Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 5
Masa Muda Kurono
1 — Perspektif: Kai Rou —
Sepulang sekolah hari itu, Kai masuk ke sebuah restoran keluarga.
Tentu saja, dia tidak datang sendirian, melainkan karena diajak oleh dua orang: Marusu dan Amafuro.
Mereka ingin berdiskusi tentang kafe kopi.
Setelah memberi tahu Sotomichi bahwa dia akan pulang terlambat, ponselnya terus bergetar di dalam saku.
Saat dia melihat layarnya, dia mendapati stiker kelinci yang menangis darah sambil membawa pentungan berulir paku dikirim berkali-kali.
(Apa maksudnya, dan kenapa stiker kayak gini bisa dijual...)
"Kamu mau minum apa, Marusu?"
"Pesankan aku teh oolong. Maaf merepotkan, terima kasih."
Kai menekan tombol di dispenser minuman, menuangkan empat gelas minuman, lalu meletakkannya di atas nampan.
Saat itu, sebuah robot pelayan yang penuh dengan piring kotor melintas di sebelahnya.
Robot itu kemudian berpapasan dengan Marusu, yang sedang mengambil sup di bar sup.
Lalu, suara elektronik bernada imut pun terdengar.
"Minggir, meong. Kamu menghalangi jalan, meong."
"…Hei, Kai, robot ini kasar banget, kan?"
"Kenapa ya? Mungkin dia nggak menganggapmu sebagai pelanggan."
"Sial, dasar robot pekerja yang cuma digaji sekitar 100 yen per jam, berani-beraninya kurang ajar pada anak dokter kaya raya sepertiku..."
"Nyinyir banget~. Makanya kamu selalu ditolak, Kacamata Gorila Merah. Ya nggak, Neko-chan?"
Sambil membawa mangkuk berisi tumpukan makanan penutup dari salad, Amafuro mengelus bagian layar sentuh robot itu dengan suara manja.
Di layar OLED-nya, wajah kucing mengedipkan sebelah mata dan mengeong dengan ekspresi puas.
"Miaww~"
"Kyaaa, imut banget!! Hei, hei, kamu mau kerja di rumahku? Aku bayar 300 yen per jam!"
"Dengan gaji segitu, bahkan telur buat mi instan aja nggak bisa kebeli. Kamu tahu upah minimum, kan?"
"Yah, uang sih bukan masalah. Yang penting, tempat kerjanya nyaman dan penuh makna!"
"Dunia ini kejam, meong."
Robot itu dengan lincah melewati Amafuro dan Marusu, lalu pergi ke dapur.
Saat Kai dan dua temannya kembali ke meja, Kurono sudah menunggu di sana dengan duduk tegak.
"Maaf ya, Shia-chan. Kamu sampai harus menjaga barang-barang kami."
"Tidak masalah. Terima kasih atas minumannya."
"Oh, aku bawa ini. Ayo makan bareng."
"…Tapi aku tidak memesan salad."
"Aku menambahkannya belakangan, jadi tenang saja. Aku juga yang traktir."
Amafuro duduk di sebelah Kurono.
Sementara itu, Kai dan Marusu duduk di sisi seberangnya.
"Baiklah, karena tahun ini kita yang bertanggung jawab atas kafe, mari kita mulai pertemuan pertama kita."
Marusu berkata demikian setelah meminum teh oolongnya.
Saat jam istirahat siang tadi, Amafuro dan Marusu berturut-turut mengajak Kai menjadi panitia kafe kopi.
Pada akhirnya, dia setengah dipaksa untuk menyetujuinya.
Kurono juga ikut serta, lalu mereka berbicara dengan ketua klub saat latihan sore.
Dengan demikian, keempatnya resmi ditunjuk sebagai tim pengelola kafe kopi Klub Panahan SMA Asagi untuk tahun ini.
Itulah alasan kenapa pertemuan ini diadakan.
"Tapi kenapa sih kamu yang memimpin? Haaah…"
Amafuro mendesah, nada bicaranya pada Marusu terdengar kurang sopan.
"Hei, kalian berdua sebenarnya nggak akur, ya?"
Kai bertanya. Marusu, yang baru saja bergabung dengan klub beberapa hari lalu, tampaknya sekelas dengan Amafuro.
Saat mereka berpapasan di jam istirahat siang, suasana antara keduanya terasa agak aneh.
"Ya, nggak bisa dibilang benci juga sih… lebih ke nggak cocok aja."
"Iya, iya. Bukan berantem atau apa, cuma… sejak pertama kali ketemu, kesan pertama kami itu kayak 'Hah?!' satu sama lain…"
Mereka saling menunjuk dan berbicara bersamaan.
"Dia ngerasa dirinya imut banget, bikin nyebelin."
"Dia ngerasa dirinya keren banget, bikin geli."
"Kalian kompak banget ya."
Kai menyeruput minuman sodanya sambil menerima kenyataan bahwa, entah bagaimana, kerja sama tim mereka justru terkonfirmasi.
"Oke, hari ini kita bahas rencana sampai hari H festival budaya dan membagi tugas. Aku juga sudah menyalin dokumen dari senior, jadi ini aku bagikan."
Setiap tahun, lafe kopi yang dikelola Klub Panahan di festival budaya diurus oleh siswa kelas dua.
Menunya terdiri dari mi ramen, parfait, serta sedikit kopi sekadar pelengkap.
Meskipun hanya "kafe kopi" dalam nama, tempat ini selalu menjadi yang paling laris di antara seluruh stan di festival.
Kurono lalu bertanya.
"Aku penasaran, kenapa menu andalan kafe ini justru ramen dan parfait?"
"Menurut dokumen ini, menu yang kurang laku terus dihapus setiap tahunnya, sampai akhirnya yang tersisa hanya dua itu.
Dengan kata lain, mereka adalah prajurit veteran yang telah bertahan di medan perang."
Marusu menyesuaikan kacamata hitamnya sambil membaca dokumen di tangannya.
"Ngomong-ngomong soal target penjualan tahun ini, aku ingin kita mencapai 1 juta yen dalam empat hari festival."
"Itu target yang terlalu tinggi, kan?"
Kai memang tidak tahu banyak soal bisnis makanan, tapi 1 juta yen dalam empat hari terdengar seperti tantangan besar.
Marusu pun menghela nafas dengan sengaja, seolah meremehkan sikap pesimisnya.
"Dasar kamu ya. Dengar baik-baik. Rekor penjualan tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir adalah sekitar 824 ribu yen.
Artinya, jika semua anggota menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh, target 1 juta yen bukanlah sesuatu yang mustahil."
"Tapi kita nggak perlu seambisius itu juga kan…"
Di sela-sela percakapan, Marusu terdengar penuh semangat, seolah-olah ia sangat bertekad.
Kai sebenarnya tidak keberatan untuk ikut serta, tetapi ia juga tidak ingin Marusu terlalu agresif dalam hal ini.
"Kai, pinjam telingamu sebentar."
Marusu berbisik pelan di telinga Kai.
"(Setengah dari pendapatan kafe ini kabarnya bisa digunakan untuk biaya perayaan anggota klub. Aku memang tidak ada tahun lalu, tapi kabarnya perayaannya cukup meriah, kan?)"
"(…Seingatku, mereka makan di restoran yakiniku yang agak mahal.)"
"(Begitu ya. Tapi karena aku ada di sini sekarang, kita tidak akan puas dengan target kecil seperti itu. Tahun ini, kita akan mengadakan perjalanan musim panas ke pantai, menginap bersama! Target dananya: satu juta yen!)"
"(Aku sih cukup dengan yakiniku saja…)"
"(Bodoh! Ini artinya perjalanan menginap bersama semua anggota, termasuk Kurono! Dan kalau di pantai, kita juga bisa melihat mereka dalam pakaian renang! Ini rencana perjalanan paling berharga yang bisa kita bayangkan!)"
"(Jadi ini cuma alasan pribadimu?)"
Tampaknya semangat membara dalam diri Marusu didorong oleh niat yang sangat jelas.
Di sisi lain, Amafuro sedang berbicara dengan Kurono.
"Nee nee, Shia-chan! Gimana kalau kita pakai kostum lucu di hari H? Kita bisa berdandan imut dan membiarkan para pelanggan memberikan banyak pujian!"
"Aku tidak tertarik. Kalau mau, lakukan sendiri. Bye."
Amafuro tampak sangat bersemangat, meskipun tujuannya berbeda dari Marusu. Tapi bagaimanapun juga, keduanya terlihat sangat termotivasi. Mungkin mereka memang cocok satu sama lain.
Kai, yang lebih santai dalam menanggapi semua ini, melirik ke arah Kurono.
Dia tetap tanpa ekspresi, hanya membaca dokumen yang diberikan padanya.
(Sepertinya dia tidak terlalu menikmatinya…)
Di tengah-tengah itu, pesanan makanan mereka tiba.
"Maaf menunggu, Nyan~! Ini panas, Nyan~!"
"Terima kasih, Neko-chan! …Hei, Marusu. Kita nggak bisa pakai dia juga di hari H? Satu-satunya keunggulanmu kan cuma punya orang tua kaya."
"Sayangnya, aku juga tidak bisa. Bulan lalu, aku ketahuan menggunakan kartu kredit ayahku untuk memberi superchat ke streamer favoritku."
"Wah, alasannya parah banget. Jadi itu kamu yang kirim red superchat waktu itu…?"
"…? Kamu ngomong apa?"
"T-tidak ada apa-apa!! Eeiiih!"
Amafuro menggulung bungkus tisu basahnya dan melemparkannya ke Marusu.
Melihat dua orang itu, Kurono menyela.
"Bisa kita lanjutkan pembahasannya?"
"Ya, maaf, Kurono-san! Hei, Amafuro, minta maaf sana."
"Oke, maaf ya, Shia-chan! Marusu, mampuslah."
Akhirnya, diskusi pun dimulai, dan mereka mulai membagi tugas.
Sambil menghabiskan set makanan mix grill (dengan nasi porsi besar), Marusu menjelaskan.
"Oke, sekarang pilih tiga tugas: dua untuk persiapan sebelum acara dan satu untuk hari H. Kalau ada yang terlalu banyak pilih tugas yang sama, kita sesuaikan nanti saja. Tugas sebelum acara: keuangan, hubungan eksternal, dekorasi toko, pengadaan bahan makanan, dan promosi. Tugas di hari H: pelayanan pelanggan, memasak, atau jadi petugas umum. Aku pilih keuangan dan hubungan eksternal, dan di hari H, aku jadi petugas umum, karena aku nggak bisa masak dan juga nggak cocok untuk melayani pelanggan."
Sambil menikmati kari katsu sayur musim panas yang terbatas, Kai berpikir sejenak.
"Kalau begitu, aku ambil pengadaan bahan makanan dan keuangan. Di hari H, aku yang masak."
Ia memilih dua tugas yang tampak cukup ringan, serta memasak karena ia sudah terbiasa memasak sendiri.
Amafuro, yang sibuk bergantian menyantap parfait mangga musim panas, tiramisu, dan salad bar, segera menjawab.
"Kalau aku ambil dekorasi toko dan promosi! Terus, di hari H, aku bakal jadi ikon toko yang imut dan melayani pelanggan! Karena aku memang imut!"
"Promosi yang cukup percaya diri ya… tapi baiklah. Lalu, Kurono-san?"
Kurono, yang masih dengan tenang menikmati doria sayur panggangnya, berkata.
"Aku ingin menangani dekorasi toko dan pengadaan bahan makanan sebelum acara. Di hari H, aku akan memasak."
Amafuro tampak terkejut dan bertanya.
"Shia-chan, kamu bisa masak?"
"…Tidak. Tapi aku bisa belajar."
"Kalau begitu, mendingan kamu melayani pelanggan saja bersamaku! Kamu cantik, aku imut, kita berdua pasti bisa meningkatkan penjualan!"
Marusu pun setuju.
"Aku juga berpikir begitu. Selain itu, kita kekurangan pelayan di bagian pelayanan pelanggan."
"Tapi…"
(Apa dia ingin bekerja bersamaku?)
Mungkin ini hanya perasaannya saja, tapi tampaknya memang demikian.
Namun, dengan pertimbangan rasional mengenai kekurangan tenaga dan penempatan yang tepat, bahkan Kurono pun tidak bisa menolaknya. Akhirnya, ia menerima tugas sebagai pelayan dengan sedikit keberatan.
Kai lalu berpikir.
(Tapi… apa Kurono bisa melayani pelanggan?)
"…Kai-kun? Ada apa?"
Tanpa sadar, ia menatapnya terlalu lama.
"Ah, maaf. Aku cuma berpikir kalau Kurono-san mungkin kurang cocok untuk melayani pelanggan."
Dan tanpa sadar, ia mengatakannya dengan lantang.
Marusu langsung menyenggolnya.
"(Kai, dasar bodoh! Aku ngerti, aku ngerti banget! Tapi tetap saja!)"
"(Maaf… keluar tanpa sadar…)"
Namun, tampaknya Kurono tidak suka dianggap tidak bisa melakukan sesuatu. Ia menunjukkan ekspresi sedikit kesal.
"Aku bisa kok. Tugasnya hanya menerima pesanan pelanggan dan mengantarkan makanan saja, kan? Bahkan robot pelayan tanpa jiwa pun bisa melakukannya."
Meskipun merasa agak cemas dengan penyebutan "tugas", Kai tidak menanyakannya lebih lanjut.
"Kalau begitu, kita cukup sampai di sini untuk hari ini. Rincian pekerjaan sudah tertulis di dokumen yang tadi kubagikan, jadi tolong dicek sendiri. Kalau ada yang perlu ditanyakan, tanyakan padaku. Oh ya, kita buat grup, ya?"
Setelah berkata demikian, Marusu membuat grup di LINE. Entah kenapa, ikon grupnya adalah—
"Marusu, kenapa fotomu sendiri yang dipakai?"
"Eh? Memangnya nggak boleh?"
"Tentu saja nggak boleh! Nggak imut sama sekali. Aku ganti pakai fotoku, ya."
"Tidak, tolong jangan juga."
Setelah sedikit perdebatan, akhirnya foto grup itu diganti dengan gambar secangkir kopi, yang lebih cocok dengan konsep kafe mereka.
"Yah, kenyataannya sih lebih mirip warung ramen daripada kafe."
"Kita memang punya banyak varian parfait, tapi kopi cuma ada es kopi satu jenis, ya."
Sambil mengiyakan perkataan Amafuro yang sedang menggigit sendok parfait, Kai berpikir.
Awalnya terasa merepotkan, tapi setelah mendiskusikannya lebih lanjut, ini ternyata terasa lebih menyenangkan dari yang ia bayangkan.
Ngomong-ngomong, hampir saja ia lupa, seandainya bukan karena utang bodoh orang tuanya yang membuatnya harus menjalani operasi aneh itu, ia hanyalah seorang siswa SMA biasa.
Tidak ada alasan baginya untuk tidak menikmati kehidupan SMA seperti seharusnya.
Saat itu, waktu tiba-tiba berhenti.
Kurono berdiri, lalu dengan seenaknya mendorong Marusu ke samping dan duduk di sebelah Kai yang kosong.
Tanpa merasakan apa pun, tubuh gadis itu menempel erat ke arahnya.
(Ah... aku lupa.)
Lupa alasan kenapa dirinya bukanlah siswa SMA biasa.
"Fufu, Kai-kun... Kalau kita seperti ini, rasanya... a-anu, seperti... s-sepasang kekasih, ya."
Setelah melirik robot pelayan berbentuk kucing yang juga membeku di samping meja, Kurono pun berkata dengan suara manja,
"Nyaa... nyaaan~"
Ia menggosokkan tubuhnya ke tubuh Kai dengan suara menggemaskan dan imut yang sulit dibayangkan dari dirinya biasanya, sambil dengan senyum manja.
Penampilannya benar-benar begitu imut hingga setiap laki-laki pasti ingin menjadikannya pacar.
(Seandainya dia nggak melakukan ini tiba-tiba tanpa izin, sih, aku pasti bakal senang...)
Tapi bagi Kai, justru itulah masalahnya.
Dipancing deg-degan tanpa peringatan seperti ini, rasanya seperti serangan jantung.
Beberapa menit berlalu, sementara Kurono terus menempel, mencubit pipinya, lalu tiba-tiba berkata.
"Sebenarnya... aku ingin bisa bekerja bersama Kai-kun juga..."
Sepertinya ia membahas pembagian tugas saat hari H festival budaya nanti. Gadis itu memasang ekspresi cemberut.
"Tapi kita masih bisa bertemu saat aku mengantarkan makanan... Jadi meski harus berpisah sebentar, nggak masalah."
Seandainya waktu tidak berhenti saat itu, wajah Kai pasti sudah merah padam karena kata-kata tersebut.
Beberapa saat kemudian, waktu kembali berjalan.
"Kalau begitu, kita sudahi saja untuk hari ini. Aku yang traktir! Aku kan orang kaya."
Marusu berkata sambil mengambil nota dan berdiri dari kursinya.
Saat melewati meja, robot pelayan itu berkomentar singkat,
"Oke nyan~"
2 — Perspektif: Kai Rou —
Keesokan harinya, saat jam istirahat siang.
Kai yang hendak membuka bekalnya melihat ada pesan di ponselnya.
Ia mengira itu pasti dari adik sialan di rumahnya, mungkin permintaan makan malam yang absurd, seperti terrine musiman atau steak wagyu hitam, hanya demi melihat reaksinya. Tapi ternyata bukan.
Pengirimnya adalah Marusu.
[Siang ini, mau makan di kantin bareng nggak?]
Saat ia datang, Marusu langsung berkata,
"Baiklah, kita mulai rapat strategi untuk menaklukkan Kurono!"
"...Apa?"
Kantin sekolah yang terletak di samping gedung utama dipenuhi oleh banyak siswa.
Karena Kai lebih suka membawa bekal, ia jarang ke sini. Tapi makanan di sini cukup banyak porsinya dibanding harganya, jadi populer di kalangan siswa klub olahraga.
Kai duduk dan meletakkan puding yang baru dibelinya di samping bekalnya.
Meski sebenarnya boleh saja duduk tanpa membeli apa pun, tapi rasanya tidak etis.
Tapi, yang lebih penting sekarang, ia harus mencari tahu maksud Marusu yang aneh ini.
"Apa maksudnya rapat strategi menaklukkan Kurono?"
"Seperti namanya. Aku, Marusu Aren, bertujuan untuk menjadikan Kurono sebagai pacarku. Rapat ini untuk menganalisis masalah yang ada, menentukan prioritas, dan membahas strategi penanganannya."
Marusu berkata sambil menyeruput sup miso dari set karaage seharga 480 yen, lalu dengan lancar melanjutkan penjelasannya.
Kai menerjemahkan ocehan itu ke dalam bahasa yang lebih masuk akal.
"...Jadi intinya, kamu mau curhat soal cinta?"
"Kalau mau dibilang begitu, ya boleh."
Nada suara Marusu agak canggung.
Meski biasanya percaya diri, ekspresinya yang malu-malu itu menunjukkan sisi khas anak seusianya.
Tapi tetap saja, Kai tidak merasa itu lucu.
"Aku paham, tapi... Aku rasa aku bukan orang yang tepat buat dimintai saran soal ini. Seperti yang bisa kamu lihat, selain rambut aneh ini, aku nggak punya daya tarik apa pun... Dan jujur aja, pacar pun belum pernah punya seumur hidupku."
"Ya, memang sih. Nggak ada aura cowok populer dari dirimu."
Setelah menyelipkan komentar yang entah sengaja atau tidak terdengar kasar, Marusu melanjutkan,
"Tapi soal Kurono, itu lain cerita."
Kai terkejut.
"Sudah seminggu sejak aku masuk klub panahan dan mulai datang ke kelasmu saat istirahat siang. Aku baru sadar sesuatu. Kai, kamu pasti dekat dengan Kurono, kan?"
"…Ya, aku cukup sering mengobrol dengannya."
"Sering mengobrol, ya? Dari yang kulihat, kamu satu-satunya laki-laki di sekolah ini yang bisa berbicara dengan Kurono secara normal."
Dengan suara gemeretak gigi, Marusu menatap Kai dengan ekspresi penuh penyesalan.
Kai refleks mundur selangkah. Kalau dia tiba-tiba menyerang, aku pasti kalah telak.
"Tapi tetap saja, anehnya aku merasa bersemangat setiap kali mendapat sikap dingin dari Kurono!"
Kai ingin segera melarikan diri. Ini sudah kelewatan, benar-benar sudah tidak bisa ditolong.
"Itulah kenapa, tolong ajari aku. Bagaimana caranya bisa sedekat itu dengan Kurono?"
Sambil berkata begitu, Marusu membungkukkan kepalanya dengan rambut merahnya yang mencolok.
Kai merenung. Dia ingin mendukung temannya ini.
Namun, di saat yang sama, ada perasaan tidak nyaman yang mengganjal di hatinya saat membayangkan Marusu dan Kurono menjadi dekat.
Akhirnya, Kai memutuskan untuk jujur dan menceritakan bagaimana dia mulai berbicara dengan Kurono. Semuanya berawal saat dia bergabung dengan klub dan mengajarkan cara memanah kepada Kurono.
Marusu mendengarkan dengan serius, mengangguk-angguk.
"Hm… kalau begitu, aku tidak bisa meniru caramu."
"Ya, kurasa begitu."
Kai mengiyakan. Kalau dipikir-pikir, dia bisa menjadi sedekat ini dengan Kurono berkat banyak faktor keberuntungan dan timing yang tepat. Tidak ada jaminan Marusu bisa meniru jalannya.
Namun, di lubuk hatinya, Kai merasa sedikit lega, dan dia membenci dirinya sendiri karena itu.
"Tapi aku sudah menemukan celahnya."
"Hah?"
"Kai, kenapa ekspresimu seperti merpati yang baru saja dihantam senapan mesin?"
"Itu perumpamaan macam apa…? Maksudku, apa rencanamu?"
"Gampang. Celah itu adalah kamu."
Marusu menunjuk wajah Kai dengan mantap.
"Pertama, aku akan berteman baik denganmu, bahkan menjadi sahabat akrab. Aku akan sering main ke rumahmu, sampai bisa main Switch dengan tangan penuh remah-remah kentang tanpa kamu marah."
"Oh… oke…"
"Lalu, dengan status sebagai temanmu, aku akan perlahan-lahan mendekati Kurono… Itulah rencanaku."
Persahabatan yang benar-benar penuh perhitungan.
"Kamu sadar, setelah mendengar rencana itu, aku justru makin tidak ingin berteman denganmu?"
"Apa yang kamu bicarakan? Kita sudah berteman, kan?"
Marusu tersenyum lebar, menepuk bahu Kai. Itu senyuman sempurna. Namun tiba-tiba, ekspresi Marusu berubah serius.
"Kai, boleh aku tanya satu hal? —Apa kamu menyukai Kurono?"
Pertanyaan itu membuat Kai merasa seolah ada yang mencengkeram dadanya.
"Jika iya, katakan saja jujur. Jangan khawatir, aku tidak akan memberi tahu siapa pun. Kalau kamu memang menyukainya, aku tidak akan ikut campur atau memanfaatkan situasi ini. Aku bukan orang sejahat itu."
Kai terkejut. Kejujuran Marusu sungguh di luar dugaan.
"Yah, orang-orang seperti itu, meskipun awalnya terlihat berhasil, pada akhirnya selalu gagal. Aku hanya ingin memastikan takdir semacam itu tidak menimpaku."
…Koreksi sedikit. Dari awal sampai akhir, Marusu memang penuh perhitungan.
Kai teringat sesuatu, hari saat Kurono pindah sekolah.
—Aku suka padamu, Kai-kun.
Sebuah kenangan yang seharusnya tidak ada, namun tetap membekas dalam ingatannya.
Setelah pengakuan seperti itu, siapa yang tidak akan jatuh cinta?
Tapi semua itu hanya dia pendam dalam hati.
"Tenang saja. Aku tidak menyukai Kurono."
"Oh…"
Marusu tersenyum kecil.
"Baiklah, tahap pertama selesai! Mulai sekarang, aku akan memanfaatkanmu sepuasnya!"
"Ya… terserah kamu sih."
"Kamu terdengar nggak puas ya. Tenang saja, aku akan membayarmu sebagai biaya pertemanan."
Marusu mengeluarkan dompet kulit hitamnya.
"Oi, jangan. Aku tidak butuh uang untuk hal seperti ini."
"Ah, dasar kamu tidak tahu betapa berharganya uang tunai non-pajak."
"Justru karena itu aku tidak mau! Kalau jumlahnya besar, nanti kena pajak!"
Kai menolak mentah-mentah. Menerima uang berarti berutang budi lebih dari sekadar kata-kata.
Marusu hanya mendecakkan lidahnya, lalu berkata,
"Baiklah, kalau begitu, pinjamkan aku ponselmu sebentar, Kai."
"Mau apa?"
Kai bertanya waspada. Marusu tersenyum.
"Aku akan memberimu rekomendasi video dewasa favoritku. Sebagai simbol persahabatan laki-laki."
"Persahabatan macam apa itu?! Kau tahu ini konten R18, kan?"
Marusu mengabaikannya dan dengan cepat merebut ponselnya.
"Jangan terlalu dipikirkan. Nah, akhir-akhir ini favoritku adalah yang bertema 'penghentian waktu'—"
"Kamu benar-benar berlebihan. Aku tidak tertarik, jadi kembalikan ponselku."
Kantin saat jam istirahat sudah mulai sepi, tapi masih ada beberapa siswa yang duduk-duduk. Untungnya, tidak ada yang mendengar percakapan mereka.
Setelah perjuangan belasan detik, Kai akhirnya berhasil merebut kembali ponselnya.
Dan saat itu juga—waktu berhenti.
Bukan kiasan.
Itulah sebabnya, seseorang tiba-tiba muncul dan berkata,
"Aku mencarimu, Kai-kun. Kamu tidak ada di kelas, jadi aku datang ke sini. …Sebenarnya, saat memikirkan di mana kamu berada, aku merasa ingin bertemu denganmu."
Kurono menatap Marusu yang terdiam dalam waktu yang beku.
"…Mengganggu."
Dengan santainya, dia menendang Marusu seperti bola sepak, lalu duduk di tempat kosong di sebelah Kai.
Sambil menatap Kai, dia mulai mengunyah CalorieMate yang tampaknya adalah makan siangnya.
"…nyam..nyam..nyam…"
(Wajahnya terlalu dekat… Ini situasi yang buruk, lebih baik dia segera pergi.)
Kai berdoa dalam hati. Namun, di dunia tanpa waktu, sepertinya tidak ada Tuhan yang mendengar doanya.
"Kai-kun, kamu sedang melihat apa di ponselmu? (melirik)"
Kai segera berusaha menyembunyikan layarnya. Tapi dia tidak bisa bergerak.
"…………"
Kurono, yang awalnya terkejut, mendadak wajahnya memerah malu seperti salju yang terbakar.
Seperti mencapai batasnya, dia berbisik pelan.
"…Mesum."
Lalu dia berbalik dan lari pergi.
Sesaat kemudian, waktu kembali berjalan.
"Hmm…? Kenapa aku tiduran di lantai?"
Marusu bangun dan menggaruk kepalanya. Kai, yang sudah lelah dengan semua ini, berkata.
"Hei, Marusu."
"Hm?"
"Kita putus hubungan teman saja ya."
3 — Perspektif: Kurono Shia—
Waktu istirahat siang sudah melewati setengahnya.
Kurono yang sendirian, bersandar pada pintu besi tebal di atap gedung yang dilarang dimasuki, menatap langit biru dengan wajah memerah malu.
Alasan kegelisahannya adalah sesuatu yang baru saja ia lihat di layar ponsel Kai, konten dewasa yang menurutnya sangat vulgar dan mengguncang pikirannya.
"I-Ini cabul sekali. Kai-kun yang cabul... yah, bukannya aku benci sih. A-Aku sangat menyukai dia, tapi... rasanya harus aku turunkan jadi sekadar suka... tidak, tidak, tetap sangat suka, tapi mungkin sedikit turun peringkat."
Namun, bagaimanapun juga, Kurono sendirilah yang diam-diam mengintip ponsel Kai.
Tapi tetap saja, bagaimana bisa sesuatu seperti itu dijual secara legal? Moralitas pria di negara ini jelas sudah rusak total!
Di tengah pikirannya yang kacau dan kepalanya yang mulai panas, tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Ngomong-ngomong, genre 'penghentian waktu' itu... sebenarnya apa sih?"
Kurono tentu saja tidak berpikir kalau keberadaan kemampuannya sudah diketahui publik. Tapi rasa penasaran membuat jarinya secara refleks mengetuk mesin pencari di ponselnya.
Hasilnya...
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Kurono mengalami fenomena di mana waktunya sendiri terasa berhenti.
(...Apa-apaan ini?)
Mata polos gadis itu membelalak lebar, memantulkan hasil pencarian yang kejam dan tanpa belas kasihan.
Di sana, terpampang koleksi karya berisi fantasi R-18, di mana pria-pria penuh nafsu menggunakan berbagai alat seperti stopwatch, jam tangan, jam pasir, bahkan kekuatan supernatural, untuk menciptakan dunia di mana waktu berhenti dan mereka bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan.
(Ke-Ke-Kenapa kemampuanku... dipakai untuk hal sekotor ini...!? T-Tunggu, jadi pria-pria normal di dunia ini membayangkan kemampuanku untuk sesuatu yang begitu mesum!??)
Kurono terhantam oleh rasa terkejut yang tak terkatakan dan rasa malu yang menyesakkan.
Seperti yang bisa kamu bayangkan, Kurono Shia, 16 tahun.
Seorang gadis yang sampai baru-baru ini bahkan belum benar-benar mengenal cinta. Sangat polos.
Tiba-tiba, ponsel di tangannya bergetar karena panggilan masuk.
Itu adalah panggilan dari Divisi Rahasia Kepolisian Internasional, operator yang bertugas menghubunginya.
[Selamat siang, Agen Chronosia. Mohon maaf mengganggu waktu belajarmu, tapi ini misi darurat. Sebuah kelompok kriminal dengan anggota pengguna kemampuan telah terdeteksi di Tokyo. Kami butuh kau untuk segera menangkap mereka]
"Dimengerti. Berikan lokasinya."
[Eh, Agen Chronosia...?]
"Ada apa?"
[Mungkinkah... kau sedang dalam suasana hati yang buruk?]
"Sama sekali tidak. Aku hanya akan tetap dalam mood yang baik selama kau tidak mengobrol tanpa guna."
[M-Maaf...! B-Baiklah, target kali ini tampaknya adalah pengguna kemampuan yang sangat kuat. Jadi tolong berhati-hati. Kemampuannya terkait dengan manipulasi ruan──]
Kurono memutus panggilan sebelum operator itu sempat selesai bicara.
Setelah menerima data lokasi yang dikirimkan, ia segera menghentikan waktu.
"...Tepat waktu."
Namun, bagi musuh yang akan ia hadapi, ini adalah saat terburuk yang bisa terjadi.
Sebab, Kurono sedang sangat ingin melampiaskan kekesalannya.
Di suatu tempat di Tokyo.
Tak lama setelah menerima panggilan, Kurono menerobos jendela lantai tiga sebuah kantor kecil, masuk bersama hujan pecahan kaca yang beterbangan.
Di dalam ruangan, ada beberapa pria bersenjata. Di tengah mereka, seorang pria bersetelan abu-abu yang tampaknya adalah pengguna kemampuan yang menjadi targetnya.
Kurono mengepalkan tinjunya hingga berbunyi.
Pria bersetelan abu-abu itu menatapnya dengan senyum sinis, seolah langsung mengenali siapa yang telah menerobos masuk.
"Seorang siswi SMA berambut hitam... Jadi kaulah agen pengguna kemampuan terkuat dari Kepolisian Internasional?"
"Aku sudah mendengar tentangmu. Kabarnya kau menggunakan kekuatan yang sangat curang, tapi aku sendiri memiliki kemampuan untuk memanipulasi ruang──"
"Hei."
Aura dingin sedingin es mutlak menghentikan kata-katanya.
"──Kau baru saja bilang apa tentang kemampuanku? Bahwa itu mesum, cabul, dan untuk konsumsi R-18?"
"E-Eh? T-Tunggu, aku tidak bilang begitu—"
Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, waktu berhenti.
Kurono berjalan mendekatinya dengan langkah tenang di dunia yang kini membeku.
──Fff!!
Tanpa ragu, ia menendang keras ke arah vital targetnya.
Lalu yang kedua.
Lalu yang ketiga.
Tanpa belas kasihan, ia menghantam bagian bawah tubuh semua pria di ruangan itu.
Seolah sedang menghukum sumber dari segala kejahatan itu sendiri, ia menghantam dan menghancurkan tanpa ampun.
Catatan tambahan: Saat Kurono menghentikan waktu, ia bisa memilih apakah benda yang disentuhnya akan terkena efek atau tidak. Jika terkena efek, ia bisa menentukan apakah dampaknya langsung terasa saat waktu berhenti atau baru terjadi sekaligus setelah waktu berjalan kembali.
Kali ini, ia memilih opsi kedua.
"Guuuuahhhhhh!!!!??"
Begitu waktu berjalan kembali, semua tendangan yang ia lancarkan langsung meledak dengan efek penuh.
Tulang-tulang hancur, organ-organ dalam pecah.
Para pria-pria itu melesat ke langit-langit seperti roket, menghancurkan panel gypsum dan tertanam dalam ke rangka baja di atas ruangan sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.
"Halo? Ini aku. Misi selesai."
[A-Ah, baik... Kami akan mengurus sisanya. Terima kasih atas kerja kerasmu.]
Namun saat itu juga, salah satu pria yang tertanam di langit-langit, pengguna kemampuan—tersadar.
Dengan tubuh penuh darah, ia jatuh ke lantai dan mengangkat tangannya ke arah Kurono.
Kemampuannya pun diaktifkan.
Medan kekuatan yang ia lepaskan menyelimuti tubuh Kurono.
Beberapa menit kemudian.
Kurono terduduk di belakang gedung, terengah-engah.
Bukan karena terluka atau apa pun.
Hanya saja, Kurono merasa kesal pada dirinya sendiri karena kehilangan fokus saat bertugas.
Gara-gara itu, dia sampai membiarkan serangan balik dari musuh yang bahkan tidak tahu diri.
Memang, sebelum Kurono terkena serangan, dia sempat menghentikan waktu untuk menghindar dan akhirnya menanamkan si musuh dalam-dalam ke lantai seperti fosil.
Tapi tetap saja, harus menghabisi musuh rendahan dua kali itu sungguh sia-sia.
"Haah... Aku menyedihkan sekali."
Keluhan panjang keluar dari bibirnya.
Dan semua ini, gara-gara,
"Uuuhh! K-Kai-kun itu... M-Melihat hal mesum seperti itu...!!"
Serius, kenapa dia harus repot-repot memikirkan hal ini?
"...Tidak boleh begini."
Kurono menempelkan tangan ke dadanya dan menarik napas dalam.
Dia tahu betul siapa dirinya. Agen terkuat, tak terkalahkan.
Karena itu, dia tidak boleh membiarkan celah di hatinya. Meskipun jatuh cinta, dia tetap harus menjaga keteguhan hatinya.
Tapi belakangan ini, bahkan dia pun merasa terlalu sering lengah.
(Aku harus lebih fokus.)
Dengan tekad itu, Kurono menghentikan waktu dan kembali ke sekolah.
4 — Perspektif: Kurono Shia—
Pelajaran kelima adalah Sejarah Dunia.
Suasana di kelas setelah istirahat siang terasa berat dan mengantuk.
"Hei, jangan tidur, ya! Mau festival budaya sebentar lagi, bukan berarti kalian boleh santai di kelas!"
Kurono hanya setengah mendengarkan suara guru sambil melirik sekitar dengan lesu.
Tapi, tidak butuh waktu lama sebelum perhatiannya kembali tertuju pada Kai di sebelahnya.
Dan kali ini, dengan perasaan yang lebih canggung dari biasanya.
(Aku harus berhenti memikirkannya... Bagaimanapun juga, aku sendiri yang mengintip privasinya tanpa izin.)
Menghela nafas, Kurono memutuskan untuk fokus pada pelajaran.
"Ngomong-ngomong soal festival, di peradaban kuno, festival jauh lebih penting daripada sekarang. Contoh terkenal adalah Perang Persia pada zaman kuno. Oke, buka halaman 54 buku teks."
Kurono menunduk, melihat buku yang masih terbuka di mejanya.
"Sebagai rangkuman, Perang Persia zaman kuno terjadi empat kali antara Kekaisaran Persia Achaemenid dan negara-negara bagian Yunani. Perang ini berakhir dengan kemenangan Yunani dan melahirkan sistem demokrasi Athena. Salah satu peristiwa paling terkenal adalah Perang Persia ketiga, pertempuran Thermopylae, yang juga diadaptasi menjadi film."
"Saat itu, kenapa pasukan Sparta hanya berjumlah tiga ratus melawan pasukan Persia yang dua ratus ribu? Karena saat itu, Yunani sedang mengadakan Olimpiade Kuno, cikal bakal Olimpiade modern. Para pria yang seharusnya menjadi tentara malah berpartisipasi dalam festival itu. Jadi, bagi orang Yunani kuno, festival lebih penting daripada perang. Sama seperti kalian yang lebih sibuk dengan festival budaya daripada belajar untuk ujian akhir."
"...Hahaha, aku bercanda, tapi kok rasanya malah menyedihkan, ya?"
Mendengar itu, Kurono berpikir sederhana.
(...Aku bisa menang sendirian, kok.)
Jika dia hidup di zaman itu, sejarah pasti akan berubah.
(Dua ratus ribu pasukan musuh, ya... Hmm, melihat dari medan yang dekat laut, ini agak merepotkan. Tapi kalau aku menghentikan waktu dan membuang mereka satu per satu ke laut, beres. Yah, tidak perlu sampai membantai semuanya, cukup hajar jenderalnya sampai babak belur, pasti selesai.)
Begitu pikirannya melayang, Kurono mulai berkhayal tentang pertempuran itu.
Angin laut bercampur debu menerpa rambut hitamnya yang panjang.
Tidak ada sekutu.
Musuh memenuhi seluruh pandangannya, dari depan hingga ke ujung.
Suara ratusan ribu prajurit menarik busur terdengar seperti gemuruh bumi itu sendiri.
Hujan panah hitam menutupi langit, mengarah hanya pada satu orang, dirinya.
Tapi, dengan senyum percaya diri, mata kanannya bersinar merah, dan waktu pun berhenti.
Kurono berlari.
Melompat di atas panah-panah yang membeku di udara.
Melintasi kepala ribuan tentara.
Lalu, dengan tendangan keras, dia menghantam tahta emas tempat Xerxes duduk di atas gajah Persia.
Setelah berbagai kejadian, Kurono berhasil menyelamatkan Kai yang menjadi tawanan perang.
Mereka kembali ke Sparta dengan sorak-sorai rakyat, hujan kelopak mawar, dan akhirnya...
Mengadakan pernikahan.
(...Aaaahh, rasanya luar biasa. Menyelamatkan Kai-kun yang jadi tawanan perang, lalu mempererat hubungan selama perjalanan pulang, dan akhirnya... ehehehe~)
"Baik, sekarang untuk pertanyaan ini... Kurono?"
"Cih! Dasar pengganggu!"
Kurono sama sekali tidak mendengarkan pelajaran.
Jadi, dia menghentikan waktu, mengintip jawaban di buku guru, lalu mengembalikan waktu seperti semula.
"Ya. Pericles menggunakan uang hasil korupsi untuk membangun Kuil Parthenon."
"Benar! Bagus sekali, kamu benar-benar menyimak, ya?"
Mengabaikan pujian guru, Kurono melirik ke samping.
Di sana, Kai yang asli sedang bersandar dengan tangan di dagu, mencatat di buku catatannya.
Perbedaan antara khayalannya tadi dan kenyataan di hadapannya membuat dada Kurono terasa sesak.
Namun yang lebih penting dari itu...
(A-aku malah melamun lagi...!)
Tapi bagaimana pun juga, dia tidak bisa tidak memikirkan Kai. Dia tahu ini tidak bisa terus begini.
Menyimpan perasaan tanpa solusi hanya akan membuat stres, tidak efisien.
Maka, mungkin dia harus mengakui perasaannya sebelum waktunya berhenti lagi.
(T-Tapi... tetap saja, aku tidak bisa. Malu... dan kalau Kai-kun menolak, aku... takut.)
Tapi dia juga sadar. Jika dia tidak mengambil keputusan, perasaan ini akan terus mengganggunya selamanya.
5 — Perspektif: Kai Rou —
"Maaf sudah menunggu, Nyaan~! Silakan nikmati dengan santai, Nyaan~"
Seperti biasa, keempatnya berkumpul di restoran keluarga setelah jam sekolah.
Secara formal, pertemuan ini bertujuan untuk melaporkan dan berbagi perkembangan, tapi pada dasarnya itu hanya alasan untuk mengobrol. Belakangan ini, hampir setiap hari setelah kegiatan klub, mereka selalu seperti ini.
(Kami sudah jadi pelanggan tetap, ya...)
Bahkan setelah festival budaya berakhir, apakah mereka masih akan berkumpul seperti ini?
Ada kemungkinan besar mereka tidak akan melakukannya lagi.
Perasaan Marusu terhadap Kurono bisa saja mendingin. Semangat Amafuro mungkin akan berkurang. Dan perasaan Kurono terhadap Kai... mungkin juga akan memudar seiring waktu.
Namun, di lubuk hatinya, Kai berharap itu tidak akan terjadi.
Sambil memikirkan hal itu, ia menikmati set menu ayam tandoori dengan saus salsa.
"Shia-chan~~! Tolong aku dong! Aku nyoba tes kepribadian binatang yang lagi viral dan katanya aku ini... Mongolian Death Worm!?"
"Aku tidak terlalu mengerti maksudnya, tapi bukankah itu memang benar?"
"Oke, kalaupun iya... Tapi Death Worm itu apa!? Itu bukan binatang, itu serangga!"
"Serangga termasuk dalam kategori hewan invertebrata."
"Heeh, begitu ya... Eh? Jadi aku ini nggak memenuhi syarat jadi vertebrata?"
Seperti biasa, Amafuro hanya memesan salad dan makanan penutup.
Entah soal vertebrata atau bukan, yang jelas tubuhnya tidak mengandung protein sama sekali.
Kurono sendiri memesan daging doria.
Kai pernah bertanya apakah dia suka doria, dan jawabannya: "Makanan ini praktis dalam satu piring, dan tidak seperti pasta, sausnya tidak mudah terciprat."
"Ngomong-ngomong, minggu depan hari Minggu, kalian semua kosong, nggak?"
Marusu, yang sudah memakan set menu hamburgernya lebih cepat dari siapa pun, mengangkat topik baru.
"Kosong sih, emangnya kenapa?"
Kai ingin bertanya balik, tapi justru Amafuro yang menjawab lebih dulu.
"Ah, hati-hati ya, Shia-chan. Dia ini kalau tahu kamu kosong, langsung ngajak kencan. Jadi meski kosong, bilang aja sibuk, itu jawaban yang benar!"
"Oi, bukan kencan! Ini soal persiapan kafe di festival, oke? Ngomong-ngomong, Kurono-san, ini cuma basa-basi sih, tapi Sabtu kamu kosong nggak?"
"Kosong, tapi aku tidak ingin menghabiskannya denganmu."
"Terima kasih! Aku senang kamu menolak lagi hari ini!"
"...Astaga."
Tapi kembali ke topik utama.
Marusu mengusulkan uji coba menu yang akan mereka sajikan di festival sebelum hari pembukaan resmi.
"Soalnya kalau tidak dicoba dulu, kita tidak akan tahu masalah yang mungkin muncul. Kakak kelas kita dulu juga melakukannya, jadi kita sebaiknya mengikuti contoh mereka."
"Setuju! Kedengarannya seru kalau kita melakukannya bersama!"
"Tempatnya di sekolah ya?"
"Ya. Aku sudah dapat izin untuk pakai ruang masak."
"Wah, kamu ini diam-diam berguna dan itu menyebalkan."
"Ya, ya, terserah. Kai, bagian masaknya aku serahkan padamu."
Di apartemennya, Kai melaporkan rencananya pada Sotomichi.
"Ya, ya, terserah. Aku senang mendengar hubungan sosial onii-sama berjalan lancar."
Sotomichi sama sekali tidak terlihat senang.
Sambil bermain ponsel di sofa, rambutnya yang basah sehabis mandi menempel di tubuhnya yang mungil.
Dia mengenakan camisole tipis dan celana pendek super pendek, pakaian rumah favoritnya.
Meskipun musim panas, makan es krim dalam pakaian seperti itu jelas tidak sehat.
"Hei, kau bakal masuk angin tahu."
"Tidak masalah kok, aku lagi mutar gacha di game."
"...Maksudnya?"
"Baik gacha maupun kesehatan, aku tetap tidak akan mendapatkan hal yang kuinginkan."
Setelah melempar ponselnya ke sofa, dia rebahan dengan malas seperti kucing rumahan yang kehilangan kewaspadaan.
Kai tiba-tiba bertanya.
"Ngomong-ngomong, kau ngapain aja di rumah seharian?"
"Beli pizza beku dan cola di supermarket, lalu main game seharian. Hari yang sangat produktif."
"Aku bisa lihat di wajahmu kalau kau mau bilang itu gaya hidup buruk. Tapi tidak masalah, karena aku ini bagian dari organisasi jahat."
"Jahat dalam artian kriminal, bukan sekadar hidup berantakan."
Kai sudah tidak kaget lagi dengan kebiasaan Sotomichi si NEET, tapi tetap berharap dia bisa membantu pekerjaan rumah.
"Setidaknya kalau di rumah terus, bantuin bersih-bersih atau cuci piring, dong."
"Cara kau ngomong barusan, kayak kita pasangan yang sudah menikah dah."
"Kalau begitu, anggap aja kita cerai. Pokoknya, hari Minggu nanti aku pergi seharian, jadi pastikan kau makan, cuci piring, dan jemur cucian."
"Ya, ya."
"Jangan 'ya, ya' doang."
"Hmph, belakangan onii-sama jadi semakin berani, ya? Haruskah aku mengingatkanmu bahwa kau ini kelinci percobaan organisasi?"
Ancaman yang mengerikan, diucapkan begitu saja dengan santai.
Kalau mereka memang pasangan, ini jelas bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Di antara percakapan mereka, tiba-tiba Sotomichi berkata pelan.
"... Bagaimana sekolahnya, menyenangkan?"
"Hmm? Yah, lumayan menyenangkan, sih."
"Baguslah."
Kai tidak tahu.
Kenapa gadis yang masih seusia SMP ini bekerja untuk organisasi jahat.
Kenapa dia bisa tinggal bersama seorang laki-laki asing selama setahun penuh tanpa ragu sedikit pun.
Di mana orang tuanya? Apa yang mereka lakukan?
Kenapa dia tidak sekolah? Atau... kenapa dia tidak bisa sekolah?
Kai tidak tahu apa-apa.
Dia pernah bertanya, tapi Sotomichi selalu mengelak dengan santai.
Dan setiap kali itu terjadi, senyumnya yang sudah tipis akan terasa semakin dingin.
Itu membuat Kai merasa tidak nyaman.
Jadi, seperti biasa, dia tidak bertanya lebih jauh.
Sebagai gantinya, dia berkata,
"...Kalau mau, datanglah ke festival budaya."
Setelah beberapa saat hening, Sotomichi menjawab dengan ceria.
"Tidak bisa~! Aku ini lemah, kalau datang ke festival, aku bisa mati!"
Namun, seakan itu tidak ada artinya, dia langsung menambahkan penjelasannya.
"Oh iya, onii-sama, tolong ambilkan es krim lagi dari freezer, dong."
"...Ya, ya."
Dan kemudian, tibalah hari Minggu yang dijanjikan.
Keempatnya telah berkumpul di ruang masak di lantai satu gedung utama sekolah, sesuai rencana.
Saat hari festival nanti, ruangan ini akan digunakan sebagai dapur, sedangkan kafe akan beroperasi di ruang kelas kosong di seberangnya, dengan tambahan meja teras di luar.
"Sudah jadi."
"Cepat juga ya?"
"Karena supnya pakai stok siap pakai, tinggal campur air panas. Tinggal rebus mi dan tata topping, ya jelas cepat."
Di meja praktek memasak yang dilengkapi kompor, Kai dengan cekatan menyusun mangkuk ramen satu per satu.
Ada tiga varian klasik yang dia buat: shoyu (kecap), miso, dan chashu (dengan irisan daging babi panggang).
Meskipun sup dan mi menggunakan produk siap jadi, topping-nya dibuat sendiri berdasarkan resep turun-temurun.
Amafuro mengambil sendok sup, menyendok mi dan kuahnya dengan terampil, meniupnya sebentar, lalu mencicipi.
"Umm~! Enak banget! Rou-kun jago masak ya! Ini kayak ramen yang dijual di restoran!"
"Terima kasih. Memang bakal dijual sih, walaupun pakai bahan seadanya."
Kai melirik ke arah Kurono.
"Kalau begitu, aku juga akan mencicipinya."
Kurono menyelipkan rambut ke belakang telinganya, lalu mengambil sumpit dan mencelupkannya ke ramen.
Kai tidak bisa mengalihkan pandangannya dari cara dia makan.
Perasaan tegang samar-samar terasa menekan dadanya.
"Enak."
Begitu suapan pertama masuk, Kurono langsung berkata begitu.
Kai menahan ekspresi bahagia dan lega yang hampir muncul di wajahnya.
"Kai-kun yang membuat menu ini ya?"
"Nggak sih, ada manual resep turun-temurun gitu lah."
Ketika para senior menyerahkan resep manual itu kepadanya, mereka juga bilang, "Kalau mau, kamu boleh bikin menu orisinal sendiri."
Tapi Kai tidak berniat sejauh itu.
Membuat sesuatu yang baru dari nol bukanlah gaya hidupnya.
Mengikuti bentuk yang sudah ada lebih mudah.
Mungkin karena itu pula dia menyukai kyudo (panahan Jepang).
Marusu menyedot ramen chashu miliknya dengan cepat, lalu meletakkan sumpitnya dengan suara keras.
"Rasa itu gak penting. Yang penting itu festival. Dengerin, pelanggan kesini bukan karena makan ramen, mereka kesini karena ingin menikmati suasana!"
Setelah mengucapkan kata-kata yang entah diambil dari mana, Marusu menyilangkan tangannya.
"Yang penting adalah gimana caranya kita dapat untung! Kita nggak bisa jual ramen buatan amatir ini dengan harga setara restoran makanan profesional. Kalau harga per porsi murah, satu-satunya cara adalah dengan meningkatkan perputaran pelanggan!"
Dia lalu menoleh ke Kai.
"Hei Kai, secepat apa kamu bisa bikin ini?"
"Kalau semua bahan udah siap, ramen dan parfait masing-masing lima menit per porsi."
"Bagus. Sekarang, berapa porsi yang bisa kamu buat dalam satu waktu?"
"Mungkin maksimal dua per orang di dapur?"
"Itu terlalu sedikit! Harus bisa tiga... tidak, empat per orang!"
"Eh, itu agak berlebihan... Bentar, Marusu, kamu ini… Kayak kakek tua di Monopoli."
"Jiwa kapitalismenya sangat transparan."
Meskipun mendapat tatapan kosong dari ketiga orang lainnya, Marusu tetap lanjut bicara.
"Hei, coba pikir baik-baik. Bisnis yang paling menguntungkan itu ya, kedai festival budaya! Para siswa yang kerja, jadi gak ada biaya tenaga kerja. Listrik, gas, dan air ditanggung sekolah. Ditambah lagi, ini event, jadi pelanggan sudah dijamin banyak. Kalau bukan sekarang kita cari untung, kapan lagi?"
"Aku sih lebih mementingkan kenangan bareng semua orang daripada uang..."
"Hahaha, hanya omongan pecundang yang mengatakan itu di masyarakat yang kompetitif!"
"Shia-chan, suruh dia diam."
"Baiklah. Diam."
"Maafkan aku! Tapi terima kasih atas tatapan dinginnya!"
Setelah menyelesaikan sesi mencicipi tiga varian ramen, Amafuro tiba-tiba berseru dengan mata berbinar.
"Rou-kun! Udah selesai makan ramen! Itu artinya...?"
Kai menjawab tanpa perlu ditanya.
"Ya, sudah kusiapkan di kulkas."
"Horeee!!"
Dengan sorak kegirangan, Amafuro pergi ke kulkas dan mengambil sesuatu.
"Wah, tampilannya bagus juga."
"Ini..."
Marusu dan Kurono juga tampak kagum.
Itu adalah parfait, menu unggulan selain ramen di kafe panahan mereka.
"Bikin ramen sih wajar, tapi kamu bahkan bisa bikin parfait juga, Kai?"
"Salah satu senior beberapa generasi lalu pernah unggah video tutorial di YouTube."
"Luar biasa."
Kurono bertepuk tangan tanpa ekspresi.
Sementara itu, Amafuro mengeluarkan ponselnya dan mulai memotret parfait tersebut. Tapi alih-alih senang, dia justru mengerutkan alis.
"Hmm... Ada yang kurang, ya?"
"Apa yang kamu lakukan?"
"Ah, Shia-chan, lihat ini. Aku sudah coba foto dari berbagai sudut, tapi kayaknya... gak ada yang menonjol? Kayak kurang 'Instagrammable' gitu."
"Bagiku tidak ada yang masalah."
"Aku juga rasa ini udah cukup, sih. Tampilannya sudah 'The Parfait' banget."
"Aku ngerti sih, tapi... Tapi jujur saja. Kalau biasa saja itu terasa kurang!"
Amafuro mengepalkan kedua tangannya, rambutnya yang dikuncir kembar ikut bergoyang.
"Denger ya! Aku dan Shia-chan bakal jadi 'gadis poster' kafe ini! Kalau makanan yang kami sajikan biasa aja, rasanya kurang spesial, ngerti!?"
"Aku bisa memahami logikanya, tapi... kamu sendiri yang mengatakannya?"
Untuk sekali ini, Marusu memberikan komentar masuk akal.
Kurono dan Kai juga mengangguk setuju.
"Jangan seret aku ke dalam ini. Aku tidak keberatan dengan parfait yang ada sekarang."
"Tapi menurutmu bagaimana, Amafuro? Mau diubah seperti apa?"
"Aku ingin tampilannya lebih spektakuler! Harus yang bisa viral di media sosial, atau malah pasti viral!"
Sambil berkata begitu, Amafuro meletakkan parfait di sebelah wajahnya dan memotretnya lagi.
Lalu, sambil menunjukkan hasil fotonya, dia melanjutkan penjelasannya.
"Lihat ini! Parfaitnya kalah sama aku! Aku menang telak! Artinya, ini kurang wah! Aku butuh parfait yang selevel denganku! Harus ada yang bisa bersanding denganku, membagi kejayaan dunia ini!!"
"...Jadi, sebagai kepala divisi promosi kafe, aku perintahkan! Hari ini kita brainstorm ide untuk parfait baru! Tidak ada yang pulang sebelum dapat konsep yang bagus!"
Amafuro langsung membagikan kertas dan pena kepada semua orang.
"Masing-masing tulis ide ya!"
"Seriusan...?"
Kai menghela napas, merasa seharusnya sudah menduga hal ini.
Marusu ikut menimpali.
"Kenapa tidak diedit aja biar fotonya bagus? Yang penting itu biaya bahan dan efisiensi kerja—"
"Diam kamu! Dasar kapitalis berotot! Akui kekalahanmu di hadapan keimutanku!"
Puk! Puk!
Amafuro meninju perut Marusu.
"Tidak sakit sama sekali. Aku sudah melatih otot perutku."
"...cih."
"Gwaaaahh! Sakit! Hei, menusuk pakai ujung pensil itu curang, tahu!?"
Melihat keduanya mulai bertengkar tanpa henti, Kai memutuskan untuk tidak peduli lagi dan malah menatap lembar kertas kosong di tangannya dengan putus asa.
Dia tidak pandai mencari ide.
Tapi setelah melihat ekspresi serius Amafuro, dia merasa tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Akhirnya, dia membuka ponsel dan mulai mencari inspirasi di internet.
Saat itulah, Kurono yang juga memegang lembar kertas kosong, bertanya dengan wajah bingung.
"Kai-kun, umm... harus bagaimana, ya?"
"Kurono-san juga tidak kepikiran ya?"
"Iya. Kai-kun sendiri, punya ide bagus?"
Secara alami, Kurono menggeser kursinya lebih dekat ke sebelah Kai.
Rambut hitamnya yang lembut sedikit bergoyang, dan dari bawah, mata merahnya yang samar menatapnya.
Jantung Kai hampir melompat keluar, tapi dia menahannya dan menjawab.
"Enggak, aku juga gak ada ide... Mau kita pikirkan berdua?"
"Baik."
Ekspresi Kurono tetap datar seperti biasa, tapi suaranya terdengar lembut.
Akhirnya, mereka mulai berdiskusi berdua, mencari ide untuk parfait yang lebih menarik.
6 — Perspektif: Kurono Shia —
Kurono berjalan di jalan pulang bersama Kai, hanya berdua.
Karena mereka tidak berhasil menemukan solusi, mereka memutuskan untuk bubar lebih dulu.
Rencana untuk memodifikasi parfait menjadi tugas yang harus mereka pikirkan di rumah.
"Aku juga bakal mikirin ini serius, jadi kalian juga harus bawa ide bagus besok, ya!"
Itulah kata-kata terakhir Amafuro sebelum pergi.
"Haah... Harus bagaimana, ya?"
Di sebelahnya, Kai berkata dengan pasrah.
"......Maaf. Aku tidak bisa membantu."
Meski mereka sudah berdiskusi berdua dan mencari inspirasi dari resep di internet, semuanya ditolak.
Kurono memang tidak pernah tertarik pada makanan.
Bagi dirinya, makan hanyalah asupan nutrisi, tidak lebih dari itu.
Bahkan, dia sempat meremehkannya sebagai sesuatu yang tidak penting.
Saat itu, tiba-tiba perut Kai berbunyi.
Kurono menoleh, dan pemuda berambut putih itu memalingkan wajahnya dengan canggung.
"Itu hanya reaksi tubuh. Aku tidak mempermasalahkannya. …Kai-kun, kamu lapar ya?"
"Ah, ya... Hari ini, ramen lebih banyak dimakan Marusu, parfait dihabisin Amafuro... Aku juga terlalu sibuk masak dan dengar pendapat mereka, jadi sebenarnya aku belum makan banyak..."
Sambil menggaruk kepalanya dengan malu, Kai menambahkan,
"Sarapan tadi juga kurang makan banyak, sih."
"Bagaimana denganmu, Kurono-san? Kamu sudah cukup makan?"
"Ya. Aku sudah cukup. Terima kasih atas makanannya."
"Begitu ya..."
"Maaf, aku mau mampir ke minimarket sebentar. Kamu tidak perlu menunggu."
Kai pergi ke minimarket di pinggir jalan.
Kurono tidak tahu harus berkata apa.
"A-aku juga ingin ikut."
Dia mengucapkan itu tanpa pikir panjang..
Setelah selesai berbelanja, mereka kembali berjalan di jalan pulang.
"Maaf, ya. Aku malah menyeretmu ikut."
Sambil menggigit camilan panas, Kai dengan lincah mengupas bungkus onigiri dengan satu tangan.
Kurono hanya bisa menatap wajahnya saat dia makan bergantian seperti itu.
(Dia makan dengan lahap... Apa dia benar-benar lapar? Entah kenapa, ini... lucu.)
"Kurono-san, ini."
Kai mengeluarkan kaleng kopi dari kantong plastik.
"Sebagai ucapan terima kasih. Atau permintaan maaf, atau anggap saja sebagai kompensasi. Tapi karena tadi kamu bilang tidak lapar, jadi aku belikan yang biasa kamu minum di kelas."
"A-ah, terima kasih."
Kurono menerima kaleng kopi itu dengan kedua tangan.
Dia senang karena Kai mengingat kebiasaannya.
"Selamat makan."
Dia membuka kalengnya dan meminumnya sedikit.
Pahit.
Sama seperti biasanya.
Tidak ada yang terlalu istimewa.
Tapi tetap saja...
"…Aneh."
"Hm?"
"Entah kenapa, rasanya lebih enak daripada biasanya."
Makanan di restoran keluarga, ramen yang dibuat Kai hari ini...
Ketika dia makan bersama mereka, ada sesuatu yang terasa lebih memuaskan dari sekadar rasa.
(Kai-kun bilang, rasa itu tidak penting... Mungkin itu memang benar.)
Kurono teringat kata-kata Marusu.
(Yang dimakan orang bukan ramennya, tapi suasananya.)
Mungkin, pada akhirnya, rasa itu sendiri tidak memiliki arti.
Yang memiliki arti adalah waktu yang dihabiskan bersama seseorang.
Saat menyadari itu, Kurono menyadari sesuatu tentang dirinya sendiri.
Di bawah langit sore di hari Minggu, Kai tiba-tiba berkata
"Kurono-san, kamu berubah, ya."
"Eh...?"
"Maksudku, saat pertama kali bertemu, kamu sangat dingin. Aku bahkan nggak kepikiran bisa sesantai ini ngajak kamu minum kopi."
"T-tentang itu... Maaf untuk sikapku waktu itu..."
Kurono langsung teringat bagaimana dirinya saat pertama kali bertemu Kai.
Jika dia bisa menggunakan kemampuannya untuk kembali ke masa lalu, dia ingin menampar dirinya sendiri.
"Kalau tidak salah, waktu itu kamu manggil aku... Paramesium ya?"
"...Tidak. Protozoa."
"Oh iya, benar!"
Kai tiba-tiba tertawa nakal.
"T-tolong lupakan itu! Aku salah, aku yang salah!"
Kurono berkata dengan suara nyaris menghilang.
Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mengakui kesalahannya seperti ini.
Tapi yang lebih mengejutkan...
Bahkan dari sudut pandang orang lain, dia sudah berubah.
(Ini tidak baik...)
Sebagai seorang Agen, ini bukanlah perubahan yang bisa dibanggakan.
Dia tidak seharusnya berubah seperti ini.
Seharusnya, dia menjaga perasaan dan pikirannya tetap terkendali.
Tapi sebelum dia sempat memantapkan hati,
Kai tiba-tiba berkata.
"Tapi... Aku lebih suka Kurono-san yang sekarang."
Kurono berhenti melangkah.
Tidak hanya kakinya.
Jantungnya. Dadanya. Semua yang ada di dalam dirinya terasa berhenti sesaat.
"...A-apa?"
"Ah, m-maksudku... Bukan seperti Marusu yang suka menggoda, ya. Aku hanya merasa lebih nyaman berbicara denganmu sekarang, itu saja—"
Kurono tetap berdiri diam, menatap Kai tanpa berkata apa-apa.
Lalu, dia menyadari sesuatu.
Orang ini... bisa menghentikan waktuku.
Setelah sampai di apartemen dan menutup pintu, Kurono jatuh terduduk di lantai.
Malu.
Takut.
Itulah alasannya selama ini dia selalu menghindari perasaan ini.
Dia tidak berani mengatakannya pada Kai.
Tapi sekarang...
Menahan diri terasa lebih sulit.
Lebih sulit daripada sekadar takut.
"Tidak bisa lagi..."
Maka, Kurono akhirnya memutuskan.
"Aku... akan mengungkapkan perasaanku."
Post a Comment