NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Nageki no Bourei wa Intai Shitai V4 Chapter 1

Penerjemah: Sena

Proffreader: Sena


Chapter 1: Tanggung Jawab Level 8


Di lantai paling atas markas Klan milik Duka Janggl, terdapat ruang Klan Master yang hanya boleh dimasuki oleh staf administrasi dan Klan Master itu sendiri. Di sana, aku memandangi meja di hadapanku sambil menyeringai.


Di atas meja itu, lima sosok kecil berbentuk manusia, masing-masing setinggi 5 cm, tengah berlarian seperti sedang berlomba. Sosok-sosok tersebut begitu detail, seperti manusia yang dikecilkan ukurannya.


Masing-masing memiliki penampilan yang berbeda: Mage, Paladin, Swordsman, Thief, dan Alchemist. Meskipun detail-detail kecil seperti jubah dan armor mereka tidak terlalu jelas, aku cukup puas dengan hasil karyaku sendiri. Rasanya ingin memuji diriku sendiri.


Sambil mengusap gelang yang mulai memanas di lenganku, aku membuat sosok-sosok kecil itu berjalan perlahan di tepi meja. Tentu saja, mereka bukanlah boneka nyata. Mereka adalah ilusi yang aku ciptakan menggunakan artefak yang baru saja kudapatkan—“Bayang-Bayang Menari (Mirage Form)”. Bahkan garis lintasan di atas meja dan bukit-bukit kecil yang terlihat di sana semuanya hanyalah ilusi.


Awalnya, aku kesulitan membayangkan bentuk dan warnanya. Namun, setelah beberapa hari berlatih, aku berhasil menciptakan ilusi berbentuk manusia yang cukup detail. Sepertinya artefak ini memang memiliki fitur yang dapat melengkapi imajinasi si pengguna sampai pada tingkat tertentu.


Meski begitu, latihan yang mulai membuahkan hasil seperti ini sangat menyenangkan. Mungkin artefak ini tidak terlalu berguna secara praktis, tetapi sebagai hobi, rasanya sulit menemukan artefak lain yang bisa memberikan hiburan seperti ini.


Aku menyentuh salah satu sosok kecil itu dengan jari telunjukku, membuatnya terlihat seperti jatuh terduduk. Lalu aku membuat sosok-sosok lainnya bereaksi seolah-olah memprotes. Padahal akulah yang mengontrol semuanya, tetapi rasanya seperti aku benar-benar sedang memimpin sekumpulan peri kecil. Aku tidak bisa menahan senyumku.


Aku ingin memamerkan ini pada seseorang. Sayangnya, jika orang lain tahu aku bermain-main seperti ini, citraku sebagai seseorang yang hard-boiled akan hancur berantakan.


Aku lalu menciptakan seekor naga kecil, cukup kecil untuk muat di tanganku. Bukan hanya satu, tetapi dua, tiga, hingga empat ekor, masing-masing dengan warna yang berbeda. Aku pernah beberapa kali bertemu naga sewaktu masih aktif di kelompok party, jadi meskipun detailnya agak kabur, aku bisa membuat ilusi dengan bentuk dasar yang cukup realistis.


Naga-naga kecil itu beterbangan mengelilingi kepalaku. Aku mencoba membuat gerakan mereka lebih realistis. Meskipun menciptakan ilusi cukup sulit, menggerakkan mereka ternyata tidak sesulit yang kubayangkan.


Satu-satunya kelemahan artefak ini adalah jangkauan efektifnya hanya sekitar 1,2 meter. Kalau lebih luas, pasti aku bisa melakukan lebih banyak hal. Aku jadi penasaran apakah ada versi lebih canggih dari artefak ini di luar sana.


Karena hanya ilusi, naga-naga itu tidak terpengaruh oleh penghalang fisik. Saat aku membuat mereka terbang keluar melalui jendela, mereka menghilang begitu melewati batas jangkauan artefak.


“Naga yang payah,” gumamku, meskipun aku tahu itu bukan salah mereka.


Aku masih asyik bermain dengan naga-naga itu ketika pintu ruang Klan Master tiba-tiba terbuka. Aku terlonjak kaget. Yang muncul adalah Eva. Meski aku tidak punya pekerjaan mendesak, tetap saja memalukan jika dia melihatku bermain seperti anak kecil. Aku buru-buru menghapus naga-naga itu.


Tampaknya aku tidak cukup cepat, karena aku melihat mata Eva membesar di balik kacamatanya.


“!? Apa-apaan tadi itu?” tanyanya, bingung.


“...Bukan apa-apa. Aku hanya terkejut karena kau tiba-tiba masuk.”


“Eh...? Tapi aku sudah mengetuk, lho.”


Sepertinya aku terlalu sibuk bermain sampai tidak mendengar ketukannya. Aku harus ingat untuk tidak bermain seperti ini di ruangan ini lagi.


Aku tidak perlu bertanya apa yang dia inginkan. Di tangannya ada setumpuk surat yang sudah membuatku jenuh hanya dengan melihatnya.


Sejak party Duka Janggal terlibat dengan Lord Gladys dalam lelang beberapa waktu yang lalu, entah mengapa jumlah surat yang datang kepadaku meningkat drastis. Menurut informasi yang Eva dapatkan, desas-desus di kalangan bangsawan membuat mereka percaya bahwa akulah yang menyelamatkan Nona Eclair. Padahal yang menyelamatkannya jelas-jelas adalah Ark.


Jika aku adalah pemburu yang bercita-cita naik pangkat atau mencari koneksi, surat-surat ini pasti akan sangat berharga. Sayangnya, aku adalah pemburu yang ingin segera pensiun. Jadi, jawabanku hanya satu: penolakan sopan.


“Ada banyak orang lain yang lebih pantas,” gumamku. 

Kalau situasinya memburuk, aku bahkan siap melarikan diri dari Zebrudia.


Saat aku duduk kembali di kursiku, aku menyadari Eva sedang menatap meja, atau lebih tepatnya—ilusi manusia kecil yang lupa aku hapus.


Eva mendongak, menatapku dengan ekspresi yang seolah meragukan kewarasanku. Sosok kecil itu terlihat panik, berlarian di atas meja, sebelum melompat dan menghilang di bawah meja. Aku berdeham kecil, mencoba mengubah suasana.


“...ekhm Jadi, ada urusan apa?” tanyaku dengan nada santai.


“??? Apa kamu pikir itu bisa mengalihkan perhatian!? Apa tadi itu!?” Eva melongok ke bawah meja, tetapi tentu saja, tidak ada apa-apa di sana. Aku sudah menghapus ilusinya.


Berusaha terlihat misterius, aku menyilangkan tangan di depan dada dan tersenyum tipis.


“Fuh... Aku juga punya rahasia, kau tahu.”


“Y-Ya... Aku tahu itu, tapi…”


Eva tampak bingung, tetapi akhirnya dia mengangguk pelan, seolah mencoba menerima apa yang terjadi. Dia membersihkan tenggorokannya sebelum berbicara lagi.


“Kali ini, ada lebih banyak surat dari para bangsawan. Kalau bisa, tolong baca dulu sebelum—”


Namun, ketika dia melihat miniatur diriku muncul di atas meja, mengangkat kedua tangan seolah ingin menerima surat, ekspresinya langsung berubah tegang. Eva perlahan menatapku, lalu kembali menatap ilusi itu.


Dengan hati-hati, dia mencoba meletakkan tumpukan surat di tangan si miniatur, tetapi berat surat itu membuat ilusi itu hancur seketika. Wajah Eva langsung pucat, dan dia buru-buru mengangkat surat-surat itu, tetapi tentu saja, tidak ada yang tersisa di bawahnya.


“Eh...? Tadi...? Aku...”


“Ah, jangan terlalu dipikirkan. Jadi, apa tadi urusannya?”


Melihat Eva yang terlihat bingung, aku tersenyum lembut. Rasanya... ini sangat menyenangkan.

TLN: usil banget nih Krai wkwk



"Distrik Kota Dekaden di Barat Daya Zebrudia."


Di sebuah lorong gelap yang tak akan dimasuki oleh orang waras, Liz menghela napas kesal sambil mendecakkan lidahnya.


“...Ah, ya ampun. Inilah kenapa aku benci organisasi sihir. Mereka tidak pernah menghadapi kita secara langsung.”


Orang yang menjawab adalah Sitri, yang wajahnya hampir sepenuhnya tertutup oleh tudung, seolah mencoba menyembunyikan identitasnya sebanyak mungkin.


Berdasarkan informasi yang mereka dapatkan dari lelang, Liz dan Sitri sedang menelusuri jejak Akasha.


Golem Akasha, sebuah senjata inovatif yang diciptakan oleh Noctus Cochlear, seorang penyihir agung yang jatuh, adalah fokus penelitian dari berbagai laboratorium di Menara Akasha. Tak diragukan lagi, pencuri yang menyusup ke gudang lelang mengincar golem itu. Namun, mereka tidak sempat mencurinya karena Sitri telah mengambilnya tepat setelah lelang selesai.


Liz dan partynya, Duka Janggal, sudah terbiasa menghadapi kelompok kriminal. Mereka sering berurusan dengan para pemburu gelap dan organisasi kriminal, bahkan menghancurkan organisasi seperti itu bukanlah hal baru bagi mereka.


Namun, musuh kali ini berbeda. Mereka berada di level yang jauh lebih tinggi dibandingkan lawan-lawan yang pernah mereka hadapi sebelumnya.


Menara Akasha bukanlah sekadar organisasi kecil. Koneksi mereka bahkan mencapai Institusi Relik Nasional, badan resmi pemerintah. Fakta bahwa mereka bisa mempengaruhi institusi sebesar itu menunjukkan bahwa musuh mereka adalah orang-orang dengan koneksi kuat di lapisan elit masyarakat.


Di depan Liz, tiga orang bertubuh besar—dua pria dan satu wanita—berlutut dengan tangan terikat di belakang punggung. Mereka mengenakan baju zirah yang telah lama digunakan, tetapi tubuh mereka yang terlatih memancarkan aura menakutkan, tanda dari individu yang menyerap sejumlah besar Mana Material.


Pedang dan belati hitam berkualitas tinggi tergeletak di jalanan. Jika dijual baru, senjata ini bernilai lebih dari 10 juta gil.


Ibu kota kekaisaran adalah surga bagi para pemburu. Tapi, di balik terang, selalu ada bayangan. Tiga orang ini adalah pemburu gelap yang menerima pekerjaan ilegal, termasuk kekerasan. Meski kekuatan mereka di atas rata-rata, Liz memandang rendah mereka.


“Anjing kalah,” pikir Liz. 


Pemburu yang lupa tugas utamanya melawan monster dan perangkap mematikan, dan malah memilih menindas yang lebih lemah, bukanlah ancaman bagi Liz.


Tiga pemburu itu kini tertunduk. Mereka mengenakan kantong kertas di kepala mereka, dan aroma keringat bercampur darah memenuhi lorong sempit yang pengap.


Meskipun lawan mereka adalah pemburu gelap yang profesional, Liz dan Sitri berhasil mengalahkan mereka dengan mudah. Namun, setelah melalui proses interogasi yang teliti, hasilnya mengecewakan.


Para pemburu ini tidak tahu apa-apa tentang klien yang mempekerjakan mereka. Semua komunikasi dilakukan melalui surat, dan pembayaran dilakukan di muka. Liz mendesah kesal dan melampiaskan frustrasinya pada Sitri.


“Bagaimana mungkin kamu pernah menjadi bagian dari organisasi ini tapi tidak tahu apa-apa?”


“Itu karena semuanya sangat terpisah-pisah... Lagipula, aku sebenarnya berencana tinggal lebih lama.”


Menara Akasha adalah organisasi yang sangat tertutup. Para penyihir yang tergabung di dalamnya biasanya bekerja secara independen sesuai dengan teori mereka masing-masing. Bahkan di dalam organisasi, informasi jarang mengalir antar laboratorium.


Sebagai murid utama Noctus Cochlear, Sitri memang terlibat dalam berbagai penelitian besar. Namun, dia tidak pernah keluar dari laboratorium gurunya. Jika bukan karena perintah mendadak untuk kembali ke tim, mungkin dia masih berada di sana hingga sekarang.


Liz menguap seperti kucing dan berkata dengan nada santai,


“Sudahlah, aku bosan. Kita menyerah saja, bagaimana? Lagipula, Greg sekarang pasti aman, kan? Aku tidak punya waktu untuk bermain-main dengan pengecut. Kita sudah mendapatkan golem itu. Sisanya terserah mereka.”


Sitri memprotes dengan nada khawatir,


“Onee-chan! Selalu saja cepat bosan! Kita harusnya—”


Liz memotong ucapan Sitri dan menunjuk ke tiga tahanan yang masih terikat.


“Kalau kamu butuh bahan baru untuk eksperimen, gunakan saja mereka.”


Sitri mengerutkan kening.


“Bagaimana kita membawa mereka? Membawa mereka ke laboratorium hanya akan menarik perhatian! Lagipula, aku ingin tipe penyihir sebagai subjek berikutnya—”


“Bukan urusanku. Tangkap saja seseorang di sekitar sini.”


“Onee-chan! Kamu tahu kita punya aturan di party, kan?”


Aturan utama party Duka Janggal adalah: 

Semua anggota harus bekerja sama dengan baik.

Jangan menyentuh warga sipil.

Demokrasi. Jika ada perbedaan pendapat, selesaikan dengan voting mayoritas (meskipun pemimpin punya lima suara).


Aturannya mungkin sedikit terlalu hati-hati, tetapi itu adalah aturan yang rasional. Selama aturan kedua ini ada, Sitri tidak bisa menyentuh warga sipil. Bahkan saat bergabung dengan Menara Akasha, eksperimen manusia yang menggunakan warga sipil yang diculik di “Distrik Terpuruk” selalu diserahkan kepada saudara seperguruannya. Sitri sendiri tidak pernah langsung terlibat. Karena itu pula, dia pernah dinilai “masih terlalu lunak” oleh mantan gurunya, Noctus.


Mata-mata redup milik penduduk yang kelelahan memandang dari luar gang dan dari jendela-jendela bangunan, mengamati akhir dari kekacauan yang dibuat oleh Liz dan Sitri. Saat adiknya sedang termenung, Liz, seolah mendapat ide bagus, tersenyum cerah dan bertepuk tangan.


“Baiklah, sudah kuputuskan! Meskipun sedikit menyebalkan, bagaimana kalau kita minta tolong pada Krai-chan?”


“…………”


“Tenang saja, Krai-chan itu baik hati. Aku yakin dia sudah memperkirakan ini sebelumnya. Kalau kamu takut, aku yang akan minta maaf dan memohon padanya untukmu! Dengan begitu, kita tak perlu buang-buang waktu, dan aku bisa memanfaatkan waktu itu untuk berkencan dengan Krai-chan, melatih Ti, atau melakukan hal lain. Ide yang bagus, kan? Beres, itu saja!”


Sebelum Sitri bisa berkata apa-apa, Liz sudah memutuskan semuanya sendiri, menyimpulkan dengan percaya diri sambil menyilangkan tangan.


Melihat senyuman kakaknya, Sitri berpikir.


Jujur saja, dia ingin sebisa mungkin menghindari merepotkan Krai lagi. Namun, melanjutkan penyelidikan ini tampaknya juga tidak akan membawa hasil. Lagipula, mereka sudah merepotkan Krai berkali-kali sejak menjadi pemburu. Dulu, setiap ada masalah, dia selalu meminta saran pada Krai. Jadi, mereka bukan tipe hubungan di mana membawa satu masalah tambahan menjadi sesuatu yang terlalu besar untuk dikhawatirkan.


Setelah berpikir cukup lama tanpa mendapatkan ide cemerlang, kesimpulan yang dicapai Sitri pada akhirnya sama dengan keputusan Liz.


Dan biasanya, inilah hasil yang terjadi setiap kali pendapat mereka berbeda.


Membaca kesimpulan dari ekspresi adiknya, Liz meregangkan punggungnya dengan penuh semangat dan menunjuk pada tiga tawanan.


“Lalu, bagaimana dengan mereka?”


“Hmm... Kita tidak bisa membawa mereka kembali, jadi...”


Menanggapi pertanyaan Liz, Sitri kembali memandang tiga tawanan di hadapannya.


Tangan mereka terikat, tubuh mereka penuh luka, dan mereka telah disuntikkan serum pengakuan. Meski begitu, tubuh mereka mungkin akan pulih seiring waktu, meskipun mentalnya mungkin tidak.


Sejujurnya, mereka tidak terlalu penting. Markas penelitian mereka terlalu jauh, dan membawa mereka ke sana terlalu berisiko. Meski ketiga orang ini kini menjadi musuh, itu bukan hal baru bagi party Duka Janggal. Dengan satu jari di bibirnya, Sitri mengedipkan matanya.


“Jika kita bunuh dan tinggalkan di sini, para penduduk sekitar akan datang mengurusnya, dan besok pagi bahkan serpihan tulang pun tidak akan tersisa.”


“Oh, begitu? Kalau begitu, ayo kita lakukan.”


Nada Liz terdengar santai, seolah mereka hanya sedang memutuskan menu makan malam.


Tapi, napas dari dalam kantong kertas itu mulai terdengar semakin berat.


Percakapan mereka yang biasa saja menunjukkan ketulusan yang mengerikan. Para tawanan itu mulai menyadari: kedua wanita ini tidak menganggap nyawa mereka berarti apa pun. Mereka adalah orang-orang yang mampu membunuh tanpa rasa bersalah.


Tubuh tiga tawanan itu mulai gemetar. Saat itulah, Sitri mendapat ide bagus dan berseru dengan suara cerah.


“Oh, tunggu dulu, Onee-chan! Daripada membunuh mereka, bagaimana kalau kita jadikan mereka bawahan? Aku kebetulan sedang membutuhkan anak buah yang sudah terbiasa melakukan pekerjaan kotor. Memang mereka terlalu buruk untuk jadi KilKil-kun, tapi lebih baik dimanfaatkan daripada dibuang, kan?”


“Hah? Anak buah? Aku tidak membutuhkan anak buah lemah seperti mereka.”


“Kalau begitu, biar aku saja yang mengurus mereka! Tapi, tentu saja, kita harus tanya dulu kesediaan mereka. Kalau mereka menolak, ya tidak ada pilihan lain selain menyingkirkan mereka... Lagipula, Krai sepertinya tidak suka membunuh, kan?”


Sitri melangkah mendekati tiga tawanan, menyentuh ringan leher mereka yang terbuka. Napas tersengal-sengal terdengar dari balik kantong kertas kotor tanpa lubang di bagian mata.


Setelah menarik napas dalam, Sitri berbicara dengan lembut:


“Hei, semuanya. Bagaimana kalau kalian menjadi bawahanku? Kalian masih bisa melanjutkan pekerjaan seperti biasa. Tentu saja, tidak ada paksaan. Kalau kalian mau, sih.”


“Hmm... Menurutku tidak. Jadi bawahan Sitri? Hidup mereka bakal lebih suram dari sekarang... Mungkin lebih baik mati saja, kan? Hei, katakan sesuatu dong, kalian semua! Dasar tidak berguna!”



Kepala botak yang garang itu menatapku dengan pandangan berbahaya.


Meskipun ada Kaina-san di sebelahnya, yang membawa aura menenangkan, atmosfer di ruangan itu tetap tidak sepenuhnya netral.


Aku tahu bahwa sikap seperti itu adalah untuk menjaga wibawa agar tidak diremehkan oleh para pemburu. Aku juga tahu bahwa, dari sudut pandang Gark-san sendiri, dia sama sekali tidak berniat menatap dengan tatapan mengintimidasi. Tapi, sebagai seseorang yang dasarnya penakut, aku tetap merasa ciut setiap kali duduk di hadapannya.


Hari ini, aku kembali diculik oleh Asosiasi Penjelajah.


Rasanya aneh melihat Gark-san, yang seharusnya sangat sibuk sebagai kepala cabang ibu kota, sengaja datang ke markas klanku hanya untuk menangkapku. Aku bahkan ingin sekali mengomeli Eva, yang dengan santainya membiarkan musuh alaminya—kepala cabang—masuk begitu saja.


Aku duduk di ruang pertemuan Asosiasi Penjelajah, menerima tatapan tajam yang tampaknya bisa membunuh phantom hanya dengan sekali pandang, selama beberapa menit.


Akhirnya, Gark-san membuka mulutnya dan berbicara dengan nada rendah, seperti biasa, yang terdengar seperti gertakan:


"Krai, kudengar kau membuat masalah dengan keluarga Count Gladys?"


"Eh? Tidak… aku tidak membuat masalah apa pun kok."


"Kepala cabang, kalau kamu berkata seperti itu, kesannya seolah-olah kamu memanggil Krai-kun untuk memarahinya."


Aku sudah bersiap untuk berlutut meskipun aku tahu aku tidak bersalah, namun suara lembut Kaina-san memotong pembicaraan, seolah menegur.


Tampaknya urusannya kali ini bukan hanya untuk memberikan teguran. Aku membuka mataku lebar-lebar, sedikit terkejut.


Aku terlalu terbiasa dimarahi, dan Gark-san terlalu terbiasa memarahi, sehingga situasi seperti ini menjadi hal yang biasa. Setelah menunjukkan ekspresi sedikit canggung, Gark-san berdeham kecil.


"Bukan itu maksudku. Dari pihak Gladys, mereka mengirim surat ucapan terima kasih untukmu dan Ark."


Aku tidak mengerti kenapa aku mendapatkan surat ucapan terima kasih, tapi jika itu untukku dan Ark, bukankah lebih baik mereka menangkap Ark saja? Kebetulan, aku sedang sibuk. Ini bukan kebohongan—aku sungguh-sungguh sibuk.


Menghasilkan phantom benar-benar adalah pekerjaan yang mendalam. Aku harus segera kembali untuk melanjutkan latihan membuat miniatur ibu kota.


"Selain itu, mereka juga mengirim permintaan khusus untukmu. Count Gladys, yang dikenal tidak menyukai para pemburu, meminta bantuanmu secara langsung. Tampaknya ini tugas yang cukup berbahaya, tapi bayarannya sepadan. Mungkin ini cara mereka menguji kemampuanmu. Terimalah."


Permintaan khusus adalah jenis pekerjaan di mana nama pemburu atau nama party ditetapkan sebagai syarat penerimaan.


Menerima permintaan khusus menandakan bahwa nama seorang pemburu sudah dikenal luas, menunjukkan kepercayaan dan pengakuan atas kemampuannya. Biasanya, tugas seperti ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, tetapi bayarannya lebih tinggi lagi. Jika pemberi tugas adalah tokoh yang berpengaruh, menyelesaikan tugas ini bisa mendatangkan lebih banyak kehormatan. Saat aku menerima permintaan khusus pertama kali, aku bahkan sempat merayakannya bersama yang lain (meskipun aku tidak mengambil tugas itu karena tampak terlalu berbahaya).


Karena ini adalah permintaan resmi melalui Asosiasi Penjelajah yang berasal dari seorang bangsawan, aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja.


Dengan ekspresi serius, aku mengajukan pertanyaan paling penting:


"Apa tidak bisa kalau orang lain yang menerima permintaan ini?"


"Apa kau sudah gila, hah?"


Permintaan dari seorang bangsawan yang membenci pemburu. Bagi Asosiasi Penjelajah, ini adalah kesempatan besar untuk menunjukkan betapa bergunanya para pemburu bagi masyarakat. Tapi aku sama sekali tidak ingin menerimanya. Bahkan tanpa mendengar detailnya, aku tahu tugas ini jauh di luar zona nyamanku.


Berpura-pura serius memikirkan hal ini, aku menggunakan cara yang biasa aku pakai untuk menghindari tanggung jawab.


"Saat ini, di partyku cuma ada dua orang. Jadi… bukannya aku tidak mau bekerja, tapi kupikir lebih baik Ark saja yang mengerjakannya."


Mengatakan itu sambil memperhatikan ekspresi Gark-san, aku melihat dia menghela napas panjang.


Di belakangnya, Kaina-san tersenyum masam. Dengan nada yang tak terduga tenang, Gark-san berkata:


"…………Kau sebaiknya terima tugas ini. Krai, kau sadar kan, kau belum mengambil satu pun pekerjaan selama periode ini?"


"Oh… Jadi ini soal kuota, ya? Sudah masuk waktu itu lagi, ya?"


"Ini bukan sesuatu yang bisa ditertawakan, paham!?"


Pemburu yang tergabung dalam Asosiasi Penjelajah memiliki kuota pekerjaan yang harus dipenuhi sesuai dengan level pengakuannya.


Kuota ini bisa berupa eksplorasi ruang harta karun, pembasmian phantom atau monster yang kuat, atau menyelesaikan tugas yang diberikan pihak luar. Jika seorang pemburu tidak memenuhi kuotanya selama periode tertentu, mereka akan dianggap tidak layak dan akan dikeluarkan dari Asosiasi.


Namun, kuota ini sebenarnya dibuat untuk mencegah "pemburu yang hanya meminjam nama" dan tidak benar-benar aktif. Asosiasi Penjelajah hampir tidak pernah benar-benar mengeluarkan anggota karena tidak memenuhi kuota.


Jika seorang pemburu aktif, kuota itu hampir tidak terasa. Jika ada alasan yang masuk akal seperti cedera, kuota bisa diringankan, dan jika seorang pemburu gagal memenuhi kuotanya sekali, mereka bisa menebusnya di periode berikutnya. Karena itulah, banyak pemburu yang bahkan melupakan adanya kuota tersebut.


Tapi bagiku, yang jarang menerima tugas, kuota itu seperti batu sandungan.


Dengan semua kontribusi dari "First Step" dan "Duka Janggal," poin prestasiku sebagai pemimpin terus bertambah dengan sendirinya. Tapi kuota harus dipenuhi secara pribadi.


Kuota biasanya disesuaikan dengan level seorang pemburu. Aku mencoba mengingat seberapa banyak kuotaku, tapi tidak bisa mengingatnya sama sekali. Mungkin aku bahkan tidak tahu sejak awal.


"……Ini sudah periode keberapa, ya?"


"Periode ketiga, dasar bodoh! Krai, kau bakal dikeluarkan dari Asosiasi, tahu!?"


Karena satu periode adalah enam bulan, ini berarti aku tidak memenuhi kuotaku selama satu setengah tahun terakhir.


Setelah diingatkan, aku jadi teringat bahwa aku juga mendapat keluhan yang sama enam bulan dan setahun yang lalu.


Kaina-san tersenyum masam, tampak sedikit kebingungan.


"Kami tahu bahwa Krai-kun sebenarnya tidak benar-benar menganggur, tapi… secara resmi, semua pekerjaan terlihat dikerjakan oleh pemburu lain."


"Tidak perlu minta maaf, Kaina. Kalau dia menyerahkan semua kontribusinya begitu saja, itu salah dia sendiri."


Yah, aku memang tidak melakukan apa-apa.


Misalnya, di "Sarang Serigala Putih," yang mengumpulkan tulang adalah Tino dan yang lainnya, dan penyelidikan abnormalitas dilakukan oleh Sven dan partynya. Aku hanya melempar tugas ke mereka tanpa kesulitan berarti.


Bagaimana aku bisa mengklaim semua itu sebagai prestasiku sendiri?


Jika pembagian untuk para pemburu lainnya tidak berkurang, aku tidak keberatan jika namaku ditambahkan ke daftar. Namun, aku tidak ingin merepotkan orang lain. Aku sadar bahwa aku bukan manusia yang baik—melemparkan tugas, berhutang, menyerahkan seluruh manajemen klan kepada Eva. Tetapi, setidaknya aku tidak ingat pernah menjadi seseorang yang benar-benar tak tahu malu.


“Seorang pemburu level 8 dikeluarkan karena gagal memenuhi target? Itu belum pernah terjadi sebelumnya. Ini kesempatan yang baik, kan? Kalau aku tidak datang menjemputmu, kau tidak akan pernah datang.”


Kepala cabang sendiri datang menjemputku? Ini seperti perlakuan VIP. … Aku benar-benar minta maaf karena terus merepotkanmu.


Meskipun begitu, aku tetap tidak memiliki motivasi sama sekali. Jujur saja, aku tidak keberatan jika dikeluarkan. Kalau harus menerima tugas, aku ingin sesuatu yang lebih sederhana daripada tugas khusus seperti ini.


Selain itu—aku memiliki harapan bodoh bahwa Gark-san mungkin bisa menutup-nutupi kegagalanku memenuhi target. Memang benar… aku manusia yang menyedihkan. Tolong berikan aku tugas seperti membuat miniatur ibu kota dengan ilusi atau semacamnya.


“Yah, aku sedang sedikit sibuk sekarang…”


“Krai-kun, kau selalu sibuk, bukan?”


“Eh? Kali ini apa yang sedang kau kerjakan?”


Gark-san tersenyum dengan bibir yang melengkung dan pipi yang sedikit tegang, seolah-olah mencoba mengintimidasi.


Senyum itu… dia tahu aku sedang berbohong.


Aku melirik kalender di dinding. Masih ada sekitar tiga bulan tersisa untuk periode ini.


Bagaimanapun, jika aku memutuskan untuk menerima tugas, aku tidak bisa gagal dalam tugas dari seorang bangsawan. Itu tugas yang tidak mungkin kuselesaikan sendirian. Aku harus mendapatkan waktu tambahan sampai Luke dan yang lainnya kembali.


Padahal aku sedang menikmati suasana hati yang baik dengan artefak baru ini, tetapi kini muncul masalah yang membuatku sakit kepala.


Aku meminum teh yang belum kusentuh di depanku dalam satu tegukan dan dengan santai menjawab,


“Yah, masih ada waktu, dan aku juga punya jadwal lain. Aku akan mempertimbangkannya dengan baik.”


“Ini tugas mendesak. Putuskan dalam seminggu. Jika kau tetap tidak datang, aku akan menjemputmu lagi. Oh, satu hal lagi, ini surat tugas dari keluarga Gladys.”


“Aku tidak membutuhkannya sekarang. Aku akan mengambilnya jika aku sudah siap.”


Aku memiliki sekutu yang dapat diandalkan. Meski harus mengorbankan harga diri, aku bisa memohon kepada Ark dan menerima tugas bersama-sama dengannya. Sistem Asosiasi Penjelajah memiliki celah. Target bisa diatur. Masalahnya hanyalah bagaimana menghindari tugas khusus dari Lord Gladys itu.


“Oh, ngomong-ngomong, ini pertama kalinya ada tugas khusus dari Lord Gladys. Untuk mendukungmu, Asosiasi akan menyediakan seorang profesional untuk membantumu. Aku akan memastikan mereka tidak terlalu merepotkan. Kau setuju, kan?”


“Yah… ya, baiklah. Tapi aku belum memutuskan apakah aku akan menerimanya atau tidak.”


Aku tidak suka berurusan dengan bangsawan. Tetapi jika seorang profesional akan mendampingiku, itu akan sangat membantu.


Namun, aku sudah merasa lelah tanpa melakukan apa pun.


Aku akan kembali ke kamar dan bermain dengan Mirage Form sambil memikirkan solusi yang baik.


Sambil meregangkan bahu yang sedikit tegang karena ketegangan, aku berjalan di dalam gedung Asosiasi Penjelajah. Karena waktunya tanggung, lobi yang biasanya ramai hanya dipenuhi beberapa orang.


Ketika pertama kali datang ke ibu kota, aku merasa gedung Asosiasi terlihat begitu mengintimidasi. Tetapi setelah lima tahun, aku sudah terbiasa.


Aku melewati papan pengumuman tugas, papan berita terbaru, dan papan informasi buronan tanpa berhenti. Bagaimanapun, aku tidak bisa memenuhi target level 8 sendirian.


Aku mengelilingi gedung Asosiasi perlahan, memeriksa konter, tempat penyerahan barang, ruang arsip, tetapi tetap tidak menemukan yang kucari. Aku menghela napas dalam-dalam.


Yang kucari adalah pengawal. Lebih tepatnya, pemburu dengan tanda First Step yang mau mendengarkan perintahku.


Aku tidak suka pergi ke luar sendirian. Meskipun jalan dari gedung Asosiasi ke markas klan cukup ramai, dan hampir tidak mungkin ada yang menyerang di sana, aku tetap lebih suka tidak keluar.


Biasanya, aku mencari pengawal di markas klan sebelum keluar, tetapi jika aku diculik oleh Gark-san atau dipanggil mendadak, aku harus pergi sendirian.


Berangkat bersama Gark-san tidak masalah, tetapi perjalanan pulang membuatku sangat cemas. Meski aku mengenakan artefak dari ujung kepala hingga kaki, itu hanya memberikan sedikit rasa aman.


“Gark-san selalu memanggilku secara mendadak. Padahal tugasnya tidak terlalu mendesak…”


Aku menggerakkan rantai di pinggangku sambil melirik ke luar dari pintu masuk.


Di depan gedung Asosiasi, ada jalan besar tempat kereta kuda berlalu lalang. Orang-orang berlalu-lalang, menyipitkan mata karena sinar matahari yang terik. Tak ada yang terlihat cemas seperti aku.


Pemandangan itu sedikit menenangkan pikiranku. Jika warga biasa tidak takut, maka aku, seorang pemburu, juga seharusnya tidak perlu khawatir.


Aku menguatkan diri, menegakkan dada, dan melangkah keluar dengan penuh semangat.


Di Zebrudia, nama seorang pemburu level tinggi memiliki daya tarik yang besar. Level 5 dianggap elit, dan mulai saat itu, mereka biasanya mendapatkan dukungan dari bangsawan atau organisasi besar.


Namun, aku berbeda. Meski aku telah mencapai level 8, aku berusaha menyembunyikan identitasku untuk menghindari perhatian dan musuh. Sebagian besar orang hanya mengenal Senpen Banka sebagai seseorang yang misterius.


Ini semua kulakukan untuk mengurangi jumlah musuh, karena tidak seperti pemburu level tinggi lainnya, aku tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi mereka.


Tentu saja, aku akan mencoba menutupi wajahku, membawa pengawal saat keluar, mengenakan perlengkapan sihir, dan sebisa mungkin menghindari jalan yang sepi. Orang lain mungkin tidak mengerti, tapi aku adalah… seorang pengecut.


Dengan sangat hati-hati, aku melangkah di jalan menuju markas klan.


Meskipun aku ingin menyembunyikan wajahku, melakukannya dalam situasi ini hanya akan menarik perhatian, jadi aku terpaksa tidak melakukannya.


Sayangnya, Mirage Form milikku belum mampu mengubah wajahku sepenuhnya. Sementara itu, Reverse Face sudah cukup terampil sejak awal, tapi ini lebih karena kecocokan daripada kekuatan artefak itu sendiri.


Untungnya, tidak ada seorang pun yang memperhatikan keberadaanku.


Dalam hal kemampuan menyamar sebagai orang biasa, aku tidak terkalahkan. Bahkan Liz pernah berkata, “Luar biasa, Krai-chan! Kamu benar-benar terlihat seperti orang biasa!” Tentu saja, itu bukan akting—memang begitulah kenyataannya.


Saat sedang melangkah sambil tenggelam dalam pikiran yang tidak terlalu penting, tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundakku dari belakang.


Rasa dingin menjalar di sepanjang tulang belakangku, dan aku perlahan menoleh ke belakang.


“Selamat siang, Krai-san. Lama tidak bertemu,” sapa seorang anak lelaki berambut biru dengan tatapan sedingin es.


“...Oh, lama tidak bertemu,” jawabku spontan.


Anak lelaki itu tampak seumuran dengan Tino atau sedikit lebih muda. Ia mengenakan pakaian biasa tanpa perlengkapan mencolok ataupun senjata. Namun, tatapan tajamnya menimbulkan rasa tidak nyaman.


Tapi yang paling menggangguku adalah satu hal: Siapa dia?


“Maaf mengganggu secara tiba-tiba. Tapi, saya perlu berbicara dengan Anda tentang sesuatu yang penting,” ucapnya sopan.


Siapa dia?


Aku tanpa sadar mengucapkan salam seolah mengenalnya, tapi aku sama sekali tidak ingat siapa dia.


Meski aku tidak terlalu terkenal, seharusnya aku dapat mengenali anggota klan atau seseorang yang pernah berhubungan langsung denganku.


“Seperti yang Anda mungkin sudah tahu, alasan saya di sini adalah untuk membahas sesuatu yang penting…”


Masih saja, siapa dia?


Meski aku bingung, aku tetap mempertahankan senyum ramah. Sementara itu, anak itu melanjutkan bicaranya tanpa memperkenalkan diri atau memberikan petunjuk apa pun. 


Hei, setidaknya kasih nama atau tanda pengenal lah seperti Chloe! Pikirku.


Akhirnya, aku memutuskan untuk mengalihkan perhatian anak itu dengan berpura-pura paham.


“Oh, tentu saja. Kebetulan sekali, aku juga berpikir ingin bertemu denganmu,” jawabku dengan senyum yang dibuat-buat.


Anak itu terlihat kaget untuk sesaat, sebelum kembali memasang wajah serius.


“Seperti yang diharapkan dari Senpen Banka, Anda memang cepat memahami situasi. Kalau begitu, mari kita pergi ke tempat yang lebih nyaman untuk berbicara. Mungkin kedai teh terdekat…”


Inilah kesempatannya! Pikirku.


Tentu, aku tidak keberatan mendengar apa yang ingin ia katakan (walau sebenarnya aku sangat keberatan), tetapi aku tidak ingin melakukannya sendirian. Maka, aku pun mencoba mencari alasan.


“Maaf, tapi aku harus mampir ke markas klan untuk meletakkan barang sebentar…”


Tapi sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, suara ceria tiba-tiba memotong pembicaraanku.


“Ketemu! Arn, kau langsung lari begitu saja… Eh? Jangan-jangan, ini dia orangnya?”


Dari seberang jalan, seorang gadis berambut pirang keemasan berlari mendekat.


Ia memiliki mata besar berwarna hijau dan kulit mulus tanpa noda. Pakaiannya biasa saja, sama sekali tidak terlihat seperti seorang petualang. Dan tentu saja, aku juga tidak mengenalnya.

“Aa, Marie. Rupanya, Krai-san juga sedang mencari kita. Dia bilang akan ikut bersama kita.”

“! Terima kasih banyak, Krai-san. Syukurlah, ini mengurangi satu kekhawatiran saya…”


Gadis yang dipanggil Marie terlihat lega sambil meletakkan tangan di dadanya.


Tapi kekhawatiran yang berkurang itu rasanya malah pindah ke aku. Tolong ambil kembali?


Marie dan Arn. Meski sudah mendengar nama mereka, aku tetap tidak bisa mengingatnya. Rasanya ingin muntah karena gugup.


Bagaimanapun juga, aku harus mencari cara untuk keluar dari situasi ini.


Akhirnya, kami memutuskan untuk berbicara di sebuah kedai teh dekat markas Klan. Tempat itu pernah aku datangi saat berkencan dengan Chloe dulu. Mereka punya pound cake rasa teh yang sangat enak.


Setidaknya aku merasa lega karena tidak langsung dibawa paksa ke tempat aneh. Kalian mungkin berpikir aku terlalu paranoid, tapi kenyataannya aku memang pernah diculik beberapa kali. Saking tidak melawannya, orang-orang malah mengira aku sengaja membiarkan diriku diculik. Ya ampun, siapa sih yang dengan sukarela membiarkan dirinya diculik?


Karena Arn yang menawarkan untuk mentraktir, aku tanpa ragu memesan kue dan teh. Kalau bisa makan sesuatu yang manis, mungkin otak bodohku ini bisa bekerja sedikit lebih baik. Paling tidak, aku ingin mencoba mengingat siapa mereka sebenarnya.


Setelah memesan, Arn mempersempit matanya sambil berbicara.


“Kudengar kamu tidak suka makanan manis…”


“...Hmmm, sebenarnya, aku tidak baik pilih-pilih makanan.”


Tampaknya reputasi hard-boiled diriku sudah menyebar luas.


Dengan rasa puas yang samar, aku mengangkat bahu. Namun, pandangan dingin Arn berubah tajam seperti mata pisau. Dia berbicara dengan nada dingin.


“...Tidak perlu basa-basi dengan Anda. Saya akan berbicara secara langsung. Tolong, hentikan tindakan Anda.”


“???”


Langsung to the point, tapi aku sama sekali tidak paham apa yang dia maksud.


Melihatku yang hanya mengerutkan dahi karena kebingungan, Arn melanjutkan penjelasannya.


“Memang benar, Anda hampir mencapai level 9 setelah menangkap Noctus Cochlear. Anda juga memiliki utang budi pada Lord Gladis. Jika Anda menghancurkan sisa-sisa mereka, Anda akan unggul dibandingkan level 8 lainnya. Namun, bukankah itu terlalu tergesa-gesa? Apa Anda tidak berpikir begitu?”


“???”


“Sejujurnya, Akasha adalah target yang sedang kami kejar. Mungkin saja Kepala Cabang Gark ingin regenerasi kepemimpinan. Tapi dari segi pengalaman, Krai-san, Anda masih kalah dibandingkan level 8 lainnya. Saya memahami kemajuan besar dari Party Duka Janggal Anda, tapi tetap saja, Anda belum cukup memenuhi standar sebagai level 9. Jika Anda naik, kami yang lain akan diremehkan.”


“...Ya ya, aku mengerti.”


Aku mengambil seteguk teh yang baru disajikan. Tehnya enak sekali.


Aku benar-benar sudah masuk ke mode pelarian dari kenyataan. Marie terlihat panik, mencoba menghentikan Arn yang berbicara dengan nada tegang.


“Arn, jangan bicara dengan nada seperti itu… terlalu konfrontatif…”


“Marie, ini adalah sesuatu yang harus saya katakan cepat atau lambat. Lagipula, melawan Senpen Banka yang licik seperti ini, saya tidak mungkin menang dalam permainan strategi.”


Marie melirikku dengan hati-hati, mencoba membaca ekspresiku. Tapi aku tidak mengerti apa-apa.


Ketegangan Arn terpancar jelas dari ekspresinya. Sementara itu, aku hanya tersenyum, menunggu kata-katanya selanjutnya. Tapi dia tidak melanjutkan.


Apa yang harus aku lakukan?


Dari penjelasannya, aku merasa tidak memahami setengah dari apa yang Arn katakan. Maksud dari kata-katanya bisa aku tangkap, tapi sepertinya ada perbedaan besar dalam pemahaman dasar kami.


Orang biasa mungkin akan mencoba memecahkan kesalahpahaman ini satu per satu. Namun, aku memiliki keahlian untuk mengalirkan percakapan dengan baik, meski aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang dibicarakan.


“Jadi, Arn, maksudmu—”


“!?”


Ekspresi Arn tiba-tiba mengeras, dan kelopak matanya sedikit berkedut.


Eh? Aku bahkan belum mengatakan apa-apa, kenapa dia langsung terlihat gugup?


Marie di sebelahnya tampak berusaha menahan tawa. Aku pura-pura tidak melihatnya.


“...Jadi, Arn, kau ingin aku mundur, kan?”


“...Ya. Seperti yang saya katakan sebelumnya...”


Aku sebenarnya tidak ingat pernah terlibat dalam urusan mereka, tapi mari kita kesampingkan dulu. Berdasarkan pengalamanku, biasanya ini semua ulah Liz, dan aku hanya dijadikan kambing hitam.


“Krai-san! Memang benar kami hanya berdiam diri sebelumnya, dan itu adalah kesalahan kami. Tapi, tetap saja, melibatkan diri dari luar adalah tindakan yang tidak benar, bukan? Apa menurut Anda tidak begitu?”


Marie berbicara dengan nada bergetar, matanya penuh harap melihat reaksiku.


Aku menyilangkan kaki, menusuk pound cake dengan garpu, dan mengangguk besar.


“Ya, ya, aku setuju. Aku akan mundur.”


“Eh!? Benarkah!? Terima kasih banyak!”


Kue ini enak sekali.


Arn dan Marie tampak terkejut, lalu dengan tergesa-gesa menundukkan kepala.


Karena aku tidak pernah terlibat, mundur atau tidak sebenarnya tidak ada bedanya bagiku. Aku akan meminta maaf pada Liz atau Sitri nanti. Aku sudah cukup sering melakukan itu sebelumnya.


“Ah, maaf mengganggu kalian datang ke sini hanya untuk ini. Jujur saja, aku tidak terlalu tertarik pada sisa-sisa kelompok itu atau soal level 9. Aku lebih tertarik pada kue pound ini.”


Serius, aku sudah muak dibawa ke dalam masalah yang tidak aku mengerti.


Sambil menyeruput teh, aku memasang senyum tak berbahaya. Itu cukup untuk meredakan ketegangan antara Arn dan Marie.


Aku menatap mereka yang ada di depanku. Baik Arn maupun Marie tampak terkejut dan bingung oleh ucapanku. Aku tidak tahu bagaimana mereka mengetahui wajah dan namaku, tetapi satu hal yang pasti: aku bukan orang seperti yang mereka bayangkan. 


Aku hanya ingin hidup damai, terutama setelah semua kekacauan yang melibatkan lelang itu selesai. Aku ingin waktu istirahat yang layak.


Sambil menguap lebar, aku tiba-tiba menyadari bahwa Arn berdiri dengan ekspresi tegang. Hampir bersamaan, sebuah bayangan besar muncul di pandanganku.


“…Ada keperluan apa kau di sini?” tanyaku sambil menoleh ke arah suara.


“Diam. Aku tidak punya urusan denganmu,” jawab suara berat itu dari belakang.


Suaranya terdengar sangat familiar. Rupanya, kemampuan mendeteksi keberadaanku memang benar-benar buruk. Ketika aku menoleh, aku melihat meja kami dikelilingi oleh sekelompok pria berwajah keras. Berbeda dengan Arn dan Marie, pria-pria ini bersenjata lengkap dan mengenakan baju zirah. Mereka tampak seperti siap berperang.


Para pelanggan lain di kedai ini terdiam, jelas merasa ketegangan yang memuncak. Salah satu dari pria itu berbicara dengan suara dalam yang penuh intimidasi.


“Sudah lama, Senpen Banka. Kau berani sekali mempermainkan kami waktu itu.”


“Etto... Siapa kau?” tanyaku polos.


“!!!”


Wajah pria itu memerah karena marah, dan dia menatapku tajam. 


“Kau berani berpura-pura tidak mengenal kami, hah?! Level 8 dan sikapmu seenaknya ini benar-benar membuatku muak!”


Ah, benar juga. Aku memang mengenal mereka. Mereka adalah kelompok dari Falling Mist, level 7, yang sebelumnya berurusan denganku dalam urusan lelang. Meski negosiasi kami berakhir damai, tampaknya mereka masih menyimpan dendam.


“Jadi,” lanjut pria itu, “di mana para wanita itu sekarang? Mereka tidak bersamamu hari ini?”


“…Bisakah aku memanggil mereka dulu?” tanyaku dengan ragu.


“Tidak perlu. Aku akan menghajarmu setengah mati dan menyeret tubuhmu ke hadapan mereka!”


Ugh, aku sudah muak dengan semua ini. Apakah ini ulah Liz dan yang lainnya lagi? Aku menghela napas panjang saat para pria bersenjata itu menghunus pedang mereka. Aku benar-benar tidak ingin bertarung. Tapi aku juga tahu tidak ada jalan keluar.


Lalu aku teringat sesuatu—cincin yang Sitri berikan padaku. Sebuah Realize Outer, cincin yang bisa menyimpan sihir. Aku tidak tahu apa isi sihir di dalamnya, tapi warna hitam berkilauan di dalamnya mengingatkanku pada sesuatu yang kuat. Kalau benar ini sihir yang dimasukkan Lucia, mungkin ini bisa menyelamatkanku.


Aku memasang wajah tenang, meskipun hatiku rasanya seperti akan melompat keluar. 


“Kalau aku sujud meminta maaf, apakah kau akan memaafkanku?” tanyaku dengan nada datar.


“Apa?!” seru pria itu.


“Aku hanya mengingatkan,” lanjutku, “jika aku melepaskan kekuatanku di sini, efeknya mungkin akan menghancurkan tempat ini.”


Aku sebenarnya tidak ingin menggunakan sihir ini. Selain karena aku tidak tahu persis efeknya, aku juga tidak ingin membuat kekacauan lebih besar. Tapi kalau situasi terus seperti ini, aku tidak punya pilihan lain.


Saat pria itu mendekat untuk menekan ancamannya, tiba-tiba Arn berdiri dari kursinya. Dengan langkah mantap, ia menghadang pria itu.


“Beraninya kau mengancam tamu kami,” kata Arn dengan suara tajam.


“Enyahlah. Urusanku bukan denganmu,” balas pria itu sambil mengabaikan Arn.


Namun, Arn tidak gentar sedikit pun. Dengan tubuh yang lebih kecil dibanding pria itu, dia tetap berdiri tegak. Matanya yang tajam memancarkan rasa percaya diri yang membuat pria itu sedikit terkejut.


“Dasar orang kampungan,” ejek Arn. 


“Berani menantang level 8? Sungguh keberanian yang konyol. Tapi baiklah, kami akan mengurus ini. Anggap saja sebagai rasa terima kasih kami karena sudah menerima permintaan kami sebelumnya.”


Aku menatap Arn dengan ragu. Apa yang dia pikirkan? Lawan di depannya adalah kelompok level 7 yang jauh lebih kuat, dan mereka memiliki jumlah yang lebih banyak. Tapi Arn hanya tersenyum tipis, lalu mengarahkan jarinya ke arah pria itu.


Apa yang akan dia lakukan sekarang?


Pada saat itu, aku menyadari sebuah gelang berwarna perak kusam melingkar di pergelangan tanganku. Gelang itu memiliki lambang berbentuk tongkat bercabang tiga.


Arn melirik ke arahku sebelum memperkenalkan dirinya kepada Arnold.


“Tenang saja. Kami memang pendatang baru, tapi... hei, kampungan! Catat baik-baik dalam otak kecilmu itu, namaku adalah... Alto Baran. Alto Baran Henning, dari Hidden Curse.”


“Arn!? Bukannya kita sepakat untuk tidak membuat keributan...? Aku Marie Auden, dari Hidden Curse juga. Meski begitu, kami berasal dari kelompok berbeda dengan Flames of the Abyss,” tambah Marie dengan cepat.


Mendengar nama itu, sebuah kejutan langsung menghantamku. Aku akhirnya mengingat siapa Arn—Alto Baran, dan juga Marie. Aku secara refleks menepuk tanganku, seolah menyadari sesuatu.


Entah bagaimana ekspresi wajahku, semua mata tertuju padaku. Aku menarik napas dalam-dalam, menatap Arnold dan kelompok Arn secara bergantian, lalu meminta maaf dengan nada penuh rasa bersalah.


“Maaf, boleh aku ke toilet dulu sebelum kita mulai?”


Mendengar nama Hidden Curse, kewaspadaan Arnold langsung berpindah dariku ke arah Arn.


Sial. Aku terjebak dalam situasi yang merepotkan. Hidden Curse adalah salah satu klan tertua di ibu kota, terkenal dengan anggota yang sedikit tetapi sangat berbakat. Pemimpin mereka, Flames of the Abyss, adalah salah satu penyihir terhebat di ibu kota dan salah satu dari tiga pemburu Level 8 di kota ini.


Hari ini benar-benar sial. Masalah datang bertubi-tubi.


Beruntung aku cukup mengenal tempat ini. Dengan susah payah, aku keluar dari jendela besar di toilet kafe itu dan menghela napas lega.


Apa-apaan ini? Aku tidak menyangka Falling Mist akan mencari gara-gara, apalagi sekarang Hidden Curse juga mendekatiku. Kalau tahu akan begini, seharusnya aku membawa Sitri bersamaku.


Aku bisa membayangkan di dalam kafe, Falling Mist dan Hidden Curse sedang saling menatap tajam.


Sebagai pemburu, aku memang sedikit tahu tentang pemburu Level 7 ke atas yang tinggal di ibu kota. Marie dan Arn seharusnya berada di bawah Arnold. Namun, aku tidak terlalu khawatir.


Hidden Curse adalah Klan khusus yang hanya menerima penyihir berbakat luar biasa. Mereka cenderung lebih terlibat dalam kegiatan akademis, menjalin hubungan dengan sekolah sihir dan militer yang mencari penyihir kuat. Karena orientasi itu, Level mereka sering kali lebih rendah dari kemampuan sebenarnya.


Lagipula, mereka sudah menyatakan sanggup menghadapi situasi ini tanpa aku. Aku merasa terlalu sombong jika harus mengkhawatirkan mereka.


Namun, aku tidak habis pikir. Apa tidak ada rasa logika pada para pemburu ini? Bertarung di kafe yang penuh dengan warga sipil di siang hari bolong? Mengingat tatapan dingin Arn, aku tanpa sadar merasa merinding.


Meski Falling Mist menakutkan, Hidden Curse lebih menakutkan lagi. Baik dari jumlah anggota, kualitas, maupun pengaruhnya di ibu kota, mereka jauh melampaui Arnold dan timnya yang hanya sekadar sebuah kelompok kecil.


Aku berjalan cepat menuju markas klan, tidak memedulikan apa yang ada di sekitarku. Satu-satunya hal di pikiranku adalah kembali ke tempat yang aman secepat mungkin.


Pemimpin Hidden Curse yang dikenal sebagai Flames of the Abyss memiliki reputasi sebagai pemburu dengan kemampuan penghancuran paling kuat di Zebrudia. Dia dikenal tidak hanya karena kepribadiannya yang seperti api yang membara, tetapi juga kelicikannya. Lebih buruk lagi, aku memiliki sedikit masalah pribadi dengannya di masa lalu.


Kejadian itu bermula ketika aku mendirikan klan First Step. Salah satu tim yang aku incar kebetulan sedang diincar juga oleh Hidden Curse. Entah bagaimana, aku malah memenangkan perebutan itu tanpa tahu apa-apa.


Secara hukum, tidak ada masalah. Tapi di dunia pemburu, reputasi dan gengsi adalah segalanya. Masalah itu membuatku stres setiap hari hingga rasanya ingin muntah. Untungnya, konflik itu akhirnya selesai tanpa insiden lebih lanjut.


Dengan segala pengalaman itu, aku tahu lebih baik tidak menolak permintaan Arn dan Marie. Kalau sampai aku menambah masalah, wanita tua itu bisa saja membakar markasku dengan senyum di wajahnya.


Akhirnya, aku tiba di markas klan tanpa insiden. Wajahku yang lelah terlihat di kaca jendela yang mengilap.


Hari ini benar-benar melelahkan. Aku ingin bersembunyi di dalam markas ini untuk sementara waktu. Namun, pekerjaan menumpuk di kepalaku: tugas-tugas, permintaan dari Lord Gladys, konflik dengan Arnold, permintaan dari Arn dan Marie, dan proyek miniatur ibu kota yang masih belum selesai.


Aku naik ke ruanganku, duduk di kursi, dan memutuskan untuk melanjutkan proyek miniatur ibu kota sebelum mencari Liz dan yang lainnya. Namun, sebelum aku sempat memulai, pintu ruanganku terbuka dengan keras.


Eva masuk dengan wajah memerah karena kegembiraan, sambil membawa sebuah amplop putih mewah dengan lambang Zebrudia di atasnya.


“Krai-san! Selamat! Anda mendapat undangan ke White Sword Gathering! Ini luar biasa!”


“Hah...?”


White Sword Gathering (Shiro Ken no Tsudoi) adalah pertemuan paling bergengsi di Zebrudia, hanya untuk pemburu yang telah memberikan kontribusi besar bagi kekaisaran. Acara ini diselenggarakan oleh... Kaisar sendiri.


Eva menjelaskan dengan cepat, tapi aku tidak mendengarkan. Pikiran itu tidak masuk akal bagiku.


Aku tidak mau hadir. Aku tidak ingin bertemu pemburu kelas atas lainnya. Bahkan jika ada makanan penutup lezat di sana, aku tidak peduli. Aku hanya ingin lari.


“Eva, maaf. Aku baru ingat ada urusan penting di luar ibu kota. Tolong sampaikan kalau aku tidak bisa hadir.”


Eva menatapku dengan bingung. Namun, aku sudah memutuskan: aku akan kabur.



“Menghilang... Apa maksudmu!?”


“Begini, Arnold-san. Di toilet, kami menemukan ini──.”


Salah satu rekannya menyerahkan selembar kertas yang terlipat dua. Arnold meraihnya dengan kasar, lalu membukanya.


Itu adalah cek bank. Namun, bukannya berisi nominal uang, ada tulisan tergesa-gesa di tempat seharusnya jumlah tertera:


── Aku sibuk, jadi pulang dulu.


Arnold kehilangan kata-kata.


“Sepertinya dia kabur lewat jendela toilet...”


“Orang itu... bukannya level 8?”


Dengan wajah yang menegang, Arnold meremas cek itu hingga kusut. Ia sama sekali tidak menduga bahwa seseorang seperti itu akan kabur. Jika lawannya hanya pemburu biasa atau warga biasa, mungkin Arnold akan tetap waspada. Tapi yang ia hadapi adalah sosok yang diakui sebagai salah satu yang terkuat di kota suci para pemburu, bahkan lebih tinggi levelnya daripada dirinya sendiri.


Sikap orang itu memang seenaknya, tetapi Arnold sudah merasakan sendiri betapa hebatnya kekuatan pria itu. Mana mungkin Arnold membayangkan seorang pemburu yang peduli akan kehormatan akan kabur lewat jendela toilet? Terlebih lagi, mereka bahkan belum sempat mengayunkan satu bilah pedang pun.


Namun, jika dipikir dengan kepala dingin, Arnold seharusnya sudah menduganya. Orang itu pernah menyerahkan pertempuran sebelumnya pada gadis yang bersamanya.


Arnold mengangkat kepala dan memandang dua orang yang sejak tadi saling menatapnya.


Ketika tiba di ibu kota ini, Arnold telah melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap pemburu, party, dan klan terkenal di wilayah ini. Di antaranya, tentu saja, terdapat nama Hidden Curse.


Klan penyihir elit yang dipimpin oleh salah satu pemburu teratas di ibu kota ini. Kedua orang di hadapannya adalah anggota klan terkenal itu. Meskipun mereka masih muda, mereka bukan lawan yang bisa diremehkan.


Dari segi jumlah, Arnold dan kelompoknya lebih unggul. Dalam keadaan normal, dua orang ini seharusnya merasa terpojok. Tapi, orang yang memperkenalkan dirinya sebagai Alto Baran justru dengan percaya diri mengangkat dagu dan berkata sambil mendengus ringan:


“Apa maksud ekspresi itu? Dengar baik-baik, orang kampungan. Seorang yang benar-benar kuat──tidak akan sembarangan menghunus pedangnya.”


“Jadi, level 8 di ibu kota ini kabur lewat jendela toilet, ya.”


Apa ini tidak memalukan untuk Zebrudia? Arnold datang ke sini dengan tujuan membalas dendam pada kelompok Zetsuei yang telah menantang kelompoknya. Tetapi jika pemimpinnya, Senpen Banka, sudah tidak ada, tidak ada gunanya tetap berada di sini.


Dilihat dari pakaian mereka, Alto Baran dan rekannya, Marie, memang terlihat berkelas, tetapi mereka tidak tampak seperti orang yang siap untuk bertarung. Namun, senjata bukanlah hal wajib bagi penyihir hebat. Jika diperhatikan lebih seksama, baik Alto Baran maupun Marie, yang tersenyum kaku di belakangnya, sudah bersiap untuk bertempur.


Berbeda dengan Senpen Banka yang tampaknya tidak bisa bertarung, kedua penyihir dari Hidden Curse ini tampak seperti bisa melancarkan sihir kapan saja. Namun, kekuatan utama seorang penyihir adalah serangan jarak jauh. Dalam jarak sedekat ini, Arnold, sebagai seorang pendekar pedang murni, tidak mungkin kalah.


Meski begitu, bahkan jika ia menang, hasilnya tidak akan sepadan. Lagi pula, Hidden Curse bukanlah targetnya.


Rekan-rekannya tetap bersiaga, menunggu keputusan Arnold. Alto Baran menatapnya dengan dingin seperti es dan melanjutkan:


“Kabur, katamu? Omong kosong.”


“...Tidak, dia jelas-jelas kabur.”


Apa lagi yang bisa disimpulkan dari situasi ini?


Itu adalah pelarian yang terlalu mulus dan terencana. Arnold bahkan lebih terkejut daripada marah.


Dengan suara rendah, Arnold berkata, sementara Alto Baran menjawab dengan nada penuh keyakinan.


“Sudah tertulis, bukan? Dia tidak kabur. Krai-sama... sibuk! Tidak ada waktu luang bagi level 8 di ibu kota ini, apalagi kami sudah merepotkannya. Jangan salah paham dengan mengira dia lemah. Kalian hanyalah buang-buang waktu untuknya. Itu saja.”


Serius? Apakah di negara ini... jika seseorang sibuk, mereka kabur lewat jendela toilet?


Apa yang dikatakan Alto Baran benar-benar bertentangan dengan gambaran pahlawan yang ada dalam benak Arnold.


Dengan sedikit gentar, Arnold bertanya, 


“Kau juga, kalau berada di posisinya, apakah kau akan kabur lewat jendela toilet?”


Apakah semua pemburu di ibu kota seperti ini?


Alto Baran sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu, tetapi kemudian ia tersenyum sinis.


“Aku masih... belum cukup matang. Aku belum bisa meniru Krai-sama.”


“...”


“Arnold-san, sebaiknya kita mundur. Kita tidak perlu menghadapi mereka.”


Wakil pemimpin kelompok Arnold, Eli, berbicara pelan sambil berdiri di sebelahnya. Arnold menatapnya tajam, tetapi Eli tetap memandang kedua penyihir muda itu.


“Target kita adalah Senpen Banka. Jika kita melawan Hidden Curse di sini, kita hanya akan dimanipulasi oleh orang itu lagi.”


Melihat ke sekeliling, Arnold memperhatikan para pelayan dan pelanggan yang ketakutan. Beberapa pelanggan sudah kabur dari tempat itu, mungkin penjaga kota juga akan segera datang. Kata-kata Eli masuk akal. Melupakan tujuan utama dan bertindak sembrono hanya dilakukan oleh orang kelas tiga.


Setelah beberapa saat kebimbangan, Arnold menghela napas panjang dan menggeram.


“Tch... Baiklah. Fokus pada orang itu saja untuk sekarang.”



Aku akan terus melarikan diri. Begitu keputusan itu bulat, beban di dadaku seolah lenyap begitu saja.


Tentu saja, yang kumaksud dengan “melarikan diri” bukanlah melakukannya sendirian. Di luar ibu kota, ada monster dan kemungkinan diserang oleh Phantom juga cukup besar. Meskipun jalan utama relatif aman, tetap saja, jika takdir sudah menentukan, serangan bisa saja terjadi. Aku sendiri sudah pernah mengalami serangan berkali-kali.


Membawa pengawal saat keluar kota adalah hal yang lazim. Jika aku kuat atau bisa terbang, ceritanya akan berbeda, tapi sayangnya, Night Hiker milikku tidak bisa terbang terlalu jauh karena keterbatasan mana dan hanya bisa digunakan di malam hari.


Aku mulai mempersiapkan diri untuk meninggalkan kota. Ketika aku keluar dari ruang master klan dan menuruni tangga, aku bertemu dengan Liz.


Seperti biasa, dia mengenakan pakaian khas pemburu yang terlihat tangguh dan penuh vitalitas. Melihatku, senyumnya merekah seperti bunga yang bermekaran, dan dia segera menghampiriku.


“Oh, Krai-chan! Kamu datang di waktu yang tepat! Aku punya sesuatu untuk dibicarakan──”


Mendengarkan konsultasi seperti ini bukanlah masalah besar, tapi aku bisa merasakan bahwa ini akan memakan waktu.


Aku tidak punya waktu untuk itu. Aku harus segera melarikan diri sebelum ada yang menambah masalah di hidupku. Lebih cepat aku pergi, lebih cepat aku bisa memberikan alasan untuk menolak undangan White Sword Gathering. Ini adalah perlombaan melawan waktu. Sebelum Arnold yang marah menyerangku tanpa memedulikan akibat, aku harus keluar dari ibu kota.


Aku meletakkan tanganku di bahu Liz, seolah-olah ingin membisikkan rahasia sambil berjalan menuruni tangga.


“Aku akan mendengarkan konsultasimu nanti. Liz, Apa kau ada rencana dalam waktu dekat?”


“Hm? Hmm… tidak ada, sih. Kenapa memangnya?”


Jawaban itu sudah kuduga. Biasanya, Liz tidak pernah menolak ajakanku. Mengabaikan basa-basi, aku langsung menjelaskan maksudku.


“Aku akan keluar dari ibu kota. Ikutlah denganku.”


Liz membelalakkan matanya, lalu melingkarkan tangannya di pinggangku. Wajahnya mendekat, dan aroma manis samar tercium darinya.


Dengan bibir yang basah dan suara berbisik, dia bertanya, 


“Apa tujuannya?”


Tujuan…? Pelarian? Kabur? Penarikan strategis? Semuanya benar, tapi… ya.


Setelah berpikir sejenak, aku tersenyum dan berkata,


“Liburan, mungkin. Oh, ini rahasia, ya.”


Mata Liz berkilauan, dan dia memelukku erat seolah-olah ingin menyimpan kebahagiaannya dalam tindakan itu. Kulitnya yang menyentuhku terasa hangat, seakan dia sedang demam.


“!! Itu terdengar sangat menyenangkan! Berapa orang yang akan kita kalahkan? Siapa saja yang ikut? Cuma aku? Kapan kita berangkat? Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku pergi keluar kota denganmu!”


Aku tidak akan mengalahkan siapa pun… Selain itu, pertanyaannya terlalu banyak.


Meskipun aku yakin dengan kemampuan Liz, lebih banyak pengawal akan lebih baik. Bagaimana kalau aku mengubah ini menjadi perjalanan klan? Itu ide yang bagus. Toh, aku sudah menolak banyak undangan, jadi membawa semua anggota ke luar kota mungkin justru akan memperkuat alasan penolakanku.


Dengan semua anggota keluar dari ibu kota, orang-orang mungkin akan mengira ada sesuatu yang besar terjadi. Mungkin mereka akan berpikir bahwa aku punya alasan kuat untuk menolak undangan ke White Sword Gathering.


“Orang yang punya waktu luang saja. Tapi aku ingin membawa sebanyak mungkin. Kita berangkat hari ini. Dan ya, sudah lama sejak terakhir kali kita keluar bersama.”


“Yay! Aku sangat… menantikannya. Boleh aku bawa Ti juga?”


“Uh… ya, tentu. Asal dia setuju saja.”


Ti, atau Tino, masih terlihat murung sejak insiden topeng itu. Mungkin lebih baik membiarkannya sendiri.


Liz tersenyum lembut, wajahnya tampak bahagia. Jika dia tahu alasan sebenarnya aku ingin pergi adalah untuk menghindari kenyataan, aku bertanya-tanya bagaimana reaksinya.


Di ruang santai, hanya ada sedikit kelompok pemburu. Sayangnya, Starlight, yang terakhir kali membantuku mengisi daya artefak, juga tidak ada. Kalau mereka ada, pasti akan sangat membantu.


Aku melirik ke arah kelompok Ark. Isabella dan Yuu, rekan-rekannya, menyadari kehadiranku dan menunjukkan ekspresi tak suka. Sepertinya Ark sendiri tidak ada di sini.


Aku harus memikirkan alasan untuk membawa sebanyak mungkin orang. Kalau aku berbohong, aku bisa kehilangan kepercayaan mereka. Tapi kalau aku jujur, itu bisa menimbulkan masalah lain. Aku belum memikirkan hal ini sebelumnya…


Saat aku tertegun, Liz yang berada di sebelahku berteriak dengan ceria, tanpa membaca situasi.


“Krai-chan akan keluar dari ibu kota untuk pertama kalinya setelah sekian lama! Liburan, katanya! Liburan! Dia ingin membawa sebanyak mungkin orang. Ada yang mau ikut?”


Suasana menjadi tegang. Aku sudah bilang ini rahasia, tapi dia malah berteriak seperti itu…


Pandangan bingung diarahkan kepadaku dan Liz. Mungkin mereka berpikir, Dia sudah sering bermalas-malasan di ruang master, sekarang malah liburan? Aku bisa merasakan wibawaku lenyap begitu saja.


Liz, yang sama sekali tidak peduli, terus berbicara dengan semangat.


“Oh, dan kita berangkat sekarang! Jadi hanya yang siap dengan senjata. Kalau ada yang lemah, tidak perlu ikut!”


Suasana di ruangan itu benar-benar hening, dan aku hanya bisa menghela napas.


Isabella memalingkan wajahnya, tidak mau menatapku. Sementara itu, Yuu, seorang Saint, tidak menunjukkan reaksi seterang Isabella, tapi matanya terlihat gugup, menghindari kontak langsung denganku.


“Isabella, kau—”


“Tidak, sama sekali tidak,” jawabnya cepat.


“Yu, kau—”


“Pe-Pertanyaan semacam itu sebaiknya disampaikan melalui Ark.”


Mereka benar-benar tidak memberi celah. Bahkan jika aku ingin meminta bantuan Ark, dia tidak ada di sini. Aku juga tidak tahu di mana dia dan rekan-rekannya berada.


“Kalau aku bisa bicara dengan Ark, aku pasti sudah melakukannya,” gumamku pelan.


Isabella mengangkat rambut panjangnya dengan satu tangan, kemudian bersedekap sambil menatapku dari bawah.


“Pertama-tama, kami sedang dalam masa libur! Ark juga sedang pulang ke kampung halamannya, jadi kami tidak dalam jadwal untuk kegiatan pemburu!”


“Kami juga liburan, kok,” jawabku mencoba membela diri.


“Itu hanya menurutmu saja, bukan!?”


Apa maksudnya? Mungkin, ya, alasanku mengajak mereka memang untuk memastikan keselamatan dalam perjalanan. Tapi itu kan hanya langkah berjaga-jaga. Ini bukan sepenuhnya pekerjaan, kan? Meskipun, ya, mungkin juga bukan sepenuhnya liburan.


Saat aku masih bingung harus menjawab apa, Isabella mulai mengomel seperti senapan mesin yang tak berhenti menembak. Aku pernah dengar bahwa di negeri utara asalnya, perempuan cenderung lebih berwatak keras. Melihat ini, mungkin rumor itu benar.


“Dan lagi, kali ini kamu mau bertarung melawan apa? Phantom? Monster?”


“Ti-tidak, aku—”


“Bukan Phantom, bukan monster—manusia? Apa? Jangan bilang lawanmu kali ini manusia? Itu keterlaluan! Aku berlatih sihir bukan untuk melawan sesama manusia!”


Hanya liburan, sungguh. Aku janji.


Mata Isabella sekarang penuh dengan kewaspadaan, hampir seperti menuduhku. Bahkan Yuu yang ada di sebelahnya tampak terkejut dan menjauh sedikit dariku.


Kenapa tidak ada yang percaya padaku…?


Aku bahkan mulai merasa frustrasi dengan kurangnya rasa hormat dari anggota-anggota klanku. Untungnya, Liz maju ke depan, langsung berdiri di depanku, mencoba “membantuku” dengan nada suara yang mendidih.


“Dengar, ya? Apa kau meremehkan keputusan Krai-chan? Kalau dia bilang ikut, ya ikutlah! Kalau kau cuma mau aman-aman saja, berhenti jadi pemburu sekalian!”


...Itu sama sekali bukan bantuan. Liz malah langsung mencari gara-gara.


Melihat Liz yang tiba-tiba marah, Isabella berdiri dengan niat membalas. Tapi sebelum Isabella sempat membuka mulut, Liz lebih dulu meneriakkan sesuatu dengan mata bersinar penuh semangat.


“Lagian, kenapa? Kalau kita hanya melawan phantom dan monster, suatu hari nanti kita bakal kalah kalau harus menghadapi manusia, kan!? Kadang-kadang melawan manusia itu juga perlu! Itu yang dikatakan Krai-chan!”


...Ini benar-benar hanya liburan, sungguh.


Apa yang sebenarnya mereka pikirkan tentangku?


Ketika aku kembali ke ruangan Klan Master, rasa kesalku belum juga hilang. Aku menghela napas panjang, mencoba menerima kenyataan.


Ya, aku memang orang yang kurang beruntung. Sejak sebelum mencapai level 8, aku sudah berkali-kali terseret dalam berbagai masalah.


Saat menikmati hanami (taman bunga), tiba-tiba muncul ruang bawah tanah yang dipenuhi harta karun. Ketika menjelajahi gua, ada gempa besar hingga guanya runtuh. Saat masuk ke dalam ruang bawah tanah itu, aku malah sering bertemu bos monster yang seharusnya jarang muncul. Bahkan, aku pernah bertemu ruang bawah tanah berbahaya yang selalu berpindah tempat secara global. Oh, dan jangan lupa, aku pernah hampir tersambar petir saat badai besar—walaupun akhirnya malah kena Ansem yang ukurannya paling besar di partyku.


Tapi, segala ketidakberuntungan itu pasti ada batasnya, kan? Aku meninggalkan ibu kota ini justru untuk menghindari masalah. Aku tidak ada niat untuk bertarung melawan monster atau phantom, apalagi membunuh manusia. Aku hanya ingin sedikit relaksasi di luar. Tapi kalau respons anggota klan seperti tadi, aku mulai merasa ide ini mungkin justru akan membawa masalah baru.


Sambil merenung dan mengutuk nasibku, Eva masuk ke ruangan membawa laporan.


“Krai-san, persiapan untuk kereta kuda sudah selesai. Kami sudah menyiapkan kereta besar berlapis baja yang ditarik oleh enam ekor Platinum Horse.”


Mendengar itu, aku langsung tertegun.


Platinum Horse adalah makhluk sihir berbentuk kuda yang kekuatannya seratus kali lipat dibandingkan kuda biasa. Mereka memiliki bulu yang berkilauan seperti platinum, mampu melewati medan berat dengan mudah, serta stamina luar biasa. Harganya pun sangat mahal. Tapi yang lebih mengejutkan adalah, kenapa mereka sampai menyiapkan kereta dengan enam ekor Platinum Horse? Seekor saja sudah cukup untuk menarik kereta besar.


“Uh... bukankah itu terlalu mencolok?”


Aku bertanya hati-hati, takut jawaban Eva akan membuatku makin bingung. Dan benar saja, dengan wajah serius, Eva menjawab.


“Memang mencolok, tapi Platinum Horse bisa memastikan kita kabur jika dikejar oleh kawanan naga.”


“Naga? Siapa bilang kita akan dikejar naga!?”


Aku hanya bisa menahan kepala yang mulai berdenyut. Sepertinya, aku harus lebih hati-hati menjelaskan rencanaku agar tidak ada salah paham seperti ini lagi.



Aku tidak bisa memahami semua tindakan Sitri, jadi mungkin wajar jika ada hal yang terlewat. Tapi tetap saja, kalau dia berniat melakukan sesuatu yang berbahaya, aku berharap dia memberitahuku lebih dulu... Yah, sekarang juga sudah terlambat untuk membahasnya.


“Ah, aku sudah meminta bantuan dari Hidden Curse untuk masalah itu, jadi seharusnya tidak ada masalah.”


“!! Terima kasih banyak! Dan maaf... sampai merepotkanmu seperti ini…”


“Ah, tidak apa-apa. Ini kebetulan saja. Mereka bilang mereka bisa menangani ini dengan baik, jadi aku pikir semuanya akan berjalan lancar.”


Hidden Curse adalah klan veteran. Meskipun aku tidak berpikir kemampuan Sitri kalah dari anggota mereka, dalam hal investigasi terorganisir, mereka jelas lebih unggul. Lagipula, aku sama sekali tidak tertarik pada Akasha atau hal semacamnya, dan aku tidak ingin Sitri melakukan hal-hal yang berbahaya.


Sebenarnya, aku sempat khawatir karena aku memutuskan semuanya sendiri tanpa bertanya lebih dulu, tapi tampaknya hal itu tidak menjadi masalah.


Untuk sementara, aku menikmati senyuman Sitri yang menenangkan. Bahkan Talia, yang sedang memanaskan cairan di labu kaca di kejauhan, menoleh sambil tersenyum ke arah kami. Benar-benar suasana yang menenangkan.


Di sisi lain, Kilkil-kun berdiri di sana seperti patung, memancarkan aura yang sedikit aneh, tapi aku memilih untuk mengabaikannya.


“Ngomong-ngomong, apa tujuan dari liburan ini?” tanya Sitri sambil melepaskan jubah pelindung dari noda yang dikenakannya.


...Tujuan? Memangnya harus ada tujuan untuk pergi liburan? Tapi mengingat Liz dan Sitri adalah orang yang sibuk, pertanyaan itu cukup masuk akal.


“Hmm... mungkin onsen (pemandian air panas)?”


“Baik, berarti membutuhkan perlindungan terhadap api? Gunung berapi, mungkin?”


“Sebetulnya, aku juga sedikit ingin ‘melarikan diri’.”


“Ah, begitu. Jadi ada kemungkinan dikejar musuh yang kuat.”


“Benar, bahkan Eva sampai menyiapkan kereta yang ditarik oleh Platinum Horse. Haha, itu terlalu berlebihan. Aku bilang, itu malah akan menarik perhatian.”


“Hmm, jadi membutuhkan kerahasiaan. Oh, apakah hanya kita saja yang akan pergi?”


“Aku sudah mengajak semua orang, tapi mereka semua menolak. Itu membuatku benar-benar kerepotan.”


Mendengar jawabanku, ekspresi Sitri sempat berubah seperti sedang memikirkan sesuatu, tapi tak lama kemudian dia kembali tersenyum. Dia menepukkan kedua tangannya dengan semangat seperti biasanya.


“Pas sekali. Kebetulan aku punya tiga orang yang ingin kucoba ajak bekerja sama. Aku baru saja mendapat dukungan dari mereka, jadi aku belum sepenuhnya yakin dengan kemampuan mereka. Tapi kalaupun kehilangan mereka, rasanya tidak terlalu rugi… Serahkan saja semuanya padaku!”


Tampaknya Sitri punya rencana tersendiri. Tidak seperti aku yang kurang disukai, Sitri punya banyak kenalan.


Meskipun pilihan kata-katanya terdengar agak... unik, aku yakin tidak ada masalah jika menyerahkan ini padanya.


Lalu, sebuah ide melintas di pikiranku.


“Kalau begitu, sekalian kita jemput Luke dan yang lainnya. Bukankah mereka mungkin sudah dalam perjalanan pulang?”


Karena ini perjalanan jauh yang sudah lama tak kulakukan, mungkin ide yang bagus untuk sesekali pergi menjemput mereka, bukan hanya menunggu mereka kembali. Aku tidak berniat masuk ke dalam ruang harta, aku hanya ingin sekadar bertemu dengan mereka.


Kilkil-kun memperlihatkan otot bisepnya yang besar seolah ingin menunjukkan kekuatannya. Mendengar idenya, Sitri tersenyum setuju.



“Uuh... bukan begitu, Master, Onee-sama... Aku sebenarnya bukan diriku yang sebenarnya—“


Di dalam kamar dengan tirai yang tertutup rapat, Tino berbaring di tempat tidur, menekan wajahnya ke bantal sambil mengeluarkan gumaman yang tidak jelas. Perasaannya berada di titik terendah. Meskipun saat dihajar habis-habisan oleh Kakaknya dalam pelatihan terasa menyakitkan, ini lebih buruk. Setidaknya setelah pelatihan, ia tidak punya energi untuk merasa galau seperti ini.


Penyebabnya adalah topeng yang dipakaikan Master kepadanya beberapa hari lalu.


“Topeng Iblis” (Over Greed)—sebuah artefak yang Masternya sampai ikut lelang untuk mendapatkannya. Topeng itu adalah sesuatu yang belum pernah dilihat atau didengar oleh Tino sebelumnya, sebuah artefak yang mengerikan.


Topeng itu, seperti kata Masternya, memberi Tino kekuatan. Tetapi, bukan hanya kekuatan yang diberikan.


Ketika Tino menutup matanya, ia masih bisa mengingat dengan jelas. Rasa kehebatan dan euforia yang meluap saat energi itu mengalir masuk begitu ia mengenakan topeng tersebut.


Topeng itu tidak hanya memberi kekuatan, tetapi juga membangkitkan kegilaan. Dalam momen itu, dunia hanya terdiri dari Tino dan Master yang sangat ia hormati.


“Maaf, Master. Itu bukan maksudku... Iya, itu salah topengnya. Topeng itu yang bicara... itu bukan dari kehendakku...”


Rasanya ia ingin menghilang. Ingin masuk ke dalam lubang dan lenyap begitu saja. Ia menggeliat di atas tempat tidur, merasakan penyesalan yang dalam. Bahkan, ia sampai tidak melakukan latihan mandiri seperti biasanya. Kalau terus begini, mustahil ia menjadi pemburu hebat seperti Masternya. Ia benci dirinya sendiri yang lemah.


Ketika mengenakan topeng itu, Tino merasa seolah ia menjadi orang lain. Bagaimana mungkin ia, dengan akal sehat, menantang Kakaknya dan Sitri dalam duel di depan Masternya? Tapi Tino tahu satu hal: topeng itu adalah penguat. Sebagai orang yang memakainya, ia menyadarinya.


Meskipun berlebihan, apa yang diperkuat oleh topeng itu adalah emosi terdalam yang ada dalam dirinya. Saat itu, Tino dengan penuh percaya diri menyatakan bahwa hanya dialah yang pantas menjadi orang terdekat Master.


Setelah topeng itu dilepaskan, Tino masih mengingat semuanya dengan jelas. Master dan yang lain tertawa dan memaafkannya, tetapi itu tidak memberikan rasa lega sama sekali.


“Bukan itu yang kupikirkan, Onee-sama! Ah, lupakan saja... Aku tidak berpikir Onee-sama tidak pantas untuk Master karena tubuh Onee-sama kecil dan tidak akan tumbuh lagi! Aku juga tidak berpikir bahwa aku lebih punya masa depan dibandingkan Sitri Onee-sama hanya karena dia lebih tua tiga tahun dariku!”


Ia memeluk bantalnya erat. Tapi ia tahu, kebohongan itu tidak akan menghapus rasa malunya. Bahkan lebih buruk, ia telah menantang Kakaknya dan Sitri dengan penuh percaya diri di depan Master!


“Ah, sudahlah. Tujuh puluh lima hari lagi, orang-orang pasti lupa... Mungkin aku tidak perlu keluar rumah selama itu.”


Namun, lamunannya terhenti oleh suara kecil dari arah pintu depan. Tino mengangkat kepalanya sedikit, lalu kembali menekan wajahnya ke bantal. Ia tidak ingin bertemu siapa pun.


Tapi kemudian, suara keras menggema. Sesuatu pecah dengan keras. Dalam sekejap, pintu kamar tidurnya yang tertutup rapat melengkung dan terbuka paksa, disertai hawa panas yang masuk.


Dan di sana berdiri orang yang terakhir ingin ia temui saat ini—Kakaknya.


“Oi, Tino! Cepat bangun! Kita mau pergi!”


“!? O-Onee-sama!?”


Tino mengangkat tubuhnya setengah dari tempat tidur sambil memegang selimut erat-erat.


“Kenapa tiba-tiba... Mau pergi ke mana kita!?”


“Liburan. Kita pergi bersama Krai. Cepat siap-siap!”


“Ti-tidak mungkin! Onee-sama, aku... aku terlalu malu untuk menemui Master!”


Namun, protes Tino tidak dihiraukan. Kakaknya meraih selimut yang dipeluk Tino dan menariknya dengan paksa, membuat Tino terlempar ke lantai bersama selimut itu.


“Diam saja dan cepat siapkan dirimu! Krai-chan sudah sering melihat sisi memalukanmu, jadi kenapa sekarang malu-malu!? Cepat, cepat, cepat!”


“Tidak! Tidak bisa! Aku akan mati karena malu!”


Melihat Tino yang terus melawan, Kakaknya menghentikan gerakan sejenak. Tino mengira Kakaknya akhirnya mengerti, tetapi pandangan yang diberikan justru seperti seseorang yang akan menghancurkan musuh tanpa ampun.


“Aku sudah janji dengan Krai. Kau punya lima menit. Kalau tidak siap, aku akan menyeretmu ke sana dengan rambut kusutmu itu!”


“!?”


Ucapan itu membangunkan Tino sepenuhnya. Ia tahu Kakaknya tidak main-main.


“Aku... Aku akan siap dalam lima menit!”


Dengan tergesa-gesa, Tino membuang selimutnya dan mulai bersiap.



Matahari telah terbenam, menyelimuti ibu kota kekaisaran dalam temaram senja. Sebuah kereta kuda berhenti di depan markas klan.


Kereta itu sederhana, ditarik oleh dua ekor kuda dan berbentuk kotak. Tidak ada ciri khusus yang menonjol darinya, dan jelas bukan milik klan kami karena tidak ada lambang jejak kaki yang tersemat di bodinya. Dengan tampilan seperti ini, tidak ada yang akan mengira bahwa kereta ini digunakan oleh First Step.


Eva, yang telah mengambil alih tugas mengurus kereta, menatapku sambil mencari persetujuan.


"Kamu bilang ingin sesuatu yang tidak mencolok..."


"Ya, ya, ini bagus sekali," jawabku sambil mengangguk puas.


Eva memang luar biasa. Biasanya, kereta kuda seperti ini harus dipesan terlebih dahulu. Jika menggunakan kereta yang dimiliki oleh Asosiasi, prosesnya akan sedikit lebih fleksibel, tetapi kereta ini adalah jenis yang berbeda. Dalam waktu kurang dari sehari sejak aku memintanya, Eva sudah berhasil mendapatkannya.


"Ini kereta sewaan. Jika rusak, Anda harus menggantinya. Meski harganya tidak mahal..."


"Aku tidak akan merusaknya."


"Benarkah? Berapa kali Anda sudah merusak kereta sebelumnya?"


Tatapan matanya yang tajam dari balik kacamatanya langsung menusukku.


Sepertinya aku sama sekali tidak dipercaya. Aku berdeham kecil sebelum menjawab, 


"Aku tidak merusaknya. Itu rusak dengan sendirinya."


Bukan salahku. Itu tak terhindarkan.


Dulu, aku pikir kereta kuda itu benda yang kokoh. Sekarang, aku tahu betapa rapuhnya mereka. Jika diserang oleh kawanan monster atau phantom, bahkan kereta berlapis baja pun tidak akan bertahan.


Tentu saja, aku tidak sengaja merusaknya atau sengaja menyerbu sarang monster. Tapi sebagai seorang pemburu, situasi berbahaya adalah bagian dari pekerjaan. Sekarang, aku bahkan dilarang mendaftar asuransi kereta untuk para pemburu. Aneh, bukan?


Eva mengamatiku yang penuh dengan berbagai perlengkapan pusaka, lalu berkata dengan nada datar,


"… Akan sangat membantu jika kamu bisa kembali secepat mungkin."


"Ya, tentu saja. Aku mengerti."


Nada bicaranya tidak terdengar menusuk. Eva benar-benar seseorang yang terlalu baik untukku.


Aku akan kembali secepatnya. Oh, tentu saja aku akan kembali. Tapi, kapan tepatnya aku kembali, itu cerita lain.


Kepulanganku... paling cepat setelah acara White Sword Gathering selesai.


"White Sword Gathering itu kapan, ya?" tanyaku, mencoba memastikan.


"Eh? Tanggalnya sama seperti setiap tahun… tiga minggu lagi," jawab Eva.


Tiga minggu lagi, ya. Itu waktu yang cukup lama. Ini akan menjadi liburan yang panjang. Dengan waktu sebanyak itu, mungkin aku benar-benar bisa menikmati liburan ini.


Pada akhirnya, aku tidak menemukan anggota klan lain yang bisa ikut. Beberapa harus menghadiri upacara, ada yang pergi ke pernikahan, dan lainnya merasa tidak enak badan. Memang aku yang tiba-tiba mengajak mereka, jadi ini salahku, tapi timing-nya memang buruk.


Namun, ada sisi positifnya juga. Dengan jumlah orang yang lebih sedikit, aku hanya perlu satu kereta.


"Maaf sudah membuatmu menunggu, Krai-san," suara Sitri terdengar dari kejauhan.


Dia datang berlari kecil dari ujung jalan, mengenakan jubah perjalanan berwarna hijau tua. Di punggungnya ada tas besar berwarna abu-abu, dan di tangannya dia membawa koper besar. Di belakangnya, Kilkil-kun berjalan dengan kepala tertutup jubah, berusaha tidak mencolok (walaupun hasilnya justru terlihat mencolok).


Dalam urusan persiapan perjalanan—baik itu mengumpulkan informasi maupun menyiapkan perbekalan—Sitri selalu menjadi andalan. Tas besarnya, meskipun bukan magic bag dengan kapasitas tak terbatas, selalu penuh dengan barang-barang yang diperlukan. Kemampuannya sebagai pendukung memang luar biasa.


Saat aku sedang mengenang masa lalu dengan senyum kecil, Sitri tiba di depanku dan menoleh ke belakang.


"Krai-san, Aku ingin memperkenalkan seseorang. Ini rekan baru kita."


"…Hah?"


Tiga orang dengan wajah garang dan penampilan mencurigakan berdiri di belakangnya, menatapku dengan tatapan tajam.


Aku melihat mereka dari awal, tetapi aku sama sekali tidak menyangka bahwa mereka adalah teman seperjalanan Sitri.


Ketiganya bertubuh lebih besar dariku. Salah satu dari mereka adalah wanita, tetapi tingginya tetap mengungguliku. Rambut dan warna mata mereka bervariasi, tetapi semuanya memiliki penampilan yang tampak jahat. Salah satu pria memiliki bekas luka di pipinya, yang lain memiliki tato di bahunya, dan yang terakhir memiliki mata licik meski tanpa luka atau tato.


Yang paling mencolok adalah kerah logam besar yang melingkar di leher mereka.


Jika aku bertemu mereka di jalan, aku pasti langsung menghindar. Aku sama sekali tidak ingin berbagi kereta dengan mereka.


Ketiganya tidak mengatakan apa-apa, hanya menatapku dengan diam, tetapi keheningan itu terasa menekan. Bahkan Eva tampak sedikit mengernyit.

Hanya Sitri yang tersenyum lebar. Luar biasa bagaimana dia bisa tetap tersenyum meskipun dikelilingi oleh tiga orang yang jelas-jelas bukan dari kalangan biasa. Kalau ini adalah Sitri yang dulu, dia pasti sudah menangis.

"Ehmm... mereka ini Kuro, Shiro, dan Haiiro."


"…Itu nama asli mereka?"


"Semacam kode nama."


Kuro, Shiro, dan Haiiro... mungkin berdasarkan warna rambut mereka? Memang cukup mudah diingat, tapi apakah mereka sendiri setuju dengan itu? Aku tidak tahu apa hubungan mereka, tapi...


Ketiga orang di belakang itu jelas tidak senang mendengar nama-nama tersebut. Guratan kemarahan muncul di dahi mereka, suara gigi mereka bergemeletuk, dan tangan mereka yang terkulai di samping tubuh bergetar. Tapi anehnya, mereka tetap diam.


Karena ini Sitri yang kita bicarakan, sepertinya dia tahu apa yang dia lakukan. Tapi untuk berjaga-jaga, aku bertanya padanya dengan suara pelan.


"Sitri-chan, apa mereka sungguh tidak apa-apa untuk menjadi rekan?"


"Tentu saja. Mereka ada utang padaku yang harus bayar."


Hmm... Aku tidak yakin soal itu. Pandangan ketiganya padaku penuh permusuhan. Bahkan terasa seperti ada niat membunuh. Aku tidak tahu utang apa yang Sitri miliki pada mereka, tapi mereka jelas bukan tipe orang yang cocok diajak liburan santai. Sebenarnya, aku berharap Sitri tidak membawa mereka sama sekali.


"Kau benar-benar mau bawa mereka bertiga?"


"Ehmm... awalnya aku berpikir hanya membawa mereka untuk percobaan, tapi—"


Sitri menoleh ke belakang, memandangi ketiganya, lalu bertepuk tangan seolah menemukan ide cemerlang.


"Kalau ada salah satu dari mereka yang tidak Krai-san suka, aku akan 'urus' mereka sebelum Onee-chan datang."


'Urus'? Cara bicara itu terdengar terlalu ekstrem.


Mendengar ucapan Sitri, ekspresi ketiga orang itu berubah drastis. Wajah mereka tegang, dan aku bisa menebak bahwa mereka mungkin hanya pekerja bayaran. Sitri memang dikenal dermawan, jadi wajar kalau mereka cemas kehilangan pekerjaan.


Aku bisa memahami perasaan itu. Kadang kita harus melakukan pekerjaan yang tidak kita suka demi bertahan hidup. Tapi bagiku, tiga orang ini terlalu banyak. Lagipula, ada Liz dan Tino, dan Kilikil juga ikut. Tidak ada cukup ruang di kereta kuda kami.


Sitri hanya tersenyum tipis.


"Jangan ragu untuk bilang. Tidak perlu khawatir soal dendam."


"Baiklah..." Aku melipat tangan, memandang satu-satunya perempuan di antara mereka, yang dipanggil Kuro.


Kuro adalah perempuan bertubuh besar, bahkan lebih tinggi satu setengah kepala dariku. Kulitnya hitam, tubuhnya terlatih, dan rambut hitam pendeknya memancarkan aura dingin. Di pipinya ada bekas luka besar, membuatnya terlihat jauh dari kata manis. Dari tampilannya saja, dia kelihatan lebih kuat dari Liz. Mungkin dia seorang tentara bayaran. Sikapnya yang seperti veteran perang membuatku semakin yakin.


Kuro, yang terlihat tegang, akhirnya angkat bicara dengan suara rendah tapi jelas suara perempuan.


"Aku... Kuro. Aku sangat ahli dalam membunuh."


Jawaban yang mengejutkan. Aku refleks membelalak. Membunuh? Aku tidak yakin kapan keterampilan itu akan berguna. Tapi setidaknya, dia terlihat cukup mumpuni untuk menjadi pengawal.


Berpura-pura tidak mendengar jawabannya, aku beralih ke Shiro, pria berambut putih yang menjulur di sisi kanan kepalanya. Tubuhnya kekar, dengan tato yang mencolok di bahunya. Wajahnya mengingatkan pada penjahat dari film-film. Shiro berbicara dengan suara kering.


"Aku... Shiro. Senang bisa bertemu denganmu. Aku akan melakukan apa saja."


"Apa saja?"


"…Apa saja!"


Hmm... Dia sepertinya cukup termotivasi. Mungkin dia bersedia jadi pengawal atau pembawa barang. Meski wajahnya terlihat menyeramkan, dia mungkin orang yang cukup baik.


Yang terakhir adalah Haiiro, pria berambut abu-abu. Dibandingkan dengan dua lainnya, tubuhnya lebih kecil, mungkin dia seorang pencuri. Dari ekspresi cerdiknya, dia terlihat seperti tipe orang yang sangat licik.


Ketiganya jelas pilihan Sitri, dan meski aku tidak yakin apakah mereka bisa diandalkan, mereka pasti memiliki keahlian tertentu. Tapi dengan Liz dan Tino sudah ada, pengawal rasanya sudah cukup. Lagipula, berada di sekitar orang asing seperti mereka membuatku tidak nyaman.


"Aku rasa, aku bisa bilang tidak pada ketiganya..."


"!!"


Sitri membelalakkan matanya dan menutup mulutnya dengan tangan. Namun, sebelum aku sempat melanjutkan, tiba-tiba Shiro dan Kuro memukul Haiiro.


Pukulan itu tanpa ampun. Suaranya seperti benda berat yang dihantamkan dengan keras. Haiiro, yang tubuhnya paling kecil di antara mereka, terpental jauh dan terguling sampai ke seberang jalan.


Di depanku, yang membeku karena kaget, Shiro dan Kuro terus menendang Haiiro yang terkapar dengan wajah penuh amarah. Suara keras menghantam udara.


"Dasar bajingan! Kita sudah sepakat untuk diam, kan?! Mati saja kau!"


"Minta maaf! Cepat minta maaf sama Sitri-san! Dasar tidak berguna! Apa kau tidak malu!?"


Kepala Haiiro dihantam hingga tanah retak, darah tersebar ke mana-mana. Aku merasa seperti sedang mengalami mimpi buruk.


Eva terlihat pucat, sementara Sitri tetap tenang, seolah semua ini normal.


Astaga... sejauh apa dedikasi mereka terhadap perintah Sitri?


Saat aku terpaku melihat pemandangan mengerikan ini, Sitri berbicara dengan nada santai.


"Sebenarnya, aku berpikir akan bagus kalau ada satu orang yang jadi contoh, tapi aku tidak menyangka semuanya terjadi sekaligus."


"Itu... itu cuma lelucon! Hanya lelucon, Sitri!"


Ah, tentu saja, aku hanya bercanda. Baiklah, mereka boleh ikut. Aku hanya perlu bersabar. Ini salahku. Aku yang harus menahan diri.


Sitri menghela napas lega, lalu menoleh pada Haiiro yang masih dipukuli.


"Oh, jadi cuma bercanda? Syukurlah... Sebenarnya, mereka belum sepenuhnya disiplin. Aku akan mencoba memperbaiki mereka, jadi mohon maaf kalau sedikit berisik."


"Iya... iya, tentu saja."


Benar-benar aman, ya? Aku ragu, tapi memutuskan untuk mengabaikannya. Aku tidak punya pilihan lain.


“Kalau mau meminta maaf, jangan kepadaku. Minta maaf pada Krai-san! Dengan sikap seperti itu, kalian lebih baik tidak ada di sini! Kalau sampai membuat aku malu, kalian semua akan… dipecat.”


Matahari sudah tenggelam, tetapi masih ada cukup banyak orang di sekitar. Mereka mengamati dari kejauhan, tetapi jika ini terus berlanjut, mungkin saja Ksatria Kerajaan akan dipanggil.


Sambil mendengar teguran tajam Sitri dari belakang, aku mencoba tersenyum kepada Eva.


“...Liburan yang menyenangkan sekali, ya.”


“...Hah. Nikmati saja liburannya… dan tolong cepat pulang.”


Sepertinya Eva benar-benar tidak ingin ikut denganku kali ini. Aku juga ingin tetap tinggal di rumah saja.


Tiba-tiba, beberapa orang yang kukenal keluar dari markas Klan, mungkin karena mendengar keributan ini. Apakah mereka akan ikut liburan denganku? Dengan secercah harapan, aku memperhatikan mereka, tetapi seorang pemburu paruh baya yang tubuhnya penuh perban mendatangiku sambil menangis.


“Tunggu, tunggu sebentar! Master, apa benar kamu akan meninggalkan ibu kota? Kalau begitu, bawa dia bersamamu!”


“...Dia?”


“Nomimono (minuman)! Aku sudah tak sanggup lagi! Kalau begini terus, bisa-bisa ada yang mati!”

TLN: Nomimono itu Malice Eater yang dikira minuman Ama Krai 


Matanya terlihat merah dan penuh urat. Kalau aku tidak salah, pemburu ini adalah anggota klan yang levelnya sudah mencapai 5. Di belakangnya, beberapa anggota klan lain berdiri dengan wajah kelelahan, mengangguk kuat-kuat. Mereka semua, meski di bagian tubuh yang berbeda, sama-sama terlilit perban.


Nomimono… Aku memang menyerahkan perawatannya kepada mereka, tapi tidak kusangka bisa membuat para profesional pemburu monster sefrustrasi ini. Seberapa banyak dia sudah berkembang? Mungkin merawatnya tanpa membunuhnya benar-benar sulit. Tapi tetap saja, aku rasa semua ini kesalahan Sitri.


Sebelum aku sempat menjawab, para pengurus Nomimono itu pergi ke dalam dan muncul lagi sambil menarik rantai tebal sebesar jariku. Butuh lima orang untuk menyeret Nomimono keluar.


Belum satu bulan berlalu sejak terakhir kali aku menitipkannya, tapi Nomimono yang kulihat sekarang benar-benar sudah dewasa. Ukurannya jauh lebih besar daripada terakhir kali aku melihatnya. Saat pertama kali Sitri mengambilnya, Nomimono masih bisa dimasukkan ke dalam sebuah kotak kecil. Namun sekarang, tubuhnya hampir setinggi dua meter, cukup besar untuk membawaku naik di punggungnya. Ia memiliki sayap besar di punggungnya, dan surai indah yang sebelumnya belum tumbuh kini sudah muncul dengan megah. Ketika masih bayi, Nomimono sudah cukup kuat untuk membunuhku, tetapi sekarang, dia benar-benar terlihat seperti monster.


Ketika Nomimono melihatku, dia mengeluarkan suara “Nyaa” yang manis, sama sekali tidak sesuai dengan penampilannya yang mengerikan. Namun, mulutnya dipenuhi taring tajam yang berkilauan.


Di sisi lain, Hairo dan yang lainnya terlihat pucat pasi melihat Nomimono.


Saat aku mulai merasa kehilangan semangat, suara gaduh lain terdengar.


“Tidak! Tolong ampuni aku, Onee-sama! Aku tetap tidak bisa menghadapi Master! Aku benar-benar tidak bisa!”


“Berhenti menjadi pengecut! Aku sudah bilang berkali-kali, Krai tahu kau lemah, Ti! Kalau kau terus seperti ini, harga diriku sebagai gurumu akan hancur!”


Aku belum berangkat, tetapi suasana sudah suram. Dengan putus asa, aku naik ke kereta, memeluk lutut, dan berpura-pura tidak melihat apapun. Aku ingin pulang ke rumah... sekarang juga.



“Ramuan yang diminta untuk diuji itu... ternyata hanya ramuan penawar mabuk yang sangat kuat.”


“...Hah?”


Mendengar kata-kata dari seorang ahli farmasi ternama di ibu kota, kepala Arnold seperti mendidih. Para rekannya pun mulai gaduh.


Dia telah diperdaya oleh Sitri Smart. Ramuan yang ia beli dengan harga lebih dari 1 miliar gil ternyata hanya penawar mabuk. Memang, itu bisa dianggap semacam obat penawar racun, tetapi itu sama sekali tidak relevan.


Kalau dipikirkan dengan tenang, memang tidak masuk akal bagi seorang pemburu, tidak peduli seberapa berbahayanya, untuk meracuni makanan sesama pemburu. Ini jelas hanya gurauan. Arnold sempat berpikir untuk menuntut mereka secara hukum sebagai bentuk balas dendam, tetapi dengan hasil pemeriksaan ini, peluang untuk menang sangat kecil.


Namun, semua itu kini tidak lagi penting. Arnold memutuskan untuk menghentikan semua aktivitas sementara waktu.


Mereka telah menyentuh tabu dari “Falling Mist”, sang “Kiri no Rairyuu”. Harga dirinya telah terluka. Tidak peduli bahwa lawannya adalah level 8 yang jauh lebih kuat, masalah ini harus diselesaikan. Jika tidak, para anggotanya tidak akan lagi mengikutinya.

TLN: pake Kiri no Rairyuu, kemaren pake apa yah Gourai Wasen? Pake ini aelah


Arnold memutuskan untuk segera memburu Duka Janggal. Tidak peduli dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan sebelumnya, ini adalah tindakan sederhana: sebuah pembalasan.


Saat merenungkan kembali pengalamannya di ibu kota, Arnold menyadari bahwa semuanya berjalan sangat buruk baginya.


Di kedai minuman, dia diserang secara mendadak oleh Liz Smart, lalu pingsan di depan para pemburu lain.


Di tempat umum, dia kalah dari “Senpen Banka”, kemudian, dengan alasan yang hampir seperti tuduhan, ia dipaksa membeli ramuan penawar mabuk dengan harga tinggi. Setelah itu, karena taktik licik mereka, ia harus menghadapi “Hidden Curse”, yang terkenal di seluruh ibu kota. Semua insiden itu pun disaksikan oleh banyak orang.


Namun, masalah terbesarnya adalah Arnold dan timnya sama sekali tidak mampu menunjukkan kekuatan mereka.


Bagi pemburu, “kekuatan” adalah faktor yang paling penting. Pemburu yang sering membuat masalah mungkin masih dianggap berharga, tetapi pemburu yang lemah sama sekali tidak dihargai. Jika keadaan ini terus berlanjut, keberadaan mereka di ibu kota akan terancam. Situasi buruk? Perbedaan kekuatan? Itu semua hanyalah alasan. Yang terpenting, jika ini dibiarkan, party mereka akan hancur.


Untuk mengubah keadaan, mereka harus membuktikan bahwa “Falling Mist” masih memiliki kemampuan setara level 7. Mereka perlu menunjukkan kekuatan nyata mereka saat ini, bukan sekadar mengandalkan reputasi masa lalu. Jika tidak, bukan hanya pemburu yang lebih kuat atau Asosiasi Penjelajah yang akan memandang rendah mereka, tetapi bahkan pemburu level bawah dan masyarakat umum pun akan meremehkan mereka.


Mengalahkan Duka Janggal akan menyelesaikan semua masalah ini. Mereka sempat mempertimbangkan untuk berdamai, tetapi pihak lain yang terus memprovokasi mereka. Alasan mereka sudah cukup. Tidak perlu menahan diri lagi.


Pertikaian yang ditawarkan harus diterima.


Dengan menaklukkan “Duka Janggal”, nama “Falling Mist” dan “Kiri no Rairyuu” akan bergema di seluruh ibu kota. Bahkan jika peluang menang sangat kecil, mereka harus memberikan perlawanan. Itulah cara hidup seorang pemburu.


Arnold tidak akan mengulangi kesalahan saat di kedai kopi, di mana ia membiarkan mereka lolos.


Di tempat pelatihan penginapan, Arnold mengayunkan pedang kesayangannya dengan penuh semangat, seolah melampiaskan rasa malunya dari siang hari. Tiba-tiba, Eli Ralier, tangan kanannya, berlari masuk dengan wajah tegang.


“Arnold-san, ada masalah besar! Aku mendengar para anggota ‘First Step’ membicarakan sesuatu. Kabarnya, Senpen Banka telah meninggalkan ibu kota! Mereka bilang dia pergi untuk liburan, dan tidak ada yang tahu kapan dia akan kembali.”


Mendengar itu, sejenak Arnold merasa pikirannya kosong.

Liburan? Setelah begitu mempermalukannya di siang hari, mereka pergi liburan? Betapa kurang ajarnya.


Darahnya hampir saja naik ke kepala, tetapi ia hanya menghela napas kasar, lalu memberikan perintah singkat.


“...Kejar mereka. Persiapkan semuanya.”


“Krai telah meninggalkan ibu kota? Kali ini cukup cepat...”


Di ruang kepala cabang Asosiasi Penjelajah cabang ibu kota, Gark yang sedang sibuk memproses dokumen-dokumen baru dari gerbang menatap laporan itu dengan mata terbuka lebar.


Senpen Banka adalah pemburu yang layak dengan peringkat Level 8, tetapi satu kelemahannya adalah ia cenderung membutuhkan waktu lama untuk mulai bertindak.


Meski semuanya tampak sudah diperhitungkan, dari sudut pandang Gark yang tidak tahu apa-apa, tindakan Krai selalu membuatnya gelisah.


Kali ini, permintaan pribadi yang diajukan kepada Krai adalah salah satu yang paling penting di antara semua tugas lainnya. Jika berhasil, kebencian Count Gladys terhadap para pemburu mungkin akan berkurang, dan para pemburu lain akan mendapatkan manfaat yang tak ternilai.


...Krai pasti tidak akan menunda tugas sepenting ini, bukan?


Dengan pikiran itu, Gark mempertahankan ekspresi seriusnya. Namun, Kaina, yang berdiri di dekatnya, berkedip dan berkata:


“Tapi, Krai-kun tidak membawa kartu tugasnya, bukan? Selain itu, Chloe, yang katanya akan diajaknya, juga—“


“!? Ah... Dasar bajingan itu—!”


Kartu tugas adalah dokumen yang diterbitkan oleh Asosiasi Penjelajah berisi detail tentang tugas yang harus diselesaikan. Biasanya diberikan kepada pemburu saat mereka menerima tugas. Gark berencana memberikannya ketika Krai dipanggil, tetapi Krai menolaknya.


Tentu saja, Krai pasti tahu isi tugas itu meski tanpa kartu tugas. Dia bukan orang bodoh, dan ini bukan pertama kalinya dia pergi tanpa membaca kartu tugas namun tetap menyelesaikan pekerjaan dengan sempurna (meskipun bagaimana dia tahu isi tugas tanpa membaca kartu itu masih misteri).


Namun, tugas kali ini berbeda.


Tugas yang diberikan kepada Krai adalah operasi gabungan dengan kesatria dari wilayah Gladys. Kartu tugas tersebut bukan hanya untuk membaca detail misi, tetapi juga berfungsi sebagai identitas resmi. Meski nama besar Senpen Banka memungkinkan fleksibilitas, kesan buruk yang ditimbulkan pasti akan membekas. Dan menghadapi bangsawan yang tidak suka pemburu, kesan buruk bisa menjadi bencana.


Gark awalnya berpikir semuanya akan lancar karena Chloe akan menemani Krai. Namun, ia tidak menyangka Krai akan meninggalkan Chloe begitu saja, padahal Chloe sudah setuju tanpa ragu untuk ikut.


“Aku akan memberinya pelajaran saat bertemu nanti.”


Gark mengerutkan wajahnya, sementara Kaina tersenyum pahit dan berkata:

“Krai-kun memang punya sisi ceroboh... Aku dengar dia bilang ingin pergi liburan.”


“Sial, terlalu bebas sekali dia! Apa dia tidak bisa berhenti membuat provokasi? Siapa yang menerima tugas dari bangsawan dengan suasana hati seperti sedang liburan?!”


Terlepas dari hasil dan tindakannya, Gark tidak pernah bisa terbiasa dengan keanehan Krai meski sudah bertahun-tahun. Bahkan, meninggalkan Chloe mungkin tidak punya alasan khusus—mungkin dia hanya lupa.


Sambil memijat kepalanya yang berdenyut, Gark memberi perintah kepada Kaina:

“Segera suruh Chloe mengejarnya. Pastikan dia bertemu dengan Krai sebelum mereka tiba di tempat tujuan. Jangan sampai Gladys marah! Oh, dan jangan biarkan Chloe pergi sendirian—beri dia pengawal dari pemburu. Biaya pengawalnya? Potong dari bayaran Krai!”


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close