Penerjemah: Arif77
Proffreader: Arif77
"…Kau lihat barusan? Itu Hanazono, loh!"
"Ya iyalah, kan dia sekolah di sini juga. Tidak
perlu sekaget itu. Kamu segitu sukanya, ya?"
"Tidak, dia lagi jalan sama kakak kelas! Berdua
doang!"
"Hmm? Kalau dia beneran pacaran sama kakak kelas,
berarti harapan Yoshiki tamat, ya!"
"Jangan ngomong gitu santai banget! Lagian aku belum punya harapan semacam itu!"
Mungkin memang belum.
Tapi tetap saja, firasat buruk melintas di benakku.
Ngomong-ngomong, Hanazono pernah bilang kalau dia selalu
makan siang dengan orang yang sama.
…Jangan-jangan, kakak kelas itu?
Saat aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, Yuzuha
menggerakkan bahunya hingga berbunyi "krek."
"Jadi, sebenarnya seberapa pengin sih kamu punya
pacar, Yoshiki?"
"Apa sih? Mau ngajak ribut?"
"Loh, kok!? Aku cuma
nanya doang!"
Aku mendengus dan meremas botol plastik kosong di
tanganku.
"Ya, kalau bisa sih pengin punya. Tapi pacar itu kan
bukan sesuatu yang wajib dalam kehidupan sekolah. Buktinya aku tetap
senang-senang aja meskipun tidak punya pacar."
Tidak punya pacar pun, aku tetap cukup menikmati hidup.
Dan meskipun hanya "cukup menikmati," itu
adalah waktu yang berharga bagiku.
Kalau punya pacar otomatis bikin hidup jadi penuh warna,
ya aku juga mau. Tapi kalau melihat orang-orang di sekitar yang justru jadi tidak
bahagia karena pertengkaran atau putus cinta, aku jadi mikir kalau keadaanku
sekarang pun tidak buruk-buruk amat.
Tapi bukan berarti keinginanku untuk melangkah ke tahap
berikutnya hilang begitu saja. Pada dasarnya, aku tetap ingin punya pacar.
"Hmm. Terus, kalau Hanazono tiba-tiba bilang mau
jadi pacarmu, gimana?"
Aku langsung mendongak.
Gadis yang dulu sempat aku kagumi, sekarang malah
mendekatiku.
Itu adalah khayalan absurd yang pasti pernah muncul
di kepala setiap anak laki-laki.
Begitu mengobrol sekali saja dengan cewek yang
ditaksir di kelas, pikiran langsung terbang ke mana-mana.
Atau saat bertemu lagi dengan teman lama, tiba-tiba
teringat kalau dulu pernah ada sesuatu yang "hampir jadi."
Kalau ada yang bilang tidak akan kepikiran sama sekali,
itu jelas bohong.
"Sebagai laki-laki, ya harusnya langsung jawab,
'Tolong jadilah pacarku.'"
"Maaf ya."
"Hah? Aku baru aja ditolak? Ini aku ditolak lewat
perwakilan!?"
"Yap! Itu artinya kemungkinan ditolak tetap
ada!"
"Tadi kan kita lagi ngomong dengan asumsi aku
bakal ditembak duluan! Aku juga tahu lah soal kemungkinan itu!"
Lagian, aku toh sudah pernah benar-benar ditolak
sebelumnya.
Aku sangat memahami kenyataan, bahkan tanpa perlu
diingatkan.
Ekspektasiku terhadap dunia nyata selalu aku set ke nol.
Khayalan hanya boleh ada di dalam kepala, bukan untuk diungkapkan di dunia
nyata.
Aku tidak sampai separah itu dalam hal ilusi.
"Hanazono itu temanku. Memang dulu pernah ada masa
di mana aku hampir menyukainya, tapi pada akhirnya cuma sebatas itu. Lagipula,
di SMA pasti ada banyak orang yang pernah disukai tapi cuma sebatas itu, kan?
Hanazono ya cuma salah satu dari mereka."
Saat aku mengatakannya, aku menangkap Yuzuha sedang
menyeringai lebar di sudut pandangku.
"Jadi dari dulu kamu memang suka sama dia, ya?
Padahal barusan mukamu kayak orang yang baru aja mulai nargetin dia
sekarang."
"Kau menjebakku, ya!?"
"Kamu aja yang tiba-tiba mulai cerita sendiri."
Yuzuha membalas dengan nada santai, terlihat sangat
menikmati situasi ini.
Tadi aku juga tanpa sadar keceplosan soal dia yang kerja
paruh waktu. Sepertinya aku mengulang kesalahan yang sama.
Entah kenapa, di depan Yuzuha aku cenderung lengah.
Tapi ya, tidak masalah. Aku percaya sama dia. Lagipula,
kalaupun dia tahu, aku tidak akan merasa terganggu.
"Jadi, kalau Hanazono beneran nembak kamu, kamu
bakal terima, kan? Hmm, kalau gitu, ada gunanya juga buat menyambungkan
kalian!"
"…Itu cuma kalau Hanazono beneran datang duluan,
tapi hal kayak gitu tidak akan terjadi di dunia nyata. Lagi pula, yang aku mau
cuma bisa dekat tanpa ada suasana canggung, itu udah cukup buatku."
"Hahaha. Kalau cuma segitu, kamu tidak bakal
keliatan kayak orang yang kepengin banget ngejar dia sekarang."
Aku refleks menutup mulut.
Dan sepertinya, itu sudah cukup menjadi jawaban.
Yuzuha tersenyum lebar.
"Hoi, kalau sudah diputuskan begitu, ayo
pergi!"
Yuzuha berlari menuju arah di mana Hanazono dan yang
lainnya menghilang.
"Tunggu, hey!"
Secara refleks, aku pun mendorong kakiku dari tanah.
──Langkah kaki ini adalah sebuah roda gigi.
Roda gigi akan mempercepat roda gigi lainnya secara
bertahap.
Firasat itu melintas di benakku.
***
Hanazono dan kakak kelas itu berdiri di belakang ruang
klub atletik, tempat yang sepi dari keramaian.
Ruang klub atletik terletak cukup jauh dari gedung
sekolah, harus melewati lapangan dan memakan waktu sekitar lima menit berjalan
kaki.
Dikelilingi oleh pepohonan rindang, tempat itu nyaris tak
terlihat dari kejauhan.
Aku dan Yuzuha bersembunyi di balik tempat minum
sambil mengintai situasi.
Aku mengintip sedikit.
Hanazono berdiri menghadap kakak kelas itu, bibirnya
membentuk senyum yang tak berubah.
Di atas kepalaku, Yuzuha berbisik pelan, “Kayaknya
beneran ada sesuatu, ya,” lalu menahan napas.
…Bukan cuma "kayaknya ada sesuatu."
Ekspresi kakak kelas itu sudah menjelaskan segalanya.
Ini adalah pengakuan cinta.
Dan setelah kulihat lebih jelas, ternyata kakak kelas itu
adalah senior tampan yang pernah menjadi panitia penyambutan saat upacara masuk
sekolah.
Bisa dibilang, dia adalah salah satu senior paling
terkenal di kalangan murid tahun pertama.
Senior itu membuka mulutnya.
"…Aku suka kamu. Jadilah pacarku."
Yuzuha, tampak bersemangat, menepuk-nepuk bahuku dengan
cepat.
Senior itu
mungkin termasuk tipe pria yang dulu disebut-sebut sebagai pangeran tampan.
Kepercayaan
dirinya pun terpancar dari ekspresinya.
Namun,
meskipun sedang berhadapan dengan orang seperti itu, ekspresi Hanazono tetap
tidak berubah sedikit pun.
Sama seperti di kelas, dia hanya tersenyum.
Saat senior itu meminta jawaban, Hanazono akhirnya
berbicara dengan tenang.
"Terima kasih banyak. …Boleh aku bertanya
sesuatu?"
"Tentu, tanyakan saja."
"Baik. Kenapa Anda menyukai saya?"
Nada suaranya terdengar seperti murni ingin tahu.
Senior itu menggaruk kepalanya sebentar sebelum menjawab.
"…Kau ingat saat upacara masuk sekolah, aku jadi
panitia penyambutan?"
"Saya ingat."
"Aku jatuh cinta pada pandangan pertama."
Kakak kelas itu mengatakannya dengan tegas.
Yuzuha berbisik pelan, "Wah, keren juga."
…Memang keren.
Aku tidak menyangka ada orang di dunia nyata yang berani
mengungkapkan cinta dengan kata-kata seperti "jatuh cinta pada pandangan
pertama."
Kalau aku yang ada di posisinya, pasti aku akan gugup dan
terbata-bata.
Sebagai sesama laki-laki, rasanya agak menyebalkan, tapi
aku harus mengakui kalau level kami berbeda.
Dia pasti sudah cukup berpengalaman dalam urusan asmara,
makanya bisa tetap tenang seperti itu.
Dengan senyum tipis di wajahnya, senior itu kembali
meminta jawaban.
"Lalu, bisakah aku mendengar jawabannya?"
"Jawaban, ya…"
Hanazono menjawab dengan nada yang sama seperti biasanya.
──Terlalu biasa.
Kalau dia tertarik, setidaknya suaranya akan sedikit
bergetar atau ekspresinya akan menunjukkan sesuatu.
Wajahnya pun sangat berbeda dibandingkan saat aku dan dia
pernah "sedikit lebih dekat."
Saat di SMP, Hanazono memang tidak terlalu blak-blakan
seperti Yuzuha, tapi ada kelembutan yang selalu terlihat di matanya.
Sekarang, dia terasa seperti orang yang berbeda.
Jadi, aku sudah tahu apa jawaban Hanazono.
“Maaf. Aku tidak bisa berpacaran dengan senior.”
Meskipun aku tahu ini bukan urusanku, pemandangan itu
tetap membuat kepalaku pening.
Namun, di saat yang sama, ada bagian dari diriku yang
merasa lega, dan perasaan itu semakin kuat.
“…Serius?”
Ekspresi senior itu berubah kecewa.
Sepertinya dia tidak terlalu menyangka akan ditolak.
“Yakin? Aku, kalau boleh bilang, termasuk ‘ikan
besar’, lho.”
“...Tapi buatku, senior terlalu besar. Lagipula,
pasti banyak orang yang ingin menjadi pacar senior.”
“Tapi aku ingin pacarmu adalah aku.”
Senior itu menggaruk kepalanya dengan sedikit frustrasi.
Hanazono menundukkan kepala dengan ekspresi sedikit
kesulitan.
Dia merapatkan kedua tangannya di depan dan berbisik
pelan, “Maaf.”
“...Apa benar-benar tidak bisa? Aku serius, lho.”
“Serius, ya?”
“Iya, aku serius. Jadi… setidaknya, coba pikirkan dulu
sebentar. Ini semua
mendadak, kan? Kamu pasti belum sempat berpikir dengan baik. Kalau mau, aku bisa menunggu jawabanmu lain kali.”
“…Tapi, tadi senior bilang jatuh cinta pada pandangan
pertama, kan?”
“Iya, benar. Sejak melihatmu di bulan April, aku tidak
bisa berhenti memikirkanmu. Setiap kali melihatmu, aku merasa senang—”
“Apa keuntungan bagi saya jika saya berpacaran dengan
senior? Saya sama sekali tidak mengenal senior. Jadi, saya tidak tahu harus
menilai dari mana.”
Hanazono
memotong ucapannya dengan sebuah pertanyaan.
Senior itu tampak terkejut dan melongo.
Saat aku menoleh, Yuzuha pun tampak sama terkejutnya.
“Keuntungan? Hubungan pacaran itu bukan tentang
untung dan rugi, kan?”
“Tapi, bagi saya, senior hampir seperti orang asing.
Kita memang berbicara soal hubungan romantis, tapi kenapa senior ingin menjalin
hubungan dengan seseorang yang bahkan tidak senior kenal?”
“Karena kamu cantik! Aku benar-benar tertarik padamu,
makanya aku ingin mengenalmu lebih dalam. Aku tidak akan bilang hal munafik
seperti ‘wajah tidak ada hubungannya’. Aku justru berpikir mengenal kepribadian
seseorang bisa dilakukan setelah kita melakukan hal-hal seperti pasangan pada
umumnya.”
Perlahan, ekspresi Hanazono berubah menjadi semakin
dingin.
Dia menggaruk pipinya pelan dan berbisik,
“Jadi maksudnya, setelah berciuman, berhubungan seks…
baru setelah itu kepribadian seseorang bisa dinilai?”
Seks.
Kata yang biasanya dihindari dalam percakapan, kini
meluncur begitu saja dari mulutnya, membuatku terkejut.
Senior itu pun tampak kaget, matanya membelalak.
Di antara sesama laki-laki, kata itu mungkin sering
digunakan bercanda, tapi bagi kebanyakan pria, mendengarnya dari mulut seorang
perempuan dalam situasi serius seperti ini pasti pengalaman yang mengejutkan.
Namun, Hanazono tetap tenang.
Aku melihat sisi dirinya yang tidak pernah kukenal
sebelumnya.
“Jika itu hanya tahap awal sebelum mengenal kepribadian,
rasanya aku harus mengorbankan terlalu banyak hal.”
“…Dengar, aku bukan tipe cowok yang hanya mengincar itu.
Memang, mungkin ada bagian dari diriku yang menginginkannya, tapi bukan hanya
itu alasan aku menyatakan perasaan.”
“Tapi tadi senior sendiri bilang, mengenal
kepribadian ada di tahap terakhir.”
“Itu cuma soal kapan waktunya! Aku akui, itu memang
yang terakhir. Tapi apa itu salah?”
Hanazono kembali menundukkan kepala, tapi bukan dalam
ekspresi lemah.
Justru, aku menangkap kesan bahwa dia lelah menghadapi
gombalan seperti ini.
“Kalau begitu, lebih baik senior langsung saja bilang
ingin tidur denganku. Itu akan jauh lebih jujur.”
Senior itu mengernyitkan dahi.
Aku bisa merasakan perasaannya mulai menjauh dari
Hanazono.
“…Kalau aku benar-benar bilang begitu, kamu pasti
bakal makin marah. Seks juga bagian dari komunikasi, kan?
Lagipula, apa salahnya kalau seseorang jatuh cinta karena wajah duluan? Atau…
jangan-jangan, kamu termasuk tipe yang mau langsung tidur dengan siapa pun asal
mereka cukup membungkuk dan meminta?”
“Aku bukan tipe seperti itu.”
“Kalau begitu, apa salahnya aku menyatakan perasaan?”
“Mungkin tidak ada yang salah. Tapi,”
Hanazono kembali memotong ucapannya.
“Kalau aku bahkan belum pernah berbicara dengan
senior sebelumnya, bagaimana mungkin aku bisa percaya bahwa senior benar-benar menyukaiku?”
…Seolah menolak gagasan cinta pada pandangan pertama itu
sendiri.
Senior itu tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya mengklik lidahnya dengan kesal dan terdiam.
Hanazono membungkuk sedikit, lalu berbalik pergi.
“──Harap simpan saja bayangan tentang aku di dalam
kepala senior sendiri.”
Setelah meninggalkan kata-kata itu, Hanazono Yūka pun
pergi.
Meninggalkan senior yang hanya bisa berdiri terpaku
di tempat.
Dan kemudian—
“Gila… Bisa membalas senior itu seperti itu….”
Yuzuha berkata dengan nada penuh rasa hormat.
Apa yang dia rasakan saat melihat punggung Hanazono?
Yang jelas, Hanazono sudah mengatakan semua yang ingin
dia katakan.
Dalam situasi seperti ini, mengungkapkan perasaan dengan
jujur terkadang bisa menyakiti pihak lain.
Namun, entah karena sikap senior itu yang terlalu
mendesak, atau karena Hanazono sudah terlalu sering menghadapi situasi seperti
ini, aku tidak merasa dia bersikap kasar.
Aku sudah sering melihat Remi menolak laki-laki dengan
cara yang sama.
Mungkin, aku dan Yuzuha memiliki perasaan yang sama.
Diam-diam, aku merasa Hanazono tampak keren.
Dan mungkin, itu berarti aku juga mulai berubah.
***
Aku berpisah dengan Yuzuha dan mengejar Hanazono.
"Hanazono!"
Sosok yang dulu aku kagumi berbalik dengan ringan.
Wajahnya begitu lembut dan ramah, seolah kejadian
tadi hanyalah kebohongan belaka.
“Ah, Yoshi. Ada apa?”
“Eh, um….”
Ada sesuatu yang ingin aku pastikan.
Tapi aku tidak bisa langsung mengungkapkannya dengan
kata-kata.
“Hanazono, menurutmu sekolah menyenangkan, tidak?”
“Hah? Kenapa tiba-tiba nanya itu?”
Hanazono terkikik kecil.
Sikapnya begitu berbeda dari sebelumnya.
Baru saja dia mengalami kejadian seperti itu, tapi
ekspresinya tetap seperti biasa.
Jadi, apakah sekarang dia hanya berpura-pura?
Seperti Remi, apakah dia menjalani hari-harinya dengan
kepribadian yang disengaja demi suatu tujuan tertentu?
Mungkin tidak.
Hanazono bukan sedang berpura-pura.
Baik Hanazono yang biasanya maupun Hanazono yang
tadi, keduanya adalah bagian dari dirinya.
Karena itulah, aku hanya perlu berbicara dengan
Hanazono yang ada di hadapanku sekarang.
Seperti biasa.
Hanazono tersenyum lembut.
“Kalau Yoshi sendiri?”
“Aku? Aku senang.”
“Lebih dari saat di bimbingan belajar?”
“Iya. Kalau Hanazono?”
“Kurasa aku juga senang.”
Aku diam, menunggu dia melanjutkan.
Hanazono menatapku sejenak, lalu tersenyum sedikit
canggung.
“…Tapi mungkin jenis kesenangannya berbeda. Di sini, aku
merasa diperhatikan oleh banyak orang.”
Mungkin karena dia sering mengalami kejadian seperti
tadi—dijadikan objek cinta pada pandangan pertama.
Tidak seperti bimbingan belajar yang hanya berfokus pada
peningkatan akademik, di sekolah hubungan sosial juga sangat penting.
Mungkin ini bukan pertama kalinya dia mengalami hal
seperti tadi.
Kalau tidak, dia tidak akan memberikan jawaban seperti
itu.
Hanazono sedikit memiringkan kepalanya dan bertanya,
“Tapi kenapa kamu bertanya?”
“Ah… itu….”
Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
Hanazono hanya berkedip pelan, menatapku.
"Mungkinkah... kamu melihat yang tadi?"
...Ketahuan dengan mudah.
Saat aku tidak bisa menjawab apa-apa, Hanazono menaikkan
ujung bibirnya dengan ekspresi sedikit cemas, alisnya membentuk garis seperti
angka delapan.
"Jadi, ternyata memang kamu melihat, ya. Aku sempat
menduga sih, soalnya kamu mengejarku dari belakang."
Dia mengatakan itu dengan nada yang sama seperti
biasanya, tanpa sedikit pun terlihat canggung.
"Yoshi, kamu jadi ilfeel, ya?"
"Tidak, sama sekali… malah aku senang."
"…Senang? Ahaha, eh?"
"Maaf kalau terdengar aneh. Tapi selama ini kamu
jarang membicarakan dirimu sendiri, jadi aku senang bisa melihat sisi lain
darimu."
Hanazono berkedip beberapa kali, lalu tiba-tiba tertawa
kecil.
"Kamu memang aneh, ya, Yoshi."
"Serius?"
"Serius. Aku tadi sempat berpikir kalau kamu
bakal membenciku. Aku sadar betul kalau aku sengaja mengatakan hal buruk untuk
membuat senior itu menyerah hari ini juga."
"Tidak mungkin aku membencimu!"
"Kenapa? Kalau aku, aku tidak bisa percaya pada
orang yang suka bersikap berbeda tergantung situasi."
"Itu tergantung keadaannya. Ada hal-hal yang tidak
bisa diungkapkan di depan teman. Tadi pun, kamu bukannya merasa bersalah
kepadaku secara pribadi, kan?"
Aku sendiri juga tidak bisa menceritakan semua
tentang masa SMP-ku kepada Remi.
Begitu pula dengan Hanazono.
"…Kamu bisa memisahkan hal-hal seperti itu, ya.
Dewasa banget."
"Serius?"
"Iya. Tapi justru karena aku tidak merasa bersalah
kepadamu, aku jadi khawatir. Aku takut kamu menganggapku aneh."
Aku memiringkan kepalaku.
"Tapi, Hanazono memang aneh, kan?"
"Kok jahat!?"
Matanya membulat lebar.
Aku bisa melihat bayangan diriku di matanya yang besar
itu.
"Aku justru suka sisi itu dari kamu. Orang yang
sulit ditebak rasanya lebih menyenangkan saat sudah akrab nanti."
"Jadi, aku memang aneh? Yoshi juga punya alasan aneh
untuk menyukai orang, ya."
"Aku sering cerita banyak hal ke kamu, kan?
Tentang siapa yang aku suka, atau kalau aku sebenarnya pernah dikucilkan saat
SMP."
"Iya."
"Tapi kamu hampir tidak pernah bercerita tentang
dirimu sendiri. Rasanya cuma aku yang kelemahannya diketahui. Makanya, aku
harus cari cara supaya kamu tetap di pihakku."
"Jadi aku tidak dipercaya!? Aku tidak bakal
bocorin rahasia, tahu!"
Hanazono
buru-buru mencoba membela diri.
Aku tahu
itu, tapi tetap saja menyenangkan mendengarnya langsung darinya.
"Ahaha, aku tahu kok. Makasih, ya."
"…Yoshi aneh."
Meskipun dia berkata begitu, senyumannya terasa lebih
lembut dari biasanya.
"Jadi, kamu datang untuk menghiburku, ya?"
"Yah... kurang lebih begitu."
"Ah, salah. Sebenarnya kamu cuma mau meledekku,
kan?"
"Kalau aku serius datang buat menghibur, malah
jadi canggung, tidak sih?"
"Sama sekali tidak! Aku malah senang!"
Sambil tertawa, kami berdua menaiki tangga.
Entah kenapa, suara Hanazono terdengar lebih hangat dari
biasanya.
Dari lorong, aku sempat melihat sekilas sosok Yuzuha.
Mata kami sempat bertemu, tapi dia langsung paham
situasinya dan menghilang ke dalam kelas.
"Yoshi, sejak kejadian di SMP itu, pernah
kepikiran buat jatuh cinta lagi?"
"Ya… pernah. Bahkan sekarang pun aku masih
berpikir begitu."
"…Begitu, ya. Kenapa, ya?"
Sambil bergumam, Hanazono melangkah menuju jalan
keluar ke gedung utara, bukan ke arah kelas.
Rasanya seperti dia sengaja menunjukkan bahwa dia ingin
lebih lama bersamaku.
Langkahku pun terasa semakin ringan.
"Kenapa, ya? Karena menurutku, jatuh cinta pasti
menyenangkan."
"…Menyenangkan, ya? Padahal lebih sering merasa
dibenci, diabaikan, atau kehilangan. Rasanya hanya hal-hal buruk saja yang
terjadi."
…Mungkin, aku dan Hanazono itu mirip.
Aku juga selalu merasa harus menemukan alasan di balik
kebaikan yang diberikan Yuzuha kepadaku.
Sama seperti Hanazono yang mencari alasan dalam cinta.
Alasan yang bisa ia pahami sendiri.
Setelah sedikit ragu, aku akhirnya membuka mulut.
"Mungkin ya… saat kita benar-benar membuka hati, dan
diterima apa adanya, rasanya pasti menenangkan. Bukan cuma dalam cinta, tapi
juga saat pertama kali berteman, atau ketika pertemanan semakin dalam."
Justru karena itu, ditolak itu menyakitkan.
Karena meskipun hanya sesaat, rasanya seperti seluruh
dirimu ditolak mentah-mentah.
Apalagi kalau gara-gara itu, semua orang menjauhimu—bukan
berlebihan kalau rasanya seperti ditolak oleh dunia.
Tapi saat aku sedang terpuruk, Hanazono ada di sana.
Dia menerima keberadaanku, bercanda denganku, bahkan
meskipun sepihak, aku bisa curhat kepadanya.
Sebelum Yuzuha menolongku, kalau saja Hanazono tidak ada,
mungkin aku sudah berhenti sekolah dan bahkan tidak bisa ikut ujian masuk SMA.
Perasaanku terhadap Hanazono bukan hanya sekadar rasa
suka, tapi juga rasa terima kasih yang tulus.
"Waktu pertama kali kita bertemu, kita awalnya cuma
saling ngobrol lewat teks, tapi lama-lama jadi semakin dekat. Mungkin karena
kita juga sering ketemu secara langsung, tapi setidaknya aku merasakannya
seperti itu."
Hanazono mendengarkan dalam diam.
Dia menundukkan kepala, tapi aku bisa merasakan bahwa dia
mendengarkan dengan saksama.
"Begitu, ya. Yoshi ternyata berpikir seperti itu,
ya."
"Hanazono… tidak merasa begitu?"
Dulu, aku sempat berpikir kalau perasaanku bertepuk
sebelah tangan.
Dan meskipun sekarang aku belum sepenuhnya yakin, aku
ingin tahu jawabannya.
"Tentu saja aku merasa begitu. Aku kan sudah bilang,
Yoshi itu temanku."
…Bukan itu maksudku.
Sepertinya, kalau ingin menyampaikan perasaanku, aku
harus mengatakannya dengan jelas.
…Aku harus.
"Kalau cuma berteman, kita tetap bisa semakin dekat
tanpa harus menjalin hubungan romantis."
"Tapi, selama kita laki-laki dan perempuan, bukan
berarti perasaan seperti itu tidak akan muncul, kan?"
Begitu aku berkata begitu, Hanazono tiba-tiba
berhenti melangkah.
"Tak kusangka. Jadi, kamu termasuk yang tidak
percaya persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu bisa terjadi?"
"Kalau salah satu ada yang jatuh cinta, maka
persahabatan itu tidak bisa bertahan."
Hanazono menjawab singkat, "Hmm," lalu
melanjutkan,
"Tapi Yoshi itu berbeda. Aku cukup yakin kalau aku
mengerti tentang Yoshi."
Kamu itu berbeda.
Aku tahu kamu.
Sebuah pernyataan positif, yang diam-diam berisi
peringatan agar aku tetap seperti yang dia harapkan.
Justru karena itu, kalau aku tidak menolaknya sekarang,
aku tidak akan bisa melangkah lebih jauh.
Aku harus…
"Aku tidak berbeda. Aku juga, kalau menyukai seseorang, akan merasakan hal
yang sama."
Kali ini, Hanazono berkedip beberapa kali dengan mata
terbelalak.
"Begitu, ya… Jadi seperti itu."
"…"
Sial, aku tidak kepikiran harus ngomong apa setelah
ini.
"A-aku… ingin lebih banyak ngobrol sama
Hanazono. Misalnya, akhir pekan ini?"
…Apa yang baru saja aku katakan!? Bukannya ini
setengah mengajak kencan!?
"Maaf, akhir pekan ini aku ada acara."
"O-oh… gitu, ya."
Langsung ditolak mentah-mentah.
Beberapa detik berlalu, dan perlahan-lahan rasa syok
mulai meresap.
Bel tanda masuk berbunyi, membuat tubuh Hanazono
sedikit tersentak.
"…Ayo masuk."
"O-oh…"
…Jangan-jangan, perasaanku sudah ketahuan barusan.
Aku sudah menyadarinya sendiri.
Mungkin, Hanazono menganggapku sebagai teman yang lebih
dekat daripada yang lain.
Tapi, dia sama sekali tidak melihatku sebagai sesuatu
yang lebih dari itu.
Meskipun perasaan ini nyata, kalau aku bahkan tidak bisa
memulai kembali dari titik awal, maka tidak akan ada masa depan.
"Yoshi."
"A-apa?"
"Aku bukannya tidak mau jatuh cinta."
Aku refleks menghentikan langkahku.
Hanazono menunjukkan keraguan untuk pertama kalinya,
sebelum berbalik dan berbicara dengan suara pelan.
"…Aku cuma ingin ada seseorang yang melihatku. Tapi,
apa itu terlalu sulit?"
Aku teringat kembali kata-kata yang tadi dia lontarkan
pada senior itu.
"…Tidak sulit. Justru semakin lama kita mengobrol,
semakin kita tahu apakah kita benar-benar cocok atau tidak."
"…Begitu, ya."
Hanazono menjawab singkat, lalu tersenyum kecil.
"Kalau begitu, aku akan menantikan orang seperti
itu."
"…Iya."
Aku menempelkan tangan ke dadaku.
Aku memang…
Hanazono lebih dulu kembali ke kelas.
Aku memandang punggungnya yang semakin mengecil, lalu
menghela napas perlahan.
…Sampai sekarang pun.
Sampai sekarang pun, aku masih ingin berpacaran dengan
Hanazono.
Entah ini perasaan yang sudah ada sejak SMP atau baru
saja muncul kembali, aku tidak peduli.
Baru saja aku menyadari perasaanku, tapi bahkan ada
kemungkinan Hanazono sudah mengetahuinya.
Aku masih belum siap mengambil keputusan, tapi aku pernah
yakin bahwa kami dulu sempat berada dalam situasi yang baik.
Dulu, aku tidak sempat menyatakan perasaanku, dan
akhirnya segalanya berlalu begitu saja.
Kalau aku memang akan mengalami patah hati, mungkin lebih
baik jika aku mencoba dengan segenap hati. Itu saja sudah merupakan perubahan
besar dalam diriku.
Begitu duduk di bangkuku, aku menyembunyikan diri di
balik meja dan mengetik di ponsel. Penerimanya adalah Yuzuha.
Ryo: "Aku sudah memutuskan untuk
mengejar Hanazono!"
Pesanku langsung dibaca.
Yui:
"Siap! Aku bakal bantuin!"
Yuzuha melirik ke arahku, tapi tidak memberi isyarat
apa pun sebelum kembali menatap papan tulis.
Tapi, masih ada satu orang lagi yang harus aku minta
bantuannya.
Orang itu adalah—