Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 2
Gadis Itu, Terlalu Imut
1 — Perspektif: Kurono Shia —
Malam itu, markas kartel narkoba terbesar di Brazil hancur lebur.
Pabrik narkoba di pedalaman hutan. Para pekerja bersenjata tergeletak di mana-mana.
Tanpa terkecuali, mereka semua tertanam di dinding atau tanah dalam sekejap yang sunyi.
Apa yang terjadi? Jawabannya tentu saja hanya satu orang.
"Jawab pertanyaanku."
Kurono Shia—semua ini gara-gara dia.
Gadis itu menyudutkan pria gemuk berkulit hitam, yang tampaknya adalah bos kartel, ke tembok dan bertanya dalam bahasa Inggris.
"Sial... Berani-beraninya kau menghancurkan organisasiku—"
Bos itu mengeluarkan pistol. Kaliber 45 ditembakkan tanpa ragu.
Di saat yang sama, waktu berhenti.
Kurono menepis peluru yang melayang di udara layaknya mengusir lalat, merebut pistol dari tangan bos itu, lalu menjejalkannya ke mulutnya sebelum membiarkan waktu berjalan kembali.
"!? Mmmgh! Mmgooooh!?"
"Siapa yang menyuruhmu melakukan perlawanan sia-sia? Sudah, jawab saja pertanyaanku. Aku sedang buru-buru."
Munculnya pistol di mulutnya secara tiba-tiba membuat bos panik. Dengan mata berkaca-kaca, ia buru-buru mengangguk.
Kurono menarik moncong pistol sedikit.
"Kau seorang pengguna kekuatan, bukan? …Apa tujuanmu? Uang? Narkoba? Atau nyawaku...?"
Menghadapi bos yang gemetar ketakutan, Kuromo menjawab dengan nada sangat serius.
"Barang keberuntungan untuk Leo hari ini."
"Hah?"
2 — Perspektif: Kurono Shia —
Waktu mundur sehari, berdasarkan Waktu Standar Jepang.
Di dojo panahan setelah jam sekolah, gema seruan penghormatan dan ajaran disiplin menggema.
"Dalam kitab tertulis: 'Besi dan batu berbenturan, api muncul seketika'. Dengan kata lain, tubuh emas, warna putih, posisi bulan separuh barat."
"Latihan hari ini selesai. Terima kasih banyak!"
"Ah, akhirnya selesai! Capek banget..."
Para anggota klub yang duduk mulai berdiri satu per satu.
Di antara mereka, Kurono memanggil seorang pemuda yang sedang merapikan peralatan panahnya di dekat dinding.
"Kai-kun."
Ia hendak melanjutkan ajakannya untuk pulang bersama, saat tiba-tiba seorang gadis dalam pakaian latihan melesat melewatinya.
"Kai-kun~~! Tunggu sebentar! Jangan pulang dulu, kumohon!"
"Uwoh!? …Eh, Amafuro?"
Gadis itu memiliki rambut twintail berwarna pink mencolok yang diikat ke belakang saat latihan.
Dengan suara nyaring kekanak-kanakan, ia menempel pada Kai dan memohon padanya.
Namanya Amafuro Tete. Siswi kelas dua dan anggota klub panahan.
"Kai-kun! Kumohon! Temani aku latihan tambahan hari ini!"
Bertubuh mungil dengan dada besar, selalu tersenyum manis, dan sangat populer di kalangan pria.
Namun, dalam hal panahan... buruk sekali. Bahkan, Kurono belum pernah melihatnya mengenai target.
Menahan dorongan membunuh yang muncul, Kurono tanpa sadar ikut campur.
"Tunggu sebentar."
"...Ah, Kurono-san masih di sini ya. Ada apa?"
"Kenapa kamu meminta Kai? Jika butuh latihan tambahan, bukankah lebih masuk akal meminta guru yang mengawasi?"
"U-Umm, itu karena... gimana ya, aku... terlalu imut kalau boleh jujur. Kalau berduaan dengan guru laki-laki, bisa-bisa orang salah paham."
"...Hah?"
Kurono tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Apa sih yang dikatakan gadis ini?
Yah, kalau soal tidak nyaman berduaan dengan guru muda, mungkin masih bisa dimengerti.
Tapi kenapa memilih Kai?
(Tergantung alasannya, ini bisa jadi wasiat terakhirmu.)
"U-Um, soalnya Kai-kun itu pendiam, nggak terlalu kelihatan seperti cowok banget, jadi aku merasa aman. Lagipula... Kai-kun punya pacar, kan? Aku rasa dia nggak akan mengkhianati orang yang dia suka."
Petir menyambar di kepala Kurono.
"...Hah? Pacar? S-Siapa pacarnya?"
Amafuro menatapnya seperti ingin berkata "Hah? Apa sih yang kamu bicarakan?", lalu menunjuk Kurono.
"Eh? Bukannya kalian pacaran ya...?"
Di sampingnya, Kai tersenyum kecut.
"Nggak, bukan begitu kok."
"S-Serius!? Aku beberapa kali lihat kalian pulang bareng..."
"Kebetulan rumah kami dekat saja."
"T-Tapi satu-satunya orang yang bisa ngobrol normal sama Kurono-san itu... cuma Kai-kun, kan?"
(Hmm? Barusan... dia secara tidak langsung meremehkanku, ya?)
Bagaimanapun, Kai menjelaskan bahwa mereka tidak berpacaran, dan Kurono pun menyetujuinya.
"Kalian gak pacaran, gitu ya... Maaf, aku keburu salah paham."
"Tapi, misalnya saja, kalau aku dan Kai benar-benar berpacaran seperti yang kamu bilang, kamu tidak berpikir kalau aku akan merasa tidak nyaman jika kamu berduaan dengannya, kan?"
Mata Amafuro membelalak seolah baru menyadari sesuatu.
"Be-Benar juga... Kalau pacarku bersama gadis super imut sepertiku, pasti aku bakal khawatir dan nggak suka. A-Aku minta maaf."
"…Baiklah, aku maafkan."
"Eh, sekali lagi aku bilang, kita itu nggak pacaran ya!"
Kurono berbisik pelan, hampir tak terdengar.
Sedikit saja, biarkan aku menikmati suasana ini.
Bagaimanapun, beberapa menit kemudian, izin untuk latihan tambahan diberikan dengan mudah oleh sensei pembina klub panahan, Kuregatani.
Sebenarnya, latihan tanpa pengawas itu dilarang, tapi dia hanya berkata,
"Kalian pasti baik-baik saja."
Betapa santainya dia, pikir Kurono, tapi akhirnya ia memutuskan untuk tetap tinggal.
Tentu saja, alasannya adalah karena dia tidak ingin membiarkan dua orang itu berduaan.
──Tiga puluh menit berlalu.
Amafuro memasang busur dan menembak. Setiap kali, Kai memberinya saran.
"Uuuh~... Berapa kali pun aku mencoba, anak panahku selalu jatuh ke tanah... Apa yang harus kulakukan, Kai-kun sensei?"
"Ya, ya. Hmm, dorongan dari tangan memanahmu terlalu lemah. Jadi pertama-tama, saat membentuk posisi ‘Daisan’, fokuslah agar tidak kalah dalam dorongan—"
Kurono mencoba mengabaikan mereka dan berkonsentrasi pada latihannya sendiri.
Panahan sangat cocok untuk situasi seperti ini. Dengan mengulang gerakan yang sudah ditetapkan, pikirannya bisa kembali tenang—
"Ah! Maaf, Kai-kun, pelindung dadaku geser lagi... Bisa tolong betulkan?"
"Eh!? U-Umm... Kalau tanganmu sibuk, aku bisa pegang busurmu, jadi Amafuro, betulkan sendiri saja."
(Bagaimana ini, kalau boleh jujur—aku ingin membunuhnya.)
Plak!
Anak panah yang penuh dendam dari Kurono menembus tepat ke tengah sasaran.
Sejujurnya, dia ingin segera menghentikan waktu dan melempar gadis itu ke Hutan Aokigahara.
Saat ia melepaskan niat gelapnya bersama hembusan napas terakhir dari postur panahnya, tiba-tiba sebuah suara lembut terdengar.
"…Kurono-san, kamu cantik ya."
Ketika Kurono perlahan menoleh, entah sejak kapan, Amafuro sudah duduk di belakangnya.
"Latihanmu sudah selesai?"
"Belum, masih lama. Tapi lenganku capek, jadi aku istirahat dulu! Kurono-san, kamu hebat sekali! Hei, tunjukkan lagi, ya?"
Kurono kembali memasang busur, mengangkatnya, membentuk posisi ‘Daisan’, menariknya, menahan, lalu melepaskan.
Suara nyaring tanda tembakan mengenai sasaran.
"Wah! Hebat! …Umm, ada trik cepatnya nggak, sih?"
"Tidak ada. Kau hanya perlu melakukan gerakan yang sudah ditentukan dengan benar."
"Begitu ya... Hei, tunjukkan sekali lagi."
Amafuro menatap Kurono dengan mata berbinar.
Kurono ragu sejenak, lalu seakan mendorong pintu berat, ia membuka mulutnya.
"…Memanah bukan tentang kekuatan lengan."
Amafuro menatapnya bingung.
Kurono melanjutkan dengan nada datar.
"Kau terlalu banyak menggerakkan lenganmu. Fokuslah untuk menggerakkan dari tulang belikat di punggungmu."
"Ah, terima kasih, Kurono-san! Aku akan mencobanya!"
Jika Amafuro cepat mahir, itu berarti waktu latihan berduanya dengan Kai akan berkurang.
Hanya karena alasan itu, Kurono mau mengajarinya.
Namun, anehnya, saat gadis itu berterima kasih, Kurono tidak merasa buruk.
Lagipula, dia tampaknya memang serius dalam latihannya.
(...Mungkin aku bisa membebaskannya dari hukuman hutan.)
Tiga puluh menit berlalu lagi.
Suara nyaring tanda tembakan mengenai sasaran bergema di dojo yang mulai gelap.
Panah Amafuro akhirnya mengenai target.
"Horeee! Ini pertama kalinya aku berhasil! Kalian lihat, kan?"
"Bagus! Selamat ya, Amafuro!"
(Akhirnya selesai juga…)
Kurono, yang sejak tadi hanya duduk dan mengamati, menghela napas lega.
Namun saat itu juga—
"Terima kasih, Rou-kun!"
(────HAH? Barusan dia memanggil Kai dengan nama depannya!?!?)
Tetap saja dia harus mati.
Hutan Aokigahara? Tidak, itu terlalu lembek. Langsung saja ke kawah Gunung Fuji.
"Ah, maaf, Kai-kun. Aku tiba-tiba memanggilmu pakai nama depanmu... Sebenarnya, dalam hatiku, aku memanggil semua orang dengan nama depan, jadi tanpa sengaja keluar begitu saja."
"Ah, nggak apa-apa. Panggil sesukamu saja. Bagaimanapun juga, selamat, ya."
(Tidak apa-apa!? Ini sama sekali tidak baik saja! K-Kai-kun, k-kenapa kau begitu santai dengan gadis seperti itu…!?!?)
Kurono berdiri kaku dengan wajah tanpa ekspresi, tapi dalam hatinya dipenuhi kecemburuan yang menyala-nyala.
Lalu, Amafuro mendekat dengan langkah ringan dan membungkuk dalam-dalam.
"Dan Kurono-san juga, terima kasih banyak!"
"…Hah?"
"Nasihatmu sangat membantuku! Juga, posturmu saat memanah sangat menginspirasi… Pokoknya, aku sangat berterima kasih!!"
Kurono terkejut mendengar ucapan terima kasih yang datang tanpa peringatan.
"…Tidak, aku tidak melakukan apa-apa."
Itulah satu-satunya jawaban yang bisa ia berikan.
Dengan senyum lebar, Amafuro menyampaikan rasa terima kasihnya.
Entah kenapa, Kurono tidak bisa memahami mengapa itu tidak membuatnya kesal.
Masih merasa tidak puas, Kurono mengalihkan pandangan, sementara Kai mulai membereskan peralatan dengan cekatan.
Lalu, Amafuro berkata,
"Terima kasih banyak, kalian berdua! Sudah menemani sampai selarut ini..."
"Bukan masalah. Tapi, Amafuro, ini sudah cukup malam. Kau tidak kena jam malam?"
"Nggak apa-apa, aku sudah izin ke rumah—"
Guuuuu~
Perut Amafuro berbunyi keras. Ia tertawa malu-malu dan berkata,
"Eh-hehe... Umm, kalian mau makan malam bareng nggak? Sebagai tanda terima kasih, aku traktir deh!"
3 — Perspektif: Kurono Shia —
Begitulah, Kurono akhirnya pergi bersama mereka ke restoran keluarga terdekat dari sekolah.
Di dalam restoran yang hanya memiliki sedikit pelanggan pada pukul 9 malam, terdengar irama pop yang ceria dan suara kerja robot pengantar makanan.
"Kalian pesan saja yang kalian suka ya. Uang saku dari Papa masih cukup banyak... Oh, dan ini sekadar klarifikasi, aku maksudnya Papa yang benar-benar ada hubungan darah denganku, ya?"
Sambil membentangkan menu di atas meja, Amafuro berkata dengan santai.
"Kalian pilih duluan saja. Aku akan memutuskan nanti."
Kai menerima air dan tisu basah dari perut robot pengantar makanan, lalu membagikannya.
"Silakan bersantai, nyan! Kalau pesanan sudah siap, panggil aku lagi, nyan!"
Setelah meninggalkan suara mekanis yang dibuat-buat agar terdengar imut, robot itu pergi.
"Kyaahh! Kalian lihat tadi? Robot kucing pengantar makanan di sini super imut, kan? Yah, aku juga imut sih, tapi lupakan itu dulu! Bentuknya yang bikin ingin dielus, meskipun kita tahu dia bukan makhluk hidup! Aku serius ingin bawa pulang satu! Kurono-san juga setuju, kan? Kan!?"
"…Umm, yah, kurasa begitu?"
Kurono mengangguk asal. Baginya, bukan hanya restoran keluarga, bahkan makan di luar saja adalah pengalaman pertama.
(Sejujurnya, aku tidak peduli dengan makanan atau robot ini... Tapi jika bersama Kai-kun, apapun terasa menyenangkan.)
Dalam hal itu, Kurono merasa ia bisa berterima kasih kepada Amafuro.
Mereka duduk di meja dengan sofa berhadapan untuk empat orang. Karena Amafuro dan Kai sudah duduk berhadapan lebih dulu, Kurono sempat ragu sejenak, tetapi akhirnya memilih duduk di sebelah Kai.
Duduk bersebelahan.
Tentu saja, itu membuat kepala Kurono seperti mendidih.
(Waaahh~! D-Dekat sekali! Karena sofa ini, jaraknya jauh lebih pendek dibanding di kelas... T-Tangan kami bisa saja bersentuhan...! A-Atau lebih parah lagi, bagaimana kalau aku bau keringat!?!?)
Sementara Kurono sibuk dalam pikirannya, Amafuro menekan tombol panggil dan berkata,
"Aku sudah memutuskan! Kurono-san, bagaimana?"
"…Umm, maaf, aku belum."
Kurono kembali menatap menu.
Meski awalnya ingin memilih sesuatu secara asal, ternyata pilihan menunya lebih banyak dari yang ia kira.
"Aku mengerti, Kurono-san! Wajar bingung, kan? Soalnya kita cewek, jadi pasti kepikiran kalori! Tapi kita sudah banyak olahraga hari ini, jadi apa pun yang kita makan pasti dimaafkan!"
"Bukan itu masalahnya. Bagaimanapun juga, kalori yang masuk akan segera terbakar, jadi aku tidak peduli."
"Hah? Eh, tunggu dulu, Kurono-san. Maksudnya 'segera terbakar' itu apa? J-Jadi kamu tidak pernah mengontrol kalori sama sekali meski dengan tubuh seperti itu?"
"Benar. Aku tidak pernah memikirkannya."
Hanya dengan menggunakan kekuatan penghenti waktunya saja, sudah menghabiskan energi dalam jumlah besar. Jika dihitung sebagai metabolisme dasar, jumlahnya cukup signifikan, jadi tidak ada alasan baginya untuk mengurangi porsi makan.
Namun, saat Kurono mengatakan itu, ia merasa ada sesuatu yang mendasar menghilang dari ekspresi ceria Amafuro.
"Jangan-jangan, kulitmu yang mulus itu juga? Kamu tidak melakukan perawatan khusus?"
"Aku hanya memakai pelembap."
"Jadi, sebenarnya kamu tidak melakukan apa pun ya. Oke, aku mengerti... Kalau begitu, makeup tipismu yang hampir tidak terlihat itu?"
"Aku hanya memakai foundation dan lipstik."
"Seorang beauty monster alami...!?"
Amafuro tiba-tiba mengeluarkan suara seperti sekarat, lalu bersandar di sofa dengan ekspresi pasrah.
"Umm... Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?"
"Ah, nggak. Jangan dipikirkan, Kurono-san. Itu memang sifatmu."
Akhirnya, Kurono memilih pesanannya secara acak.
Tak lama setelah itu, Kai juga mengangguk.
"Aku juga sudah memutuskan."
"Oke! Aku yang pesan, ya!"
Sekitar sepuluh menit kemudian, robot pengantar makanan datang membawa pesanan mereka.
"Terima kasih sudah menunggu, nyan! Makanan ini panas, nyan! Hati-hati, nyan!"
Kurono memesan doria sayur musim panas, Kai memilih set hamburger, sementara Amafuro memesan steak campur dan parfait stroberi.
"Selamat makan~"
Amafuro mengatupkan kedua tangannya dengan gaya yang menggemaskan. Kai dan Kurono pun mengikutinya.
Amafuro mulai menyantap potongan kecil steaknya, diselingi dengan sesendok parfait yang disajikan bersamaan.
"Fufufu! Aku yang imut ini sudah memikirkannya! Jika aku mengurangi porsi nasi untuk diet rendah karbohidrat, maka memesan parfait tidak masalah!"
"Amafuro, bukankah itu tetap saja impas?"
"Aku tidak dengar! Aku tidak dengar kata-kata jahat itu!"
Sementara itu, Kai dengan santai makan hamburgernya, diikuti nasi, salad, dan sup.
Di sisi lain, Kurono tetap tanpa ekspresi saat ia menyantap doria panasnya tanpa meniupnya terlebih dahulu, seolah itu hanya yogurt.
"Kurono-san, nggak panas ya?"
"Tidak. Aku sudah dilatih… maksudku, diajari untuk bisa makan apa pun tanpa masalah."
"...Orang tuamu mendidikmu dengan cara yang aneh, ya."
Saat Kurono sudah menghabiskan setengah porsi doria-nya, Amafuro tiba-tiba berkata,
"Atau ini hanya perasaanku, ya... Rou-kun."
"Apa?"
"Makanan yang dimakan orang lain selalu terlihat lebih enak."
"Yah, aku bisa memahaminya."
"Kalau begitu, mau tukar satu suapan?"
"Boleh saja sih."
Amafuro memotong sepotong steak ayam dan meletakkannya di piring Kai.
Kai juga mencoba meletakkan sepotong hamburger di piring Amafuro, tetapi—
"Hmm... Rasanya kurang seru, ya... Oh, Rou-kun! Sekalian saja, suapi aku, dong!"
"Eh? ...Ah, yah, kalau begitu, oke saja."
"Terima kasih~♡"
(Hah?)
Sementara Kurono masih terdiam karena keterkejutan, Kai menusukkan hamburger ke ujung garpunya dan menyodorkannya ke mulut Amafuro, yang membuka mulut seperti anak burung.
"Hmm~! Ternyata lebih enak kalau disuapi!"
(Selamat untukmu. Ngomong-ngomong, apakah itu akan menjadi santapan terakhirmu?)
Tanpa suara, sendok di tangan Kurono patah.
"Oh iya, Rou-kun! Bagaimana kalau kamu juga melakukan hal yang sama untuk Kurono-san?"
"Eh?"
Kedua orang yang disebut namanya terkejut bersamaan. Kurono tanpa sadar bertukar pandang dengan Kai.
Kai terlihat sedikit bingung sebelum bertanya,
"Amafuro memang bilang begitu, tapi Kurono-san pasti tidak mau, kan?"
"......Tidak."
Dengan tekad yang digerakkan oleh persaingan melawan Amafuro, Kurono memaksakan keberaniannya untuk keluar.
"Aku tidak keberatan. ...Aku ingin makan hamburger, jadi tolong suapi aku juga."
"Be-Begitu... Kalau begitu..."
Kai mengambil garpu baru, menusukkan sepotong hamburger, lalu menyodorkannya ke depan Kurono.
Gadis itu membuka mulutnya kecil-kecil seperti tupai, lalu menggigitnya dengan hati-hati.
(L-Lebih... lebih memalukan dari yang kubayangkan...!)
Meskipun lidahnya tidak merasakan panas, ada sesuatu yang lebih hangat dari sekadar makanan yang menyelimuti hatinya.
Seandainya waktu ini bisa berhenti selamanya—
Maka, ia benar-benar menghentikannya.
Musik di dalam restoran membeku.
Amafuro yang duduk di depannya berhenti bergerak.
Di dunia yang hanya menyisakan mereka berdua, Kurono menatap Kai yang diam tak bergerak.
"Ah... Kai-kun, ada noda di bibirmu. Hihihi, tidak bisa dihindari, ya."
Ia mengambil serbet dan dengan lembut mengusap bibir Kai.
Ujung jarinya secara halus menyentuh sudut bibirnya.
Hanya itu saja, namun seluruh tubuhnya seakan terbakar oleh rasa malu yang menyelimuti.
Dan saat itulah Kurono menyadari sesuatu.
"......"
Ia perlahan mengambil garpu yang ada di tangan Kai, lalu menggantinya dengan garpu yang tadi dipakainya sendiri.
Kai, meskipun hanya sebuah proyeksi yang membeku dalam waktu, tetaplah seseorang yang sopan. Dia bahkan telah mengganti garpu dengan yang baru sebelum menyuapinya.
Namun, Kurono tidak menginginkan itu.
"A-Aku tidak masalah dengan ini... Ya, a-aku menerimanya!"
Ia menggerakkan lengan Kai yang tak sadarkan diri, menusukkan potongan hamburger yang lebih kecil ke ujung garpu, lalu menyodorkannya kembali ke dirinya sendiri.
Sebuah ciuman tidak langsung.
Lebih memalukan daripada sebelumnya.
Lebih membahagiakan daripada sebelumnya.
Kurono mengunyah, lalu mendekap wajahnya sendiri.
"Nyaman..nyamm... Kyaaaaaaaahhh!!! I-Itu tidak pantas, Kai-kun! Kita bahkan belum menikah, tapi ini... ini terlalu cabul! Tapi... aaaaaah, ini luar biasa!"
Ia mengulanginya tiga kali, menari-nari kegirangan dalam dunia yang berhenti.
Setelah itu, ia menenggak segelas air dingin dalam sekali teguk untuk menenangkan dirinya.
Setelah itu, Kurono mengembalikan waktu ke keadaan semula.
Amafuro, yang kembali bergerak, menatap Kurono dan Kai bergantian, lalu berkata,
"Heii~ Kalian berdua... Umm... Seriusan, kalian nggak pacaran?"
"…Iya."
Kurono dengan suara yang entah kenapa terdengar lesu menjawab pertanyaan Amafuro.
Tentu saja, mustahil Amafuro bisa menyadari bahwa waktu sempat berhenti, tapi tetap saja, rasanya seperti ditusuk di tempat yang menyakitkan.
Lalu, Kai menjawab dengan santai,
"Memang, aku lumayan dekat dengan Kurono-san, tapi... kami nggak pacaran."
"Kenapa?"
"Karena nggak sepadan, kan? Aku dan Kurono-san."
"Eh? Masa sih? Aku nggak merasa begitu, kok."
Ucapan yang dilemparkan begitu saja di atas meja itu, entah kenapa, terasa seperti air dingin yang menyiram Kurono.
(Seharusnya justru aku yang bilang begitu.)
Dia tidak punya ekspresi, tidak pandai berbicara, dan bahkan hingga kini masih tidak benar-benar memahami apa itu ‘normal’.
Dia juga tidak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya, malah lebih memilih menghentikan waktu hanya untuk melakukan hal-hal memalukan.
(Orang seperti aku lah yang sebenarnya tidak pantas untukmu...)
Perasaan sedih menyelimuti dirinya. Pandangannya yang tertunduk bertemu dengan sisa doria di piringnya.
"Jiiiii..."
Saat ia meletakkan sendok di atas piring kosong, ia merasakan tatapan Amafuro.
"Ada apa?"
"Ma-maaf... Umm, aku ada sesuatu yang harus kukatakan..."
Dengan nada ragu-ragu, Amafuro mulai berbicara.
"Se-sebenarnya... alasan aku mengajak Rou-kun untuk latihan tambahan tadi... ada alasan lain juga..."
Sudah kuduga begitu.
Kemarahan yang nyaris mereda dalam diri Kurono seakan kembali menyala, bersiap untuk menyerang.
Namun, yang keluar dari mulut Amafuro adalah sesuatu yang sama sekali tidak ia duga.
"──Ka-Karena aku ingin akrab dengan Kurono-san..."
"…Apa?"
Kurono memiringkan kepala kebingungan, sementara Amafuro menjadi semakin gugup.
"Umm, itu... ahhh, aku nggak bisa ngomong dengan baik!"
Ia menggigit bibirnya, tampak sangat sulit mengungkapkan kata-kata, lalu dengan suara kecil yang hampir tenggelam, ia berkata,
"A-aku... nggak punya teman..."
"Hah?"
"Apa?"
Dua orang yang mendengar itu terkejut bersamaan.
"U-umm, soalnya aku... kan imut banget?"
Menurut Amafuro, saat kelas satu dulu, ia pernah mendapat pengakuan cinta dari pacar salah satu teman dekatnya. Sejak saat itu, ia mulai dijuluki sebagai perusak hubungan, membuat para siswi lain menjaga jarak darinya.
Hal yang sama juga terjadi di klub panahan, ia sedikit terisolasi dari anggota perempuan lainnya.
"Aku ingin menikmati masa SMA dengan banyak teman... ngobrol, jalan-jalan bareng... Tapi karena aku terlalu imut, akhirnya malah jadi begini, dan rasanya berat banget..."
Amafuro menggenggam gelas kosongnya dengan erat, lalu melanjutkan.
"Tapi, Kurono-san sepertinya nggak peduli dengan gosip atau prasangka semacam itu. Kau kelihatan keren, cool, dan mandiri... jadi aku pikir, mungkin kita bisa berteman... Tapi aku takut kalau tiba-tiba ngajak bicara, jadi aku mau tanya ke Rou-kun dulu, soal seperti apa orangnya, apa hobinya, hal-hal seperti itu..."
Ia menunduk, lalu berkata dengan pelan,
"Itulah kenapa aku ingin memastikan apakah kalian pacaran atau tidak. Karena aku terlalu imut, aku takut malah membuat hubungan kalian jadi canggung, seperti dulu... Tapi, kalau kalian benar-benar nggak pacaran, berarti nggak masalah, kan...? Kummohon... Kurono-san... dan sekalian, Rou-kun juga... bisakah kita berteman?"
(Tidak mau.)
Kurono hampir mengucapkannya tanpa ragu.
Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, Kai sudah lebih dulu berbicara.
"Baiklah, Amafuro. Mungkin aku cuma 'sekalian' buatmu, tapi mulai sekarang, kita berteman."
"Ah, terima kasih, Rou-kun! Kalau gitu, ayo tukeran Instagram!"
Amafuro tampak hampir menangis bahagia, lalu mengalihkan pandangannya ke Kurono.
Dengan perasaan pasrah, Kurono akhirnya berkata,
"…Baiklah. Aku mengerti. Senang berteman denganmu. Tapi aku tidak punya Instagram, jadi kita pakai Line saja."
"Yaaay!! Ah, maksudku, terima kasih, Kuro—eh, Shia-chan! Kalau begitu, boleh nggak aku mulai chat dari malam ini? Atau... kita telepon aja? Kita begadang ngobrol semalaman!"
Kurono hanya bisa melongo, mengulang-ulang dalam hati panggilan yang baru pertama kali ia dengar dari orang lain.
"Shia...-chan...?"
4 — Perspektif: Kurono Shia —
Setelah berpisah dengan Amafuro di restoran keluarga karena rumahnya lebih dekat, Kurono berjalan di jalanan malam bersama Kai.
Waktu sudah melewati pukul sepuluh malam. Lampu jalan cukup terang, dan keamanan di daerah ini tidak buruk, tetapi bagi dua remaja di bawah umur, ini tetap waktu yang cukup membuat khawatir untuk berjalan di luar.
"Mungkin saja ada orang mencurigakan. Kai-kun, kalau terjadi sesuatu, sembunyilah di belakangku."
"Itu sih, biasanya kalimatku… ya sudahlah. Tapi kalau terjadi sesuatu, lebih baik kita lari bersama demi keselamatan."
"Benar juga."
Mereka pun setuju, tapi di balik kata-kata itu, sejak meninggalkan restoran keluarga tadi, bayangan gelap telah menyelimuti hati Kurono.
"……"
Dia melirik Kai yang berjalan di sampingnya, lalu segera mengalihkan pandangannya kembali.
Jauh di dalam hatinya, ada perasaan perih yang menyiksa, sesuatu di antara rasa cemburu dan kesepian yang sulit dijelaskan.
(Aku bahkan belum tahu kontak Line Kai-kun… tapi kenapa tadi dengan Amafuro dia langsung…)
Di dalam restoran tadi, Kai dengan mudah bertukar kontak dengan Amafuro, yang bilang ingin berteman dengannya.
Namun, meskipun mereka telah sekelas, satu klub, bahkan tinggal di apartemen yang sama selama lebih dari setahun, Kurono masih belum memiliki kontak Kai.
Perbedaan perlakuan yang tidak diungkapkan dengan kata-kata itu terasa seperti penolakan, dan itu menyakitkan.
(…Tidak, tunggu. Aku tidak punya kontaknya karena aku sendiri belum pernah memintanya, kan?)
Kalau begitu, bagaimana kalau aku meminta kontaknya sekarang?
Tapi jika aku melakukan itu, rasanya seperti bersaing dengan Amafuro.
Tidak, bukan "seperti", memang itu alasannya, dan itu membuatnya kesal.
Selain itu, rasanya seperti dia meminta Kai untuk lebih memperhatikannya.
Tidak, bukan "rasanya", memang itu maksudnya, dan itu memalukan.
Tapi jika dibiarkan seperti ini, hanya dirinya yang tidak punya cara untuk tetap terhubung dengan Kai, dan aku tidak suka itu.
Bagaimana kalau aku menghentikan waktu dan diam-diam mengambil kontaknya?
Namun, ide itu langsung dia buang.
Bukan itu yang aku inginkan. Aku tidak sekedar menginginkan kontak Kai.
Yang aku inginkan adalah hati Kai yang secara sadar ingin terhubung dengannya.
(Tapi… pada akhirnya, seseorang sepertiku…)
Saat itu—
"Kurono-san, kalau kamu tidak keberatan… mau tukar kontak Line juga?"
"───Eh."
Tiba-tiba, layar ponsel bercahaya muncul di hadapannya, menampilkan kode QR.
Kurono terdiam.
"Tadi aku baru kepikiran kalau kita belum pernah tukar kontak. Ah, kalau kamu tidak mau sih, tidak apa-apa…"
"Tidak, bukan begitu. Tapi… kenapa tiba-tiba…?"
Kai sedikit ragu sebelum menjawab.
"Yah… sebenarnya, sudah beberapa kali aku kepikiran buat bilang, tapi… Kurono-san kelihatannya kurang suka hal seperti ini, dan aku juga, ya… agak malu."
Sambil berkata begitu, Kai menggaruk pipinya dengan ekspresi canggung.
Kurono menahan detak jantungnya yang berdetak lebih cepat dan mengeluarkan ponselnya.
"Kita tinggal di kamar sebelahan, jadi mungkin tidak akan sering digunakan."
"…Tapi kalau kamu sakit atau terluka, kamu bisa menghubungiku, dan aku akan langsung datang."
Kai mengangguk.
"Benar juga."
"Tapi aku punya adik perempuan, jadi mungkin tidak perlu khawatir."
"Kamu punya adik?"
Kurono baru tahu soal itu.
Mungkin tidak bermaksud mengatakannya, Kai buru-buru menambahkan, seolah ingin menarik kembali kata-katanya.
"Ah… jujur saja, dia orangnya agak aneh, jadi aku jarang cerita. Tapi yah, dia lebih sering mengurung diri di kamar, jadi Kurono-san mungkin tidak akan pernah bertemu dengannya. Kalau pun kebetulan melihatnya, abaikan saja."
Bagaimanapun, begitulah akhirnya Kurono berhasil mendapatkan kontak Kai.
── Setibanya di rumah, Kurono melepas seragamnya dan masuk ke kamar mandi.
Air hangat jatuh membasahi kelopak matanya yang tertutup.
(A-aku berhasil…! Akhirnya, akhirnya aku punya kontak Kai-kun!)
Meskipun ekspresinya tetap datar, kebahagiaan yang meluap membuat sudut bibirnya sedikit bergetar.
Rasanya seperti hubungan mereka telah melangkah maju.
(Ngomong-ngomong… soal adiknya. Kai-kun bilang begitu, tapi dia sebenarnya seperti apa?)
Tentu saja, Kai punya keluarga.
Berbeda dengan dirinya yang tidak seperti orang pada umumnya.
Tapi…
(Kalau saja aku hanyalah gadis SMA biasa…)
Mungkin, mereka bisa lebih mudah menjadi dekat.
── Keesokan paginya. Kurono terbangun karena getaran samar di ujung jarinya.
"Uhhm…"
Dia bangun dari kasur tipis yang langsung diletakkan di lantai.
Selimut yang menutupi tubuhnya sudah setengah tersingkap, tapi karena dia memang tidak pernah tidur dengan rapi, itu bukan masalah baginya.
Masih mengenakan pakaian dalam yang biasa dia pakai untuk tidur, dia meregangkan tubuh tanpa membuka tirai.
Lalu, dalam sekejap, pikirannya menjadi sepenuhnya sadar dan dia mengambil ponselnya, yang masih bergetar tanpa henti.
Di layar, pesan dari orang yang sama terus muncul sejak tadi malam.
[Kumohon balas pesanku]
[Kamu sudah tidur?]
[Aku baru bangun loh!]
Dari Amafuro.
(Orang bilang, kita harus memilih teman dengan baik… dan itu benar sekali.)
Dengan cepat menyesali keputusannya semalam, Kurono membuka layar obrolan. Saat ia hendak mengetik [Berisik. Diam.], sebuah pesan baru muncul.
[Ramalan keberuntunganku hari ini! Shia-chan juga kasih tahu hasil punyamu ya!]
Di bawah balon pesan itu, terdapat tautan ke situs ramalan zodiak.
"…Hah. Sampai sejauh mana kebodohan gadis ini bisa berkembang?"
Gadis berambut twintail berwarna pink itu benar-benar berharap aku, seorang agen terkuat di dunia, akan tertarik dengan omong kosong tidak ilmiah seperti ini? Ini penghinaan yang luar biasa.
Ia berniat mengabaikannya, tetapi saat itu juga, pesan lain muncul.
[Ah, aku lupa menyebutkan hasil punyaku. Virgo punya keberuntungan cinta terbaik hari ini~!♡♡]
Begitu Kurono menangkap kata Virgo, pupil matanya melebar tajam.
Beberapa detik berlalu. Jemarinya, yang melayang ragu di udara, akhirnya mengetuk tautan yang dilampirkan.
(…Tidak, ini bukan karena aku penasaran. Aku hanya salah pencet saja.)
Mencari-cari alasan dalam hati, ia mulai membaca hasil ramalannya.
Nama: Kurono Shia. Usia: 16 tahun. Zodiak: Leo. Golongan darah: A.
Keberuntungan cinta hari ini: Terburuk.
Suasana di sekitarnya menjadi beku.
Kurono, yang biasanya tidak menampilkan ekspresi apa pun, kini berubah semakin dingin.
Sesaat, ia sungguh-sungguh mempertimbangkan untuk menghapus alamat kantor pusat situs ramalan ini dari muka bumi.
Namun, saat ia menggulir layar lebih jauh, ia menemukan sebuah kalimat menarik.
[Ambil foto barang keberuntunganmu dan unggah di media sosial bersama hasil ramalanmu. Dengan begitu, energi kosmik akan berbalik dan keberuntunganmu mencapai puncaknya!]
Ia melanjutkan membaca.
Barang keberuntungan untuk Leo hari ini adalah.
Bubuk putih dan mangga.
Atas dasar hukum alam semesta apa dua benda itu bisa terpilih, Kurono tidak tahu.
Namun, ia tahu tempat di mana ia bisa menemukan keduanya.
Tanpa ragu, ia segera menelepon operator dari organisasi kepolisian internasional.
"Selamat pagi, Agen Kurono Shia. Ada yang bisa kami bantu?"
"Berikan semua informasi terbaru mengenai markas kartel narkoba di Amerika Selatan."
"Eh? Umm, kami bisa memberikannya... Tapi tidak ada misi terkait yang diberikan padamu saat ini..."
"Aku hanya ingin menghancurkannya sebagai pemanasan pagi. Kirimkan segera ke ponselku."
"B-baik...!"
Lima menit kemudian.
Setelah selesai berganti pakaian, Kurono melangkah keluar dari apartemennya.
Lalu, ia menghentikan waktu.
Dalam sekejap, ia menyeberangi Samudra Pasifik, menghancurkan targetnya, dan kembali lagi.
Tidak ada hal yang perlu diceritakan lebih lanjut setelahnya.
Kecuali, tentu saja, satu hal.
Di lautan media sosial, sebuah foto tumpukan kokain murni beberapa ton dan buah mangga berwarna jingga keemasan terunggah tanpa keterangan.
5 — Perspektif: Kurono Shia —
Siang hari, di dalam ruang kelas.
Kurono menatap mangga yang tergeletak di atas mejanya.
(Apa yang harus kulakukan dengan ini...)
Menurut situs ramalan, benda keberuntungan harus selalu dibawa sepanjang hari.
Bubuk putih jelas tidak masuk akal, tapi mangga ini entah bagaimana berhasil sampai ke sekolah bersamanya.
Namun sekarang, saat dipikirkan kembali—ini hanya menyusahkan.
Sambil membuka kotak makan siangnya, Kai, yang duduk di sebelahnya, menoleh ke arahnya.
"…Kai-kun, kamu suka mangga?"
"…Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?"
"Umm... ada alasan tertentu."
Saat itu juga, pintu kelas terbuka, dan seseorang masuk.
Dengan rambut twintail berwarna pink yang mencolok, Amafuro Tete melangkah ke dalam.
"Shia-chan! Ayo makan siang bareng! Oh, Rou-kun juga duduk di sebelahnya! Waaah, yay! Kita makan bertiga, ya!"
Tanpa menunggu jawaban, Amafuro meletakkan roti dan susu yang baru dibelinya di meja Kurono.
"Ah, iya! Shia-chan! Kenapa kamu nggak balas chatku kemarin? Aku sampai gemetar ketakutan, Papa bahkan memarahiku! Katanya aku gemetar seperti gempa 5 skala Richter!"
"Maaf, aku tertidur."
"Muu~! Mulai sekarang harus balas, ya!"
"Hanya kalau aku mau."
"Itu artinya kamu nggak bakal balas sama sekali... Baiklah! Kalau begitu, aku bakal kirim pesan ke Rou-kun terus!"
"Kenapa aku tiba-tiba jadi korban?"
"Karena kamu bertanggung jawab atas kestabilan hubungan pertemananku dan kesehatan mentalku!"
"Aku bakal berhenti berteman denganmu."
"TIDAK! Aku bercanda! Aku bercanda! Jadi jangan lakukan itu!"
Saat itu, pandangan Amafuro tertuju pada sesuatu.
"Eh, itu buah apa?"
"Mangga."
Kurono menjawabnya tanpa berpikir panjang dan meletakkannya di atas kepala Amafuro.
"Kamu memberikannya padaku? Terima kasih! Woah, woah—"
Entah bagaimana, Amafuro bisa menyeimbangkan buah oval itu di kepalanya tanpa menjatuhkannya.
(Menyebalkan.)
Namun, sebelum Kurono sempat berkata apa-apa, suara percakapan dari sudut kelas terdengar.
"Kenapa mereka bertiga tiba-tiba makan siang bareng?"
"Mungkin karena mereka satu klub?"
"Oh, tapi bukankah Amafuro dari kelas 5 itu terkenal sebagai—"
"Hah? Jadi maksudnya, antara Kurono-san dan Kai ada sesuatu...!?"
"Serius!? Ini menarik banget!"
"Eh, tapi kenapa ada mangga?"
Seperti noda tinta yang menetes di atas kertas putih, tawa sinis dari mereka merusak suasana hati Kurono.
Biasanya, ia tidak peduli.
Tapi entah kenapa, hari ini terasa lebih mengganggu dari biasanya.
Namun, sebelum mata kanannya sempat bersinar, seseorang sudah lebih dulu berdiri.
Amafuro.
Dengan senyum yang tetap terpasang di wajahnya, namun tanpa sedikit pun kebaikan di dalamnya, ia berjalan mendekati sumber gosip dan berkata.
"Punya masalah?"
"Eh...? T-tidak, bukan begitu—"
"Iya, iya! Kami cuma ngobrol soal betapa akrabnya kalian!"
"Begitu, ya? Baguslah. Aku juga cuma makan siang bareng teman, jadi kalau ada yang berisik dengan gosip nggak jelas, aku nggak suka."
Setelah mengucapkan itu dengan tegas, Amafuro berbalik dan kembali ke tempatnya.
"Haaah... Di mana-mana pasti ada orang seperti itu, ya? Menyebalkan sekali deh."
"Maaf, Amafuro. Aku membuatmu harus repot menghadapinya."
"Nggak apa-apa! Rou-kun nggak salah, kok!"
Kurono menatap Amafuro dengan sedikit perubahan pandangan.
(Gadis ini memang bodoh... Tapi setidaknya lebih baik daripada orang-orang tak berguna itu.)
Tetap saja, fakta bahwa ia terlalu dekat dengan Kai tetap merupakan masalah besar.
Sementara Amafuro menyantap roti dengan susu, ia berkata,
"Hei, kalian berdua. Bulan depan sudah festival budaya, kan?"
"Ah, benar juga."
Biasanya, festival budaya SMA diadakan di musim gugur, tapi di sekolah mereka, festival diadakan pada bulan Juli sebelum liburan musim panas.
"Jadi, begini..."
Amafuro berdeham, lalu tersenyum lebar.
"Shia-chan, Rou-kun! Ayo kita buka kafe bareng yuk!"
Post a Comment