NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Anokoro ii Kanjidatta Joshi-tachi to Onaji Kurasu ni Narimashita Jilid 1 Bab 9

Penerjemah: Arif77

Proffreader: Arif77


BAB 9 – Kelanjutan Kencan Rumah

"Ada apa, ngomong-ngomong?"

Pukul delapan tiga puluh malam, di depan pintu rumah Remi.

Dengan pakaian santainya, Remi berbicara dengan suara yang jelas-jelas menunjukkan ketidaksenangan.

"Ayo kencan minggu depan."

"Pulang sana."

"Tunggu duluuu!"

Saat dia hendak menutup pintu, aku buru-buru menahannya dengan paksa.

"Kamu ini… Datang tiba-tiba di malam hari cuma buat ngajak kencan, otakmu baik-baik saja!? Setidaknya ada telepon, chat, atau cara lain, kan!?"

"Soalnya kamu tidak pernah angkat teleponku!"

"Aku punya prinsip untuk tidak angkat telepon di malam hari!"

"Kalau begitu, aku memang tidak ada harapan, dong!?"

"Besok kita juga bakal ketemu, kan!? Lagipula, kenapa juga aku harus kencan sama kamu…!?"


"Eh!? Kan kamu yang kasih tiket kencan itu, buat latihan supaya lebih terbiasa dengan cewek!"

"Oh..."

...Dia sudah lupa, ya.

Malu banget kalau dia benar-benar mengira aku ngajak kencan beneran.

"T-tapi tetap saja, jangan datang ke rumahku gitu dong. Kalau ada yang lihat, aku juga bakal kesulitan."

"Kalau gitu, pas kencan nanti gimana? Lagian, kamu tadi lupa, kan?"

"Aku tidak lupa. Lagipula, kencan itu bisa dicari alasan buat ngeles kapan aja."

"Aku tidak ngerti logikamu sama sekali."

Aku menghela napas, sementara Remi memiringkan kepalanya sedikit.

Rambutnya yang terawat dengan baik bergerak lembut mengikuti gerakannya.

"Ya... sudahlah. Kalau soal kencan, gimana kalau kita anggap udah beres hari ini aja? Aku punya game di rumah, kita bisa habisin waktu di sini."

"Jangan-jangan kamu males keluar dan mau ngajak kencan di rumah aja?"

"Tidak kok."

Remi menjawab dengan ekspresi yang jelas-jelas menunjukkan kalau dia bohong.

Aku mengangkat bahu dengan gaya yang dibuat-buat sebelum menanggapinya.

"Oh, kalau gitu berarti kita setuju ini kencan di rumah, ya! Berarti kalau nanti suasananya agak dewasa, kamu tidak boleh protes, dong?"

"Kalau kamu macem-macem, aku bakal bunuh kamu."

"Aku tidak bakal macem-macem, sumpah!"

Lagi pula, setelah menyadari perasaanku ke Hanazono, rasanya aku tidak mungkin kepikiran yang aneh-aneh.

Malah, aku merasa agak bersalah masuk ke kamar seorang cewek.

Padahal, aku bahkan belum tahu apakah aku bisa jadian dengan Hanazono atau tidak.

"Kamu kok tahu kalau hari ini orang tuaku lagi tidak di rumah?"

"Ah... dari dulu tiap Kamis kamu sendirian. Dulu kamu sering nginep di rumahku, jadi aku inget."

"Stop. Jangan ingat-ingat hal itu. Aku merasa ada kenangan memalukan yang bakal keinget."

"Ada banyak, kan? Dari dua belah pihak."

Begitu aku menjawab, Remi menyipitkan matanya.

Lalu, setelah mendesah kecil, dia menyingkir untuk memberiku jalan masuk.

"Udah, masuk aja. Kalau ada serangga masuk gara-gara pintu kebuka lama, kamu yang tanggung jawab."

"Hah? Etidak deh, aku di sini aja."

"Ngobrol di lorong itu bakal ganggu tetangga."

"Kalau gitu, kita ke taman aja?"

"Aku masih pakai baju rumah, tahu!? Males banget harus ganti!"

Aku menurunkan pandangan dan melihatnya.

Dia hanya mengenakan tank top tipis dengan hoodie ringan di atasnya, dan celana hot pants.

Lebih terbuka dibanding seragam sekolahnya.

Justru karena itu, aku merasa ragu untuk masuk ke dalam.

"Udah, buruan masuk."

"Jadi aku beneran masuk, ya? Serius nih?"

"Udah aku bilang boleh, kan!?"

Aku sempat ragu sejenak, tapi akhirnya melangkah masuk ke rumahnya.

Aku meyakinkan diri bahwa aku bukan bertamu ke rumah seorang cewek.

Aku cuma masuk ke rumah teman masa kecilku.

Sementara itu, Remi menyilangkan tangan dan mengawasi saat aku masuk.

"......"

"......Mau main game dulu biar tidak tegang?"

"...Tolong banget."

Aku harus mencari cara supaya ekspresi gugup ini tidak kelihatan terus.


Begitu masuk rumah, kami langsung bermain game di ruang tamu selama sekitar satu jam.

Game pertarungan yang dulu sering kami mainkan berjam-jam saat liburan musim panas waktu SD.

Awalnya kami sama-sama masih kaku, tapi setelah beberapa ronde, ritme lama mulai kembali. Setiap kali salah satu dari kami berhasil melakukan teknik spesial, kami bersorak kegirangan.

"Oke! Oke!"

"Jangan bilang 'oke', nyebelin!"

Setiap kali terkena serangan kombinasi, Remi menggerutu dengan suara kesal.

Duduk di sofa bersebelahan, kami seolah menebus waktu yang hilang selama ini.

Dulu, ketika aku dan Remi masih cukup akrab, kami sering main bersama di bawah atap yang sama.

Aku sempat berpikir itu karena kami sudah tumbuh dewasa.

Tapi kalau diingat lagi, mungkin saat itu aku mulai sadar bahwa dia seorang cewek.

Dan sekarang, kesadaran itu jauh lebih kuat.

"Ah!"

"Yes! Rasain!"

Karakterku terlempar jauh, membuat skor jadi imbang, lima lawan lima.

Momen yang pas untuk mengakhiri permainan.

Sepertinya Remi juga menyadarinya. Dia pun meletakkan kontroler dan langsung bertanya.

"Jadi, Ryouta. Kenapa tiba-tiba kamu mau pakai tiket kencan itu?"

"Uh... ah..."

Aku memainkan remote TV tanpa tujuan, berpikir sejenak.

Lalu, akhirnya aku memutuskan untuk jujur.

"Aku suka seseorang."

"Oh, gitu."

"Lho, reaksimu datar banget!?"

Aku terkejut dengan betapa tidak tertariknya dia.

Kupikir dia bakal menggoda atau meledekku lebih banyak.

Tapi dia hanya mengangkat bahu dengan santai.

"Orangnya Hanazono, kan?"

"Eh!?"

"Sejak hari kita makan bersama di kantin, aku sudah memperhatikanmu. Dan jelas sekali kalau kamu masih sadar akan hal itu."

"…B-Ba-Bagaimana… ketahuan?"

"Sudah jelas sekali. Lagipula, apa-apaan ini? Kamu terlalu panik."

Remi tertawa kecil sambil mematikan daya konsol game.

Di layar televisi yang menjadi gelap, bayangan dua orang tergambar.

"…Menurutmu, dia juga menyadarinya?"

"Kalau memang kamu benar-benar akrab dengan Hanazono, pasti dia sadar. Soalnya dibandingkan dengan orang lain, kamu terlalu sopan padanya."

Kalau dipikir-pikir, aku sadar bahwa gaya bicaraku biasanya cukup kasar.

Tapi entah kenapa, aku tidak ingin terlihat seperti itu di depan Hanazono, jadi aku lebih berhati-hati saat berbicara dengannya dibanding dengan orang lain. Dari sudut pandang seorang teman masa kecil, perbedaan itu tampaknya sangat jelas.

"Sial, serius? Kalau orang lain juga menyadarinya, bakal ribet banget… Kalau sampai Hanazono diejek gara-gara ini seperti yang terjadi waktu Yuzuha, aku bakal merasa sangat bersalah."

Saat aku mengeluh dengan suara muram, Remi mengernyitkan alisnya.

"Di kantin tadi juga kamu sudah cukup banyak digoda, tapi itu bukan pertama kalinya, kan?"

"Hmm… Yah, jarang sih sampai dikatakan sejelas itu. Oh iya, ngomong-ngomong, terima kasih ya waktu itu sudah mencoba membelaku."

"Ah, tidak apa-apa. Meskipun gara-gara seseorang, aku akhirnya tidak bisa melakukan apa pun."

"Aku tetap senang atas niat baikmu."

Dulu, Remi juga selalu mengekspresikan perasaannya secara langsung, dan aku merasa nostalgia karenanya.

Saat Remi pergi mencabut colokan konsol game, aku memanggilnya.

"Hei, Remi."

"Hm? Apa?"

"Aku tetap mendukung keinginanmu untuk menjadi lebih anggun, itu sudah pasti. Tapi… aku juga tetap menganggap Remi yang dulu sangat keren."

Remi berbalik dan berkedip seolah sedikit bingung.

"Aku senang mendengarnya. Tapi tetap saja, aku ingin menjaga citraku sebagai gadis anggun. Lagipula, aku baru dua minggu sejak pindah sekolah."

"Hahaha, aku sudah menduga kamu bakal bilang begitu. Sepertinya kamu bakal jadi tipe idola di sekolah ini."

"Semoga saja. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk menunjukkan batasan antara aku dan kamu."

"Maaf ya, tapi di depanmu, aku akan tetap jadi diriku yang dulu. Jadi, terima saja, ya?"

"Tidak masalah. Aku juga tidak punya hak untuk mengekangmu."

Sebagai seorang siswi SMA sekarang, Remi pasti memiliki kekhawatiran yang tidak ia miliki dulu.

Bahkan, mungkin ada kesamaan antara perasaannya dan perasaan Hanazono.

Dari sudut pandang seorang pria, menerima pernyataan cinta mungkin adalah hal yang menyenangkan, tetapi bagi seorang gadis, itu bisa jadi tidak sesederhana itu.

Kata-kata Takeru melintas di benakku.

…Pada akhirnya, dia benar.

Dengan kata lain—

"Jadi, cantik itu merepotkan, ya?"

Remi sedikit memerah.

Dia mengambil remote dariku dan mematikan televisi.

"Kamu dengan mudahnya bilang 'cantik', ya. Padahal saat kita bertemu lagi, kamu kelihatan sangat gugup. Begitu sudah terbiasa, malah jadi sok akrab."

"Bisakah kamu menerima itu sebagai pujian saja?"

Aku membuat tanda silang di mulutku, khawatir Remi akan terus mengomel jika dibiarkan.

Aku tidak punya maksud lain, dan aku juga tidak sedang bercanda. Aku hanya menyampaikan apa yang kupikirkan.

…Seandainya aku bisa melakukan hal yang sama pada Hanazono.

Tapi justru karena aku tidak bisa dengan mudah mengungkapkan perasaanku, itulah tanda bahwa aku memang menyukainya.

"Jangan sembarangan mengatakan 'cantik' kepada seorang gadis. Kalau tidak benar-benar dekat, mereka bisa merasa risih atau malah takut."

"Kalau bisa mengatakan dengan mudah, aku tidak akan kesulitan begini."

"Kalau begitu, kenapa bisa dengan santainya mengatakannya padaku?"

Remi mendekat dan mencubit lenganku dengan erat.

"Aww!" Aku menjerit, sementara Remi tertawa kecil melalui hidungnya.

"Karena di dekatmu, aku bisa kembali seperti dulu! Kita kan teman masa kecil!"

"Oh begitu. Lagipula, kamu memang tidak pernah menganggapku sebagai seorang gadis, kan?"

"Yah, memang sih—"

Adegan di taman tiba-tiba melintas di benakku.

"Tapi…"

"…? Ya sudah. Tapi kalau begitu, meskipun kita pergi kencan, aku tidak yakin aku bisa menjadi bahan latihan yang baik untukmu."

…Tidak mungkin.

Memang benar bahwa aku telah lama menganggap Remi seperti teman laki-laki.

Tapi sebenarnya, ada masa di mana aku sangat menyadarinya sebagai seorang perempuan.

Bahkan sekarang pun, bukan berarti aku tidak melihatnya sebagai seorang gadis.

Tidak mungkin ada pria yang tidak menyadari kehadiran Remi yang sekarang. Justru itulah alasan aku sempat ragu untuk masuk ke rumahnya.

Karena hanya dengan sedikit menundukkan pandangan, aku bisa melihat simbol keperempuanannya.

Aku bukan orang yang begitu bebal sampai tidak merasakan apa-apa ketika melihat lekukan tank top itu.

Jika aku mengatakan isi hatiku ini, mungkin Remi akan kecewa.

Karena aku telah menjadi pria dengan pikiran jauh lebih kotor dibanding anak laki-laki yang dulu sangat ia benci.

Saat aku sibuk memutar otak, Remi sedikit memiringkan kepalanya ke samping.

Sambil mengembalikan kontroler ke dalam kotaknya, ia melanjutkan pembicaraannya.

"Yah, Hanazono memang terlihat sulit ditebak. Jadi aku bisa memahami kenapa mendekatinya tanpa persiapan itu susah. Lagipula, aku juga tidak begitu yakin apakah kalian benar-benar akrab."

…Kalau hanya melihat interaksi kami di kelas dan di lorong, wajar jika dia berpikir begitu.

Aku sendiri pun tidak yakin bahwa semuanya berjalan baik saat itu.

"Seperti yang kau bilang, Hanazono juga pasti menyembunyikan sesuatu. Ada kalanya aku tidak tahu apa yang sebenarnya ia pikirkan."

Adegan pengakuan cinta terlintas di pikiranku.

Saat itu, kata "seks" keluar dari mulutnya begitu saja, seolah itu adalah hal yang lumrah. Bahkan saat kuingat sekarang, itu tetap mengejutkan.

Tapi ketika aku berhadapan langsung dengannya, rasanya sama sekali tidak mungkin ia akan mengatakan hal seperti itu.

"Tapi, menurutku punya sisi tersembunyi itu hal yang wajar. Saat melihatmu yang baru pindah ke sekolah ini, aku mulai berpikir kalau semakin dewasa seseorang, semakin ia belajar untuk memakai 'topeng'."

Remi pernah berkata pada hari pertama kepindahannya—

"Kita sudah bukan anak kecil lagi yang bisa mengatakan segala hal dengan jujur begitu saja."

Saat masih SD, seseorang yang memiliki dua wajah dianggap sebagai pribadi yang buruk. Remi bisa dengan cepat menjadi pemimpin justru karena kepribadiannya yang jujur dan apa adanya.

Namun, di SMA, ceritanya berbeda.

Bagi kami yang harus memiliki keterampilan sosial, membangun ‘dua sisi’ dalam diri mungkin adalah kemampuan yang wajib dimiliki.

"Aku juga berpikir begitu. Tapi kadar perbedaan antara sisi luar dan dalam itu pasti berbeda-beda. Dalam kasusku, mungkin perbedaannya cukup besar."

"Jadi kau sadar juga, ya?"

"Berisik!"

Remi menaikkan suaranya dan berdeham. Seram juga.

"Tapi menurutku, Hanazono juga punya dua sisi yang cukup kuat, sepertiku. Kamu yakin bisa menang melawan orang seperti itu?"

…Entah kapan tepatnya, tapi kemampuan observasi Remi sangat tajam.

Di kelasku, hampir tidak ada yang menyadari sisi tersembunyi Hanazono.

Aku memilih untuk tidak membahas hal itu dan hanya menjawab pertanyaannya.

"Menang, ya…? Mungkin satu-satunya hal yang bisa kusebut sebagai keuntungan adalah bahwa sekitar setahun yang lalu, aku merasa ada momen di mana kami cukup dekat. Kurasa."

"Wah, keren juga. Kalau begitu, mungkin kamu punya peluang?"

"Aku sudah bilang di kantin tadi, kan? Aku sering salah mengartikan situasi. Makanya aku tidak yakin apakah 'momen dekat' yang kurasakan itu benar adanya."

"Ah, begitu ya. Sekarang aku mengerti."

Remi mengangguk paham.

"Jadi itu yang membuatmu ragu, ya? Sebenarnya tadi aku merasa kau ingin menanyakan sesuatu, tapi teralihkan oleh obrolan tentang kencan."

Lalu, Remi merebahkan diri di sofa, menatap ke arah langit-langit seolah sedang mengingat sesuatu.

Sudah dua minggu sejak aku bertemu lagi dengan teman masa kecilku.

Aku sudah kembali ke titik di mana aku bisa berbicara tentang apa saja dengannya.

Kalau begitu, aku harus bertanya.

Jika ingin menjalin hubungan—setidaknya aku harus bisa menentukan kapan sebuah momen bisa disebut sebagai 'momen yang baik'.

Untuk itu—

Apakah saat itu benar-benar momen yang baik?

Apakah saat itu, dia benar-benar menyukaiku?

Hanya dengan memastikan bahwa pemahamanku benar, aku bisa mendapatkan kepercayaan diri dalam bertindak.

"Hei."

Aku memanggilnya.

Remi berkedip beberapa kali sebelum mengangkat tubuhnya.

Tatapan kami bertemu.

Menyadari bahwa aku akan membicarakan sesuatu yang serius, Remi pun memperbaiki posisi duduknya.

"Kenapa?"

"Aku selalu kesulitan menentukan kapan suasana terasa 'baik' dalam sebuah hubungan."

"Hmm."

"Maaf kalau aku salah paham, tapi… kita dulu pernah berada di situasi 'baik' itu, kan?"

"Aku rasa kita memang pernah berada di situasi seperti itu."

Waktu terasa berhenti.

Ruang tamu menjadi begitu sunyi hingga aku merasa bisa mendengar suara gesekan celana pendek Remi dengan sofa.

"Akhir kelas enam SD, bukan?"

Aku berkedip beberapa kali, buru-buru merangkai kata.

"Eh, serius…?"

"Serius. Sebenarnya, tadi di kantin aku sempat ingin memberitahumu soal ini."

Nada suaranya terdengar sedikit canggung, seakan dia juga merasa sedikit tidak nyaman membicarakannya.

Aku mengangguk dalam-dalam.

Entah bagaimana… aku tidak menyangka dia akan mengakuinya dengan begitu mudah.

Jadi, dugaanku saat itu memang benar?

Kalau begitu, berarti perasaan yang kurasakan saat masih SD tidak sepenuhnya keliru.

Meskipun dugaanku terhadap Seto dan Miyabi jelas-jelas salah, setidaknya aku bukan orang yang sepenuhnya buruk dalam membaca situasi.

"O-Oh… kalau begitu, aku rasa aku bisa lebih percaya diri dalam menjalin hubungan. Sepertinya, kegagalan dalam cinta memang sesuatu yang tidak bisa dihindari."

"Jadi, selama aku tidak ada, kamu mengalami cukup banyak kegagalan, ya?"

"…Bisa janji untuk tidak mengejekku?"

"Kau menganggapku seperti apa sih?"

"Teman masa kecil yang sinis dan suka berbicara pedas."

"Kalau begitu, ubah itu jadi 'teman masa kecil yang cantik dan sempurna'."

Remi bangkit dari sofa.

…Jadi, dia juga menganggap bahwa dulu kami pernah berada dalam suasana 'baik'.

Mungkin karena merasa canggung dengan situasi ini, aku mulai banyak bercerita tentang masa SMP-ku.

Tentang seorang gadis yang pernah dekat denganku.

Tentang kegagalan saat aku mengungkapkan perasaanku.

Tentang bagaimana aku akhirnya dikucilkan setelah itu.

Tentang bagaimana Yuzuha membantuku keluar dari situasi itu.

Setelah mendengar semua ceritaku, Remi tersenyum tipis dengan sorot mata yang sedikit sendu.

"Jadi, kamu mengalami masa-masa yang cukup sulit, ya."

"Kurang lebih. Tapi, berkatmu, aku sekarang tahu bahwa penilaianku selama ini tidak sepenuhnya salah. Itu sangat berarti bagiku."

Selama ini, aku selalu gagal mengungkapkan perasaanku kepada orang yang terasa 'dekat'.

—Kini saatnya menghapus rasa penyesalan itu.

Jawaban Remi memberiku keberanian untuk berpikir seperti itu.

Saat aku tengah memikirkan hal itu, Remi tiba-tiba berbicara lagi, kali ini dengan nada sedikit ragu.

"Sebenarnya, aku agak sulit mengatakannya, tapi…"

"Apa?"

"Ketepatan instingmu dalam menentukan 'suasana baik' itu juga bergantung pada seberapa baik kau mengenal seseorang."

"Eh?"

"Misalnya, kita sudah berteman lebih dari sepuluh tahun. Kalau ada perubahan dalam suasana atau seseorang menunjukkan tanda-tanda menyukai kita, pasti akan terasa berbeda. Makanya aku juga merasa bahwa kita dulu berada dalam suasana yang 'baik'."

"Ugh… K-Kenapa kamu bisa mengatakannya dengan begitu santai?"

Remi terdiam.

Saat aku terus menatapnya, dia perlahan menyelipkan rambut hitamnya ke belakang telinga dan mengalihkan pandangan.

"…Itu kan sudah lama sekali."

Kenangan lama pun muncul dalam benakku.

Taman di jalan pulang sekolah.

Suara berderit dari ayunan yang sudah berkarat.

Langit luas yang membentang di atas kami saat kami mengobrol.

"Tapi tadi kamu bilang kalau aku tidak menganggapmu sebagai seorang perempuan."

"Apa yang kukatakan tadi ya soal tadi, yang sekarang ya soal sekarang. Setiap waktu memiliki konteksnya sendiri, bukan?"

"Tapi—"

"Jangan 'tapi'! Coba pahami sendiri!"

Remi mengembalikan pandangannya ke arahku.

Teman masa kecilku tampak sedikit merona.

"…Kalau sampai salah paham, yang merasa malu bukan cuma kamu, tahu."

"S-serius? …Jadi, waktu itu, apa yang kamu pikirkan?"

Apakah saat itu Remi benar-benar mengharapkan sesuatu?

Apakah dia sempat menaruh harapan padaku?

"…Tentu saja aku senang. Siapa yang tidak bakal senang kalau seseorang yang sudah bersamanya begitu lama ternyata menyukainya?"

"A-aku bukan bilang aku suka padamu atau apa! Jangan salah paham, ya!?"

"Dari caramu menyangkal, jelas banget kalau itu cuma alasan, tahu."

Remi menyipitkan matanya dengan tatapan malas.

Aku tidak bisa membantahnya, tapi kalau aku tidak mencoba bertahan, pikiranku mungkin akan goyah.

Meski begitu, aku tetap ingin berterima kasih padanya karena sudah memberitahuku semua ini.

"Aku selalu berpikir kalau ini bisa bikin kamu ilfeel. Tapi, terima kasih, ya."

Remi mengerutkan alisnya sedikit.

Dalam sekejap, rona merah di pipinya menghilang.

Sama seperti hari itu.

Mungkin cahaya lampu berwarna jingga di ruangan ini menipuku, seolah membawa kembali bayangan sinar matahari senja yang menyinari wajahnya dulu.

"Kenapa kamu berpikir kalau aku bakal ilfeel?"

"Ya… soalnya, dari dulu kamu selalu galak sama cowok lain, kan? Tiap kali ada yang nembak kamu, kamu selalu menghardik mereka habis-habisan."

Begitu aku mengatakan itu, Remi langsung memasang ekspresi masam, seperti baru saja menggigit sesuatu yang pahit.

Itu ekspresi yang sama seperti yang kulihat saat pertama kali bertemu dengannya lagi di lorong sekolah.

"Jadi, aku emang cewek yang nyebelin, ya… Wajar aja kalau dulu aku tidak disukai…"

"Oh, ternyata kamu sadar juga, ya?"

"Kamu tidak berhak ngomong begitu, tahu! Apalagi kamu sendiri yang suka padaku dulu!"

"Tapi kamu juga suka padaku, kan!?"

"Itu dulu! Kenangan masa kecil udah mulai memudar! Masa-masa menyebalkan yang bikin aku ingin menghilang itu udah berlalu, dan aku sekarang udah jadi orang yang berbeda!"

"Orang yang berbeda? Hmm, benarkah? Aku sih tidak yakin. Dasarnya kamu tetap sama—"

"Kamu juga, ya! Ngaku-ngaku cuma teman masa kecil, tapi selalu mencoba mengorek perasaanku! Jangan bilang urusan Hanazono itu juga cuma buat bikin aku cemburu!"

"Tidak mungkin! Itu jelas tidak ada hubungannya!"

"Ih, mulutmu itu selalu kebanyakan ngomong!"

Remi menjawab dengan mendelik, lalu menendang pahaku dengan kakinya.

"Aduh!" Aku meringis kesakitan.

Tapi karena gerakan itu, kaki Remi tersangkut sesuatu.

"Eh, awas!"

Dalam sekejap, keseimbangannya hilang.

Aku melihat pemandangan di sekitarku berubah dengan cepat, dan tahu-tahu Remi sudah jatuh menimpa tubuhku di sofa.

"W-wait!?"

Aku mendengar suaranya yang panik.

Aroma manis yang khas langsung menyeruak.

Saat aku mengangkat wajah, wajah Remi berada begitu dekat, hingga napasnya hampir menyentuh kulitku.

"U-uh…"

Dia terlalu cantik.

Kulitnya putih bening seakan mampu memantulkan cahaya, dan wajahnya memiliki fitur yang sempurna.

Bulu matanya panjang, dan matanya yang besar tampak berkilau dalam gelap.

Berbagai macam pemikiran berputar dalam kepalaku dalam sekejap.

"Hah, jadi sekarang kamu sudah lebih berani, ya?"

"Hah?"

Posisi kami begitu canggung.

Tubuhku menegang. Jika aku bergerak sedikit saja, bagian tubuh kami bisa saja bersentuhan di tempat yang tidak seharusnya.

Tapi sepertinya, itu sudah terjadi.

Aku mulai menyadari sensasi aneh di sisi kananku.

Di sekitar siku kananku, terasa sesuatu yang sangat lembut.

Saat aku melirik ke bawah, aku melihat bahwa lenganku berada di antara kulit Remi—tepatnya, terjebak di antara lengan atas dan dadanya.

…Sial, semoga dia tidak sadar.

Aku mencoba menarik lenganku dengan perlahan, tapi malah membuat sensasi itu semakin terasa.

Aku mencoba menggoyangkannya ke kanan dan kiri, tapi itu justru membuat situasinya semakin buruk.

Remi, yang tadi hendak bangkit, tiba-tiba menghentikan gerakannya.

"…Hei, kamu sadar tidak sih, tanganmu dari tadi nempel di mana?"

"Eh—"

"Jangan bilang… kamu masih berharap ada kesempatan, ya?"

Saat aku mengangkat pandanganku, kulihat pipi Remi kembali merona.

"T-tunggu, ini bukan sengaja! Aku benar-benar tidak bermaksud, sumpah!"

"Jangan… Aku tahu, jadi jangan bergerak tiba-tiba. Aku akan menjauh sekarang—"

Mungkin hanya perasaanku, tapi suaranya terdengar sedikit bergetar.

Aku yang semakin panik buru-buru berusaha berdiri, tapi begitu aku menekan tangan kiriku ke sofa, tubuhku malah semakin menekan tubuhnya.

"Aduh… Jangan bergerak tiba-tiba, aku bilang!"

"Bukan, bukan begitu!"

Begitu aku akhirnya menjauh darinya, aku hampir kehabisan napas saat mencoba membela diri.

Siku kananku terasa begitu panas.

Remi juga tampak sedikit terguncang, tapi melihat kepanikanku yang berlebihan, dia tampaknya mulai kembali tenang.

"…Mesum."

"Bukan! Aku beneran tidak sengaja! Maaf banget, sumpah!"

"Ya sudahlah… Ngomong-ngomong, kita tadi lagi bahas apa sih?"

"E-ehm…"

Aku mencoba memutar otakku, mengingat kembali pembicaraan sebelumnya.

"Oh ya, aku tadi bilang kupikir kamu bakal ilfeel sama aku."

"Ah, iya… Tapi dengar ya, aku tidak pernah merasa ilfeel sama kamu. Kalau iya, aku tidak akan membiarkan kejadian tadi begitu saja."

"Tapi itu beneran tidak sengaja!"

"Aku berbaik hati ingin melupakan, jadi diamlah!"

"Baik, aku terima dengan senang hati!"

Aku berusaha keras untuk mengabaikan sensasi di siku kananku.

Lalu, aku teringat sesuatu—Hanazono.

Kalau dipikir-pikir dari cara Hanazono dan senior berinteraksi, kejadian seperti ini biasanya menjadi akhir dari segalanya.

Tapi Remi, yang biasanya keras dan sulit didekati, tetap bertingkah seperti biasa denganku.

Itu berarti, aku sudah membangun hubungan yang cukup baik dengan seorang gadis.

"…Jadi aku bisa percaya diri, ya? Maksudku, dari sekian banyak cowok yang suka padamu, aku satu-satunya yang bisa dekat denganmu."

"Hah. Dasar bodoh."

"Bodoh!?"

Remi mendengus dengan nada setengah kesal, setengah pasrah.

"Biar aku luruskan. Dulu aku bisa dekat denganmu karena kita teman masa kecil. Hanazono-san tidak punya keuntungan itu."

Aku terdiam sejenak.

—Jadi hanya karena kita teman masa kecil.

"Aku pikir aku sudah paham, tapi ternyata memang begitu, ya? Kalau bukan karena kita teman masa kecil, aku mungkin tidak akan pernah bisa berbicara denganmu. Aku hanya beruntung, itu saja."

"Aku tidak bilang begitu. Lagipula, itu berlaku sebaliknya juga."

"Hm?"

"Aku juga beruntung bisa bicara denganmu. Aku memang bilang jangan salah paham, tapi jangan juga merendahkan dirimu. Aku hanya membicarakan soal keuntungan yang aku punya."

Setelah mengatakan itu dengan santai, Remi melanjutkan,

"Waktu yang kita habiskan bersama di masa kecil itu tidak akan mengkhianati kita. Karena aku yang mengalaminya langsung, aku bisa membantumu lebih dari siapa pun."

"Remi…"

"Jadi, apa yang harus aku lakukan?"

Saat itu, wajah Remi terlihat seperti dulu, saat dia selalu memimpin semua orang.

—Di depan Ryota, aku bisa kembali ke masa lalu.

Kata-katanya itu, kurasa bukanlah kebohongan.


 Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment
close