereka.


Aku menghela napas panjang dan meregangkan tubuh. Memang sayang aku kehilangan pedangku, tapi nyawaku lebih berharga.


Entah apakah Dogs Chain-ku akan kembali. Nanti, saat kami kembali ke markas klan, mungkin aku bisa meminta orang lain untuk mengambilnya.


“Mereka belum kalah. Tapi, pada saat itu, itulah pilihan terbaik. Yang harus kita pikirkan sekarang bukan itu. Ayo, kita jalan dulu.”


“Oh, baiklah,” jawab Greg-san.


Kami mulai berjalan dalam diam, aku berada di depan. Karena kelelahan, tak ada yang mengobrol.


Menurut peta yang kupelajari sebelumnya, ‘Sarang Serigala Putih’ ini memiliki lorong-lorong sempit yang bercabang seperti sarang semut.


Apa yang ingin kukatakan adalah, pemandangannya semua mirip dan aku jadi tak tahu apakah kami sedang berjalan di tempat yang benar.


Ruang penyimpanan ini mungkin tidak terlalu besar, tapi tetap saja kami bisa jadi berputar-putar di tempat yang sama.


Tapi, kenapa aku yang berada di depan? Bukankah aku ini bukan seorang pencuri? Tugas seperti ini biasanya milik pencuri, kan? Lagi pula, dalam kelompok ini ada dua pencuri.


Ketika aku mencoba berhenti dan mempersilakan yang lain untuk jalan di depan, mereka malah ikut berhenti bersamaku, membuatku tetap harus berada di depan.


Sifat aktif yang biasa dimiliki Tino hilang begitu saja. Aku menatapnya, tetapi ketika pandangan kami bertemu, dia malah langsung memalingkan wajah.


Seolah aku dianggap sebagai musuh, pandangan Tino yang biasanya setia kini berubah seolah berkata, 


“Tolong jauhi aku.”


Mungkin aku memang seharusnya meminta maaf sejak awal. Tetapi di dalam tempat yang berbahaya seperti ini? Sudah terlambat?


Akhirnya, meski tanpa arah yang pasti, aku melanjutkan langkah. Terkadang aku mengikuti jalan yang berbeda hanya karena suasana hati.


Tempat ini tidak banyak dihuni phantom, jadi kami belum bertemu musuh sejauh ini. Mungkin, Tino diam-diam menuntun kami ke arah yang aman.


Sesekali terdengar suara gemuruh yang bergema di dalam gua, tapi terdengar masih jauh.


Kurasa masih jauh… kurasa… kurasa saja begitu.


Namun, sudah cukup lama berjalan, tapi kami belum juga menemukan pintu keluar. Sepertinya arah kami benar, tetapi aku sungguh tak suka tempat penyimpanan berbentuk gua ini.


Mungkin aku sebaiknya minta maaf pada Tino.


Saat aku mulai berpikir untuk berbalik arah, Gilbert yang tampak tak tahan akhirnya angkat suara.


“Hei… jika kau punya rencana, aku minta maaf, tapi… kita ini sebenarnya menuju ke mana? Apakah ke arah pintu keluar?”


Ah, akhirnya kau bertanya. Tapi sayangnya, aku juga tidak tahu. Yah, tujuan utamaku memang pintu keluar.


Namun sebelum aku sempat menjawab, Tino buru-buru menyela.


“Gilbert, memahami maksud Master juga bagian dari latihan. Lagi pula, arah yang kita ambil ini bukan jalan keluar. Untuk mencapai pintu keluar, kita harus kembali melewati ruangan bos.”


“Se…serius? Bahkan dalam situasi ini, ini dianggap latihan?”


Serius? Dalam hatiku, aku bereaksi sama seperti Gilbert.


Aku benar-benar mengarah ke pintu keluar, tapi ternyata bukan di arah kanan... Jadi ruangan tadi adalah ruangan bos? Pantas saja para phantom di sana terasa lebih kuat.


Jadi sekarang kita harus kembali? Dan latihan di situasi seperti ini?


Sungguh keras pada diri sendiri... Tino.


“Kalau begitu, Krai, mungkin… sudah saatnya kau memberi tahu kami ke mana sebenarnya kau hendak pergi—”


“…”


Rhuda bertanya dengan nada cemas, membuatku merasa sedikit bersalah.


Ke mana aku sebenarnya hendak pergi? Kadang, aku juga merasa tersesat dalam hidup.


Aku merasa seperti petunjuk jalan yang tak pernah tahu arahnya.


Mungkin saatnya aku berbalik. Mungkin mereka sudah tak ada lagi di sana.


Seandainya hidup ini juga bisa seperti ini, aku merasa ingin menangis, tetapi aku tetap mencoba menjaga wajahku tetap tegar.


Aku mengambil belokan lain dan mencoba untuk memutar.


…Apakah aku benar-benar akan baik-baik saja?


Setelah berjalan beberapa menit dengan semangat baru, Greg-san akhirnya angkat bicara dengan suara parau.


Ketika aku menoleh, ia menatapku seolah aku adalah makhluk aneh.


“Tidak masuk akal… tidak ada jejak. Bahkan kau tidak memeriksanya—bagaimana bisa?”


“…Seperti yang kukatakan, Master tidak melakukan hal-hal sembarangan.”


“Ini bukan saatnya membahas itu! Kita… harus menolong mereka!” seru Rhuda sambil berlari.


Aku menoleh dan akhirnya melihat beberapa sosok manusia tergeletak jauh di ujung lorong.


Melihat ukurannya, jelas bukan phantom. Kalau diperhatikan, tampaknya mereka masih bergerak sedikit.


Apa-apaan itu? Apakah Greg-san juga melihat ini sebelumnya?


Pandangan kalian sungguh tajam. Aku bahkan hampir saja berbelok tanpa menyadarinya.


Tapi apakah ini benar-benar target yang harus kami selamatkan?


Aku tak menyangka mereka masih hidup… Beruntung sekali.


Tino menegakkan dadanya dengan bangga, lalu menatapku dengan ekspresi terpesona.


“Itulah yang kukatakan. Master sudah memikirkan semuanya.”


“Tidak, tidak, jika dipikir dengan logika, itu semua Cuma kebetulan, kan?”


Membaca masa depan seperti itu, bahkan dengan relik suci pun, tidak mungkin.


“... Kenapa orang yang menunjukkan jalannya malah berkata begitu?”


Gilbert menatapku dengan pandangan heran.


Orang yang kami selamatkan adalah seorang pria yang lebih besar dari Greg-san.


Dia mengenakan baju zirah yang berkilau keperakan dan membawa perisai besar yang dicat hijau. Di sampingnya, ada tombak besar berbentuk kerucut, yang jarang digunakan dalam peperangan antar manusia, tergeletak di sisi siap untuk diambil kapan saja. Dari kilauannya, kemungkinan itu juga adalah relik suci.


Namanya Rudolph Davout. Aku belum pernah mendengar namanya, tapi melihat tubuhnya yang besar dan berwibawa, bisa dimengerti jika dia diakui sebagai pemburu level 5.


Tino dan Greg-san tampaknya mengenalnya. Jadi, kalian sudah tahu bahwa pemburu level 5 ini tersesat, tapi tetap menerima permintaanku? Luar biasa.


Sepertinya Rudolph mengalami patah tulang. Saat mereka cepat-cepat mendekat, dengan cekatan mereka melepaskan zirahnya, yang aku bahkan tidak tahu cara membukanya, lalu memberinya ramuan penyembuh. Itu semua dilakukan oleh Tino dan lainnya.


Anggota lain yang tergeletak di dekatnya juga dalam kondisi babak belur dan terluka parah, tapi sepertinya mereka semua selamat, walaupun dengan kondisi yang sangat kritis. Bisa bertahan tanpa dibunuh di dalam tempat seperti ini adalah keajaiban.


“Apakah rasa sakitnya berkurang?”


Tino bertanya, dan Rudolph dengan suara serak mengucapkan terima kasih. Meski wajahnya pucat, matanya masih menyala dengan sedikit sisa api kehidupan.


“Haa... haa... i-ya, terima kasih... ka-kalian telah menyelamatkanku.”


“Ucapan terima kasih sebaiknya kau tujukan pada Master.”


“Tidak, aku sama sekali tidak melakukan apa-apa...”


Aku benar-benar tidak berguna, satu-satunya hal yang kulakukan hanyalah mengirim Tino ke sini.


... Eh? Haruskah aku sebenarnya menerima ucapan terima kasih?


Rudoph menatapku dengan pandangan buram. Dia telah berada di sini selama tiga hari, jadi meskipun sakitnya hilang, tubuhnya pasti sangat kelelahan.


Sebagai permintaan maaf, aku memberinya sebatang cokelat yang selalu kubawa sebagai camilan.


Rudolph melahapnya dengan rakus, dan setelah dia selesai makan, aku bertanya kepadanya.


“Bagaimana dengan makanan?”


“Ugh... itu…”


“Master, makanan kami juga ada di luar. Kami berencana untuk berkemah di luar.”


“Ah, begitu. Biasanya kami selalu berkemah di dalam sini.”


Teman-teman masa kecilku selalu menganggap tempat harta karun yang berbahaya sebagai lokasi latihan yang nyaman.


Setelah mereka sedikit tenang, kami memeriksa situasinya. Beberapa orang tidak sadarkan diri, tapi setelah minum ramuan, setidaknya mereka aman untuk saat ini.


Namun, dengan semuanya hidup, masalah baru pun muncul.


Dari sudut pandang serikat penyelamat, menyelamatkan nyawa mereka adalah kabar baik, tapi dari sudut pandang kami, itu berarti lebih banyak beban.


Mengangkut lima orang yang terluka sangatlah merepotkan, apalagi dengan adanya hantu menyeramkan di sini.


Kami juga tidak punya banyak tenaga tersisa. Rudolph mungkin seorang pemburu level 5 yang andal, tapi dalam kondisi kelaparan dan tanpa air selama tiga hari, menghadapi hantu itu pasti mustahil baginya.


Lagi pula, karena kalah dalam pertarungan itulah mereka ada di sini sekarang, kan?


Bisakah dia benar-benar bergerak? Zirahnya sangat besar.


Membawanya saja sudah sulit, apalagi tombaknya. Kalau saja aku tidak menjatuhkan pedang relik suci dalam perjalanan ke sini, mungkin situasinya akan berbeda. Tapi dalam kondisi ini, dia mungkin harus melepas zirahnya.


Jika terus berbaring di sini, kita tidak tahu kapan hantu itu akan datang.


Rudolph mungkin beruntung, tapi aku sangat tidak beruntung.


Tino menatap langsung ke mata Rudolph yang masih bingung, lalu mulai menanyakan situasi dengan cepat.


“Apa yang terjadi? Kau adalah hunter level 5... seharusnya kau bisa bertarung di ruang harta karun ini.”


Benar juga. Level 5 adalah tingkatan yang sudah bisa dianggap sebagai seorang ahli. Dia bukan pemburu yang levelnya naik tanpa alasan seperti diriku. Selain itu, Rudolph tidak masuk ke ruang harta karun ini sendirian.


Ketika Tino bertanya, Rudolph mengatupkan bibirnya sesaat, lalu mulai bercerita dengan suara bergetar.


Tatapan matanya yang terbuka lebar mengisyaratkan rasa takut yang mendalam.


“Haa... haa... a-ada yang mengerikan di sini. Ini bukan level 3... di sini ada... sesuatu yang sangat berbahaya. Kami tidak lengah, tapi... tidak ada yang bisa melawannya. Serangan kami tidak mengenai, tombak kami... tidak bisa menyentuhnya...”


“Oh, aku mengerti. Yang kau maksud pasti ksatria serigala dengan setengah wajah tertutup tulang manusia. Kami juga sudah bertarung dengannya.”


Gilbert mengangkat bahu sambil mendengar cerita Rudolph yang penuh rasa takut. Sepertinya dia tidak terlalu peka terhadap situasi ini.


Namun, Rudolph langsung membelalak dan menggelengkan kepalanya.


“Se-setengah? Tidak... bukan itu. Yang menyerang kami adalah... hantu dengan seluruh wajah tertutup tulang. Kita harus segera kabur...”


Ekspresinya pucat pasi. Matanya yang terbuka lebar tampak seperti melihat bayangan ‘musuh’ itu, bergetar ketakutan.


Tino menatapku dengan ekspresi tegang. Jangan menatapku seperti itu... ini bukan salahku...


Tapi, kalau ada yang lebih kuat lagi, aku jadi ingin mengajukan komplain.


Apa yang terjadi dengan ruang harta karun ini?


... Meskipun aku selalu tidak beruntung, kita pasti tidak akan bertemu dengannya, kan?


Aku ingin tertawa, tapi situasinya tidak memungkinkan.


“Master... Kau memang luar biasa. Master adalah dewa! Dewa!”


“…Bagaimana kau melakukannya?”


“Itu rahasia.”


Dari kantong kulit kecilnya, Hunter yang sangat dihormati itu terus-menerus mengeluarkan batang cokelat satu demi satu dan membagikannya kepada teman-temannya, membuat Tino penuh rasa kagum.


Ibukota Kekaisaran sangat luas. Ada banyak sekali Hunter yang berbakat, tapi jika harus memilih satu, Tino pasti memilih Krai Andrey. Wibawanya—termasuk kepribadian yang mudah didekati—adalah semua yang Tino kagumi.


“Tidak ada makanan lain selain cokelat?”


“Tidak ada. Tapi kalau cokelat, aku punya banyak.”


Wajah Rhuda yang tampak lelah dan kata-kata Gilbert yang kasar tak memengaruhinya sama sekali. Dengan batang cokelat yang terus muncul dari kantong kulit kecilnya seperti sulap, suasana yang tegang di tempat itu pun mulai mencair.


Guru Tino, “Onee-chan”, sangat kuat. Sangat kuat hingga tampak seperti monster, tapi Master tak hanya sekadar kuat. Ia memiliki kebaikan yang selalu hadir di saat-saat genting, membantu Tino yang tak mampu melewati cobaan yang diberikan padanya. Di tengah pertempuran, meskipun ia seharusnya bisa mengalahkan phantom itu dengan mudah, ia tetap menghemat waktu dan mengambil keputusan yang lebih penting—yaitu menyelamatkan orang-orang yang terlupakan oleh Tino.


Kemampuan pelacakan yang cepat tanpa berhenti seperti seorang pencuri berpengalaman, yang membuatnya menemukan korban yang terdampar. Mungkin alasan kenapa Phantom belum muncul di sini karena ia telah mendeteksinya terlebih dahulu atau Phantom malah takut padanya seperti yang terlihat di ruangan bos.


Dan hal lain yang tak bisa dilupakan—adalah kemampuannya untuk mengesampingkan harga diri dan bertingkah jenaka demi mencairkan suasana. Banyak yang menganggap Ark sebagai Hunter muda terkuat, tapi Ark tidak mungkin mampu melakukan hal yang sama.


Dari sudut pandang Tino, Master adalah sosok yang sempurna dan pantas berada di level 10. Satu-satunya masalah adalah kebiasaannya memberikan cobaan yang keras dengan standar bakatnya sendiri, tetapi itu pun merupakan cambuk kasih sayang. Saat benar-benar tak ada jalan keluar, Master akan datang untuk membantu. Hal itu tak bisa dianggap sebagai kelemahan.


“Lalu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?”


“Tentu saja, kita segera keluar dari sini. Tujuan kita sudah tercapai.”


Master menjawab dengan segera atas pertanyaan Greg. Bagi seorang Hunter, bertarung melawan musuh tangguh dan memenangkan pertarungan adalah sebuah kehormatan. Tapi tak ada keraguan dalam jawabannya. Mungkin ia mempertimbangkan kondisi fisik para korban yang baru saja diselamatkan. Meski mereka sudah makan cokelat berkalori tinggi, enam orang yang terdampar itu belum sepenuhnya pulih.


Atau mungkin, Phantom tadi bukan lawan yang perlu dikhawatirkan bagi Master. Hanya dengan melihat sosoknya saja, tubuh Tino yang tadinya lelah pun dipenuhi semangat baru. Ia tak ingin lagi terlihat tak berdaya di depan orang yang dikaguminya.


Ketika Master tiba untuk menyelamatkannya, Tino sangat senang. Tapi ia juga ingin diakui. Meskipun kemampuannya mungkin tak berarti dibandingkan dengan level 8.


Tiba-tiba, Master menoleh ke arah Tino. Seketika itu juga, detak jantung Tino berdegup kencang. Dengan senyum lembut, Master berkata, 


“Yah, kali ini, pemimpin misi ini adalah kau, Tino. Jadi kita akan mengikuti kata-katamu.”


“!? Eh... Tidak mungkin... dibandingkan dengan Master...”


Tino tak dapat menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Bahkan tanpa Tino yang berkata seperti itu, hal itu tak mungkin dilakukan. Seorang Hunter level 8 yang penuh pengalaman, yang bisa mendeteksi anomali di ruang harta hanya dengan berada di kota, seorang tak terkalahkan 《Transformasi Seribu Trik》 hampir tak ada tandingannya di Ibukota Kekaisaran.


Namun, ketika Tino mulai ragu, Master berkata dengan serius, 


“Ini juga bagian dari pengalaman. Kalau memang mendesak, aku akan membantumu.”


Setelah mendengar kata-kata itu, Tino tidak lagi ingin menyerahkan semuanya pada Master. Dengan mengamati raut wajah Master, ia berpikir keras dan mengeluarkan kata-kata.


“Aku setuju dengan Master, kita harus segera keluar dari sini melalui jalur tercepat.”


“Tentu saja, Tino yang akan memandu kita, kan?”


Tanpa sadar Tino mengangguk. Sudah sewajarnya sebagai Hunter, peta ruangan harta di sini sudah ada di kepalanya. Ia tahu posisi saat ini, jadi tak perlu khawatir tersesat.


Menemukan korban kali ini karena ia mengikuti arahan Master, tapi ia tak bisa terus-menerus bergantung pada kebaikan itu.


“Tentu saja. Walaupun mungkin tidak bisa menghindari semua Phantom seperti Master...”


“Eh? Ah, iya, benar sekali. ...Yah, usahakan untuk menghindari sebisa mungkin. Itu sangat penting.”


“Ya. Tentu saja. Karena sekarang aku tidak merasakan sakit, kali ini aku bisa berlari dengan benar.”


“!? T-itu benar. Tadi memang agak lambat. Tapi, jangan lupakan orang-orang yang baru saja kita selamatkan, ya.”


Wajah Tino memerah karena malu mendengar kata-kata itu. Ia benar-benar melupakan semuanya. Terlalu fokus pada perhatian Master hingga hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia merasa sangat malu. Ia ingin masuk ke dalam lubang, namun ia menarik napas panjang untuk menenangkan diri.


Saat ini, bukan waktunya memikirkan rasa malunya. Dari sudut pandang Master, pasti ada banyak kekurangan pada dirinya. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah memberikan yang terbaik.


Menahan perasaan gentarnya di bawah tatapan serius Master, Tino berbicara dengan tegas.


“Dan... meskipun ini mungkin tak perlu dikatakan, karena ada Master di sini, tapi... mungkin kita sebaiknya mencari informasi mengenai serigala berzirah berbentuk manusia yang menyerang Rudolph.”


Tanpa suara langkah sedikit pun, sosok kecil tiba-tiba memasuki ruangan, membuat Serigala berzirah Perak mengangkat kepalanya perlahan. Di bawah kakinya tergeletak serpihan logam yang telah hancur. Bau yang menempel di serpihan itu asing, belum pernah dicium sebelumnya, namun begitu tercium, nalurinya langsung memperingatkan bahwa itu adalah sesuatu yang harus diwaspadai.


Namun, kini ia menyadari bahwa benda itu sudah tidak berbahaya lagi dan bahwa dirinya telah tertipu. Serigala berzirah ini adalah individu yang memiliki kecerdasan setara atau bahkan lebih tinggi dari Silvermoon yang pernah ada. Ia juga paham bahwa jika bertemu lagi, ia dapat menghancurkannya hingga berkeping-keping.


Rantai misterius yang sebelumnya melilit kakinya dan menahan gerak Serigala berzirah Perak kini telah kehilangan kekuatannya dan jatuh ke tanah. Jika rantai serupa dilemparkan lagi, ia sudah tahu cara mengatasinya. Itu tak lagi menjadi masalah.


Ia mengangkat pedang besar yang tingginya hampir menyamai tubuhnya, lalu dengan gerakan lamban seolah agak malas, ia menoleh ke arah bayangan tersebut. Dari lubang mata tengkorak yang menutupi setengah kanan wajahnya, mata merah menyala memancarkan kebencian yang lebih kuat dari sebelumnya.


Dua Serigala berzirah lainnya, yang sama kuatnya dan bersenjata busur serta gada, tetap berada di ruangan itu seolah sedang menunggu, kini juga mengangkat kepala mereka.


Di hadapan pandangan mereka adalah sosok kecil yang wajahnya sepenuhnya tertutup tengkorak yang menyeringai penuh kebahagiaan. Ukuran tubuhnya hanya sepertiga dari tinggi Serigala berzirah Perak yang menjulang hingga nyaris menyentuh langit, namun aura kematian yang menyelimutinya jauh melampaui Serigala berzirah itu.


Di tangannya tergenggam sebuah pedang berukuran sedang dengan bilah yang transparan, berbeda dari senjata Serigala berzirah Perak. Pedang itu, bernama Silent moon (Bintang Sunyi), adalah senjata istimewa yang memancarkan cahaya berbeda dari senjata biasa dan kini bergoyang dalam genggamannya yang longgar. Serigala berzirah tak akan pernah tahu bahwa ini adalah senjata yang dulunya melekat di punggung seorang Hunter level 8 sebelum akhirnya dibuang.


Armor yang dikenakan sosok itu bukanlah armor pelat, melainkan pakaian ringan yang seolah dirancang untuk memberi kebebasan bergerak layaknya manusia. Hanya sepatu botnya yang bersinar dengan warna perak hingga menutupi dekat lututnya.


Harta yang dikenal sebagai Sarang Serigala Putih adalah sejarah pembantaian, kutukan yang ditinggalkan oleh Silvermoon, binatang buas legendaris. Emosi kebencian yang melekat telah memberi pengaruh kuat pada Mana Material yang terkumpul di dalam sarang tersebut.


Apa yang ada di sana adalah kebencian terhadap manusia, sekaligus kekaguman yang mendalam. Kekaguman akan kekuatan. Kekaguman akan bentuk tubuh. Kekaguman akan kebijaksanaan.


Kekaguman dan kebencian adalah dua sisi dari satu koin. Kemampuan Serigala berzirah Perak berdiri dengan dua kaki dan mengenakan peralatan adalah wujud dari perasaan itu. Tengkorak yang menutupi sebagian kepala mereka adalah simbol dari kekaguman yang bertransformasi menjadi bentuk manusia.


Lantas, bagaimana dengan sosok yang wajahnya sepenuhnya ditutupi tengkorak?


Dahulu, sarang ini tak mampu mengaktualisasikan kutukan sekuat ini karena kekurangan Mana Material. Namun kini, tempat itu telah berubah menjadi wilayah yang cukup berbahaya hingga mampu menahan Hunter level 5.


Di hadapan tiga Serigala berzirah Perak, sosok kecil yang wajahnya tertutup tengkorak menyeringai berjalan mendekat dengan langkah tenang. Dipenuhi kebencian yang pernah mereka rasakan, Serigala berzirah itu mengeluarkan raungan yang menggema.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close