NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Anokoro ii Kanjidatta Joshi-tachi to Onaji Kurasu ni Narimashita Jilid 1 Bab 3

 Penerjemah: Arif77

Profreader: Arif77


Bab 3 – Murid Pindahan Yang Mengejutkan

"Hari ini kita kedatangan murid pindahan~."

Dengan suara santai, Hasegawa-sensei mendadak menghancurkan rutinitas kelas.

Hening.

Lalu, beberapa orang mulai bergumam, "Serius?" atau "Wah, beneran?", yang kemudian diikuti oleh suara riuh memenuhi kelas.

Meski masih bulan Mei, kelompok pertemanan di kelas sudah terbentuk dengan cukup kuat, jadi reaksi seperti ini wajar.

Tapi aku sendiri malah membeku karena alasan lain.

…Tidak mungkin, kan?

Etidak, etidak, sebegitu kebetulan juga etidak bakal terjadi.

Aku baru saja membicarakannya dengan Yuzuha minggu lalu.

Memang sih, aku sudah lama tidak bisa menghubungi nomor rumahnya—entah kenapa, setiap kali kutelepon, selalu tidak tersambung.

Karena itu, aku sama sekali tidak tahu kabarnya sekarang.

Tapi tetap saja, peluang dia pindah ke sekolah ini pasti lebih kecil daripada menang lotre.

Pasti ini cuma murid pindahan yang kebetulan datang di waktu yang nanggung.

…Kalau memang begitu, kasihan juga sih.

Saat aku masih melamun soal murid pindahan yang belum terlihat itu, seseorang berambut cepak menoleh ke belakang.

Takeru, yang selalu blak-blakan, langsung mengutarakan apa yang kupikirkan.

"Kalau pindahnya bulan April, pasti lebih enak ya. Pindah di waktu kayak gini pasti awkward banget."

"Ya, jelas. Tapi masih lebih baik daripada pindah pas musim dingin."

"Haha! Itu sih neraka banget."

Takeru menghela napas berlebihan, lalu memasang senyum menyebalkan khas orang yang baru kepikiran ide usil. Biasanya, kalau dia kayak gini, pasti bakal ngomong sesuatu yang tidak beres.

"Eh, gimana kalau gue bilang ke sensei kalau Yoshiki pengen banget jadi penunjuk jalan kalau murid pindahannya cewek?"

"Gue gak pernah bilang gitu! Mulut lo tuh lebih cepat dari tabloid gosip!"

"Hahaha! Ya, gue emang doyan gosip sih!"

Saat itu juga, sensei bertepuk tangan dua kali.

Seketika, suara riuh di kelas mereda.

Lebih cepat dari biasanya—mungkin karena semua orang tidak sabar melihat murid pindahan itu.

"Hari ini yang jadi penunjuk jalan adalah anak yang kebagian tugas piket."****"Siapa ya, bentar..."

Sensei menoleh ke belakang, dan semua orang ikut mengarahkan pandangan ke papan tulis.

Di sana tertulis Yoshiki Ryouta.

Nama yang jelas-jelas milikku.

"Oh, Yoshiki ya. Yaudah, tolong temani dia selama satu atau dua hari ke depan, ya."

"Uhh... Baik, Sensei..."

"Tidak, gimana ya... Gue cuma kepikiran kalau ternyata murid pindahan itu cewek, gue bakal gugup banget."

"Gugup? Serius? Itu tidak lo banget, sih."

"…Ya, kayaknya memang tidak sesuai image gue, ya. Tapi jujur aja, ngobrol sama cewek yang baru pertama kali ketemu itu hal paling pengen gue hindari. Kalau murid pindahan itu cewek, yaudah, dia harus siap-siap ngalamin waktu-waktu canggung. Lagian, mood gue sekarang juga lagi tidak pas buat ini."

"Dahaha, seriusan? Kalau dia cewek, gue tidak keberatan gantiin lo, nih—"

"Tidak, ini udah tidak ada hubungannya sama cewek atau cowok. Masalahnya, jadi pemandu buat orang asing selama satu atau dua hari itu misi yang mustahil. Lo bisa bayangin tidak, gue bakal ngomongin basa-basi super kaku kayak, ‘Hari ini cerah, ya?’ atau ‘Lo asalnya dari SMP mana? Oh iya, lo murid pindahan ya.’ Kalau lo tidak mau lihat gue tenggelam dalam lautan rasa malu, lo bisa gantiin gue sekarang juga."

"Maaf! Serius, gue minta maaf!"

Dihantam dengan deretan kata penuh keputusasaan, Takeru buru-buru menghadap ke depan lagi.

Sial, kesempatan itu lolos.

...Tapi ya sudahlah. Aku tahu kalau dalam kehidupan kelas, ada saatnya kita harus menerima tugas menyebalkan kayak gini.

Sementara aku ngobrol sama Takeru, sensei sepertinya sempat menjelaskan sesuatu soal murid pindahan, tapi aku tidak dengar sama sekali.

"Kayaknya urutan perkenalannya kebalik, ya. Oke, silakan masuk."

Saat sensei memanggil, pintu kelas langsung terbuka.

Semua mata serentak tertuju ke sana.

Aku juga, dari sudut kelas, sedikit mengangkat kepala untuk melihat.

Dan yang muncul di balik pintu adalah—seorang cewek cantik.

Tanpa sadar, aku memijat pelipis dengan kuat.

Aduh, tamat sudah.

Murid pindahan ini... beneran cewek.

Dia berjalan dengan langkah santai menuju papan tulis.

Rambutnya panjang, dengan warna biru muda sebagai highlight yang mengalir seperti arus sungai jernih. Sebuah anting kecil berkilau di telinganya.

Setiap langkahnya, setiap gerakan saat dia mengangkat kepala, setiap ekspresi yang dia tunjukkan—semuanya seperti mengubah atmosfer kelas ini menjadi miliknya.

Lalu, dia menatap ke arah kami.

Sepasang mata besar, kulit seputih salju.

Kalau hanya melihat itu, dia tampak seperti gadis Jepang klasik. Tapi hidungnya tinggi dan ramping, serta poninya disisir naik ala tren Korea.

Bibirnya yang kemerahan sedikit penuh, dan paha yang terlihat di bawah rok menunjukkan kesan sehat.

Dari balik seragam yang dikenakannya dengan rapi, bisa terlihat lekuk tubuh yang membuatnya tampak lebih dewasa dibanding anak-anak seumuran kami.

—Uhh, wow.

Gadis Jepang klasik, idol K-Pop, dan gyaru.

Semua elemen itu berpadu dalam dirinya.

Kalau ini adegan di manga remaja, pasti udah ada yang teriak-teriak kaget sekarang.

Namun, kenyataan justru berbanding terbalik—suasana kelas menjadi sunyi senyap.

Meski begitu, semua orang di ruangan ini tahu bahwa ini bukan kesunyian yang canggung atau negatif.

Semua orang menatap setiap gerakan gadis itu dengan penuh perhatian, sementara beberapa anak laki-laki mulai tersenyum ramah, berusaha menunjukkan kepribadian mereka yang menyenangkan.

Dengan kata lain...

"Aku Nikaido Remi."

Gadis itu memperkenalkan diri.

Dia begitu cantik, sampai membuat semua orang terdiam sejenak.

Namun.

Namun, aku—

Mata ini langsung membelalak lebar.

"…Hah!?"

Suara terkejut keluar begitu saja dari mulutku.

Mendengar itu, Nikaido Remi menoleh ke arahku.

Mata kami bertemu.

Dia berkedip beberapa kali, lalu—

"…Eh? Lama tidak ketemu, ya."

"Oh? Kalian berdua saling kenal?"

Pertanyaan dari sensei membuat Takeru langsung menoleh cepat ke arahku.

Aku bisa merasakan tatapan seluruh kelas kini tertuju padaku.

Sebenarnya, tanpa pertanyaan dari sensei pun, mereka pasti sudah bisa menebak situasinya dari reaksiku barusan.

"Uh, ya... gimana ya..."

Obrolanku dengan Hanazono dan Yuzuha tiba-tiba teringat kembali di kepalaku.

Gadis yang dulu aku ceritakan sebagai teman masa kecilku—adalah Nikaido Remi.

Dengan kata lain—

Dia adalah gadis pertama yang pernah membuatku merasa sedang dalam 'momen yang bagus' dalam hidup ini.

◇◆◇◆

Seorang gadis yang melesat bebas ke mana pun ia mau, seakan terbang di langit tanpa batas—seorang wanita yang hidup dengan prinsip "aku adalah pusat dari segalanya."

Nyaris tak pernah berbicara dengan anak laki-laki, bahkan kepada sesama perempuan pun ia bersikap dingin dan tak ramah. Ke mana pun ia pergi, selalu ada sesuatu yang terjadi.

Itulah Nikaido Remi.

"Jangan mendekat."

"Jangan sok akrab, ya?"

"Cowok itu bener-bener menjijikkan!"

Jawaban kejam yang begitu dingin dan brutal hingga membuat para anak laki-laki yang mencoba mengungkapkan perasaan mereka tak bisa berbuat apa-apa selain menerima kenyataan.

Meski masih di kelas rendah sekolah dasar, melihat anak laki-laki menangis karena ditolak secara kejam adalah pemandangan yang cukup mengejutkan.

Tentu saja, reputasinya di antara teman-temannya tidaklah baik. Tapi tidak ada yang berani mengatakannya secara langsung.

Kenapa?

Karena Nikaido Remi terlalu cantik.

Baik laki-laki maupun perempuan, banyak yang secara diam-diam mengaguminya. Membenci seseorang sepertinya bukanlah hal yang bisa dilakukan dengan mudah.

Namun, di antara semua anak laki-laki di sekolah, ada satu-satunya orang yang bisa mendekatinya.

Itu adalah aku.

Bukan karena aku memiliki keistimewaan tertentu.

Alasannya sederhana—

Kami adalah teman masa kecil.

"Kamu beda. Karena kita selalu bersama."

...Remi pernah mengatakan hal itu padaku.

Namun, sejujurnya, andai saja kami bukan teman masa kecil, aku yakin dia bahkan tidak akan melirikku sedikit pun.

Katanya, sejak sekolah dasar kelas rendah, Remi sudah memiliki wajah yang rupawan. Aku sendiri baru menyadarinya saat melihat kembali album foto di kemudian hari.

Saat itu, bagiku, dia hanyalah teman bermain—sama seperti anak laki-laki lainnya.

Mungkin itulah yang membuatnya percaya padaku.

Remi memiliki prinsip bahwa manusia pada dasarnya tidak bisa dipercaya. Tapi entah kenapa, aku bisa mengajaknya bermain bersama anak-anak laki-laki, bahkan menyeretnya ke berbagai macam petualangan tanpa pikir panjang.

Kalau dipikir lagi, mungkin itulah masa paling berani dalam hidupku.

Kami pernah menghabiskan waktu di arcade bermain mesin medali, mencari kumbang raksasa di hutan, bahkan pernah tersesat di jalanan saat malam tiba.

Dia selalu mengikuti setiap kegilaan yang kulakukan, tanpa pernah sekalipun mengeluh.

"Orang tuamu menyuruhku menjaga kamu, karena kamu ceroboh."

Remi sering mengatakan itu.

Tapi dari ekspresinya, aku tahu dia menikmatinya.

Mungkin karena aku memperlakukannya bukan sebagai perempuan, tapi sebagai teman sejati.


Seiring bertambahnya usia, Remi menjadi pemimpin kelas.

Bukan sembarang pemimpin, tapi seorang pemimpin yang karismatik.

Kepribadiannya yang dulu terlihat egois kini berubah menjadi jiwa kepemimpinan yang mampu menginspirasi orang lain.

Aku mulai menyadari bahwa dia seorang perempuan ketika kami kelas enam.

Rambutnya yang dulu pendek mulai memanjang hingga sebahu. Tubuhnya pun mulai berubah, membuat siluetnya tampak berbeda.

Pada saat aku mulai melihat sisi femininnya, aku sadar bahwa aku telah jatuh cinta padanya.

Tapi itu bukan hanya karena penampilannya.

Mungkin aku terpikat oleh prosesnya tumbuh dewasa.

Seorang gadis yang semakin hari semakin cantik. Seorang pemimpin kelas yang dikagumi banyak orang.

Namun, di balik itu semua, dia tetap memperlakukanku seperti dulu.

Hal itu membuat perasaanku semakin kuat.

Meski begitu, aku tidak tahu bagaimana caranya membawa hubungan kami ke tahap yang lebih jauh.

Atau mungkin, saat itu aku sudah merasa cukup bahagia.

Kami selalu bersama, bermain sepulang sekolah, berbagi bekal saat piknik, dan aku selalu menjadi bagian dari lingkaran pertemanannya.

Teman-temannya juga menerima keberadaanku. Mereka bahkan lebih pandai berkomunikasi dariku.

Aku yang ingin mengikuti ritme mereka pernah mencoba melucu dengan berkata, "Eh, kok kayaknya kamu tambah gemuk?"

Sungguh, kalau sekarang aku mengingatnya, aku ingin menghilang dari muka bumi.

Remi hanya tersenyum santai dan berkata, "Mungkin juga."

Namun, saat kami hanya berdua, dia menatapku tajam dan berteriak, "Apa maksudmu, dasar bodoh!"

Banyak anak laki-laki yang iri pada kedekatanku dengannya.

Dan aku juga tidak bisa memungkiri, bahwa aku sempat menikmati perasaan superior karena dia bersikap dingin kepada mereka, tapi tidak kepadaku.

Namun, pengaruh Remi saat itu sudah begitu besar sehingga tidak ada seorang pun yang berani terang-terangan mengusikku.

Aku terus memendam perasaan ini sampai musim gugur, ketika hari kelulusan semakin dekat.

Aku masih belum bisa mengungkapkan perasaanku, sampai akhirnya kabar yang mengejutkan datang padaku.

"Hei, denger-denger, Nikaido suka sama lo!"

── Remi menyukaiku.

Gosip biasanya lebih dari setengahnya hanya kesalahpahaman atau omong kosong belaka.

Terlebih lagi, rasanya sulit membayangkan Remi akan berbicara tentang hal semacam itu kepada orang lain.

Tapi tetap saja, aku ingin percaya.

Aku adalah satu-satunya laki-laki yang paling dekat dengannya.

Bukan hanya dekat, aku bisa dibilang satu-satunya laki-laki yang benar-benar akrab dengannya.

"Remi, mau pulang bareng hari ini?"

Pada sore hari setelah aku mendengar kabar itu, aku mengajaknya pulang dengan cara yang lebih formal dari biasanya.

Saat aku mengajaknya, aku merasa wajahnya terlihat sedikit lebih merah dari biasanya.

Mungkin hanya ilusi yang diciptakan oleh cahaya senja, atau mungkin saja dia sedang demam.

Namun, pemandangan itu semakin membuat tekadku membara.

Untuk pertama kalinya, kata "menyatakan perasaan" terlintas jelas di kepalaku.

"Ayo pulang bareng."

Aku mengajaknya dengan gaya memaksa seperti dulu.

Remi mengedip beberapa kali, lalu perlahan bibirnya membentuk senyum kecil.

"Boleh saja. Sudah lama kita tidak pulang berdua, ya?"

"Iya, kan? Belakangan ini kita selalu bareng teman-teman."

"Benar juga. Kalau begitu, ayo kita pulang."

── Nikaido Remi menyukaiku.

Tapi, reaksinya terlalu biasa untuk seseorang yang menyimpan perasaan.

Saat kami berjalan melewati gerbang sekolah, aku memperhatikannya lagi.

Tidak ada yang berbeda. Dia tetap seperti Remi yang biasa.

Jadi, gosip tetaplah hanya gosip...

Ketika perasaan kecewa mulai merayapi hatiku, tiba-tiba Remi berkata dengan suara pelan.

"Karena ini momen langka, mau mampir ke taman sebentar?"

Aku terkejut dan langsung berhenti melangkah.

Biasanya, akulah yang selalu mengajaknya ke suatu tempat.

Remi memang hampir selalu menerima ajakanku, tapi dia sendiri jarang mengusulkan sesuatu.

Mungkin selama ini hanya ada beberapa kali dia melakukannya.

"Ngapain di taman?"

Aku langsung menyesali jawabanku yang terdengar bodoh.

Dia sudah bersusah payah mengajakku, tapi aku malah menanggapinya dengan skeptis.

Remi tampak berpikir serius, seolah ingin memberi jawaban yang memuaskan.

"Hmm... Benar juga, ya. Mau main ayunan? Atau jungkat-jungkit?"

Itu adalah permainan yang sering kami mainkan saat masih kecil.

Malu, aku langsung berusaha menyembunyikannya dengan berkata,

"Main ayunan atau jungkat-jungkit? Itu kan permainan anak kecil!"

Remi hanya mendengus kecil dan tersenyum remeh.

Di kelas, dia sudah jarang menunjukkan ekspresi seperti anak nakal seperti ini.

"Biarin aja kalau kayak anak kecil, toh kita masih bocah juga. Atau jangan-jangan, Ryota takut main ayunan setelah sekian lama?"

"Hah!? Etidak mungkin!"

"Kalau udah lama tidak main, pasti seru lagi. …Apa pun itu."

Ekspresi kesal di wajah Remi perlahan berubah menjadi senyum kecil.

Aku pun menutupi rasa maluku dengan berkata, "Ya ampun, dasar nyusahin," tapi dalam hati aku girang bukan main.

Tadi dia bilang "apa pun itu."

Sekarang, maksudnya "kalau kita berdua" kan?

Dengan hati yang melayang-layang, perjalanan menuju taman terasa begitu singkat.

Sambil mengayunkan dirinya di atas ayunan, Remi berkata pelan.

"Ryota, kamu suka sama seseorang tidak?"

Aku terkejut mendengar dia mengangkat topik itu.

Aku dan Remi biasanya bisa membicarakan apa saja.

Tapi entah kenapa, sejak kelas enam, topik ini seolah menjadi sesuatu yang kami hindari secara alami.

"Uhh… hmm… bentar, aku pikirin dulu. Kamu duluan aja jawab."

"Cupu."

Remi menatapku tajam, tapi kemudian mengalihkan pandangannya ke langit sambil berpikir.

"Aku tidak punya orang yang aku suka, sih… Tapi mungkin ada seseorang yang bikin aku penasaran."

"Ohh. Siapa tuh? Siapa?"

Jantungku berdegup kencang.

Karena harapan? Atau sesuatu yang lain?

"Dasar bodoh. Aku tidak bilang bakal nyebutin namanya, kan? Udah, sekarang giliran kamu."

"Hah!? Apaan tuh!?"

Aku kecewa karena ekspektasiku buyar.

Tapi menuntut jawabannya pun rasanya sulit bagiku, jadi aku memilih untuk menjawab saja.

"Aku, ya… Aku punya seseorang yang pengen aku habisin waktu lebih lama bareng dia."

Remi juga menjawabnya dengan samar, jadi aku memilih jawaban yang sama-sama ambigu.

Kupikir dia bakal mengeluh kalau jawabanku membosankan, tapi yang mengejutkan, dia malah tersenyum kecil.

"Hmm… tidak nyangka. Gitu, ya."

Setelah berkata begitu, Remi kembali menatap langit.

Lalu, tiba-tiba, dia mengayunkan ayunannya dengan lebih kuat.

…Hah? Kenapa suasananya jadi begini?

Suara rantai ayunan berderit pelan.

Taman yang hanya ada kami berdua.

Waktu yang hanya kami berdua yang miliki.

Tak lama, ayunan Remi berhenti, dan kami hanya duduk diam, menatap lurus ke depan.

Suara gemerisik dedaunan.

Suara aliran sungai.

Keheningan ini terasa begitu nyaman.

── Suasana ini terasa pas.

Kalau sekarang… mungkin aku bisa.

"Remi. Aku…"

Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku.

Wajah Remi yang ada tepat di hadapanku terlihat terlalu biasa.

Dia menatapku dengan ekspresi penasaran, seolah bertanya, "Ada apa?"

Aku akhirnya hanya menggumamkan, "Aku tidak mau lulus."

Menghindari kata-kata yang seharusnya kukatakan.

Remi pun tersenyum sendu dan menjawab lirih, "…Iya, aku juga."

Pada akhirnya, aku tidak pernah bisa mengungkapkan perasaanku padanya.

Aku terlalu takut.

Takut kalau gagal, aku tidak akan bisa berbicara dengannya seperti sekarang lagi.

Dengan kebimbangan yang begitu klise tapi juga begitu besar, aku terus pulang bersama Remi seperti biasa.

Tapi, hubungan kami tak pernah bergerak maju.

Aku tidak bisa melewati dinding bernama pengakuan cinta, dan Remi tetap bersikap seperti biasanya.

Sampai hari itu tiba.


"Pindah sekolah?"

Empat suku kata.

Sebuah kata yang terdengar begitu biasa.

Tapi pikiranku mendadak berhenti bekerja, seakan menolak memahami kenyataan.

"Iya. …Maaf. Ini sebenarnya sudah diputuskan sejak lama, tapi aku baru bilang sekarang."

Mata Remi mulai berkaca-kaca.

Saat itu, aku akhirnya mengerti.

Hari itu, saat aku mengajaknya pulang berdua… Di kelas, sepulang sekolah…

Dia sebenarnya menangis.

Wajahnya yang terlihat merah bukan karena cahaya senja, tapi karena dia baru saja menangis.

"Uh… ya…"

Ayo semangat, nanti juga kita bisa ketemu lagi.

Aku ingin mengatakannya.

Tapi aku merasa jika aku mengucapkan kata-kata itu, aku akan mengakui bahwa hubungan kami benar-benar akan berakhir.

"Aku pasti akan kembali."

Air mata besar mengalir di pipi Remi.

Apakah dia menangis karena harus meninggalkan tempat yang sudah begitu akrab?

Karena harus meninggalkan teman-teman sekelasnya?

Atau…

Karena harus berpisah denganku?

Hanya dengan berpikir bahwa aku mungkin termasuk dalam alasan tangisannya, hatiku sudah merasa cukup.

Meski, setelah hari itu, aku akan terus menyesali keputusanku.

***

"Bisa tidak kamu gantiin aku buat nemenin Nikaido-san?"

"Tidak bisa."

"Hah!? Serius!?"

Begitu jam pelajaran berakhir, aku langsung menolak mentah-mentah permintaan Takeru.

Saat melirik ke arah tempat duduk Remi, aku melihat sekelompok siswi sudah mengelilinginya.

Semua perempuan. Tidak ada satu pun laki-laki.

Para cowok hanya bisa duduk di tempat masing-masing, menunggu sampai kerumunan itu bubar.

Mungkin mereka baru bisa mendekatinya pada jam istirahat berikutnya—atau malah yang setelahnya lagi.

Tapi aku berbeda.

Aku punya alasan yang harus membuatku berbicara dengannya.

Entah itu takdir atau keberuntungan yang diberikan Tuhan, aku tidak tahu.

Tanpa memedulikan omelan Takeru, aku berdiri dan melangkah ke arah Remi.


Saat Remi pindah, kami tidak bertukar kontak.

Aku takut…

Takut kalau setelah saling menghubungi, hubungan kami malah perlahan merenggang.

Jadi, ini pertama kalinya aku bertemu dengannya sejak hari kelulusan SD.

"Ni—Nikaido."

"Ah, akhirnya datang juga. Lama tidak ketemu, ya."

Remi tersenyum kecil.

…Gila, dia cantik banget.

Aku hampir mengatakannya tanpa sadar.

Padahal di sekolah ini, tidak ada yang pakai inner color di rambut atau tindikan di telinga.

Tapi dia? Semua itu justru kelihatan pas banget.

Aku ingin mengatakannya secara jujur seperti dulu, tapi aku tidak mau terlihat seperti sedang menggombal begitu saja setelah baru bertemu lagi.

Apalagi aku baru saja ditolak oleh Hanazono karena terlalu banyak kode-kodean.

Dan yang lebih parah… mataku hampir saja terpaku ke bagian yang tidak seharusnya.

Serius, ini kebangetan sih…

Merasa canggung, aku buru-buru mengalihkan topik.

"H-haha… udah lama, ya! Aku kaget banget, tiba-tiba kamu pindah ke sini."

"Iya, kan? Aku sebenarnya pengen kasih tahu, tapi kita tidak punya kontak satu sama lain."

"Oh, iya ya… Nelpon ke telepon rumah juga rasanya canggung, sih."

Ya… meskipun aku sudah mencoba menelponnya lima atau enam kali minggu ini.

Tapi kalau dia sibuk pindahan, masuk akal kalau dia tidak sempat mengangkat.

"Iya, dan lagi… Yoshiki-kun kayaknya tidak main media sosial, kan? Aku tidak pernah lihat akunmu di mana-mana."

"Ah, iya sih. Aku cuma pakai buat hal-hal penting aja."

Aku menjawab singkat, tapi pikiranku sudah penuh dengan hal lain.

Tadi dia manggil aku ‘Yoshiki-kun’?

Remi jadi lebih formal sekarang, ya…

Dulu, dia selalu memanggilku dengan lebih akrab.

Tapi sekarang, dia malah pakai nama belakang plus embel-embel ‘-kun’.

Singkatnya, dia sudah berubah.

…Tapi mungkin ini hal yang wajar.

Aku juga tadi memanggilnya dengan nama belakang, mencoba bersikap netral.

Kenangan terakhirku tentang Remi ada di hari kelulusan SD.

Sekarang, kami sudah jadi anak SMA.

Bahkan dengan Hanazono saja, hanya butuh enam bulan untuk membuat hubungan kami terasa asing.

Bukan hal aneh kalau waktu membuat seseorang menjadi orang lain.

Meskipun… orang itu adalah teman masa kecil yang dulu terasa spesial.

Dengan suasana sekaku ini, sepertinya menyambung kembali sesuatu itu akan jadi sulit.

"Ngomong-ngomong, hari ini aku yang ditugasin buat nemenin kamu keliling sekolah, jadi…"

"Aku tahu. Aku serahin semuanya ke kamu, Yoshiki-kun."

"O-Oh..."

Saat aku masih bingung dengan perbedaan antara Remi yang ada dalam ingatanku dan Remi yang ada di hadapanku sekarang, tiba-tiba dua siswi di dekat kami berseru dengan suara heboh.

Mereka adalah bagian dari kelompok Yuzuha.

"Yoshiki dan Nikaido-san kan udah lama tidak ketemu, kan? Ih, ini kayak di film banget tidak sih!?"

"Iyaaa! Kalau aku jadi cowok lain di sekolah ini, pasti bakalan iri banget sama Yoshiki!"

"Tidak ada yang kayak gitu, tau!"

Aku buru-buru menyangkal, tapi mereka malah semakin bersemangat.

Padahal kami belum terlalu dekat, tapi kenapa mereka bisa sebegitu antusiasnya soal hubungan dua orang yang hampir tidak mereka kenal?

Ah… tapi kalau dipikir-pikir, mereka berdua termasuk tipe orang yang suka bersosialisasi seperti Yuzuha.

Mungkin ini cara mereka membantuku mencairkan suasana.

Aku sebenarnya bersyukur, tapi tetap saja aku mencoba menenangkan mereka dengan berkata, "Udah deh, jangan terlalu heboh."

Saat itulah, Remi berbicara.

"Tapi beneran, lho. Aku lega banget bisa lihat wajahmu, Yoshiki-kun. Ternyata punya kenalan di sekolah baru itu lebih menenangkan dari yang aku kira."

"Oh… Bener ya? Kalau gitu, syukurlah."

Sejujurnya, aku masih merasa gugup dengan Remi yang sekarang.

Karena…

Senyum yang ia tunjukkan padaku jauh lebih cantik dibandingkan dengan yang ada dalam ingatanku.

Dulu, aku bisa berbicara dengannya dengan santai, layaknya teman biasa.

Tapi sekarang, aku sadar betapa mustahilnya melakukan hal yang sama.

Dan itu membuatku merasa sedikit… sedih.

"Kenalan."

Empat huruf yang dengan mudahnya menepis semua harapanku dulu.

…Sudah bertahun-tahun sejak aku gagal mengungkapkan perasaanku.

Dan setelah itu, aku bukan hanya sekadar menunggu. Aku sudah menjalani hubungan lain. Aku sudah merasakan cinta yang sesungguhnya.

Kami juga tidak pernah berjanji untuk menunggu satu sama lain.

Jadi, sudah pasti Remi pun menjalani hidupnya seperti itu.

…Tapi kalau memang begitu, kenapa dia tidak berbicara denganku seperti dulu?

Kalau dia bersikap lebih santai, aku tidak akan sekaku ini.

Bahkan kalau dia bukan teman masa kecilku pun, siapa yang tidak bakal gugup kalau seorang gadis secantik ini hanya menganggapmu sebagai kenalan biasa?

Dan yang paling kutakutkan adalah… jika aku menerima Remi yang sekarang begitu saja, rasanya aku tidak akan bisa kembali ke hubungan yang kami punya dulu.

Lebih baik kehilangan komunikasi karena jarak?

Atau tetap berbicara, tapi dengan batasan yang terasa canggung?

Aku lebih memilih yang pertama.

Aku tahu ini egois.

Tapi aku ingin Remi mengingat kembali perasaan yang pernah ada di antara kami.

Termasuk semua momen yang seharusnya membuat kami semakin dekat.

"Hei, Nikaido. Kalau dibandingin sama waktu kita masih SD, kamu kayaknya…"

Aku baru saja ingin mengatakan sesuatu, tapi Remi memotongnya.

"Yoshiki-kun, makasih ya udah mau jadi pemandu buat aku. Aku tadi denger sendiri pas kamu ditunjuk di lorong sekolah."

"Tidak apa-apa, aku kan piket hari ini. Tapi lebih penting dari itu, Nikaido, kamu beneran kayaknya ada yang berubah—"

"Sekalian aja, gimana kalau kamu antar aku keliling sekarang?"

Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, Remi langsung berdiri dengan suara berisik dan keluar ke lorong lebih dulu.

Para siswi lain menatapku dengan ekspresi bingung.

…Serius, ini ada apa, sih?

Apa aku barusan bilang sesuatu yang bikin dia kesal?

Aku tidak bisa membiarkan dia sendirian begitu saja, jadi aku buru-buru menyusulnya.

Begitu aku sampai di pintu, Remi sudah menunggu di sana dan langsung menutup pintu dengan keras di belakangku.

"Eh, tapi istirahatnya sebentar banget. Kita tidak bakal sempat keliling banyak tempat, tahu?"

"Kalau gitu… Hmm, setidaknya antar aku ke toilet dulu."

"Emang tidak apa-apa kalau aku yang nemenin…?"

"Udah, cepetan! Aku buru-buru!"

"Whoa!?"

Tiba-tiba dia menarik lengan bajuku dengan kuat, lalu langsung melepaskannya lagi.

Aku hampir saja kehilangan keseimbangan, tapi akhirnya aku tetap berjalan lebih dulu di depannya.


Kami berjalan tanpa bicara, sementara para siswa lain yang berpapasan dengan kami menoleh hampir setiap kali melewati kami.

Bahkan dibandingkan saat bersama Hanazono, perhatian yang kami dapatkan kali ini jauh lebih mencolok.

Tapi wajar saja.

Seorang gadis cantik yang belum dikenal siapa pun tiba-tiba memakai seragam dan sepatu dalam ruangan khas sekolah ini—pemandangan seperti itu jelas menarik perhatian.

Aku berusaha mengabaikan tatapan mereka sambil menahan kecanggungan di antara kami berdua.

Akhirnya, setelah satu atau dua menit yang terasa sangat lama, kami sampai di area yang sepi.

Toilet ada di ujung lorong ini.

Aku merasa tidak perlu sampai mengantarnya sampai ke depan pintu, jadi mungkin aku bisa menunggu di sini saja—

Saat itu juga, pandanganku tiba-tiba berputar.

Aku merasakan sedikit benturan di belakang kepalaku, dan dalam hitungan sepersekian detik, aku sudah tersudut ke dinding.

…Tunggu, kenapa suasana ini terasa… akrab?

Seolah-olah ada sesuatu yang terkunci dalam ingatanku selama ini, dan sekarang potongan itu akhirnya kembali ke tempatnya.

"Kamu tuh sebenarnya maunya apa, sih!? Tiba-tiba ngomongin masa lalu kayak gitu, kamu sengaja ngeledek aku, ya!?"

Dan di depanku, tanpa diragukan lagi—

Adalah Nikaido Remi yang aku kenal dulu.

"Hah!? A-Apa maksudnya!?"

Aku kaget setengah mati melihat perubahan sikapnya yang drastis, sampai suaraku pun terdengar aneh.

Gadis di depanku bukan lagi Remi yang formal dan menjaga jarak seperti tadi.

Dia adalah Remi yang ada dalam ingatanku.

"Jangan pura-pura bego! Kamu pasti lagi ngejek aku, kan!?"

"A-Aku tidak ngejek kamu sama sekali! Lagian, aku tidak bakal sengaja ngelakuin itu pas baru ketemu lagi setelah sekian lama!"

"Haaah!? Kamu bilang gitu, padahal waktu SD dulu kamu suka banget ngomong aneh-aneh ke aku!"

Begitu dia mengatakan itu, semua lelucon garing yang pernah aku lontarkan dulu tiba-tiba terlintas di kepalaku satu per satu.

Dan aku hanya bisa merasa ingin menelan ludah pahit.


Kalau dipikir-pikir lagi, dulu aku benar-benar anak yang terlalu norak.

"Maaf. Aku sadar sekarang kalau dulu aku keterlaluan."

"…Hah? Aku tidak ada niat nyalahin kamu soal itu sekarang, kok."

Remi melepaskan tangannya dariku dengan ekspresi bingung.

"Kayaknya tadi aku kebawa suasana banget. Maaf ya, sakit tidak?"

"M-mungkin aja sakit."

"Serius? Soalnya pas lihat wajahmu, aku jadi nostalgia banget sampai kebawa suasana. Maaf, ya."

Melihat aku mengusap bagian belakang kepalaku dengan berlebihan, Remi kembali meminta maaf.

…Padahal sejujurnya, rasa sakit itu sudah hilang dalam sekejap.

Yang bikin aku lebih tidak nyaman justru kenyataan bahwa aku harus mengingat semua kelakuan norakku di masa lalu.

Di tengah keheningan yang sedikit canggung, Remi menggaruk pipinya dengan wajah agak kikuk.

"Err… Aku terlalu berlebihan, ya?"

Rambutnya yang halus berayun sedikit.

Lebih panjang dari gaya rambutnya yang ada dalam ingatanku, dengan ujung luar yang hitam berkilau.

Aku menggeleng pelan.

"Tidak, lagian ini juga salahku dari awal. Setidaknya aku lega kalau tadi itu cuma bercanda."

"Oh… Syukurlah."

Remi terdengar sedikit lega, tapi tak lama kemudian ia malah mengerutkan kening.

"Tapi ya, sebenarnya aku juga agak serius tadi. Jadi anggap aja kita impas. Kalau kamu mau anggap itu seimbang, bakal lebih ngebantu aku sih."

"Itu beda tipis aja, kan? Jadi tadi emang serius?"

"Serius, dong. Dulu aku bukan tipe yang gampang disukai orang, kan? Aku tidak mau di hari pertama pindah sekolah malah harus diingat sebagai aku yang dulu."

"Ah… Jadi itu alasannya."

"Aku mikirnya, kamu pasti bakal nyeletuk apa aja. Makanya aku tetap waspada. Dan ternyata tetap waspada itu keputusan yang tepat. Kamu emang tidak berubah, ya."

Remi mengeluarkan kalimat panjang seperti itu.

Sekarang, dia adalah seorang murid pindahan.

Aku gagal memahami perasaannya yang sepenuhnya masuk akal, dan hanya bisa menundukkan kepala sambil berkata, "Maaf."

Ketika tidak ada jawaban setelah beberapa saat, aku mengangkat wajah dengan ragu-ragu.

Remi memasang ekspresi yang sulit diartikan.

Saat aku masih bingung, sudut bibirnya sedikit melengkung ke atas.

"…Jangan buru-buru minta maaf begitu, dong. Justru kamu yang kelihatan berubah."

"Tidak, itu harusnya jadi kalimatku. Kamu yang—"

──"Yoshiki-kun."

Perkataannya tadi kembali terngiang di kepalaku.

"—jadi lebih sopan. Padahal dulu, kamu lebih ceplas-ceplos."

"…Maksudmu di depan orang lain? Di usia segini, mempertahankan sikap dingin justru lebih sulit, tahu. Lagipula, aku udah mulai ramah sejak kelas enam SD, kan? Kamu ini sebenarnya mau ngomongin zaman kapan, sih?"

"Iya, sih, tapi…"

Dulu, Remi adalah gadis yang berani dan selalu melakukan segala sesuatu dengan caranya sendiri.

Karakter kuat itu masih membekas dalam ingatanku.

Aku ingat betul kalau sikapnya mulai membaik saat kelas enam.

Kalau tidak, mana mungkin dia bisa menjadi pemimpin kelas, meskipun masih anak-anak?

Saat aku kembali mengingat itu, Remi menghela napas kecil.

"Sekarang aku murid pindahan, jadi aku mau memulai kehidupan SMA yang aman-aman aja. Jadi, tolong jangan bahas masa lalu lagi, ya?"

"O-oke, aku ngerti."

"Ulangi? Jangan bahas masa lalu di depan semua orang."

"Jangan bahas masa lalu di depan semua orang."

"…Aneh, kamu terlalu nurut."

"Lalu aku harus gimana!?"

Saat aku protes atas tatapan curiganya, Remi sempat mengernyitkan alis sebelum kembali mengangkat bahu dengan santai.

"Ya sudahlah. Kita bukan anak kecil lagi yang bisa ngomongin semuanya secara blak-blakan."

Suara riuh teman sekelas terdengar dari lorong.

Mungkin mereka sedang mencari Remi.

"Duh, aku jadi cepat menarik perhatian. Kita harus balik sekarang."

Angin yang masuk dari jendela menerbangkan rambutnya, sementara anting biru di telinganya berkilau terkena cahaya.

Perkataannya yang memperlihatkan kepedulian terhadap reaksi orang lain.

Baik secara penampilan maupun sikap, Remi sekarang jauh lebih dewasa dibanding dalam ingatanku.

Apakah aku masih bisa mengembalikan suasana akrab yang dulu kami miliki?

Selain itu—apakah Remi masih mengingat hari itu?

Saat menyadari bahwa aku terus menatapnya, Remi memiringkan kepalanya.

"…Apa? Masih mau ngobrol?"

"Tidak, bukan itu maksudku."

"Kalau kamu langsung menyangkal begitu, aku jadi makin tidak enak, tahu…"

Melihat Remi menyipitkan mata, aku buru-buru melanjutkan kata-kataku.

"Bukan, maksudku… Kalau Nikaido berhenti berbicara dengan jujur, rasanya agak sayang aja."

Remi selalu berbicara tanpa berpura-pura kepada siapa pun.

Meskipun dulu banyak yang menghindarinya, aku selalu mengaguminya.

Mungkin itu sebabnya aku terus mengingat sosoknya yang dulu.

"…Maaf. Aku terlalu ikut campur, ya?"

Mendengar permintaan maafku, Remi sempat terlihat sedikit bingung, lalu tersenyum tipis.

"…Tidak juga. Barusan aku bilang satu hal dengan jujur, kok."

"Eh? Di bagian mana?"

"Hmm. Waktu aku bilang, ‘aku lega ada Ryota di sini’."

Aku langsung berkedip beberapa kali.

"Oh… O-oh, syukurlah kalau begitu."

Aku menjawabnya dengan terbata-bata, sementara Remi berusaha menahan wajahnya yang sedikit memerah.

"Hei, bisa tidak berhenti malu-malu waktu aku jujur? Aku jadi ikut malu, tahu."

"Tapi barusan kamu ngomong sesuatu yang memalukan banget!?"

"Berisik, deh."

Remi membuang muka dengan sedikit kesal, lalu berjalan lebih dulu ke lorong depan kelas.

Aku menatap punggungnya sambil berpikir.

──Tadi, dia memanggilku dengan nama depan.

Aku tidak nyangka bisa sebegitu senangnya hanya karena hal sekecil itu.

Tapi…

Dulu, apa aku dan Remi memang sempat punya hubungan yang lebih dekat?

Mungkin dalam waktu dekat, aku bisa menemukan jawabannya.

Tidak—aku ingin memastikan sendiri.

Karena perasaanku kini cukup kuat untuk meyakinkanku akan hal itu.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter


Post a Comment
close