Penerjemah: Arif77
Proffreader: Arif77
Bab 2 – Gadis yang dulu ‘‘Merasa Nyambung’’
Pertama
kali aku bertemu dengan Hanazono Yūka adalah pada musim semi di tahun terakhir
SMP.
Karena efek
samping dari sebuah pengakuan cinta yang berakhir tragis, aku mulai terisolasi
dari lingkungan sekitarku sejak masuk kelas tiga. Itu adalah situasi yang cukup
aneh, dan aku pun mulai mencari tempat lain di luar sekolah untuk merasa
nyaman.
Namun, aku
tahu betul bahwa tempat itu bukanlah bimbingan belajar.
Kenapa? Karena les itu melelahkan.
Apa yang membuatnya melelahkan?
Semuanya.
Aku tahu aku harus belajar.
Aku juga paham kalau belajar akan
menguntungkan di masa depan, dan aku yakin semua anak kelas tiga SMP juga tahu
itu.
Tapi masalahnya, aku tidak punya
cita-cita maupun sekolah impian yang ingin kutuju.
Kalau harus menyebutkan satu syarat,
mungkin hanya ingin masuk sekolah yang tidak satu tempat dengan cewek yang
menolakku dan menyebarkan rumor aneh tentangku.
Keinginan untuk masuk SMA yang bagus
memang ada, tapi setiap kali bertemu orang tuaku, mereka selalu menyuruhku
belajar, dan itu sangat mengganggu.
Aku tahu mereka melakukan itu karena
peduli, tetapi sebagai seorang anak, semakin disuruh, semakin tidak mau
melakukannya.
Aku memang merasa bersalah karena
menyia-nyiakan uang yang mereka keluarkan untuk bimbingan belajar. Namun, rasa
bersalah itu tidak cukup untuk membuatku benar-benar serius belajar sesuai
dengan biaya yang mereka bayarkan.
Ahh, sudah lah.
Aku benar-benar tidak bisa fokus saat
sesi belajar mandiri setelah kelas berakhir, jadi aku menundukkan kepala dan
menatap meja.
Saat itulah, aku menemukan sebuah pesan
tak terduga.
“……Hm?”
Di meja panjang itu, ada sebuah tulisan
kecil.
"Capek."
Tulisan dengan aksara yang rapi, tetapi
berisi keluhan yang sangat negatif.
Kombinasi yang kontras itu cukup
menarik, dan tanpa sadar, aku menyunggingkan sedikit senyum.
…Kebetulan sekali.
Jika harus merangkum perasaanku dalam
satu kata, maka ini adalah jawabannya.
Di sekolah,
aku dijauhi orang-orang.
Di
bimbingan belajar, aku dipaksa untuk datang. Aku tahu belajar itu penting, tapi
tetap saja, aku tidak bisa sepenuhnya lari dari kenyataan bahwa aku hanya
menjalani ini karena terpaksa.
Ya, capek.
Hanya satu kata, tetapi aku merasa ada
yang memahami perasaanku. Aku pun mengambil pensil, menarik sebuah panah ke
bawah, dan menambahkan balasanku.
"Setuju."
Keesokan harinya, saat aku datang ke
tempat les…
Sebuah balasan telah muncul.
"Iya, kan? wkwk"
Aku lebih merasa bersemangat karena
bisa terhubung dengan seseorang yang wajahnya bahkan tidak kukenal, daripada
sekadar terkejut karena mendapat balasan.
Ini pertama kalinya aku merasa jarak
dengan seseorang bisa terasa sedekat ini hanya karena sebuah kata.
Kalau dia duduk di tempat yang sama
seperti kemarin, berarti dia adalah orang yang duduk di depanku.
Aku hanya datang ke tempat les sekitar
tiga kali seminggu, dan di ruang belajar mandiri yang dihuni oleh berbagai
siswa dari berbagai jenjang, mustahil mengetahui siapa yang duduk di sana
sebelumnya.
Bimbingan
belajar ini dihadiri oleh orang-orang dari sekolah dan usia yang berbeda.
Orang ini
tidak tahu kalau aku dijauhi para cewek di sekolah.
Justru karena itu, aku merasa lebih
nyaman.
"Bener banget, ya. Sekolah aja
udah capek, kenapa harus belajar lagi di tempat les? wkwk"
Aku menulis agak panjang tanpa sadar.
Apa ini terlalu panjang?
Jangan-jangan, dia bakal merasa
terganggu?
Mungkin dia
gak akan bales…
Tapi dugaanku salah. Percakapan melalui
tulisan ini terus berlanjut.
"Setuju banget. Sekolah aja udah
berjam-jam, kan."
"Ya sih, meskipun aku juga jarang
dengerin pelajaran wkwk."
"Lah, gak dengerin? Tapi aku juga
gak bisa ngomong banyak soal itu sih wkwk."
"Ngantuk
banget, soalnya capek habis latihan klub."
"Oh,
kamu ikut klub? Klub apa? Btw aku juga sering begadang baca novel wkwk."
"Klub
handball! Jadi kamu begadang terus ya? Aku juga sering tidur larut kalau gak
ada latihan, gara-gara baca manga atau main game wkwk."
"Handball?
Jarang banget ada klub itu! Di SMP-ku sih gak ada. Tapi aku udah nebak sih,
kamu pasti anak olahraga wkwk."
Percakapan kami makin lama makin
panjang.
Topik pembicaraan pun semakin banyak.
Kadang tulisan kami berantakan dengan
tanda panah ke segala arah, atau sebagian pesan tiba-tiba terhapus, membuatnya
terasa sedikit sepi.
Tanpa kusadari, aku mulai menantikan
setiap pesan darinya.
Aku juga mulai tidak merasa malas
datang ke tempat les.
Melangkah menuju sudut ruang belajar
yang luas ini tidak terasa sia-sia lagi.
Mungkin karena dari cara bicaranya, dia
jelas seorang cewek.
Sejak aku ditolak oleh gebetanku di
musim dingin kelas dua SMP, kehidupan sekolahku terasa kelabu.
Satu-satunya waktu yang terasa lebih
baik hanyalah saat aku latihan di klub olahraga.
Tapi ternyata, ada warna baru yang
muncul di tempat yang tidak kuduga—di bimbingan belajar ini.
"Mau nonton pertandingan
handball-ku nanti?"
Aku mengetik dan meninggalkan pesan
itu.
Mungkin, aku ingin berbagi satu-satunya
hal yang masih menyenangkan dalam hidupku dengan orang yang telah membawa warna
baru ke dalamnya.
Keesokan harinya, tidak ada balasan.
Keesokan harinya lagi, semua percakapan
yang telah kami tukar sebelumnya sudah dihapus.
…Sial.
Kayaknya aku bikin kesalahan besar.
Buatku, yang tidak punya kesenangan
lain di sekolah selain klub olahraga, ini adalah pukulan yang berat.
Apakah seorang pengajar di tempat les
menyadari percakapan kami?
Atau apakah dia mulai merasa muak
berbicara denganku?
Aku tidak bisa begitu saja mencari tahu
siapa dia di tempat les.
Aku
menyesali diriku yang tidak sempat menanyakan kontaknya.
Namun,
seminggu kemudian…
"Maaf,
aku gak sempat bales dan minggu lalu gak datang ke les! Aku mau nonton! Mainnya di mana? Aku
harus kasih tahu namaku, kan?"
Musim semi pun tiba.
Dunia yang sebelumnya terasa monokrom,
perlahan berubah menjadi penuh warna.
Nama yang tertulis di pesan itu tampak
berkilauan di mataku.
Namanya Hanazono Yūka.
Hari pertandingan pun tiba.
Aku merasa luar biasa gugup.
Aku sendiri heran, bagaimana aku masih
berani mengundangnya setelah pengalaman pahit beberapa bulan lalu ketika
kehidupanku di sekolah hancur karena ditolak.
Dia juga pasti sudah menyadari dari
tulisanku kalau aku ini laki-laki sejak awal.
Tapi bagaimana kalau dia mengharapkan
sesuatu yang lebih?
Aku memang mengundangnya, tapi… aku
tidak percaya diri dengan wajahku.
Meskipun tujuannya bukan untuk hal itu,
bagaimana kalau dia kecewa? Bagaimana kalau dia merasa ilfil?
Saat pikiranku masih dipenuhi segala
kekhawatiran, akhirnya momen itu datang.
"Ketemu!
Nomor sembilan belas!"
Aku refleks
menoleh saat mendengar nomorku disebut.
Angin musim semi yang hangat terasa
berembus.
Seolah aku terlepas dari kenyataan.
Di sana,
berdiri seorang gadis secantik boneka.
"Iya,
ini nomor sembilan belas. Kamu Yoshiki-kun, kan?"
"──"
"Aku Hanazono Yūka."
Aku kehilangan kata-kata.
I-ini orangnya…?
Hanazono berkedip beberapa kali, lalu
tiba-tiba tampak sedikit panik.
"Eh? Kamu bukan Yoshiki-kun? Atau
jangan-jangan nomor punggungnya hari ini acak?"
"Ah, tidak! Bukan! Aku… aku
Yoshiki Ryōta!"
Aku terbata-bata saat mengatakannya.
Melihat itu, Hanazono awalnya terlihat
sedikit terkejut, tapi lalu tersenyum lega.
"Jadi
bener, kan? Iseng, ya? Duh!"
Tunggu…
tunggu… tunggu dulu.
Tidak ada
yang pernah bilang kalau Hanazono Yūka ternyata secantik ini.
Tentu saja aku senang, tapi di saat
yang sama, aku merasa aku tidak cukup pantas untuk ini.
Kalau rasa senang ini bernilai seratus,
maka perasaan tidak percaya diri ini bernilai lima ratus.
"Ha-Hanazono-san…"
"Iya! Aku Hanazono."
"Ma… maksudku, um… ya.
Pertandingannya sebentar lagi mulai. Aku harap kamu bisa menikmatinya."
Tunggu, tunggu… ini kan kalimat khas
pemain profesional! Aku cuma anak SMP, kenapa aku ngomong gitu?!
Kepalaku benar-benar kacau karena dia
terlalu imut.
Tapi meskipun ucapanku terasa penuh
bahan lelucon, Hanazono malah tersenyum lembut.
"Iya, aku udah nungguin hari ini!
Aku sampai cari video di YouTube dan nonton beberapa pertandingan handball. Aku
masih belum ngerti aturan mainnya, tapi… kalau aku dukung sekolahnya
Yoshiki-kun, pasti tidak salah, kan?"
Pertandingan latihan antar SMP.
Meski kami kelas tiga, jarang banget
ada cewek yang datang buat nonton dan mendukung kami.
Aku tidak tahu harus bilang apa, tapi
tepat saat itu—
"Semua, kumpul!"
Sial! Aku belum banyak ngobrol sama
sekali!
Kalau nanti
setelah pertandingan aku tidak sempat ketemu dia lagi dan dia keburu pulang,
bakal gawat banget!
Aku tidak
mau satu-satunya kesempatan ini cuma berakhir dengan suasana canggung.
Tolong,
jangan langsung pulang!
Saat aku
berdoa dalam hati dan bersiap pergi ke arah pelatih, Hanazono tiba-tiba
memanggilku.
"Yoshiki-kun."
"Eh?"
Saat aku
menoleh, dia terlihat sedikit ragu, tapi akhirnya dengan hati-hati mengangkat
telapak tangannya.
"Semangat,
ya! Setelah pertandingan… boleh kan aku nunggu di luar gerbang sekolah?"
"O… OUH!"
Hanazono tersenyum lebar.
Kami high-five, dan aku bisa merasakan
kelembutan tangan seorang gadis.
Tanganku seketika terasa hangat.
Dengan ini, aku merasa bisa melakukan
apa pun di pertandingan ini.
Dan tidak butuh waktu lama bagiku untuk
merasa…
hubunganku dengan Hanazono Yūka mulai
terasa “istimewa”.
◇◆◇◆
Aku terus mengingat-ingat pertemuanku
dengan Hanazono dan momen saat aku merasa dihindari—berulang kali, seperti
rekaman yang terus diputar.
Hari itu, setelah sekian lama akhirnya
bisa ngobrol dengannya lagi, aku malah ditolak.
Aku berjalan pulang dengan malas,
langkahku terasa lebih berat dari biasanya.
Di mana aku salah?
Mungkin, tanpa sadar aku melakukan
semacam pendekatan halus, dan Hanazono bisa menangkapnya dengan terlalu
peka.
Aku terlalu senang bisa ngobrol lagi
dengannya, sampai melakukan hal-hal yang biasanya tidak mungkin aku
lakukan.
Dan akhirnya, hasilnya… bencana besar.
Mungkin
kami bakal menjauh lagi…
Di saat
seperti ini, aku ingin pulang sambil ngobrol santai dengan teman cowok,
bercanda soal hal-hal tidak penting.
Tapi
sialnya, semua temanku, termasuk Takeru, masih sibuk dengan urusan klub.
Jadi, aku
pulang sendirian.
Akibatnya?
Obrolanku dengan Hanazono tadi terus berputar-putar di kepalaku tanpa henti.
Sial, ini
pasti bakal jadi trauma baru.
"DIA
DI SINI!!"
Aku
mendengar suara ramai sekelompok cewek dari belakang dan otomatis menoleh.
...Dan di
sana, aku melihat seorang gyaru berambut pirang berlari kencang ke
arahku.
"SERAAAAANGGGGG!!!"
"Uwoooo!?"
Aku mencoba
merentangkan kedua tanganku untuk menahan sesuatu, tapi sudah terlambat.
Sebuah
benturan luar biasa menghantam tulang selangkaku, dan untuk mengurangi
dampaknya, aku mati-matian berputar sekali, dua kali, berputar-putar seperti
atlet seluncur es.
Setelah
memutar dengan indah, aku dengan hati-hati menurunkan Yuzuha ke tanah.
Begitu
kakinya menyentuh tanah, Yuzuha memasang wajah puas sambil mengangkat
jempolnya.
"This is Yoshi Attraction!"
"Itu bahaya, tahu! Apa yang kau lakukan? Kau gila,
ya!?"
"Yoshiki kan jago olahraga, santai
aja, santai~!"
Yuzuha menepuk-nepuk bahuku dan, sambil
berbalik, melambai-lambaikan tangan dengan penuh semangat ke dua orang teman
gals di belakangnya.
"Hari
ini aku pulang bareng Yoshiki~!"
"Oi,
jangan seenaknya sendiri!?"
"Tidak
boleh?"
"Ya,
bukan masalah sih..."
"Tuh
kan, boleh~!"
Yuzuha
mencolok dadaku dengan jarinya, lalu berjalan di sampingku seolah tidak terjadi
apa-apa.
Gadis ini
benar-benar terlalu bebas.
Aku
merasakan tatapan dari kelompok gals Yuzuha, jadi aku memilih diam untuk
sementara. Tapi begitu kami berbelok di tikungan, aku akhirnya mengeluarkan
unek-unekku.
"Dengar
ya, gara-gara kelakuanmu ini, orang-orang jadi salah paham! Semua orang
berpikir kita pacaran itu karena kamu, tahu!?"
Keluhanku
hanya dibalas dengan senyuman usil dari Yuzuha.
"Nihihi,
tapi kau juga tidak terlalu keberatan, kan?"
"Aku tidak
tahu apakah aku keberatan atau tidak, tapi aku jelas tidak senang! Kau itu seperti matahari yang
menyeretku dalam pusaran energimu, suatu hari aku pasti akan hangus
terbakar!"
"Tenang, tenang. Santai dong,
wahai si perjaka~. Lagipula, siapa yang menolongmu waktu SMP dulu, huh?"
’Sial…! Dia tahu kalau aku tidak bisa
membantah saat dia bilang begitu…!’
Yuzuha tergelak, bahunya berguncang
karena tawa yang begitu lepas.
Alasan kenapa dia disebut sebagai
"matahari kelas" mungkin karena senyum cerianya ini.
Bukan senyum basa-basi, tapi tawa tulus
yang selalu ia tunjukkan di mana pun.
Baru saja aku merasa sedikit tertekan,
tapi melihat senyumnya, aku sadar bahwa sudut bibirku ikut terangkat.
Dan hal itu… entah kenapa membuatku
sedikit kesal.
"Yoshiki~"
"Apa?"
"Kamu lagi mikirin sesuatu,
ya?"
Aku terkejut, mataku membelalak.
Yuzuha tidak lagi tersenyum main-main,
ekspresinya kini tampak lebih serius dan penuh perhatian.
Sejak SMP, Yuzuha memang selalu peka
terhadap perasaan orang lain.
Dan sejak kami sekelas di SMA, mungkin
dia jadi semakin bisa menangkap perasaanku dengan lebih jelas.
…Yuzuha bukan tipe orang yang akan
menyebarkan masalah orang lain hanya demi hiburan.
Lagipula, aku berhutang budi padanya
sejak SMP.
Jadi tidak ada salahnya berbagi
sedikit.
Atau lebih tepatnya, bisa curhat ke
Yuzuha itu sesuatu yang cukup melegakan.
"Ya, aku lagi kepikiran
sesuatu."
"Kira-kira gitu, sih. Kenapa? Ada
apa?"
Aku ragu sejenak sebelum menjawab.
"Ini tentang yang kemarin.
Kayaknya… cewek yang dulu sempat dekat sama aku tiba-tiba mulai jaga
jarak."
"Hmmm? Jadi, selama ini Yoshiki
pernah deket sama cewek juga, ya?"
"Jelas pernah, jangan remehkan
aku!?"
"Wah, reaksimu heboh banget!"
Yuzuha nyengir puas, sementara aku
sedikit bimbang sebelum melanjutkan.
"Tapi meskipun pernah dekat, tidak
pernah ada perkembangan lebih lanjut. …Kayaknya sekarang aku kena
akibatnya."
"Ohh, pantes aja tadi pagi kamu
serius banget ngomongin soal 'dekat' sama seseorang."
Yuzuha seolah memahami sesuatu,
menepukkan tinjunya ke telapak tangan.
…Gila, dipikir aku sampai segitunya
membahasnya? Malu banget.
Ah, sekalian saja, mumpung momentumnya
pas.
"Ajarin aku, dong. Kalau kamu ada
di situasi di mana udah dekat sama seseorang tapi tidak bisa lanjut lebih jauh,
kamu bakal ngapain?"
Yuzuha mengedip beberapa kali, lalu
menyeringai lebar.
"Pertanyaan bodoh. Ya diterobos
aja, dong! Justru makin bikin semangat, kan!?"
"Ahh… ya, sih. Aku juga udah
menduga jawabanmu bakal gitu."
"Hei! Siapa yang kamu bilang
berpikiran sederhana, hah!?"
"Aku tidak bilang gitu!"
Aku sudah tahu kalau Yuzuha bakal kasih
jawaban sepositif itu.
Tapi tetap saja, aku ingin mendengar
jawabannya langsung darinya.
Mungkin… karena aku sendiri juga ingin
mencoba melangkah maju.
Sudah satu bulan sejak aku menjadi anak
SMA.
Sudah satu bulan berlalu, dan sejauh
ini hanya ada dua peristiwa besar dalam hidupku:
1.
Dikira pacaran dengan Yuzuha oleh semua orang dan
reputasiku anjlok.
2.
Dijaga jarak oleh Hanazono, cewek yang dulu sempat dekat
denganku.
Kalau aku terus begini tanpa melakukan
apa-apa, aku yakin bahkan sampai kuliah, sampai jadi pekerja, aku bakal tetap
jomblo selamanya.
Bahkan, bisa-bisa aku malah jadi orang
yang anti terhadap cinta.
Tidak. Itu terlalu menyedihkan.
Berubah memang butuh keberanian.
Tapi kalau aku bisa meyakinkan diriku
bahwa aku dan Yuzuha punya pemikiran yang sama, itu saja sudah cukup untuk
memberiku sedikit keberanian.
Dalam arti itu, mendengar jawaban dari
Yuzuha tadi benar-benar membantu.
──Kalau ada tembok yang menghalangi
"hubungan yang hampir jadi", maka satu-satunya cara adalah
menembusnya.
"Baiklah. Mulai sekarang, aku juga
akan berusaha untuk melewati batas 'hampir jadi' ini."
Aku mengucapkan kata-kata itu dengan
mantap.
Dalam hal apa pun, alasan untuk berubah
itu tidak perlu selalu muncul secara alami.
Tentu, kalau perasaan itu muncul dengan
sendirinya, itu lebih baik.
Tapi saat ingin berubah, tidak selalu
ada momen yang tepat muncul dengan sendirinya.
Jadi, tidak ada pilihan lain selain
menciptakan momen itu sendiri.
Kalau kata-kata tadi bisa membuatku
lebih termotivasi, maka itu sudah cukup.
Yuzuha menatapku dengan wajah bingung
sebelum akhirnya menjawab,
"Hmmm…
Aku tidak ngerti sih, tapi oke."
"Tidak
masalah, yang penting aku sendiri paham!"
"Hee~
Begitu ya. Yah, aku sih tidak benci sisi Yoshiki yang kayak gitu."
Rambut
pirang mudanya bergoyang pelan.
"Kamu
itu, kelihatannya kayak orang yang ribet dan suka mikir terlalu jauh, tapi
sebenarnya lurus banget. Pengecut tapi juga punya keberanian, gitu?"
"Itu
boleh aku anggap sebagai pujian, kan!?"
Yuzuha
tertawa lebar sambil mengangkat jempolnya.
…Kalau
memang begitu, ya baguslah.
"Tidak
semua orang bisa sekeren kamu yang dengan alami punya keberanian, tahu. Anggap
aja kalau kita lahir dengan jumlah energi yang beda."
Yuzuha
memiringkan kepalanya sedikit, seolah memikirkan sesuatu.
"Keberanian,
ya…"
Yah,
mungkin dia memang tidak bisa langsung paham.
Toh, dia
bukan tipe orang yang suka memikirkan hal-hal serumit ini.
Dia
berjalan ke mesin minuman terdekat, membeli sekaleng kopi, lalu membuka
kalengnya dengan suara pshhht!.
"Terus,
kalau mau melewati batas 'hampir jadi', rencananya gimana? Toh, cewek yang
kemarin itu udah jaga jarak dari kamu, kan?"
"Hmm…
Aku bukan mau ngejar dia lagi, sih. Lebih ke… aku cuma pengen memastikan
sesuatu buat persiapan hubungan berikutnya. Soalnya, waktu itu aku juga tidak
benar-benar jatuh cinta sama dia."
"Hoho,
ini yang disebut alasan orang yang kalah!"
"Bacot! Gue cuma bilang mental gue tidak sampe kena
luka fatal, oke!?"
Kalau aku benar-benar menyukai Hanazono dari lubuk hati yang
paling dalam, aku pasti tidak akan bisa mengikuti ritme energi Yuzuha saat ini.
Tentu saja aku merasa sedih, tapi ini bukan hal yang akan
membuatku depresi selama berbulan-bulan. Mungkin minggu depan aku sudah bisa
move on. Atau mungkin dua minggu lagi.
Yuzuha tertawa puas, lalu menatapku
sambil berkata, "Terus?", menyuruhku melanjutkan.
"Pertama-tama, aku harus memahami
konsep 'hampir jadian' ini secara lebih jelas."
"Ohoho, aku tidak paham sama
sekali!"
"Gini...
Setiap orang punya standar sendiri soal 'hampir jadian'. Karena itu, kalau aku
mulai ragu dengan perasaanku sendiri, mengambil langkah berikutnya jadi semakin
sulit."
Semakin
besar kemungkinan gagal, semakin besar pula keraguanku untuk melangkah maju.
Karena
kalau sampai gagal dalam cinta, sulit untuk kembali ke hubungan sebelumnya.
"Karena
'hampir jadian' itu belum tentu berarti 'suka', aku harus benar-benar
memahaminya. Masalahnya, pendapat orang lain juga tidak bisa dijadikan patokan.
Aku harus memahami ini sendiri. Takeru aja bilang kalau aku dan Yuzuha masih terlihat
seperti 'hampir jadian' sampai sekarang."
"Ohh~ Jadi sebenarnya Yoshiki
naksir aku, ya? Coba gebet dua cewek sekaligus sih wajar aja kalau dapat
peringatan, dasar playboy!"
"Bisa tidak dengerin dulu!?"
"Tapi ceritamu tuh panjang banget!
Serius deh, kamu mencerminkan semua ciri khas cowok perjaka!"
"Itu sama sekali tidak ada
hubungannya, kan!?"
Yuzuha hanya tertawa mendengar
protesku, lalu menetidak kopinya dengan santai.
Sial, dia benar-benar sudah mematikan
pikirannya, menganggap masalahku ini bukan hal yang penting.
Yah, mungkin memang mustahil meminta
orang seperti Yuzuha—yang berada di kasta sosial tertinggi dan tidak pernah
mengalami kesulitan dalam cinta—untuk memahami masalah ini.
Tapi di sisi lain, rasanya Yuzuha ini
memang agak terlalu unik dibanding orang-orang lainnya.
"Jadi intinya, aku mau memastikan
apakah pemahamanku soal 'hampir jadian' ini tidak meleset. Masalahnya, aku
butuh seseorang buat mengetesnya."
Aku bergumam, dan sepertinya Yuzuha
juga memikirkan hal yang sama.
"Ahh, kalau aku sih tidak bisa
bantu, ya~. Aku tuh tipe yang langsung nembak kalau udah suka. Mana pernah
mikirin hal-hal ribet kayak gitu."
"Ya, aku juga udah tahu itu.
Makanya dari awal aku tidak nanya kamu."
"Heh!? Kok rasanya aku
tersinggung, ya!?"
Yuzuha
langsung menunjukkan ekspresi tidak puas.
Aku
buru-buru menggeleng.
"Bukan
begitu maksudku! Maksudku, aku harus nanya ke orang yang pernah aku anggap
'hampir jadian' di masa lalu. Aku sama kamu kan tidak ada hubungan apa-apa."
"…Oh, begitu? Memang sih, kalau
kamu bisa nanya langsung ke mereka, masalahnya bakal cepat selesai. Tapi
pertanyaannya, ada berapa cewek yang menurutmu dulu sempat 'hampir jadian'
denganmu?"
"Hmm… mungkin tiga orang. Tapi
yang kira-kira bisa aku tanyai soal ini, cuma satu orang."
"Ohh, tapi setidaknya ada satu ya.
Beneran nih?"
"Ya… Meskipun itu semua cuma dari
sudut pandangku. Jujur aja, nanya soal ini butuh
keberanian banget."
Kalau aku mengecualikan cewek yang pernah menolakku
mentah-mentah di SMP dan Hanazono, maka hanya ada satu orang yang menurutku
pernah berada dalam fase "hampir jadian" denganku.
"Ah, aku tahu! Jangan-jangan yang pernah kamu ceritain,
si teman masa kecil yang pindah sekolah itu?"
"…Ternyata aku lumayan sering cerita soal dia,
ya."
"Ahaha, iya, kamu pernah bilang. Tapi kalau itu teman masa kecilmu,
bukannya ini udah mentok? Sekarang dia jauh dari sini, kan?"
"Belum mentok! Kalau cuma nanya,
aku masih bisa telepon dia!"
Seorang teman masa kecil yang keras
kepala dan selalu berjalan dengan keyakinannya sendiri.
Tapi, dia juga selalu baik padaku.
── "Aku
pasti bakal balik ke sini."
Kata-kata itu kembali terngiang di
kepalaku.
Tapi pada akhirnya, itu hanya ucapan
seorang anak SD.
"…Memang sih, kalau dia balik,
semuanya bakal jadi lebih gampang."
Aku menggumamkan itu, meskipun tahu
betul kalau tidak mungkin dunia ini bekerja sepraktis itu.
Tapi tetap saja, aku berharap
kata-kataku menjadi kenyataan.
Seandainya bisa, aku ingin ucapan ini
berubah menjadi doa—dan doa itu mewujud dalam realita.