Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 4
Seperti Permen
Hari Minggu pun tiba.
Karena ini akhir pekan, tadi malam aku begadang hingga larut. Mungkin aku terlalu bersemangat bermain game. Akibatnya, aku baru bangun pukul sebelas pagi... atau lebih tepatnya, sudah siang hari.
Saat turun dari kamar di lantai dua ke ruang tamu di lantai satu, aku melihat ada catatan dan sepiring nasi goreng yang ditutup plastik wrap di meja makan.
"Ayah dan Ibu pergi ke rumah Hinata."
Oh iya, rasanya tadi malam mereka sempat membicarakan hal itu.
Hinata adalah nama kakak perempuanku. Dia berusia 27 tahun, sepuluh tahun lebih tua dari aku, dan sudah menikah beberapa tahun lalu sehingga tinggal di luar rumah.
Sepertinya orang tuaku baru akan pulang malam nanti. Mereka bilang ingin bermain dengan cucu perempuan mereka.
Sendirian hingga malam. Biasanya aku senang dengan hal itu, tetapi hari ini aku juga ada rencana keluar rumah, jadi tidak banyak artinya. Setelah makan nasi goreng, aku pun bersiap-siap.
Aku mandi untuk sedikit meningkatkan kesan rapi, lalu memilih pakaian yang terlihat sederhana. Karena wajahku yang tidak terlalu tampan, memakai apa pun rasanya tidak banyak pengaruh. Tetapi, hal semacam ini tetap penting, jadi aku bercermin.
Kemeja abu-abu, celana panjang biru tua, dan kaus dalam hitam. Hmm, penampilanku sangat sederhana. Melihat refleksi ini, aku hanya bisa tertawa kecil.
Ya, ini biasa saja. Tetapi sebenarnya, aku cukup suka dengan kepribadianku yang sederhana. Itu sebabnya, aku juga menyukai gaya berpakaian yang simpel.
Daripada memaksakan diri atau tampil berlebihan, ini terasa lebih mencerminkan diriku. Setelah puas, aku berhenti memikirkan soal penampilan dan mengecek ponsel.
Saat ini pukul 13.00. Tujuanku, Aeon Mall, bisa dicapai dengan jalan kaki selama 15 menit. Jadi, kalau aku berangkat sekitar 30 menit lagi, waktunya akan pas.
Ketika sedang menyusun rencana, notifikasi muncul di layar ponsel.
["Halo, ini aku Hoshimiya Hime. aku akan berangkat sekarang. Hari ini mohon bantuannya."]
Oh, itu pesan dari Hime.
Tadi malam, dia mengirim permintaan pertemanan, dan aku menerimanya. Kami sempat bertukar salam singkat, dan seperti biasa, pesannya sederhana tanpa emoji atau stiker.
Dalam arti positif, pesannya terasa tenang. Dalam arti negatif, mungkin agak dingin. Tapi karena aku juga menyukai hal-hal simpel, aku merasa pesan Hime justru menyenangkan.
Bahasanya yang singkat dan jelas terasa cocok dengan kepribadiannya, membuatku tersenyum.
["Aku juga akan berangkat sebentar lagi. Hari ini mohon bantuannya ya."]
Beberapa detik kemudian, pesanku sudah dibaca, dan balasannya adalah kalimat singkat: ["Mohon bantuannya juga."] Setelah melihat itu, aku menutup aplikasi pesan.
Lalu notifikasi lain muncul lagi. Kali ini dari Hijiri.
Pesannya tidak ada, hanya sebuah stiker dengan gambar manusia kecil aneh yang berkata, "Yoro~" (mohon bantuannya).
Entah dari mana dia mendapatkan stiker seperti stiker itu. Sepertinya dia malas mengetik.
Aku balas dengan stiker serupa bertuliskan "Mohon bantuannya juga."
Tampaknya, saudara Hoshimiya sudah selesai bersiap. Setelah menerima pesan dari mereka, aku juga meninggalkan kamar.
Meski masih agak awal, aku memutuskan untuk berangkat sekarang. Membuat mereka menunggu rasanya tidak sopan, dan jika aku tiba lebih dulu, menunggu pun tidak akan terlalu lama.
"Panas sekali..."
Begitu keluar rumah, aku melihat langit cerah yang seakan melupakan musim hujan. Aku memang tidak tahan panas.
Meskipun garis musim hujan masih ada, belakangan hujan sering turun di malam hari, jadi siang hari lebih sering terasa cerah. Bahkan ramalan cuaca memperkirakan siang ini akan cerah. Jadi, aku keluar rumah tanpa membawa payung.
Tidak hujan memang menyenangkan, tetapi aku berharap langit sedikit berawan. Pikiran itu terasa seperti keinginan yang terlalu berlebihan.
Dengan langkah santai, aku berjalan di bawah terik matahari.
Sekitar lima belas menit aku berjalan kaki.
Dalam waktu itu, aku tiba di pusat perbelanjaan "Aeon". Ini adalah fasilitas komersial terbesar di daerah ini. Jika berjalan dari satu ujung ke ujung lainnya, pasti akan sangat melelahkan. Begitulah luasnya tempat ini.
"Fiuuh."
Aku membeli minuman kaleng dari mesin otomatis yang ada di pintu masuk. Setelah berjalan di bawah panas matahari, aku merasa haus, jadi aku meneguk minuman soda sebagai hadiah karena sudah berusaha.
Sensasi soda dingin yang menyegarkan sangat memuaskan tenggorokanku.
Setelah menenggaknya dalam sekali minum, aku membuang kaleng kosong ke tempat sampah.
Ngomong-ngomong, kakak beradik Hoshimiya belum tiba. Saat aku mengirim pesan bahwa aku sudah sampai, mereka membalas bahwa mereka juga akan segera datang.
(Aku mungkin agak gugup.)
Jika bertemu dengan teman sesama pria, aku bisa saja santai, tetapi ini pertama kalinya aku janjian dengan teman lawan jenis. Aku jadi khawatir, seharusnya aku berpenampilan lebih rapi.
Sambil cemas, aku mencari-cari mereka dengan mataku.
Mungkin karena hari libur, tempat ini sangat ramai. Aku sempat berpikir kalau mungkin aku tidak akan menemukan mereka, tetapi aku segera menggelengkan kepala.
Karena aku sudah melihatnya. Meskipun jaraknya masih jauh, rambut perak berkilauan itu sangat mencolok. Meskipun tubuhnya kecil, tidak mungkin aku akan melewatkan gadis itu.
"...Cantik."
Semakin mendekat, semakin jelas sosok keduanya.
Kakak beradik Hoshimiya mengenakan pakaian yang mirip. Mungkin saja disengaja. Keduanya mengenakan gaun putih polos, yang sangat cocok untuk mereka.
Aku sampai terpesona. Terutama Hime, yang terlihat begitu indah seperti peri, membuatku tidak bisa memalingkan mata.
Rambut perak dan kulit putihnya berpadu sempurna dengan gaun putih itu. Kelembutan dan kecantikan Hime tampak lebih menonjol dari biasanya.
Dia mengenakan ponsel dengan tali gantungan di lehernya, dan bahkan itu terlihat lucu hari ini.
Sementara itu, Hijiri-san, yang memiliki kesan lembut dan santai, tampak sangat serasi dengan gaun santai yang dikenakannya. Rambutnya yang bergelombang dan tas selempang berwarna cokelat adalah satu-satunya warna selain putih di penampilannya.
"Kak, di sana. Itu Yohei-kun."
"Hah? Di mana? Hmm... Oh, itu dia. Yohei! Ooi!"
Ketika jarak tinggal beberapa meter, sepertinya mereka berdua akhirnya menyadari keberadaanku. Lebih tepatnya, hanya Hime yang melihatku, sementara Hijiri-san belum memperhatikannya.
"Ooi."
Karena Hijiri-san melambai, aku pun membalas lambaian itu. Meskipun aku merasa itu terlalu berlebihan karena aku tidak bersembunyi di antara kerumunan.
"Yohei-kun, halo. Apa kami membuatmu menunggu?"
"Enggak. Aku cuma menunggu sebentar, kok."
"Tapi masih jam setengah dua belas, lho? Kalian cepat sekali~."
Padahal kami berjanji bertemu jam dua, tetapi kami sudah berkumpul tiga puluh menit lebih cepat.
"Hime-chan, bukankah kita berangkat terlalu cepat? Aku sebenarnya ingin lebih santai tadi saat makan siang."
"Kakak terlalu santai. Bahkan tadi bangun tidur pun nyaris terlambat. Kalau kita mengikuti ritme kakak, kita pasti akan terlambat."
"Fufu. Tapi sebenarnya, kamu saja yang tidak sabar menunggu, kan?"
"…Itu… ya, mungkin begitu."
Hime sepertinya benar-benar menantikannya.
Melihat antusiasmenya membuatku ikut tersenyum. Dengan penampilannya yang begitu manis, ia tampak semakin imut dari biasanya.
"Ngomong-ngomong, Yohei? Boleh kan, kalau kamu kasih komentar sekarang~?"
"Komentar apa?"
"Ayolah~. Tentunya tentang pakaian Hime-chan dan aku!"
...Jadi, aku harus memberikan komentar ya.
Jika Hijiri-san dengan santai meminta pendapat seperti ini, maka diam saja pasti sudah salah.
"Kalian sangat imut sampai aku terpesona."
"…Wah."
"…Ehehe."
"Lho, kenapa kalian jadi malu?"
Padahal aku hanya menjawab sesuai permintaan. Kenapa ini malah terasa memalukan?
"Ah, aku hanya sedikit terkejut. Kukira kamu akan berkata 'pakaian kembar ya' atau 'kalian kompak sekali sebagai kakak beradik.' Tapi kamu ternyata bisa juga ya~."
"…Ehehe."
Jadi seperti itu ya. Karena kurang berpengalaman dengan perempuan, aku jadi tidak tahu cara bersikap.
Mungkin aku seharusnya mulai dari komentar yang lebih umum.
"Yohei-kun memujiku~."
Dan Hime terus tersenyum lebar sejak tadi.
Kalau dia begitu senang, aku rasa tidak apa-apa. Aku pun berterima kasih pada Hime yang membuatku berpikir begitu.
"Fufu. Jelas saja imut. Aku yang memilih pakaian ini, lho. Gaun putih polos itu memang mencolok, jadi biasanya jarang dipakai. Tapi karena Hime-chan cocok saat memakainya, aku sekalian memadukan gayanya denganku. Dua kali lipat imut, bukan? Tidak, ini lebih seperti pangkat dua!"
"Kakak, satu dikuadratkan hasilnya tetap satu, lho!"
"A-aku dan Hime-chan bukan satu! Kalau kami bersama, itu jadi tak terhingga!"
"Tak terhingga dikuadratkan pun tetap tak terhingga. Tidak ada perubahan nilai."
"Gak mau dengar~. Matematika itu tidak penting!"
Dan waktu matematika ala Hijiri-san pun berakhir begitu saja.
"Yohei, kamu itu... sungguh sangat sederhana!"
Mungkin untuk mengganti topik, Hijiri-san tiba-tiba memandangiku dari atas ke bawah.
"…Sampai-sampai jadi terlihat keren."
"Bukan keren, aku cuma memilih pakaian yang tidak aneh kok."
"Apakah kamu tidak ada keinginan untuk tampil lebih baik gitu kah, Yohei? Kamu orang yang aneh ya~."
"Ini biasa atau aneh, sih?"
Kalau pakaianku tidak aneh, maka itu sudah cukup bagiku.
"Hime-chan, kamu ada komentar untuk Yohei juga?"
"──Keren."
"Serius?"
Hijiri-san sepertinya kesulitan memahami gaya pakaianku, tetapi Hime tampaknya puas.
"Dibandingkan dengan seragam, kamu terlihat lebih dewasa. Penampilan sederhana yang khas Yohei-kun ini sangat cocok. Aku sangat menyukainya."
Komentar yang tidak kuduga. Dipuji seperti ini membuatku agak malu.
"Terima kasih. Aku senang kamu bilang begitu, Hime."
"…Aku hanya membalas pujianmu tadi. Tapi ini tulus, kok."
Tak perlu menegaskan, aku sudah tahu itu. Aku tidak se sinis itu untuk meragukan ketulusan Hime.
"Benar, kan? Kalau Hime-chan sampai bilang begitu, artinya kamu keren! Bagaimana, Yohei?"
"Kalau ditanya begitu..."
Itu jelas bukan gaya yang keren, jadi aku hanya bisa membantahnya.
Terlepas dari kecurigaan aneh yang ditujukan kepadaku oleh Hijiri-san…
"Di luar panas, ayo masuk ke dalam dulu saja."
Setelah basa-basi sebentar, aku mengajak mereka masuk ke dalam toko.
"Oke~."
"Baiklah."
Keduanya mengangguk, lalu aku berjalan mendahului mereka.
Saat melewati pintu otomatis, udara dingin dari dalam yang keluar menyentuh kulitku yang berkeringat—rasanya sangat menyegarkan.
Beberapa langkah ke dalam, udara lembab yang tadi terasa langsung berubah menjadi sejuk dan nyaman.
Kami pun tiba di pusat perbelanjaan 'Aeon'.
"…Luas, besar, dan banyak sekali."
Bagi Hime, ini adalah pertama kalinya dia mengunjunginya. Saat melihat reaksinya, dia tampak melongo, memandang dari pintu masuk ke seluruh bagian dalam toko.
Bangunan ini memiliki desain terbuka, dengan lantai atas dapat dilihat dari lantai bawah. Dari lantai satu hingga lima, ada banyak toko, dan pemandangan orang-orang yang sibuk berlalu-lalang bisa membuat terkejut bagi yang baru pertama datang ke sini.
Hime kemudian tampak sedikit khawatir. Dia terlihat lebih dekat dengan Hijiri-san—mungkin dia takut dengan keramaian.
Apakah aku seharusnya tidak mengajaknya ke sini?
Sejenak aku berpikir begitu, namun...
"Hime-chan, tidak apa-apa~. Ayo pegang tangan kakak dengan baik, ya? Kalau tidak, nanti kakak yang malah tersesat. Kamu harus lebih kuat, ya?"
Suara lembut dan santai Hijiri-san langsung menghilangkan kekhawatiran itu.
Orang ini memang tidak berubah. Di mana pun, dan apa pun yang sedang dia lakukan, dia tetap tenang seperti biasanya. Ada semacam rasa aman yang aneh darinya.
"…Baik. Aku akan berhati-hati agar kakak tidak tersesat."
Ekspresi murung Hime langsung menghilang.
Begitu dia menggenggam tangan Hijiri-san, dia tersenyum kecil, seolah merasa lega.
(Seperti yang diharapkan dari 'kakak')
Aku teringat saat Hijiri-san mengatakan dia tidak ingin membuat adiknya, Hime, merasa khawatir.
Meskipun ini hal yang biasa dia lakukan, mungkin Hijiri-san sendiri tidak menyadari betapa pentingnya keberadaannya bagi Hime.
(Kalau begini, sepertinya tak masalah)
Berkat dirinya, sepertinya kami bisa menghabiskan hari ini dengan menyenangkan.
Aku bersyukur Hijiri-san ada di sini.
Tempat pertama yang kami tuju adalah area permainan.
Untuk ukuran yang terletak di dalam mal, tempat ini cukup besar. Ada berbagai macam permainan seperti crane game, photo booth, balapan, permainan koin, permainan musik, tembak-menembak, game pertarungan, hingga olahraga.
Di sini, keinginan Hime untuk bermain game bisa terpenuhi.
"Hime-chan, lihat! Ada banyak sekali camilan!"
"Iya, banyak banget."
"Di sana ada boneka juga! Lucu sekali ya!"
"Iya, lucu."
"Dan di sini... televisi!? Hadiah game zaman sekarang luar biasa, ya, Hime-chan!"
"Iya, luar biasa... dan antusiasme Kakak juga."
Seperti pemilik yang terseret oleh anjing penuh semangat, Hime yang bergandengan tangan dengan Hijiri-san dipaksa berkeliling area mesin capit.
Awalnya kita datang untuk memberi Hime pengalaman bermain, tapi Hijiri-san yang malah sangat antusias.
"Yohei, ayo main ini! Aku bisa dapat semuanya, kan?"
"Ya... cobalah dulu, nanti kamu tahu sendiri."
Hijiri-san sepertinya baru pertama kali ke pusat permainan. Ia bahkan tidak tahu cara kerja crane game, jadi aku memintanya mencoba.
"Kamu bisa mengatur arah cakar menggunakan tombol."
"Hmm, jadi kalau waktunya pas, bisa dapat, ya?"
"Ya... semacam itu lah."
Setelah aku menjelaskan, ia langsung mulai bermain. Dengan wajah menempel di kaca, fokusnya sepenuhnya pada cakar pencapit.
Targetnya adalah kantong besar berisi camilan lezat, dengan cincin di bagian atas yang sepertinya mudah untuk dijepit cakarnya. Setidaknya, itu kelihatannya begitu.
"Di sini, begini... begini... eh, kok lepas?"
Cakar crane meleset dengan mulus, tak mampu mengangkat cincinnya.
"Aneh, coba lagi!"
Ia mencoba lagi, tapi hasilnya sama.
"Sepertinya menjepit untuk mengangkat itu sulit. Cakar crane-nya lemah." kata Hime setelah memperhatikan beberapa kali.
"Mungkin kita harus menggesernya sedikit demi sedikit hingga jatuh, atau memanfaatkan kemiringan."
"Hmm, aku nggak paham!"
Tanpa memikirkan teori itu, Hijiri-san langsung memasukkan koin lagi.
"Pokoknya aku harus dapat ini!"
Sepertinya dia cukup kompetitif.
"Yohei-kun, kalau Kakak sudah begini, tidak ada yang bisa menghentikannya. Biarkan saja ya."
"Kurasa cakar itu terlalu lemah. Kita harus coba mesin lain."
"Sepertinya begitu. Kalau bentuk dan cara kerja mesinnya berbeda-beda, lebih baik pilih yang terlihat lebih mudah."
Hime memang cepat mengerti.
"Boleh aku lihat-lihat mesin lain?"
"Tentu, tapi bagaimana dengan Hijiri-san?"
"Jangan khawatirkan Kakak. Dia tidak akan bergerak dari sana untuk sementara waktu."
Dengan Hijiri-san yang sedang asyik, aku dan Hime mulai menjelajahi tempat lain.
Hime tampak penasaran, memandang mesin-mesin lain dengan penuh perhatian. Setiap kali dia bergerak, ujung gaun one-piece-nya bergoyang pelan—terlihat sangat manis.
...Oh, tidak. Sepertinya aku terlalu memperhatikan pakaian Hime.
Aku sadar sedang menatap lebih dari biasanya, dan tiba-tiba merasa malu. Aku harus mengontrol diri.
"Ini... hmm, terlihat sulit."
Saat kami berjalan-jalan, Hime tiba-tiba berhenti. Ia menatap sebuah crane game dengan hadiah boneka besar berbentuk beruang.
"Sepertinya sulit untuk mendapatkannya."
Meski berkata begitu, Hime tidak beranjak. Tatapannya terpaku pada boneka itu.
Walau tahu sulit, ia tetap menatapnya. Mungkin ia jatuh hati pada pandangan pertama?
Meski wajahnya tanpa ekspresi, perasaannya terlihat jelas.
"Kenapa tidak mencobanya saja? Aku merasa kamu mungkin bisa mendapatkannya."
Boneka itu terlihat memiliki banyak bagian yang mudah dijepit, seperti kepala, tangan, dan kaki.
Setelah aku menyemangatinya, Hime berpikir sejenak lalu mengangguk kecil.
"Baiklah... kalau Yohei-kun bilang begitu, aku akan coba."
"Bagus. Semangat, ya."
Namun, saat akan bermain, ia menyadari sesuatu.
"Oh... ternyata uangnya dibawa Kakak. Aku akan coba nanti saja dah."
Ia baru ingat dompetnya dipegang Hijiri-san.
"Kalau nanti, mungkin akan lama."
Melihat Hijiri-san yang masih asyik, aku merasa butuh waktu lama sampai ia selesai.
"Kalau begitu, aku yang bayar. Aku ingin lihat Hime bermain."
Karena Hime ingin mencoba game ini karena penasaran dengan hobiku, aku merasa tidak keberatan mengeluarkan uang untuknya.
"Tapi... rasanya aku tidak enak."
Hime tentu saja ragu, terutama soal uang.
Jika terus memaksa, mungkin ia malah merasa tidak nyaman, jadi aku mengubah pendekatan.
"Kalau begitu, hadiahnya buat aku saja. Bisa kamu ambilkan untukku?"
Bukan soal membayarkan, tapi aku ingin dia main untukku.
Setelah berpikir sebentar, Hime menatapku dan tersenyum kecil.
"Yohei-kun ternyata cukup licik ya."
"Tidak juga."
Ketika aku tertawa kecil, ia mengangkat bahu dan menaruh tangannya di tombol crane.
"Kalau begitu, aku akan bermain. Aku akan berusaha untuk Yohei-kun."
Hime tampak senang. Rasanya ia mengerti niatku dan memilih untuk ikut serta.
"Kalau begitu, aku serahkan padamu."
Aku memasukkan koin ke dalam mesin, dan permainan dimulai.
"Hmm... ternyata, sulit juga menggerakkannya dengan bebas."
Terdapat sedikit keterlambatan pada respons tombol.
Pada permainan pertama, dia gagal menggerakkan lengan penjepit sesuai harapannya. Aku segera memasukkan koin kedua dan mendorong Hime untuk mencoba lagi.
"Kalau ini... hmm."
Percobaan kedua berhasil membuat penjepit menyentuh boneka beruang. Kakinya berhasil tersangkut, tetapi karena bagian kepala lebih berat, boneka itu hanya bergeser posisi tanpa bisa diangkat.
"Pusat gravitasinya ada di kepala, jadi mungkin lebih baik aku menargetkan area itu."
Seperti yang kuduga, Hime dengan tenang menganalisis situasi.
Pada percobaan ketiga, dia mengubah targetnya ke bagian kepala. Ketika lengan penjepit turun ke posisi itu, boneka berhasil tersangkut, lalu bergeser cukup signifikan. Melihat hasilnya, Hime mengangguk puas.
"Sepertinya ini berhasil."
Dia terus mengulang cara yang sama beberapa kali hingga boneka itu bergeser ke arah lubang pengambilan hadiah. Pada percobaan kesembilan, kepala boneka sudah mencapai tepian lubang.
"Sepertinya kali ini pasti berhasil."
"Hime, kamu pasti bisa!"
Aku tanpa sadar semakin bersemangat memberikan semangat padanya. Saat koin kesepuluh dimasukkan, aku bahkan mulai berseru mendukungnya.
"……"
Kali ini Hime tidak berkata apa-apa. Dia sepenuhnya fokus, kedua tangannya menekan tombol dengan mantap, membuatnya tampak sangat ingin aku dukung lebih banyak.
Ayo, semangat! Aku bersorak dalam hati, seperti seorang ayah yang menyaksikan pentas anaknya di taman kanak-kanak.
"......Hup."
Dia menggerakkan penjepit ke arah horizontal terlebih dahulu, lalu ke arah vertikal. Setelah memastikan posisi dari sisi mesin, dia kembali dan melakukan penyesuaian kecil sebelum menekan tombol untuk menurunkan penjepit. Kini, semuanya bergantung pada keberuntungan.
"Ayo!"
Penjepit perlahan bergerak dan menyentuh kaki boneka. Namun, posisinya tampak sedikit terlalu ke depan, sehingga sulit untuk menjepit bagian itu.
Sepertinya akan gagal. Begitu pikiranku terlintas, Hime dengan suara penuh keyakinan berkata,
"Berhasil."
Pendapatku yang dangkal langsung terpatahkan. Semua ini ternyata sesuai dengan perhitungannya.
"Wahhh!"
Aku terkejut.
Penjepit hanya menyentuh bagian kaki, tetapi cukup untuk membuat boneka kehilangan keseimbangan. Boneka itu berguling melintasi tepian dan jatuh ke lubang hadiah.
Sukses besar.
"Hebat!"
"Aku berhasil!"
Hime, yang jarang bersuara keras, kali ini berteriak gembira.
Dia mengeluarkan boneka dari lubang hadiah, lalu menatapnya dengan mata berbinar.
"Yohei-kun, aku berhasil mendapatkannya."
"Untuk permainan crane pertama kali, itu luar biasa! Aku sampai terharu."
"Berlebihan sekali... ehehe."
Hime terlihat sangat senang. Dia memeluk boneka beruang besar itu erat-erat di dadanya.
Tapi, tiba-tiba, dia tersadar dan menjauhkan boneka itu dari tubuhnya. Dengan ekspresi teringat sesuatu, dia menyerahkan boneka itu padaku.
"Maaf karena memeluknya tanpa izin. Ini milik Yohei-kun. Silahkan."
Aku tidak keberatan. Meski aku bisa menyangkal dan mencoba menenangkannya, ada pilihan yang lebih baik.
"Terima kasih sudah mendapatkannya."
Aku menerima boneka itu dari tangannya, lalu segera menyerahkannya kembali padanya.
"Ini, anggap saja hadiah dariku. Tolong terima ya Hime."
"Strategi yang cerdik."
Dia sepertinya menyadari bahwa aku memang berniat melakukan ini sejak awal.
Namun, dengan ekspresi sedikit terkejut bercampur senang, dia berkata,
"Terima kasih banyak."
Hime menerima boneka itu dariku.
"Yohei-kun, kenapa kamu begitu baik sih?"
"Mungkin aku hanya mencoba terlihat keren di depan Hime?"
"Jangan begitu. Kalau kamu bilang seperti itu, aku jadi tidak bisa berhenti tersenyum."
Dia kembali memeluk boneka beruang itu erat-erat. Aku sempat berpikir mungkin dia akan menolak, tapi kali ini kekhawatiran itu tampaknya tidak perlu.
"Aku akan menjaganya dengan baik."
"Aku sangat senang mendengarnya, tapi kamu boleh saja memperlakukannya dengan santai. Kalau hilang, kita bisa datang lagi ke sini untuk mengambil yang lain bersama-sama."
"Pergi keluar lagi memang seru... tapi tidak, aku tidak mungkin sampai kehilangan ini."
Hime memeluk boneka itu erat-erat, seolah-olah mengatakan bahwa dia sama sekali tidak akan memperlakukannya dengan ceroboh.
"Setiap kali melihat ini, aku pasti akan mengingat hari ini dan merasa sangat bahagia. Aku tidak akan kehilangan sesuatu yang begitu berharga ini."
Melihat senyumnya saat mengatakan itu, aku merasa lega.
Awalnya, ketika membawanya ke pusat perbelanjaan ini, dia terlihat sedikit takut. Jujur saja, aku masih merasa bersalah tentang itu.
Berkat Hijiri-san, ketakutan Hime akhirnya menghilang. Namun, aku sempat berpikir bagaimana jika kami hanya berdua waktu itu... dan merasa sangat menyesalinya.
Karena itulah, melihat Hime benar-benar bahagia sekarang membuatku merasa lega.
Syukurlah. Dia bisa tersenyum.
"Gamenya buruk. Yohei, hal seperti ini disebut game buruk, kan? Kenapa? Hei, kenapa game itu begitu sulit? Ini aneh. Aku kesal. Kesal, kesal, kesal~!"
Sepertinya Hijiri-san mengalami kekalahan telak hingga matanya berkaca-kaca karena kesal.
Aku bertanya-tanya berapa banyak uang yang dihabiskannya … Petugas arcade bahkan berusaha membantu, tetapi tidak berani mengatakan apa-apa karena aura Hijiri-san yang begitu mengintimidasi. Dari tadi, petugas itu hanya terlihat bingung di dekat kami.
"Tidak apa-apa. Maaf kalau kakakku telah merepotkan."
Hime dengan penuh penyesalan meminta maaf kepada petugas yang kebingungan itu.
Sementara itu, Hime tetap memeluk erat boneka beruangnya. Sebelumnya aku sempat bertanya apakah perlu aku pegangkan, tapi dia menolak.
Sepertinya Hime benar-benar menyukai boneka itu, dan aku merasa senang.
"Kak, ayo kita pergi. Aku tidak sanggup melihat ini lagi."
Hime menarik tangan Hijiri-san, menjauh dari area permainan crane.
"Aku benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa ya… Aku tidak pandai belajar, dan ternyata juga tidak pandai bermain game. Jadi, apa yang sebenarnya bisa aku lakukan…?"
"Kakak kan pandai olahraga."
"Benar juga! Aku punya bakat olahraga!"
"Tapi karena setiap hari bermalas-malasan, itu hanya jadi bakat yang terbuang sia-sia."
"Kejam sekali! Kalau mau menghibur, lakukan dengan benar. Manjakan kakakmu ini~."
Hijiri-san yang sedang patah hati tampaknya memang tidak cocok dengan permainan crane.
Bagaimana kalau mencoba permainan lain? Aku mencoba menyarankan beberapa permainan seperti mesin pukul, game dansa, atau game balap yang bisa memberi rasa puas. Ada banyak pilihan yang mungkin cocok untuknya.
"Bagus juga. Aku mau mencobanya."
"Ayo, kita lupakan kekesalan tadi dan bersenang-senang sebanyak mungkin!"
Jadi, sekitar satu jam kami bermain di arcade.
Awalnya, aku membawa Hime ke sini hanya untuk memberinya pengalaman bermain, tetapi pada akhirnya, Hijiri-san terlihat sepuluh kali lebih menikmati waktu di sana.
Setelah mencoba semua permainan yang diinginkannya, akhirnya dia terlihat puas.
"Fiuh~. Rasanya lega sekali."
Hijiri-san tersenyum cerah sambil meminum minuman dingin yang dibelinya dari mesin penjual otomatis.
Di ruang istirahat yang ada di sudut lantai, Hime dan Hijiri-san duduk di bangku.
Hime, sambil memegang botol minuman kecil, menatap Hijiri-san dengan pandangan datar. Di dadanya masih ada boneka beruang yang terus dia peluk.
"Kak, lain kali sedikit mengalah, ya."
"Fufufu. Hime, kamu agak buruk dalam bermain game. Rasanya sangat menyenangkan menang berkali-kali~."
Dalam permainan duel, Hijiri-san hampir selalu menang melawan Hime.
Bakat olahraga tampaknya benar adanya. Refleksnya bagus, dan dia cepat terbiasa dengan kontrol permainan. Sebagai seseorang yang suka game tetapi tidak terlalu mahir memainkannya, aku iri dengan kemampuannya.
"Itu tidak dewasa, tahu."
"Yosh, yosh. Hime, jangan melampiaskan kekesalanmu, ya. Kakak ini gadis lemah yang akan terluka jika dikatai."
"Gadis lemah… padahal skor kakak lebih tinggi dariku di mesin pukul?"
"Lupakan itu! Aku juga terkejut dengan hal itu, tahu!"
Aku pun ikut terkejut. Baik karena kelemahanku sendiri maupun kekuatan Hijiri-san.
Sedikit kepercayaan diriku hilang. Meskipun ini bukan era di mana maskulinitas menjadi fokus utama, secara biologis aku seharusnya lebih kuat.
"Hime, itu juga menyakitkan untukku."
"Tidak apa-apa. Yohei-kun hanya anak laki-laki yang lemah."
"Aku juga lemah!"
"Kakak kuat sekali. Kamu tahu bagaimana rasanya jadi bantal pelukmu saat tidur? Rasanya seperti dipeluk ular."
… Jadi, mereka tidur bersama ya.
Mereka tampak sangat dekat, dan itu cukup menggemaskan.
Setelah selesai bermain di game arcade, kami pergi ke bagian makanan ringan di supermarket seperti yang direncanakan.
"Fuaah. Rasanya aku mulai mengantuk…"
Saat berjalan, Hijiri-san menguap lebar. Dari yang sebelumnya begitu bersemangat, tiba-tiba dia jadi tenang seperti anak kecil yang kelelahan.
"Kita beli makanan ringan dulu, lalu istirahat. Bertahanlah sedikit lagi ya."
"Oke~."
Hime menarik tangan Hijiri-san, membimbingnya berjalan.
"Hime, boneka beruang itu tidak berat? Perlu aku bawakan?"
"Tidak apa-apa. Ini tidak terlalu berat… Lagipula, kalau aku serahkan ke kakak, dia pasti langsung jadikan itu bantal."
"Aku tidak akan jadikan bantal kok! Maksudku… aku sama sekali tidak berpikir boneka itu cocok untuk dijadikan bantal saat berbaring di bangku!"
"Kalau kakak menjadikannya bantal, aku akan marah."
Hime memegang boneka dengan satu tangan, dan tangan Hijiri-san di tangan lainnya. Dia terlihat seperti seorang ibu yang menenangkan dua anak sekaligus.
Lucu juga. Biasanya, Hijiri-san yang menarik tangan Hime, tapi ini terasa terbalik.
"Maaf, Yohei-kun. Kakakku tidur larut malam kemarin."
"Tapi aku kan tidur selama delapan jam saja!"
"Kurasa itu sudah cukup."
Waktu tidurku juga sekitar itu. Kalau sedang libur, aku tidur lebih lama, tapi biasanya enam jam saja sudah cukup.
"Kakakku biasanya tidur selama sepuluh jam, jadi delapan jam itu termasuk kurang."
Hijiri-san bahkan tidur seperti anak kecil. Padahal penampilannya seperti seorang kakak yang dewasa.
"Tadi malam kakak menonton video terus sampai larut, ya?"
"Yup. Aku terpaku pada video tentang biologi!"
Perjalanan dari pusat permainan ke supermarket memakan sedikit waktu.
Tentu saja karena tidak sedang terburu-buru, selama perjalanan kami berjalan santai sambil mengobrol ringan.
"Biologi... mungkin kucing, ya? Kalau videonya muncul sekilas, aku juga suka melihatnya."
"Bukan, lho~. Kemarin aku cuma menonton video tentang mukbang laba-laba dan belalang."
Sungguh tak terduga, makanan serangga. Itu terlalu spesifik untuk jenis video biologi yang ditonton seorang siswi SMA.
"Yohei tahu tidak? Katanya serangga rasanya seperti kepiting atau udang."
"Aku pernah mendengarnya, sih..."
"Aku juga ingin mencobanya suatu saat nanti~"
Keingintahuan tentang makanan yang luar biasa.
"Begitu, ya... Kerangka serangga memang tersusun dari kitin, sama seperti udang atau kepiting. Kalau dipanaskan, rasanya jadi mirip, itu masuk akal."
"Chiken? Kita lagi tidak membicarakan ayam, lho~."
"Kitin. Mungkin ini pembicaraan yang sulit buat kakak, jadi lupakan saja."
"T-tidak sulit, kok! Itu seperti cerita katak yang rasanya mirip ayam, kan?"
"Ah, aku juga pernah mendengarnya. Katanya dulu kodok lembu juga dijadikan makanan."
"Aku pernah membaca dalam dokumen bahwa itu diimpor saat masa kekurangan pangan. Sekarang katanya sudah diklasifikasikan sebagai spesies asing yang merusak ekosistem."
Sambil berbincang tentang topik yang jauh dari kesan 'kewanitaan', kami terus berjalan.
Akhirnya kami tiba di supermarket. Meski berada di dalam pusat perbelanjaan, tempat ini dipenuhi pengunjung.
Mungkin karena hari Minggu ada banyak diskon. Ibuku juga kadang datang ke sini.
"Di sana ada pojok makanan ringan, ayo kita lihat."
"…Jadi ini supermarket, ya. Hmm, hmm."
"Hee, di sini ada kodok, tidak? Kalau tidak ada, semur jangkrik juga boleh."
"Mana ada hal begituan di supermarket."
Makanan serangga mungkin akan menjadi hal yang umum di masa depan.
Mengiringi Hijiri yang tampak kecewa dan Hime yang dengan penuh rasa penasaran melihat sekeliling, kami menuju pojok makanan ringan.
Di rak makanan, berbagai macam makanan ringan berjajar.
Melihat itu, mata Hime dan Hijiri berbinar-binar.
"Wah. Banyak sekali makanan ringan yang biasa Yohei bawa."
"Hebat! Ini surga, ya? Ada banyak sekali~."
Keduanya langsung bersemangat.
Bagi mereka yang terpikat oleh kelezatan makanan ringan, pojok ini pasti sangat menyenangkan.
"Biasanya aku memilih jenis yang mudah dimakan untuk kubawa, tapi sebenarnya ada banyak jenis. Makanan kecil atau camilan biasanya agak sulit dimakan di sekolah."
Ada banyak jenis seperti snack yang remahannya mudah berjatuhan atau makanan ringan dengan rasa gurih. Jika yang kubawa saja sudah membuat mereka senang, pasti mereka akan menikmati memilih sendiri.
"Ini, ini, lalu ini juga…!"
Hijiri sudah mulai memilih satu per satu. Karena dia mengambil semua yang menarik, aku membawakan keranjang untuknya. Sepertinya akan cepat penuh nih.
"Kalau membeli sebanyak itu, nanti dimarahi di rumah lho."
Mungkin karena khawatir pada kakaknya, Hime terlihat lebih menahan diri…
Dia juga tidak jauh dariku, seperti lebih memilih berdiri di dekatku sambil memeluk boneka beruangnya.
"Hime-chan tidak mau memilih?"
"Aku memilih, kok. Hanya saja, terlalu banyak bikin jadi bingung."
Sepertinya ada terlalu banyak pilihan sampai dia tidak bisa memutuskan.
"Boleh aku meminta rekomendasi dari Yohei?"
Oh, jadi begitu maksudnya.
Tentu saja aku tidak punya alasan untuk menolak. Lagipula, aku senang ada yang diajak mengobrol, jadi kami memilih sambil membicarakan camilan
"Kalau begitu, bagaimana dengan ini? Cokelat susu yang sangat manis."
"Sangat… lebih manis dari cokelat yang biasa kumakan?"
"Iya. Tergantung jenisnya, sih, tapi cokelat dengan label sapi ini manisnya sampai bikin gigi sakit kalau ada lubang. Waktu kecil, aku pernah memakannya sambil menahan sakit, akhirnya makin parah dan aku dimarahi ibu."
"Wah… Yohei kecil pasti lucu sekali. Mendengar cerita itu, aku jadi ingin mencoba. Aku akan membelinya."
"Selain itu, mungkin ini juga bagus. Camilan batang ini rasanya enak."
"Itu jenis yang tadi kakak mau ambil. Banyak sekali rasa di sini… yang mana yang enak?"
"Tergantung selera sih, tapi aku suka rasa sup jagung."
"Kalau begitu, aku akan mengambil yang sama. Kalau Yohei suka, pasti enak."
Ada cokelat berukuran kecil seperti tirol dan stik-stik lezat lainnya yang membuatnya tertarik.
Hime tampaknya tertarik pada jenis makanan yang tergolong dagashi (camilan murah).
Ini adalah jenis yang tidak biasa kubeli karena tidak cocok untuk dimakan bersama-sama. Momen ini adalah kesempatan bagus untuk merekomendasikan berbagai pilihan.
Namun, ada begitu banyak pilihan sehingga aku pun sedikit kebingungan. Aku mengerti kenapa Hime tergoda dan kenapa Hijiri-san mengambil semua yang menarik perhatiannya.
"Uhm, Yohei-kun, camilan apa lagi yang dulu pernah kamu makan? Kalau ada cerita tentang masa kecilmu, aku ingin sekali mendengarnya."
Ini sangat membantuku. Ketika aku kebingungan memilih, Hime datang membantu.
"Dulu aku sering makan..."
Aku mencoba mengenang masa lalu. Ternyata, setiap camilan memiliki cerita tersendiri, dan hal ini cukup mengejutkanku.
Ada camilan yang sering dibelikan kakek-nenekku. Ada camilan yang diberikan oleh kakakku. Camilan yang dibagi dua dengan teman semasa SD. Camilan yang kusantap sambil belajar untuk ujian saat SMP. Dan camilan yang kumakan sambil bermain game saat SMA. Begitu banyak kenangan.
Hime mendengarkan ceritaku dengan saksama dan mengambil setiap camilan yang kusebutkan.
"Jadi, setiap camilan menyimpan kenangan ya. Mendengarkan cerita masa kecil Yohei-kun membuatku sangat senang."
Hime terlihat puas.
Meskipun tidak memilih banyak, ia memeluk camilan-camilan itu dengan hati-hati.
Tak satu pun camilan yang dipilih berdasarkan rasa atau preferensinya sendiri.
Semua adalah camilan yang kuceritakan.
(Apa yang sebenarnya menarik perhatian anak ini...)
Meskipun tidak diucapkan, aku bisa memahami.
Hime tertarik padaku.
Dia ingin mengetahui banyak hal tentangku.
Permainan, camilan, semua kesenangannya mungkin memang tulus.
Namun, pada dasarnya, semua itu dimulai karena aku yang menyukainya.
Jika aku mengatakan ini hanya perasaanku yang salah, atau aku terlalu percaya diri, atau aku hanya berpikir berlebihan...
Itu hanyalah alasan. Perasaan tulus Hime begitu jelas terasa.
(—Tetap saja, aku merasa sangat senang.)
Ini adalah pertama kalinya seseorang begitu tertarik padaku.
Aku cukup puas dengan diriku yang biasa-biasa saja. Meski tidak memiliki kelebihan apa pun, aku menerima diriku apa adanya karena aku juga merasa kekuranganku tidak terlalu banyak.
Meski begitu, bukan berarti aku sama sekali tidak ingin diakui oleh seseorang. Aku sadar bahwa keinginanku untuk diakui memang lebih kecil dibanding orang lain, tetapi itu bukan berarti nol sama sekali.
Mungkin itulah sebabnya aku merasa begitu senang dengan sikap ramah Hime.
Karena itu, aku ingin memberikan sesuatu kembali padanya. Apa yang bisa kulakukan untuk membalas perasaan Hime?
Aku memikirkan hal itu, meski hanya sesaat.
Totalnya, dua puluh ribu yen.
Ini adalah biaya untuk camilan yang dibeli oleh Hoshimiya bersaudari... atau lebih tepatnya, oleh Hijiri-san.
"Kakak, apa kamu benar-benar bisa menghabiskan semua ini?"
"Tenang saja~. Mulai sekarang, selama seminggu, semua makanku akan ini saja."
"…Begitu ya."
Dengan senyum lebar, Hijiri-san memeluk tas penuh camilan, sementara Hime menatapnya dengan mata penuh keheranan.
Mungkin sudah menyerah karena tahu apa pun yang dikatakan tak akan mengubah keadaan, Hime tak lagi mencoba menegur.
"Hime, kamu yakin tidak apa-apa? Aku sedikit khawatir, jujur saja."
Sebagai orang yang membawa mereka, aku merasa bertanggung jawab jika mereka hanya makan camilan selama seminggu penuh dan jatuh sakit.
Namun, Hime hanya mengangkat bahu, seolah mengatakan itu hanya kekhawatiran berlebihan.
"Di rumah ada seorang art... seseorang yang mengurus kami, jadi aku yakin dia akan memarahi kakak dengan tegas."
Ah, benar juga. Sebelumnya Hime pernah bilang kalau semua urusan belanja ditangani oleh asisten rumah tangga.
Kalau ada seseorang yang menjaga keseharian mereka, mungkin dia akan memastikan Hijiri-san tidak berlebihan.
"Mungkin aku juga akan dimarahi sedikit. Karena tidak mengawasi kakak dengan baik."
"...Menjadi adik juga tidak mudah, ya."
Dari cerita ini saja, kadang sulit membedakan siapa yang sebenarnya lebih tua.
Seorang adik yang dewasa dan seorang kakak yang santai. Mereka berdua bertolak belakang, tetapi tampaknya cocok satu sama lain, jadi kurasa tidak masalah.
Lalu, setelah membeli camilan…
"Lalu, bagaimana sekarang? Sebenarnya kita tidak punya tujuan lain."
Tujuan awal hanya game center dan supermarket.
Aku sempat berpikir untuk mengajak mereka ke tempat lain jika ada yang menarik perhatian mereka.
"Maaf. Karena kakak membawa banyak barang, sepertinya akan sulit untuk berkeliling lagi."
"Ya, memang masuk akal…"
Aku tidak menyangka Hijiri-san akan membawa dua tas besar di kedua tangannya. Ditambah lagi, Hime memeluk boneka beruang besar, jadi jelas mereka akan kesulitan jika harus berjalan lebih jauh.
Waktu bermain jadi lebih singkat dari yang kuperkirakan, tetapi mungkin lebih baik kita akhiri di sini saja.
Sekitar satu setengah jam? Memang terasa kurang, tetapi tidak perlu memaksakan diri. Akan ada kesempatan lain, jadi kurasa lebih baik disudahi hari ini.
Namun, tepat saat aku akan menyarankan hal itu…
"……"
"Ah, baterainya habis, ya."
Hime tiba-tiba bersuara dan berhenti berjalan saat kami menuju pintu keluar.
Mungkin baterai ponselnya habis? Dia pernah bilang jarang menggunakannya, jadi mungkin saja lupa mengisi daya.
"Kamu baik-baik saja? Apa kamu bisa menghubungi orang yang menjemputmu?"
"Menghubungi? Ah, bukan. Ini bukan soal ponsel, tapi soal kakak."
"Ada apa dengan Hijiri-san?"
"Kakak, kalau kehabisan tenaga, jadi tipe yang tiba-tiba diam dan jarang bicara… Aku menyebutnya 'baterai habis'."
Benar juga, sekarang setelah diperhatikan, Hijiri-san jadi sangat pendiam.
Aku melihat ke arahnya. Betul, dia menatap kosong ke depan dengan mata sayu. Ini benar-benar seperti 'baterai habis'.
"Kemarin dia kurang tidur, dan hari ini dia sangat bersemangat… Jadi kehabisan tenaga lebih cepat dari perkiraanku."
Hijiri-san benar-benar seperti anak kecil. Badannya besar, tetapi sikapnya begitu polos dan ceria.
Meskipun begitu, itu juga salah satu daya tariknya.
"Padahal kemampuan atletiknya bagus, tapi karena dia pemalas yang membenci kata 'usaha', dia tidak punya stamina… Sebenarnya, aku juga sama sih."
Tampaknya kelemahan Hoshimiya bersaudari adalah stamina mereka yang rendah.
Yah, tidak mengherankan jika mereka merasa lelah sekarang.
"Ayo kita pulang saja."
"Ya okelah, aku juga ingin membawa kakak pulang dan membiarkannya beristirahat."
Barang bawaan mereka banyak, jadi memang waktu yang tepat untuk pulang.
Namun, saat aku dan Hime sudah memutuskan untuk pulang…
"…Hime-chan, kamu tidak mau ke minimarket dengan Yohei?"
Dengan sisa 'baterai' hanya tiga persen, Hijiri-san tetap berusaha menjalankan perannya sebagai kakak.
"Tapi kakak sudah lelah."
"Tapi kamu sudah menantikannya, kan? Jangan pikirkan aku."
Hijiri-san… Meski biasanya terlihat santai dan ceroboh, dia ternyata kakak yang baik.
Kasih sayang yang tulus kepada adiknya terpancar dalam setiap kata yang diucapkan. Kelembutan itu disadari dengan baik oleh Hime yang bijak.
Dan anak ini tidak pernah mengabaikan kebaikan orang lain.
"Kalau begitu... apa aku boleh menerima kebaikanmu?"
"Tentu saja! Kamu boleh manja sama kakak kapan saja, tidak apa-apa."
"Baik. Aku selalu manja padamu... Kalau begitu, aku titipkan boneka beruang ini padamu. Tolong bawa pulang ke rumah."
"Oke~"
"...Jangan dijadikan bantal, ya?"
"A-a-aku tahu kok? Jangan khawatir, duh~"
"Baik. Aku percaya padamu. Tolong dijaga, ya."
Hime tidak pernah bersikap keras kepala secara berlebihan.
Ia mengangguk dengan tulus dan menerima niat baik kakaknya.
"Aku sudah memanggil jemputan, jadi aku rasa kakak akan baik-baik saja sekarang."
Begitu keluar dari toko, Hime segera mengirim pesan dengan ponselnya untuk mengatur penjemputan.
"Apa tidak apa-apa kalau kita tidak menunggu bersamanya?"
Aku sedikit khawatir dengan Hijiri-san, yang berdiri sendirian agak jauh. Wajahnya memang tersenyum lembut, tetapi sejak tadi ia sangat sedikit bicara. Istilah "kehabisan baterai" yang memang tepat menggambarkannya.
"Dalam hatiku, aku ingin menunggunya... tapi jika aku terlalu protektif, kakak akan merajuk. 'Jangan remehkan kakak,' begitu katanya."
"Sepertinya itu soal harga diri kakak, ya?"
"Sepertinya begitu. Meski terlihat begitu, ia sebenarnya keras kepala... Lagipula, jemputannya sepertinya memang sudah menunggu di dekat sini, jadi tidak perlu khawatir. Yohei-kun, ayo pergi."
"...Maaf. Aku mau menyapanya sebentar."
Aku meminta izin pada Hime lalu mendekati Hijiri.
Ia memeluk boneka beruang dengan satu tangan dan membawa dua kantong besar dengan tangan satunya.
Meski terlihat berat, posturnya tetap tegap, mungkin karena keseimbangan tubuhnya yang baik.
"Hijiri-san, kami mau pergi dulu. Sampai jumpa besok."
"Fufu... Tolong jaga Hime-chan, ya~"
Saat aku mendekat, Hijiri-san menjawab pelan dengan senyum jahil di wajahnya.
Eh? Rasanya ada yang aneh.
"Kehabisan baterai, ya?"
"Yah, menurutmu bagaimana~?"
Mungkin, ia hanya berpura-pura baik-baik saja.
Atau mungkin, ia sengaja pura-pura "mati baterai" dengan maksud tertentu.
Ekspresi yang ambigu itu membuatku bingung.
Dia memang kakak yang baik di depan Hime, tapi... rasanya ada banyak sisi dirinya yang ia sembunyikan demi itu.
"Kalau aku di sini, Hime-chan jadi banyak sungkan. Jadi tolong buat dia bersenang-senang, ya."
Setelah berbisik demikian, Hijiri menghapus senyum jahilnya. Kembali memerankan "kehabisan baterai," ia mengalihkan pandangan ke tempat kosong, seolah tidak mau bicara lagi.
"…Oke, aku mengerti."
Bagaimanapun, Hijiri jelas memikirkan Hime.
Sesuai permintaannya, aku memutuskan untuk berfokus membuat Hime senang.
Meski sudah berpisah dengan Hijiri, aku dan Hime tetap melanjutkan acara jalan-jalan kami.
Dari pusat perbelanjaan ke tujuan kami, yaitu minimarket, jaraknya tidak terlalu jauh. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Sejauh ini, kondisi fisik Hime juga terlihat baik-baik saja. Syukurlah.
Yang ia bawa hanya ponsel yang tergantung di lehernya dan camilan yang tadi kami beli.
Sebelumnya, ia memang agak kesulitan berjalan sambil memeluk boneka beruang, tapi sekarang lebih ringan sehingga langkahnya lebih cepat.
Dalam perjalanan, Hime yang sedang menatap layar ponselnya melaporkan soal Hijiri-san.
"...Aku mendapat kabar dari asisten rumah tangga. Kakak sudah bertemu dengannya dan sekarang sedang dalam perjalanan pulang."
"Cepat juga, ya. Jadi, benar dia menunggu di dekat sini?"
"Kurasa begitu. Padahal aku sudah bilang tidak perlu menunggu... mungkin dia khawatir."
"Dia memang sosok yang perhatian, ya."
"Iya. Ah, aku juga mendapat teguran soal camilan yang terlalu banyak. Kakak bilang, 'Aku langsung tidak mengantuk karena dimarahi~. Hime-chan, tolong bantu aku!' sambil mengirim pesan SOS."
"...Aku lega dia ditegur dengan benar."
Sepertinya jumlah camilan tadi memang berlebihan.
Syukurlah ada seseorang yang bisa mengingatkan mereka. Kalau ada apa-apa, orang itu bisa mengontrol situasi, jadi aku bisa fokus memanjakan mereka sebaik mungkin.
Sambil berpikir seperti seorang kakek yang memanjakan cucunya, aku terus berjalan.
Waktu menunjukkan pukul tiga sore lewat sedikit. Matahari masih tinggi, jadi udaranya cukup panas. Tapi dibandingkan saat aku baru keluar tadi, sekarang lebih sejuk.
Alasannya sederhana. Langit biru yang tadi cerah kini tertutup awan.
"Bagus ya, mendung. Jadi lebih nyaman untuk berjalan."
"Benar. Tapi, aku khawatir cuaca akan memburuk."
"...Iya juga, sih."
Ketika dipikirkan kembali, ada beberapa awan gelap mencurigakan yang tampaknya terselip di sana-sini.
Aku berharap itu tidak akan menjadi masalah... tapi tepat ketika aku memikirkannya.
"Prediksi buruk selalu tepat ya."
Tidak lama setelah Hime menyadarinya, aku juga sadar bahwa hujan mulai turun.
"Ini gawat... aku tidak bawa payung."
Setetes air hujan menyentuh pipiku.
Ini tidak sesuai rencana. Saat kami berangkat tadi, tidak ada tanda-tanda akan turun hujan.
Sekitar beberapa menit lagi menuju minimarket. Jika hanya gerimis, seharusnya masih bisa diatasi.
Namun, hujan kali ini tidak mau diajak kompromi.
'Zaaah'
Bukan lagi gerimis yang turun.
Tetesan hujan sangat besar, menghantam aspal dengan suara deras.
"Gerimis" adalah kata yang terlalu lembut. Ini sudah seperti hujan deras.
"Hime, kita berteduh dulu yuk."
"Itu ide bagus."
Aku melihat halte bus beratap di dekat situ, jadi kami buru-buru lari ke sana.
Untuk sementara, kami bisa terlindung dari hujan.
Namun, ada satu masalah.
"…Kita basah kuyup."
Ya, Hime dan aku basah kuyup sampai rambut kami meneteskan air hujan.
"Ini merepotkan. Sepertinya hujannya tidak akan berhenti dalam waktu dekat."
"Smartphone-mu baik-baik saja?"
"Smartphone-ku anti air, jadi seharusnya tidak apa-apa. Tapi untuk berjaga-jaga, lebih baik aku memasukkannya ke dalam kantong."
Hime mengambil kantong yang berisi camilan dan memasukkan smartphone-nya ke dalamnya.
Aku sempat merasa lega karena tidak ada kerusakan, tetapi...
"Ah-choo!"
Itu suara bersin yang cukup menggemaskan.
Namun, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja, karena kesehatannya bisa jadi terganggu.
"Kamu keinginan ya?"
"Tidak. Karena suhunya masih hangat, aku tidak merasa kedinginan. Tapi tubuhku merespons perubahan suhu karena basah."
Dia terlihat baik-baik saja, namun ketika aku memperhatikan lebih dekat…
Perasaan khawatirku belum hilang.
(Dia baik-baik saja?)
Hime mengenakan gaun putih tipis.
Sebuah pakaian cantik dengan rok yang berayun lembut setiap kali ia bergerak.
Namun karena desain musim panasnya yang ringan, kainnya cukup tipis sampai terlihat tembus pandang akibat hujan.
(Tunggu... terlihat tembus pandang?)
Aku secara refleks melihatnya dua kali.
Bahkan pakaian dalamnya terlihat samar. Hanya itu saja sudah membuatku merasa bersalah melihatnya.
Terlebih lagi, area bahu, lengan, dan bagian dada yang tidak tertutup pakaian dalam tampak memperlihatkan kulitnya.
(Ini tidak baik.)
Dia memang terlihat baik-baik saja sekarang. Namun, pakaian basah itu akan membuat tubuhnya dingin seiring mengering.
Hime bukanlah gadis yang memiliki tubuh kuat. Aku teringat kejadian setahun lalu ketika ia merasa lelah hanya dengan berjalan di sekitar sekolah.
Jika dia terus seperti ini, tidak ada keraguan bahwa kesehatannya akan memburuk.
"Hime, pakai ini dulu."
Meski hanya solusi sementara, aku berharap ini sedikit membantu. Aku melepas kemejaku dan memakaikan-nya ke tubuh Hime.
"Eh? Um... itu…"
Mungkin karena tiba-tiba diselimuti pakaian, Hime terlihat bingung. Namun, wajahnya tampak sedikit memerah.
Tadi dia baik-baik saja, jadi perubahan wajahnya membuatku cemas.
"Y-yohei-kun? Uhm..."
"Maaf, aku tahu ini basah juga, tapi lebih baik dibanding tidak sama sekali. Aku tidak ingin kamu masuk angin."
"Tapi… ini…"
"Ah, sudah... pakai saja. Pakaianmu basah sampai terlihat tembus pandang. Kalau seperti ini, kamu bisa masuk angin."
"Tembus pandang...!?"
Setelah mendengar itu, Hime buru-buru mengecek bajunya dengan memakai sedikit kemeja yang kuberikan.
Akhirnya, dia menyadari kondisinya.
"…Wa-wa-wa!"
"Hime…!? Wajahmu memerah!"
Mungkin menyadarkannya adalah kesalahanku.
Wajah Hime memerah hingga ke telinga dan lehernya. Dia merapatkan kemeja yang kuberikan dan menggenggamnya erat-erat sambil menyusutkan tubuhnya.
"──Hhh…!"
Dia mulai gemetar. Sepertinya dia benar-benar kedinginan...!
Bagaimana ini? Hujan belum juga reda. Lalu, bagaimana dengan jemputan?
Mobil yang menjemput kami masih sibuk mengantar Hijiri-san. Akan butuh waktu.
Apa sebaiknya kami lanjut ke minimarket saja? Tapi jika kami masuk ke dalam toko dalam keadaan basah kuyup, kami justru akan semakin kedinginan karena pendingin ruangan.
Meski begitu, jika tetap di sini, keadaan Hime bisa berbahaya.
Sambil merasa panik, jawaban yang akhirnya aku temukan adalah... jalan terakhir yang tidak bisa dihindari.
"Hime. Ayo pergi."
"…K-ke mana?"
"Ke rumahku."
"──Hah?"
Hime membuka mulutnya dengan bingung. Dia pasti ingin penjelasan.
Namun, bahkan waktu untuk menjelaskannya terasa berharga, jadi aku segera berdiri.
"Kalau dari sini, ke rumahku hanya butuh kurang dari sepuluh menit. Bisakah kamu sedikit bersabar?"
"Aku bisa bersabar, tapi… ini mendadak, dan aku belum siap secara mental…"
Suara Hime terdengar lemah.
Dia bergumam tak jelas, hingga bagian terakhirnya hampir tidak terdengar. Hal itu malah membuatku semakin khawatir.
Aku harus segera melakukan sesuatu pada tubuhnya yang basah kuyup.
Awalnya, tujuan kami adalah pergi ke minimarket, tapi itu terpaksa dibatalkan. Kesehatan Hime lebih penting. Sebagai orang yang mengajaknya keluar, aku tidak ingin dia sampai masuk angin.
Dengan rasa tanggung jawab yang besar, aku menarik tangan Hime dan kembali berlari keluar ke bawah hujan.
"Maaf, ayo cepat."
"Hyaaa."
Mungkin dia terpaksa mengikuti ritmeku.
Atau mungkin kondisinya sudah begitu buruk sehingga tak bisa melawan.
Dengan wajah yang masih memerah, Hime berjalan bersamaku.
Meski begitu, aku sengaja memperlambat langkahku agar sesuai dengan ritme Hime.
Namun, ternyata langkah Hime lebih cepat dari biasanya. Berkat itu, kami tiba di rumah dalam waktu singkat.
(Hime, nafasnya terengah-engah...!)
Dia mengatur nafasnya dengan bahu naik-turun.
Berjalan cepat membuatnya kelelahan. Mungkin dia juga berkeringat. Dengan keadaan basah kuyup ditambah kondisi ini, aku tahu hal itu takkan bisa dihindari lagi.
"Hime, masuklah."
"T-tapi..."
"Jangan khawatir kalau kamu basah. Nanti lantainya akan aku bersihkan."
"Tunggu sebentar. Beri aku sedikit waktu untuk… menenangkan diri…"
"Maaf ya. Nanti akan ada banyak waktu untuk istirahat, tapi sekarang yang terpenting adalah─."
"Yohei-kun? Dari tadi… rasanya kata-katamu agak kurang jelas, atau bagaimana ya… Lalu, kalau kamu memperlihatkan wajah begitu tegas seperti itu, jantungku jadi berdebar, dan, umm…"
Cara bicara Hime mulai tidak jelas lagi. Aku sendiri panik, jadi sulit untuk tetap tenang, dan akhirnya aku menjadi lebih memaksa dari biasanya.
"Ngomong-ngomong, masuk ke mana maksudnya?"
"Ke kamar mandi."
"──Hah?"
Dan begitulah.
Tanpa memberi Hime kesempatan untuk berkata apa-apa, aku membawanya ke kamar mandi.
Agar Hime tidak masuk angin.
Dengan tekad itu, aku terdorong hingga kehilangan ketenanganku.
Namun, berkat itu, kami berhasil masuk ke ruang ganti. Seakrab apapun dengan Hime, dalam situasi normal, aku tidak mungkin bisa sampai ke sini ketika dia berada di kamar mandi.
Hanya satu pintu yang memisahkan kami, dan Hime ada di sana—dalam keadaan telanjang.
Dia pasti merasa malu.
Namun, ini keadaan darurat. Aku meminta maaf pada Hime, tapi aku harus memintanya untuk bertahan sedikit.
"Hime, apa bajumu sudah dimasukkan ke mesin cuci?"
"Y-ya, sudah. Aku sudah memasukkannya dengan benar."
Suara Hime terdengar pelan dari dalam kamar mandi.
Karena pintunya terbuat dari kaca yang buram, aku tidak bisa melihatnya, jadi aman. Hanya samar-samar warna kulit yang terlihat.
"Kamu tahu cara mengeluarkan air hangatnya, kan?"
"Memutar bagian yang merah ini, kan? Umm… Wah, keluar."
"Kalau terlalu panas, keluarkan juga air dari bagian biru. Kamu bisa menyesuaikan suhunya."
"Di sini, ya… Ah, aku mengerti."
"Pastikan tubuhmu benar-benar hangat. Sementara itu, aku akan mengambil baju ganti."
"…Terima kasih. Kalau begitu, aku akan memanfaatkan waktumu."
Baiklah. Untuk sementara, Hime di kamar mandi pasti akan baik-baik saja.
Setelah melepaskan baju basah dan mandi air hangat, tubuhnya tidak akan kedinginan. Meski aku tidak sempat menyiapkan air hangat di bak mandi, setidaknya ini cukup untuk sekarang.
(Baik, sekarang… pertama, handuk.)
Sambil mendengarkan suara air dari kamar mandi, aku menyelesaikan apa yang harus aku lakukan.
Aku mengambil handuk dari rak di ruang ganti untuk Hime mengeringkan tubuhnya. Oh, aku baru menyadari bahwa tubuhku juga basah kuyup. Aku mengambil satu lagi untuk mengelap tubuhku sendiri.
Aku mengabaikan dulu lantai yang basah karena kami berjalan tadi. Setelah menyiapkan baju ganti, aku naik ke lantai dua menuju kamarku.
Panas. Begitu masuk kamar, aku merasa kepanasan karena hawa lembabnya. Aku segera menyalakan pendingin ruangan.
Aku mengganti bajuku yang basah dengan pakaian yang kering. Meski rambutku masih agak basah, rasanya akan cepat kering kalau aku sibuk melakukan sesuatu.
Diriku sudah aman. Sekarang masalahnya adalah baju ganti untuk Hime.
(Aku minta maaf pada Hime, tapi untuk sementara dia harus memakai bajuku.)
Sambil membawa kaos dan celana untuk Hime, aku kembali turun ke lantai satu.
"Hime, aku bawa handuk dan baju ganti nih."
"Terima kasih… Umm, apa aku boleh keluar sekarang?"
"Belum. Tunggu sampai mesin cucinya selesai."
"Uuh… Dari tadi jantungku berdebar, rasanya mau pingsan."
"Sedikit lagi, semangat ya."
Sambil menyemangatinya, aku beralih ke mesin cuci.
Karena kedua orang tuaku bekerja, sejak kecil aku sudah diajarkan semua pekerjaan rumah. Meski urusan memasak aku menyerah, setidaknya bersih-bersih dan mencuci bisa aku lakukan.
Aku sudah paham cara menggunakan mesin cuci. Namun, ada satu hal yang perlu aku pastikan.
(Apa baju Hime bisa dicuci seperti biasa?)
Dia adalah gadis dari keluarga kaya. Ada kemungkinan bajunya terbuat dari bahan mahal.
Meski memeriksa bajunya mungkin membuatnya malu, aku harus memastikan agar tidak terjadi kesalahan fatal.
Aku membuka mesin cuci dan mengambil gaunnya. Aku membaliknya untuk memeriksa label.
(Boleh dicuci di mesin cuci, tapi tidak boleh dikeringkan.)
Syukurlah aku memeriksanya. Kalau tidak, aku mungkin akan memasukkan bajunya ke pengering.
Untuk jaga-jaga, aku mencuci baju Hime secara terpisah agar warnanya tidak luntur ke pakaianku. Selain itu, mencuci bajunya saja juga akan lebih menghemat waktu.
Baik, modenya… karena bahannya tipis, aku pilih mode lembut. Aku menambahkan deterjen dan pelembut, menekan tombol mulai, dan terakhir tombol cepat untuk mempersingkat waktu.
Waktu yang dibutuhkan… tiga puluh menit. Jika termasuk waktu pengeringan, mungkin akan lebih dari satu jam.
Aku harus memastikan Hime tidak bosan menunggu. Tapi, cara menghabiskan waktunya bisa kupikirkan nanti.
"Hime? Mesin cucinya sudah berjalan, jadi kalau mau keluar, silahkan. Handuk dan baju ganti sudah kusiapkan."
"…Baiklah, aku akan keluar sekarang."
Tak lama setelah itu, suara air dimatikan.
Karena Hime akan segera keluar dari kamar mandi, aku buru-buru keluar dari ruang ganti.
Baiklah. Sambil menunggu Hime mengganti pakaian, aku bereskan lantai yang basah dulu.
Aku mengelap air dengan kain pel, lalu mengeringkannya dengan lap agar lantai tidak licin. Aku memastikan lantai benar-benar kering agar tidak ada yang terpeleset.
Saat aku selesai membersihkan lantai, pintu ruang ganti terbuka.
"Yohei-kun, aku sudah selesai."
Dengan handuk di tangannya, Hime keluar… hanya mengenakan kaos yang kebesaran.
Ternyata kaus L-size milikku terlalu besar untuknya.
Lengannya tertutup hingga ke siku, bagian bawahnya sampai ke paha seperti rok, dan bagian kerahnya terlalu longgar hingga bahunya hampir terlihat.
Sementara celana yang kusiapkan masih dia peluk di tangannya.
"Terima kasih sudah menyiapkannya, maaf ya. Sebenarnya aku sudah mencoba memakai celananya, tapi karena terus melorot, aku menyerah memakainya."
"A-aku yang seharusnya minta maaf..."
...Sepertinya aku benar-benar terburu-buru.
Aku bahkan tidak memikirkan soal ukuran. Kalau dipikirkan dengan tenang, ini seharusnya sudah jelas.
"Oh, iya. Aku akan ambilkan pakaian Ibu saja."
Tidak harus selalu pakaianku.
Segera aku sadar kalau pakaian Ibu bisa digunakan, jadi aku berencana mengambilkannya.
"Tidak apa-apa, kok."
Langkahku terhenti ketika mendengar suara Hime.
"Aku tidak keberatan memakai pakaian Yohei-kun."
"Tapi, ukurannya..."
"Justru ukurannya seperti ini lebih nyaman."
"... Kamu yakin tidak apa-apa?"
Aku khawatir kalau dia hanya sedang bersikap sopan.
Namun, Hime tampaknya benar-benar tidak keberatan.
"Karena ada aroma Yohei-kun... rasanya jadi tenang."
Hime berbisik kecil sambil menempelkan hidungnya ke kerah pakaian.
...Entah kenapa, aku jadi malu sendiri.
"Kalau kamu kau tidak keberatan, ya sudah."
Gadis ini kadang bisa membuat hatiku tersentuh begitu saja.
Melihat sisi manisnya seperti ini, aku jadi merasa sangat bahagia.
Kalau begitu, setelah selesai mandi, apa lagi yang harus dilakukan?
Baru saja aku berpikir demikian, aku melihat kalau kaki Hime masih basah.
Hah? Apa bagian itu belum aku lap? Bukan, ini sedang terjadi sekarang.
Air menetes dari rambut Hime.
"Hime, kamu harus benar-benar mengeringkan rambutmu."
"Ah, maaf."
Meski dia mengangguk, caranya mengeringkan rambut sangatlah ceroboh... atau mungkin lebih tepatnya tidak terampil.
Jelas sekali rambutnya masih basah.
"Biasanya kakakku yang membantu..."
Begitu rupanya. Sepertinya memang kakaknya, Hijiri-san, yang biasanya merawat rambut Hime. Tapi saat ini kakaknya tidak ada. Aku tidak mungkin membiarkannya begitu saja. Rambut Hime yang indah harus dijaga.
"Mau aku bantu mengeringkan rambutmu?"
Tentu saja, aku belum pernah merawat rambut seseorang sebelumnya. Namun, kurasa lebih baik dibantu daripada dia mengerjakannya sendiri.
"Benarkah boleh?"
"Ya. Boleh pinjam handuknya?"
"Tentu. Kalau begitu, tolong ya."
Aku menerima handuk dari Hime dan berdiri di belakangnya.
Aku mengangkat rambut panjangnya agar tidak membasahi pakaiannya dan mulai mengeringkannya dengan lembut.
Kalau rambutku sendiri, mungkin akan aku gosok dengan kasar. Namun, rambut Hime begitu halus dan rapuh sehingga aku harus sangat berhati-hati.
Aku mulai mengerti kenapa Hijiri-san ingin merawat rambut Hime.
Rambut seindah ini memang pantas untuk diperlakukan dengan sangat hati-hati.
...Baiklah, sebagian besar air sudah terserap. Namun, rambutnya masih basah, jadi sebaiknya aku keringkan lebih lanjut.
"Hime, boleh aku gunakan pengering rambut?"
"Aku rasa tidak perlu sampai seperti itu. Ini pasti akan kering dengan sendirinya."
"Tidak, tidak. Kalau aku membiarkan rambut seindah ini jadi rusak, nanti aku dimarahi Hijiri-san."
"...Indah, ya?"
Mendengar kata-kataku, Hime tersenyum malu-malu.
"Kalau begitu, tolong ya."
"Ya, serahkan padaku."
Dia memang selalu lemah dengan pujian.
Reaksi tulusnya itu terlihat sangat imut.
Untuk mengeringkan rambut Hime dengan pengering rambut, aku membawanya ke kamar di lantai dua.
"Jadi ini kamar Yohei-kun, ya?"
Dia terlihat sangat penasaran sambil melihat-lihat ke sekeliling.
Sebenarnya tidak ada yang perlu disembunyikan, tapi diamati sedetail itu membuatku sedikit malu.
"Maaf ya, kamarnya membosankan, jadi maklum saja."
"Tidak, kok. Kamar ini penuh dengan kesan Yohei-kun dan sangat menarik."
Hime tidak pernah mengatakan hal yang tidak tulus, jadi pasti ini benar-benar dari hatinya.
Aku tidak sedang merendah, ini memang kamar biasa.
Di dalamnya hanya ada meja belajar, kursi, lemari, tempat tidur, rak, monitor, dan konsol permainan. Karena sifatku yang tidak terlalu punya keinginan besar terhadap barang, tanpa disadari kamar ini menjadi sederhana.
Meski begitu, mata Hime berbinar-binar.
"Kamar ini tertata rapi dan sangat menyenangkan. Rasanya sangat nyaman."
Beneran deh, dia tahu cara memuji seseorang dengan baik. Kata-kata Hime yang lembut membuatku merasa tenang.
Meskipun kamarku sederhana, selama dia menikmatinya, itu sudah cukup bagiku.
"Kamarnya tidak panas, kan?"
"Tidak, justru sejuk dan nyaman."
Saat aku mengambil pakaian tadi, aku sudah menyalakan pendingin ruangan. Suhu pun sudah pas, jadi rasanya lega.
(Baguslah, tubuhnya sudah hangat kembali.)
Aku sempat panik ketika dia basah kuyup karena hujan.
Kalau dibiarkan, dia pasti akan masuk angin, jadi aku buru-buru menyuruhnya mandi. Mungkin itu terdengar sedikit memaksa, tapi melihatnya tampak sehat sekarang membuatku lega.
Sepertinya aku tidak perlu khawatir lagi.
"Baiklah, ayo kita mulai mengeringkan rambutmu."
Aku mengambil pengering rambut dan mencolokkannya ke stop kontak. Aku ingin menyuruhnya duduk di kursi, tetapi karena rambut Hime panjang, sandaran kursi bisa menghalanginya.
Mau tidak mau, sepertinya dia harus duduk di lantai.
"Hime, kemari."
Aku duduk bersila dan memanggilnya.
"Baik, aku datang."
Hime yang baru menyadari aku sudah duduk berjalan menghampiriku.
Tanpa ragu sama sekali, dengan gerakan yang alami, dia duduk dengan tenang──di pangkuanku.
"...Ehm."
Aku memang memanggilnya, sih.
Tapi tentu saja aku tidak bermaksud memintanya duduk di pangkuanku. Aku hanya bermaksud dia duduk di dekatku.
Namun Hime memilih tempat ini. Dia duduk memeluk lututnya seperti posisi "duduk sekolah". Dengan posisi tubuhnya yang meringkuk, tubuh kecilnya terlihat semakin mungil.
Ringan sekali. Meskipun sikap dan ucapannya dewasa, saat kami berbicara, aku tidak terlalu merasa ada perbedaan usia. Namun setiap kali aku menyentuhnya, aku selalu diingatkan akan hal ini.
Bahwa dia hanyalah seorang gadis berusia delapan tahun.
"Tolong bantuannya, ya."
Hime sudah dalam mode santai sepenuhnya.
Melihatnya yang tampak lemas dan rileks membuatku juga ikut tenang.
Meskipun awalnya kaget, rasanya tidak perlu dipermasalahkan kalau dia duduk di pangkuanku.
Bahkan ini adalah posisi terbaik untuk mengeringkan rambutnya.
Aku tidak perlu memikirkan hal yang aneh atau membuatnya malu. Menyebutkan itu malah bisa membuat situasinya jadi canggung.
Lebih baik aku membiarkannya seperti ini.
Dengan wajar dan senatural mungkin, aku menyentuh kepala Hime.
"Aku akan mulai menyalakan pengering rambut ya."
Setelah memberitahunya, aku menyalakan alatnya. Suara mesin khas terdengar, menenggelamkan semua suara lain di sekitar.
Dalam keadaan seperti ini, kami tidak bisa banyak berbicara. Lebih baik segera aku selesaikan.
Yah, tentu saja aku belum pernah mengeringkan rambut orang lain. Apalagi rambut seorang gadis. Bahkan menyentuh rambut pun belum pernah.
Aku pasti akan canggung, jadi setidaknya aku harus menyentuhnya dengan hati-hati.
(Tunggu, bukannya aku perlu sisir?)
Dengan rambut sepanjang ini, jika tidak disisir, bisa-bisa jadi kusut. Tapi apakah sisir murah yang aku gunakan sehari-hari akan baik untuk rambutnya? Haruskah aku mengambilnya?
Sambil memikirkan hal itu, aku memasukkan jari-jariku ke rambut Hime.
Dengan lembut, aku ingin merapikan bagian yang kusut, tetapi jari-jariku bisa melewati helaian rambutnya dengan mudah.
(Rambutnya benar-benar dirawat dengan baik.)
Aku merasakan kasih sayang dari Hijiri-san.
Mungkin karena usianya masih kecil, rambutnya belum rusak.
Tapi lebih dari itu, aku bisa merasakan Hijiri-san merawatnya setiap hari dengan baik.
Kalau bukan begitu, tidak mungkin rambutnya bisa sehalus sutra dan berkilau tanpa ada yang kusut sama sekali.
(Dengan ini, aku mungkin tidak perlu memakai sisir.)
Aku senang karena bisa menghindari kerepotan mengambil sisir.
Apalagi Hime sedang duduk santai di pangkuanku. Rasanya enggan untuk berdiri.
Sambil menyisir rambutnya dengan lembut menggunakan jari, aku mengarahkan pengering rambut dari kejauhan. Sesekali aku menggoyangkan jariku ke kiri dan kanan agar rambutnya sedikit bergoyang.
Tanganku bergerak seperti membelai kepalanya. Mungkin Hime merasa nyaman karenanya.
"Hmm..."
Dia mengeluarkan suara kecil sambil menekan kepalanya ke tanganku, seolah-olah ingin aku terus membelainya.
Diperlakukan manja seperti itu membuatku geli. Tentu saja, aku tidak merasa tidak nyaman, malah sebaliknya, merasa senang karena dia terlihat nyaman denganku. Karena itulah, aku jadi terus membelai kepalanya lebih lama dari yang seharusnya.
Waktu berlalu dalam keheningan di antara kami berdua.
Suara pengering rambut adalah satu-satunya yang terdengar selama beberapa saat.
Ketika rambut Hime hampir kering, aku mematikan pengering rambut.
"Hime, sudah selesai."
Aku menepuk lembut kepalanya sebagai tanda selesai.
Sekalian, aku menyisir rambutnya dengan jari untuk memastikan tidak ada bagian yang masih basah sampai ke ujungnya.
Bagus, untuk pertama kalinya, ini hasil yang cukup baik menurutku.
"...Ehehe."
Hime terlihat puas.
Saat aku menatap wajahnya dari samping, ekspresinya tampak lebih santai dari biasanya.
"Bagaimana? Apa aku melakukannya dengan baik?"
"Yohei-kun, sentuhanmu sangat lembut dan baik sekali tadi. Sangat nyaman rasanya."
Mungkin rasanya mirip seperti ketika seseorang mencuci rambut kita di salon.
Aku pun sering merasa mengantuk dalam situasi itu, jadi aku mengerti perasaan Hime.
"Mungkin karena baru saja keluar dari kamar mandi... Rasanya sangat hangat."
Sepertinya ini bukan karena pusing akibat air panas. Wajahnya memang sedikit merah, tetapi itu lebih terlihat seperti kulit sehat yang kemerahan. Atau mungkin karena badannya masih sedikit hangat.
Namun, itu bukan tanda kesehatan yang buruk. Justru, dia terlihat baik-baik saja.
Dan buktinya…
‘Guruu…’
Tiba-tiba terdengar suara itu.
Suara yang begitu akrab, hingga membuatku merasa nostalgia.
"...Aku lengah."
Hime berkata dengan suara bergetar sambil memegang perutnya.
Kupikir, telinganya yang merah bukan karena panas.
Sebenarnya, rasa lapar itu tanda bahwa dia sehat. Seharusnya dia tidak perlu merasa malu sama sekali.
"Kamu lapar ya?"
Aku tidak berniat mengejeknya.
Aku hanya mengulangi kalimat yang sama seperti sebelumnya.
Mendengarnya, Hime tampak terkejut dan menatapku sebelum berbisik pelan.
"...Sedikit."
Ternyata, dia masih mengingatnya.
Dia mengulangi kalimat yang sama ketika kami pertama kali berbicara di ruang kelas.
Padahal itu baru sebulan yang lalu, tetapi rasanya sangat nostalgia.
"Waktu itu, aku benar-benar terkejut."
"Aku juga... Tidak menyangka suaranya akan sekencang itu."
"Bukan, bukan itu. Aku bukan terkejut karena suaranya."
Aku masih mengingatnya dengan jelas.
Wajah manis Hime saat memakan cokelat sambil tersenyum.
"Itu pertama kalinya aku melihat seseorang makan cokelat dengan sangat lahap dan bahagia."
"Itu wajar saja. Karena... rasanya sangat lembut dan membawa kebahagiaan."
Hime mengayunkan tubuhnya di pangkuanku, sepertinya dia sedang mengenang momen itu.
Dia terlihat senang.
"Jadi, kamu sangat menyukai biskuit cokelat itu ya?"
"...Bukan hanya itu."
Setelah mengatakan itu, Hime menyandarkan tubuhnya padaku.
Dengan manja, dia menggosokkan tubuhnya sambil menatapku dengan mata yang memelas.
Lalu dia berbisik pelan.
"Yohei-kun juga, rasanya lembut dan manis."
"Aku?"
"Iya. Kamu membuatku merasa bahagia, seperti biskuit itu."
‘Seperti biskuit,’ ya.
Aku tahu bagi Hime, itu adalah pujian tertinggi.
"Terima kasih."
Aku tanpa sadar mengelus kepalanya lagi.
Aku senang mendengar kata-kata itu darinya.
"Hm."
Jari-jariku menyentuh rambutnya yang lembut dan halus.
Rasanya seperti ingin terus menyentuhnya.
Tapi ketika Hime mengeluarkan suara kecil, aku sadar aku mungkin terlalu berlebihan.
"Ah, maaf. Apa kamu geli?"
"...Sedikit. Tapi aku tidak keberatan."
Sebaliknya, Hime semakin mendekat seolah-olah meminta untuk terus dielus.
Suhu tubuhnya yang sedikit hangat, aroma seperti susu, dan sensasi lembut serta kenyal itu—semuanya membuatku merasa amat menyayanginya.
Kasih sayang yang tak terbantahkan. Perasaan nyaman karena disukai olehnya membuat kepalaku terasa ringan.
Gadis sebaik ini menyayangiku.
Bagaimana mungkin aku tidak merasa bahagia?
"Guu~"
Suara perutnya terdengar untuk kedua kalinya.
Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Lagipula, sepertinya ini waktu yang pas untuk camilan.
"Kamu membawa camilan, kan? Waktunya masih ada, jadi kenapa tidak dimakan?"
"Oh iya... Lagipula, rasanya memalukan jika membiarkan Yohei-kun mendengar suara perutku lagi."
Hime melompat berdiri dari pangkuanku.
Rasa kehilangannya hanya sesaat. Hime mengambil kantong berisi camilan yang ada di atas meja, lalu kembali duduk di pangkuanku seolah itu adalah tempatnya.
Yang ia ambil adalah cokelat berukuran kecil.
Cokelat yang bahkan bisa muat di telapak tangannya itu, ia lalu menawarkannya padaku.
"Jangan-jangan, kamu tidak tahu cara membukanya ya?"
Sama seperti saat pertama kali kami makan camilan di kelas.
Dulu, Hime kebingungan membuka bungkus camilan.
Kupikir kali ini pun aku akan membukanya untuknya. Namun—
"Bukan karena tidak tahu cara membuka, tapi... aku ingin Yohei-kun yang menyuapiku."
Hime memang selalu jujur.
Dia tidak memikirkan alasan yang rumit, melainkan menunjukkan rasa sukanya secara langsung.
"Menurutku, ini cara makan yang paling enak."
…Aku ingat, saat hanya berdua, Hime selalu memintaku untuk menyuapinya.
Akhirnya, aku tahu alasannya.
"Kesan pertama begitu kuat bagiku. Cokelat memang enak jika kumakan sendiri, tapi rasanya berlipat ganda ketika Yohei-kun yang menyuapiku."
Siapa yang bisa menolak setelah mendengar kata-kata seperti itu?
"Tentu saja. Serahkan padaku."
Aku mengangguk mantap dan mengambil cokelat darinya.
Kubuka bungkusnya, lalu dengan lembut kusodorkan ke mulut Hime.
"Silahkan."
"Terima kasih."
"Nyam~"
Seperti biasa, Hime tidak ragu-ragu.
Bahkan tanpa sungkan, ia memasukkan cokelat itu—bersama dengan jariku—ke dalam mulutnya. Sensasi lembut bibirnya dan sedikit tajam dari gigi taring kecilnya membuatku geli.
Melihatnya mengunyah dengan penuh semangat benar-benar menggemaskan.
"Seperti yang kuduga... manis sekali."
Hime tampak menikmati setiap gigitan cokelat itu.
"Yohei-kun juga manis."
Pipi dan hatinya tampaknya telah luluh, terlihat dari senyuman lembutnya.
Belakangan ini, Hime lebih sering makan camilan bersama Hijiri-san, jadi ia jarang meminta bantuanku.
Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku menyuapinya seperti ini.
"Mau lagi?"
"Iya!"
Aku dan Hime pun menghabiskan waktu camilan bersama.
"Ehehe."
Dia tampak sangat senang.
Awalnya, aku khawatir ia akan bosan selama menunggu pakaiannya kering, tapi ternyata itu hanya kekhawatiranku saja.
『~~~♪』
Ketika perut kecil Hime akhirnya kenyang, melodi ringan terdengar dari mesin cuci di lantai satu.
Itu adalah tanda bahwa cucian sudah selesai.
"Aku akan menjemur pakaian dulu ya."
"Terima kasih. Tolong ya."
Meskipun agak berat melepas Hime dari pangkuanku, ini memang harus dilakukan. Lebih baik cepat diselesaikan dan kembali ke kamar.
Aku keluar dari kamar dan turun ke lantai satu. Pertama, aku mengambil gaun milik Hime dari mesin cuci di ruang ganti dan memasukkannya ke keranjang. Selanjutnya, pakaian dalamnya—yang berusaha tidak kulihat—kumuat ke dalam pengering dan menyalakan mesinnya. Ini pasti akan cepat kering.
Namun, gaun Hime tidak bisa masuk ke dalam pengering, jadi aku memutuskan untuk menggantungnya.
Saat memeriksa ke luar, ternyata masih hujan. Akhirnya, aku menggantung gaunnya di rel gorden di ruang tamu, lalu menyesuaikan posisinya dengan dehumidifier. Bahannya tipis, jadi sepertinya akan kering dalam waktu tiga puluh menit.
Baiklah, cucian sudah selesai.
Ngomong-ngomong, aku bertanya-tanya apakah Hime merasa haus. Karena itu, aku mengambil teh dari kulkas, menuangkannya ke dalam dua gelas, lalu meletakkannya di atas nampan untuk kubawa ke lantai dua.
"Hime? Aku bawa minuman juga... Hm?"
Aku memanggilnya sambil masuk ke kamar. Kupikir Hime sedang menungguku.
"Hah?"
Ternyata Hime sedang berbaring di atas tempat tidur.
"Suu... suu..."
Dia menutup matanya dan terdengar suara nafas kecil.
Dia sama sekali tidak terlihat berpura-pura tidur. Ia tampaknya benar-benar tertidur.
Waktu yang kuhabiskan untuk menjemur pakaian hanya sekitar sepuluh menit. Dalam waktu sesingkat itu, sepertinya ia sudah merasa mengantuk.
(Apa dia kelelahan karena perjalanan tadi?)
Keluar rumah, terkena hujan, kemudian mandi air hangat, ditambah lagi camilan yang ia makan pasti membuatnya mengantuk. Wajar jika akhirnya ia jatuh tertidur.
"Nnya..."
Hime menggosokkan wajahnya ke bantal milikku sambil tersenyum kecil dalam tidurnya.
...Meskipun aku yakin dia tertidur, aku tetap ingin memastikan.
"Hime? Kamu benar-benar tidak pura-pura, kan?"
Aku meletakkan nampan di atas meja, lalu menyentuh pipinya dengan lembut.
Pipi Hime terasa lembut dan kenyal, rasanya sangat memikat. Sejak pernah menyentuhnya di kelas beberapa waktu lalu, aku selalu ingin mengulanginya jika ada kesempatan.
Pipinya tetap terasa lembut, dan Hime tetap tidak bangun. Ia benar-benar tertidur.
"Benar-benar tidak waspada, ya."
Gadis ini tampaknya sama sekali tidak punya kewaspadaan.
Meski begitu, hanya dengan sedikit usil seperti ini, aku sudah merasa sangat bahagia. Tak ada niat untuk melakukan hal lainnya.
Aku menyelimutinya agar ia tidak kedinginan, lalu dengan lembut membelai rambutnya sekali lagi.
"…Kamu benar-benar lucu ya, Hime."
Mungkin karena ia sedang tidur, aku tak bisa menahan diri untuk mengucapkan isi hatiku.
Aku tahu ia tidak akan mendengarnya, tetapi melihat wajah tidurnya yang polos itu, rasanya sulit menahan diri.
"Sejak pertama kali bertemu, aku selalu berpikir seperti ini."
Sejak upacara penerimaan siswa baru. Sejak pertemuan kami di tempat pembuangan sampah.
Wajahnya yang dewasa, namun sesekali terlihat sisi kekanak-kanakannya, selalu membuatku terpikat.
"Ini pertama kalinya aku merasa seorang gadis begitu menggemaskan──entahlah, ya."
Tentu saja, aku tahu ia tidak mendengarnya. Namun, begitu diucapkan, rasanya tiba-tiba jadi malu sendiri.
"…Huu."
Aku menghela nafas, lalu menenggak segelas air.
Rasa haus ternyata belum hilang, jadi aku menghabiskan segelas lagi.
Aku akan menyiapkan teh dingin yang baru saat Hime bangun nanti.
Dengan pikiran itu, aku membawa gelas kosong keluar dari kamar.
Sekitar tiga puluh menit berlalu.
Saat aku menjaga ketenangan agar Hime bisa tidur, tiba-tiba ponsel berbunyi.
Aku buru-buru melihat ponselku. Tapi ternyata bukan dari sini asal suaranya.
"Hime, ya."
Ponsel milik Hime yang ada di meja berbunyi, menandakan ada panggilan masuk.
Sepertinya suara itu membuatnya terbangun juga.
"Mm… ah."
Ia bangkit perlahan, menatapku dengan mata yang masih setengah tertutup.
"……"
Hime terdiam. Mungkin karena baru bangun tidur, ia tampak belum sepenuhnya sadar.
Aku sebenarnya ingin menunggu sampai ia benar-benar sadar, tapi ponselnya terus berdering.
"Selamat pagi. Ada telepon, nih."
Aku mengambil ponselnya dan membawanya ke tempat tidur.
"…Terima kasih."
Meski masih setengah sadar, ia tetap mengucapkan terima kasih. Memang ciri khas Hime—anak yang baik.
"Halo… ah, ya. Jemput? Waktunya… ah!"
Sambil menelepon, sepertinya kesadarannya mulai kembali perlahan.
Setelah mengecek waktu, Hime tampak mulai memahami situasinya dan buru-buru menggenggam ponselnya.
"Sekarang, aku sedang berteduh di rumah Yohei-kun… baik, tolong jemput sekarang. Apakah bisa dilihat dari GPS? …Oh, begitu. Bagus kalau sudah tahu lokasinya. Ya, terima kasih banyak."
Sepertinya itu panggilan jemputan.
Sekarang pukul 17.00. Matahari masih cukup tinggi, tapi sepertinya ini waktu yang tepat untuk pulang.
"Maaf, ya. Saat Yohei-kun menjemur pakaian tadi, aku merasa mengantuk. Tadinya cuma mau tiduran sebentar, tapi… sepertinya aku ketiduran."
"Tak apa-apa. Kamu pasti lelah."
"…Aku malah tidur di kasur ini tanpa izin."
Ia tampak merasa bersalah, meskipun menurutku tidak ada masalah.
Daripada terus bilang "tidak apa-apa" untuk meredakan rasa bersalahnya, mungkin lebih baik aku mengatakan sesuatu yang lain.
"Aku senang bisa melihat wajah tidurmu."
"Hah? Wajah tidurku?"
Wajah Hime langsung terlihat malu. Ia menutup mulutnya dengan selimut.
"Sebagai balasan sudah menggunakan kasurku, itu cukup adil, kan?"
"…Tidak ada air liur yang keluar, kan?"
"Tenang saja. Wajah tidurmu imut kok."
"Imut… hehe."
Pujian itu sepertinya berhasil mengurangi rasa malunya. Akhirnya ia menurunkan selimut dari wajahnya.
Baiklah, menggoda Hime yang baru bangun tidur cukup sampai di sini.
"Tadi itu telepon penjemputan, ya?"
Aku bertanya untuk memastikan meskipun sudah bisa menebaknya.
"Dalam tiga puluh menit mereka akan sampai."
"Begitu, ya. Kalau begitu, sebaiknya kamu mulai ganti baju."
"Baju ganti… oh, sudah kering ya?"
Benar, tadi sebelum Hime bangun, aku sempat mengecek gaunnya dan ternyata sudah kering, jadi aku membawanya ke kamar. Pakaian dalam dan lainnya juga sudah kumasukkan ke keranjang.
"…Ah, terima kasih banyak!"
Sepertinya Hime juga menyadari semua pakaiannya sudah siap.
Dengan wajah memerah, ia tampak malu—pasti karena melihat ada pakaian dalamnya juga.
Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak melihatnya, tapi menjelaskan itu justru bisa membuatnya semakin canggung, jadi lebih baik aku diam saja.
Mungkin ia sengaja tidak berkomentar karena jika diucapkan, situasinya akan semakin canggung baginya.
"Kamu haus, kan? Aku ambilkan minuman, jadi sambil menunggu kamu bisa ganti baju."
"Baik, tolong ya."
Aku memberinya sedikit waktu sendirian.
Aku yakin Hime menyadari perhatian kecilku itu. Karena ia menerima tawaran itu tanpa canggung, aku bisa keluar kamar dengan tenang.
Dengan langkah lebih santai dari biasanya, aku turun ke lantai satu, menuangkan teh ke gelas, dan kembali ke lantai dua.
Dari luar kamar, aku memanggilnya terlebih dulu.
"Hime, boleh masuk?"
"Silahkan. Aku sudah selesai ganti baju."
Setelah memastikan tidak ada kejadian tak terduga, aku masuk ke dalam kamar.
Di atas tempat tidur, ada Hime yang sudah mengenakan gaun. Ia duduk dengan sopan.
Di tangannya, tergenggam kemeja yang tadi ia pakai milikku. Seharusnya bisa saja dibuang begitu saja ke lantai… tapi Hime tidak mungkin melakukan hal seperti itu.
"Bajunya, bagaimana? Sudah kering dengan baik kah?"
"Ya. Berkat kamu, rasanya sangat nyaman dipakai."
Baguslah. Tampaknya semua telah ditangani dengan baik.
"Kalau begitu, kemeja yang tadi dipakai sebaiknya langsung aku cuci, ya?"
Masih ada sedikit waktu sebelum jemputannya tiba.
Sambil menunggu, aku berniat mencuci baju-baju yang masih basah, termasuk kemeja milikku yang dipakai Hime sebagai pengganti.
"……"
Tapi, Hime tidak merespons.
Tanganku sudah terulur untuk mengambil kemeja itu, tapi ia tidak memberikannya padaku.
"Hime?"
"... Yohei-kun?"
Bukan, ini bukan waktunya untuk hanya saling memanggil nama.
Ada apa ini? Saat aku menatapnya dengan bingung, ia terlihat agak menyesal dan mengalihkan pandangan…
Lalu, seolah memantapkan hati, ia berdiri dengan cepat.
"Bolehkan aku mengatakan satu permintaan egois?"
"Apa, apa itu?"
Jarang sekali. Rasanya Hime belum pernah mengatakan keinginannya sendiri.
Dia bukan tipe yang suka merepotkan orang lain. Pasti ini sesuatu yang sangat penting baginya.
Tanpa sadar, aku menahan nafas. Apa yang akan ia minta?
"…Berikan padaku."
"Berikan, maksudnya?"
"Y-yang ini, berikan padaku!"
Sambil memejamkan mata rapat-rapat, ia meminta kemeja milikku yang tadi dipakainya.
"Rasanya sangat nyaman saat memakainya… entah kenapa aku bisa tidur nyenyak."
Mungkin karena ukurannya yang lebih besar baginya, jadi lebih nyaman dipakai?
Begitulah yang kurasakan dari perkataannya.
Namun, ternyata bukan itu alasan sebenarnya.
"Bukan, maaf. Itu hanya alasan formal. Tentu saja bukan kebohongan, tapi…"
Ia langsung mengoreksi kata-katanya. Melihat ia sengaja menyangkal, pasti ada perasaan lain yang ingin ia sampaikan.
"Uhm…"
"Aku tidak keberatan memberikannya, kok. Tapi, aku ingin mendengar alasannya."
Karena ia ragu-ragu, aku mendorongnya sedikit agar lebih mudah baginya untuk berbicara.
Kurasa akan lebih mudah baginya jika aku mengatakan ingin tahu alasannya.
"…Aku ingin menyimpan kenangan tentang Yohei-kun dalam bentuk nyata."
Bukan barangnya yang ia inginkan. Hime hanya ingin kenangan yang tersimpan dalam barang tersebut.
"Hari ini adalah hari yang sangat spesial bagiku. Ingatanku memang bagus, jadi aku tidak akan melupakannya… tapi sekadar mengingat saja rasanya tidak cukup."
Sambil berkata begitu, Hime menggenggam erat kemeja itu. Tekad untuk tidak melepaskannya begitu jelas terlihat.
Sepertinya, Hime sangat menikmati apa yang terjadi hari ini.
"Maaf… aku jadi mengatakan permintaan yang egois."
"Aku tidak merasa itu egois, kok."
Kamu tidak perlu minta maaf.
Sebaliknya, aku senang karena Hime mau mengungkapkan keinginannya padaku.
Itu berarti dia sangat mempercayaiku, dan hal itu membuatku merasa bahagia.
"Hari ini aku sangat senang bisa tahu banyak hal tentang apa yang kamu pikirkan, Hime."
"Benarkah…? Yohei-kun juga menikmatinya?"
"Tentu saja. Aku bisa melihat banyak sisi dirimu yang tidak terlihat di sekolah, dan itu sangat menarik."
Dia terlihat sangat bersemangat saat bermain game.
Gembira ketika mendapatkan boneka.
Matanya bersinar saat melihat pojok permen.
Wajahnya memerah saat mandi.
Manja saat rambutnya dikeringkan.
Bahagia ketika memakan permen.
Wajahnya yang tertidur sangat polos dan menggemaskan.
Dan dia berani mengutarakan keinginannya untuk memiliki kemejaku.
Itu adalah sisi-sisi Hime yang tak pernah kulihat saat kami hanya bersama di sekolah.
"Aku benar-benar senang. Mungkin sama seperti kamu."
Perasaan kami sama.
Itulah sebabnya aku juga mengerti keinginanmu untuk menyimpan kenangan dalam bentuk nyata.
"Kalau kemeja sederhana ini cukup untukmu, ambillah tanpa ragu-ragu."
Begitu aku mengangguk, Hime sedikit melonggarkan genggamannya pada kemeja itu. Lalu dia memeluknya di dadanya dan tersenyum malu-malu.
"Sederhana? Tidak sama sekali."
"Bukan, ini cuma kemeja murah seharga seribu yen."
"Bukan soal harga. Ini adalah pakaian spesial, satu-satunya di dunia, yang pernah dipakai oleh Yohei-kun."
…Kurasa dia mengatakannya tanpa sengaja.
Ini bukan kalimat dengan maksud tertentu.
Namun, kata-kata sederhana dari Hime selalu berhasil menghangatkan hatiku.
Perasaan murni, tulus, dan tanpa pamrih dari Hime selalu membuatku merasa tenang.
"Kalau kamu menganggapnya seperti itu, rasanya aku memberikannya tidak sia-sia."
Aku berpura-pura tenang dan bijak sebagai yang lebih tua.
Namun di dalam hati, aku merasa sangat senang hingga ingin melonjak gembira.
(Jadi bukan cuma aku yang menganggap dia spesial.)
Dunia kami berbeda.
Saat upacara penerimaan siswa baru, ketika aku melihat Hime naik ke atas panggung, aku sangat yakin tentang itu.
Bahkan berada di dekatnya pun terasa seperti sesuatu yang terlalu tinggi bagiku.
Bagi orang biasa sepertiku, dia adalah sosok yang tidak terjangkau.
Banyak hal terjadi sejak saat itu, dan berkat takdir yang ajaib, aku bisa dekat dengannya.
Namun, kadang aku masih mempertanyakan apakah aku pantas berada di sisinya.
Apakah orang biasa sepertiku layak bersama Hime?
Tentu saja aku sadar bahwa pikiran seperti itu hanyalah ketidakpercayaan diri.
Aku tahu merendahkan diri sendiri tidak ada gunanya, dan itu hanya akan menyakitiku sendiri.
Biasanya aku berusaha untuk tidak memikirkannya, tapi tetap saja, ada saat-saat ketika pikiran itu muncul.
Mungkin itulah mengapa kata "spesial" dari Hime begitu membekas di hatiku.
Tidak ada orang lain yang menilai aku seperti Hime.
Mungkin itulah sebabnya aku pun menganggap Hime sebagai seseorang yang lebih spesial bagiku.
"…Oh, sepertinya jemputan sudah datang."
Saat tenggelam dalam pikiran, waktu pulang ternyata sudah tiba.
Meskipun ada sedikit rasa enggan, aku tidak merasa sedih karena kami pasti bisa bermain lagi di lain waktu.
Aku mengantarnya hingga ke pintu, lalu melambaikan tangan.
"Hime, terima kasih untuk hari ini ya."
"Tidak, tidak, akulah yang seharusnya berterima kasih."
Sebelum pergi, dia kembali menundukkan kepalanya dengan sopan.
"Selamat tinggal, Yohei-kun!"
Kemudian, ia menampilkan senyuman yang begitu cerah.
"Uh… iya. Sampai jumpa besok."
"Ehehe."
Aku dengan buru-buru melambaikan tangan balik.
Hime tersenyum lagi dengan senang, lalu membuka pintu dan berlari ke luar.
…Dia sangat lucu.
Aku sampai terpana dan hampir lupa melambaikan tangan kembali.
"Aku menganggap Hime lucu sampai ingin menjadikannya adik perempuanku."
Aku teringat ucapan itu.
Perasaan itu memang benar adanya.
Tapi… siapa sangka sekarang aku merasa Hime jauh lebih menggemaskan dari itu.
Aku mungkin tidak bisa mengungkapkan perasaanku dengan kata-kata.
Lebih dari sekadar keinginan menjadikannya adik, rasanya sulit menemukan ungkapan lain untuk perasaan ini.
Kurasa jika aku memberitahunya sekarang, Hime hanya akan bingung.
Jadi, untuk saat ini, perasaan ini akan kusimpan dalam hati.
Namun suatu hari, saat aku bisa mengungkapkannya dengan jelas, aku ingin menyampaikannya padanya.
Jika itu terjadi, aku yakin dia akan senang.
Begitulah, hari pertama aku pergi bersama Hime berakhir.
Hari ini adalah hari yang begitu manis dan membahagiakan, layaknya permen—
Post a Comment