NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jikan wo Tomete Dere Makuru, Saikyou Muteki no Kurono-san V1 Chapter 8

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter Terakhir

Dan Cinta serta Waktu pun Berpotongan


1 — Perspektif: Kai Rou —


Dua hari sebelum festival budaya di SMA Swasta Asagi.


Kegiatan klub setelah sekolah diliburkan demi persiapan acara. Di dapur yang telah dirombak khusus untuk hari H, Kai dan tiga anggota lain dari bagian kedai kopi klub panahan berkumpul.


"Jadi deh! Hmm, rasanya ini benar-benar keren, kan!?"


Amafuro, yang mengenakan celemek, bersorak gembira. Di hadapan mereka ada versi terakhir dari parfait yang dirancang Kurono, sebelumnya sempat diperkenalkan di restoran gyudon, kini siap untuk uji coba final sebelum acara utama.


Alih-alih gelas parfait gelas transparan, hidangan ini disajikan dalam mangkuk besar ala ramen Tiongkok. Tumpukan es krim dan krim kocok memenuhi mangkuk, dihiasi kacang merah, wafer, dan berbagai topping lainnya.


Bentuknya mirip dengan ramen super porsi besar yang terkenal, tapi dalam versi parfait, sebuah tampilan yang langsung menarik perhatian tiga orang lainnya.


"Kalau lihat langsung, ini sih beneran punya daya tarik tersendiri..."


Kai bergumam, sementara amafu mengangguk dengan tangan terlipat.


"Iya, kan!? Dari sudut mana pun dilihat, ini jelas punya potensi jadi menu andalan! Sekarang tinggal pilih nama yang pas. Gimana kalau 'Venus Pretty Amafuro-chan Dream Parfait'?"


"Kenapa tiba-tiba namamu ikut nyelip di sana, dasar idiot. Yang menciptakan ini kan Kurono-san. Jadi lebih masuk akal kalau namanya 'Eternal Beauty Kurono-san Deluxe Parfait'."


Mendengar usulan Marusu, suara dingin dari penciptanya langsung memotong.


"Tidak, tolong jangan."


"...Maaf."


Setelah berbagai perdebatan, akhirnya menu ini diberi nama simpel: "Bowl Parfait."


Sambil menikmati parfait dalam mangkuk besar itu, keempatnya pun mengobrol santai.


"Kenapa, Kai? Kamu kelihatan lesu."


"Ah, nggak apa-apa. Cuma kurang tidur saja."


"Hei, jaga kondisi tubuhmu, dong. Kena flu sebelum acara bakal jadi masalah besar."


"Eh, Marusu, bisa nggak sih ngomong lebih lembut? Kai, kamu baik-baik aja? Kalau butuh hiburan, lihat wajahku yang imut ini aja biar sembuh~"


"Ah, iya...... makasih."


Kai menunduk, pikirannya masih berantakan sejak kemarin.


(Pilihlah.)


Suara Sotomichi terus terngiang di kepalanya. Sejak hari itu, suasana di sekelilingnya menjadi anehnya sunyi.


Bahkan ia sempat berpikir kalau semua ini hanyalah mimpi.


Namun, kamar kosong yang dulu ditempati seseorang dan rasa sakit di dadanya mengingatkan bahwa kejadian itu nyata.


Tapi semua ini tidak ada hubungannya dengan mereka bertiga. Maka, setidaknya di permukaan, ia berusaha tetap terlihat biasa saja.


"Kai-kun, kamu benar-benar baik-baik saja?"


"Iya, aku benar-benar nggak apa-apa."


Mata Kurono yang tampak khawatir menatapnya, namun Kai hanya memberikan jawaban seadanya.


Hingga akhirnya, ketika mangkuk parfait telah kosong—


"Um... Shia-chan."


Amafuro memanggil Kurono dengan nada hati-hati.


"Sebenarnya aku punya permintaan. Soal pelayanan pas acara nanti... Gimana kalau kita pakai ini bareng?"


Amafuro mengangkat kantong kertas yang diletakkannya di lantai, lalu menunjukkan isinya hanya kepada Kurono.


"Ada beberapa anak lain yang juga mau pakai ini, jadi kita nggak bakal jadi satu-satunya yang berbeda, tenang aja! Lagipula, ini festival budaya, jadi aku pengen punya kenangan bareng kamu, Shia-chan."


Dengan rambut twintailnya yang berwarna pink, Amafuro menunduk dalam-dalam.


"Jadi, kumohon!"


"Baiklah."


"Kalau bisa, tolong—eh, serius!? Kamu mau!?"


"Iya."


"Beneran!?"


"Iya. Tapi tolong jangan unggah fotonya ke media sosial."


Kurono menerima kantong kertas itu tanpa banyak bicara.


"Yay! Aku berhasil! Makasih banyak!!"


Amafuro bersorak riang, sementara Marusu, yang penasaran, menelan ludah.


"Ehh... jadi, pakaian macam apa yang bakal kalian pakai buat melayani pelanggan?"


"Itu rahasia sampai hari H!"


"…Jangan-jangan ini kostum yang seksi!?"


"Bukan, dasar mesum. Mampus sono."


Kurono tiba-tiba menoleh ke arah Kai.


"Uhm, Kai-kun... Ini, bukan sesuatu yang seperti itu, oke?"


"Ah, iya. Aku paham, kok."


Sesampainya di rumah, Kai menutup pintu depan.


"...Aku pulang."


Namun, tidak ada siapa pun yang menyambut. Suara itu hanya menggema di ruangan kosong.


Dua hari lagi, festival budaya akan dimulai.


Apa yang harus ia lakukan?


Tidak, jawabannya sudah jelas sejak awal.


Ia tidak ingin menyeret Amafuro, Marusu, atau siapapun ke dalam masalah ini.


Dan mungkin, hanya Kurono yang bisa melakukan sesuatu.


Kalau begitu—


2 — Perspektif: Kai Rou —


Dan kemudian, hari pelaksanaan festival budaya pun tiba.


Kai sibuk merebus ramen tanpa henti di ruang tata boga, yang kini telah sepenuhnya berubah menjadi dapur khusus.


Suara kipas ventilasi yang bekerja maksimal, panas yang naik dari panci, aroma kuah bercampur dengan wangi sabun cuci piring.


Meskipun hanya sebuah kedai makanan sementara yang baru buka selama satu jam, suasananya sudah menyerupai bagian belakang dapur restoran sungguhan.


"Tambahan pesanan aku taruh di sini. Dua mangkuk ramen dengan potongan chashu tebal dan dua porsi nasi goreng daging panggang."


"Oke."


Sambil merebus mie, Kai juga mengaduk wajan besar yang tidak terlalu dikuasainya.


Meskipun ada anggota klub lain dan beberapa bantuan tambahan, tenaga kerja tetap kurang. Keringat yang mengalir di pipinya ia lap dengan handuk.


Namun, justru kesibukan ini yang ia syukuri karena bisa mengalihkan pikirannya.


"Aku juga taruh minuman isotonik di sini."


"Terima kasih. Tolong masukkan ke dalam kulkas."


"Siap, aku bakal mendinginkannya sedingin hubungan pernikahan yang sudah berjalan tiga tahun."


Karena tidak bisa memasak, Marusu membantu di bagian kasir, pengantaran makanan, dan pelayanan pelanggan.


"Dari hari pertama saja kita sudah untung! Semua ini berkat keahlian memasakmu... ya."


"Aku tahu."


Kai dan Marusu melirik ke arah ruang kelas kosong yang telah diubah menjadi area makan di seberang dapur.


Antrian panjang yang butuh waktu dua jam, jumlah pengunjung lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.


Di antara anggota klub yang sibuk melayani pelanggan, ada dua orang yang paling mencuri perhatian.


"Selamat datang! Dua orang ya? Silahkan, kursinya di sini!"


"Silahkan pesan."


Amafuro dengan senyum ramah yang memikat dan Kurono yang melayani dengan ekspresi datar dan sikap tenang.


Meskipun kepribadian mereka berlawanan, keduanya adalah gadis cantik luar biasa.


Mungkin karena rumor telah menyebar, antrian panjang yang mengular bahkan mencapai halaman sekolah.


"Kurono-san, dia benar-benar mau pakai pakaian itu... dia bidadari, bukan?"


Pakaian yang mereka kenakan adalah kostum maid.


Amafuro mengenakan apron dress berwarna pink dengan banyak renda, tampak seperti peri dari dunia dongeng.


Senyumnya yang penuh pesona membuatnya begitu populer hingga pelanggan terus meminta foto dan jabat tangan, hampir seperti seorang idola.


Di sisi lain, Kurono memakai seragam maid hitam-putih klasik.


Meskipun tampak sederhana dibandingkan dengan Amafuro, sosoknya yang tegap dan anggun membuatnya tampak seperti karya seni hidup.


"Maaf menunggu. Dua porsi Don-Pa."


Mereka membawa hidangan khas kedai ini—donburi parfait atau "Don-Pa" yang sangat populer.


Menurut Marusu, penjualannya bahkan memecahkan rekor menu parfait sebelumnya.


"Mereka keren ya. Aku ingin minta foto nanti, terutama dengan Kurono-san."


"Sudahlah, ambil lebih banyak tauge. Sudah habis nih."


"Oke, siap!"


Kai kembali ke dapur, sementara Marusu terus berlari ke sana kemari.


Meskipun sudah melewati siang hari, kafe tetap ramai. Hingga akhirnya, antrian tidak berhenti sampai kafe tutup pada pukul empat sore.


"Ah, capek banget."


Marusu duduk di kursi lipat dengan kipas di tangannya.


Panas dari dapur yang bekerja selama hampir setengah hari tidak bisa sepenuhnya dihalau oleh AC.


Kai juga mengelap keringat dengan handuk yang sudah didinginkan di dalam kulkas.


Saat itu, Amafuro dan Kurono datang.


Masih mengenakan kostum maid, Amafuro tampak kepanasan dan melonggarkan bagian depan bajunya, sementara Kurono tetap tenang tanpa setetes keringat pun.


"Aduh, capek dan lapar... sudah ada makanan untuk staf?"


"Ya, ada di sana, sudah ditutup plastik."


"Makasih! Seperti yang diharapkan dari Rou-kun... oh, maaf ya, aku masih pakai kostum ini. Kalau begini, kamu pasti deg-degan karena aku terlalu imut, kan?"


"Oi, Kai, panggil ambulans. Omongan aneh ini pasti akibat heatstroke."


"Hmph! Aku masih sadar sepenuhnya! Marusu, lebih baik kamu lepas otot-otot itu, bikin panas!"


"Hei, ini bukan kostum maskot, mana bisa dilepas!?"


Mengabaikan perdebatan mereka, Kai membuka kulkas.


"Kai-kun, kerja bagus hari ini."


"Kamu juga, Kurono-san."


Ia mengambil minuman isotonik yang telah didinginkan dan membagikannya kepada Kurono dan dua orang lainnya.


"Terima kasih. Eh, Rou-kun, ngomong-ngomong... kamu belum bilang pendapatmu tentang kami dalam kostum maid ini."


Tiba-tiba, Marusu menyela dengan semangat tinggi.


"Kurono-san itu benar-benar bidadari."


"Iya, iya. Aku sih gak nanya pendapatmu. Terus, pujian buat aku mana?"


"Oh, cocok banget. Apalagi bagian depan bajumu yang terbuka, makin kelihatan kesengajaan yang menggemaskan."


"Itu pelecehan tahu! Kamu langsung dinyatakan bersalah! Hukumannya minum habis kuah chashu yang tersisa di situ!"


"Itu sih hukuman mati!"


Mengabaikan mereka, Kai berbalik ke arah Kurono yang masih mengenakan kostum maid.


Ini pertama kalinya ia melihatnya dari dekat.


Tubuhnya yang tinggi, garis-garis pakaian hitam-putih yang lembut, serta wajahnya yang dingin dan cantik dengan bandana renda kecil di atas kepalanya.


Perpaduan kontras itu terlihat sangat cocok dan... cukup membuat jantungnya berdebar.


"Eh... kalau kamu menatap seperti itu..."


"Maaf... tapi, um, kamu benar-benar cocok mengenakan itu, Kurono-san."


"...Terima kasih."


Kurono tetap tanpa ekspresi, tapi suaranya terdengar sedikit malu. Dan begitulah, mereka akhirnya mulai makan siang yang terlambat.


Sambil menikmati ramen dari bahan sisa, Marusu tiba-tiba berkata,


"Oh iya, tahun ini juga ada acara malam. Candle Fire."


Itu adalah acara tahunan yang diadakan di atap sekolah setelah matahari terbenam selama festival budaya.


Acara ini diselenggarakan oleh klub sains, di mana lebih dari seribu lilin dinyalakan dan diletakkan dengan jarak yang sama, membentuk sebuah jalur yang dapat dilalui oleh kelompok-kelompok kecil untuk menikmati pemandangan.


Pada hari itu, atap yang biasanya terlarang untuk dimasuki akan dibuka di bawah pengawasan guru.


Kai tidak terlalu tahu detailnya. Dia tidak pernah pergi ke acara itu sebelumnya. Secara tidak tertulis, acara ini dianggap sebagai tempat bagi pasangan, sehingga siswa laki-laki yang tidak memiliki pacar bahkan tidak mendekatinya.


Dan jika Marusu yang membawa topik ini…


Sambil menyeruput ramen makanannya, Kai menyaksikan percakapan yang terjadi seperti yang sudah ia duga.


"Kurono-san! Kalau kamu mau, maukah pergi bersamaku?"


"Tidak."


"Pfft. Ekspresi andalan Marusu langsung hancur dalam hitungan detik."


"Kalau begitu, kamu saja, Amafuro. Mau pergi bersamaku?"


"Aku lebih baik mati♡ Atau kamu saja yang mati♡ … Bisa tidak, ngajaknya lebih normal dikit? (pelan-pelan)"


"Hah? Yasudah, Kai, kamu ikut denganku."


"Cuma mau memastikan, tapi... dua cowok ke acara itu, buat apa?"


"Sekalian promosi toko, sambil membagikan chashu sisa secara gratis kepada pasangan yang datang?"


"Itu lebih mirip serangan teror. Minyak dan kecap bakal menghancurkan suasana romantis."


Sambil berkata begitu, Kai berpikir.


Kalau bisa…


Mungkin, dia ingin pergi bersama Kurono.


3 — Perspektif: Kai Rou —


Pukul lima sore.


Kai sedang merapikan dapur yang akhirnya mulai terasa lebih sejuk dan bersiap untuk persiapan besok.


Setelah makan bersama berlima, Marusu yang ditolak oleh Kurono ternyata sudah punya janji dengan teman-teman lama dari klub sepak bolanya, jadi dia menghilang entah ke mana. Amafuro, masih mengenakan kostum maid, pergi mengikuti acara kostum yang diadakan di aula besar.


Jadi, yang tersisa hanyalah...


"Kai-kun. Yang di sini sudah selesai."


"…Terima kasih, Kurono-san."


Hanya dia dan Kurono, yang masih mengenakan seragam maid hitam putih.


Kai tidak tahu harus berbuat apa.


Bahkan sekarang, mungkin Sotomichi sedang mengawasinya dari dekat.


(Katakan padanya.)


Suara itu bergema di kepala Kai.


Mungkin memang seharusnya begitu. Kalau dia melakukannya, hanya dia yang akan menjadi korban.


Atau mungkin, kalau itu Kurono, dia bisa menggagalkan rencana Sotomichi.


Karena itu, dia seharusnya tidak terus memendam ini sendirian dan mengatakannya dengan benar.


Tapi Kai ragu. Jika dia mengatakannya…


Maka benar-benar—


Sotomichi Koa, gadis itu, mungkin tidak akan bisa diselamatkan.


"Kai-kun."


Suara panggilannya membangunkan Kai dari pikirannya.


"Um, aku ingin meminta satu hal."


"A-apa?"


"…Kamu suka makanan manis?"


Beberapa menit kemudian.


"Ini, silahkan. Makanlah."


Yang Kurono buat adalah "Donpa," ide masakannya yang mendapat banyak pujian hari ini.


"T-terima kasih."


Kai menerima mangkuk yang diberikan dengan kedua tangan. Beratnya cukup terasa di telapak tangan, membuatnya khawatir apakah dia bisa menghabiskannya.


"Bagaimana rasanya?"


"Enak."


Kai mengambil satu suapan. Rasa manis es krim yang dingin meresap di lidahnya, diikuti kelembutan krim kocok yang menenangkan.


"Syukurlah... sungguh. Ini pertama kalinya aku mengalami ini. Orang lain merasa senang karena makanan yang kubuat."


Wajah Kurono tetap tanpa ekspresi, tetapi ada kesan malu-malu dalam suasananya.


"Aku tidak tahu kalau hal seperti ini bisa membuat hatiku terasa begitu hangat."


Kai ingin mengatakan sesuatu, tapi saat itu juga, waktu terhenti.


"Kai-kun."


Tangan Kurono dengan lembut menyentuh pipinya.


"Ini yang terakhir kalinya. Aku menghentikan waktu di depanmu... meskipun aku yakin kamu tidak akan mengerti maksudku."


Kurono menundukkan kepala seakan meminta maaf dan berkata,


"Ini perpisahan. Mulai besok... aku tidak akan bisa datang ke sekolah lagi."


Dia mengatakan bahwa dia menyesal telah merepotkan orang lain, termasuk Amafuro, Marusu, dan anggota klub lainnya.


"Tapi, maaf. Aku harus melakukan ini."


Karena dia telah menjadi terlalu lemah.


"…Omong-omong, Kai-kun, baju ini, benar-benar... imut, menurutmu?"


Kurono mencubit ujung rok maid-nya dan memutar badan dengan wajah memerah.


"Sebenarnya aku sangat malu!" ucapnya dengan bibir mengerucut seakan mengomel.


"Tapi, karena kamu memujiku... aku merasa tidak sia-sia memberanikan diri memakainya."


Lalu, dia menundukkan kepala dengan hormat.


"Terima kasih banyak."


Kurono berkata bahwa berkat Kai, dia bisa merasakan banyak hal menyenangkan.


Panahan, teman, dan juga cinta. Semua hal yang sebelumnya tidak pernah ada dalam hidupnya.


Jadi, seharusnya sudah cukup.


"Aku tidak... akan menyesal... seharusnya..."


Namun, air mata mengalir dari matanya.


"Tapi kenapa... kenapa ini tidak bisa berhenti? Ada begitu banyak hal yang ingin kulakukan bersamamu! Begitu banyak hal yang ingin kuceritakan kepadamu! Perasaan ini terus mengalir tanpa henti!"


Dia menginginkan lebih banyak waktu. Dengan air mata berlinang, dia berbisik,


"Aku ingin berkencan lagi. Berkali-kali, aku ingin pergi bersamamu! Aku ingin mengunjungi kamarmu lagi, membuat kari yang lebih enak, dan membiarkanmu serta Koa-san menikmatinya... lalu, lalu..."


"Aku ingin mengatakan 'aku suka padamu'... tanpa menghentikan waktu."


Namun, bahkan di saat-saat terakhir ini, dia tetap tidak bisa mengatakannya.


Sambil menangis, Kurono akhirnya tidak tahan dan bersandar ke dada Kai.


Entah berapa lama waktu telah berlalu sejak itu.


Di pusat dunia yang tidak bergerak sedetik pun, seorang gadis berbisik pelan.


"...Tapi tidak ada pilihan lain, bukan? Aku adalah Chronosia, agen S-class dari Divisi Rahasia Organisasi Kepolisian Internasional. Jadi, aku tidak bisa tetap menjadi Kurono Shia yang lemah dan penuh celah hanya karena menyukaimu."


Kemudian, gadis itu melepaskan diri dari dada pemuda tersebut dan berkata,


"Selamat tinggal, Kai-kun. Terima kasih banyak untuk semuanya sampai sekarang."


Bersamaan dengan kata-kata perpisahan itu, waktu kembali berjalan.


"──Ada apa?"


Kurono kembali dengan ekspresi datarnya seperti biasa. Dan mungkin, dia sama sekali tidak menyadari, tidak akan pernah tahu.


Bahwa kata-katanya barusan telah tersampaikan dengan jelas.

Bahwa hati yang menerimanya ini gemetar begitu hebat.


"Kai-kun...?"


Karena itu, Kai langsung menyuapkan sisa donpa yang belum habis dan berkata,


"Kurono-san."


"Y-ya?"


"Ayo kita lihat Candle Fire bersama."


"Eh──"


Melihat Kurono yang kaget, Kai dengan sepihak menambahkan,


"Mulainya jam enam. Aku akan menunggumu di tangga dekat atap satu jam lagi."


Setelah mengatakan itu, ia meletakkan mangkuk kosong dan berdiri.


Kini, tak ada lagi keraguan dalam hatinya.


4 — Perspektif: Kai Rou —


Kai berlari.


Meninggalkan Kurono, melewati koridor, menuju tempat sepi.


Dan begitu sampai di belakang sekolah yang tak berpenghuni...


Kai berteriak.


"Aku tahu kau ada di sana, Koa!"


Memanggil ke arah senja yang semakin gelap.


Sesaat, seakan waktu berhenti.


Lalu, sosok yang muncul di hadapannya adalah...


"Kau berisik sekali, Onii-sama."


Mengenakan pakaian tipis di atas camisole hitam dan hot pants.


Sotomichi Koa berdiri di sana.


"Untuk apa kau datang sekarang, Onii-sama? Aku tidak akan mendengarkan bujukan atau ceramah apa pun itu. Sudah kubilang sebelumnya, bukan? Aku hanya punya dua pilihan: membunuhmu setelah kau menyatakan perasaan pada wanita itu, atau membunuh dua temanmu bersamamu."


"......"


"Sudah memutuskan?"


Mendengar pertanyaannya, Kai menghela napas dalam-dalam.


Tapi dadanya masih bergetar.


Ia pun memaksakan suara keluar dari tenggorokannya yang tercekat oleh detak jantungnya yang begitu kencang.


"...Sudah cukup."


Mungkin itu jawaban yang tak terduga, karena Sotomichi membuka mata lebar-lebar.


Namun Kai melanjutkan,


"Aku muak. Baik kau maupun Kurono! Kalian muncul sesuka hati, melakukan apa yang kalian mau, lalu tiba-tiba bilang perpisahan, atau bicara soal membunuh?! Coba pikirkan perasaanku sedikit saja!"


Kai berteriak. Kepada Kurono yang tidak ada di sini. Kepada Sotomichi yang berdiri di hadapannya.


Tentang perasaannya yang selama ini ingin ia ungkapkan, tapi tak pernah bisa ia katakan.


"Kurono menyatakan perasaannya secara sepihak, dan kau tiba-tiba menjadi keluargaku... Tapi ketika aku mulai berpikir mungkin ini tidak buruk, kenapa kalian yang memutuskan untuk mengakhirinya?! Sekali saja, tolong dengarkan perasaanku. ...Aku masih ingin bersama dengan Kurono dan juga denganmu!"


Nafasnya terengah-engah, tetapi mulutnya masih terasa panas setelah semua itu terucap.


Mata hitam pekat Sotomichi menatapnya dalam-dalam.


"Kau tahu, Onii-sama... Sebenarnya, sejak awal, aku berpikir kita mungkin bisa akrab. Kau juga kehilangan keluargamu secara tiba-tiba, bukan?"


Seperti aku, tambahnya pelan.


"Kita berdua sama-sama sendirian... Jadi jika saja kau mau pergi bersamaku, hanya itu yang kubutuhkan."


Namun—


"Kau tidak melakukannya. Kau memilih untuk bertaruh pada masa depan dengan wanita itu dan berusaha mencari kebahagiaan. Sekarang, meskipun kau mengeluh, pada akhirnya itulah pilihanmu. Saat itu, kau tidak memilih adik perempuanmu, melainkan wanita itu. Dan aku tidak bisa memaafkan itu. Jadi setidaknya, aku harus menghancurkan kisah cinta kalian agar aku merasa puas. ──Aku akan membunuhmu di sini."


Waktu berhenti. Tinju menghantam perut Kai.


Lalu, saat waktu kembali berjalan, tendangan menghantam dagunya.


Saat ia terjatuh dan menatap ke atas, suara Sotomichi terdengar.


"Aku juga akan membunuh kedua temanmu. Lalu aku akan memperlihatkan mayat kalian bertiga pada wanita itu sebagai pelampiasanku."


Di tangannya, entah sejak kapan, ia telah menggenggam pistol yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu.


"Selamat tinggal, Onii-sama."


Ujung laras pistol, sepekat mata gadis itu, diarahkan ke dahinya.


Kai hampir menyerah.


Namun pada detik berikutnya—


Waktu, kembali berhenti.


5 — Perspektif: Kurono Shia —


Di ruang masak yang sudah kosong, Kurono sendirian, membiarkan kata-kata Kai tadi bergema di dadanya.


("Ayo kita lihat Candle Fire bersama.")


Apa maksudnya? Apakah itu berarti… begitu ya?


Jadi, Kai-kun, dia… terhadapku──.


Saat itu, Kurono merasakan kehadiran seseorang mendekat dari belakangnya.


Saat ia berbalik, memang benar, ayahnya Kurono Toriga, berdiri di sana.


"Shia, ayo pergi. Kau sudah membuang semua keraguan, kan?"


"──Tidak."


Kurono langsung menjawab.


"Tetap saja, aku tidak bisa."


Bibirnya bergerak hampir secara otomatis.


"Karena Kai-kun sudah berjanji. Kami akan melihat Candle Fire bersama."


"……Kalau begitu, bagaimana kalau aku menjemputmu setelahnya?"


"Tidak."


Kurono menggelengkan kepalanya.


"Itu juga tidak bisa. Karena kalau begitu, aku pasti ingin terus bersama dengannya lebih lama lagi."


Ia mengangguk, lalu mengepalkan tangannya.


"Aku tetap tidak bisa berpisah dengan Kai-kun. Itu mustahil. Jadi──."


"Kau bilang jika aku menang, kau akan mempertimbangkan nya, bukan? Sekarang aku akan menang."


Sang ayah menghela napas melihat sikap putrinya itu.


"……Seperti yang kuduga, kau memang anakku."


Lalu, ia juga mengangkat tinjunya.


"Kata-kata tidak akan menghentikanmu, ya?"


Dan saat itu, bukan hanya di antara mereka berdua, tetapi waktu di dunia ini pun berhenti.


──Tinju kanan sang ayah yang tanpa ampun melaju ke arah wajah putrinya yang mengenakan pakaian pelayan.


Kurono nyaris berhasil menghindar, lalu melancarkan pukulan pendek sebagai serangan balik.


Namun, ayahnya menangkisnya dengan tangan kirinya yang masih bebas.


"!! Itu saja yang kau punya!?"


Namun, di saat yang sama, Kurono juga sudah bergerak. Sambil menarik kembali tinju yang ditepis, ia melepaskan tendangan tinggi yang cukup kuat untuk menghancurkan balok besi. Jika itu terhindar, maka ia melanjutkan dengan pukulan, lalu tendangan lagi.


Serangannya tak terputus, hampir seperti lupa bernafas. Kurono telah berubah menjadi badai pukulan dan tendangan.


Namun, ayahnya berhasil menangkis dan menghindari semuanya dengan akurat.


"Seperti yang kuduga, Shia. Dengan kekuatanmu yang sekarang, kau tidak bisa menang dariku."


Jika dilihat dengan mata manusia biasa, tidak ada celah dalam serangan Kurono. Tapi ada jeda yang amat kecil di antara serangan yang berpindah ke serangan berikutnya.

Dan tinju ayahnya dengan tepat mengincar celah kecil itu.


"Ugh…!"


Kurono terpukul dan kehilangan keseimbangan.


Saat itulah sang ayah melancarkan tendangan rendah diikuti serangkaian serangan seperti sudah diprogram sebelumnya, mendorong Kurono ke posisi bertahan sepenuhnya.


"Aku sudah mengajarkan ini padamu. ‘Suka’ adalah perasaan yang berbahaya bagi kita."


Mata kirinya bersinar biru. Berbeda dengan Kurono, ia tidak memiliki kemampuan untuk menghentikan waktu, tetapi sebagai sesama pengguna kekuatan terkait ruang-waktu, ia dapat sepenuhnya meniadakan efek penghentian waktu itu.


"Sebagai agen dari Organisasi Polisi Internasional, kita harus selalu bertindak demi kebahagiaan umat manusia secara keseluruhan. Itu adalah aturan mutlak yang harus kita patuhi. Lebih baik menyelamatkan seratus orang daripada satu orang. Kita harus selalu berpikir ke depan dan menimbang segala sesuatu dengan adil, sambil menghadapi para penjahat keji yang bahkan pemerintah negara-negara pun kesulitan menangani mereka."


Namun──.


"Terkadang, seseorang bisa dengan mudah melanggar aturan itu. Kau pasti mengerti dalam situasi seperti apa itu bisa terjadi. Misalnya, jika temanmu, keluargamu, atau orang yang kau cintai dijadikan sandera, maka manusia yang punya hati akan kehilangan kemampuan berpikir secara rasional. Itu bukanlah hal yang memalukan sebagai manusia. Tetapi, bagi kita, itu adalah celah yang fatal."


Karena itulah, lanjut sang ayah.


"Terutama bagi kita yang memiliki kekuatan super seperti ini. Pengaruh kita terhadap dunia di sekitar sangat besar. Karena itu, kita harus lebih ketat mematuhi aturan dibanding orang lain. Kita tidak boleh terpengaruh oleh emosi manusiawi seperti ‘suka’. Aku telah menciptakanmu seperti itu."


Ya. Itu benar. Kurono tahu itu.


Itulah sebabnya ia tidak memiliki seorang ibu.


Ia diciptakan dalam tabung uji agar lahir sebagai manusia dengan kekuatan spesial. Senjata hidup yang sempurna sejak lahir.


Itulah seluruh eksistensi Kurono Shia. Dan karena itu pula, ia harus menjalankan tugasnya sebagai senjata. Ia tahu itu.


Namun──


Ia bertemu dengan Kai.


Ia jatuh cinta.


Ia memiliki teman.


Ia mulai menikmati waktu yang dihabiskannya bersama keempat orang itu.


Karena itulah, seperti yang dikatakan ayahnya──


"Dan sekarang, kau penuh dengan celah."


Tepat setelah kata-kata itu diucapkan, tinju sang ayah melesat pada momen yang benar-benar fatal.


"Itulah sebabnya kau lemah."


Tinju itu menembus pertahanan Kurono, menghantam perutnya seperti peluru meriam.


Dampaknya menghantam tubuhnya ke dinding, dan di saat yang sama, tanpa bisa dicegah, penghentian waktu pun terlepas.


"Pertarungan selesai…… Kita pulang."


Dengan langkah mantap, sang ayah mendekati putrinya yang menunduk lesu dan menggenggam tangannya, seolah memberikan pukulan terakhir.


"Tempatmu bukan di sini."


Lalu, seakan membimbingnya, ia mencoba membantunya berdiri.


Namun, Kurono menepis tangan ayahnya.


Dengan dorongan tekadnya sendiri, ia bangkit berdiri.


"Benar-benar di luar dugaan. Bagaimana kau bisa bangkit?"


"…Aku tidak tahu."


Namun…


"Aku tidak bisa berhenti."


Dan sekali lagi, Kurono menghentikan waktu.


Tinju ini tak pernah sampai.


Kata-kata tajam itu menghancurkannya.


Namun tetap saja…


Perasaan di dalam dadanya tak bisa dihentikan.


"Kai-kun…"


Aku suka padamu, aku sangat menyukaimu, itulah mengapa aku ingin mengungkapkannya.


Perasaan ini, apapun yang terjadi, apapun yang dilakukan padaku, tidak akan pernah bisa dihentikan.


Aku melepaskan pukulan, ia menangkisnya. Tak masalah.


Aku menendang, ia menghindar. Tidak penting.


Serangan balasannya datang, aku terkena. Itu bukan urusanku.


Karena, lebih dari semua itu…


"Aku juga ingin ikut bersamamu…!"


Candle Fire…


Bagaimana rasanya?


Berjalan bersamamu di antara cahaya yang berjajar.


Kali ini, bisakah aku menggenggam tanganmu tanpa menghentikan waktu?


Bisakah aku mengungkapkan degupan jantungku dengan kata-kata?


Aku ingin tahu.


Itulah sebabnya, sekali lagi…


"Kai-kun!! Aku ingin bertemu denganmu!!"


Aku berteriak.


Entah sejak kapan, bukan hanya mata kananku, tapi mata satunya juga mulai bersinar merah.


Dan pada saat itu, untuk pertama kalinya, tinju yang dilepaskan Kurono menghantam ulu hati ayahnya.


"Ini…!"


"Aku… suka kelembutanmu."


Bersamaan dengan bisikannya, rentetan pukulan berikutnya menembus perut ayahnya sekali lagi.


"Saat bersamamu, entah kenapa aku merasa tenang."


Tendangan tajam menghancurkan lututnya.


"Aku tidak suka saat kamu melihat hal mesum, tapi… aku memaafkanmu."


Sebuah kuncian menangkap tinju yang dilayangkan sang ayah, lalu mematahkan lengannya.


Bukan karena tiba-tiba kemampuan fisik atau bela diri Kurono meningkat drastis.


Penyebab utamanya adalah perbedaan kecepatan yang drastis.


Dibandingkan dengan Kurono, gerakan ayahnya jelas melambat.


Dengan kata lain, kini saat kedua matanya bersinar, kemampuan penghentian waktu Kurono telah meningkat pesat, hingga bahkan mampu memaksa ayahnya yang seharusnya kebal untuk berhenti.


Penyebabnya sudah jelas, Kurono berteriak.


"Itu benar. Ini benar. Perasaanku bukanlah sebuah kelemahan.

Karena aku jatuh cinta, karena perasaan ini membuatku berjuang dengan sekuat tenaga…"


Justru karena itu…


"Aku… tak terkalahkan…!!"


Dan dengan pekikan penuh semangat, tinju yang ia lepaskan menghantam wajah ayahnya yang telah sepenuhnya terhenti.


──Kurono menghentikan kekuatan waktu.


Bersandar pada dinding, sang ayah terengah-engah.


Siapapun yang melihatnya akan tahu bahwa ia sudah tidak bisa bertarung lagi.


"Aku mengerti… Aku paham sekarang… Aku kalah."


Ayahnya berdiri sempoyongan dan berjalan melewati putrinya.


Kurono pun bertanya.


"Kau mau ke mana, Papa?"


"Maaf, aku pulang duluan. Wajahku dan tengkorakku retak, tulang leher cedera, kedua lengan patah parah, lutut kanan hancur, tulang rusuk remuk, dislokasi, beberapa organ dalam rusak…"


"…Ma-maafkan aku."


"Tak masalah, semuanya akan sembuh dalam semalam."


Lalu, ayahnya berhenti.


"Shia. Seharusnya kau tak bisa mengalahkanku. Tapi kau menang. Kau benar."


Ia ragu sejenak, namun akhirnya berkata dengan tegas.


"Meskipun kau punya banyak celah… Kau tetap kuat."


6 — Perspektif: Kai Rou —


Kai berada di dalam waktu yang telah berhenti.


(Hah...?)


Suara tidak keluar. Satu detik, dua detik... bahkan setelah itu berlalu, waktu tetap berhenti.


Karena itu, ini bukanlah ulah musuh, melainkan tanpa diragukan lagi adalah kemampuan Kurono.


Namun, seharusnya itu tidak mungkin. Jika Kurono tidak berada di dekatnya, waktu berhenti tidak akan memengaruhinya.


Satu menit, dua menit... Waktu tetap berhenti, dan dia tidak muncul.


Kai tidak tahu.


Bahwa pada saat yang sama, selama pertarungannya dengan ayahnya, kemampuan Kurono telah berkembang hingga mencapai tingkat di mana dia dapat mempengaruhi Kai dari kejauhan dalam sekejap.


Tanpa mengetahui alasannya, dia hanya melihat moncong pistol yang mengarah padanya.


Tubuhnya tidak bisa bergerak.


Itu sudah jelas, karena selama ini memang selalu begitu.


Namun, tetap saja—


(Bergerak... bergeraklah!)


Dia berdoa sekuat tenaga agar tubuhnya bisa bergerak.


Dia tidak peduli dengan logika. Dia tidak peduli dengan prinsipnya.


Yang penting hanyalah, jika dia tidak bisa bergerak sekarang, maka dia tidak akan pernah bisa—


Dan saat itu, bayangan Kurono melintas di benaknya.


Ekspresi dingin dan tanpa emosi ketika mereka pertama kali bertemu.


Air mata dan pipinya yang memerah saat dia mengungkapkan perasaannya di hari kepindahannya.


Dan semua wajah asli yang telah dia tunjukkan dalam waktu yang berhenti hingga saat ini.


Dia ingin bertemu Kurono lagi.


Dia ingin melihat senyum itu lagi.


Saat perasaan itu berteriak dalam hatinya—


"──Kai-kun, aku ingin bertemu denganmu."


Suara Kurono terdengar jelas dalam kesadarannya.


Kai tidak tahu.


Bahwa pada saat itu, dalam waktu yang berhenti, mereka berdua memiliki perasaan yang sama.


Dan di saat itu pula, efek sebenarnya dari operasi khusus yang telah dilakukan pada pemuda itu, kemampuan berbagi yang terbatas, dipicu oleh empati satu sama lain, akhirnya terwujud.


"──Hah!?"


Mulutnya terbuka.


Kejutan meluap dari dirinya.


Lalu, lengannya, tubuhnya... mulai bergerak.


Meski bingung dengan kebebasan yang tiba-tiba, Kai tetap bertindak.


Lebih dari apa pun, dia memprioritaskan merebut pistol dari tangan musuh—



Dan di saat itu, waktu kembali berjalan.


Kali ini, sebaliknya, Kai yang telah berdiri menatap gadis itu dari atas, menodongkan pistol ke keningnya.


Sotomichi membelalakkan mata karena terkejut, tetapi segera menertawakannya dengan nada mengejek.


"…Aku terkejut. Tapi, bagaimana pun juga, Onii-sama tidak akan menembak, kan? Itu bukan ancaman sama sekali."


"Aah."


Itulah sebabnya dia melakukan ini.


Kai melemparkan pistolnya dan langsung memeluk Sotomichi erat-erat.


"Apa…!?"


Sotomichi yang lengah berusaha melepaskan diri, tetapi tampaknya dia tidak memiliki kekuatan abnormal seperti Kurono, sehingga perbedaan ukuran tubuh tidak bisa diatasi.


"Sial… K-Kau…! Dasar Onii-sama mesum! Tapi, meskipun kau melakukan ini—"


Di dalam pelukannya, Sotomichi menahan napas. Dia menyadari bahwa Kai sedang memegang ponsel.


Yang terpampang di layar adalah chat dari Kurono.


"!! ──Tidak boleh!"


Mata Sotomichi bersinar gelap. Waktu berhenti. Namun, dalam dua detik, dia tidak bisa melepaskan diri.


Gadis itu terbatuk keras, lalu mencoba lagi. Dan sekali lagi.


Setiap kali dia menggunakan kemampuannya, waktu berhenti semakin pendek, hingga akhirnya tidak bisa berhenti bahkan satu detik pun.


Tanpa sadar, Kai menghentikan bermain ponsel dan, seolah tak bisa menahan diri lagi.


"Sudah cukup, hentikan! Hentikan, Koa!"


"Tidak mau…"


Tetesan air mata jatuh ke dada Kai.


Dengan napas tersengal dan tubuh gemetar, gadis itu menangis dalam pelukannya.


"Aku tidak akan berhenti… karena… karena aku… benci Onii-sama…"


Tangisannya, yang terus berulang, berkali-kali menghantam dada Kai.


"Kenapa… kenapa… kenapa kau memilih dia… daripada aku? Aku hanya ingin… bersamamu… sampai akhir…"


Dengan suara lirih itu, Kai akhirnya mengerti.


Ah, dia pasti… selalu merasa kesepian. Semua leluconnya selama ini, cara dia mengusik hubungannya dengan Kurono, semuanya, pada akhirnya, berasal dari perasaan ini.


Akhirnya, dia sadar.


Tanpa berpikir, kata-kata itu mengalir begitu saja dari bibirnya.


"Aku tidak memilih."


"…Apa?"


"Aku tidak pernah membandingkanmu dengan Kurono dan memilih salah satu! Itu mustahil. Karena… karena kau adalah keluargaku!"


Bersamaan dengan kata-kata itu, mata Sotomichi membelalak, tubuhnya gemetar.


"…Jangan berpikir kalau hanya kau yang merasa bahagia atau menikmati waktu itu. Aku juga…Aku juga merasa kehilangan saat Ayah, Ibu, dan kucing peliharaan kita tiba-tiba menghilang. Aku merasa kesepian. Aku merasa hancur. Tapi… meskipun semua itu sudah hancur, kau datang. Berkatmu, aku tidak punya waktu untuk bersedih."


Masih memeluk Sotomichi yang tampak terkejut, Kai melanjutkan.


"Kita keluarga, jadi aku tidak ingin kau membunuh siapa pun. Karena aku menganggapmu keluarga, aku ingin kau selamat. Jadi, kumohon, jangan mengorbankan hidupmu… termasuk diriku juga."


Kata-kata yang mengalir dari mulut Kai bukanlah basa-basi.


Dan yang menjawabnya, adalah suara tangisan yang berantakan.


"…Apa itu tadi…"


Tubuh Sotomichi melemas perlahan di dalam pelukannya.


"Sungguh… Jangan katakan hal seperti itu, Onii-sama…"


Kai juga melonggarkan pelukannya, pada saat itu dia tiba-tiba didorong ke belakang hingga jatuh terduduk.


Terkejut dan terdiam, Kai menatap Sotomichi yang kini mengambil pistolnya kembali.


Sambil menyeka air matanya di wajah yang masih memerah.


"──Kau membuatku ingin berhenti melakukan hal-hal jahat."


Kemudian, dia tersenyum lembut.


"Onii-sama, kau akan menemui Kurono Shia sekarang, bukan?"


Kai mengangguk.


"Meski begitu, tolong, jangan pernah memberi tahu siapa pun tentang organisasi atau aku. Aku mohon."


"Entah aku bisa mendapatkan keringanan hukuman atau tidak, jika kebenaran ini terungkap, setidaknya Onii-sama tidak akan bisa pergi ke sekolah lagi. Dan aku… tidak akan bisa tinggal bersamamu lagi."


"Tapi kalau begitu, kau…"


"Terima kasih… Tapi soal tubuhku, untuk sekarang tak perlu khawatir. Aku tidak akan mati dalam sehari dua hari. Kalian berdua masih harus lulus SMA dulu, kan?"


Sotomichi memasukkan pistol ke sakunya, lalu dengan langkah goyah, dia berdiri.


"Aku sudah melakukan banyak hal buruk, maafkan aku, Onii-sama. Tapi tetap saja… Aku masih ingin menjadi keluargamu."


Kemudian, dia menundukkan kepalanya.


"Aku akan mencoba mengelabui organisasi dalam laporanku nanti. Jadi… biarkan aku tetap tinggal bersamamu."


Sebelum Kai sempat mengangguk, Sotomichi berbalik.


Seolah dia sudah tahu jawabannya.


"…Hei, mau ke mana kau, Koa?"


"Tidak ada orang dengan nama seperti itu."


Saat Kai memanggilnya, Sotomichi berhenti melangkah, tersenyum kecil.


Lalu, seakan baru mengingat sesuatu, dia mendekatkan bibirnya ke telinga sang kakak.


"Ngomong-ngomong, aku belum pernah memberitahumu, ya?


Sebelum aku diculik oleh organisasi, nama asliku adalah… ————"


Dan, seperti itu, sang adik mengatakannya dengan nada yang sangat ringan.


"Aku pulang duluan, Onii-sama. Jangan pulang terlalu larut, ya? Aku tidak suka menunggu lama."


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close