Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 6
Kencan Pertama yang Tak Terhentikan dan Papa
1 — Perspektif: Kurono Shia —
Hari libur, Minggu.
Saat jarum jam melewati pukul empat sore, Kurono berdiri sendirian di dapur apartemennya.
Di depannya, terdapat papan potong dan pisau baru.
Di sampingnya, berjejer bahan-bahan yang baru ia beli dari supermarket.
Bawang bombai, wortel, kentang, daging babi... dan bumbu kare instan.
"Baik... Mari kita mulai."
Ini adalah pertama kalinya dalam hidup Kurono memasak.
"Potongannya sebesar satu suapan... Satu suapan? Tapi setiap orang kan ukuran suapannya beda-beda? Seharusnya ini ditulis dalam satuan sentimeter. Benar-benar instruksi yang tidak ramah pengguna."
Sambil menggerutu pada resep dari situs resmi perusahaan makanan, ia mulai memotong sayuran dengan gerakan kaku.
Sudah seminggu sejak hari uji coba menu di sekolah.
Hari itu, Kurono akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya kepada Kai.
Namun, itu bukan sesuatu yang bisa ia lakukan begitu saja.
(Langsung menyatakan cinta itu... terlalu mendadak. Aku harus lebih dekat dengannya dulu.)
Jadi, Kurono memutuskan untuk mengambil langkah-langkah kecil lebih dulu.
Dia memasukkan sayuran dan daging ke dalam panci, lalu menyalakan api dengan hati-hati.
(Aku membaca di internet bahwa para tetangga sering berbagi makanan... terutama kare.)
Dengan ini, ia punya alasan untuk menemui Kai di luar sekolah.
Kalau Kai senang, mungkin perasaannya juga bisa tumbuh sedikit demi sedikit.
Sebagai langkah awal menuju pengakuan cinta, ini pilihan yang ideal.
Dan satu jam kemudian...
Kare-nya selesai.
Dia tidak menambahkan bahan lain di luar resep, tidak mengubah takaran, tidak mengutak-atik cara memasak.
Internet bilang, [Mengubah resep tanpa pengalaman adalah bencana.]
Kurono mencicipinya sesendok.
"...Hmm. Aku tidak yakin, tapi sepertinya aman. Bahannya matang, setidaknya."
Sekarang, tinggal membawanya ke apartemen sebelah.
Mudah.
Sangat mudah.
"A-aku kebanyakan masak, jadi kalau mau... tidak, bukan begitu. Harus lebih alami... Uh, uuhm... B-bagaimana cara mengatakannya secara natural ya...!?"
Tapi nyatanya, ini bukan hal yang mudah sama sekali.
Bahkan, ini adalah rintangan terbesar.
(Apa Kai suka kare? Bagaimana kalau dia sudah makan? Bagaimana kalau poni rambutku hari ini terlihat aneh!?)
Kurono berjalan mondar-mandir di lorong apartemen selama satu jam, menahan panci di udara dengan kekuatannya.
(Kenapa internet tidak memberikan jawaban untuk situasi seperti ini!?)
Karena jawaban itu hanya bisa ditemukan dalam dirinya sendiri. Tapi Kurono bahkan tidak menyadari hal itu.
(Apa aku harus menyerah untuk hari ini dan mencoba lagi besok...?)
Saat kehabisan tenaga untuk berpikir, dia hampir menyerah.
Namun—
(Tidak, aku tidak boleh mundur. Aku adalah agen yang tak terkalahkan!)
Dia mengubah pola pikirnya.
Jika ini misinya, maka sebagai agen S-rank dari Divisi Rahasia Kepolisian Internasional, Chronosia, mundur hanya karena takut bukanlah pilihan.
(... Baiklah, aku akan melakukannya!)
Dengan tekad membara, Kurono membiarkan waktu berjalan kembali dan menekan bel pintu dengan tangan gemetar.
Tak lama kemudian—
Klik.
Terdengar suara kunci pintu terbuka.
"Ya~? Ada siapa?"
Di depan pintu, berdiri seorang gadis asing.
Dia memiliki rambut pendek berwarna pirang dengan sedikit campuran putih.
Ia mengenakan camisole tipis, dan celana pendek yang sangat pendek hingga paha putihnya terekspos.
Sepasang mata hitam besar menatap Kurono dengan rasa ingin tahu.
Kurono langsung menghentikan waktu.
Lalu, dia berteriak dalam pikirannya.
"Kyaaaaaa!! Si-siapa gadis ini!? Ke-kenapa dia ada di kamar Kau-kun dengan pakaian seperti itu!?"
"...Jangan-jangan..."
Dengan ekspresi datar, dia melanjutkan kalimatnya setelah waktu kembali berjalan.
"Umm... Kamu ini... adiknya Kai, ya?"
"Ya, benar. Tapi karena satu dan lain hal, nama belakang kami berbeda. Namaku Sotomichi Koa, 14 tahun."
Syukurlah.
Kurono merasa lega sampai ke dalam hatinya.
"Aku Kurono, teman sekelas dan tetangga Kai-kun. Umm... Aku kebanyakan masak, jadi..."
"Oh, ya, maaf. Onii-sama sedang keluar. Tapi kalau mau, masuk saja?"
(Dia memanggil Kai 'Onii-sama'...?!)
"A-ah, terima kasih. Permisi..."
Dan begitu saja, Kurono malah masuk ke kamar Kai.
Dia menaruh pancinya di atas kompor.
(Kamar Kai-kun... Aku tidak menyangka bisa masuk ke sini secepat ini!)
Dia duduk bersila di atas bantal yang disediakan, punggungnya tegak.
Namun, dia merasa gelisah. Meski denah kamarnya sama seperti apartemennya, atmosfernya terasa berbeda.
Dia tidak bisa berhenti melirik seragam pria yang tergantung di gantungan, atau cangkir di atas meja.
"Silahkan~. Minumnya cola, ya?"
"Ah... Jangan repot-repot."
Namun, saat Kurono baru saja menyentuh bibirnya ke gelas cola yang diberikan...
"Ngomong-ngomong, Kurono Shia-san... Kau suka Onii-sama, kan?"
"Prfff—!!!???"
Seandainya dia tidak sempat menghentikan waktu, minuman itu pasti sudah menyembur keluar.
Di udara yang membeku, dia dengan tenang mengambil tisu, mengelap tumpahan, lalu membuangnya ke tempat sampah di kamarnya sendiri.
Waktu kembali berjalan—
"Umm... Tapi, kenapa kau bisa tahu?"
"Karena zaman sekarang, alasan ‘kebanyakan masak kare jadi bagi-bagi’ itu terlalu mencurigakan. Kalau ada sisa kare, tinggal simpan di kulkas, kan? Kalau sampai masih berlebih, kau pakai panci ukuran industri atau apa? Dari sini saja sudah jelas kau sengaja membuat lebih. Singkatnya, ini cuma alasan murahan untuk bertemu Onii-sama, kan?"
(A-apa yang harus aku lakukan...? Adik Kai... adalah seorang detektif jenius!)
Gadis yang mengaku bernama Koa itu duduk di kursi, tersenyum, dan menatap Kurono dari atas.
"Jadi, bagaimana?"
"U-uhm..."
Kurono merasa seperti sedang diinterogasi.
Biasanya, dialah yang berada di posisi menginterogasi, bahkan menekan orang lain hingga mengaku.
Tapi sekarang, dia sama sekali tidak bisa berkutik.
(J-jadi begini rasanya saat jatuh cinta... Tapi tetap saja, bagaimana aku harus menjawabnya!?)
Haruskah dia mengaku saja?
Memang, itu memalukan.
Tapi setidaknya, Kai tidak ada di sini.
Namun, jika dia mengatakannya pada adik Kai, ada kemungkinan informasi ini akan sampai ke telinga Kai juga.
Dan yang lebih penting. Kurono ingin agar perasaan ini disampaikan langsung kepada Kai, bukan melalui orang lain.
Maka, jawaban yang paling tepat adalah...
"Maaf, tapi... aku tidak ingin mengatakannya."
"Oh? Begitu ya."
Tiba-tiba, Koa menatapnya dan berkata,
"Ngomong-ngomong, pita di rambutmu lepas, lho."
"Eh!?"
Kurono langsung panik dan meraba-raba kepalanya.
Namun, setelah mengecek, tidak ada yang aneh.
Saat dia menatap Koa, gadis itu tersenyum nakal.
"Bohong~."
"......Koa-san, kau sedang menggodaku, bukan?"
"Tentu saja."
Karena,
"Onii-sama sering membicarakanmu, jadi aku jadi sedikit cemburu."
(...Eh?)
(Kai-kun... membicarakanku?)
Saat itu juga, terdengar suara di pintu depan.
2 — Perspektif: Kai Rou —
"Aku pulang."
Begitu masuk ke apartemen setelah kembali dari minimarket, Kai langsung melihat sepasang sepatu yang tidak asing.
Atau lebih tepatnya—
Dia mengenal sepatu itu.
Tidak mungkin… Dengan firasat buruk, dia menuju ruang tamu.
Dan di sana—
"A-ah, Kai-kun... Umm, maaf sudah masuk tanpa izin."
"Oh... Hai. ...Tunggu, kenapa kamu ada di sini?"
Kurono duduk di atas bantal, bersila dengan punggung tegak.
Sementara itu, Sotomichi berputar-putar di kursinya sambil berkata,
"Katanya sih, bagi-bagi kare."
"......Bagi-bagi kare?"
Kai tidak percaya.
Di zaman sekarang, masih ada orang yang menggunakan alasan seperti itu?
(Yah... Ini Kurono, sih...)
Kalau itu dia, mungkin saja terjadi. Dan nyatanya, memang sedang terjadi sekarang.
Jantungnya berdegup lebih kencang.
Dia memastikan tidak ada benda aneh di rumahnya.
Satu-satunya hal yang bisa membuat situasi menjadi buruk adalah kalau identitas asli Koa terbongkar.
Tapi dalam hal ini, dia hanya bisa percaya pada Koa untuk menutupinya.
"Uh, terima kasih, Kurono-san. Kebetulan aku belum makan malam, jadi itu sangat membantu."
"Sama-sama. Aku senang mendengarnya."
Namun, setelah itu percakapan terhenti.
Suasana menjadi hening.
Di kursinya, Koa mulai tampak bosan.
Sementara itu, Kurono tetap diam dengan kepala tertunduk, tidak beranjak pergi.
(Apa aku hanya membayangkan, atau... dia sedang menunggu sesuatu?)
Kai berpikir sejenak, lalu dengan nada sewajar mungkin, dia bertanya.
"Kurono-san, kamu sudah makan malam?"
"Ah, belum."
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan bersama bertiga?"
Saat mengatakannya, tenggorokannya terasa kering.
Kai memanaskan kembali kare di atas kompor, lalu membagi tiga porsi di atas piring.
Nasi sudah tersedia di dalam kulkas, jadi tinggal dihangatkan.
Mereka bertiga pun duduk mengelilingi meja kecil di ruang tamu.
"Selamat makan."
Kai tidak terlalu berharap banyak terhadap rasa masakannya.
Tapi, ternyata—
"Kurono-san, ini enak, lho!"
"Benarkah? Syukurlah kalau kamu suka."
Namun, Sotomichi mengernyit dahinya dan berkata,
"Hmm... Rasanya hambar. Jenis sayurannya kurang, waktu memasaknya juga terlalu singkat, jadi kurang kaya rasa. Kau pakai bumbu kare instan, kan? Bumbu rempahnya kurang kuat. Dan juga, jangan masukkan kentang. Aku benci kentang karena terlalu lama tetap panas."
"A-ah, maaf, Koa-san. Akan aku usahakan lebih baik di lain waktu."
Kai melotot ke arah Koa dan berkata dengan nada kesal.
"Hei, jangan bicara seperti itu. Kurono-san sudah repot-repot memasak untuk kita."
"Tapi, Onii-sama? Kalau aku yang masak, pasti lebih enak dari ini."
"Omong kosong. Kare buatanmu itu menjijikkan."
"Apa!?"
—Bam!
"Auw! Hei! Jangan menendang punggungku saat aku makan!"
Tiba-tiba, Kai merasa ada yang memperhatikannya.
Saat dia menoleh, Kurono menatapnya diam-diam.
"...A-ah, maaf. Aku hanya... senang melihat kalian berdua, jadi tanpa sadar aku terus menatap."
"Eh?"
"Maaf, ekspresiku tidak banyak berubah, jadi terlihat aneh, ya?"
"Tidak, tidak sama sekali."
"Benarkah?"
"Ya. Jadi jangan dipikirkan ya."
Setelah selesai makan, Kai menuangkan air minum ke dalam tiga gelas.
(Tapi tetap saja, ini mengejutkan.)
Sebelumnya, Kurono tidak pernah datang ke apartemennya.
Memang, dia pernah melakukan pendekatan yang lebih ekstrim saat Kai sedang dalam efek penghentian waktu.
Tapi kali ini, dia datang dengan keinginannya sendiri.
Kai tidak pernah membayangkan bahwa Kurono akan datang ke apartemennya seperti ini, begitu saja, tanpa basa-basi.
"Ngomong-ngomong, Kai-kun."
Kurono memanggilnya. Saat itu, Kai sedang minum air dari gelasnya.
"Aku tadi mendengar dari Koa-san..."
"Hm?"
"Katanya, kamu sering membicarakanku."
Kai tersedak.
Dia langsung menoleh tajam ke arah Sotomichi, tapi gadis itu pura-pura tidak tahu apa-apa dan memalingkan wajahnya.
(Dasar bocah sialan...! Kau sendiri yang sering bertanya karena mau melapor ke organisasi, kan!?)
"...T-tidak! Maksudku, bukan dalam arti negatif atau aneh!"
"Malah, Onii-sama bilang begini— 'Kurono-san itu, meski baru mulai panahan sejak SMA, sudah lebih jago dariku. Keren banget deh'."
"Juga 'Ditambah dia cantik dan punya dada gede, wah ini sih mantap, guhehe—'."
"AKU NGGAK PERNAH NGOMONG KAYAK GITU, DASAR BOCAH SIALAN! DIAM KAU!!"
Kai mencubit dahi Sotomichi, membuat gadis itu berpura-pura menangis.
Sungguh menyebalkan deh.
"Be-benarkah begitu...? Umm... Entah kenapa, aku jadi malu."
Kurono sedikit menundukkan wajahnya, rona merah samar terlihat di pipinya.
Melihat itu, Kai tiba-tiba merasa jantungnya berdebar lebih cepat.
Sampai akhirnya, suara kecil dari Sotomichi menyadarkannya.
"(Onii-sama, maaf mengganggu, tapi kupikir kau harus menjauhi wanita ini.)"
"Aku nggak ngelamun, oke!?"
"?"
"Ah, maaf, bukan apa-apa."
Kai berusaha mengalihkan pembicaraan dengan melambaikan tangan.
Tapi Sotomichi masih berbisik di telinganya.
"(Pikirkan baik-baik. Di zaman sekarang ini, siapa yang masih berbagi kare ke tetangga? Perilakunya jelas-jelas di luar batas. Dia bukan wanita biasa. Dia tipe yang pasti akan mengekangmu kalau kalian pacaran.)"
"(Kurasa tidak sampai seperti itu... mungkin.)"
"(Aku yakin dia memang seperti itu. Instingku tidak pernah salah.)"
Lalu, suara Sotomichi menjadi lebih serius.
"(Dan... Dengan posisimu sekarang, kau benar-benar mau berkencan? Apa kau sudah melupakan rasa bersalahmu?)"
"......"
Kai terdiam.
Dia sangat sadar.
Hubungan mereka hanya bisa dipertahankan dengan menjaga jarak yang ambigu.
Tapi, bukankah itu pengecut?
Saat itu, smartphone Kai dan Kurono bergetar bersamaan.
Pesan dari Marusu di grup chat.
[@Kai @Kurono-san Tolong mulai pesan bahan makanan untuk hari H.]
"Ah, benar juga. Aku hampir lupa."
Kai berkata pelan.
Salah satu tanggung jawab mereka untuk festival budaya adalah memesan bahan makanan di supermarket langganan sekolah.
Festival akan diadakan dalam tiga minggu.
Jadi, mereka harus pergi akhir pekan depan.
"Kai-kun."
"Hm?"
Saat mengangkat wajah dari layar ponselnya, ia mendapati Kurono menatapnya dengan ekspresi serius.
Seakan dia akan pergi berperang.
"Kalau kamu tidak keberatan... mau pergi bersama?"
"...Ke supermarket, maksudnya?"
"Ya."
"Berdua?"
"Y-ya."
Tunggu…Bukankah ini…!
(...Kencan, kan!?)
Begitu menyadari hal itu, rasa bersalah yang tadi sempat mereda kembali muncul.
Namun, saat ia melihat mata merah samar Kurono yang menatapnya dengan sedikit keraguan...
Pada akhirnya, Kai mengangguk.
Di sebelah mereka, Sotomichi hanya bisa menghela napas panjang.
3 — Perspektif: Kurono Shia —
Setelah kembali ke kamarnya, Kurono memasukkan panci kosong ke dalam wastafel berisi air, lalu bergumam pelan.
"…Aku harus mandi."
Dia melepas pita rambutnya, melepas seragamnya, lalu masuk ke kamar mandi.
Air hangat mengalir membasahi wajahnya, mengalir turun ke dadanya, lalu jatuh ke lantai.
Tapi, detak jantungnya masih terus berdebar kencang.
Semua ini tidak terduga. Dia tidak menyangka dirinya sendiri bisa mengajak Kai pergi bersama seperti tadi.
Setelah keluar dari kamar mandi, Kurono mengeringkan rambut panjangnya dengan hairdryer sambil terus berpikir.
Pada akhirnya, ini hanya perjalanan untuk memesan bahan makanan. Jadi, secara teknis, ini bukan kencan.
"T-tapi tetap saja, keluar berdua seperti ini... Aku jadi semakin sadar akan situasinya."
Apakah Kai-kun juga memikirkan hal yang sama?
Jika iya…
(M-mungkin... ini kesempatan bagus untuk menembaknya.)
Dan saat rambutnya sudah benar-benar kering, tiba-tiba Kurono menyadari sesuatu.
"…Tunggu. Aku harus pakai baju apa?"
Sejak dulu, Kurono hanya hidup dengan dua pilihan pakaian: seragam sekolah dan pakaian rumah yang juga merangkap sebagai pakaian dalam.
Selama ini, itu sudah cukup. Dia tidak pernah peduli soal fashion. Jadi, tentu saja dia tidak memiliki pakaian kasual untuk pergi keluar.
"Tidak ada pilihan lain. Aku harus membeli yang baru."
Untungnya, gaji yang diberikan oleh organisasi setiap bulan lebih dari cukup.
Selama ini, dia tidak pernah menghambur-hamburkan uang, jadi tidak ada masalah untuk belanja sekarang.
Kurono langsung membuka smartphone dan mulai mencari informasi.
Namun—
"…Tidak ada yang terasa cocok."
Tentu saja, Kurono tidak punya selera fashion. Jadi, dia bahkan tidak tahu pakaian seperti apa yang cocok untuknya.
Dia berpikir lama, lalu akhirnya menemukan solusi.
Minta saran.
Tapi kepada siapa?
Amafuro? Tidak mungkin.
"Dia pasti akan menggodaku habis-habisan."
Namun, selain Amafuro, Kurono tidak mengenal gadis lain yang bisa dia ajak bicara.
Setelah berpikir lebih jauh, Kurono akhirnya mengambil keputusan terakhir.
Suatu Tempat di Tokyo
Lantai 13, Basement Gedung Kantor. Pukul 12 malam.
Di depan sebuah meja kerja di dalam kantor bawah tanah, seorang wanita bersetelan jas merilekskan tubuhnya.
Ini adalah kantor cabang rahasia Kepolisian Internasional, tempat di mana Chronosia biasa menerima perintah.
Dan wanita ini adalah operator yang bertanggung jawab atasnya. Shiotan Remi. Saat ini, dia sedang menjalani shift malam.
"Haah... Waktunya istirahat sebentar."
Dari kulkas kecil, Shiotan mengeluarkan Puding yang dibelinya di minimarket, lalu bersenandung dengan riang.
"Hum-hum~♪ Memang, menikmati makanan pencuci mulut saat jam kerja itu luar biasa. Bisa dibilang, aku hidup demi ini."
Pun pun.
"Hyaaah!?"
Tepat sebelum dia menancapkan sendok ke dalam karamel yang menggoda, Shiotan tiba-tiba merasakan tepukan di bahunya dari belakang.
Sontak, dia menjerit pendek dan jatuh dari kursi bersama puding yang dipegangnya.
Mengira ada penyusup ilegal, dia segera meraih pistol dan alarm darurat di balik meja dan kembali dikejutkan.
"Eh, Agen... Chronosia...!?"
"Maaf mengganggu saat bertugas."
Di hadapannya berdiri seorang agen peringkat S dari organisasi tempatnya bekerja, gadis yang selalu ia hubungi lewat komunikasi jarak jauh.
Kurono Shia alias Chronosia berdiri di sana dengan seragam sekolahnya.
"J-Jangan menakut-nakutiku seperti itu... Ahh, padahal aku sudah menantikan puding tengah malamku..."
"Lihat mejamu."
"Eh? Hah? Pudingnya tidak jatuh...?"
"Sebelum itu puding itu terjatuh, aku menghentikan waktu. Ngomong-ngomong, sebelum kamu beristirahat, bisakah kamu mendengarkan keperluanku?"
"A-Aku mengerti. Tapi, ehm, kalau kamu menghubungiku, aku pasti langsung menanggapi, jadi tak perlu repot-repot datang langsung—"
"Aku tidak ingin meninggalkan rekaman percakapan, jadi aku datang langsung."
Gawat, ini situasi yang tidak bisa ditolak, pikir Shiotan secara naluriah.
Gadis ini adalah agen dengan kemampuan penghenti waktu terkuat dan tak terkalahkan milik organisasi kepolisian internasional.
Dia menjalankan misi-misinya dengan ketelitian layaknya mesin. Organisasi kriminal yang telah ia hancurkan jumlahnya jauh lebih banyak dari sepuluh atau dua puluh, dan mungkin dia bahkan bisa membongkar pasukan militer hanya dengan tangan kosong.
Keringat dingin mengalir di punggung Shiotan. Bagi dirinya, Kurono adalah makhluk mengerikan seperti itu, bahkan lebih menakutkan dibanding atasannya sendiri.
Setelah hening beberapa saat, Kurono berbicara.
"Aku ingin mendiskusikan sebuah misi rahasia."
"Rahasia...? Umm, kalau itu adalah misi dengan tingkat kerahasiaan tinggi, aku tidak punya wewenang untuk menanganinya..."
Saat Shiotan mencoba mengklarifikasi, Kurono langsung memotong tanpa memberinya ruang untuk menolak.
"Ini adalah misi rahasia pribadiku."
"H-hah?"
"Aku akan pergi keluar bersama teman akhir pekan ini... Tolong bantu aku memilih perlengkapan yang paling cocok."
Sesaat, Shiotan kebingungan memahami maksud ucapannya. Setelah beberapa saat, dia akhirnya bertanya.
"Dengan kata lain, kamu ingin aku memilihkan pakaian kasual untuk pergi bersama teman?"
"...Iya."
"Ehm, untuk memastikan saja... Chronosia, teman yang kamu maksud itu laki-laki, kan?"
"........Mempertimbangkan berbagai risiko, aku sama sekali tidak bisa memberikan jawaban."
Pasti laki-laki, pikir Shiotan.
Dia selalu mengira agen ini adalah sosok dingin yang hanya fokus pada misi, tetapi—
(Astaga... Tapi, kalau dia bisa khawatir soal hal seperti ini, ternyata dia juga bisa menjadi seperti gadis biasa, ya.)
Pandangan Shiotan terhadap Kurono sedikit berubah.
"Baiklah. Kalau begitu, bisa berdiri sebentar?"
Shiotan, yang kini terbebas dari ketegangannya, duduk kembali di kursi lalu mengangkat ponselnya.
Dia mulai memotret Kurono, lalu menggunakan aplikasi untuk mencoba berbagai gaya pakaian dengan menambahkan bingkai digital.
Kurono, dengan ekspresi tanpa emosi seperti biasa, menatap layar dan berkata,
"Ada aplikasi praktis seperti ini rupanya ya."
"Nanti aku ajarkan. Mulai sekarang, kamu bisa mencoba sendiri."
"Baik. Terima kasih."
(Ngomong-ngomong, dia punya tampang yang bagus juga. Kalau diperhatikan lagi, dia ini cantik banget. Aahh... hasrat mendandaniku makin tak tertahankan!)
Beberapa menit kemudian, Shiotan mengirimkan data ke ponsel Kurono.
"Aku sudah membuat beberapa contoh referensi dan mengirimkannya. Cukup cari pakaian serupa di toko pakaian biasa."
"Baik. Umm... terima kasih atas bantuannya."
(Hmph, semoga kencannya berjalan lancar~. Mungkin minggu depan aku akan menanyakan siapa orangnya.)
Saat Kurono membungkuk sedikit untuk berterima kasih, Shiotan menatapnya dengan senyum penuh rasa kepedulian.
Namun, pada saat itu juga—
Suhu ruangan secara fisik turun satu derajat.
Hawa dingin yang begitu menusuk membuat punggung Shiotan langsung membeku.
"Terima kasih banyak atas bantuanmu. Tapi, ada satu hal terakhir yang ingin aku tegaskan."
Saat dia mengangkat wajah, ekspresi Kurono begitu dingin, sedingin es yang bisa membekukan beruang kutub sampai mati.
"Tolong, jangan sampai ada orang lain yang tahu tentang ini."
"Eh? U-umm, kalau-kalau aku tidak sengaja membocorkannya...?"
"Perkataan itu... maksudnya kamu sudah tidak ingin melihat hari esok lagi?"
"T-tidak! Aku akan merahasiakannya sampai mati!"
Shiotan merespons seperti robot.
Kurono mengangguk puas.
"Kalau begitu, ini saja. Sebagai ungkapan terima kasih, bukan, maksudku, sebagai kompensasi, aku meninggalkannya di atas meja."
Detik berikutnya, Kurono sudah menghilang, mungkin setelah menghentikan waktu.
Bersamaan dengan itu, tumpukan besar puding muncul di atas meja, dan karena jumlahnya terlalu banyak, sebagian roboh dan menimpa Shiotan, menjatuhkannya lagi dari kursinya.
Duduk di tengah lautan puding, dia membuka salah satunya, lalu langsung menenggaknya dari wadah.
Setelah menelan suapan pertama, dia berteriak,
"....~~~~!! Memang dia itu menyeramkan sekali!!"
4 — Perspektif: Kai Rou —
Sabtu pagi, satu jam sebelum janji temu.
Kai mondar-mandir gelisah di dalam kamar sambil sesekali melirik jam.
"Onii-sama, berisik."
"Aku bahkan nggak ngomong apa-apa."
"Gerak-gerikmu berisik. Astaga, cuma kencan aja, kenapa sih heboh begitu?"
Sotomichi, yang sedang tiduran di sofa, tetap mengenakan pakaian rumah yang terlalu terbuka seperti biasa.
"Itu... ini bukan kencan. Aku cuma pergi buat pesan bahan makanan untuk kafe."
"Ngeles banget dah. Kalau udah kepikiran aja, itu namanya kencan."
Nada suaranya terdengar malas seakan nggak peduli, tapi Kai merasa ada nada mengejek di dalamnya.
Lima menit berlalu dalam keheningan, sampai akhirnya Kai bertanya dengan suara ragu.
"Hei, Koa..."
"Apa?"
"...Pakaian yang kupakai ini aneh nggak sih?"
Polo shirt putih dengan celana chino warna krem. Menurutnya, ini terlihat rapi dan bersih.
"Yah, kelihatannya aman-aman aja sih, nggak aneh-aneh. Lagipula, Kurono Shia suka sama kamu. Selama kamu nggak coba gaya aneh-aneh, nggak bakal dapat nilai minus."
Kurono suka padanya.
Kalimat itu membuat jantung Kai berdebar.
Bersamaan dengan itu, dia juga menyadari bahwa mungkin dia memang ingin mendengar hal itu dari seseorang. Perasaan itu membuatnya sedikit nggak nyaman.
"Ngomong-ngomong, Onii-sama. Pagi ini, kamu pakai lotion dan parfumnya pakai punyaku tanpa izin, kan?"
"Ugh... maaf."
Dia pikir kalau cuma sedikit, nggak bakal ketahuan. Ternyata dia salah.
Saat meminta maaf dengan canggung, Sotomichi mendengus kecil.
"Aku bisa tahu dari baunya. Jadi, Onii-sama yang sekarang kulitnya kinclong dengan aroma citrus mint, oleh-olehnya nanti aku mau puding baru yang dirilis di minimarket.
...Ya sudah, yang penting santai aja. Tapi hati-hati, jangan sampai keceplosan soal operasi atau organisasi, ya?"
Tanpa disadari, waktu sudah mendekati lima menit sebelum janji temu.
"Selamat jalan. Jangan pulang terlalu malam, ya."
Diantar dengan suara itu, Kai membuka pintu depan.
"──Selamat pagi, Kai-kun."
Dan di sana, berdirilah Kurono.
Bahunya yang mungil dan lekuk tubuhnya yang feminin tampak jelas dalam blouse putih tanpa lengan yang ia kenakan.
Rok hitamnya, yang sewarna dengan rambutnya, dipadu dengan sabuk ramping yang memperjelas bentuk pinggangnya.
Di bawah pita yang diikat dengan gaya sedikit lebih rumit dari biasanya, tatapannya tampak ragu-ragu.
Dia sangat memikat.
Begitu memikat hingga membuat semua kata-kata yang Kai tahu lenyap dari kepalanya.
Singkatnya, dia luar biasa imut.
"Ada yang aneh, ya?"
"Eh? Ah, nggak, bukan gitu... Cuma kaget aja. Ini pertama kalinya aku lihat Kurono-san pakai baju biasa. Kukira bakal tetap pakai seragam."
"Terima kasih. ...jadi kamu pikir aku nggak peduli sama fashion gitu, ya?"
Kata-kata itu terlanjur keluar, dan sekarang sudah terlambat untuk ditarik kembali.
Akhirnya, Kai hanya bisa menambalnya dengan permintaan maaf.
"Maaf."
"Nggak masalah kok. Memang benar aku nggak terlalu peduli soal itu."
"...Kalau gitu, ayo pergi."
"Ya. Umm, Kai-kun..."
Kurono memanggilnya, lalu menundukkan kepala sedikit.
"Terima kasih untuk hari ini."
Saat dia mengangkat wajahnya, ekspresinya tetap datar seperti biasa. Namun, entah kenapa, dia terlihat lebih lembut. Seolah sedikit bersemangat.
Tempat pemesanan bahan makanan untuk festival budaya setiap tahunnya selalu sama, sebuah supermarket grosir di pusat kota.
Karena itu, Kai harus berjalan di dalam toko yang dipenuhi lagu pop ceria dan pengumuman diskon, ditemani Kurono yang tampil rapi.
Tentu saja, atmosfer romantis sama sekali nggak ada.
"Kai-kun. Jadi, sekarang kita harus bagaimana?"
"Hmm. Oh, ya, daftar bahan buat festival sudah disiapkan oleh Marusu, jadi kita tinggal pesankan ke pegawai tokonya aja."
Tak lama kemudian—
"Terima kasih telah menunggu. Ini struk salinannya untuk pelanggan."
Kai menerima kertas berisi rincian pesanan dari pegawai toko.
Pada hari festival nanti, semua bahan ini akan dijemput dengan mobil guru pembimbing dan dibawa ke sekolah.
Dia melirik jam tangannya. Pukul 11:15.
Dengan ini, semua tugas mereka untuk hari ini sudah selesai tanpa hambatan.
(...Kenapa aku malah merasa sedikit kecewa?)
"Jadi, Kurono-san. Ayo pulang."
"......Ya."
Tapi dalam jawaban Kurono, ada jeda kecil.
Seolah-olah dia merasa enggan untuk menyudahi semuanya begitu saja.
Mereka berjalan keluar dari toko, kembali ke jalanan yang masih disinari matahari siang.
Saat itu, waktu terasa berhenti.
"Tidak mau."
Suara kecil itu seakan jatuh di dunia
yang tiba-tiba membeku.
"Sudah susah payah aku memberanikan diri... Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu. Aku ingin pergi ke lebih banyak tempat. Dan, lebih dari itu—"
"Aku ingin kamu melihatku lebih lagi."
Kurono berbalik menghadap Kai.
"Kai-kun, kamu nggak merasa begitu juga...?"
Dan waktu pun kembali berjalan.
"Kalau begitu, ayo pulang."
Suara Kurono terdengar sangat tenang. Seolah dia telah meninggalkan semua hal yang tidak perlu di dalam waktu yang terhenti.
Rambut hitam dan pita yang bergerak perlahan di sebelahnya, lalu melangkah ke depan, berayun dengan nuansa yang entah kenapa terasa menyedihkan.
Kai secara refleks menggenggam tangannya.
"…Eh?"
"…M-maaf. Tapi, itu…"
Pergelangan tangan Kurono yang putih terasa agak dingin dan lembut. Saat dia menoleh, matanya membelalak karena terkejut.
Kai berusaha keras mencari alasan untuk tindakannya.
"A-anu, sebentar lagi waktunya makan siang."
Jam menunjukkan pukul 11:30. Detak jantungnya berdegup kencang.
"Mumpung sudah di sini, bagaimana kalau kita makan siang dulu sebelum pulang?"
Kurono terdiam selama beberapa detik.
Lalu, seolah waktu mulai bergerak kembali, dia menjawab dengan suara lembut.
"…Ya. Dengan senang hati."
5 — Perspektif: Kai Rou —
Dan begitulah, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Kai dengan serius mencari tempat makan siang.
Namun, karena ini adalah hari libur dan daerah ini dekat dengan stasiun, semua restoran dipenuhi antrian panjang.
"Kurono-san, eh, kamu ingin makan apa?"
"Tidak ada yang khusus sih… tapi kalau aku bilang 'apa saja boleh', pasti akan membuatmu bingung, ya? Baiklah, aku akan mempertimbangkannya sebagai prioritas utama dan segera memutuskan."
"Eh, tidak perlu sepenuh hati begitu juga…"
Saat itu, Kai melihat sebuah restoran gyudon (nasi daging sapi) yang kosong.
(Tapi… masak iya makan di sini?)
Kalau berjalan sedikit lebih jauh, mungkin ada restoran lain yang lebih nyaman dan tidak terlalu ramai. Meski restoran gyudon ini terkenal enak dan murah, hari ini dia tidak ingin berkompromi dengan tempat seperti itu.
Saat dia berniat melewatinya…
"Ah, Kai-kun, restoran ini kosong, lho."
"Eh?"
Kurono menarik tangannya, membawanya masuk sebelum dia sempat menolak.
"Ini pertama kalinya aku ke tempat seperti ini. Sepertinya berbeda dari restoran keluarga biasa… Kai-kun, kamu tidak suka restoran seperti ini?"
"Ah, tidak, bukan begitu… bukan berarti aku tidak suka."
Tanpa prasangka apa pun, Kurono berkata dengan polosnya. Kai tak bisa membalasnya. Tentu saja, ini bukan tempat yang cocok untuk kencan, tapi dia tak bisa mengatakannya.
(Bukan, ini bukan kencan. Kami hanya makan bersama sekalian aku memesannya makan siang… Ya, ini bukan kencan.)
Jika dia tidak meyakinkan dirinya seperti itu, jarak yang terasa dekat ini mungkin akan membuatnya gugup.
Mereka duduk berhadapan di meja kecil, mengambil air minum dari dispenser, lalu melihat menu makanan untuk memesan makanan.
"Aku pesan gyudon porsi besar. Kai-kun mau pesan apa?"
"Ah, hmm… sebentar."
Setelah menambahkan pesanan Kurono, Kai secara acak melihat menu promosi.
Ternyata sedang ada "Mega Makan Besar" yang menawarkan berbagai menu spesial.
"Gila… Gyudon dengan daging babi, kroket, kari, hamburger keju, dan roast beef? Ini apaan, sih?"
"Sepertinya menu ini tidak dibuat dengan pemikiran yang matang, ya."
Kurono berkomentar dengan jujur, membuat Kai tertawa kecil. Tiba-tiba, Kurono menepuk tangannya, seolah mendapat ide.
"Ah… Kai-kun, aku baru saja memikirkan sesuatu."
Kai menatapnya dengan bingung. Kurono mendekat, lalu berbisik di telinganya.
Aroma lembutnya terasa begitu dekat, dan nafasnya yang menyentuh telinga membuat wajah Kai memanas.
"Jadi, kalau begitu… bisik-bisik, begitulah."
"…Ah, begitu, ya. Hmm, menurutku itu ide bagus juga."
"Benarkah? Senang sekali mendengarnya."
Sambil mendengarkan suara lembutnya yang disertai degupan jantungnya sendiri, Kai akhirnya memutuskan untuk memesan porsi standar.
Setelah membayar di kasir restoran gyudon, Kai mengajak Kurono untuk berjalan-jalan sebentar.
Dia tidak tahu kenapa, tapi kata "pulang" tidak keluar dari mulutnya.
Kurono bergumam pelan.
"Ini pertama kalinya aku berjalan-jalan seperti ini di tengah kota."
(Apa yang harus aku lakukan…? Haruskah aku mengajaknya masuk ke suatu tempat?)
Kai memang tidak berpengalaman dalam hubungan romansa, tapi dia tahu kalau membuat seorang gadis terus berjalan tanpa tujuan bukanlah hal yang baik. Namun, dia juga tidak tahu tempat mana yang mungkin menarik perhatian Kurono.
Sambil terus berjalan berdua, tiba-tiba Kurono menunjuk ke sebuah sudut jalan.
"Ah, Kai-kun! Itu tempat apa, ya?"
Di sana ada sebuah bangunan tua dengan dinding putih kusam, hampir seperti gedung pachinko yang sudah tutup.
Melihat papan nama dengan lampu mati, Kai akhirnya menyadari.
"Game center…? Wah, ternyata masih ada yang bertahan, ya."
Sudah berapa lama sejak terakhir kali dia mengunjungi tempat seperti itu? Setelah memiliki smartphone dan bisa bermain di mana saja, dia hampir melupakannya.
Setelah menjelaskan sekilas tentang game center, dia bertanya.
"Kurono-san, kamu tertarik gak?"
"Ya. Ah… tidak, maksudku, kita bisa pergi ke tempat yang Kai-kun suka dulu."
(Rasanya seperti anak kecil yang berusaha menjaga perasaan orang dewasa… jadi agak canggung, ya.)
Karena itu, dia memutuskan untuk mampir ke game center yang seperti peninggalan zaman dulu.
Dan dalam sekejap, dia langsung menyesali keputusannya.
"Uwah…"
Di dalam ruangan yang agak gelap itu, ada beberapa pemuda dan gadis dengan penampilan setengah liar berkumpul.
Walaupun ini hari libur, tempatnya tidak terlalu ramai. Rupanya, game center ini lebih seperti tempat nongkrong anak-anak nakal di daerah ini.
"Kai-kun, Kai-kun! Itu mesin apa? Seperti alat olahraga, ya?"
"Eh, itu adalah mesin yang menampilkan skor setelah kita memukulnya... atau lebih tepatnya, bukan itu yang penting! Kurono-san, maaf, tapi tempat game center ini agak..."
Sudah terlambat untuk mengatakan bahwa tempat ini terlalu berbahaya.
"Hei, kamu di sana. Mau main bareng kami?"
"Di sana ada game seru, ayo coba!"
Dua pria dengan gaya mencolok, satu berambut pirang dengan anting, satu lagi berambut cokelat dengan tindik di hidung, menghalangi jalan Kurono dan mulai menggoda dengan paksa.
Saat berpikir bahwa situasinya berbahaya, Kai sudah bergerak.
Bukan Kurono yang ia khawatirkan, melainkan nyawa mereka.
"Hentukan itu, dia bersamaku."
"Hah?"
Tatapan tajam mereka beralih ke Kai. Rambut putihnya yang tidak diinginkan mungkin bisa memberi kesan menyeramkan, tapi sepertinya tidak berpengaruh.
"Hah? Jadi kamu pacarnya?"
"Eh, bukan, maksudku..."
Kai sedikit mundur, dan si pria pirang menertawakannya.
"Kalau begitu, gimana kalau kita bikin taruhan?"
Dia memasukkan koin ke dalam mesin tinju yang tadi ditunjuk Kurono dan memukulnya. Fanfare berbunyi, menampilkan skor 120 poin.
"Si rambut putih dan kami akan bertanding tinju! Siapa yang lebih kuat, dialah yang bisa membawa dia pulang!"
"Eh, tunggu, itu terlalu..."
"Hah? Jangan mundur setelah membuat orang semangat! Gak bisa dimaafin. Kalau kamu pacarnya, tanggung jawab dong. Tunjukkan di wajahmu siapa yang harus bertanggung jawab atas kepalan tanganku ini!"
"Hei, Tomoki, jangan keterlaluan. Kamu ini kan temannya keponakan juara dunia tinju kelas berat yang pernah sekolah di SD yang sama..."
Suara koin dimasukkan terdengar.
Tanpa disadari, Kurono sudah berdiri di depan mesin tinju dengan kepalan tangan siap.
Saat kedua pria itu berbalik, suara pukulan dahsyat menggema, disertai gelombang kejut.
Fanfare berbunyi di seluruh ruangan. Skor 9999 poin.
"Siapa yang ingin mencoba berikutnya?"
"... Kami benar-benar minta maaf!"
Keduanya kabur secepat mungkin.
"Kai-kun, kamu baik-baik saja?"
"Ya, aku nggak kenapa-kenapa. Itu... terima kasih ya."
"Tapi, lain kali jangan bertindak seperti tadi. Serahkan saja padaku sejak awal. Itu berbahaya."
"Maaf..."
"Tapi aku senang kamu mencoba melindungiku. Kai-kun, kamu lucu."
(Lucu...?)
Sekali saja, meskipun itu bohong, aku ingin dibilang keren.
Saat akhirnya pulang, langit sudah gelap.
Setelah naik kereta, keluar dari stasiun, dan berjalan ke apartemen.
Setelah insiden tadi, mereka mampir ke berbagai tempat, termasuk game center. Kurono tampak belum pernah mengunjungi tempat-tempat itu sebelumnya. Meski wajahnya tetap tanpa ekspresi, ia bereaksi dengan penuh rasa ingin tahu, seperti anak kucing yang penasaran.
Sebenarnya, meskipun Kurono terlihat tanpa ekspresi, ia cukup ekspresif. Saat berada di dekatnya, suasana hatinya terasa jelas.
(Lagipula, saat waktu berhenti, dia bisa tersenyum...)
Wajah yang hanya ia sendiri yang tahu.
Hari ini saja, ia sudah beberapa kali melihatnya, dan itu akan ia simpan dalam hati.
"...Sudah sampai ya."
"...Iya."
Mereka turun dari lift dan berdiri di depan kamar masing-masing.
Cahaya sore matahari yang terbenam menciptakan bayangan gelap di lantai beton lorong. Di tengah permainan cahaya dan bayangan itu, gadis berambut hitam menoleh ke arah pemuda itu.
"Kai-kun, terima kasih untuk hari ini. Aku lumayan bersenang-senang."
Kai hendak mengatakan sesuatu, mungkin hanya basa-basi biasa.
Tapi sebelum itu, waktu berhenti.
"Aku menyukaimu. Seharusnya aku mengatakan itu dalam pengakuan... Tapi aku masih belum punya keberanian."
Kurono, yang hendak melangkah pergi, berhenti tepat di sebelah Kai.
Bahunya bersentuhan dengannya, dan ia bersandar pelan pada tubuh pemuda itu.
Lalu, dengan senyum lebih merah dari langit sore, ia mengangkat ponselnya dan berbisik.
"Jadi, setidaknya, biarkan ini menjadi kenangan."
Suara foto kamera terdengar.
Foto itu adalah foto mereka berdua.
Kai ingin mengatakan "Jangan lakukan itu."
Kalau begitu, bukankah mereka benar-benar seperti sepasang kekasih?
Namun, ia tak bisa mengeluarkan suara.
"Kalau begitu, aku masuk dulu... Selamat malam, Kai-kun. Sampai jumpa besok."
"...Sampai besok juga."
Di dunia yang kembali berjalan, Kurono menghilang di balik pintu apartemennya.
Beberapa detik berlalu, dan Kai tetap diam di tempat.
Ia merasa, jika bergerak sekarang, semuanya akan meledak.
Karena detak jantungnya masih berdebar kencang.
6 — Perspektif: Kai Rou —
"Doon!"
Begitu pintu depan dibuka dan Kai melepas sepatunya, ia langsung disambut dengan tendangan dropkick dari Sotomichi.
"Guh!?"
Kai langsung terlipat ke depan sebelum akhirnya jatuh telentang di lantai.
Saat ia hendak bangkit, sebuah tubuh lembut dengan cepat menungganginya.
"Selamat datang, Onii-sama... Kau tidak lupa dengan oleh-oleh puding, kan?"
Entah hanya perasaannya saja atau bukan, tetapi suara dan ekspresi itu seakan menunjukkan bahwa ia benar-benar menantikan kepulangannya.
Alih-alih mengeluh, Kai hanya menjawab,
"…Aku pulang. Iya, aku sudah membelikannya kok."
Beberapa saat kemudian, saat Kai berdiri di dapur, Sotomichi yang tengah memegang puding sebagai makanan penutup sebelum makan bertanya.
"Bagaimana kencannya?"
"…Itu bukan kencan."
"Iya, iya, terserah deh. Jadi, kau pergi ke mana?"
"Tempat makan, ke game center, dan ke beberapa tempat lainnya."
"Mengajak seseorang ke restoran gyudon murah di kencan pertama… Aku benar-benar berpikir, 'Orang ini bodoh, ya?'"
"Diam. Kalau kau sudah melihatnya, jangan tanya lagi."
"Hei, Onii-sama."
Nada suara yang berubah menusuk punggung Kai.
"Kau boleh saja mengungkapkan perasaanmu pada gadis itu. Aku tidak keberatan."
Tangan Kai yang sedang menyiapkan makan malam langsung terhenti.
"Selama kau bisa menyingkirkan rasa bersalahmu."
"……"
"Dari sudut pandang organisasi, selama data tetap bisa dikumpulkan seperti sekarang, itu sudah cukup. Bahkan, semakin dekat hubungan kalian, semakin banyak informasi yang bisa diperoleh. Jadi, jika kalian benar-benar menjalin hubungan, kami justru akan menyambutnya."
Jadi…
"Selama kau tetap merahasiakan identitasmu, aku tidak akan menghentikanmu untuk berpacaran dengannya."
"Begitu, ya."
Berpura-pura tidak mendengarnya, Kai membuka kulkas. Ia masih belum bisa memutuskan menu makan malam.
Karena itu, ia bertanya pada Sotomichi.
"Mau makan apa hari ini?"
"Aku ingin kari."
"Baru saja kita makan itu, kan? Yang dibuat oleh Kurono."
"Aku ingin makan kari buatan Onii-sama."
Suara itu terdengar berbeda dari permintaan bercandanya seperti biasa.
"…Baiklah."
Kai memanaskan sayuran yang sudah dipotong dalam microwave, lalu memasaknya bersama daging babi yang sudah ditumis.
"Onii-sama, aku suka kari."
"Aku tahu."
Kai sudah menduganya. Kari adalah makanan pertama yang pernah dibuatnya.
Tapi ia tidak tahu alasannya.
Lalu, dari ruang tamu, Sotomichi berkata,
"Ibu sering membuatkannya untukku."
Mendengar itu, Kai merasa sedikit sesak. Kenapa tiba-tiba membicarakan hal itu?
"Pada hari aku diculik oleh organisasi gelap, ibu juga waktu itu membuat kari untukku."
Sotomichi melanjutkan ceritanya. Ia bercerita bahwa saat masih kecil, ia diculik dan dijual ke organisasi. Di sana, ia dipaksa mengalami dan melakukan berbagai hal. Namun, ada satu hal yang tidak bisa ia lupakan.
"Karena itu, kari adalah rasa dari keluarga bagiku."
Kai tidak tahu harus merespons seperti apa. Jadi, ia hanya diam dan menyajikan kari yang sudah selesai di atas meja.
"Onii-sama."
"…Apa?"
"Jangan pakai kentang."
7 — Perspektif: Kurono Shia —
Saat jam istirahat di kelas…
"Bagaimana menurutmu?"
"Eh!? Ini keren banget!"
Amafuro berseru kagum sambil melihat kertas yang diberikan Kurono. Itu adalah rancangan inovasi parfait kafe yang ia pikirkan saat sedang… kencan dengan Kai.
"Wah, luar biasa! Shia-chan, bagaimana kamu bisa terpikirkan ini?"
"Umm, saat makan siang di restoran gyudon…"
"K-Kurono-san? Kamu pergi ke tempat sesederhana itu!?"
Marusu tampak terkejut, sementara Kai yang duduk di sebelahnya menggerutu.
"Apa yang salah dengan tempat murah?"
"Kenapa kamu malah kesal, Kai?"
Lalu…
"Baiklah, kita pakai ide ini! Aku akan mencoba membuat prototipenya di rumah malam ini! Nanti akan kupotret dan kukirim ke kalian semua!"
"Tete, kamu yang akan membuatnya?"
"Iya. Soalnya, kalau kita buat uji coba lagi, itu akan merepotkan, kan!. Lagipula, dua minggu sebelum acara utama, kita sudah tidak bisa memesan dapur sekolah, kan?"
"Benar. Semua slot sudah dipesan oleh kelompok lain."
Marusu mengangguk.
"Selain itu, ini kan keinginanku sendiri. Jadi, aku harus bertanggung jawab sampai tahap produksi."
"Aku terkejut. Kamu sadar kalau ini keinginan pribadimu?"
Amafuro menendang Marusu. Melihat itu, Kai berkata:
"Kamu berhasil ya, Kurono-san."
"Ya. Aku berhasil."
Setelah sekolah dan kegiatan klub selesai, Kurono berpisah dengan Kai dan kembali ke kamarnya.
Ia menutup pintu rumah dengan satu tangan dan menghela napas.
Selama ini, ia hanya hidup sebagai senjata terkuat dan tak terkalahkan. Bermain dengan teman, jatuh cinta, hal-hal seperti itu tidak ada dalam hidupnya.
Menghentikan waktu dan mengalahkan musuh. Itu sudah cukup, seharusnya hanya itu yang penting.
Tapi, entah kenapa akhir-akhir ini…Rasanya menyenangkan.
Bekerja sama dengan empat orang itu untuk menciptakan sesuatu.
Menghabiskan waktu bersama Kai, pergi ke berbagai tempat, dan mengobrol tanpa tujuan.
Kurono tidak bisa menyangkal perasaannya. Ia berubah. Ia tahu ini bukan perubahan yang seharusnya ia banggakan, tetapi…
"…Setidaknya, sampai lulus."
Ia ingin tetap seperti ini.
Namun, tepat saat ia berbisik seperti itu…
Sebuah bayangan hitam muncul di depannya. Refleks, Kurono hendak menghentikan waktu.
"Terlambat."
Namun, sebelum ia sempat melakukannya, sebuah tinju berhasil menembus pertahanannya dan menghantam perutnya.
Serangan itu begitu kuat hingga ia sulit bernafas, cukup untuk mengganggu kemampuannya menghentikan waktu.
Namun, ia tetap membalas.
Kakinya melesat seperti tebasan pedang, tetapi lawan berhasil menangkisnya dengan tangan kiri.
Jika itu orang biasa, lengannya pasti sudah hancur. Namun, lawannya hanya terdorong beberapa langkah ke belakang.
Jarak kini aman. Kurono kembali mencoba menghentikan waktu, tapi…
"Jangan buang-buang tenaga. Kau tahu kekuatanmu tak berpengaruh padaku."
Lampu lorong menyala, memancarkan cahaya oren.
Di ba
wah cahaya itu, berdiri seorang pria paruh baya dengan rambut hitam sedikit beruban yang disisir ke belakang.
Tingginya menjulang, dan meskipun mengenakan jas gelap, otot-ototnya terlihat tajam.
Ia menatap Kurono dengan ekspresi dingin, tanpa sedikit pun kehangatan.
Pria itu bernama Kurono Toriga.
Kepala Divisi Rahasia Interpol.
"Sudah lama. Kau benar-benar mengecewakan, Shia."
"…Papa."
Pria itu bukan hanya atasannya, tetapi juga ayahnya.
Post a Comment