Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 1
Bagaimana Pengguna Kemampuan Terkuat Jatuh Cinta pada Seorang Siswa SMA Biasa?
1 — Perspektif: Kurono Shia —
Kurono Shia bukanlah siswi SMA biasa.
Identitas aslinya adalah agen peringkat S dari Divisi Rahasia Kepolisian Internasional, yang setiap hari tanpa diketahui siapa pun, diam-diam membantai organisasi kriminal di seluruh dunia sebagai anggota organisasi keadilan yang tersembunyi.
Namun, saat ini, dia hanya seorang gadis yang sedang berjalan menuju sekolah, berdua saja dengan laki-laki yang dia sukai.
"Kai-kun, kamu latihan pagi lagi hari ini?"
"Iya. Kemarin aku baru ganti senar, jadi sebelum pulang sekolah, aku mau bikin sedikit lebih lentur dulu."
Pemuda yang berjalan di sampingnya bernama Kai Rou.
Tingginya hanya sedikit lebih tinggi dari Kurono yang 160 cm, rambutnya berwarna putih pendek, seolah hanya dipotong sekadarnya—konon, itu warna alami rambutnya.
Kurono melirik ke samping, memandang wajahnya.
Wajahnya tenang dan lembut, tidak bisa dibilang tampan, tetapi memiliki garis hidung yang tinggi dan memancarkan aura yang ramah.
Nilai akademisnya biasa saja, tidak lemah dalam olahraga, tapi juga tidak menonjol. Selain warna rambutnya yang unik, dia benar-benar siswa SMA biasa.
Namun, Kurono menyukainya.
Lebih tepatnya—sangat menyukainya.
(…Kai-kun. Hari ini pun kamu terlihat luar biasa. Aku ingin sekali—kalau boleh jujur—memakanmu.)
"Musim panas sudah tiba, ya."
Kai bergumam, menyebutkan bahwa bulan depan sudah waktunya festival budaya.
Sinar matahari bulan Juni memanaskan aspal, terasa menyengat.
Tanpa mengubah arah pandangannya, Kurono langsung menyampaikan informasi yang menurutnya paling relevan.
"Suhu tertinggi hari ini 34 derajat. Kelembaban sekitar 62%."
"Kamu nonton prakiraan cuaca setiap hari ya?"
"Iya. Selain itu, aku juga memantau semua berita dalam dan luar negeri. Ada topik yang kamu suka? Politik, ekonomi, National Geographic, aku siap membahas apa pun dengan sepenuh hati."
"Kenapa obrolan santai harus dilakukan dengan sepenuh hati? Hmm, kalau begitu… apa yang kamu makan untuk sarapan hari ini?"
"……Aku lupa makan."
Kurono menjawab dengan sedikit canggung, membuat Kai tersenyum.
"Hmph. Kalau begitu, Kai-kun sendiri sudah sarapan dengan baik?"
"Iya. Nasi, sup miso, sepotong ikan salmon, dan asparagus."
"Itu makanan yang sehat. Pilihan yang sangat baik."
"Makasih. Tapi kalau cuma karena sarapan aku sampai dipuji, rasanya agak malu juga."
Kai menggaruk kepala sambil tersenyum malu-malu.
Mereka tinggal di apartemen yang bersebelahan, bersekolah di tempat yang sama, mengikuti klub yang sama, dan sejak sekitar enam bulan lalu, mereka sering pergi dan pulang bersama seperti ini.
(Bagus. Hari ini aku bisa mengobrol dengannya dengan baik lagi. …Tapi, aku berharap dia segera menyatakan perasaannya.)
Dalam tatapan Kurono terselip harapan tersembunyi.
Namun, sepertinya Kai tidak bisa menangkap perasaan halus itu, karena dia hanya menatapnya dengan bingung.
"Kurono-san, ada sesuatu di wajahku?"
"Tidak. Maaf, hanya perasaanku saja."
Kurono cepat-cepat mengalihkan pandangan.
Mereka lebih dari sekadar kenalan, tetapi belum bisa disebut sebagai teman dekat. Itulah hubungan mereka selama hampir satu tahun ini.
Karena kenyataannya, selain berjalan pulang bersama dan pergi sekolah bersama, tidak ada interaksi lain di antara mereka.
Seharusnya ini cukup untuk menyadarkan bahwa tidak ada harapan, tetapi Kurono bukanlah gadis biasa.
Sejak kecil, dia sibuk menjalani pelatihan dan misi sebagai agen rahasia, tidak mengalami masa sekolah SD maupun SMP, serta tidak pernah berinteraksi dengan anak laki-laki seusianya.
Tentu saja, dia juga tidak punya pengalaman dalam percintaan.
Baginya, memahami batasan dalam hubungan romantis adalah sesuatu yang mustahil.
Meskipun begitu, dia tetap ingin mendekatkan diri secara lebih nyata.
(Mungkin… aku harus mengungkapkan perasaanku lebih dulu. T-tapi, itu terlalu memalukan… menakutkan… a-aku benar-benar tidak bisa!)
Hanya dengan membayangkannya saja, tenggorokannya terasa kering, detaknya nyaris meledak.
Padahal, selama ini dia tidak pernah merasa gugup, bahkan ketika menghadapi penjahat besar yang paling berbahaya sekalipun.
"……Ehh, wajahku benar-benar ada sesuatu?"
"T-tidak ada apa-apa kok."
Dia refleks terus menatap Kai, lalu buru-buru mengalihkan pandangan lagi dengan alasan yang sama.
(Ugh… s-sebenarnya ini salah Kai-kun! Kalau kamu merasa tatapanku aneh, seharusnya kamu mendesakku lebih jauh lagi!)
Mencoba mengubur perasaan tidak karuan di dadanya, tiba-tiba Kurono mengingat sesuatu.
(Oh iya, kemarin aku melihat iklan di webtoon… dalam ceritanya, ketika tangan laki-laki dan perempuan bersentuhan secara kebetulan, hubungan mereka mulai berkembang…)
Tatapannya langsung tertuju pada tangan Kai yang ada di sampingnya.
(Ayo kita coba!)
Dia menelan ludah, memantapkan tekad.
Lalu—mata kanannya berkilau merah darah, dan waktu berhenti.
Angin sepoi-sepoi, kicauan burung, seluruh dunia pagi hari dan juga Kai yang berjalan di sampingnya, semuanya membeku.
Kurono menggenggam tangannya erat-erat.
Satu detik, dua detik, tiga detik… satu menit berlalu, lima menit berlalu, dan dia masih belum melepaskannya.
Pipinya memerah malu, tangannya yang semula hanya menggenggam kini berubah menjadi mengusap-usap.
(Waaahhh… t-tangan Kai-kun ini luar biasa! Kasar, kokoh, hangat… rasanya aku bisa menyentuhnya selamanya…)
Jelas-jelas ini sudah masuk kategori pelecehan, tetapi tidak ada yang bisa menegurnya.
Di dunia tanpa waktu, hukum, etika, dan moral hanya bergantung pada perasaan seorang gadis yang sedang jatuh cinta.
Meskipun caranya mulai melenceng dari tujuan awal, Kurono tetap memiliki rencana sendiri.
Setelah puas selama sepuluh menit, dia akan mengatur agar Kai menggenggam tangannya, lalu melepaskan penghentian waktu.
Maka, dari sudut pandang Kai, tiba-tiba saja dia sudah menggenggam tangan Kurono.
(K-Kaikun, tanpa sadar kamu menggenggam tanganku… mungkinkah kamu…)
(Y-ya, sebenarnya sejak dulu aku selalu menyukai Kurono-san…)
Itulah skenario ideal yang dia bayangkan.
Kurono, yang sudah menghabiskan sekitar satu jam subjektifnya menikmati genggaman tangan sang pujaan hati, merasa puas—
Sampai tiba-tiba, sebuah suara mengusik pikirannya.
"Ah, sial."
Karena terlalu larut dalam situasi, Kurono akhirnya mencapai batas penghentian kemampuannya.
Tepat sebelum waktu kembali bergerak, Kurono dengan cepat melepaskan tangan Kai. Dengan begitu, ia berhasil mencegah dirinya ketahuan saat waktu terhenti.
Namun, akibatnya—
Tubuh gadis itu kehilangan keseimbangan secara tiba-tiba dan hampir jatuh ke belakang. Jika dibiarkan, kepalanya akan langsung menghantam aspal. Kakinya sudah terangkat dari tanah, dan hanya tersisa kurang dari satu detik sebelum benturan terjadi.
Menghentikan waktu tidak akan sempat. Aktivasi berturut-turut memerlukan jeda setidaknya beberapa detik.
Namun, sekadar terjatuh tidak akan menyebabkan cedera berarti. Kurono berpikir tidak masalah dan secara refleks mencoba mengambil posisi bertahan.
Tapi—
Benturan yang ia siapkan tidak pernah datang.
"Eh…?"
Sebagai gantinya, ia merasakan tangan seseorang menopang punggungnya.
Kai, yang tampaknya reflek mengulurkan tangannya, berhasil menangkap tubuh Kurono.
"Kurono-san, kamu nggak apa-apa? …Aku kaget. Tiba-tiba kamu hampir jatuh."
Kai berkata sambil menatap Kurono, yang masih tercengang melihat ke arahnya.
"Umm… kamu tidak terluka, kan?"
"…A-aku…"
Kurono akhirnya menyadari situasinya, dan pikirannya langsung meledak.
(A-a-aku… barusan… Kai-kun… m-memelukku…!?!?!?)
Meskipun secara teknis Kai hanya menopang tubuh Kurono agar tidak jatuh, posisinya yang hampir menyentuh tanah membuat situasinya tidak terlalu romantis. Namun, bagi Kurono, fakta tersebut langsung ia abaikan.
Ia merasakan panas dan darah naik ke wajahnya.
Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak bisa menahannya.
Jadi, tanpa berpikir panjang, ia kembali menghentikan waktu dan berteriak sepuasnya.
"Aaah, sudah cukup!! Kai-kun, aku sangat menyukaimu──!!"
2 ─ Perspektif: Kurono Shia ─
Kurono Shia, secara sederhana, adalah gadis yang populer.
Dalam setahun lebih sejak masuk sekolah, jumlah pengakuan cinta yang ia terima bahkan lebih dari sepuluh jari.
Karena itu, ia sangat menyadari bahwa dirinya memiliki daya tarik yang luar biasa.
Hari itu pun, saat ia berjalan ke kelas setelah latihan pagi, hal yang sama kembali terjadi.
"Maaf, bisa bicara sebentar, Kurono Shia-san?"
Kurono menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah suara itu.
Yang berdiri di sana adalah seorang siswa laki-laki yang tidak dikenalnya.
Tinggi dan berotot, dengan rambut merah serta kacamata tipis yang mencolok.
"Maaf mendadak! Aku Marusu Aren, dari kelas 2-5. A-aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama! Jika kamu berkenan, maukah kamu berpacaran denganku?"
"Hah? Tidak."
Suara putus asa keluar dari mulut Aren, namun Kurono langsung memberikan pukulan akhir.
"Maaf, tapi aku sama sekali tidak tertarik padamu. Permisi."
Tanpa ragu sedikit pun, Kurono langsung pergi.
Dan saat ia tiba di kelas, rumor tentang kejadian itu sudah menyebar.
"Hei, dengar-dengar tadi Kurono-san ditaksir oleh Marusu dari klub sepak bola dan menolaknya!"
"Serius? Si tampan dari klun sepak bola? Gila, kalau aku pasti langsung menerimanya."
"Mungkin dia punya standar tinggi? Yah, dia cantik, tapi terlalu sombong."
Kurono tidak peduli. Ia langsung mengabaikan gosip murahan para gadis itu.
Sebagai esper terkuat di dunia dan agen dari organisasi rahasia keadilan, bagi Kurono, para remaja seusianya—termasuk laki-laki yang baru saja menembaknya, tidak lebih dari sekedar mikroba yang tak layak untuk diperhatikan.
Namun, tentu saja, selalu ada pengecualian.
"Selamat pagi. Lama tidak bertemu sejak latihan pagi tadi, Kai-kun."
"Oh, selamat pagi. Ini kedua kalinya kamu menyapaku hari ini."
Kurono duduk di kursi sebelah Kai, yang sudah lebih dulu tiba.
Tentu saja, ini bukan kebetulan. Pada hari pertama semester dua bulan lalu, ia menghentikan waktu saat pengundian tempat duduk untuk memastikan ia duduk di sebelah Kai.
Sebagai tambahan, semua gadis yang dianggap cantik di kelas, selain dirinya, sengaja ditempatkan jauh dari Kai.
Kurono Shia, tanpa ia sadari sendiri, memiliki rasa posesif yang sangat kuat.
Kembali ke topik utama. Kai tampaknya sedang mengerjakan tugas bahasa Inggris yang harus dikumpulkan hari ini.
"Kai-kun, apakah tugas itu masih belum selesai?"
"Ya… Aku tidak terlalu pandai bahasa Inggris, jadi aku menundanya."
"Mau aku bantu? Aku mahir dalam bahasa Inggris. Lebih tepatnya, aku mahir dalam semua mata pelajaran."
Ia tidak sedang berbohong atau menyombongkan diri. Dengan kemampuannya, ia bisa menciptakan waktu belajar sebanyak yang ia mau, dan karena ia memang cukup pintar, mempertahankan nilai sempurna dalam semua mata pelajaran bukanlah hal yang sulit.
"Terima kasih, tapi tidak usah. Aku harus mengerjakannya sendiri supaya ada gunanya."
"…Begitu ya."
Kurono sedikit terkejut dengan keseriusan Kai dalam belajar. Poinnya di hati Kurono pun bertambah secara otomatis.
"Kalau begitu, bagaimana kalau aku memberimu petunjuk?"
"Baiklah, kalau hanya petunjuk."
"Jawaban soal nomor dua adalah B."
"…Terima kasih. Sisanya akan aku kerjakan sendiri."
Kurono menatap Kai yang kembali fokus mengerjakan tugasnya, lalu berpikir.
(Ngomong-ngomong, kenapa Kai-kun tidak bertanya apa pun padaku?)
Tentang apa gitu? Tentang rumor pagi tadi—tentang dirinya yang ditembak oleh siswa laki-laki yang tidak dikenal.
Gosip itu sudah menyebar luas di kelas. Pastinya, Kai sudah mendengarnya juga.
Mengapa Kai tidak mau bertanya padaku? Jika saja dia mau bertanya, aku bisa menjelaskannya dengan baik. Aku sama sekali tidak tertarik pada pria itu, dan aku benar-benar tidak menyukainya dalam bentuk apa pun, jadi aku langsung menolaknya saat itu juga.
(Apakah mungkin... dia memang tidak tertarik padaku sampai sejauh itu?)
Merasa sedikit perih di dadanya, Kurono perlahan menekan dadanya dengan tangan.
Saat itu, bel berbunyi.
Tak lama setelah jam pelajaran seharusnya dimulai, wali kelas masuk ke dalam kelas.
"Selamat pagi. Aku akan mengecek kehadiran sekarang."
"Sensei, bukankah Anda terlambat?"
"Apa yang kamu bicarakan? Saat aku masuk ke kelas, itulah waktu mulai pelajaran."
"Tapi belnya—"
"Pinponpanpon. Nah, baru saja berbunyi kan. Jadi, yang tadi hanya ilusi pendengaranmu."
Dengan bercanda, wali kelas itu meniru suara bel. Kelas pun diselimuti oleh tawa kecil.
Bahkan Kai, yang duduk di sebelah Kurono, memberikan senyum sopan.
Namun, di antara mereka semua, hanya Kurono yang tetap diam, seakan terasing dari suasana tersebut.
Kurono Shia tidak bisa tersenyum. Lebih tepatnya, dia tidak bisa menggerakkan ekspresinya di depan orang lain.
Alasannya—
Tiba-tiba, kenangan lama muncul di benaknya.
"Dengar, Shia. Jangan pernah menunjukkan celah kepada siapa pun. Tidak, sebenarnya, kau tidak boleh menciptakan celah sejak awal."
Karena...
"Kau adalah senjata terkuat yang tak terkalahkan. Tidak lebih, tidak kurang."
Kurono berpikir, tidak bisa tersenyum berarti tidak bisa berbagi perasaan dengan orang lain.
Dia tidak bisa berbagi kebahagiaan atau menyampaikan perasaan suka kepada orang lain secara langsung.
Namun, baginya, kebanyakan orang tidak penting.
Yang benar-benar penting hanyalah satu orang.
(Kai-kun...)
Dia tidak ingin menjadi seseorang yang tidak bisa berbagi kebahagiaan atau menyatukan perasaan dengan Kai.
Dengan satu helaan napas kecil, mata kanannya bersinar.
Sebagai cara untuk menenangkan pikirannya, Kurono menghentikan waktu.
Kelas pun terbungkus dalam keheningan yang dalam, semua orang diam membeku.
Kurono memutar kursinya ke samping dan menghadap Kai.
"Apa yang harus aku lakukan, Kai-kun?"
Tentu saja, tidak ada jawaban.
Karena waktu telah berhenti.
Dia menoleh ke kaca jendela kelas, mengangkat sudut bibirnya, membentuk sesuatu yang menyerupai senyuman.
Di dunia ini, di mana tidak ada yang melihat, Kurono bisa menggerakkan otot wajahnya.
Namun, itu tidak ada artinya.
Apa pun yang terjadi dalam waktu yang terhenti ini, tidak akan bisa diperlihatkan kepadanya, tidak bisa disampaikan.
"Bagaimana... aku bisa lebih dekat denganmu?"
Tetap saja, tidak ada jawaban.
Di dunia yang berhenti ini, hanya ada keheningan yang sejati.
Dengan helaan napas besar, Kurono memegang kepalanya.
Siapa sangka, seorang agen S-rank dari Divisi Rahasia Kepolisian Internasional, sang tak terkalahkan Chronosia, bisa terombang-ambing oleh perasaan seperti ini?
Bagaimana ini bisa terjadi?
Dalam waktu yang membeku, Kurono melamun, mengingat kembali bagaimana semua ini dimulai.
Sambil menusuk-nusuk pipi Kai yang membeku dengan jarinya.
3 — Perspektif: Kurono Shia —
Setahun lebih yang lalu, di akhir April, setelah bunga sakura gugur sepenuhnya.
Kurono Shia masuk ke sebuah SMA di pusat kota Tokyo.
Itu adalah keputusan dari Komite Etik di dalam Kepolisian Internasional tempatnya bernaung.
Katanya, untuk menghormati hak asasi manusia para agen remaja berbakat yang selama ini diabaikan, mereka harus diberi kesempatan pendidikan yang layak.
Saat dia dipindahkan ke apartemen di kota dan diberikan segala perlengkapan untuk masuk sekolah, Kurono diberi penjelasan itu.
"Anggap saja ini bagian dari kesejahteraan. SMA hanya sekali seumur hidup, jadi buatlah teman dan nikmati masa-masa itu."
Menanggapi kata-kata petugas yang bertanggung jawab, Kurono hanya berkata,
"Itu tidak penting."
Teman? Tidak perlu.
Bagi Kurono, anak-anak remaja seusianya tidak ada bedanya dengan serangga kecil.
Yang penting hanyalah misinya.
Menggunakan kemampuannya yang tak tertandingi untuk membuktikan dirinya sebagai yang terkuat.
Selain itu, tidak ada yang penting.
Karena itu, dia sama sekali tidak memiliki motivasi untuk menikmati kehidupan SMA dan berencana untuk hanya menghadiri kelas tanpa benar-benar terlibat, tetapi.
"Oh, satu lagi, kamu harus ikut kegiatan klub dan acara sekolah."
"Kenapa?"
Petugas menjelaskan bahwa demi menjamin "kehidupan remaja yang normal," Komite Etik menganggap partisipasi sebagai kewajiban.
Mereka bahkan akan mengevaluasi aktivitasnya, dan jika skornya rendah, pakar khusus akan membimbingnya dalam menjalani kehidupan remaja yang benar.
Sungguh merepotkan. Sangat merepotkan.
Namun, jika itu perintah, tidak ada pilihan selain mematuhinya.
Maka, dengan sangat enggan, Kurono mulai membaca brosur klub yang dibagikan saat orientasi setelah upacara penerimaan siswa baru.
"Voli, basket... olahraga tim tidak mungkin. Aku harus memilih olahraga individu atau klub budaya... hmm?"
Matanya yang merah samar tertuju pada halaman klub panahan.
Dia membaca lagi. Panahan? Jadi, mereka menggunakan busur dan anak panah?
"Di zaman modern? Ini sudah era Reiwa, bukan?"
Karena sebagian besar masa sekolahnya ia habiskan untuk pelatihan dan misi saja, Kurono tidak memiliki banyak pengetahuan tentang klub dan olahraga secara umum.
Itulah sebabnya, pemikirannya begitu polos dan lugas.
"Menarik juga. Terlalu primitif, malah jadi bikin penasaran."
Dari informasi di brosur, ada sesi percobaan bagi siswa baru.
(Yah, aku ini agen tempur terkuat yang tak terkalahkan, jadi menguasai senjata kuno seperti ini bukanlah apa-apa bagiku.)
Dengan penuh percaya diri dan sedikit niat iseng, Kurono menghadiri sesi latihan klub panahan di sore harinya.
Di dojo panahan di sudut sekolah, bangunan itu agak tua, meski tidak bisa dibilang bobrok.
Sepertinya klub ini tidak terlalu populer, karena jumlah anggota kakak kelas dan peserta percobaan hanya sekitar selusin orang.
"Baiklah, ini busur yang kita gunakan dalam panahan. Jangan pasang anak panah dulu, karena bisa berbahaya."
Bersama peserta lain, Kurono mencoba menarik busur yang diberikan kepadanya.
Namun—
"Ah."
Krek!
Karena kekuatan abnormalnya, busur berbahan serat karbon itu patah begitu saja.
"Eh, tunggu, hah...? K-kamu luar biasa..."
"...Maaf."
Sambil meminta maaf kepada senior yang jelas-jelas kebingungan, Kurono sendiri juga merasa syok.
Memang, selama ini dia telah berhasil menyelesaikan berbagai misi yang mustahil bagi orang biasa.
Namun, yang dia lakukan sebenarnya sangat sederhana, menghentikan waktu, lalu memukul, menendang, dan sesekali menembak. Hanya itu.
Dengan kata lain, Kurono Shia bukanlah orang yang serba bisa seperti yang dia kira. Bahkan, dia justru berada di kutub yang berlawanan, seorang petarung murni yang mengandalkan otot.
Jadi, apakah seseorang seperti dia, yang selama ini hanya mengandalkan kekuatan tubuhnya saja, bisa dengan mudah menguasai olahraga yang menuntut konsentrasi dan ketenangan seperti panahan, padahal dia masih pemula? Tentu saja tidak mungkin.
"……Sungguh, ini penghinaan."
Namun, meskipun sebelumnya dia meremehkan panahan sebagai olahraga primitif, harga dirinya tidak mengizinkannya untuk menyerah dan mengakui bahwa dia tidak bisa.
Karena itu, dia berencana untuk meminta maaf sekali lagi dan meminjam busur yang baru.
"T-tapi maaf ya… Soalnya busur itu harganya cukup mahal… Jadi, begini… Aku kasih buku panduannya, mungkin kamu bisa lihat-lihat dulu di sana?"
Wajah senior yang tersenyum canggung itu jelas menunjukkan bahwa mereka tidak tahu harus berbuat apa dengannya.
Begitulah, di hari pertama pengalaman trial club-nya, Kurono langsung dikucilkan ke sudut dojo.
Sambil mengamati seperti yang diperintahkan, dia tanpa sengaja mendengar percakapan dari kejauhan.
"Wajahnya cantik, tapi ototnya gimana tuh…"
"Udah kayak gorila aja, tapi tetap aja dia cewek cantik banget…"
"Gorila tercantik di dunia."
Dia menghafal semua wajah mereka. Besok kalian pasti kena sial, jadi bersiaplah, pikirnya.
Saat itu juga, seseorang memanggilnya.
"Kurono Shia-san, bisa bicara sebentar?"
"…Siapa kamu?"
Yang berbicara adalah seorang siswa laki-laki yang juga terlihat sebagai peserta percobaan club, mengenakan jaket olahraga.
Dia bertubuh sedang dengan rambut pendek, memegang busur. Penampilannya biasa saja, tapi rambut putihnya yang agak kusam cukup mencolok.
"Maaf tiba-tiba menyapa. Umm, aku sekelas denganmu—"
"Paramecium."
"Loh, kok gitu?"
"Maaf, aku tidak ingat nama teman sekelasku."
Kurono sebenarnya tidak peduli. Dia hanya ingin orang ini cepat pergi karena dia sedang sibuk.
"Hmm."
Namun, siswa itu malah mengulurkan busurnya pada Kurono.
"…Kau meminjamkannya?"
"Iya. Para senior lagi nggak lihat, dan aku tadi lihat ekspresimu. Kamu kelihatan sangat frustasi. Jadi, kalau mau, silahkan pakai. Bagaimanapun, kamu nggak akan tahu rasanya kalau nggak mencobanya sendiri, kan?"
Kurono mengucapkan terima kasih singkat dan mengulurkan tangan untuk menerima busur. Namun, sebelum dia bisa mengambilnya, siswa itu berkata,
"Kali ini, coba tarik busurnya tanpa menggunakan kekuatan tangan."
"Hah?"
Kurono langsung menatapnya dengan penuh keraguan.
"Apa yang kau bicarakan? Tanpa tenaga, mana mungkin bisa menariknya?"
"Ya, aku tahu. Tapi maksudku bukan itu. Kalau kamu terlalu mengandalkan kekuatan tangan, kamu akan menariknya terlalu kuat. Dan karena… yah, kamu itu sedikit… tidak manusiawi dalam hal kekuatan, kalau cuma pakai tenaga tangan, busurnya nggak akan tahan, kayak tadi."
"Meski begitu, secara fisik aku tetap harus memakai tenaga untuk menariknya."
"Iya aku tau, tapi biar nggak terlalu berlebihan, kamu harus menggunakan punggungmu."
Nada suara siswa itu semakin lancar saat menjelaskan.
"Gerakkan tulang belikatmu, lalu bayangkan tubuhmu masuk ke dalam busur yang sedang terbuka. Tanganmu hanya sebagai penyeimbang, cukup fokus pada posisi siku supaya nggak kehilangan keseimbangan."
Setelah mengatakan itu, siswa tersebut mengambil kembali busur dari tangan Kurono dan menunjukkan contohnya.
Kurono memperhatikan. Dia bagus. Gerakannya benar-benar alami.
"Kamu benar-benar seangkatan denganku?"
"Iya. Tapi aku memang sudah berpengalaman. Waktu kecil, aku sering ke dojo dekat rumah."
Siswa itu selesai menarik busur, lalu menyerahkannya lagi pada Kurono.
Saat menerimanya, jari Kurono sempat menyentuh telapak tangannya.
Tangan itu keras dan kasar, penuh kapalan. Pasti akibat menarik busur berkali-kali. Dia mungkin hanya ingin membantu, dan senyumnya tampak tulus.
Namun yang memenuhi hati Kurono bukanlah rasa terima kasih, melainkan semangat juang yang hampir menyerupai amarah.
Pengalaman? Itu tidak penting. Pada akhirnya, dia hanyalah orang biasa.
Sebagai senjata manusia paling kuat dan tak terkalahkan, Kurono tidak akan membiarkan dirinya kalah.
(…Aku sudah memutuskan.)
"Kamu… eh,… siapa namamu ya?"
"Uh, aku Kai Rou. Kita sudah perkenalan di kelas, lho…"
"Baiklah. Sekarang aku sudah mengingatnya. Jadi, kamu berencana bergabung dengan klub ini?"
"Masih belum pasti, tapi mungkin iya."
"Kalau begitu, aku juga akan masuk. Dan—"
Dengan tatapan dingin, Kurono menatap tajam pemuda yang sedikit lebih tinggi darinya dan berkata,
"Aku tidak akan kalah darimu."
4 — Perspektif: Kurono Shia —
Kemudian, Kurono menetapkan tujuan untuk menjadi lebih baik daripada Kai, atau siapa pun.
"Pada akhirnya, ini hanyalah olahraga untuk orang biasa. ...Kemarin itu, aku hanya sedikit salah dalam mengatur kekuatan."
Dan untuk itulah dia menggunakan kemampuannya menghentikan waktu.
Batas maksimal satu kali penghentian adalah satu jam, tetapi jika dia menggunakannya secara terus-menerus, dia bisa menghentikannya selama dua atau tiga jam.
Sedikit ketidakcekatan seharusnya bisa diatasi dengan jumlah latihan yang jauh melampaui 24 jam sehari. Seharusnya begitu.
Namun—
"...Hah? Ini aneh."
Kurono memiringkan kepalanya. Bukannya berkembang, kemampuannya justru semakin memburuk.
Alasannya sederhana. Dalam olahraga panahan, latihan repetitif memang efektif, tetapi hanya jika seseorang sudah menguasai postur dasar dan bentuk tembakan yang benar.
Jika seorang pemula berlatih secara berulang tanpa panduan yang tepat, mereka tidak akan berkembang. Sebaliknya, mereka justru akan menguatkan kebiasaan buruk dan semakin memburuk.
Agar hal itu tidak terjadi, seharusnya seseorang terlebih dahulu mempelajari postur dasar dari instruktur yang kompeten. Namun dalam kasus Kurono, sudah jelas bagaimana keadaannya.
Hasilnya, efek dari latihan mandirinya segera terlihat—tentu saja, ke arah yang buruk.
"...Kenapa ini terjadi?"
Dalam waktu singkat, Kurono jatuh dari level pemula menjadi benar-benar payah.
Senior di klub dan pelatih yang tidak tega mulai memberikan bimbingan, tetapi ekspresi tanpa emosinya serta kenyataan bahwa semakin dia diajari, semakin buruk performanya, membuat mereka menyerah.
Dalam waktu kurang dari seminggu, tidak ada lagi yang ingin membimbingnya dengan serius. Dalam dua minggu, Kurono pun menjadi terisolasi di dalam klub.
Meski begitu, dia tidak menyerah.
Di sudut dojo panahan, dia terus berlatih seorang diri, hanya bertahan dengan harga diri yang tersisa.
"...Ugh."
Pecahan harga diri yang hancur menusuk dadanya, membuatnya perih.
Kegagalan ini mungkin tampak sepele. Semua siswa SMA pasti pernah mengalaminya dalam pendidikan wajib mereka sebelumnya.
Namun bagi Kurono Shia, ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya dia benar-benar merasa tidak berdaya.
"Seharusnya tidak seperti ini..."
Dia tidak tahu bahwa kegagalan bisa terasa begitu menyakitkan.
Tidak berguna. Tidak berharga.
Semakin dia mencoba menghapus label itu dari dirinya, semakin dia membenci dirinya sendiri yang begitu menyedihkan.
Namun, Kurono tidak bisa menyerah.
Di dalam pikirannya, kata-kata yang tertanam sejak lama terus terngiang.
(Jangan mengeluh.)
Dia bahkan tidak bisa meminta bantuan siapa pun.
(Jangan menangis.)
Dia bahkan tidak bisa meneteskan air mata. Karena—
(Shia, kau harus menjadi senjata yang terkuat dan tak terkalahkan.)
Baginya, menyerah atau mencari bantuan bukanlah pilihan yang diperbolehkan bagi seorang senjata.
Namun, saat itulah—
"Um, Kurono-san?"
Kaget, dia menoleh ke belakang.
Di sana berdiri seorang siswa laki-laki.
Teman sekelasnya. Kalau dia ingat dengan benar... namanya adalah Kai Rou.
"Ada apa?"
"Kalau kamu tidak keberatan, bagaimana kalau kita berlatih bersama dan saling memberi masukan?"
"Aku tidak butuh itu."
Tentu saja dia menolak. Namun, Kai hanya mengangguk, lalu tanpa ragu mengambil posisi tepat di sebelahnya dan mulai menarik busur.
Kurono secara refleks menghentikan latihannya dan berbicara dengan nada tidak senang.
"Apa... yang kau lakukan?"
"Latihan, tentu saja."
"Kau tidak perlu melakukannya tepat di sebelahku."
"Yah, berlatih sendirian tidak akan membuatku lebih baik."
"Aku tidak berpikir begitu. Lagi pula, kau bisa berlatih dengan orang lain. Kenapa harus di dekatku?"
"Itu..."
Kai menggaruk kepalanya dengan canggung dan berkata,
"Kamu... menikmati ini, kan?"
"Tidak."
Kurono menjawab tanpa ragu.
"Aku tidak butuh kesenangan. Aku hanya ingin menjadi lebih baik. Kalau begitu, aku hanya perlu mengulanginya sampai berhasil. Perasaanku tidak ada hubungannya dengan itu."
Namun, mendengar jawaban itu, Kai hanya tersenyum kecil dan berkata,
"Begitu, ya... Tapi menurutku, kalau bisa, lebih baik berlatih dengan perasaan yang menyenangkan. Bukankah orang yang menikmati sesuatu biasanya lebih unggul?"
"───Hah?"
Kurono terdiam. Nilai yang bertolak belakang itu membuat pikirannya membeku.
Kai melanjutkan penjelasannya.
"Dulu, aku juga tidak menikmati ini sama sekali. Tapi saat aku mulai mendapat masukan dan pujian dari orang-orang di sekitarku, perlahan-lahan aku mulai bisa melakukannya dan menikmatinya. Panahan itu sebenarnya cukup menyenangkan, lho. Jadi, berlatih secara mekanis seperti itu rasanya sayang sekali. Mungkin terdengar seperti urusanku yang berlebihan, tapi karena aku sudah cukup lama berlatih dan mulai menyukai panahan, aku ingin Kurono-san juga bisa merasakan hal yang sama."
Setelah berkata demikian, Kai membungkuk dalam-dalam.
"Jadi... tolong izinkan aku berlatih bersamamu. Aku mohon."
Kurono benar-benar tidak mengerti. Dia tidak tahu apa itu kesenangan. Dia tidak mengerti konsep itu.
Baginya, kebahagiaan dan kesenangan adalah hal yang tidak diperlukan dalam hidupnya, begitulah yang pernah dikatakan kepadanya.
Namun, kenapa orang ini tiba-tiba membawa hal itu ke hadapannya sekarang?
Menolaknya adalah hal yang mudah. Namun, setelah satu detik, dua detik berlalu…
Sambil menatap dari belakang kepala anak laki-laki berambut putih itu, Kurono berbisik pelan.
"Kalau kau sampai berkata sejauh itu… lakukan sesukamu."
Sejak saat itu, Kurono mulai berlatih bersama Kai.
"Saat kedudukan seimbang, jangan fokus pada lengan, tapi perhatikan tulang belikat dan otot dadamu. Lakukan perlahan..."
"Seperti ini?"
"Ya, ya. Bagus sekali."
Lalu, sekitar seminggu kemudian, suara tembakan panah yang mengenai sasaran bergema di dojo panahan seusai jam sekolah.
Hari itu, dalam latihan dengan format pertandingan sebenarnya, Kurono berhasil mengenai semua panahnya ke sasaran, sebuah pencapaian sempurna.
Berkat bimbingan Kai, dalam waktu sekitar satu minggu, Kurono mulai memahami tekniknya, dan setelah itu, kemampuannya meningkat dengan pesat.
Seiring dengan itu, cara pandang anggota klub lain yang selama ini memperlakukannya seperti barang pecah belah pun berubah.
"Hei, anak itu tiba-tiba jadi jago banget, ya..."
"Udah bukan gorila lagi sih, lebih mirip dewi."
"Ini sih lahirnya Artemis Gorilla."
Bisikan dari kejauhan itu, tentu saja, terdengar jelas olehnya.
Dalam hati, Kurono sudah memberi mereka peringatan terakhir.
(Siapkan surat wasiat kalian dalam 24 jam ke depan.)
Lalu, dia pergi meninggalkan lapangan tembak.
Bagaimanapun, dia tidak merasa kesal.
Ketika dia menarik busur dengan benar seperti yang diajarkan Kai, lalu melepaskan panah yang melesat menuju sasaran seolah dituntun oleh takdir, perasaan puas memenuhi dadanya.
Dia tidak yakin apakah itu bisa disebut "menyenangkan", tapi setidaknya, perasaannya terasa baik.
Secara logis, dia tahu bahwa dia harus mengucapkan terima kasih kepada Kai.
Jadi, dia pun berusaha memanggilnya yang sedang merapikan busur di dekat dinding.
"Um..."
Namun, entah kenapa, hanya dengan kata sesederhana itu, suaranya seakan tertahan di tenggorokan.
Anehnya, meskipun dia tidak berlari, detak jantungnya terasa semakin cepat.
(Sebenarnya, aku harus memanggilnya apa? Sekarang aku sadar... aku belum pernah sekalipun memanggil namanya, kan? Umm... pokoknya, aku harus mengatakan sesuatu.)
Ketika Kurono masih berpikir keras selama beberapa detik, Kai yang sepertinya merasakan keberadaannya berbalik menatapnya.
Menatap mata Kai yang seolah bertanya "Apa?", Kurono tiba-tiba merasa panik.
"A-anu, umm, itu..."
Ada sesuatu yang tidak bisa dia pahami mengganjal di dadanya, membuatnya sulit untuk berbicara.
Ini adalah pengalaman pertama baginya.
Setelah beberapa saat keheningan, akhirnya, dengan segala upaya, dia berhasil mengucapkan kata-kata itu.
"…Ini semua berkatmu. Terima kasih banyak ya."
Dan saat itu juga, rasa sesak di dadanya berubah menjadi kehangatan di wajahnya.
Sejak hari itu.
"Um, Kai-kun. Bisa lihat teknik tembakanku sebentar?"
"Ah, tentu."
Sekitar dua bulan setelah dia bergabung, Kurono secara teknis sudah melampaui Kai dalam hal keterampilan.
Secara logis, dia tidak lagi membutuhkan saran dari Kai.
Tidak ada alasan untuk berbicara dengannya. Seharusnya begitu.
"Bagaimana dengan ini? Aku sulit menilainya sendiri."
"Umm... menurutku sudah cukup bagus, tapi kalau dipaksa mencari kekurangan, mungkin siku tangan kananmu sedikit—"
Namun, dia selalu menemukan alasan, mencari pembenaran agar tetap bisa berbicara dengannya.
Setiap kali itu terjadi, pipinya terasa hangat, dan dadanya terasa sesak.
Tapi jika ditanya apakah itu perasaan tidak nyaman, jawabannya adalah tidak.
Namun, alasan di balik semua ini masih belum bisa dia pahami.
Pada saat itu, dia masih belum mengetahuinya.
5 — Perspektif: Kurono Shia —
Pada suatu hari di bulan Agustus.
Kurono mendengar rumor itu di dojo panahan setelah jam sekolah.
"Hei, soal Kai yang kelas satu itu, kalian sudah dengar?"
"Ah, iya. Dia akan pindah, kan? Karena urusan keluarga atau semacamnya."
"Jadi dia akan pindah sekolah ya?"
── Apa?
Begitu dia memahami arti kata-kata yang masuk ke dalam telinganya, Kurono tanpa sadar merasa waktu seakan berhenti.
Itu adalah respons defensif, reaksi alam bawah sadar yang menandakan bahwa dia mengalami kerusakan besar.
Tentu saja, Kurono tidak benar-benar terluka.
Namun, kejutan yang menyayat di dadanya, rasa sesak yang menyiksa dan meluap ini──
Jika ini bukan seperti ditembak dengan peluru, lalu apa lagi?
Perasaan itu menghantamnya begitu dalam hingga membuatnya bertekuk lutut.
Di dunia yang terasa membeku, keheningan itu berdenging menyakitkan di telinganya yang tertunduk.
"Kai... kun..."
Kenapa dia menyebut nama itu?
Dia tidak tahu bagaimana mengatasi rasa sakit yang menusuk di dalam dadanya.
"Um... boleh bicara sebentar?"
Setelah latihan hari itu selesai, Kurono memanggil Kai.
"Ya. Ada apa, Kurono-san?"
"Tidak, ini bukan sesuatu yang penting. Aku hanya mendengar... bahwa kamu akan pindah."
Kai memasang ekspresi seperti sudah sering mendengar pertanyaan itu.
Wajahnya begitu santai, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Ah, ya. Karena urusan keluarga, aku harus pindah dari rumah."
"Begitu, ya..."
Kurono tidak bisa mengatakan apa pun lagi.
Karena Kai terlihat terlalu tenang.
Tidak seperti dirinya.
"Selamat tinggal, Kurono-san."
"Ya... selamat tinggal."
Saat sampai di rumah, Kurono bersandar pada pintu yang baru saja ditutup, masih memegang tasnya.
Dia menatap langit-langit dengan ekspresi datar seperti biasanya.
Namun, setetes air mata jatuh di pipinya.
Setetes besar lainnya menetes ke ujung sepatunya yang masih dipakai.
Dia tidak mengerti.
Kenapa dia menangis?
Kurono benar-benar tidak tahu.
Tapi, dia bisa merasakan bahwa perasaan ini…
Sebagai seorang agen rahasia, ini adalah sesuatu yang tidak pantas dia miliki.
Jadi, dia harus membuangnya secepat mungkin.
Tapi meskipun begitu, air matanya tidak berhenti mengalir.
Dadanya terasa sesak.
── Karena itu, gadis itu memilih untuk berhenti berpikir dan membiarkan tubuhnya jatuh ke kasur.
Keesokan harinya adalah hari libur.
"Ugh... berisik."
Suara gaduh dari sebelah membangunkan Kurono yang masih terbungkus selimut.
Tidak perlu ditanya, suasana hatinya sedang dalam kondisi terburuk yang pernah ada.
Dengan amarah yang membara, dia bangkit dan membuka pintu depan.
Lalu menoleh ke arah sumber kebisingan yang tidak peka terhadap perasaan orang lain.
Dia menatap dengan tatapan sedingin es, siap mengukirkan kata-kata penuh amarah ke dalam ingatan orang itu.
Tapi di hadapannya──
"Kurono-san?"
"......Hah?"
Yang berdiri di sana adalah seseorang yang baru saja dia ucapkan perpisahan dengan mudah kemarin.
Kai-kun.
"Maaf. Kulkasnya nyangkut di pintu, jadi aku agak berisik."
Kai menggaruk kepala putihnya dengan wajah canggung.
Lalu, seolah menyadari bahwa Kurono masih belum memahami situasinya, dia mulai menjelaskan.
"Aku baru pindah ke apartemen ini mulai hari ini..."
"......Gitu ya."
"Dan ternyata, kamarku ada di sebelah kamarmu."
"Sepertinya begitu."
"Uhmm,... kebetulan yang luar biasa, ya?"
Kurono bertanya dengan suara datar.
"Pindah sekolah."
"Eh?"
"Bukankah... kamu akan pindah sekolah?"
"Enggak, aku nggak akan pindah, kok. Emangnya ada yang bilang begitu?"
Kata Kai sambil tertawa kecil.
Namun, suaranya tidak lagi masuk ke dalam kesadaran Kurono.
"Kurono-san, jangan-jangan... kamu marah?"
Perasaan hitam yang bersarang di hatinya seketika menghilang.
Sebagai gantinya, sesuatu yang sangat hangat muncul dari dalam dadanya.
Dan dia menyadari, bahwa itu adalah... kebahagiaan.
"Maaf, ya. Aku benar-benar salah karena bikin suara berisik tadi──"
Kurono menghentikan waktu.
Dan saat dia sadar, tubuhnya sudah bergerak sendiri.
Dia meraih Kai dan memeluknya erat.
"Ya. Ini salahmu... Kai-kun."
"Karena kamu..."
"Karena kamu membuatku merasa seperti ini."
Ini tidak seharusnya terjadi.
Dia tidak boleh merasakannya.
Perasaan ini pasti tidak diperbolehkan untuknya.
Tapi, meskipun begitu──
"Aku senang... ini bukan perpisahan."
Dari lubuk hatinya yang terdalam, dia benar-benar merasa demikian.
Dan dia tidak bisa menghentikan perasaan itu.
Saat air mata mengalir di pipinya, dia menangis tersedu di dada Kai.
"Aaaahhh! Kai-kun, aku suka padamuuuu!!"
Post a Comment