NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Heroin 100-ri Sukini Shite? Volume 1 Chapter 4

Penerjemah: Rion Sangek 

Proffreader: Rion Sangek 


Chapter 4

I Love Kuu


Jika ingin menjalin hubungan bahagia, ada dua hal yang sebaiknya tidak diketahui.

Yang pertama adalah media sosial pasanganmu, dan yang kedua adalah keberadaan mantan pacar pasanganmu.

Berbicara tentang hal ini dari pengalaman cintaku yang sangat minim, rasanya agak tidak pantas, tapi dua hal tersebut hanya membawa ketidakbahagiaan, bukan sebaliknya. Seperti kucing dalam kotak Schrödinger, jangan coba-coba mengamatinya.


TL/N:

Schrödinger's cat adalah eksperimen pemikiran fisika kuantum oleh Erwin Schrödinger (1935) untuk menjelaskan superposisi, di mana sesuatu dapat berada dalam dua keadaan hingga diamati. Dalam konteks ini, analogi digunakan untuk menggambarkan pentingnya membiarkan media sosial atau masa lalu pasangan tetap tidak diketahui. Seperti kucing Schrödinger, hubungan bisa stabil selama 'kotak' tidak dibuka, karena mengetahui kenyataan mungkin mengganggu kebahagiaan, terlepas dari baik atau buruknya kenyataan itu.


Hal yang sama juga berlaku dari sisi kita. Menurutku, menjaga dua hal ini tetap tersembunyi adalah bagian dari etika.

Bukankah begitu? Kita semua tahu bahwa di restoran, tidak mungkin tidak ada kecoa sama sekali, tidak mungkin bahwa koki sushi tidak pergi ke toilet, dan tidak mungkin selama semuanya dibersihkan, itu bukan masalah besar.

Namun, jika kau benar-benar melihat kejadian itu secara langsung, pasti akan terasa sangat menjijikkan, bukan?

...Nah. Kenapa tiba-tiba aku mengatakan ini? Yah, seperti yang bisa kau tebak. Bell pandai menggali masa lalu, sedangkan aku buruk dalam menyembunyikan sesuatu.

Masalah berikutnya yang akan kuhadapi bukanlah tentang <Heroine>.

Ini adalah masalahku sendiri----aku, Utsugi Yakou.


🔸◆🔸


"-----Yakou-sama.... Bangunlah. Yakou-sama."

Bagi pengguna kacamata, hal pertama yang dilakukan saat bangun tidur adalah mencari kacamatanya.

Dalam keadaan setengah sadar, seperti biasa aku mengulurkan tangan kananku ke sisi tempat tidur.

"Kyaahh..."

Tapi yang kugenggam adalah sesuatu yang aneh, bukannya kacamata, melainkan benda seperti bantalan empuk.... Apa ini?

Meski sudah meremasnya beberapa kali untuk memastikan, aku tetap tidak tahu. Apakah aku pernah memiliki benda seperti ini di kamar?

"Ja-jangan... ah, Yakou-sama, bodoh!"

"Hah... Bell?"

Kacamata diserahkan ke tanganku yang sedang meremas tadi.

Setelah mengenakannya, aku duduk dan menegakkan tubuhku.

Dan di sana, di sebelahku, Bell tidur dalam balutan lingerie hitam super seksi yang pernah kupilih sebelumnya.

"Uwaaahhh!? Kenapa kau ada di sini!? Kenapa kau melepas pakaianmu!?"

Aku menyembunyikan tubuhku dengan selimut, dan Bell mengembungkan pipinya karena kesal.

"Apa yang Anda bicarakan... Tidak ingat apa yang terjadi tadi malam?"

"Ta-tadi malam?... Oh..."

---Ya, aku ingat.

Kemarin sepulang sekolah, kami menghabiskan waktu bersama seperti yang telah Bell janjikan sebagai hadiah setelah aku menyelamatkan Riri.

Kami menikmati waktu bersama di kota, makan malam lezat di sebuah restoran. Setelah itu, saat kita berjalan pulang sambil bergandengan tangan, Bell mengajakku ke apartemen mewahnya yang terletak di lantai paling atas gedung pencakar langit.

Setelah Bell keluar dari kamar mandi dengan mengenakan jubah mandi, dia langsung mendorongku ke tempat tidur!

"...Sepertinya begitu mulai, aku langsung pingsan lagi, ya...."

"Benar."

Wajah Bell yang merajuk terlihat tidak hanya kesal, tetapi bahkan menyiratkan kesedihan.

Rasa bersalah dan malu membuat perutku terasa melilit.

"Ma-maaf... Tapi kau tahu sejak terakhir kali, kalau aku bakal pingsan karena ciuman yang terlalu intens. Tapi, Bell...."

"...Karena."

Bell memeluk bantal erat-erat dan meringkuk malu. 

"...Saya terlalu terangsang, jadi saya tak bisa menahan diri...."

Apa? Bukankah ini terlalu imut?

Kalau bisa, aku ingin memeluk gadis ini sekarang juga tanpa pikir panjang.

"...Maaf. Aku memang gagal sebagai seorang lelaki...."

Namun tubuhku yang terluka oleh trauma tetap tidak mau bereaksi. 

Ketika aku benar-benar merasa terpuruk di dalam hati, Bell memelukku dari belakang.

"Tidak apa. Jangan khawatir... Kita bisa memperbaikinya perlahan, sedikit demi sedikit."

"Bell..."

"Tapi karena saya agak kesal, untuk sementara waktu saya tidak akan membiarkan Anda melakukan hal-hal mesum."

"A-apa!?"

Padahal aku ingin mencoba berbagai hal atas nama 'mencari batas aman'!.

Namun, karena ini salahku, aku tidak bisa membantah.

Aku masih terus dibayangi oleh kejadian dengan 'orang itu'. Ini semua salahku.

"...Yakou-sama, apa Anda benar-benar ingin menyelesaikan masalah ini?"

"Tentu saja. Aku sudah lama memikirkannya dengan serius."

"Kalau begitu... demi mencari solusinya juga,"

Bell sedikit ragu sejenak sebelum melanjutkan,

"...izinkan saya tahu apa penyebabnya-----"

"Ah, tidak! Aku terlambat! Harus cepat bersiap-siap!"

Aku buru-buru melompat dari tempat tidur dan dengan cepat mengenakan pakaian yang berserakan di lantai.

Bell tidak mengatakan apa-apa lagi.

...Aku tidak boleh memberitahunya tentang 'orang itu'.

Itu adalah bentuk kepedulian dan etika terhadapnya.

"Yakou-sama. Kalau ada apa-apa hari ini, beri tahu saya segera. Saya akan datang langsung."

"Eh? Kau tidak ikut ke sekolah?"

"Tidak. Ada panggilan darurat dari markas. Sepertinya aku akan sibuk seharian, benar-benar menyebalkan."

"...Setelah masalah dengan laser, apa yang terjadi kali ini?"

"Bukan aku kali ini."

Bell mengganti pakaiannya menjadi kostum penyihir yang sudah lama tidak ia kenakan sambil menghela napas.

"Sepertinya ada petunjuk tentang pelaku yang melepaskan <Penyihir Bayangan> ke dunia manusia."

Aku hampir tersandung saking terkejutnya.

"Apa...? Jadi, ada dalang di balik ini!?"

"Ada. Namanya Fai, seorang <Penyihir Terbalik>. Singkatnya, dia adalah penyihir dari sekte rahasia yang memuja penyihir jahat kuno. Masalah ini terlalu panjang kalau dijelaskan..."

Bell memanggil sapunya dari jendela, lalu dengan cepat melompat ke atasnya.

"Saya tidak punya niat sama sekali untuk menjelaskan, jadi urus saja sendiri."

"Ke-kenapa!? Padahal aku penasaran sekali!"

"...Sampai jumpa. Saya mencintai Anda, Yakou-sama."

Dengan ciuman singkat untuk membungkamku, Bell terbang keluar lewat jendela.

"...'Kalau tidak mau cerita semuanya, aku juga tak masalah kalau diam, kan?' Itu maksudnya tadi?"

Rasanya seperti terjemahan tingkat pra-satu dari ujian kemampuan memahami Belka Albertine.

Aku merasa sedikit kesal, tapi aku harus menerima ini dengan lapang dada. Bagaimanapun, cerita soal mantan pacar tidak mungkin kubagikan pada Bell.


🔸◆🔸


"Kemarin, aku tidur dengan mantan pacarku semalaman."

"Boleh aku bunuh saja kau, Minato?"

Topik pembicaraan pertama setelah sampai sekolah malah seperti ini.

Pagi-pagi buta, Minato datang menghampiri mejaku hanya untuk menggodaku, jadi aku menarik kerah bajunya dengan erat.

"Jangan main-main dengan perempuan seperti ngemil snack! Di depan laki-laki perjaka yang sedang frustrasi pula!"

"Hahaha, aku ini tipe yang suka menggoda orang yang kusukai."

Dasar sistem kapitalisme cacat...! Kenapa uang dan perempuan selalu berkumpul di tempat orang yang sudah memilikinya sejak awal? Bagilah kekayaan itu denganku juga dong.

"Lagipula, Minato, bukannya belakangan ini kau lagi dekat sama perempuan dari Akademi Touou?"

"Iya sih, hari ini aku juga bakal ketemu dia."

"...Di pagi setelah tidur sama mantan pacarmu?!"

Aku mengerutkan alisku sedalam mungkin.

"Bukan berarti aku selingkuh, lho? Aku belum pacaran sama siapa-siapa kok."

Memang benar... dia memang tidak punya hubungan spesial dengan siapapun sekarang.

"Itu mungkin benar, tapi kau tak merasa bersalah kalau ada perempuan yang sekarang dekat denganmu?"

"Haha, kau terlalu serius, Yakou-chan. Sebenarnya aku juga mencari-cari hal itu sih."

Minato tertawa lebar.

Entah kenapa, setiap kali aku marah, dia malah kelihatan senang.

"Yah, sebenarnya yang tadi malam itu agak impulsif, aku menyesal juga. Tapi karena yang jadi lawannya itu dia..."

"Dia?"

"Mantan pacarku yang pertama, senior dua tahun di atasku. Katanya dia sudah pergi jauh karena kuliah, jadi aku pikir takkan bertemu lagi, tapi kebetulan dia pulang dan kita ketemu begitu saja."

Minato bersandar dengan dagu di telapak tangannya, matanya tampak memandang kejauhan.

"Ngomong-ngomong, aku jadi teringat banyak hal, dan tiba-tiba jadi terlalu serius, begitulah..."

"...Begitu ya. Mantan pacar pertama..."

Aku juga memandang jauh, merasakan perasaan yang sama.

Secara moral memang tidak semestinya, namun sebagai teman, aku merasa ingin membelanya.

"Aku mengerti. Aku juga masih terus mikirin mantan pacar pertamaku sampai sekarang..."

"-----Hah!?"

Minato tiba-tiba menangkap kerah bajuku.

"Yakou-chan punya mantan pacar!? Gila, serius?"

"Eh eh eh!? Kenapa?"

"Itu kan tak mungkin! Yakou-chan tidak semestinya mencari tahu tentang perempuan sama sekali!"

Apa-apaan?! Aku malah ingin tahu!

"Apa... Perempuan seperti apa dia? Ceritakan!"

"Apa-apaan kau itu. Uhh? Perempuan seperti apa ya..."

Aku baru sadar, ini pertama kalinya aku bercerita tentang 'dia' ke orang lain. Aku tidak bisa cerita ke Bell, jadi bisa melepaskan perasaan itu di sini rasanya sedikit menenangkan.

"Namanya Rokujou Lieslet Kuu. Singkatnya, dia itu 'perempuan sempurna'."

"...Lieslet? Wanita sempurna, ya?"

"Dia punya darah asing."

Sekarang aku berpikir, mungkin dia juga seorang penyihir.

Tapi dia sangat berbeda dari Bell, jadi aku rasa dia bukanlah penyihir.

"Dia adalah perempuan tercantik di dunia. Aku masih berpikir begitu sampai sekarang."

"Wah... Tipe yang cantik sekali? Atau yang imut?"

"Dia tipe cantik yang dewasa. Tingginya pasti lebih dari 170 cm. Tubuhnya luar biasa, tidak kelihatan seperti murid SMP sedikitpun. Aku rasa model pun takkan mau kalau harus berdiri di sampingnya."

"Serius...?!"

"Serius. Kepribadiannya juga sangat terjaga, selalu tersenyum dengan penuh percaya diri... Aku tidak pernah lihat dia marah atau emosional sekali pun."

"Wow..."

"Pikiran dia juga jauh lebih tajam daripada aku, lho? Kemampuan fisiknya juga luar biasa. Kalau dia ikut klub olahraga, dia bisa dengan mudah memecahkan rekor, tapi kalau dia tak tertarik, dia bakal berhenti dengan santai..."

Aku bercerita dengan penuh semangat tentang keberanian 'dia". Meskipun takkan ada habis-habisnya kalau aku bicara tentang pesonanya... Ah, benar.

Aku hampir lupa menyebutkan ciri khasnya yang penting.

"Dia punya rambut dan mata berwarna merah yang begitu mempesona."

"...Haha? Yakou-chan?"

Minato meletakkan tangannya di bahuku, lalu tertawa senang.

"Jadi, kau 'menciptakan' mantan pacar itu?"

"T-tidak! Dia benar-benar ada!"

"Kalau begitu, tunjukkan fotonya~"

"Ugh... Mustahil. Dia tak pernah suka difoto, jadi tidak ada satu pun foto tentang dia..."

"Yakou-chan... itu agak susah dipercaya, ya?"

Memang benar... Kalau menceritakannya seperti itu, orang-orang pasti berpikir, 'mana mungkin ada perempuan seperti itu?'.

Tapi, dia memang benar-benar ada...

Saking tidak bisa aku lupakan, dia masih ada dalam diriku sampai sekarang.

"-----Ekhem, maaf semuanya. Memang belum ada bel masuk, tapi bisa kalian duduk di tempat?"

Sambil mengatakan itu, guru wali kelas kali, Hashikura-sensei, masuk ke dalam kelas.

Dia menutup semua jendela dan pintu, lalu batuk sedikit.

"Tiba-tiba, sensei punya pengumuman penting."

Apa itu? Aku mendengarkan dengan seksama.

"Mulai hari ini, akan ada satu murid baru yang bergabung di kelas ini... Namanya-----"


🔸◆🔸


"-----Rokujou Lieslet Kuu. Senang bertemu."

Suara yang jernih nan indah menggema di dalam kelas.

Matanya seperti ruby. Wajah dan tubuh yang sempurna. Gerakan tubuh yang penuh pesona. Dan rambut merah yang indah, seperti api yang mengalir, yang tak pudar meskipun bertahun-tahun berlalu-----

Kuu muncul kembali di hadapanku, seolah-olah dia keluar langsung dari hatiku.

"……Tidak mungkin…"


Tidak mungkin.

Ini hanya mimpi. Pasti ini mimpi.

Jadi tolong, jangan bangunkan aku lagi…

"Aku sudah berpindah-pindah tempat di dunia untuk sementara waktu karena urusan pribadi, namun kali ini aku telah menetap dan kembali ke kampung halaman di Jepang. Meskipun ada darah asing dalam diriku, aku orang Jepang tulen. Aku akan senang jika kita bisa berteman dengan baik."

Kuu memperkenalkan diri dengan biasa.

Hanya itu saja, dan aku bisa merasakan bahwa seluruh kelas terpesona olehnya. Kuu selalu memiliki aura karisma yang bisa disebut begitu.

"-----Baik. Sekarang, waktu untuk pertanyaan. Bagi yang ingin bertanya kepada Rokujou-san, silakan angkat tangan-----"

Saat guru wali kelas, Hashikura-sensei, mendorong untuk mengajukan pertanyaan, semua teman sekelas mengangkat tangan dengan sangat antusias.

Namun, aku tidak mengangkat tangan.

Aku menundukkan kepala dan menyandarkan pipiku dengan tangan, berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan keberadaanku.

Karena... aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, dan aku tidak tahu apa yang akan keluar dari mulutku.

"-----Kau melihat ke mana?"

Namun, Kureha tidak pernah peduli dengan perasaanku.

Mengabaikan semua tangan yang terangkat, dia berjalan langsung ke meja depanku.

"Hehehe. Apakah ada yang lebih menarik di luar sana daripada aku?"

"......Kuu..."

Aku akhirnya menyerah dan menatap ke depan.

Bentuk tubuhnya yang sangat menggoda ada di atas kedua lengannya yang disilangkan, dan...

"......Hey. Aku akan bertanya lagi, kau melihat ke mana?"

"Eh, a-a, maaf!?"

"Hehe~ Aku takkan memaafkanmu. Berdiri."

Kuu memberi isyarat dengan jari telunjuknya.

Tanpa niat untuk melawan, aku dengan patuh berdiri, dan.....

"-----Sudah lama tidak bertemu. Yakou."

Kuu melompat ke pelukanku dan memelukku erat.

"Aku sangat merindukanmu."

Seluruh otakku seakan mati seketika, dan aku hanya menjadi benda mati yang berdebar kencang. Aku ragu apakah aku boleh memeluknya kembali, sementara kedua tanganku bergerak gelisah.

"......Kuu..."

Akhirnya dorongan yang tak bisa ditahan mengalahkan segalanya, saat aku hendak memeluk Kuu dengan erat---

"-----Jadi, teman-teman,"

Harusnya begitu, namun dengan gerakan tubuh seperti seorang ahli bela diri, Kuu dengan cepat melepas diri dan menghindar.

Dia meletakkan tangan di bahuku dan tersenyum.

"Seperti yang kalian lihat, sudah ada orang yang mendampingiku, jadi aku harap kalian tidak coba-coba mendekat. Namun, jika masih ada yang ingin mendekat padaku, lebih baik kalian kalahkan laki-laki ini dulu sebelum berdiri di hadapanku."

"Hah!? Tunggu, apa maksudnya-----!?"

"Hehehe~ Aku meminta ini darimu."

Tentu saja dia melakukannya dengan sengaja, Kuu berbisik di telingaku.

"-----Lindungi aku lagi ya, ksatria?"

Cincin yang kuterima dari gadis lain terasa berdenyut di jari manisku.


🔸◆🔸


Hari itu menjadi hari yang penuh gejolak.

Seorang gadis cantik yang membuat gempar kelas 2-A pindah ke sekolah kami. Dan yang lebih mengejutkan, katanya dia sedang berpacaran dengan orang yang terkenal akan kecerdasannya yang tak tertandingi, yaitu Utsugi Yakou-----Rumor sensasional seperti itu menyebar dengan cepat ke seluruh angkatan, dan aku pun terpaksa menghadapi pertanyaan dari berbagai pihak, seolah aku adalah selebritas yang terjebak dalam skandal.

Aku benar-benar lelah...

Namun, hal yang paling berat bagiku secara pribadi bukanlah keributan yang terjadi.

"----Hehe. Tolong tunjukkan bakatmu, ya?"

Aku dengan patuh seperti anjing, berperan sebagai pacarnya Kuu.

Meskipun itu hubungan palsu, aku merasa senang, dan itu membuatku merasa sangat-sangat malu atas diriku sendiri yang terjebak dalam situasi ini.

...Tentu saja, aku tidak bisa berhubungan dengan Bell.

"-----Hah... aku lelah..."

"Hehe. Terima kasih, sudah bekerja keras."

Setelah pelajaran, aku membawa Kuu ke ruang istirahat di belakang gedung khusus.

Tempat ini jarang dilalui orang, salah satu tempat favoritku yang cukup tersembunyi.

Akhirnya, setelah duduk di bangku, aku bisa sedikit tenang. Kuu memasukkan uang ke dalam mesin penjual otomatis dan menunjuk ke suatu tempat.

"Sebagai terima kasih, aku akan mentraktirmu. Pilih saja yang kau suka."

"Oh. Kalau begitu, aku takkan menahan diri."

Aku memilih kaleng kopi hitam dan langsung meminumnya dengan cepat. Kafein terasa menyegarkan tenggorokan yang kering dan tubuh yang lelah.

"Ah... enak..."

"...........Kamu minum kopi, Yakou?"

Kuu tampak terkejut. Ini agak aneh.

"Ya, aku minum. Ada yang aneh?"

"Karena, kalau tidak salah, kau dulu tidak bisa minum kopi, kan? Apalagi yang hitam begini."

Ah... benar juga, waktu SMP memang seperti itu.

Aku benar-benar berpikir, siapa yang mau minum sesuatu yang pahit dan jelek seperti ini.

"Entahlah, lama-kelamaan aku jadi terbiasa dengan rasa pahitnya. Terlihat dewasa, kan!"

".........Hmmm."

Kuu tampak tidak tertarik dan mengabaikan pernyataanku dengan acuh tak acuh.

Lalu, dalam sekejap, dia merebut kaleng kopi itu dan mulai meminumnya.

"Eh, hei!?"

Aku coba menghentikannya, tapi dia sama sekali tidak mendengarkan.

Kuu hampir menghabiskan isinya, lalu mengembalikan kaleng itu padaku.

Dengan sengaja, dia menyentuh bibirnya dengan jari telunjuk seolah-olah ingin memperlihatkan padaku, lalu menjulurkan sedikit lidahnya.

"Fufufu, terima kasih. ...Ternyata tidak sekuat itu untukku?"

Wajahku langsung memerah, dan Kuu semakin tersenyum dengan ekspresi yang semakin menjengkelkan.

"Hehe. Masih saja imut. Bahkan kita sudah pernah berciuman, loh, bukan cuma sekedar sentuhan."

"T-Tunggu, itu kan cerita lama!"

Kaleng yang kupegang tertekuk karena terlalu keras kupencet.

Aku tidak bisa terus-terusan dipermainkan seperti ini. Aku harus mengatakan sesuatu yang sudah lama ingin kukatakan.

"Kenapa tadi di kelas... kau melakukan itu?"

"Itu lebih praktis, dan lagi pula, itu juga fakta sebenarnya, kan?"

Kuu tersenyum tipis.

"Bukankah kita pernah berpacaran?"

"Itu cerita lama!"

Aku tidak bisa tertawa.

Kuu selalu terlihat tenang di hadapanku, tapi aku selalu merasa tidak tenang di hadapannya.

"...Kita sudah putus, kan?"

"...Benarkah?"

Kuu menendang kaleng kosong itu.

"Aku tak pernah mengatakan ingin putus, kok..."

"-----T-Tidak mungkin! Itu salah!"

Aku berteriak dengan amarah yang meluap.

Aku tidak tahu apakah aku marah atau sedih. Seolah mendidih, perasaan gelap yang mengeruh muncul dari dalam perutku.

---Kenapa baru sekarang dia bilang begitu!?

---Apa dia tidak sadar sudah melakukan hal sekejam itu!?

---Kenapa kau, pada hari itu-----!

"Kuu---!"

Semua emosi kotor yang selama ini kusimpan meledak.Namun, tak satu tetes pun dari emosi itu bisa sampai padanya.

Karena, Kuu menutup mulutku dengan ciuman.

Kepalaku terasa kosong.

Ekspresinya menggoda, kelopak matanya terpejam pasrah.

Napasnya terdengar seperti kata-kata persetujuan.

Kata-kata yang seharusnya mengalir seperti banjir bandang itu, dengan mudahnya lenyap hanya karena satu ciuman.

"Aku tidak bisa mengatakannya, Yakou..... Maaf."

Dengan senyum yang tak pernah lepas, Kuu membuatku ingin menangis dan berteriak.

-----Dia, perempuan yang sangat jahat.

Dia tahu semuanya, tapi tetap melakukannya.

Dia pikir kalau dia melakukan ini, aku tidak akan bisa berkata apa-apa. Pasti aku masih menyukainya, kan? Itu yang dia yakini.

Dan itu memang benar adanya, hatiku kini berada tepat di telapak tangan Kuu.

"Di sekolah, Yakou itu ksatria-ku. Bisa kau terus melakukannya seperti ini?"

".........Kemsatria..."

Aku merenung sejenak, alis Kureha bergerak sedikit.

"Ada masalah?"

"...Itu..."

Tentu saja ada, pikirku, sementara ponselku bergetar di saku.

-----Panggilan masuk: Belka Albertine

"Maaf, maaf-----!?"

"...Yakou?"

"Su-sungguh, maaf! Biar aku perbaiki pembicaraan ini nanti!"

Aku meninggalkan Kuu dan berlari secepatnya.

"H-Halo? Penyihir cantikku?"

'Saya punya urusan penting, datanglah ke rumah sekarang juga.'

Telepon itu terputus dalam sekejap.


🔸◆🔸


Halo, Bell. Laporan hari ini?

-----Tadi, meskipun kita sedang dalam hubungan yang cukup dekat, aku senang bisa berciuman dengan mantan pacarku.

-----Selain itu, di sekolah dia bilang kita harus berpura-pura pacaran, dan aku malah setuju.

Kurasa itu saja! HAHHAHA!

...Tentu saja, itu tidak bisa kukatakan. Keringat dingin tak henti-hentinya mengalir!

"F-Fatal... ini sangat fatal...!"

Hanya itu cara paling efektif untuk menghindari Kuu, dan bahkan ciuman itu pun serangan mendadak dari Kuu sendiri. Lagipula, hubungan antara aku dan Bell adalah antara penyihir dan kesatria, jadi jelas bukan hubungan antar laki-laki dan perempuan.....

Karena itu, aku tidak salah, dan aku bebas untuk berciuman dengan siapa pun-----

Namun, aku tidak cukup berani untuk bisa berpikir semudah itu!

Sungguh, ini menyakitkan. Aku harus bagaimana...!?

"-----Sejak tadi, kenapa Anda gelisah begitu, Yakou-sama?"

Saat aku memeluk bantalan di sofa ruang tamu rumah Bell, Bell kembali ke ruangan. Karena baru pulang dari markas, dia masih mengenakan pakaian penyihirnya.

"Apa, tidak ada apa-apa! Hanya saja, hari ini perutku agak sakit..."

"Begitu. Maaf sudah memanggil secara tiba-tiba, ya?"

Bell tersenyum, duduk di sebelahku.

Aku menelan ludah dengan susah payah.

"Jadi... ada hal penting yang harus aku urus?"

-----Belum tentu dia sudah tahu semuanya.

Aku harus berhati-hati agar tidak mengungkapkan hal yang tidak perlu, dan pertama-tama, aku harus mengukur jaraknya...!

"Mmn.... Sebenarnya itu bohong. Saya cuman ingin bertemu Yakou-sama."

"A-apa... bohong?"

"-----Maaf, ya?"

Matanya menyipit tajam.

"…Benar juga. Maaf ya. Memang, pembohong itu awal dari pencuri, kan?"

"I-iya… benar..."

"Saya akan hati-hati. Oh, Yakou-sama, Anda harus memberitahu saya sesuatu."

Bell menempelkan bahunya di bahuku.

Meskipun aku seharusnya bisa merasakan suhu tubuhnya, kenapa terasa dingin? Ataukah cuman perasaanku saja?

"Apa ada yang aneh saat saya tidak ada?"

Ini dia. Jika aku salah langkah, aku akan mati!

Langkah terbaik adalah dengan mengakui fakta yang ada, setidaknya sebagian.

-----Seorang kenalan lama bernama Rokujou Lieslet Kuu pindah sekolah, dan kami mengobrol banyak tentang masa lalu.

Baiklah, ini keputusan final.

Bagaimanapun, menyangkal sepenuhnya hanya akan membuat kesalahan semakin jelas. Itu adalah hal yang harus aku hindari dengan segala cara...!

"Te-tidak ada laporan khusus yang perlu aku sampaikan, kurasa?"

-----Astaga, aku benar-benar bodoh!? Kenapa aku malah menggali lubang untuk diriku sendiri!?

"…Begitu. Benarkah?"

"Y-ya. <Heroine Call> tidak berbunyi. Sebagai ksatria, tidak ada apa pun yang perlu kulaporkan!"

Aku tak berbohong. Kuu bukanlah seorang Heroine. Dia hanya mantan pacar. Karena itulah, rasanya sesak di dada.

"…Begitu."

Bell tersenyum tipis.

"Terima kasih sudah melapor. Saya sangat menyukai Yakou-sama."

"…T-tidak, ini bukan laporan yang layak disebut begitu..."

"Sebagai ucapan terima kasih, saya membawakan oleh-oleh dalam perjalanan pulang. Sesuatu yang manis, kesukaan Yakou-sama."

Bell menunjuk ke arah dapur.

"Saya meletakkannya di kulkas, jadi tolong ambilkan. Saya akan berganti pakaian."

"O-oh, baiklah. Aku mengerti."

Kami berdua berdiri dari sofa, dan aku menghela napas dalam-dalam di dapur yang gelap.

-----Syukurlah. …Sepertinya aku berhasil melewatinya.

Dengan rasa lega yang tulus, aku membuka pintu kulkas.

Di dalamnya, penuh dengan kaleng kopi yang aku minum sepulang sekolah.

"Hii------------!?"

Punggungku terasa dingin.

Tidak, ini bukan sekadar ungkapan. Tubuhku benar-benar mulai membeku, perlahan terbungkus es dari kaki ke atas.

Satu-satunya bagian tubuhku yang masih bisa bergerak hanyalah leher dan kepala yang gemetar.

"-----Anda menyukainya?"

Saat menoleh, Bell berdiri di sana dengan topi runcingnya yang menutupi sebagian wajah.

"Saya rasa itu yang selalu Anda sukai, kan?"

"…T-tolong, jangan bunuh aku…"

"Saya takkan melakukan itu."

Dengan mata yang kehilangan cahayanya, Bell tersenyum padaku.

"Saya tidak akan, melakukan sesuatu yang seramah itu~"

"Ah, tunggu! Jangan hancurkan jariku satu per satu!? Hentikan itu, aku mohon! Arhhhh--------!?"


🔸◆🔸


Aku mengalami kejadian seolah-olah mau mati.

Namun, karena Bell membiarkanku mengalami hal seperti itu, aku pikir dia sebenarnya cukup baik hati.

Saat duduk bersimpuh di lantai, Bell memandangku dari atas sambil duduk di sofa, menyilangkan kaki.

“Kenapa Anda pikir tidak akan ketahuan?”

“Aku tak punya alasan untuk membela diri... Apa yang terjadi hari ini, semuanya salahku...”

“Bukan hanya tentang hari ini.”

Bell menghela napas panjang.

“Saya sudah lama tahu kalau Yakou-sama masih terjebak dengan mantan pacar.”

“Apa...!?”

“...Anda pikir selama ini berhasil menyembunyikannya? Itu malah membuat saya terkejut.”

Di bawah tatapan dingin yang menusuk itu, tubuhku mengecil karena rasa takut.

“Kapan kau mengetahuinya...?”

“Sejak hari pertama.”

“Hari pertama!?”

Bell menjentikkan jarinya, jendela-jendela muncul dalam jumlah besar.

Semuanya menampilkan akun media sosialku dan teman-teman sekelasku di SMP Seifune.

“Teknik rahasia: Net-Stalking.”

“...Benar juga. Kemampuan yang sangat menakutkan...”

“Menyelidiki segala sesuatu tentang orang yang kita cintai itu sudah sewajarnya.”

Bell tersenyum menyeringai licik.

Seperti biasa, sikapnya terlalu melekat dan menyesakkan... Tapi, begitulah. Dia sudah mengetahui semuanya.

“Aku tahu kalau itu akan menyakitimu jika kau mengetahuinya, jadi aku mencoba menyembunyikannya semampuku... Lagipula, masa lalu tidak akan hilang begitu saja.”

“Hmm...”

“...Kau pasti merasa tidak nyaman, kan?”

Bell mengangguk kecil.

“Meski begitu, saya ingin tahu semuanya, dan saya ingin Anda menceritakannya tanpa menyembunyikan apa pun.”

“...Bell...”

“Kalau tidak, masalah Yakou-sama tidak akan pernah terselesaikan.”

Bell meletakkan kedua tangannya di bahuku, menatap dengan mata biru yang berbeda dari mata merah Kuu.

“-----Saya tidak akan pernah mau menerima kalau Anda tidak bisa menjadikan saya sebagai yang pertama di hati Anda.”

Aku menggigit bibirku erat-erat. Lalu menutup mata, terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata,

“...Sejauh mana kau tahu?”

“Saya tahu Yakou-sama berpacaran dengan perempuan itu saat kelas tiga SMP. Tapi sejak suatu waktu di musim dingin, saya tidak bisa melacaknya. Dia bukan seorang <Heroine>, jadi tidak ada informasi apa pun yang muncul bahkan ketika saya mencarinya di markas. Sejujurnya, aku hampir tidak tahu apa-apa.”

“Begitu ya,” aku tertawa getir.

“Aku juga tak jauh berbeda. Aku tidak tahu ke mana Kuu pergi, bahkan aku tidak tahu banyak tentang masa lalunya.”

“Eh...?”

“Dia tipe orang yang menjaga rahasia. Tidak suka membicarakan dirinya sendiri.”

“Tapi, kalian berpacaran, kan?”

“...Itulah yang ingin kupercayai. Aku sudah mengungkapkan perasaanku dengan jelas, dia juga menerimanya. Kami berkencan beberapa kali, dan bahkan... sempat mencoba melakukan hal itu.”

Aku menekan dadaku yang masih terasa sakit oleh kenangan itu.

“Sampai sekarang, aku tak tahu apa yang salah. Dia sendiri yang mengundangku ke rumahnya, suasananya jadi seperti itu... Aku terlalu khawatir akan melukai atau membuat kesalahan, jadi aku tidak bisa bersikap terlalu agresif. Sedikitpun, aku tidak melakukan sesuatu yang menakutkan... Setidaknya, sampai tahap berciuman, dia menerimanya. Tapi, ketika aku coba melangkah lebih jauh, lebih dalam lagi-----”


'-----Berhenti, Yakou! Jangan mendekat.....!!!'


“...Kuu menolak, dia mendorongku menjauh.”

Sejak saat itu, memahami hati seorang perempuan berubah menjadi kutukan yang tak terpecahkan bagiku

“Dan keesokan harinya-----tepat di hari Natal, Kuu tiba-tiba menghilang dari hadapanku.”

“Menghilang?”

“Benar. Semua kontaknya tidak bisa dihubungi. Rumahnya kosong, dan tidak ada seorang pun yang tahu ke mana dia pindah. …Betapa bodohnya, aku baru tahu bahwa pacarku pindah sekolah dari guru di sekolah.”

Aku masih ingat kekosongan yang kurasakan di hari bersalju itu.

Rasa sedihnya begitu mendalam sampai aku bahkan tak bisa merasakannya. Seolah hatiku dirampas sepenuhnya, menyisakan satu pertanyaan yang tidak pernah bisa kujawab.

“Aku tidak lagi bisa memahami hati perempuan. …Sejak saat itu, aku memiliki kompleksitas terhadap cinta.”

“...Hmm.”

“Sebagai laki-laki, aku merasa ditolak. Satu-satunya kelebihanku tidak ada gunanya dalam cinta. Itu membuatku semakin tertekan dalam perasaan rumit... Tapi aku sadar, aku tidak bisa terus seperti ini. Kalau tidak ada yang berubah, aku tidak akan pernah bisa melangkah maju. Jadi aku berpikir, jika aku menyerahkan keperjakaanku, mungkin itu akan membebaskanku dari semuanya... Dan saat aku berpikir seperti itu-----”

“Saya yang muncul?”

Aku mengangguk lemah.

Bukan berarti aku ingin mengatakan bahwa aku adalah korban dari semua ini, seolah-olah tanpa rasa malu.

Tanpa mempersoalkan benar atau salah atas apa yang dilakukan Kuu, hanya ada satu masalah yang membuat cerita ini begitu rumit.

“Meski dia melakukan hal yang begitu kejam, Yakou-sama masih mencintai perempuan itu?”

“...Ya...”

“Dia menghindari hal-hal penting, menciummu seperti itu... Dan Anda masih merasa senang karenanya?”

“...Ugh...”

Bell turun dari sofa, mencengkeram kuat pundakku.

“Yakou-sama, Anda sedang dipermainkan. Anda harus segera memutus hubungan dengan perempuan seburuk itu.”

“.....Tapi, mungkin saja dia benar-benar punya alasan yang tak bisa diungkapkan...”

“Tidak ada alasan seperti itu! Sadarlah!”

Bell mengguncang pundakku, wajahnya hampir menangis.

“Setidaknya dia pasti bisa memberikan kabar, kan? Fakta bahwa dia tidak pernah melakukannya, berarti Yakou-sama itu-----!”

“-----Aku sudah tahu itu semua!”

Aku menaikkan suaraku, membuat Bell terkejut dan gemetar.

Ini berjalan ke arah yang paling buruk. Tapi aku tak bisa berhenti.

“...Aku tahu semuanya. Aku tidaklah sebodoh itu. Tapi tetap saja, aku...”

-----Ah. …Selesai sudah.

Kepercayaan yang kami bangun bersama selama ini, baru saja kuhancurkan sepenuhnya.

Setelah melihat sisi diriku yang begitu menjengkelkan ini, bahkan cinta yang bertahan seribu tahun pun pasti akan pudar.

“Ini sudah berakhir! Kita harus mengakhiri semuanya hari ini juga!”

Aku mencoba melepas cincin di jari manis kananku---bukti dari ikatan kami.

“...!? Tu-Tunggu, Yakou-sama! Tenanglah!”

Aku menarik cincin itu sekuat tenaga, tapi... itu tidak mau terlepas. Sepertinya secara fisik memang tidak mungkin.

Lalu, aku berlutut dan memohon dengan sangat.

“Kumohon carilah ksatria berikutnya! Aku tak pantas, laki-laki yang terlalu menyedihkan seperti ini---!”


🔸◆🔸


Setelah itu, situasinya benar-benar memanas, dan sepulang ke rumah, aku tidur seperti mayat.

Sepertinya tanpa kusadari, aku sangat kelelahan. Niatnya hanya tidur sebentar sebelum makan malam, tapi saat bangun, hari sudah berganti.

Dengan kepala yang masih linglung, aku memeriksa ponsel.


Panggilan tak terjawab: Rokujou Lieslet Kuu.

[Kuu]: Kalau sadar, tolong telepon balik.

[Kuu]: Aku akan tetap bangun sampai pukul dua.


“...Dari Kuu, ya.”

Dulu, sekeras apa pun aku mencoba menghubunginya, tidak pernah tersambung. Tapi sekarang, malah dia yang menghubungiku. Ironis sekali.

Dan lagi… dia benar-benar tahu kapan perasaanku sedang goyah seperti ini. Sialan.

Aku tidak bisa melawan godaan dan menekan tombol panggil.

Belum sampai tiga dering berbunyi, telepon tersambung.

'-----Halo. ...Hehe, selamat malam, Yakou.'

"...Ah. Selamat malam."

'Mm... ada apa? Suaramu terdengar lesu.'

Menurutmu siapa yang menyebabkan ini? Aku ingin sekali menjawab begitu, tapi... Aku malah takut dia akan menutup telepon, jadi aku tak bisa mengatakan apa-apa. Sungguh, seberapa pengecutnya aku ini?

"Aku baru bangun tidur. Jangan dipikirkan."

'Begitu, ya? Ngomong-ngomong, aku sedang di kamar mandi sekarang.'

Aku mendengar suara cipratan air.

"Apa-apaan laporan itu?"

'Hehe. Kupikir mungkin kau akan senang~'

"Hah, kalau aku tidak melihatnya langsung, tidak ada artinya."

'Karena kupikir kau akan mengatakan itu, aku mengaktifkan panggilan video.'

"Aku takkan tertipu. Kau pasti berencana bilang ‘kau terjebak' atau 'kau tertipu', kan?"

Meski berkata begitu, aku tetap mengecek layar dengan hati-hati.

Di sana, Kuu muncul, dengan handuk melilit kepalanya, benar-benar sedang mandi.

"Uwaaah-------!?"

'Uhehehe. Kau memang terjebak, dasar mesum.'

"I-Itu bukan lagi sekadar soal terjebak atau tidak, kan!? Apa-apaan ini!?"

'Tenang saja. Mengingat tingkat transparansi dari cairan mandi ini, tidak ada yang bisa terlihat.'

"…Tapi aku bisa lihat sesuatu."

'Hee~? Bagian mana? Sebutkan namanya dengan jelas, ayo.'

"Ugh…"

Sial. Tidak ada gunanya mencoba menjebak Kuu dengan cara seperti ini.

Lagi pula, dia tahu dengan sempurna bahwa aku tidak bisa bicara vulgar secara langsung.

"…Sudahlah. Jadi, ada perlu apa?"

'Hehe. Aku hanya ingin mendengar suaramu.'

"Berhenti bilang sesuatu yang bukan maksudmu. Jujur saja, aku tidak sedang dalam mood yang baik untuk bercanda."

Aku menatap Kuu langsung lewat layar saat mengucapkannya, kemudian layar tiba-tiba mati.

'…Bukan... itu… saja…'

"Apa? Suaramu terputus-putus."

'…Siapa itu… Belka Alberthine?'

Aku tersentak, menahan napas.

"Kau melihat ponselku?"

'Aku sempat melihatnya. Siapa orang yang menelepon tadi?'

Nada suaranya terdengar tegang, sedangkan aku terdiam karena terkejut. 

-----Tunggu, apa dia marah? Tidak, mungkin ini cuman perasaanku saja?

"Bukan siapa-siapa… Bukan sesuatu yang perlu kuberitahukan padamu."

'Dan kau pikir itu keputusanmu? Bukan aku?'

Tiba-tiba, suara cipratan air keras terdengar di telepon.

Keheningan yang menegangkan menyerangku.

-----Ini bukan perasaanku saja. Kuu benar-benar terguncang. Dan ini…

'…Seorang perempuan, ya?'

Apa… dia cemburu?

Apa Kuu… sebenarnya masih menyukaiku?

'Bagaimana, Yakou? Jawab aku.'

"…Apa aku harus menjawabnya?"

'Tentu saja, itu harus.'

Terdengar suara *splash* saat Kuu berdiri dari dalam bak mandi.

'Karena, kita ini…'

“…Kita apa?”

'…………………………'

Lalu, suara Kuu yang kembali tenggelam ke dalam air terdengar. Gelombang kecil itu seolah ikut menciptakan riak dalam hatiku.

Aku mengangkat tangan kanan ke depan wajah.

Cincin yang menjadi tanda kontrak kami masih berkilauan di jari manis, meski setelah semua kekacauan yang terjadi.


'-----Saya sama sekali tidak sudi! Bahkan jika harus mati, saya tidak peduli. Saya tidak akan membiarkan perempuan itu mengambil Anda, Yakou-sama!'


Suara Bell berputar dalam ingatanku.

“…Hei, Kuu. Besok kita libur, kan? Bisa kita pergi keluar sekarang juga?”

'Eh?'

“Kita bicara secara terbuka. Aku akan memberitahumu segalanya, apa saja yang terjadi setelah kita berpisah.”

“Tapi,” lanjutku dengan nada tegas,

“Kau yang harus bicara lebih dulu. Jelaskan semuanya. Kenapa kau tiba-tiba menghilang, kenapa kau tidak bisa dihubungi. Jangan ada yang ditutup-tutupi.”

'…Aku sudah bilang, kan? Aku tidak bisa mengatakannya.'

“Kalau begitu, aku juga takkan mengatakan apapun.”

Aku menggenggam erat ponselku, dengan tangan yang memakai cincin itu.

“Sampai kau mau bicara, aku tak mau bicara lagi. Aku bahkan akan memblokir kontakmu.”

Aku hampir saja berkata bahwa itu hanya lelucon, mencoba menghindari konfrontasi.

Tapi aku menggigit bibirku dan menahan diri. Aku tidak ingin menjadi laki-laki yang lebih menyedihkan daripada ini.

Aku tak mau membuat Belka, yang selalu mendukungku, terlihat seperti perempuan rendahan.

'…………Baiklah. Aku akan bicara.'

“Taman Yashiro, bisa kan?”

'Ya. Beri aku waktu satu jam untuk bersiap.'

Setelah menjawab "baiklah", aku segera mematikan telepon. Aku juga mulai bersiap-siap.

Setidaknya, aku harus menghentikan semua ambiguitas ini.

Aku akan memastikan semuanya secara jelas dan tuntas sekarang.


🔸◆🔸


Sesuai janji dalam telepon itu, aku segera menuju taman tempat kami akan bertemu.

Taman Yashiro adalah taman yang cukup besar di dekat rumah Kuu. Biasanya, ada orang-orang yang berlari mengelilingi bagian luarnya atau anak-anak bermain di atas hamparan rumput. Tapi sekarang, di tengah malam, tidak ada siapa pun.

Aku duduk di bangku yang diterangi oleh lampu jalan remang-remang.

"…Nostalgia, sekali... Tempat ini."

Hanya untuk bisa mengobrol lebih lama dengan Kuu, aku mengantarnya pulang setiap hari ke rumahnya, meskipun itu berlawanan arah dari rumahku. Lalu, kami selalu mampir ke sini, duduk di bangku ini, dan mengobrol santai...

"…Aku mengungkapkan perasaanku di sini, kan."

Aku tersenyum kecut.

Padahal sudah menghafal kata-kata itu dengan sempurna, tapi karena gugup, semuanya hilang dari ingatanku. Waktu itu aku ingin menyerah dan berencana kabur, tapi Kuu marah dan berkata, 'Katakan saja dengan benar!'.

Akhirnya aku berhasil mengatakannya, tapi setelah selesai, dia malah memarahiku habis-habisan, 'Terlalu lambat', katanya, 'Jadilah lebih tegas!'.

Ketika aku merasa terpuruk dan menundukkan kepala, Kuu mengangkat lembut daguku,

"------Fufu. Mulai sekarang, kau milikku."

Dia memberiku jawaban dengan ciuman pertama kami.

Dia selalu terlihat keren.

Untuk pertama kalinya, aku berpikir ingin menjadi seseorang yang keren, seseorang yang pantas untuknya.

Cinta pertama yang indah ini mengubah diriku, Utsugi Yakou, sebagai seorang manusia.

"-----Yakou."

Suara yang telah lama kutunggu akhirnya terdengar, membuatku yang tenggelam di bangku itu mendongak.

Lampu jalan yang berkedip-kedip dipenuhi ngengat. Dari dalam kegelapan, Kuu muncul dengan kepala tertunduk, seolah muncul dari bayangan.

"…Maaf, sudah membuatmu menunggu."

Rambut poni tergerai menutupi wajahnya, membuat ekspresinya sulit terlihat.

Suaranya terdengar seperti suasana di sebuah pemakaman, begitu suram-----

"-----Hai, Utsugi Yakou-kun. Senang berkenalan. Aku sering mendengar tentangmu dari Kuu."

Kuu tidak datang sendirian.

Di sampingnya, berdiri seorang pria.

Bertubuh ramping, tinggi, dengan wajah yang tegas dan menarik. Suaranya yang bernada alto menambah kesan androgini. Dengan topi dan mantel musim semi yang ia kenakan, penampilannya seperti seorang model, begitu memukau.

Ketika ia berdiri di samping Kuu, pemandangan itu begitu sempurna, berbeda jauh denganku.

"Ku... Kuu. Siapa orang ini?"

"…Shinomiya Vilheiz Sora."

Untuk pertama kalinya, Kuu mendongak, menunjukkan wajahnya.

Dia tersenyum.

Dari awal hingga akhir, aku sama sekali tidak bisa memahami isi hati Kuu.

"-----Dia itu, tunanganku."


🔸◆🔸


Hatiku remuk, rasanya seperti ditabrak truk.

Kuu berkata banyak hal, seperti "karena pekerjaan orang tua yang berhubungan dengan perdagangan," atau "ini terjadi mendadak, jadi aku tak sempat menghubungi," atau "pertunangan ini adalah keputusan antar keluarga." Namun, aku tidak terlalu memedulikan apa yang dia katakan.

Pada akhirnya, apapun alasannya, kenyataan bahwa Kuu sudah memiliki kekasih baru tidaklah berubah.


"-----Ahaha, jadi kau itu mantannya Kuu, ya? Aku mendengar tentangmu setiap malam dari 'sisi ranjangnya'."

"…Sora. Bisakah kau berhenti?"

Petunjuk semacam itu terlalu menghancurkan untuk seorang perjaka sepertiku.

Aku menyadari bahwa aku tak bisa lagi tetap tenang dan berbicara seperti manusia normal.

"Maaf… Izinkan aku membicarakannya lagi lain waktu…"

Dengan sangat menyedihkan, aku melarikan diri, kembali pulang.

Dalam kamar yang gelap gulita, aku jatuh terlentang ke tempat tidur.

Tumpukan buku yang kususun terjatuh, menghantam wajahku.

Namun, aku tak merasakan sakit apapun, dan aku juga tidak punya energi untuk menyingkirkannya.

Meski aku seharusnya merasa sedih, air mata tidak keluar. Sebagai gantinya, tawa aneh justru muncul dari dalam diriku.

Aku benar-benar hancur. Tapi… rasanya sangat nostalgia, perasaan ini.

"Ah, benar saja… Saat diputuskan Kuu, perasaan ini juga muncul…"

"Seberapa masokisnya Anda? Bahkan saya merasa sangat terganggu."

"…Setiap saat, bagaimana kau bisa tahu di mana aku berada atau tiba-tiba muncul seperti ini?"

"Cincin itu. Selama Anda memakainya, saya bisa melompat ke mana saja Anda berada dan berbagi pandangan."

Begitu, jadi benda ini sebenarnya semacam 'belenggu' bagiku.

Aku mengerti kebenaran yang baru saja terungkap, dan menyingkirkan buku yang menutupi wajahku.

Di sebelahku, Bell sedang berbaring, wajahnya sangat dekat.

"…Apa yang kau lakukan di sini?"

"Saya datang untuk menertawakan seseorang yang berusaha mendekati mantannya, tapi berakhir ditolak."

"Kau punya kepribadian yang terlalu baik."

"Mantan yang membuat kekasih baru saat menghilang, lalu malah dengan santai memamerkannya, itu benar-benar gila."

"Hentikan. Jangan menyusun fakta-fakta itu secara langsung."

"Anda sudah dikhianati. Padahal Yakou-sama menolak saya, tapi orang yang Anda harapkan sendiri tidur dengan tunangannya setiap malam, kan?"

"Berhentilah!!! Kau ingin membuatku mati!?"

Suara pukulan terdengar di dalam otakku.

Tersenyum tipis, Bell yang tampak puas. Dia menaiki tubuhku yang terkulai lemas.

"…Kasihan."

Dengan memegang kedua pergelangan tanganku,

"Saya akan menghibur Anda."

Dia memberikan ciuman padaku.

Seluruh tubuhku terasa panas, dan cahaya seperti aura biru perlahan muncul dari tubuhku.

Perasaan ini, ini pasti… sihir cahaya yang memberikan cinta, kan?

"…Hah. Luar biasa. Saya sudah memasukkan banyak sekali, tapi sama sekali tidak ada efeknya…"

Bell membuka bajuku, menyentuh area di dekat jantungku.

"…Pasti sulit, kan... Sekarang, saya akan membuat Anda melupakan semua itu…"

"…T-tunggu, berhenti!"

Aku menarik dan mendorong bahu Bell yang masih mencoba menciumku.

"H-hei, kau sadar tidak apa yang sedang kau lakukan!?"

"Saya ini perempuan yang sangat mudah dimanfaatkan…"

"Kalau kau sadar, ya hentikan! Ini semua memang pantas aku terima!"

Menghibur laki-laki yang mengabaikan perasaannya, menolak semua peringatannya, dan akhirnya malah terluka karena ulahnya sendiri?

Aku sama sekali tidak mengerti!

"Putuskan hubunganmu, dengan laki-laki busuk sepertiku!"

"…Lalu, waktu saya mengatakan hal yang sama, apa Yakou-sama mau mendengarkan?"

Boomerang besar menghantam telak, membuatku tak bisa berkata apa-apa. Belle memanfaatkan celah itu dan kembali memberikan ciuman penuh sihir.

Tubuhku kembali memanas. Aku bisa merasakan secara fisik cinta yang disampaikan padaku, tapi perasaan 'serba bisa' yang pernah mengisi hatiku dulu, kali ini tidak muncul sama sekali.

Itu bukan hanya aku, tapi juga hati Bell yang pasti telah terluka begitu dalam.

"…Menyebalkan. Saya benci Anda, Yakou-sama."

"Ya...."

"Tapi, lebih dari itu, saya sangat mencintai anda... Menyebalkan."

Aku bisa merasakan perasaannya hingga ingin menangis.

Aku merangkul punggungnya, menyatukan dahiku dengan dahinya.

"Kenapa semua jadi rumit begini…"

"Itu yang Anda katakan, Yakou-sama?"

"...Begitulah."

Kami saling menatap dengan senyum pahit, dan tatapan itu terasa hangat namun menyakitkan. Dalam aliran perasaan itu, kami saling menyembuhkan luka masing-masing dengan berciuman sepanjang malam.

-----Lalu, malam yang panjang pun berakhir.

Kami berdua berdiri berdampingan di balkon kamar, menyambut fajar.

Menatap kota yang perlahan disinari pagi baru, sambil menyeruput kopi dalam cangkir.

Saat napas yang kami hembuskan seirama, Bell menoleh ke arahku.

"Boleh saya bertanya lagi?"

"Tentu. Aku akan mengatakan segalanya."

"Kalau begitu... Yakou-sama, Anda benar-benar berpikir semua ini baik-baik saja?"

"Tentu tidak. Aku selalu ingin mencari cara untuk memperbaikinya."

Pada akhirnya, akar dari masalahku bukanlah soal keperjakaan atau kurangnya kepercayaan diri dalam cinta.

Semuanya karena aku masih belum bisa benar-benar melepaskan perasaanku pada Kuu.

"…Tapi, kali ini aku benar-benar sudah ditolak. Jadi, suatu saat, waktu akan menyembuhkan-----"

"Jangan katakan itu! Pikirkanlah dengan benar."

Belle menggembungkan pipinya.

"Kalau seorang <Heroine> punya masalah serupa, apa Anda akan memberikan jawaban setengah-setengah seperti itu?"

"T-tentu tidak. Aku akan membantunya mencari jawaban yang pasti."

"Benar, kan," ujar Bell dengan senyum puas, lalu menyandarkan bahunya ke arahku.

"Masalah harus dihadapi dan diselesaikan dengan benar. Itulah cara yang selalu Anda gunakan, Yakou-sama."

"…Bell."

"Saya punya sebuah rencana. Memang tidak mungkin menyelesaikan semuanya dengan cepat dan bersih, tapi saya yakin kita bisa membuat keputusan."

Bell tersenyum licik.

Dia terlihat seperti penyihir jahat dalam cerita dongeng, dengan ekspresi yang benar-benar kejam.

"-----Bagaimana kalau kita balas dendam saja? …Mari buat perempuan itu menyesal, setidaknya sekali."


🔸◆🔸


Prajurit menghormati kecepatan ilahi-----

Ini adalah kata-kata yang disebutkan dalam kisah Tiga Kerajaan, dan rencana Bell pun mengikuti prinsip tersebut.

Pada siang hari, sesuai instruksi, aku memanggil Kuu ke depan Stasiun Pusat Kota.

"-----Yakou. …Selamat pagi."

"Oh, Kuu. Selamat pagi… meskipun ini bukan waktu pagi lagi."

Seperti biasa, suasana di depan stasiun pada hari libur dipenuhi oleh kerumunan orang. Namun, di tengah keramaian itu, kecantikan Kuu tetap mencolok, begitu luar biasa hingga menarik perhatian.

Aura yang ia miliki benar-benar berbeda seperti biasanya… Apa aku salah lihat, ataukah dia benar-benar seperti memancarkan cahaya suci?

"Hari ini kau sangat modis. Aku benar-benar terkejut melihat betapa cantiknya dirimu."

"----------"

Kuu tiba-tiba terdiam, seolah menerima serangan.

"Kenapa? Apa aku bilang sesuatu yang aneh?"

"Tidak… Hanya saja… tiba-tiba Yakou memujiku cantik seperti itu…"

Kuu tersenyum, sedikit canggung.

"Seingatku, dulu aku tak pernah mendengar hal seperti itu."

"Du-dulu ya dulu. Maafkan aku, oke?"

Memang benar apa yang dikatakan Kuu. Sampai sekarang, aku bahkan masih sulit mengatakan seorang gadis itu cantik atau manis tanpa merasa malu sedikitpun.

"-----Kau cantik, Kuu."

Tapi, entah kenapa hari ini aku bisa mengatakannya dengan mudah.

Mungkin karena sepanjang malam, aku mendapat kekuatan magis berupa cahaya di hatiku.

"…Terima kasih. Tapi, Yakou yang seperti itu… terasa, yah, sangat berbeda, kan?"

"Berbeda? Maksudmu soal pakaian, atau soal hati dan tubuhku?"

"Keduanya. Bukankah tadi malam... kau terlihat tidak enak badan?"

Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Padahal kau sendiri yang menusukku. Yah, mengajaknya pergi sehari setelah kejadian seperti itu juga membuatku cukup gila, sih.

"Kesehatanku baik-baik saja. Aku sudah benar-benar pulih."

Saat ini, aku dalam mode tak terkalahkan karena sudah membius hatiku dengan keberanian palsu. Meski lukanya terlalu dalam untuk membuatku jadi penuh semangat, setidaknya cukup untuk melewati hari ini.

"Dan soal pakaian, Bell memintaku untuk tampil apa adanya."

"…Bell?"

Alis Kuu berkerut. Kenapa… ah, aku paham sekarang.

"Belka Albertine, yang akan aku kenalkan hari ini. Biasanya aku memanggilnya begitu."

"…Hmmm. Tapi bukankah kita bisa menyelesaikan semuanya hanya dengan bicara empat mata?"

"Memang benar. Tapi, bukankah kau juga tiba-tiba membawa tunanganmu waktu itu? Bell ingin sekali bertemu langsung denganmu."

"…Hahaha. Baiklah. Jadi, Belka-san itu tidak bersama kita sekarang?"

"Ah, ya. Pagi ini dia menyuruhku pergi duluan."

Entah kenapa dia menyuruhku begitu.

Aku benar-benar tidak tahu apa yang direncanakan Bell hari ini.

Apa yang sebenarnya dia pikirkan-----?

"-----Yakou-san, Yakou-san, Yakou-saaa---n!"

"Hah…!?

-----Suara ini. Kenapa!?"

Ketika aku menoleh ke arah suara langkah kaki yang berlari dengan cepat, "Sudah lama tak bertemu, Yakou-saaa---n!"

"Whoaah!?"

Kasumi yang melompat seperti anjing Doberman tidak bisa kutahan. Aku terjatuh ke tanah, terhimpit olehnya.

Masih dalam posisi duduk di atas tubuhku, Kasumi tersenyum sambil berkata "Aduh, aduh," meskipun dia jelas tidak terlihat kesakitan.

"Ya ampun. Tolong tangkap aku dengan benar dong. Bukankah kamu ini cinta sejati kesayanganku!?"

"Jangan mengatakan hal yang bisa disalahpahami! Bukankah kita hanya bertemu sekali!?"

"Aduh, jadi kamu akan mengatakan itu juga? Padahal aku datang mendadak demi kamu, tapi sikap dinginmu ini membuatku sedih, lho!"

Dingin apanya? Aku bahkan tidak tahu kenapa dia ada di sini…!?

"Kalian berdua. Berhubungan baik itu bagus, tapi ini tempat umum, tahu."

Saat aku masih terpana dengan Kasumi yang berada diatas tubuhku, Kuu datang untuk memisahkan.

Dia menarik tangan Kasumi agar berdiri dan memisahkannya dariku.

"Kamu… sepertinya bukan Belka-san, ya?"

Kasumi memasang senyum seperti sedang bersiap melempar bola di gundukan lapangan, lalu mengulurkan tangan kirinya untuk berjabat tangan dengan Kuu.

"Aku Fujikawa Kasumi, orang yang memiliki hubungan spesial dengan Yakou-san. Senang bertemu denganmu, Kuu-san!"

"…Hmph. Begitu ya. Senang bertemu denganmu juga."

Genggaman tangan mereka terdengar seperti "gassh!" yang kokoh.

Hah? Apa-apaan ini… Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Saat aku masih kebingungan, serangan berikutnya datang.

"-----A-aku juga ada di sini… Yakou-shi…!"

-----Pe-pegangannya yang lembut pada ujung bajuku, ditambah suara manis seperti permen gula ini…!?

"Riri?"

"Uh, uhhehe… aku datang…"

Ketika aku menoleh, Riri berdiri sambil bersembunyi di balik bayanganku.

"Sudah lama ya. Belakangan ini kamu tidak memedulikanku, Yakou-shi…?"

"Ti-tidak, itu karena aku sibuk… Tapi tunggu. Kenapa kamu ada di sini, Riri!?"

Dengan wajah cemberut, Riri tak menjawab. Dia melangkah maju ke hadapan Kuu.

"Ku-Kuu-senpai… kan?"

"…Hmph. Ya, benar. Dan kamu?"

"Aku Hoshimachi… Riri."

Riri mengambil pose bertarung yang terlihat sangat berani.

"A-aku dengan… Yakou-shi… punya hubungan rahasia…!"

"Yakou...?"

Kuu menoleh ke arahku dengan senyum menakutkan, namun penuh tekanan.

"Dari tadi, ini semua maksudnya apa?"

"Ak-aku juga kurang tahu apa yang sedang terjadi!?"

"-----Saya yang mengumpulkan mereka. Karena saya ingin kita semua bersenang-senang bersama."

Sosok pelaku akhirnya muncul dari tengah kerumunan.

Kasumi, Riri, bahkan Kuu, semuanya terdiam melihat Bell yang muncul dengan pakaian cantiknya.

…Ah, benar juga.

Karena aku bersamanya setiap hari, aku jadi terbiasa dan lupa.

Tapi pada hari itu, aku telah membuat kontrak dengan penyihir yang kecantikannya tidak tertandingi di dunia ini-----

"Jadi, kau Rokujo Lieslet Kuu?"

"Dan kau pasti Belka Albertine, bukan?"

Keduanya bertukar kata untuk pertama kalinya.

Seharusnya hanya percakapan biasa, tetapi suasananya terasa seperti pertarungan intens antara para ahli-----

"Jadi, siapa kau bagi Yakou?"

Kuu langsung menyerang dengan satu pertanyaan tajam!

"Aku-----"

Bell membalas dengan satu serangan balik!

"-----Aku tunangannya Yakou-sama, lho?"

Yang mati disini seharusnya adalah aku.


🔸◆🔸


"Terlalu banyak yang tidak kumengerti! Apa yang sebenarnya sedang terjadi!?

Bell maupun Kuu, apa mereka akan mati kalau tidak memperumit hidupku!? Apa mereka pikir aku ini mainan bisa mereka kendalikan seenaknya!?

Saat mataku berputar-putar, Bell yang duduk di kursi belakang mobil tertawa.

"Tenanglah, Yakou-sama. Akan saya jelaskan baik-baik."

"Benarkah!? Tapi kenapa aku malah disuruh naik limusin sekarang!?

"Saya ingin memberitahu rencana ini berdua saja. Ini, minuman selamat datang."

Bell memberiku segelas anggur yang berisi jus anggur. Limusin orang kaya mana yang digunakan seperti ini.

Ngomong-ngomong, tiga orang lainnya sedang menuju tempat tujuan yang sama dengan menggunakan limusin yang disewa Bell.

"Pertama, Anda harus paham dengan pengaturan kali ini. Saya adalah satu-satunya putri dari keluarga besar Albertine, keluarga kaya dari luar negeri."

"Eh, kenapa langsung asal lompat begitu saja!?"

"Ketika masih kecil, karena keadaan keluarga, saya pernah datang ke Jepang, dan saat itulah saya bertemu dengan Yakou-sama dan berjanji untuk menikah. Cincin tunangan itu saya dapatkan saat festival, sebagai simbol janji. Saya melanjutkan belajar dengan keras, baik itu pendidikan ketat dari keluarga maupun belajar bahasa Jepang, dan musim semi ini, saya datang untuk menepati janji itu ke rumah Yakou-sama... Begitu ceritanya. Oke?"

"Oo... oke."

Jadi intinya dia adalah anak gadis yang bertunangan denganku sejak kecil? Ini terasa sangat klasik sekali.

"Baiklah, aku mengerti itu, tapi kenapa kita harus menggunakan pengaturan seperti ini?"

“Menurut saya, ini cara terbaik untuk memberikan serangan terbesar pada perempuan itu,” Bell tertawa jahat dengan suara serak.

“Bagaimana kalau kita tunjukkan padanya bahwa Anda bukan satu-satunya yang melupakan mantan dan membuat kekasih baru?”

“…Be-Bell?”

“Setelah selesai dengan pengaturannya, sekarang saatnya mengumumkan rencana jenius kita.”

Bell meletakkan kedua tangannya di pinggulnya dan menghela napas penuh semangat.

“Kita beri nama: ‘Mantan pacar yang kau buang ternyata menjadi jauh lebih menawan dari tunanganmu yang sekarang, dia bahkan disukai banyak gadis-gadis jenius nan cantik---terlebih lagi, kalau kau ingin balikan, sudah terlambat’.”

“……Hah?”

“‘Mantan pacar yang kau buang ternyata menjadi jauh lebih menawan dari tunanganmu yang sekarang, dia bahkan disukai banyak gadis-gadis jenius nan cantik---terlebih lagi, kalau kau ingin balikan, sudah terlambat’.”

Tidak perlu diulang dua kali! Pesannya sudah jelas bahkan terlalu jelas.

“Jadi, intinya kita membuat Kuu menyesal karena meninggalkanku, begitu?”

“Tepat. Dan juga, kita tunjukkan padanya bahwa ‘Yakou-sama tidak menganggapnya istimewa lagi.’ Jadi, hari ini, Yakou-sama harus memasang wajah seperti ‘aku sudah melupakanmu,’ oke?”

Kalau itu sih, kurasa aku sudah bisa melakukannya berkat sihir Bell.

Jangan-jangan, ini semua memang sudah direncanakan olehnya...?

“Fufufu… Kalau muncul tunangan sehebat ini, dia pasti sangat menyesal. Apalagi Yakou-sama masih memakai pakaian yang sama seperti tadi malam, jadi efeknya pasti sudah cukup kuat.”

“Hah? Apa hubungannya memakai pakaian yang sama dengan efek ini?”

“Kelihatannya seperti setelah kita melakukan sesuatu tadi malam, Anda langsung datang ke sini.”

Keterlaluan. Jadi itu taktik tersirat?

Tampaknya, pertarungan ini sudah dimulai tanpa aku sadari…

“Ngomong-ngomong, aku ingin bertanya soal hal yang paling mengganggu pikiranku.”

“Hmm, tentang Kasumi dan Riri, ya?”

Aku mengangguk.

“Memori mereka sebagai <Heroine> memang sudah dihapus, kan? Kalau begitu… apa yang terjadi pada mereka sekarang?”

-----Bukannya mereka sudah tak punya perasaan padaku lagi ya?

Sebelum sempat mengatakan itu dengan nada ragu, Bell memotongku sambil menggelengkan kepala.

“Memang benar, ingatan mereka saat diselamatkan sudah hilang. Tapi cinta mereka tetap ada.”

“Ci... cinta? Maksudnya perasaan suka?”

“Betul. Sebenarnya, ini sesuatu yang tidak mungkin terjadi secara normal, tapi dengan Yakou-sama, itu bisa saja terjadi.”

“Kenapa hanya aku?”

“Karena Yakou-sama benar-benar menyelamatkan mereka, dalam artian yang sesungguhnya.”

Bell tersenyum, campuran antara kerumitan dan kebahagiaan di wajahnya.

Biasanya, penyelamatan seorang <Heroine> selesai ketika dia jatuh cinta pada sang ksatria dan memeluknya. Pada saat itu, cinta yang muncul terhadap ksatria akan terhapus oleh perasaan negatif dari masalah yang dihadapi <Heroine>.

Masalahnya mungkin belum sepenuhnya selesai, tapi mereka bisa hidup dengan berdamai.

Namun, dalam kasusku itu berbeda.

-----Karena aku benar-benar menyelesaikan masalah mereka, perasaan mereka terhadap ksatria tidak bisa terhapus dan tetap ada.

“Jadi, bagaimana kondisi mereka sekarang?”

“Mereka seperti baru saja bertemu, tapi sudah sangat mencintai Yakou-sama. Semacam cinta pada pandangan pertama.”

“...Aku tak bisa mempercayainya sama sekali...”

“Kalau bukan begitu, mereka tidak akan datang ketika dipanggil oleh perempuan yang tidak mereka kenal.”

“Oh, itu dia. Bagaimana caramu memanggil mereka berdua?”

“Gampang. Saya menceritakan semuanya, tentang apa yang terjadi antara Yakou-sama dan perempuan itu.”

Aku hampir pingsan dengan mata berputar.

“Semuanya!?”

“Benar. Termasuk rencana kita kali ini. Dan mereka bilang mereka akan membantu dengan ‘berpura-pura'."

Bell tersenyum nakal.

“Mulai sekarang, mereka akan menggunakan senjata masing-masing atas nama permainan menyenangkan untuk menghancurkan perempuan itu.”

“Eh… kenapa…”

“Itu juga sekaligus menjadi ajang untuk menarik perhatian Yakou-sama, jadi sekali mendayung dua pulau terlampaui.”

Hmm... Memang, aku paling suka perempuan yang bersinar saat melakukan hal yang mereka sukai...

“Melihat Yakou-sama disukai oleh perempuan-peremluan yang jauh lebih hebat darinya, dia pasti akan hancur secara fisik dan mental, kan? Pada akhirnya, saya akan muncul dengan sempurna untuk memberikan pukulan terakhir. Yakou-sama akan jatuh cinta pada saya! Happy ending. Ini rencana yang sempurna.”

Seperti anak kecil yang bangga menunjukkan harta karunnya, Bell tertawa percaya diri.

Melihat itu, aku juga ikut tersenyum merasakan kehangatannya.

“Itu rencana yang luar biasa.”

-----Tapi, itu hanya teori di atas kertas.

Aku berani bertaruh, rencana ini pasti akan gagal.

Alasannya, ada kelemahan fatal dalam inti rencana ini.

Bell tidak menyadari betapa menakutkannya perempuan bernama Rokujou Lieslet Kuu itu. Tak peduli senjata apa yang digunakan siapa pun, perempuan sempurna itu tidak akan pernah terluka, bahkan segores pun.

Aku tahu itu lebih dari siapa pun.

“Tapi, mari kita lakukan! Rencana ini!”

Aku menjawab tanpa ragu. Karena aku tidak bisa menahan rasa bahagia melihat niat tulus Bell.

“Itu baru Yakou-sama. ...Nah, ini untuk Anda.”

Bell menyerahkan sarung tangan dan bola baseball padaku.

Ah, aku mengerti. Kalau ini yang dia berikan, berarti lawan pertama adalah Kasumi.

“Hmph... Lihat saja, Rokujou Lieslet Kuu. Akan kubuat kau tak bisa tertawa dengan senyum mengejek itu lagi!”

“...Baiklah, mari mulai permainannya.”

Aku yakin, ini pasti akan jadi pertandingan yang kacau.


🔸◆🔸


*Crack!* 

*Crack!* 

*CRACK!* 

Di bawah langit biru tanpa awan, bola putih meluncur membentuk lintasan parabola yang indah.

Bagaimana caranya tubuh sekurus itu bisa memukul bola seolah itu cuman bola pingpong hingga menjadi home run, aku sama sekali tidak mengerti, tapi kalau itu Kuu, yah, aku hanya bisa menerima kenyataan bahwa dia memang sudah pasti bisa melakukannya.

Bahkan ketika bermain baseball, Kuu tetaplah sempurna.

"Lihat, Yakou. Barusan itu mungkin terbang sejauh 150 meter, kan?"

"Kau sudah tidak punya apapun lagi untuk dilakukan di Jepang... Pergilah ke liga utama."

"Fufufu~ Jangan bilang begitu. Jepang, tempat Yakou berada, adalah yang terbaik bagiku."

...Jangan, jangan terpancing. Ini cuman taktik godaan khas Kuu.

Tugasku hari ini adalah tidak bereaksi berlebihan. 

"Ya, ya," aku mengangguk asal, mencoba mengabaikannya.

"Bell, aku minta time-out sebentar. Aku ingin bicara dengan pitcher."

"…Saya… menerimanya."

Bell, yang mengenakan masker wasit, tampak pucat. Yah, tentu saja, ini pasti terlihat sangat horor baginya.

Karena Kuu dengan mudahnya memukul bola demi bola yang luar biasa… Selain itu, pitcher-nya adalah Kasumi!

"Heeey, kau baik-baik saja!?"

Aku melepas masker catcher-ku dan berlari ke mound pitcher.

Kasumi, sambil terus memandang bola yang menghilang di kejauhan, membelakangiku dan mulai berbicara.

"Yakou-saaan… Apa Kuu-san pernah bermain baseball sebelumnya?"

"Tidak, kurasa dia hampir tak punya pengalaman. Mungkin dia sedikit mencobanya saat masa-masa mengacaukan klub."

"Mengacaukan klub?"

"Dulu, waktu dia pindah sekolah, dia bilang, 'Kalau tak coba sendiri, kita takkan tahu betapa serunya itu,' lalu masuk ke semua klub yang ada. Dia mengalahkan semua ace dari masing-masing klub, termasuk para laki-laki, dengan perbedaan kemampuan lebih dari lima kali lipat, lalu berkata, 'Satu hari sudah cukup,' dan keluar dari semuanya."

"…Apa dia bahkan manusia?"

"Disebut penyihir pun aku tidak akan kaget. Dengan kemampuan fisik seperti itu, ditambah lagi dia jauh lebih pintar dariku."

Sambil menatap langit biru yang jauh, aku menghela napas.

"Rasanya aku benar-benar hancur saat itu."

"Yakou-san…"

"Aku dulu berpikir bahwa aku ini 'jenius yang tak tertandingi' dan terbuai dalam perasaan itu. Tapi ternyata, dunia ini jauh lebih luas."

Aku dulu merasa malu dengan masa laluku yang seperti itu. Tapi sekarang, tidak lagi.

"…Karena aku pernah melalui masa itu, kurasa sekarang ada orang yang bisa lebih dekat denganku. Jadi, mungkin itu tidak terlalu buruk."

"Benar sekali!"

Kasumi tersenyum cerah, wajahnya berseri-seri.

"Yakou-san, menurutku, kamu itu selalu baik dan keren!"

Pujian yang begitu langsung membuat dadaku terasa sesak.

Sial, anak ini benar-benar blak-blakan…! Aku tak bisa menahan diri untuk tidak menyembunyikan rasa maluku.

"Ka-kau tidak seharusnya bicara seperti itu. Kau kena home run. Apa kau meremehkannya dan bermain setengah hati?"

"Tentu saja tidak! Prinsipku adalah selalu memberikan lemparan lurus dengan kekuatan penuh."

"Kalau begitu, kena pukul itu hanya karena kurangnya kemampuanmu. Kau masih belum cukup terlatih, Kasumi."

Mendengar provokasiku, Kasumi-----

"-----Benar sekali! Aku masih kurang banyak latihan!"

Tersenyum tanpa gentar sedikit pun.

Wajah tanpa ekspresi dari ace yang tak terkalahkan itu sudah tidak akan tergoyahkan oleh apa pun.

"Jujur, aku sangat kesal, tapi seorang jenius tidak akan hancur hanya karena ini. Aku… tidak akan menyerah."

Kasumi melepaskan sarung tangannya, menjepitnya di ketiak, lalu menggenggam tanganku erat-erat.

"Itu sebabnya, Yakou-san, aku rasa tidak seharusnya kamu terus-terusan terpuruk hanya karena satu kali patah hati!"

"…Benar juga. Aku juga harus terus maju."

"Betul sekali! Yakou-san, di saat seperti ini, gunakan strategi relief pitching."

"Strategi relief pitching?"

"Ketika kamu terkena pukulan telak, lebih baik langsung mengganti pitcher berikutnya. Dalam situasi seperti ini, kamu harus segera 'berpasangan dengan pemain (perempuan)' yang menjanjikan! Misalnya!"

"…Misalnya?"

Saat aku bertanya kembali, Kasumi tiba-tiba melepaskan tangannya. Wajahnya memerah.

Dia menunduk, memainkan ujung sepatunya dengan ragu, lalu bergumam, "…M-misalnya… teman sekelas yang dekat… itu mungkin… bisa jadi pilihan…"

Suaranya kecil sekali. Apa ada yang tidak sengaja menginjak tombol volume?

"A-aah, tunangan atau adik kelas dari klub pasti akan membuatmu repot, jadi kurasa, umn... teman sekelas yang seumuran dan santai akan lebih baik… Juga, kupikir Yakou-san mungkin sebenarnya cocok dengan tipe atlet yang benar-benar berbeda denganmu…"

Dia terus menggumam pelan-pelan. Aku hanya bisa tertawa.

Padahal dia bilang prinsipnya adalah selalu bertarung secara langsung, tapi dalam urusan cinta dia ternyata sangat pemalu.

"Apa yang kamu tertawakan, Yakou-san!"

"Tidak, aku cuma berpikir kau lucu."

"Lu-lucu!?"

Hahaha, aku bisa mengatakannya hari ini. Aku akan terus berada di posisi yang menggoda ini!

"Teman sekelas, ya. Ide yang bagus, tapi Kuu juga seumuran meskipun lahir awal tahun."

"Y-ya, mungkin memang begitu, tapi aku yakin orang yang kusarankan pasti tidak akan pernah berpaling ke laki-laki lain selain Yakou-san!"

"Tapi, perempuan itu sepertinya sangat keras kepala dan mungkin bakal memperlakukan pacarnya seperti anjing, kan…?"

"---M-mana mungkin!"

Kasumi langsung berteriak.

"Tapi, kalau cuman berdua... m-mungkin..."

"…Hah?"

Kasumi buru-buru menutup mulut dengan kedua tangan.

"B-bukan!? Aku hanya bicara soal teman! Ini cerita soal teman, oke!? Aku sama sekali bukan orang mesum seperti itu!"

Aduh, betapa klisenya cara mengelak ini. Bahkan susunan bahasanya jadi berantakan.

Heh… Jadi sebenarnya Kasumi memang seperti itu, ya… Menarik.

"Yah, tak masalah, bukan? Kalau kau memang sedikit mesum? Ma-malah aku mungkin bersyukur kalau-----"

*Swoosh*

"Gwaaahhhhh----------! Sakittttttt!"

Tiba-tiba, bola dengan kecepatan 185 km/jam terbang dari arah kotak pemukul, langsung menghantam wajahku yang sedang menyeringai dengan ekspresi aneh. Rasanya seperti mau mati.

Tapi, dengan situasi seperti ini… Jangan-jangan ini ulah Kuu yang cemburu?!

"-----Yakou-sama, sampai kapan Anda mau bermesraan di sana!? Cepat kembali ke sini!"

Jadi kau yang melakukannya, Bell.

Yang benar saja, si Kuu yang jadi sumber masalah malah tidak terluka sama sekali, sementara kau yang paling menderita. Apa-apaan ini.

"Cukup! Kalau sudah begini, aku sendiri yang akan lempar bolanya! Hadapi aku, Rokujo Lieslet Kuu!"

"Fufufu. Kalau begitu, aku juga tidak akan menahan diri."

Setelah itu, Bell mulai melempar bola sihir untuk mencoba mengalahkan Kuu. Namun, berapa pun banyaknya trik yang dia gunakan, Kuu memotong semua lemparan itu dengan sempurna. Pada lemparan kesepuluh, Kuu tersenyum dan berkata, "Fufu. Aku sudah paham kira-kira caranya," dan sejak saat itu permainan berubah menjadi dominasi sepihak.

Kuu terus menghasilkan home run seolah-olah bola itu terbang sampai ke luar angkasa.

"Pada akhirnya, tidak peduli bola apa yang dilempar, itu pasti melewati depan tubuhku. Kalau aku membaca pola pikirnya, tidak ada bola yang tidak bisa kupukul."

"Geh…! Kalau begitu, mari buat bola ini seberat satu ton…!"

Bisakah kalian berhenti memainkan game yang berbeda dari yang seharusnya?

"Yako-shi… Kapan baseball ini selesai…?"

Sementara itu, Riri terus saja duduk di bangku cadangan, bermain game di ponselnya sambil berlindung di bawah bayangan. Dia juga, kenapa malah memainkan yang lain?

"Tenang saja, ini akan segera selesai. …Setelah ini ke game center, kan?"

"Benar…! Di medan perangku, aku akan menghancurkan Kuu-shi…!"

Makhluk luar angkasa lemah ini dengan penuh semangat mengepalkan tinjunya.

"Kalau ada orang yang lebih kuat dariku, aku ingin bertemu dengannya!"


🔸◆🔸


-----Uwaahh-----!? ──

【 K.O. 】

【 YOU LOSE! 】

"Uuuh...! Sialan, manusia bumi...!"

Riri yang duduk di kursi mesin arcade terlihat hampir menangis karena frustrasi.

Namun, aku yang duduk di sebelahnya untuk menonton tidak merasa sedih. Sebaliknya, aku terkesan dengan permainannya.

"Wow, itu luar biasa, Riri. Melawan Kuu dan bisa merebut satu ronde di awal, kamu memang hebat!"

"Eh... Ehehehe. Benarkah...?"

"Iya. Memang dari pertengahan permainan jadi sedikit satu sisi, tapi kalau terus mencoba, mungkin kamu bisa menang satu kali dari beberapa pertandingan!"

"U-um...!"

Dengan sedikit harapan, aku dan Riri memutuskan untuk memasukkan koin lagi untuk melanjutkan permainan.

Namun, tiba-tiba Kuu menghampiri kami ke sisi mesin arcade kami.

"Maaf. Riri-chan, Yakou. Bisakah kalian menunggu sebentar sebelum kita bermain lagi?"

"......?"

"Oh, ada apa?"

"Yah, sepertinya tombol Medium Kick di mesin ini rusak. Aku tidak bisa menggunakan mid kick, yang sangat penting."

Kenapa dia selalu memberi harapan dulu, lalu merampasnya dengan kejam?

"Fufu, aku akan menghubungi pegawai toko sebentar. Nanti kita main lagi dalam kondisi yang adil."

Kuu melambaikan tangannya dengan santai lalu pergi.

Aku dan Riri saling berpandangan dengan ekspresi seperti baru melihat keajaiban.

"Yakou-shi, apakah Kuu-shi itu seorang pro gamer...?"

"Tidak, bahkan dia tak punya konsol game di rumah. Dia cuman bermain sewaktu datang ke sini saja."

"Di-dalam game fighting, itu... tidak mungkin, kan...?"

"Tapi kenyataannya, dia memegang rekor 124 kemenangan beruntun di game center ini. Itu pun bukan karena kalah, tapi karena peraturan melarang anak SMP tetap berada di sini, jadi dia harus berhenti karena waktunya habis. Aku juga ada di sana waktu itu."

Aku tertawa kecil mengenang kejadian itu.

"Karena dia, aku jadi terkenal secara negatif dan tidak bisa bolos ke sini lagi."

"......Itu artinya...?"

"Ya. Waktu itu aku hampir tidak pernah pergi ke sekolah. Tapi dia bilang, 'Lebih seru bersamaku daripada di sini,' lalu memaksaku keluar dari zona nyaman. Setelah itu, aku mulai pergi ke sekolah setiap hari. Dan memang menyenangkan. Aku bisa bertemu dengan orang yang kusukai."

Itu adalah salah satu kenangan memalukan bagiku.

Tapi karena hal itu, aku bisa berubah, dan itulah sebabnya aku bisa mengulurkan tangan untuk membantu orang-orang.

"Hei, Riri. Apa sekolah rasanya menyenangkan?"

"Ya! Sangat menyenangkan!"

Begitu, ya. Mendengar itu saja, aku sudah puas.

"......Jadi, Yakou-san, kamu juga harus datang ke sekolah. Hanya karena ditolak, bukan berarti boleh bolos, oke?"

"Ugh... iya, aku tahu."

"Kalau kamu merasa kesulitan, aku siap mendengarkan. Apa pun yang ingin kamu ceritakan..."

Riri memperpendek jarak di antara kami dan menumpangkan tangannya di atas tanganku.

"K-kalau itu aku... aku tidak akan membuat Yakou-san merasa seperti itu...."

"!?..."

Aku terkejut dengan Riri yang tiba-tiba menjadi lebih agresif dibandingkan dengan biasanya yang lebih pasif.

Apa-apaan ini? Aku tidak ingat sudah membesarkan Riri sampai sejauh ini!

Tapi memang, setelah dia memutuskan sesuatu, dia bisa jadi tak terkalahkan, kan!?

"Mungkin membicarakannya seperti itu dengan Riri masih terlalu dini..."

"Mmm... kenapa?"

"Ya, karena ada beberapa hal sensitif yang terlibat..."

Aku mencoba mengalihkan topik dengan malu-malu.

"Eh... apa itu tidak bisa dilakukan... Maksudnya topik yang berhubungan dengan hal-hal dewasa?"

"Riri!?"

Dengan serangan mendadak, aku terkejut dan hampir berdiri.

"Bodoh! Jangan katakan hal seperti itu!!"

"...? Jadi itu semacam kata-kata dewasa...? Banyak komentar seperti itu yang datang, kan...?"

"Orang-orang itu yang salah! Pokoknya, untuk Riri, itu terlalu cepat!"

Aku panik, tapi Riri mulai merajuk.

"Yakou-san selalu memperlakukan aku seperti anak-anak. Padahal, aku ini gadis SMA!"

"Aku tahu, tapi..."

"Tapi kamu tidak tahu apa-apa! Aku lebih dewasa dari yang kamu bayangkan, tahu!"

Riri semakin memerah, tetapi tidak berhenti.

"Kalau kamu janji untuk menjaga rahasia, aku akan memberitahumu, Yakou-san..."

"A-apa?!"

"...Rahasia dewasa yang tidak bisa aku katakan selama siaran..."

-----Apa yang sedang dia bicarakan!? Itu akan merugikan penggemar, dan aku tidak bisa mendengarnya!

"To-long, kumohon!"

"-----Mati sana, lolicon!"

Aku yang sudah kehilangan kendali tiba-tiba dihentikan dengan tendangan lutut yang keras dari Bell yang datang dari belakang.

Waktu seolah berhenti begitu kuatnya.

"Padahal ini sesuai rencana...!"

"Diam! Yakou-sama selalu menunjukkan kelembutannya pada perempuan lain!"

"Apa yang kalian berdua ributkan? Di sini sudah selesai penyesuaiannya."

Begitu Kuu kembali, Bell melemparkan aku begitu saja.

"Aku sudah menunggu. Kali ini, aku sendiri yang akan menghajarmu," menantang Kuu dengan penuh semangat.

"Hehehe, kau ingin bermain dengan aku lagi? Lucu sekali, Bell."

"Diam! Jangan seenaknya panggil aku 'Bell' seperti itu!!!"

Hmm... Melihat pertarungan ini, sepertinya sudah jelas siapa yang akan menang.

Meskipun menggunakan sihir dan curang, dalam game fighting, yang lebih tenanglah yang akan menang jika mereka berada di level yang sama.

"Yakou-saan, boleh aku menghentikan Bell-chan?"

"Aku justru ingin melihat Bell-shi dipukul sampai paham...!"

"Aku juga setuju dengan Riri. Biarkan saja mereka melakukan apapun yang mereka mau."

Setelah itu, Bell benar-benar dihajar habis-habisan, sampai dia memukul-mukul meja dan melempar asbak.

"Kiiiiaaaaaaaaa-----!!! Sialaan, ini menyebalkan----"

"Hehehe. Kalau terus memasukkan koinnya, kau bisa habiskan semua harta keluargamu, lho~ Bell-chan."

Hmm... Sepertinya mereka bisa jadi teman baik, ataukah hanya aku yang berpikiran begitu?

Sambil tersenyum kecut, aku melirik jam tangan.

Ternyata sudah hampir waktu makan malam. Cepat sekali waktu berlalu.

...Nah, sepertinya Bell sudah mulai sadar dan akan menyadari kesalahan dasar dari rencana ini.


🔸◆🔸


Dari game center, kami berlima langsung masuk ke restoran keluarga untuk makan malam. Ini adalah acara terakhir hari ini.

"-----Yakou-san, boleh aku mengisi ulang minumannya? Kopi, apakah oke?"

"Ah, terima kasih."

"Hehe, karena aku ini perempuan yang perhatian!"

"Eh, Riri, kamu baru baca artikel tentang cara menunjukkan daya tarik perempuan hari ini?"

"~~~!! W-kenapa kamu bilang begitu...!?"

"Entahlah, tingkah lakumu terasa seperti itu-----mugghh!"

Bell menyodorkan pizza Margherita ke mulutku.

"-----Ini, ahn♪"

Itu pasti harusnya dikatakan sebelum memasukkan makanan ke dalam mulut! Bell melilitkan tubuhnya pada lenganku. Dia melakukan itu dengan gaya seolah ingin mengatakan, 'Lihatlah, Yakou-sama tidak menolak. Kita berdua sangat mesra, kan?' dia berusaha menarik perhatian Kuu.

Namun Kuu, yang seharusnya merasa cemburu, justru hanya tersenyum.

"Tanpa kusadari, kau sudah jadi sangat populer, Yakou."

"…Kenapa? Tidak suka?"

"Tidak! Ini malah membuktikan ketajaman penilaianku."

Kuu mengaduk gelas berisi es batu dengan sedotan.

"-----Aku merasa sangat lega. …Ternyata, selama aku tidak ada, Yakou tetap baik-baik saja."

Melihat senyumnya, Bell terkejut. Dia terdiam sejenak.

…Ternyata, akhirnya Bell menyadari semuanya.

Pada dasarnya, rencana Bell ini disusun dengan asumsi bahwa 'Kuu masih memiliki perasaan terhadapku'.

Logikanya, jika aku bersikap seperti tidak peduli dan bermesraan dengan perempuan lain, itu akan menyakitinya, kan? Tapi kenyataannya, ini tidak berlaku.

Kuu sudah punya pasangan yang serius. Jadi, meskipun aku bermesraan dengan perempuan lain, dia tidak akan terluka. Malah, sebaliknya.

Misalnya, jika karena suatu alasan, aku membuang anjing peliharaanku dan pergi ke luar negeri. Beberapa tahun kemudian, aku kembali ke Jepang dan mendengar bahwa anjing itu mati kelaparan, pasti rasanya sangat buruk. Karena seolah-olah aku yang membunuhnya.

Tapi, bagaimana jika anjing itu ditemukan oleh pemilik yang lebih kaya dan sekarang hidup bahagia? Meski rasa bersalah masih ada, kurasa aku akan merasa sedikit terhibur.

Intinya adalah... apa yang dilakukan Bell bukan hanya tidak menyakiti Kuu, malah sebaliknya, itu malah membuatnya merasa lebih baik.

Tiba-tiba, ponsel yang diselipkan di saku dada Kuu bergetar.

Karena sebagian layar terlihat, aku bisa melihat nama orang yang menghubunginya.

Shinomiya Vilheiz Sora-----tunangan Kuu.

"Apa-apaan…!? Padahal aku bilang kalau dia berani menganggu hari ini, aku akan membunuhnya…!"

Hari ini, untuk pertama kalinya, ekspresi Kuu terlihat berubah. Dan ini adalah pertama kalinya aku mendengar dia mengucapkan kata-kata kasar seperti 'membunuh'.

Aku menganggap itu sebagai ungkapan kekesalan karena sudah sangat dekat dengannya. 

Akhirnya, dalam momen ini, aku bisa menerimanya.

-----Ternyata, orang yang Kureha cintai bukan lagi diriku.

Dia mencintai seseorang yang berbeda, seseorang yang sama sekali tidak kukenal.

"Ah… Maafkan aku, Yakou, jangan pedulikan aku."

"Tidak, tak masalah. Aku baik-baik saja, keluarlah tak apa."

Aku tersenyum.

"Karena itu dari tunanganmu, kan? Aku sudah tidak peduli lagi."

"…Maafkan aku…"

Kuu berlari keluar dari restoran dengan cepat. Riri dan Kasumi juga pergi ke toilet bersama.

Di meja, hanya aku dan Bell yang tetap duduk dengan kepala tertunduk.

"…Maafkan saya, Yakou-sama... Hari ini, saya sama sekali…"

"Ah, Bell. Kau tahu kan, di manga sering dibilang bahwa balas dendam itu tidak ada artinya?"

Aku tertawa puas.

"Itu pasti bohong. Karena kalau dipikir-pikir, hari ini adalah hari terbaik!"

"…Yakou-sama…"

Aku menggenggam erat tinjuku.

Cincin ksatria di jariku berkilau.

"Terima kasih sampai sejauh ini. Sekarang, semuanya serahkan padaku."


🔸◆🔸


Ketika keluar dari restoran keluarga, suasana di luar sudah sepenuhnya gelap.

Kami tidak langsung berpisah di situ, tetapi berkumpul dulu di depan gerbang stasiun Nishikiyofune, yang merupakan stasiun terdekat.

"Baiklah. Kalau begitu, bagaimana kalau kita berpisah hari ini?"

Ketika aku mengatakan itu, semuanya menjawab setuju dan mengatakan bahwa mereka bersenang-senang.

Ini benar-benar terasa seperti akhir, tetapi perjuanganku yang sebenarnya dimulai dari sini.

"Kasumi dan Riri, bagaimana kalian pulang?"

"Aku akan berjalan sedikit dan naik kereta bawah tanah"

"Aku, naik kereta ekspres…"

Oke, jalur pulang kami tidak akan bertabrakan.

Aku dan Kuu adalah yang terdekat dengan stasiun ini, jadi kami akan pulang berjalan kaki. Semuanya berjalan sesuai rencana.

Sekarang, yang perlu kulakukan adalah mengisi ulang energi mental untuk melaksanakan rencanaku.

"Baiklah, terima kasih semua hari ini! Sampai jumpa lagi!"

"Ah, tunggu sebentar, Kasumi. Boleh bicara sedikit?"

Ketika aku menghentikannya, Kasumi menoleh bingung, memiringkan kepalanya. Dia terlihat sama sekali tidak bisa menebak apa yang akan terjadi. Jujur saja, itu bukanlah sesuatu yang biasanya kulakukan.

...Jantungku berdebar kencang. Tapi, aku akan melakukannya!

"-----Terima kasih sudah datang hari ini. Sampai jumpa lagi."

Aku memeluk erat Kasumi.

"~!? A-Aiya…"

Pada awalnya, dia kaget dan membalas pelukanku dengan hati-hati.

Namun, mungkin mulai terbiasa, Kasumi memerah hingga ke telinga dan memelukku kuat-kuat.

"...Ehehe. Meskipun kamu bilang tidak, aku tetap akan datang menemuimu!"

Rasanya seperti memeluk bola api.

Ketika aku memeluk gadis ini, aku selalu mendapatkan energi yang membara.

"Jadi, sampai jumpa lagi?"

"Ya! Hati-hati di jalan, Yakou-saaan!"

Kasumi berlari pulang. Oke, sekarang giliran yang berikutnya.

"Riri."

"-----!?"

Riri terkejut, melompat mundur.

Hmm, apa aku terlalu berlebihan? Tidak, kalau aku mundur sekarang malah akan lebih memalukan.

Aku membuka kedua tanganku, menunggu Riri.

"Ayo sini."

"……………! (mengangguk pelan)."

Riri melompat kecil dan langsung terjun ke pelukanku.

Dengan tubuh kecilnya, Riri terasa pas dalam pelukanku.

"Terima kasih hari ini. Kalau ada tugas, bawa ke ruang klub ya. Kalau aku bisa bantu, akan aku lihat."

"Ugh, ugh eheh. Hmm… err, Yako-shi…?"

"Hmm?"

"...B-busa… belai… kepalaku…?"

Setelah melompat sekali, dia tiba-tiba sangat berani.

Namun, aku justru ingin berbagi keberanian itu dengannya.

Aku mengelus kepala Riri yang lembut seperti sutra, lalu memeluknya sekali lagi sebelum berpisah.

"Jadi, sampai jumpa. Aku menantikan siaranmu hari ini."

"Mmn! Yakou-san, selamat tinggal!"

Dengan tangan kecilnya yang melambaikan tangan, Riri menghilang di balik gerbang stasiun.

Oke, selanjutnya.

"Bell."

Begitu aku memanggilnya, Bell sudah membuka kedua tangannya.

"Sini, dengan kasar!"

"Terlalu antusias...! Kau, tunggu dulu."

"Eh---!?"

"…Tunggu saja, pulanglah duluan."

Bell terkejut, napasnya tertahan.

Tanpa aku harus mengatakan semuanya, Bell sudah tahu apa yang aku rencanakan.

Aku menunjukkan cincinku padanya dan tersenyum perlahan.

"Aku pasti akan kembali."

"…Mm. Mengerti."

Bell menutupi cincin itu dengan tangan, meletakkannya di dadanya, dan tersenyum.

"Saya akan menunggumu."

Bell berjalan pergi, menghilang di keramaian kota.

Aku dan Kuu hanya diam dan mengamatinya.

"Baiklah. …Kuu. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan. Boleh aku mengantarmu?"

"…Apa itu harus malam ini?"

"Ya. Aku tak ingin menunda lebih lama lagi."

Kuu tersenyum dan mengulurkan tangan kirinya padaku.

"...Kalau begitu, boleh aku memintamu mengantarku? Sebagai ksatria milikku."

Saat itu, aku baru menyadari ada cincin yang tidak kukenal di jari manisnya.

Tidak, aku bukannya tidak menyadarinya, aku hanya mengalihkan pandangan dari situ.

"...Kau sudah bertunangan, ya?"

"Begitu..."

Kuu tersenyum seperti biasa.

"Yakou dan dia cocok sekali."

"...Kau pasti jatuh ke neraka."

Dan mungkin, aku juga.

"Aku akan mengantarmu."

"...Ya."

Kami saling mengaitkan ujung jari yang bertatahkan cincin yang berbeda.

Kami mulai berjalan menuju akhir.


🔸◆🔸


Setelah sekian lama, tubuhku mulai mengingatnya kembali.

Persimpangan yang membingungkan, rumah anjing yang hanya menggonggong dengan keras pada diriku, toko roti yang menyajikan sandwich kesukaan Kuu, semuanya tetap sama.

Bersandar pada cahaya masa lalu, kami berjalan pulang sambil mengobrol tentang kenangan indah yang sudah lama hilang.

…Namun.

"Eh...? Yakou, bukankah pojok sini dulu ada toko buku?"

"Ah, Shibundo, kan? Tempat itu tutup sekitar musim panas tahun lalu."

"...Begitu, ya? Aku suka suasana toko itu..."

"Benar, aku juga sangat tertekan waktu itu."

Namun, lanjutku, sambil menunjukkan kafe yang dibangun di bekas tempat itu.

"Tapi yang ini baru saja dibuka, dan mereka menyajikan kopi yang sangat enak dengan metode siphon. Warga sekitar sangat menyukainya, terutama pada pagi hari di akhir pekan, tempat ini sangat ramai, lho?"

"……Heh…"

"Meski belum terlalu lama sering datang ke sini, aku juga suka tempat yang sekarang."

Tiba-tiba, Kuu menggenggam erat tanganku.

"Aku lebih suka kalau toko buku itu tetap ada."

"Haha. Kecintaanmu pada buku memang tak berubah. …Yah, aku juga sih."

Aku dan Kuu cocok dalam segala hal, mulai dari hobi hingga apapun. Dia juga lebih bisa melakukan banyak hal dibandingkan aku.

Perasaan kagum dan akrab itu berubah menjadi cinta, dan aku rasa tidak butuh waktu lama untuk itu. Sekarang, kalau aku ingat-ingat, sepertinya itu cinta pada pandangan pertama.

Aku bahkan pernah berpikir, aku tak akan bisa hidup tanpa dia.

Aku sangat mencintainya.

"Hei, Kuu. Aku pikir ini sudah bisa jadi cerita lucu sekarang, tapi..."

"Hm...?"

"Sejujurnya, setelah kau pergi, aku benar-benar terpuruk. Tidak bisa makan, minum, tidur... sampai-sampai aku turun delapan kilo dalam tiga hari! Aku merasa itu seperti misteri tubuh manusia."

Saat aku mulai tertawa, Kuu terlihat terdiam.

Kemudian dia berhenti berjalan.

"...Terlalu tidak lucu, ya? Tapi itu bukan bohongan."

"...Itu bukan dirimu."

Dengan senyuman yang hanya seterang lampu bohlam kecil, Kuu tersenyum.

"Kau pasti ingin terlihat keren, bilang kalau kau merasa lega, kan?"

"Seperti yang kuduga, kau benar-benar paham. ...Tapi, belakangan ini ada sedikit perubahan."

Aku menarik tangan Kuu yang hendak berhenti dan mulai berjalan ke depan.

"Ada seseorang yang bisa melihat kebohonganku dengan sekejap. Apapun hal memalukan yang ingin kucoba sembunyikan, dia tidak akan melewatkannya. Jujur saja, aku berharap dia berhenti menelusuri diriku."

"............................"

"Tapi kadang-kadang itu menyelamatkanku. Aku jadi merasa, mungkin aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya."

Apakah orang itu sedang mendengarkan apa yang sedang kuceritakan ini seperti biasanya?

Atau, hari ini dia justru duduk diam, menyimpan sepatu di bawah meja, dan menikmati waktu di dunia maya?

Keduanya mungkin saja. Aku akan tertawa dan memaafkannya, apapun itu.

Maka dari itu, aku juga ingin dia memaafkanku atas kejujuran ini.

"Sejujurnya, wanita yang paling aku cintai, sampai sekarang, tetaplah dirimu, Kuu."

"…Fufu. Aku merasa terhormat."

"Sayangnya, kau adalah perwujudan dari semua unsur yang aku sukai."

"…Itu kali pertama aku mendengarnya."

Tentu saja. Karena aku takut kau akan membenciku jika aku mengatakannya.

"Pertama, kau adalah perempuan cantik yang tinggi, kan? Dadamu juga besar. Struktur wajah dan warna rambutmu benar-benar tipeku, seratus dua puluh poin sempurna."

"Heh. Hanya penampilan saja yang kau bicarakan?"

"Itu penting, bukan? Tapi bukan hanya penampilan. Kau lebih hebat dari aku dalam segala hal, kepribadianmu juga sempurna. Selalu tenang, anggun, bisa berbicara dengan penuh kecerdasan, dingin, dan membiarkanku bebas. Selera dan hobimu juga sangat cocok denganku..."

Kalau ada yang membuatku tidak puas, itu adalah kau yang terlihat benar-benar tidak memiliki hasrat seksual, dan itu benar-benar sulit bagiku.

Aku sering memikirkan hal-hal mesum, tahu...

Lalu, hal lainnya, meski kau begitu sempurna, kau tetap memilih berkencan denganku, yang terasa seperti sebuah kebodohan.

Tapi, sekarang kita sudah berpisah, semua kekurangan itu tak lagi menjadi masalah.

"Sungguh, kau adalah perempuan paling sempurna, Kuu."

"…Terima kasih."

"Kalau dibandingkan dengan Bell, sih…"

Ah, akhirnya aku bisa mengeluh tentang dia pada seseorang.

"Penampilannya memang imut, tapi kepribadiannya benar-benar sebaliknya. Dia cuma terlihat keren saat bicara, tapi sebenarnya mudah terbawa emosi, sering melontarkan candaan cabul yang kelewat batas, dan sangat-sangat posesif. Itu benar-benar melelahkan. Ditambah lagi, latar belakang kami sangat berbeda, dan selera serta hobinya sama sekali tidak cocok denganku."

Bahkan, dia memberiku tantangan konyol seperti 'dekaplah seratus gadis'.

Aku tidak kenal perempuan lain yang lebih merepotkan daripada dia.

"-----Tapi… sejak aku bersama Belle, setiap hari terasa luar biasa menyenangkan."

Aku mengatakan itu, dengan senyuman yang bukan dibuat-buat, tapi benar-benar tulus dari hati.

Aku semakin menyukai Belka Albertine.

Namun, yang aku sukai bukan hanya dia.

"Kuu, tahu tidak? Pelan-pelan, aku mulai bisa percaya diri pada diriku sendiri."

"…………"

"Lalu, hari ini, kau melihatnya sendiri, kan? Aku, entah bagaimana, mulai menarik perhatian gadis-gadis."

Dan gadis-gadis itu, sama sekali tidak kalah kuat dan menariknya dibandingkan kalian berdua.

Bisa disukai oleh mereka adalah keberuntungan terbesar dalam hidupku.

"…Sekarang, aku merasa cinta itu sesuatu yang luar biasa menyenangkan."

Aku ingin bertemu lebih banyak lagi, aku ingin menyelamatkan lebih banyak orang.

Dan pada akhirnya, aku ingin bisa mencintai diriku sendiri sepenuhnya, dari lubuk hatiku yang terdalam-----

"Jadi, aku ingin mengakhiri malam ini sebagai malam terakhir aku terikat pada salah satu gadis."

Aku melepaskan tanganku dari genggaman Kuu.

Tempat di mana semuanya berakhir adalah sebuah bangku di Taman Yashiro, yang diterangi oleh lampu jalanan.

"Kuu… sampai di sini saja."

"……………………………………"

"…Berpisahlah denganku…"

Agar suara yang gemetar ini tidak pecah, aku menggigit bibirku.

Agar air mata ini tidak mengalir, aku menatap ke langit malam-----

Dan pada akhirnya, aku tersenyum.

"-----Selamat tinggal, Kuu. Aku mencintaimu."

Di malam dengan bulan yang indah, aku mengucapkan selamat tinggal pada cinta pertamaku.


🔸◆🔸


Aku terus berjalan menyusuri jalanan malam. Tanpa tahu ke mana arah tujuan, aku terus melangkah dalam kebingungan tak berujung.

“-----Yakou-sama.”

Suara yang memanggil itu membangunkan kesadaranku. Aku mendongak ke langit malam.

Di sana, terlihat seorang gadis yang sangat cantik, duduk di atas sapu, melayang di udara.

“...Bell. Kenapa kau ada di sini?”

“Karena daerah ini dekat dengan tempat tinggal saya... Saya datang menjemput Anda.”

...Begitu ya. Tanpa sadar, mungkin aku telah mengarah ke tempat ini.

Bell menurunkan ketinggiannya, masih duduk di atas sapu, hingga ia mendekat ke tempatku berdiri.

“Mau naik?”

“...Kalau begitu, boleh aku minta tolong?”

Aku duduk di belakang sapunya, memegang erat pinggang Bell.

Seperti gondola di bianglala, sapu itu naik perlahan, membuat kakiku terangkat dari tanah.

Perlahan, pemandangan malam mulai mengalir ke belakang, dan rasa bahagia yang aneh menyelimuti dadaku.

“Bell, tadi... kau melihat atau tidak?”

“Percayalah, saya tidak melihatnya.”

“Lihat, kan? Kau pasti menyembunyikannya, bukan? Lain kali, aku ingin kau bersikap sedikit lebih toleran padaku.”

Tiba-tiba, sapu itu berhenti mendadak, membuat kami berdua hampir terjatuh ke depan.

Saat aku tertawa karena hampir celaka, Bell menoleh ke arahku seperti robot tua yang berkarat.

“Bagaimana... Anda tahu?”

“Kalau kau tak melihatnya, dengan sifatmu, kau pasti tidak akan membiarkan aku mengantar Kuu sampai larut seperti ini. Tapi karena kau melihatnya, kau berpikir untuk ‘membiarkan aku sendiri’. Itu saja. Ada bantahan?”

“...Tidak ada. Maaf...”

Melihat Bell yang tampak lesu, aku tertawa terbahak-bahak.

Padahal angin malam tak membuat suaraku tak terdengar, tapi aku tak bisa mengatur volumenya.

“Fuhahaha! Menyembunyikan sesuatu dari jenius ini seratus tahun terlalu cepat, Bell!”

“...Ya, benar.”

“Bagaimana? Aku keren, kan? Lagipula, aku adalah laki-laki yang seharusnya memeluk seratus gadis cantik!”

Kenapa? …Rasanya segalanya hanya meluncur di permukaan, tanpa benar-benar menyentuh apa pun.

Bell, ayolah. Cepat tendang aku dari sapu ini atau lakukan sesuatu untuk menenangkan, seperti biasanya.

Kalau tidak, aku merasa… aku akan segera…

“-----Anda benar-benar keren, lho.”

Namun, Bel tidak melakukan apa-apa.

“Sejak dulu, Yakou-sama selalu keren.”

“………”

“...Yakou-sama.”

Dia hanya tersenyum lembut padaku.

“Selamat atas kerja kerasmu.”

"------------------"

Kata-kata itu seperti lonceng tengah malam.

Sihir cinta yang telah diberikan padaku sepanjang malam sebelumnya, tiba-tiba terputus.

Rasa sakit seperti kilat menusuk dadaku, membuatku tak bisa lagi menegakkan kepala. Aku menyembunyikan wajahku di pinggang Bell Bel, tempat aku berpegangan.

“…Ugh, aaa… aah…”

Air mataku mulai tumpah seolah bendungannya pecah.

Kenangan bersama Kuu yang indah berputar dalam pikiranku seperti kilas balik tiada henti-----

“Aah… aah, aaaaaaah… AAAAAAA-------"

Aku menangis keras seperti suara kematian yang menyedihkan.

Air mata dan teriakanku seperti banjir yang tak bisa dihentikan.

Bagaikan mencuci bersih lumpur yang telah lama mengendap di dalam hatiku, bersama dengan permata yang tenggelam di dalamnya.

Berharap bahwa suatu hari nanti, wadah yang telah retak ini akan kembali penuh dengan sesuatu yang indah.

Menjelang fajar, saat malam paling gelap-----

Pemakaman cinta pertamaku berlangsung dengan tenang.


🔸◆🔸


Sudah berapa lama waktu berlalu sejak itu?

Air mata telah kering sepenuhnya, dan hati ini akhirnya sampai pada sebuah ketenangan yang aneh.

"-----Lihatlah, Yakou-sama."

Dari langit timur, cahaya yang membelah kegelapan mulai menampakkan dirinya.

Malam yang panjang telah usai, dan pagi yang baru telah tiba.

"Wow..."

Untuk pertama kalinya, aku melihat fajar seindah ini. Aku terpaku, menatapnya sejenak.

Saat itulah, tiba-tiba,

"…Sudah berakhir, ya."

Kata-kata itu muncul dari dalam diriku.

"Dengan sendirinya? Tidak, bukan begitu, kan?"

"…Benar juga."

Senyuman yang segar mulai bermekaran.

Teka-teki tetaplah menjadi teka-teki, semuanya tidak sepenuhnya terselesaikan.

Terlebih lagi, meski hasilnya sangat jauh dari sempurna,

"-----Aku sendiri yang mengakhirinya."

Aku memilih jawabanku sendiri.

Kalau begitu, apa pun yang terjadi setelah ini, pasti akan menjadi kehidupan yang terbaik.

"Baiklah!"

Aku melepaskan tanganku dari tubuh Bell, mencoba berdiri di atas sapu yang ramping itu.

Aku yakin aku tidak akan jatuh, dan kalaupun jatuh, Bell pasti akan menyelamatkanku. Dengan kepercayaan mutlak itu, aku berdiri. Sepertinya ada semacam sihir yang bekerja di sini. Berdiri di atas sapu terasa lebih stabil daripada berjalan di tanah.

Aku merentangkan kedua tangan dan menutup mata.

Angin pagi yang menyegarkan menerpa tubuhku-----

"Bell, terima kasih atas segalanya."

"…Tidak, saya lah yang harus berterima kasih."

"Perasaanku belum sepenuhnya tertata rapi. Tapi ada satu hal yang ingin kusampaikan."

Aku membuka mata, menoleh ke belakang.

Bell juga berdiri di atas sapu sepertiku, menunggu kata-kataku.

Di tangan yang ia letakkan di dadanya, terlihat cincin pertunangan yang bersinar indah diterpa sinar matahari.

"Aku ingin selalu menjadi ksatriamu. Aku bersumpah tidak akan pernah lagi menyerah dan berhenti menjadi itu."

Dengan tangan kananku yang memancarkan kilauan cincin, aku meletakkannya di dada dan tersenyum.

"<Pawai Malam Seratus Putri>, bolehkah kita terus melanjutkannya?"

"…Iya. Tentu saja, selamanya bersama."

Bell tersenyum cerah.

Lalu, ia berjalan di atas sapu dengan langkah percaya diri, mengucapkan sesuatu yang benar-benar merusak suasana.

"Jadi, kapan kita akan pacaran dan… melakukan itu?"

Aku menghela napas panjang.

"Kau serius!? Kau benar-benar mengucapkan itu sekarang? Benar-benar merusak segalanya…"

"T-tapi, ini penting! Saya tidak mau hal ini berlalu begitu saja di tengah suasana yang mengalun seperti ini!"

"…Hah. Aku jadi kehilangan suasananya. Lagipula, untuk sementara aku tak punya niatan menjalin hubungan dengan siapa pun."

"Eh?"

"Berilah aku waktu untuk berkabung. Setelah itu, aku ingin mempertimbangkannya dengan lebih tenang."

Aku menyeringai.

"Bagaimanapun juga, aku punya seratus gadis lain yang akan menyukaiku selain dirimu, Bell."

"…Hmph. Lalu bagaimana dengan… itu? Jadi selama waktu itu, Anda tidak akan melakukan hal seperti itu dengan saya, kan?"

"Yah, kalau soal itu, aku masih ingin melakukannya."

"Apa!? Itu terlalu egois!"

"Kalau tidak suka, ya sudah. Aku bisa berhenti. Lagipula, aku punya seratus pengganti."

Belakangan ini, aku mulai menyadari sesuatu.

Pada akhirnya, perempuan juga hanyalah makhluk yang punya hasrat seperti halnya laki-laki.

“Kau juga menginginkannya, kan? Jangan tiba-tiba berpura-pura manis.”

“...Diam. Memangnya saya bisa apa?”

Bell tersenyum, pipinya memerah.

“Karena saya sangat mencintai Anda. Sangat wajar jika saya ingin memeluk Anda dengan hati dan tubuh saya.”

“...Ya, kau benar.”

“Tidak apa-apa. Saya rasa Yakou-sama adalah pria yang cukup luar biasa untuk diizinkan melakukan itu.”

Bell berjalan mendekat di atas sapu, tanpa rasa ragu ataupun pesimisme. Gadis ini selalu dengan tulus mendekatiku.

“Cobalah bersama seratus gadis lainnya, lalu bandingkan. Tapi pada akhirnya, saya yakin Anda akan memilih saya seorang.”

“...Bell.”

“Saya tidak akan pernah melepaskan Anda.”

Senyuman percaya diri dari seorang penyihir membuat hatiku berdebar.

“-----Karena akulah orang yang paling mencintai Anda di dunia ini!”

Aku merasa sangat bahagia hingga berpikir tidak masalah jika aku mati sekarang.

Aku ingin membalas cinta ini dengan cara apa pun, sehingga aku membuat janji:

“Kalau begitu, aku akan berjanji. Jika suatu saat <Pawai Malam Seratus Putri> berakhir dan aku mendapati bahwa aku mencintai Bell lebih dari siapa pun…”

Aku mengambil jari manis di tangan kiri Bell dan berlutut di tempat.

“-----Aku akan menikahimu.”

“...!”

“Aku akan selalu berada di sisimu, melindungimu. Bukan sebagai ksatria, tetapi sebagai seorang pria.”

Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku meminang seseorang, dan itu adalah Bell.

Jawabannya tidak langsung keluar.

Saat aku mulai cemas, berpikir mungkin aku terlalu berlebihan,

“...Iya...!”

Air mata menetes dari tangan yang kugenggam.

Bell menangis tersedu-sedu, namun tetap menampilkan senyuman indah yang menawan.

“Saya juga... Saya akan menjaga Anda, mohon bimbingannya...”

“...Baiklah. Kalau begitu, sebagai tanda dari janji ini...”

Aku berdiri di atas sapu dan merangkul bahu Bell.

Dia mengangguk, lalu sedikit berjinjit, dan dengan kata-kata itu, dia menutup bibirnya.

“Saya mencintai Anda.”

“...Iya.”

-----Aku juga.

Sambil berdoa agar 

suatu hari aku bisa mengucapkan kata-kata itu bersamanya, aku memberikan jawaban dengan sebuah ciuman.

Di atas langit biru yang diterangi cahaya pagi yang indah-----


Saat kami saling berbagi cinta, aku merasa mendengar bunyi lonceng masa depan.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close