Penerjemah: Ariel Yurisaki
Proffreader: Ariel Yurisaki
Chapter 09:
Natal Pertama
“Waah! Waa~~~!!”
“Hoeeehh~~~”
Sorak kegirangan yang polos dan teriakan takjub bercampur menjadi satu.
Yang bersuara adalah Myuu yang sedang digendong di pundak Hajime, dan Shea yang berdiri di sebelahnya.
Meski tak bersuara, mata Yue, Tio, Kaori, Shizuku, Remia, dan Aiko juga bersinar seperti anak kecil.
Hanya Liliana saja yang...
Entah kenapa? Matanya tak terlihat seperti mata anak kecil yang berbinar, melainkan lebih menyerupai mata binatang buas yang sedang mengincar mangsa... tapi, abaikan saja itu untuk sekarang.
Biasanya, Yue dan yang lainnya akan menarik perhatian banyak orang saat berada di tengah kota, tapi di tempat ini, hal itu tak berlaku.
Tentu saja, kecantikan Yue dan yang lainnya serta kelucuan Myuu yang tertawa riang tetap mencuri perhatian, namun orang-orang hanya tersenyum hangat atau tersenyum simpati sambil berlalu begitu saja.
Dan itu memang wajar.
Karena ini adalah sebuah taman hiburan terkenal—tempat yang memberikan waktu penuh mimpi dan dunia fantasi, terlepas dari kenyataan, walau hanya sesaat.
Ada yang memakai bando karakter, ada yang menghias wajah dengan cat dan stiker, bahkan ada rombongan yang berkostum lengkap. Maskot pun ada di mana-mana. Maka dari itu, melihat sekelompok orang dengan wajah rupawan pun sudah menjadi pemandangan biasa.
Sorak-sorai, jeritan penuh antusias, efek suara dan musik yang bergema dari berbagai penjuru.
Dan tentu saja, deretan atraksi yang siap menyambut mereka.
Mereka datang ke sini untuk membuat kenangan indah bersama keluarga, teman, atau kekasih.
Apalagi, hari ini adalah hari Natal. Semua orang sedang menikmati waktu mereka masing-masing dengan sepenuh hati.
“Fufu, Yue sampai celingak-celinguk begitu~. Seperti anak kecil saja”
“……Mampuslah Kau, Bakaori.”
Diejek oleh Kaori, Yue pun pipinya memerah, mungkin karena sadar dirinya memang seperti itu.
Melihat interaksi mereka, Hajime tersenyum dengan mata, lalu tiba-tiba teringat sesuatu dan mengulurkan tangan ke arah Shea.
“Shea.”
“Ya? Eh, w-waaah, kamu ngapain sih!?”
Shea buru-buru memegang kepalanya saat Hajime melepas ear cuff—artefak penyamar—dari telinganya.
Tentu saja, telinga kelinci super-lembutnya langsung terlihat jelas.
“Di tempat seperti ini, Kau tidak perlu menyembunyikannya... Justru, pamerlah dengan bangga.”
Dengan senyum puas, Hajime menunjuk ke arah telinga lembut Shea seolah berkata “Lihat betapa bangganya kami.”
Shea sempat melongo, tapi hanya sebentar.
Wajahnya langsung berbinar dan dia membusungkan dada. Telinga kelincinya juga berdiri tegak—ting!.
“Hmm, memang tempat ini terasa seperti dunia lain, ya. Nah, Remia, kau juga.”
“Aku ingat, sepertinya ada atraksi bertema putri duyung di sini, kan?”
Saat Tio perlahan melepas anting penyamar dari telinga Remia, Shizuku pun menunjuk ke telinganya sendiri sambil tersenyum kepada Myuu.
Mungkin karena geli, atau malu, Remia sedikit mengangkat bahunya sambil tersenyum malu-malu.
Sementara itu, Myuu melepas anting penyamarnya sendiri.
Seketika, rambut pirang zamrud milik ibu dan anak itu berubah menjadi hijau zamrud. Telinga mereka pun berubah menyerupai sirip.
Wujud mereka sebagai putri duyung dari dunia lain pun tampak dengan jelas.
Khusus hari ini, Myuu mengenakan topi dan jaket berbulu merah-putih yang lembut, rok mini, legging putih hangat, serta sepatu boot pendek berbulu seperti kapas salju.
Ya—dia adalah Santa kecil. Atau lebih tepatnya, Santa Mermaid.
Terlalu imut. I-M-U-T banget.
Tanpa berkata apa-apa, Hajime menurunkan Myuu dari pundaknya.
Dengan kepala sedikit miring dan berkata, “Myu?”, Myuu menatapnya bingung. Tapi saat itu juga, dengan kelincahan setara koboi yang mencabut pistolnya, Hajime mengeluarkan ponsel dan klik—mengambil foto.
Lalu, seolah tak terjadi apa-apa, dia kembali mengangkat Myuu ke pundaknya.
Gerakannya begitu alami dan cepat, sampai-sampai hanya Yue dan yang lainnya yang bisa menyadarinya.
“Tuanku... kalau begitu, apa aku juga sebaiknya mengeluarkan sayap—“
“Jangan. Itu Merusak pemandangan.”
“!?!? Kejam! Tapi itu adalah penolakan pertama hari ini, indah!”
Tio yang ikut terbawa suasana mencoba mengusulkan dengan semangat, tapi langsung ditolak mentah-mentah oleh Hajime, secepat dia mengambil foto barusan.
Kaori yang dengan bersemangat hendak masuk ke mode Apostle-nya dan ingin pamer sebagai Malaikat, tiba-tiba mendadak diam. Yue-sama sedang senyam-senyum geli sambil iseng menyodok-nyodok pinggang Kaori dengan ujung jarinya.
Sebagai catatan, saat Hajime bilang “Merusak Pemandangan”, maksudnya bukan karena ukuran dan bentuk sayapnya, melainkan karena akan merusak pakaian.
Toh, Tio juga sedang mengenakan mantel rajut modis, dan tentu tidak mungkin membiarkan sayapnya menembus pakaian seperti itu. (Gaya modisnya akan sia-sia, benar-benar merusak pemandangan)
“Ah, kalau mau, pakai ini saja?”
Aiko menawarkan sesuatu dari dalam tasnya—telinga hewan tempelan. Mungkin kupu-kupu? Bahkan ada yang modelnya antena.
“Silakan pilih yang kalian suka, ya!”
“Hm? Aiko, kamu dapat dari mana itu?”
“Tadi tidak sengaja terbeli ketika sedang melihat-lihat di dekat pintu masuk!”
Dengan senyum lebar, Aiko mengenakan telinga beruang—sepertinya—dan berpose sambil berkata, “Gaoo~!”
Sepertinya yang paling antusias dan gembira dari semuanya adalah Aiko sendiri.
Anak-anak yang lewat tertawa geli, dan Hajime serta yang lainnya menatapnya dengan pandangan hangat... sedikit canggung. Bahkan Myuu menatapnya dengan senyum lembut, seolah ingin berkata, “Ayo semangat, Aiko-oneechan.”
Wajah Aiko memerah dan ia pelan-pelan melepas telinga beruangnya.
“……Maaf, aku jadi terlalu bersemangat. Karena, terakhir kali Aku ke taman hiburan itu study tour saat masih sekolah... waktu itu hubungan dengan teman sekelas juga sedang agak renggang... dan setelah jadi guru, jarang sekali ada kesempatan datang ke tempat seperti gini… sekolah Kita juga tidak ada program ke taman hiburan untuk study tour…”
“Sudah, sudah… Aku mengerti, jadi sudah cukup. Hari ini, Kita akan bersenang-senang sepuasnya, oke?”
“……Ehehe~”
Ternyata Aiko memang sangat suka taman hiburan. Saat ia mengenakan kembali telinga beruang dengan malu-malu, dipadukan dengan wajahnya yang imut, dia benar-benar tampak seperti anak kecil. Pemandangan itu membuat Hajime dan yang lain merasa hangat di hati.
“Lalu, Kita akan mulai dari mana?”
Yue dan yang lainnya langsung membuka brosur taman hiburan dan mulai menunjuk-nunjuk. Tampaknya mereka semua sudah melakukan riset sebelumnya tentang atraksi yang ingin mereka kunjungi. Kegembiraan mereka pun tidak jauh berbeda satu sama lain.
Tapi… tetap saja, ada satu orang dengan arah semangat yang… berbeda.
“Ya! Ya! Menurutku, kita harus mulai dari area oleh-oleh dulu!”
Suaranya keras. Gesturnya berlebihan. Matanya bahkan tampak agak melotot. Ya, itu Liliana.
“Eh? Bukannya oleh-oleh itu biasanya di akhir, ya?”
“Aku nggak beli kok, jadi tidak masalah!”
“Lho? Kalau tidak membeli, terus mau ngapain!?”
“Eh? Jelas dong—untuk riset pasar, lah!”
“Terima kasih ya, sudah bawa kata-kata super realistis ke dunia penuh mimpi dan fantasi ini!”
Yue dan yang lain miringkan kepala, bingung. Tapi Liliana, seolah menunggu momen itu, langsung menyuarakan pendapatnya dengan penuh semangat.
“Ini sungguh tidak bisa dipercaya! Hanya dalam hitungan hari, seluruh pemahamanku tentang dunia benar-benar hancur lebur! Dunia ini bagaikan tambang emas! Skala ekonominya jelas-jelas di luar nalar, dan—ah, betapa menakjubkannya budaya yang begitu beragam ini! Untuk hiburan semata saja, mereka bisa membangun begitu banyak fasilitas seperti ini!”
“Berapa banyak orang yang datang ke sini setiap tahunnya? Seberapa besar keuntungan tahunan yang bisa didapat? Aku bisa melihatnya! Ya, aku bisa melihatnya dengan jelas! Jika bahkan hanya sebagian kecil dari budaya dunia ini bisa kubawa ke dunia kami… dan menjadikannya milik negara… keuntungan serta kemajuan macam apa yang bisa kami raih!”
“Kuahaha! Kaisar yang sekarang memang mencoba mencuri keuntungan sambil memanfaatkan kekacauan pasca perang! Tapi—waktunya bersenang-senang sudah hampir habis! Negara kita akan menguasai segalanya lewat kekuatan ekonomi dan budaya! Dan setelah itu—”
“Kuahahaha! Dasar Kaisar Sialan, berani-beraninya mencoba mencuri keuntungan sambil memanfaatkan kekacauan pasca perang!! Tapi, masa kejayaanmu akan segera berakhir! Negara kami akan menguasai segalanya melalui kekuatan ekonomi dan budaya! Dan setelah itu—”
“Aiko.”
“Ya! — Requiem!! Soul Repose!”
Saat itu juga, ketika Lilliana mulai tertawa terbahak-bahak layaknya raja iblis dari suatu tempat dengan kedua tangan terbuka lebar, Aiko langsung menyalurkan sihir kuno, Soul Magic, (guna memberinya ketenangan batin) yang membuat tubuh Lilliana sedikit bersinar.
Hari ini cuacanya cerah. Sinar matahari mungkin bisa menutupi cahaya itu, tapi tidak bisa menyembunyikan wajah datar sang putri yang mendadak jadi sangat serius. Ia benar-benar seperti orang dengan kondisi emosional tidak stabil. Menakutkan.
Anak-anak yang lewat menunjuk dan berkata, “Mama, Papa, orang itu—”, lalu orang tuanya buru-buru memeluk mereka sambil berkata, “Ssst, jangan lihat!” dan “Tolong panggil stafnya!” sambil membawa anak-anak mereka menjauh.
“Maafkan saya, saya sedikit terbawa suasana.”
“Itu bukan level ‘sedikit’, kan? Kau benar-benar terlihat kehilangan akal sehat barusan.”
“…Putri yang terlalu... Menghayati menjadi seorang putri.”
“Ka-kalau dipikir-pikir, dia memang selalu siap tempur, kan? Bahkan dalam urusan pemerintahan…”
Mendengar komentar Shizuku yang mencoba menutupinya, Lilliana hanya mengangguk diam-diam. Kaori dan Remia sampai meneteskan air mata kecil karena terharu.
“Lily… setelah kami pergi, kamu pasti sangat bersusah payah dalam memulihkan kerajaan dan mengurus diplomasi, ya…”
“Ya ampun, astaga… sungguh menyedihkan. Padahal dia masih pertengahan remaja…”
“Myuu tahu! Orang seperti itu disebut ‘shachiku’*!”
(* ‘shachiku’ = budak korporat)
“Goshujin-sama… tidakkah bisa dibuat agar kita bisa bertemu lebih sering dengannya?”
“…Sekarang aku sedang meneliti cara mengubah listrik menjadi sihir… Akan kupercepat project nya.”
Mereka sudah menduga kalau dia bekerja keras, tapi tampaknya itu masih terlalu remeh. Wajah itu… bukan wajah yang pantas dimiliki gadis beruShea lima belas tahun. Itu wajah veteran budak kerja.
Bahkan sekarang, saat keluarganya sedang membicarakan dirinya dengan kekhawatiran, dan dia terlihat seolah sedang larut dalam suasana yang khidmat… namun pandangannya terus mengikuti pergerakan para pengunjung.
Tidak bisa dibiarkan. Putri ini… harus segera diselamatkan...
Hajime dan yang lainnya saling berpandangan. Hati mereka telah bulat. Mereka mengangguk dengan penuh tekad.
“Baiklah! Kita mulai dari mana?!”
Dengan semangat yang lebih tinggi dari sebelumnya, Hajime berseru, dan Yue serta yang lainnya pun menjawab dengan semangat yang tak kalah tinggi, “Yang ituuu!”
Untuk menyelamatkan seorang gadis yang telah melupakan bagaimana caranya menikmati hiburan sebagaimana mestinya, dan untuk mengembalikan hati yang terlupakan itu…
Wahai taman hiburan! Wahai hari suci! Berikanlah kami kekuatan!
◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇
“Bermain dengan memberi hak hidup dan mati pada orang lain itu jelas-jelas salah…”
Satu jam kemudian, terlihat Lilliana tergeletak lemas di bangku taman. Kepalanya terbaring di atas lutut kanan Hajime. Dan di lutut kirinya—
“Hajime-san, maafkan saya…”
—ada Remia. Berbeda dengan Lilliana yang tampak sedikit uring-uringan, Remia terlihat sangat malu. Bukan hanya karena sedang dipangku di tempat umum, tapi terutama karena kepalanya sedang dibelai dengan lembut.
“Bukan, ini salah kami. Meskipun tujuannya untuk mengembalikan kewarasan Lily, kami terlalu fokus pada wahana ekstrem.”
“Um… Hajime-san? Dari awal aku tidak pernah kehilangan kewarasanku, lho?”
“Toko suvenir yang kita singgahi barusan, gimana menurutmu?”
“Harga-harganya sangat tinggi! Tapi mungkin karena biaya sewa tempat juga sudah termasuk—”
“Masih belum waras, rupanya…”
“Ara, Anda benar. Haha…”
Remia tak bisa menahan tawa. Sebenarnya, keduanya sudah diberi sihir penyembuh, jadi bukan berarti mereka benar-benar merasa buruk. Tapi, mereka ingin beristirahat sejenak, jadi selagi Myu dan yang lain menikmati wahana, mereka memilih untuk menunggu sambil mengamati.
Bantal paha itu, sebenarnya hanya karena Lilliana ingin dimanja. Katanya, dia melihat sepasang kekasih yang melakukan hal serupa di tengah jalan dan merasa iri. Lalu, karena Remia terus melirik ke arahnya, Hajime pun sedikit memaksakan diri untuk menariknya ke pangkuannya. Melihat ekspresi mereka, tampaknya dia tidak salah mengambil inisiatif.
“Meski begitu, kalau tinggi badan naik dua puluh sentimeter, kesan yang ditampilkan memang cukup berubah, ya…”
Sepertinya wahana barusan sudah selesai.
Itu adalah tipe wahana bajak laut yang berputar satu kali penuh. Para penumpangnya keluar dalam keadaan sedikit sempoyongan atau mual.
Di antara mereka, terlihat Myuu melompat-lompat dengan senyum lebar. Dikelilingi oleh Yue dan yang lainnya, dia tampak sangat senang. Justru karena itu, satu hal menjadi sangat jelas—tinggi kepalanya sekarang berbeda dari biasanya.
Beberapa wahana memang memiliki batasan tinggi badan. Terutama wahana ekstrem. Karena akan menyedihkan jika Myuu satu-satunya yang tidak bisa naik, sebelum berangkat dari rumah, mereka menggunakan sihir transformasi untuk sementara menambah tinggi badannya.
“Myuu jadi agak mirip Onee-chan, ya~” katanya sambil senang bukan main, sangat menggemaskan. Meski begitu, Hajime tak merasa kesan dasarnya banyak berubah…
Namun, ketika melihat dari kejauhan seperti ini, meskipun hanya semu, ia tetap bisa merasakan sesuatu yang seperti “pertumbuhan sang putri.”
“Mulai sekarang, dia akan terus berubah, lho? Anak perempuan tumbuh dengan cepat. Baik tubuh maupun hatinya.”
“Begitu, ya…”
“Ya, begitulah. My Darling, Apakah Anda senang?”
Remia bertanya dengan pandangan mata ke atas sambil tetap berbaring di pangkuan Hajime. Hajime menyibakkan rambut yang hampir menutupi mata Remia dengan lembut, lalu mengangkat bahu.
“Ya tentu saja Aku senang… Eh, sebenarnya sedikit tidak. Kalau tumbuh terlalu cepat, rasanya juga agak sedih juga. Aku lebih suka kalau dia tumbuh perlahan-lahan.”
“Ara-Ara♪ Kurasa keinginan itu akan sulit dipenuhi.”
“...? Kenapa begitu?”
“Karena Dia sendiri ingin cepat dewasa. Supaya bisa jadi istri seseorang.”
“……”
“Anak seperti itu tumbuh dengan cepat, lho? Pasti.”
Terdengar suara, “Ah~ Mama dipangkuu! Aku Iriii~!” dari kejauhan. Remia pun bangkit dan melambaikan tangan ke arah putrinya yang berlari menghampiri, tapi sebelum itu, Ia sempat melirik ke arah Hajime dengan tatapan nakal yang menggoda.
“Apakah Kamu senang, A-na-ta?” (Anata = Darling/Sayang)
Pertanyaan yang sama, tapi terdengar dengan arti yang berbeda.
Karena itu, Hajime pun mengeluarkan jurus pamungkas andalannya. “Eh? Kamu bilang Apa tadi?”. Kemampuan khas para pahlawan—“tuli mendadak karena alasan dramatis”. Walau sering dipanggil “Raja Iblis,” sesekali bolehlah dia bertingkah seperti ini.
Tentu saja, terdengar tawa lembut penuh kebahagiaan ala “Ara-Ara, Ufufu”. Dan kemudian—
“...Apa ini? Kenapa suasananya jadi begini...? Apa Aku... mengganggu?”
Terdengar suara sang putri yang masih tak bisa bergerak karena dipangku, bingung dan terintimidasi oleh suasana serta topik pembicaraan yang sulit untuk disela.
“Mama, Lily-oneechan, kalian nggak apa-apa?”
“Iyaa, Mama tidak apa-apa kok. Melihat Myuu yang ceria dan bersenang-senang sudah membuat Mama merasa lebih baik.”
Remia mengelus kepala putrinya yang kini lebih tinggi dari biasanya dengan penuh kasih sayang, sambil memuji, “Anak baik, anak baik.”
‘Kerja Bagus, Myuu-chan!’ pikir Liliana dalam hati, bersyukur karena suasana telah berubah berkat gadis kecil itu. Ia pun bangkit dan mencoba menunjukkan semangatnya kembali.
“Ya, Onee-chan juga baik-baik saja! Tapi, kalau harus mempercayakan nyawa lagi pada bangunan misterius dan orang asing yang tak kukenal... kurasa cukup sampai di sini saja.”
“Aduh, Lily, Kamu terlalu Dramatis.”
“Lily, Tidak apa-apa! Kalaupun Kamu mati, aku pasti akan membangkitkan kamu lagi, kok!”
“...Itu justru malah membuatku semakin tidak merasa aman.”
Shizuku hanya bisa menghela napas pasrah, sementara Kaori dengan ekspresi cerah dan pernyataannya yang penuh semangat justru malah terasa lebih menyeramkan.
“...Hajime, mulai sekarang kita pilih yang lebih kalem saja, ya?”
“Ahaha, maaf. Aku juga merasa sepertinya... wahana ekstrem cukup sampai di sini.”
Kalau menggunakan sihir, kerusakan pada organ keseimbangan seperti saluran setengah lingkaran bisa langsung disembuhkan. Tapi tetap saja, rasa bosan bisa datang. Baik Yue maupun Aiko tampaknya sudah cukup puas dengan wahana ekstrem.
“Benar juga. Mungkin sudah saatnya kita makan siang…”
“Ya ya! Kalau begitu, sebelum makan siang, ayo kita ke sini dulu! Ini, ini!”
Shea melompat-lompat sambil menunjuk ke pamflet.
“Wahana pelarian, ya? Ah, ini parodi dari film ninja yang terkenal itu.”
Sepertinya ini adalah fasilitas yang menggabungkan elemen atletik dan pelarian dalam ruangan. Berdasarkan film yang menampilkan keturunan klan ninja yang kini beraksi sebagai mata-mata modern.
“Benar-benar! Dan untuk orang yang pertama kali mencapai garis akhir, hmm…”
Dengan pandangan yang sedikit menantang, Shea menyapu Yue dan yang lain dengan tatapan tajam, lalu tersenyum lebar dan berkata:
“Dia akan mendapat hak istiMyuua untuk naik bianglala berdua saja bersama Hajime-san. Bagaimana menurut kalian?”
Mata para gadis langsung berkilat serempak.
“Ini agak curang, bukan? Kemampuan fisik kita terlalu berbeda jauh!”
“Tidak tidak, Lily-san. Ini tempat bermain yang ramah anak, kok. Jadi tidak terlalu membutuhkan kekuatan fisik. Ada juga tantangan pemecahankan teka-teki, jadi di bagian itu, justru Kaori-san dan yang lain lebih unggul, kan?”
Sepertinya rencana Shea sudah sangat matang. Protes pun sepertinya sudah ia prediksi sejak awal, karena dalam sekejap ia berhasil membungkam Liliana dengan argumen yang tak terbantahkan.
“Kan masih belum diputuskan siapa yang akan naik bianglala bersama Hajime-san. Aku rasa ini kesempatan yang pas, lho.”
Bianglala. Ah, bianglala. Wahana yang sempurna untuk dinaiki sepasang kekasih. Jika bisa menguasai tempat tertinggi di negeri fantasi ini berdua saja, pastilah menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Semua ini bermula ketika Yue dan yang lainnya tampak bingung dengan apa enaknya naik gondola yang bergerak lambat itu, lalu Kaori dengan ekspresi penuh romantisme khas gadis remaja menjelaskan betapa indahnya hal itu.
Namun tentu saja, akan membuang terlalu banyak waktu kalau semuanya harus naik satu per satu. Maka, lebih baik dibuat tegas: hanya satu orang saja yang mendapatkan hak istiMyuua itu.
Begitulah kelihatannya.
Ekspresi Hajime berubah menjadi sulit dijelaskan. Ia menyadari bahwa berkata “kenapa Kita semua tidak naik bersama-sama saja?” adalah tindakan yang sia-sia, jadi ia memilih diam.
“Yah, kalau kalian merasa tidak mungkin bisa mengalahkanku, silakan saja menyerah sekarang~”
“...Cukup menantang juga. Haruskah kuajarkan bahwa tak ada adik yang bisa mengalahkan kakaknya?”
“Kurasa tidak apa-apa kan? Bukankah sudah waktunya Shea disadarkan?”
“Memang bukan ide buruk. Tapi, Shea, kamu nggak lupa, kan? Keluarga Yaegashi itu—mungkin saja—keturunan ninja, lho?”
“………? Eeh, Shizuku-oneechan. Emang itu bakal jadi keunggulan Shizuku-oneechan, ya?”
“Jadi, Kamu masih saja tertipu ya…”
RahaShea keluarga Yaegashi (yang sebenarnya sudah bukan rahaShea lagi) ternyata belum diwariskan kepada putri semata wayangnya. Melihat ekspresi rumit Myuu dan Aiko, Shizuku pun secara diam-diam mengalihkan pandangan.
Ngomong-ngomong, Shizuku sudah menonton film yang menjadi parodi dari wahana ini sejak kecil, berkali-kali. Semua cakram videonya lengkap tersedia di rumah. Bahkan, semua karya bertema ninja, baik novel maupun film, sudah ia kuasai nyaris seluruhnya.
Karena itu, ia sampai tanpa sadar bicara seperti tadi. Tapi memang, seperti kata Myuu, ucapan barusan agak memalukan juga. Meskipun sempat ikut larut dalam semangat Yue dan Kaori dan menyunggingkan senyum penuh percaya diri, sekarang Shizuku malah jadi malu sendiri.
“Yah, bukankah ini pilihan yang bagus? Soalnya selain suit, nggak ada lagi cara menentukan pemenang,”
Saat Tio mengangkat bahu dan setuju, itu jadi sinyalnya.
Yue dan para gadis lain langsung memancarkan semangat penuh antusiasme dan melesat berlari menuju tujuan mereka.
(…Bodoh. Aku sudah tahu kalau Shea telah meneliti wahana ini dengan serius! Karena itu, aku juga sudah pelajari duluan! Kalau mau mengalahkan Yue-san, setidaknya butuh waktu tiga ratus tahun lagi!)
(Kau ceroboh, Shea. Kapan kau mulai salah paham dan mengira aku belum pernah mencoba wahana ini sebelumnya? Aku sudah menaklukkannya dua kali!)
(Maaf ya, semuanya. Dalam pertarungan, informasi adalah segalanya. Hanya aku yang tahu bahwa konten teka-tekinya hari ini telah diperbarui. Memang, aku memanfaatkan koneksi keluarga, tapi… jangan salahkan aku, ya?)
(...Akan ada waktu tunggu, kan? Jika benar, saat itu aku bisa menggunakan sihir roh untuk mengirim kesadaranku dan mengintip rutenya… Ah, tidak boleh! Aku ini guru! Tapi… hmm…)
(Begitu, ya. Itu pasti yang kalian pikirkan. Manis sekali, manis sekali. Medan perang bukan hanya di atas papan catur. Aku menyerah dalam persaingan ini dan memilih mendukung Myuu! Mungkin saja Goshujin-sama akan tersentuh dan memberi satu peluang… guhuhu)
(Kali ini juga akan sangat berguna untuk referensi. Ya, demi pembangunan fasilitas hiburan. Semua demi kepentingan negara!)
Entahlah. Di balik semangat itu, ada sesuatu yang terasa… gelap. Atau lebih tepatnya, kontras mencolok dengan Myuu yang berlari riang sambil bersorak, membuat kelicikan orang dewasa jadi tampak lebih ketara.
Hajime, entah kenapa, tak sanggup lagi menatap pemandangan itu dan mengalihkan pandangannya. Di sana, dia melihat Remia tersenyum lembut dengan “ufufu~”.
“…Remia, kau tidak ikut?”
“Memang agak sayang sih, tapi kali ini aku serahkan pada yang lain. Lagi pula…”
“Lagi pula?”
Remia melangkah pelan ke samping Hajime, lalu meletakkan jari telunjuknya di bibir dan melemparkan satu kedipan manis. (kedipan mata)
“Hasilnya sudah bisa ditebak, bukan?”
Itu adalah senyuman yang sangat manis, namun seolah-olah bisa menembus segalanya.
Dan hasilnya adalah――
“Menang!!”
Shea melakukan pose kemenangan yang seolah menembus langit, dan di belakangnya, terdengar:
“...Dasar kelinci bug ini”
“Ini tidak mungkin terjadi!”
“Inilah yang disebut ‘seorang ahli terjebak dalam tipuannya sendiri’, mungkin...”
“Aku berhasil mengalahkan ‘Aiko si iblis hati’! Aku menjaga harga diri sebagai seorang guru! Jadi, ini sudah cukup...”
“Sangat menyebalkan, sangat menyebalkan!”
Yue, Kaori, Shizuku, Aiko, dan Tio yang merangkak sambil memukul-mukul tanah, lebih dari cukup untuk menceritakan segalanya. Tolong hentikan, itu memalukan.
Selain itu, di sudut ruangan, ada seorang putri yang sambil menunjukkan senyum hitam berkata:
“Fufufu, sungguh menarik. Bergantung pada isi dan tingkat kesulitannya, ini bisa melampaui hiburan biasa dan menjadi kompetisi berskala dunia... rencana festival damai yang diadakan beberapa tahun sekali. Jika berhasil, dampak ekonominya akan luar biasa. Kukuku”
Ia mencatat dengan semangat membara dan mata melotot. Tolong kembalilah ke kewarasanmu. Menakutkan, tahu. Bahkan Myuu pun mengabaikannya sepenuhnya.
“Shea-oneechan hebat~~! Aku sama sekali tidak bisa mengejarmu!”
“Tidak, kau juga hebat, Myuu. Baik peringkat maupun catatan waktu sepanjang sejarah, kau di posisi kedua, kan.” “Ehehe~ Ini hasil dari kerja keras di tempat latihan!” “Itu Benar!”
Sebenarnya, sejak ruang latihan dibangun di bawah tanah rumah keluarga Nagumo, Myuu mulai dengan tekun belajar cara bertarung.
Tentu saja, itu bukan karena dia dipaksa. Namun, bagi Myuu, Hajime dan yang lainnya adalah sosok yang dia kagumi. Selain itu, dia juga sangat menyadari bahwa ketidakadilan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan.
Karena itulah, permintaannya untuk berlatih bertarung dilakukan dengan ketulusan penuh. Hajime dan yang lainnya tentu saja tidak mungkin menolaknya.
Meskipun baru sekitar dua bulan, pengalaman Myuu sudah jauh berbeda dari anak-anak lain pada umumnya. Hasilnya, dia berhasil mencapai garis akhir dengan catatan waktu terbaik kedua sepanjang sejarah.
Tentu saja, Tio yang awalnya berniat membantunya dengan perhitungan, malah ditinggalkan begitu saja.
“Hajime-san, Hajime-san! Aku menang!”
Shea mengangkat tanda V dengan senyuman lebar tanpa sedikit pun rasa bersalah.
“Benar-benar tidak dewasa,”
Ucap Hajime dengan mata setengah tertutup tanpa sadar. Memang, bagaimana tidak?
Kelinci ini berhasil melewati hampir semua teka-teki, labirin, dan perangkap di dalam ruangan hanya dengan kemampuan alaminya.
Sering terlupakan karena kelakuannya yang seperti bug, sebenarnya bakat sejati Shea adalah sebagai “Diviner.”(Peramal)
Dia bisa sekilas melihat beberapa detik ke masa depan, bahkan bisa mengetahui hasil dari berbagai pilihan yang mungkin diambil.
Ini adalah fasilitas tempat anak-anak juga bermain. Tidak ada teka-teki dalam bentuk isian, semuanya berbentuk pilihan ganda. Bahkan labirinnya pun tidak terlalu rumit. Dengan begitu, tempat itu sepenuhnya menjadi panggung tunggal milik Shea.
Lalu, ada juga arena olahraga luar ruangan. Ini pun dibuat agar anak-anak bisa dengan mudah menaklukkannya sambil bersenang-senang. Namun, jika mencari “rute tercepat”, maka ceritanya berbeda. Bahkan tempat-tempat yang biasanya tidak dilalui, ataupun jalur yang bukan bagian dari rute resmi, bisa ditembus dengan parkour super cepat sehingga tak ada yang bisa mengejarnya.
Kelincahan indah yang mungkin membuat atlet senam Olimpiade pun kabur tanpa alas kaki itu sudah berada di tingkat seni. Waktu tempuhnya tentu saja melampaui semua rekor. Tidak diragukan lagi, ini adalah peringkat pertama sepanjang sejarah yang tak tergoyahkan. Ditambah lagi, dia adalah seorang gadis cantik.
Sudah tentu, gemuruh kekaguman menyapu seluruh tempat. Atau lebih tepatnya, bahkan sekarang pun tatapan dari sekitar masih terus mengarah padanya. Mata anak-anak kecil berkilauan seolah telah menemukan seorang pahlawan.
“Remia, kamu sudah memperkirakan ini?”
“Aku memang sudah menduga kalau dalam hal seperti ini, Shea-san akan diuntungkan.”
Jawaban Remia diiringi dengan senyum lembut. Jika seorang gadis sejati mulai serius, maka Dia akan menggunakan segala cara. Memang, melihat kemampuan, Shea-lah yang akan menang. Sepertinya begitu kesimpulannya. Dari awal, dia sudah yakin. Hebat sekali, Remia.
“Dan, Hajime-san...”
Mungkin karena merasa panas setelah berolahraga, dia melepas mantelnya. Di dalam, dia hanya mengenakan pakaian tipis. Bawahannya adalah kaus kaki setinggi paha (thigh-high socks) dan rok mini. Untuk atasan, hanya satu kemeja imut dengan potongan V yang memperlihatkan dada.
Shea, yang masih memerah di pipinya karena panas, menyatukan kedua tangan di belakang punggungnya, membungkuk sedikit ke depan sambil menatap ke arah Hajime dengan pandangan mengintip. Telinga kelincinya bergoyang ke sana kemari, dan ekor kelincinya pun bergoyang-goyang dengan lembut.
“Apakah... Aku bisa mendapatkan hadiah?”
Dari orang-orang yang memperhatikan Shea, banyak yang seolah tertembak tepat di hati. Bahkan anak-anak laki-laki yang masih seumuran sekolah dasar pun menahan dada mereka sambil memerah wajahnya.
Kalau untuk pria yang sudah punya pasangan lalu mendapat tatapan dingin dari pasangannya itu masih bisa dimaklumi, namun untuk anak laki-laki itu... Hanya bisa berharap semoga kecenderungan mereka tidak menjadi aneh ke depannya.
“Baiklah, baiklah. Apa yang Kau mau sekarang?”
“Ya! Sebenarnya, akan lebih baik kalau sore atau malam, tapi nanti pasti makin ramai, kan!”
Dengan wajah berbinar-binar, Shea langsung melompat ke lengan Hajime. Kedua bukit besarnya menekan dan berubah bentuk, hampir saja tumpah keluar. Bahkan di antara para wanita dan anak perempuan di sekitar, ada juga yang jadi merah wajahnya.
Kalau kelinci ini dibiarkan begitu saja, jumlah korban sepertinya akan terus bertambah. Atau lebih tepatnya, melihat Yue dan yang lainnya yang tampak jelas sebagai “para pecundang” membuat beberapa orang mulai berbisik, “Pertarungan antar wanita?” atau “Eh, mereka semua memang seperti itu hubungannya?”
Mata para staf menjadi semakin tajam! Walaupun senyum mereka tetap terjaga, tapi rasanya mengerikan!
“Yue, Kaori, kalian juga, ayo bangun. Kita pergi sekarang.”
“……Uuuh, aku ingin naik bianglala bersama Hajime……”
Dia masih belum bisa merelakannya. Ia menatap Shea dengan penuh rasa dendam.
Saat itu, Myuu tiba-tiba maju ke depan dengan sikap gagah.
“Sebuah pertandingan tetaplah pertandingan! Yue-oneechan dan yang lainnya! Jangan cengeng, ayo berdiri tegak!”
“““““Ah, baik!!”””””
Tanpa sadar, para Onee-chan langsung berdiri tegak. Myuu kemudian menampar sang putri yang masih terkikik kukuku dengan sebuah tamparan lompat untuk menyadarkannya, lalu mulai berjalan di depan sambil menyeretnya.
Melihat punggung kecil itu, semua orang berpikir:
“Anak kecil itu... Sangat keren.”
◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇
“Fum-fum-fu~n♪ Fufun♪”
Di dalam bianglala, terdengar suara siulan ceria Shea.
Dia duduk sejajar dengan Hajime, mencondongkan tubuh ke arah jendela sambil menikmati pemandangan di luar.
“Shea. Mau tukar tempat? Bukankah dari sisi seberang lebih mudah melihatnya?”
Saat Hajime menoleh ke depan, yang tampak hanyalah wajah samping Shea. Salah satu lengannya tenggelam di antara belahan dada, dan tangan Shea yang bertumpu di pahanya bergerak-gerak sedikit, membuatnya geli. Karena itu, Hajime mengajukan usul tersebut, namun Shea hanya berkedip bingung.
“Eeh~ Kenapa bilang begitu?”
“Yang kulihat sekarang hampir seluruhnya hanya wajah sampingmu, tahu”
“Itu berarti, ‘Aku hanya bisa melihat Shea saja’, kan?”
“Ya, dalam arti fisik, iya”
Tentu saja, kalau Hajime menoleh ke samping, dia masih bisa melihat ke luar. Tapi, terus terang, tingkat kedekatan mereka sudah sampai pada level yang membuatnya ingin berkomentar, “Ini kayak kereta penuh sesak, tahu.”
Ditambah lagi, aroma manis Shea memenuhi sekeliling, dan setiap kali Shea menoleh sambil berkata, “Itu apa?” atau “Lihat itu!”, hidung mereka selalu hampir bersentuhan.
Tidak bisa dipungkiri, rasanya memang terlalu dekat.
“Dengarkan baik-baik, Hajime-san. Ini adalah posisi yang sempurna”
“Kenapa begitu?”
“Karena aku bisa melihat pemandangan dan Hajime-san sekaligus dalam satu pandangan. Plus, kita bisa saling menempel. Jadi, ini posisi yang bisa ‘sekali mendayung, tiga pulau terlampaui’.”
Begitulah penjelasannya.
“Begitu, ya. Kalau Shea puas, ya sudah, terserah saja”
“Nufufufu. Hajime-san selalu begitu, yaa~. Aku dimanjakan sampai hampir tenggelam, lho. Kurung buka (Yue-san dan yang lain juga sependapat) kurung tutup.”
Shea bahkan menambahkan komentar tambahan seperti narasi lisan.
Hajime, yang sebenarnya tidak bermaksud memanjakannya, hanya bisa menggaruk pipinya dengan ekspresi canggung.
Dengan sorot mata yang sangat lembut yang ditujukan pada Hajime, Shea mengecup ringan pipinya. Juga, telinga kelincinya juga mendarat dengan lembut di atas kepala Hajime. Atau mungkin lebih tepatnya, melilit di sana.
“Kau sudah menyiapkan banyak hal hari ini juga, kan?”
“...Apa Maksudmu?”
Tatapan Hajime sedikit menghindar. Dengan ekspresi penuh kasih sayang, Shea menempelkan tubuhnya lebih erat lagi.
“Terima kasih. Aku... tidak, Kami semua, benar-benar sangat bahagia.”
Karena itu, jangan terlalu memanjakan kami—karena rasanya aku benar-benar akan tenggelam dalam kebahagiaan ini, katanya sambil menggesekkan telinga kelincinya dengan manja.
Alasan dia ingin berdua saja di dalam bianglala, sebenarnya hanya karena Kaori pernah memberitahunya: ‘Berdua di dalam bianglala itu klasik bagi pasangan kekasih!’, dan dia ingin mencobanya...
Sebagian alasannya juga karena dia ingin menyampaikan kata-kata ini. Di tempat yang Istimewa, dalam ruang yang hanya milik mereka berdua, dia merasa akan sangat indah jika bisa mengungkapkannya seperti ini.
Lengan Hajime melingkari pinggang Shea. Padahal di antara mereka sudah tak ada celah sedikit pun, tetap saja ia menariknya lebih erat lagi. Posisi mereka kini seperti gendongan menyamping, dengan tubuh Shea duduk pas di antara kedua kaki Hajime.
“Begitu ya. Kalau begitu, aku senang. Aku juga bahagia.”
“Ehehe. Aku juga senang mendengarnya!”
Mereka tiba tepat di puncak bianglala. Tatapan menusuk dari gondola di belakang pun menghilang. Dari keberadaan auranya, sepertinya hanya Myu dan Remia saja yang benar-benar menikmati pemandangan.
Bagaimanapun juga…
Shea memutuskan untuk menikmati sepenuhnya hak istimewa yang telah ia menangkan. Hajime pun, merasa sangat—amat sangat—mencintai Shea yang menampilkan ekspresi meleleh seperti itu.
Dalam beberapa menit yang tersembunyi dari pandangan siapa pun di puncak yang jauh di atas sana, mereka berdua pun melupakan keindahan pemandangan.
(TL: Anjirrrrr, ngapain itu!?)
◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇
—Kalian tampaknya sangat menikmati waktu di bianglala, ya?
Itulah kalimat pertama yang diucapkan Yue dan yang lainnya setelah mereka turun dari bianglala. Kecuali Myuu dan Remia, semuanya menatap dengan mata setengah menyipit penuh kecurigaan. Wajar saja, karena Shea terlihat begitu bersinar, belum lagi ekspresi puas di wajahnya yang tak bisa disembunyikan.
Kepada Yue dan Para Istri yang mendengus kesal, hanya ada satu hal yang bisa dilakukan Hajime.
Yaitu membawa mereka menaiki wahana yang waktu putarannya cukup singkat, bisa dinikmati berdua saja, dan bisa sekaligus berfoto—sebuah rekomendasi dari gadis kecil andalan yang peka terhadap perasaan para Onee-chan nya: komidi putar. Ya, sebanyak sembilan kali.
Bagaimanakah pandangan staf taman hiburan dan para pengunjung lainnya terhadap mereka saat itu…?
Hajime tidak tahu. Atau lebih tepatnya, dia tidak mau tahu! Yang tersisa di dalam hatinya hanyalah senyuman bahagia Yue dan yang lainnya saat melihat foto-foto di ponsel mereka!
Setelah itu...
Di wahana gokar tabrak-tabrakan, Yue dan Kaori mulai terbawa suasana dan makin lama makin panas, hingga akhirnya benar-benar marah dan bertarung sungguhan.
Di dalam labirin raksasa, Aiko yang mengaku melihat siswa-siswa dari sekolah yang sama dengannya, lari terbirit-birit untuk menghindari mereka—dan malah benar-benar tersesat, hingga keluar dari pintu darurat sambil menangis karena tak tahu jalan keluar. Liliana yang pergi mencarinya... tidak pernah kembali.
Di rumah hantu, secara tak terduga Remia yang terlalu ketakutan malah secara refleks menampar hantu yang muncul tiba-tiba—yang ternyata adalah Tio, yang langsung mengerang tak karuan dan menciptakan suasana yang sangat canggung.
Sementara itu, di area permainan mini, Hajime menunjukkan dominasinya dan berhasil mendapatkan boneka raksasa. Shizuku yang menerima boneka itu pun tampak sangat bahagia.
Saat mereka asyik menikmati semua itu, waktu pun berlalu tanpa terasa.
Ketika sadar, langit sudah dihiasi warna jingga yang cemerlang dari matahari terbenam.
“Papa, Papa! Ke sana, ayo ke sana! Yang naik perahu terus dopan! Itu!”
“Iya iya. Tapi ini yang terakhir ya? Sebelum parade malam dimulai, kalian juga mau lihat-lihat di toko oleh-oleh, kan?”
Myuu, yang masih penuh semangat bahkan sekarang, menunjuk-nunjuk dari atas bahu Hajime.
Atraksi terakhir hari ini sesuai keinginan Myu: petualangan menelusuri sungai di dalam hutan tempat monster menyerang—wahana air bertema survival.
Mungkin karena udaranya dingin dan waktunya sudah cukup malam, mereka tak perlu menunggu lama hingga tiba giliran.
Sebuah perahu besar dengan desain yang luar biasa, seolah telah melewati banyak petualangan, datang mendekat. Ukurannya besar, cukup untuk tiga puluh orang. Di sekeliling perahu, terpasang senapan-senapan mainan baik untuk anak-anak maupun dewasa.
Ada dua baris bangku memanjang menghadap ke luar. Myu, yang sudah turun dari pundak Hajime, menarik tangan ayahnya dengan wajah tak bisa menyembunyikan rasa senang. Tujuannya tentu saja—bangku paling depan.
Yue dan yang lainnya duduk berurutan di baris yang sama. Myu duduk dengan manis di atas pangkuan Hajime.
“Papa. Ini tuh game ‘temukan musuh lalu musnahkan semuanya (search & destroy)’, ya?”
“...Yah, kira-kira seperti itu.”
Sepertinya wanita berpakaian seperti petualang—yang membawa senapan di punggung—melirik ke arah mereka dengan tatapan kaget. Hajime sebagai ayah, hanya bisa menanggapi dengan senyum canggung dan sedikit menghindari penjelasan langsung.
Bagaimanapun juga, atraksi terakhir pun dimulai.
Setelah semua penumpang naik, perahu mulai bergerak perlahan. Di saat yang sama, wanita berpakaian petualang tadi mulai bercerita sambil memegang senapan, menjelaskan betapa berbahayanya hutan ini dengan penuh semangat dan nuansa yang sangat hidup.
Sebagai staf taman hiburan besar, kemampuan bicaranya memang luar biasa. Para orang dewasa menikmati suasananya, sementara anak-anak terlihat menoleh ke sana ke mari dengan wajah sedikit takut.
“Ayo semuanya! Ambil senjatanya! Perhatikan baik-baik hutan dan airnya! Kalau ada yang menyerang—langsung BAANG! Seperti ini ya!”
Sambil berkata begitu, wanita itu mengangkat senapannya, lalu membidik seekor monster—seekor monyet bermata merah dengan empat tangan—yang muncul dari hutan di samping mereka, dan menarik pelatuknya. Sepertinya ini adalah atraksi menembak dengan sistem laser. Saat model monster muncul dan pelatuk ditarik, laser akan menyala, dan jika mengenai sensor di model, itu dianggap sebagai tembakan sukses.
Anak-anak, meski takut-takut, mulai mengambil senapan setelah didorong oleh orang tua mereka.
Namun, hanya Myu yang tidak langsung mengambil senapan. Ia hanya menatap wanita petualang itu dalam-dalam.
Menangkap tatapan itu, sang wanita membalas dengan senyum hangat dan gaya mengepalkan tangan penuh semangat, berkata, “Kamu pasti bisa!”
Sepertinya sang wanita petualang mengira Myuu sedang ketakutan. Tapi tentu saja, itu tidak benar sama sekali.
“Fuh.”
“!?”
Myuu mengangkat bahunya. Seolah ingin berkata, “Ya ampun, payah sekali.”
Senyum sempurna sang petualang tampak sedikit retak.
“Lihat wajahnya itu. Seperti sedang berkata, ‘Itu belum ada apa-apanya.’”
“...Hmm. Cara membidik, kecepatan mengincar... Dia pasti sedang membandingkannya dengan Hajime.”
“Ya ampun, anak itu...”
Pendapat Shea-oneechan dan Yue-oneechan memang benar. Remia Mama juga hendak menegurnya, tapi sebelum itu...
Myuu sudah mengambil senapan. Ia membuka kakinya selebar bahu, sedikit menekuk lutut untuk menyerap ketidakstabilan perahu, lalu menempatkan popor senapan di pangkal bahu. Siku ditekuk rapat ke dalam. Pipinya yang bulat menempel pas pada popor, namun jarinya belum menyentuh pelatuk. Tatapannya mengikuti ujung laras senapan dengan presisi, sambil mengatur napas secara stabil.
Benar-benar sikap yang sempurna. Seorang gadis kecil dengan postur menembak seindah itu...
Bukan hanya sang petualang yang melongo, anak-anak lain yang awalnya bingung memegang senjata pun kini menatap dengan mata terbelalak.
“Ini... ini hasil dari pendidikan elit!”
“Memang, dia juga tekun belajar gaya Yae... tapi, Myuu-chan sebenarnya mau jadi apa sih?”
“Jangan-jangan... dia akan jadi manusia super yang mewarisi semua teknik bertarung keluarga Nagumo?”
“Tidak mungkin, tidak mungkin...” gumam Aiko sambil menggeleng-gelengkan kepala, mencoba menepis pikirannya sendiri. Tapi Liliana—entah kenapa—merasa sedikit ngeri. Karena...
“Satu! Dua! Tiga!!”
Target mulai bermunculan, namun semua target yang muncul di sisi kiri—tempat Hajime dan Myu duduk—langsung tumbang begitu muncul, ditembak dengan presisi dan langsung menghilang kembali.
Reaksinya begitu cepat. Ditambah lagi, bidikannya sangat akurat. Meski senjata yang digunakan adalah senapan laser tanpa rekoil, Myu tetap bisa menembak dengan akurasi sempurna, tanpa terganggu sedikit pun oleh guncangan perahu.
“Myuu-chan... anak ini mengerikan!!”
Bahkan Liliana sampai menutup mulut dengan tangan dan menampilkan ekspresi ngeri seolah matanya hampir berputar putih.
Hajime, sang ayah, juga sedikit terkejut dengan hasil latihan Myuu yang jauh melampaui ekspektasi.
Tentu saja, si petugas wanita jauh lebih kaget lagi. Belum pernah ia merasa sebegitu bersyukur karena posisi tempat duduk penumpang dibagi antara sisi kiri dan kanan. Kalau tidak, anak-anak lain mungkin tidak kebagian kesempatan untuk menembak sama sekali.
(Siapa sebenarnya anak kecil ini!? Imut sekali, tapi saat menembak... dia seperti elang dengan tatapan tajam!? Tapi... tetap saja, itu juga imut!!)
Walau sempat terpikir begitu, untungnya itu hanya dalam hati—jadi aman.
Bagaimanapun, wanita itu juga seorang profesional. Seorang staf penuh kebanggaan dari taman hiburan besar yang terkenal! Senyuman yang telah ditempa oleh para senior tak akan hancur begitu saja!
“W-Waaah, hebat sekali! Kalau tidak keberatan, bolehkah kakak tahu namamu?”
“Aku Myuu. Lima tahun. Wanita laut!”
“Mi-Myuu-chan, ya! Baiklah! Kakak juga tidak boleh kalah! Semuanya, ayo semangat bareng-bareng!!”
Sang kakak petugas sempat hampir berteriak, “Wanita laut itu maksudnya apa!?”, namun naluri profesional menahannya! Dengan senyuman sempurna, dia terus menyemangati anak-anak lain, mengajak ayah dan ibu mereka juga, agar semua bisa menikmati wahana tembak-tembakan di atas air ini!
Hajime dan yang lain secara refleks memberi tepuk tangan, sebagai ungkapan permintaan maaf karena “anak kami memang keterlaluan, maaf ya”, sekaligus rasa hormat atas semangat profesional sang kakak petugas.
Sementara itu, tampaknya wahana ini mulai mendekati puncak keseruannya. Jumlah target makin banyak. Ular besar dan piranha bermunculan dari dalam air, bahkan ada hiu yang menyerang dengan gaya “jangan pikirin logika, yang penting seru!”
“Ayo semuanya! Mulai dari sini adalah bagian paling seru! Kita harus melindungi kapal ini bersa—”
“Onee-chan! Onee-chan!”
“A-Ada apa ya!?”
Datang lagi si gadis lucu dari laut! Kali ini, apalagi!?
Sang petugas langsung siaga dalam hati, namun Myuu menatapnya dengan wajah serius dan berkata:
“Apakah di sini ada tipe pistol!? Kalau bisa, aku mau dua revolver sekaligus!”
"Maaf yaa! Semangat dengan senjata itu terlalu—"
"Onee-chan, Onee-chan! Gatling gun—"
"Tidak ada ya! Maaf yaa!"
"Onee-chan, Onee-chan tahu tidak? Musuh di bawah air paling efektif dilawan dengan granat tangan yang dilempar ke—"
"Ayah ibu sekalian! Ayo semangat bersama putri kalian, ya!"
Sial! Sialaaaaan! Senyumanku tetap saja kaku! Aku masih kurang latihan! Tapi—pikir sang petugas dalam hati—kenapa sih anak ini bisa seahli itu soal senjata api!? Padahal Dia imut banget tapi pemikirannya kejam sekali!? Pasti ini pengaruh orang tuanya!
Karena itu, saat dia menyela dan melempar tanggung jawab ke orang tuanya, “Tolong didampingi, ya…”, itu jelas bisa dimaklumi.
Menangkap suasana hati sang kakak petugas dengan sangat cepat, Remia langsung menunduk berkali-kali dan menegur Myuu, “Jangan bikin kakaknya kesulitan!” Sementara Hajime ikut menegur—atau setidaknya mencoba—“Dengar, Myuu. Bertarung dengan peralatan yang tersedia juga bagian dari dasar-dasar pertarungan.”
Orang tua lain yang mendengar interaksi ini pun langsung paham: Aha, ini pasti gara-gara ayahnya. Dan memang begitu kenyataannya. Karena setelah itu, hal seperti ini pun terjadi:
“Teman-teman! Aku akan ajarkan kata-kata hebat!”
Myuu, mengenakan kostum Santa, mengangkat senapan ke pundaknya, meletakkan tangan di pinggang, dan dengan mata menyala penuh semangat, menatap anak-anak lain dengan penuh wibawa. Tak ada anak yang bisa mengabaikannya.
Kepada anak-anak yang polos itu, Myuu—dengan niat murni dan penuh kebaikan—mengajarkan dasar, tidak, inti dari pertempuran... bahkan perang itu sendiri.
“Kekerasan dalam jumlah!!”
Dengan tangan terkepal, mata tajam berkilat, kata-kata yang keluar dari mulut seorang gadis kecil itu sejujurnya adalah sesuatu yang tak ingin didengar dari anak usia lima tahun.
“Kalau Papa dan Mama juga pegang senjata, kita bisa kalahin lebih banyak musuh loh!”
Anak-anak pun langsung menoleh ke orang tua yang selama ini hanya mendampingi dan membantu dari belakang. Pandangan yang berkata: Eh, kalian nggak mau ikut? Gak apa-apa sih… tapi...
Lalu, dengan pukulan pamungkas:
“Apa kalian tidak mau mengalahkan musuh sendirian? Teman-teman—”
Ia sengaja berhenti sejenak. Memastikan tatapannya menyapu satu per satu anak-anak, sebelum akhirnya tersenyum menyeringai penuh percaya diri dan berkata:
“Apa kalian nggak mau jadi pahlawan?”
Seolah berkata aku sih jelas mau, Myuu memutar senapan dengan satu tangan, lalu membidik ke sisi seberang—ke arah target yang ditujukan untuk anak-anak—dan langsung menembaki semuanya secara beruntun dengan akurasi tinggi.
Senyuman liciknya menyiratkan satu hal: Ayo, tunjukkan kemampuan kalian.
Api semangat membara terlihat di mata anak-anak. Mereka mulai berkata, “Aku juga bisa sendiri, kok!” atau “Aku juga bisa kalahin musuh!” sambil meninggalkan orang tua mereka dan mulai menembak sendirian.
Bahkan, terdengar suara mendesak:
“Papa, Mama! Ayo tembak juga dong!”
“Ayah! Kenapa gak nembak-nembak sih! Itu musuh udah kelewatan!”
Dan Tio berkomentar dengan nada tak percaya:
“Remia... tidak diragukan lagi, putrimu telah mewarisi sepenuhnya sifat Goshujin-sama.”
“Sayang... sepertinya kita perlu bicara serius soal pendidikan Myuu, ya?”
“I-iya…”
Melihat putrinya yang tampaknya bahkan mewarisi bakat sebagai provokator, Hajime pun akhirnya merasa harus memikirkan sesuatu. Senyuman Remia terasa sangat... menakutkan. Dengan patuh, Hajime mengangguk.
Tapi, bagaimanapun juga, yang terpenting sekarang adalah kenyataan bahwa Myuu sedang bersenang-senang.
“Yah, setidaknya untuk sekarang…”
Hajime pun mengeluarkan ponselnya. Ia menoleh ke arah Yue dan yang lainnya yang tampak menikmati permainan tembak-menembak sambil tertawa menyaksikan aksi heroik Myu.
Mereka semua mengangguk serempak. Tak butuh kata-kata.
Seketika, masing-masing mengeluarkan ponsel mereka.
Setelah itu, demi mengabadikan sosok Myuu yang terlalu keren itu, seluruh keluarga pun kompak membidik kamera dari segala sudut dan menekan tombol potret berkali-kali—itu sudah jelas tak perlu dikatakan lagi.
“...Sepertinya aku harus minta dilatih ulang sama senior...”
Tanpa disadari oleh mereka semua, si kakak pemandu yang kini merasa penuh dengan rasa kekalahan hanya bisa bergumam dengan mata kosong.
◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇
Matahari telah sepenuhnya tenggelam, namun kegelapan malam seolah disingkirkan oleh cahaya terang dari berbagai iluminasi warna-warni yang menghiasi suasana indah malam itu.
BGM dan atmosfernya pun benar-benar memancarkan suasana malam Natal. Di jalan utama taman hiburan, kerumunan pengunjung berkumpul dalam semangat penuh antusiasme.
Di barisan paling depan dari jalur yang dibentuk oleh kerumunan itu—
“Ah, sudah mulai, nano!”
Teriak Myuu sambil menunjuk ke arah ujung jalan dengan ekspresi bersinar lebih terang daripada cahaya iluminasi itu sendiri, duduk dalam gendongan sebelah lengan.
Ya, ini adalah Night Parade.
Karena ini musim Natal, parade malam ini tampil jauh lebih megah dan istimewa daripada biasanya, dan sorakan pun terdengar dari para pengunjung yang berkumpul.
“Ah, itu Myuu dan Mama, nano!”
“Aduh, benar juga ya. Kakak-kakak itu cantik sekali, bukan?”
Di atas kendaraan parade berhias kerang indah, mutiara, dan berbagai makhluk laut, para putri duyung duduk anggun, melambaikan tangan. Setiap kali mereka melambaikan tangan, gelembung sabun beterbangan di udara, membiaskan cahaya secara acak dan menciptakan pemandangan yang benar-benar fantastis.
Catatan: Tentang putri duyung di Bumi—yang memiliki tubuh bagian bawah ikan—awalnya membuat Myu dan Remia agak bingung, tetapi ternyata mereka cukup menyukainya.
...Dan di musim panas tahun berikutnya, mereka menggunakan sihir transformasi untuk berubah ke versi putri duyung ala Bumi dan berenang di pantai. Mereka bahkan sempat tertangkap mata seorang penyelam secara kebetulan dan menjadi bahan perbincangan. Tapi, itu adalah cerita untuk lain waktu.
“...Myuu, ada vampir juga. Lihat, di sana.”
“Oooh~ ada juga saya di sana, ya.”
“Nngh, sepertinya tidak ada ras naga, ya? Tapi, karena ada naga beneran, kuanggap sudah cukup, bukan?”
“Kalau begitu, putri kerajaan itu jadi Lily, malaikatnya aku, dan Shizuku-chan... mungkin pendekar pedang itu?”
“Malaikat itu terlihat jauh dari kekerasan... dan pendekar pedangnya pria berjenggot lebat. Aku... tidak, masih ada waktu. Aku akan berkembang. Ya, pasti akan tumbuh.”
“Y-ya ya, jangan terlalu dipikirin detailnya, ya. Iya kan, Lily?”
Liliana menepuk-nepuk dadanya yang datar sambil murung karena perbedaan mencolok, dan Shizuku menanggapinya dengan senyum simpul, mencoba menghibur.
Bagaimanapun juga, mereka tampak senang menemukan karakter-karakter dalam parade yang terasa mirip dengan diri mereka sendiri.
“Ah! Ada orang yang bawa senjata, nano! Aku juga lihat Papa, nano!”
“Itu senjata laser, kan? Karakter itu dari film sci-fi, setahuku.”
Myuu tersenyum ceria saat akhirnya menemukan karakter yang mengingatkannya pada Hajime. Tapi, ada hal yang tidak bisa ia temukan meski sudah mencarinya ke mana-mana...
“...Aiko-oneechan, sayang sekali, nano.”
“T-tidak, maksudku... seorang guru memang tidak terlalu mencolok... haha.”
Tatapan polos seorang gadis kecil yang seolah sedang melihat orang yang patut dikasihani—cukup untuk melukai hati. Aiko berusaha tersenyum tenang, tapi di dalam hatinya, dia sedikit menangis.
Setelah itu, mereka terus menikmati Night Parade.
Saat parade mulai memasuki bagian paruh akhirnya, Hajime tiba-tiba menurunkan Myu dari gendongannya. Myu memandang ke atas dengan tatapan bingung.
“Myuu. Papa baru ingat ada urusan mendesak. Papa akan segera kembali, jadi tunggulah bersama Mama, ya.”
“...Baik, nano.”
Wajahnya langsung terlihat murung. Tapi karena Papa bilang itu urusan penting, ia mencoba bersabar. Perasaan itu sangat jelas tergambar.
Itu tepat sasaran di hati Hajime Papa. Rasanya sampai mau muntah darah.
Namun, hari ini adalah hari yang istimewa. Ini adalah Natal pertama bagi Myuu dan juga bagi Yue serta yang lainnya. Karena itu, Hajime ingin melakukan sesuatu yang juga istimewa. Untuk putrinya yang tercinta, dan keluarga yang ia sayangi.
“...Fufu, sampai nanti, ya? Hajime.”
Seperti biasa, Shea langsung menyadarinya. Yue dan yang lain pun tampaknya bisa menebak maksud Hajime, karena mereka semua menatapnya dengan senyum penuh arti.
“Ah—ya. Aku pergi dulu.”
Dengan wajah agak malu, Hajime menggaruk kepalanya. Walau hatinya seperti dicabik-cabik melihat Myuu yang tampak kesepian, ia segera menembus kerumunan dengan cepat.
“Tak apa, Myuu. Papa pasti akan segera kembali.”
“...Myu!”
Disambut elusan lembut dari Remia di kepala, Myuu menjawab dengan semangat seolah sudah bangkit kembali.
Senyumnya pun kembali cerah, dan ia mulai bersorak-sorai lagi mengikuti parade.
Namun tetap saja...
Tanpa Papa yang ia cintai di sisinya, Myuu tak bisa bersenang-senang sepenuh hati.
“…Papa, belum kembali juga ya?”
Parade sudah hampir berakhir. Barisan terakhir sudah ada tepat di depan mata. Myu ingin bisa mengantar mereka pergi bersama Papa, tapi... rasa murungnya kembali muncul—saat itulah.
“Shan shan shan shan…”
Suara lonceng yang jernih menggema.
Awalnya, semua orang mengira itu hanya bagian dari efek suara parade. Tapi, seiring suara itu makin keras, satu per satu mulai miringkan kepala dengan rasa penasaran. Karena, suara itu terdengar seperti turun dari langit.
Seiring barisan parade terakhir lewat, pandangan semua orang mulai terangkat ke atas—dan mereka melihatnya.
“Ah! Itu Santa Claus!”
Seorang anak laki-laki berteriak sambil menunjuk ke atas.
Itu memicu reaksi berantai:
“Eh, bohong!? Dia terbang!?”
“Gimana caranya!?”
“Itu rusa sungguhan? Masa iya sih!?”
“Keren banget! Kayak Santa asli!”
Benar—itu memang Santa Claus.
Dengan rusa kutub yang gagah menarik kereta luncur, dan sosok berjubah merah-putih dengan jenggot putih lebat itu meluncur di udara, seolah berselancar di langit.
Apakah itu efek kawat tipis? Proyeksi cahaya di antara kabut buatan? Atau teknologi drone tercanggih?
Namun, terlalu halus, terlalu nyata, terlalu sempurna. Tidak ada yang tahu bagaimana ia bisa terbang seperti itu.
Dalam situasi yang seharusnya bisa disebut fenomena supranatural seperti ini, biasanya kepanikan dan kebingungan akan langsung menyelimuti suasana. Bahkan mungkin akan terdengar teriakan kaget di sana-sini.
Namun—ini adalah negeri fantasi.
Sebuah dunia lain yang dihiasi oleh hal-hal yang tidak masuk akal dan di luar keseharian.
Karena itulah, pola pikir orang-orang pun mudah bergeser.
“Sudahlah, detail nggak penting! Ini keren banget!”
Mereka yang tadinya bengong pun segera ikut bersorak kagum.
Bahkan meski para pemain parade sendiri tertegun sampai berhenti dan berubah jadi penonton,
Bahkan saat staf di sekitar menatap dengan ekspresi seperti baru melihat UFO,
Bahkan saat tak ada satu pun informasi dalam rundown acara tentang ini—
Saat sosok Santa Claus turun dari langit malam di Hari Natal,
Tidak ada seorang pun yang mampu mempertanyakan keanehan tersebut.
Santa Claus yang melesat melintasi langit berbintang itu akhirnya mulai menuruni langit sambil berputar, seperti menyusuri tangga spiral tak kasat mata di udara.
Dan begitu barisan parade terakhir benar-benar selesai lewat, ia perlahan mendekati satu titik di tengah Main Street.
Di tengah sorotan semua mata, Santa turun dari keretanya—dan berlutut di hadapan gadis kecil berkostum Santa yang menatapnya dengan mata membulat penuh takjub.
“Selamat Hari Natal, nona kecil sesama Santa.”
Suara seraknya terdengar lembut.
Wajahnya tidak terlihat jelas karena janggut putih tebal dan kacamata bundar, perutnya pun menonjol seperti yang dibayangkan tentang Santa Claus.
Siapa ya itu?—tentu saja tidak ada yang berpikir begitu.
Suaranya serak. Wajahnya sulit dikenali karena tertutup janggut putih yang lebat dan kacamata bundar, ditambah lagi dengan perut yang membuncit sempurna.
Tapi siapa dia sebenarnya?—tidak ada yang bertanya begitu.
“Papa, lagi ngapain?”
Santa Claus tampak membeku seketika. Seperti mendadak tersambar petir.
Kenapa dia tahu!?—itulah yang tampaknya berkecamuk dalam benaknya.
Yue dan yang lainnya bisa membaca kegugupan itu seperti membaca buku terbuka. Mereka sampai menahan tawa.
“…………………Bukan papa. Aku Santa.”
“Eh, tapi kan—”
“Santa.”
“Pa—”
“Santa. Pokoknya, Santa!”
“Ba-baiklah.”
Sudah jelas, satu-satunya pilihan adalah memaksa cerita ini sampai akhir.
Tampak sekali betapa kerasnya ia berusaha mempertahankan penyamarannya.
Melihat itu, Myuu pun hanya bisa mengangguk-angguk patuh. Anak yang manis dan penuh pengertian.
Yue dan yang lainnya tampak menderita. Mereka tak sampai tertawa keras, tapi bahunya berguncang, wajah dipalingkan, benar-benar berusaha menahan diri.
Malu... luar biasa.
Satu kali batuk kecil.
“Uh-hum, hm-hm.”
“Baiklah, nona kecil. Tahun ini, kamu sudah bekerja keras. Kamu telah melalui banyak hal dengan baik. Aku yakin ayah dan ibumu, serta semuanya, sangat bangga padamu.”
“Pa…pa…”
“Santa.”
“Ah, iya!”
Siapa yang barusan menyemburkan tawa? Kaori? Atau Shizuku?
Tatapan tajam Santa-san seolah berkata, “Kita bicara nanti.”
Batuk kecil sekali lagi.
“Anak baik seperti itu tentu harus mendapatkan hadiah dari Santa.”
“Hadiah?”
Myuu memiringkan kepalanya, bingung.
Tanpa disadari, sekeliling mereka sudah dipenuhi kerumunan orang. Semua ingin tahu apa yang sedang terjadi di jalan utama ini.
Di tengah tatapan banyak penonton, Santa mengambil sebuah kotak dari kantong putih besar yang ada di atas keretanya.
Kotaknya lucu sekali, dihiasi batu-batu gemerlap seperti permata. Hanya dengan tampilannya saja, kotak itu sudah seperti harta karun.
Sorak sorai pun terdengar dari penonton. Beberapa anak perempuan bahkan terdengar berkata, “Aku mau yang itu~!”
Myuu menerima kotak harta karun itu dan menatap Santa seakan bertanya, “Boleh dibuka?”
Santa mengangguk, “Tentu saja.”
Dengan hati-hati, Myuu membuka tutup kotaknya. Semua orang menahan napas, penasaran dengan isinya.
“Ah!”
Myuu tak bisa menahan teriakannya.
Ekspresi bingung di wajahnya langsung mekar menjadi senyum yang berbunga-bunga.
Semua orang mungkin menduga isinya adalah aksesori anak-anak, atau merchandise karakter populer. Tapi yang Myuu keluarkan dari dalam kotak adalah—
“Ini Donner dan Schlacht~!”
Sepasang revolver tipe twin revolver.
……Hening.
Kerumunan hanya bisa mematung, tak percaya dengan apa yang mereka lihat.
“Ehh……?”
Suasana jadi beku.
Yue dan yang lainnya hanya bisa tersenyum masam. Ya, seperti yang kami duga.
“Eh, tunggu, kenapa malah model gun!? Ini sama sekali nggak ada hubungannya sama taman hiburan ini, kan!? Bahkan kalau mau dijadikan hadiah pun, itu jelas-jelas bermasalah dalam banyak hal!?”
Kerumunan mulai ribut dengan bisik-bisik dan komentar yang penuh tanda tanya dan keheranan.
Namun, si pelaku utama, Myuu, sedang dalam keadaan euforia penuh.
“Akhirnya aku dapet~!” katanya sambil memeluk senjatanya dengan ekspresi bahagia yang tulus dari hati.
Tentu saja, para penonton biasa yang berpikiran normal tidak tahu fakta penting ini:
Bahwa dua revolver tersebut, meskipun sudah disesuaikan ukurannya untuk Myuu, adalah senjata sungguhan.
Dan bahwa gadis kecil berpakaian Santa yang lucu ini, telah sejak lama berlatih dan terus-menerus merengek meminta hadiah itu, yang kini akhirnya terkabul.
“Anak muda, itu bukan ‘Donner & Schlacht’. Namanya adalah… ‘Donnaa~ & Shuraaakuu~’.”
“Donnaa~ & Shuraaakuu~?”
“Betul. Donnaa~ & Shuraaakuu~, ingat itu.”
Sepertinya itu hal penting baginya.
Sambil mengoreksi nama senjatanya, Santa kembali mengobrak-abrik kantong hadiah besar.
Ternyata, hadiahnya tidak cuman satu.
“Agar kau menjadi anak yang kuat seperti si kelinci eror itu, ini dia—Pikko-Pikko Hammer!”
“Pikko-Pikko Hammer~!”
“Tapi jangan sampai jadi seperti si naga rusak itu. Ini dia—Ini Senjata!”
“Ini senjataaa~!”
“Yang ini juga tidak boleh dilupakan, ‘Muuramasa’ dan—”
“Muuramasa!”
“Itu ‘Kotetsu~’.”
“Kotetsuuu!!”
Semangat Myuu menembus batas. Bagaimana tidak? Ini adalah deretan lengkap senjata (versi anak-anak) milik kakak-kakak yang dia kagumi.
Palu perang berbentuk seperti palu mainan, cambuk putih dengan pita yang imut, sepasang kodachi (sejenis pedang katana) dengan pelindung tangan berbentuk bintang. Ditambah lagi sabuk senjata dan tali pengikat, serta satu set permata sihir portable dengan nama “Love from Yue-oneechan”.
“Aku ingin menjadi kuat. Sebagai putri Papa, aku ingin menjadi orang yang bisa melindungi orang-orang penting bagiku. Aku ingin sekeren para Onee-chan. Kali ini, aku yang ingin bisa menyelamatkan keluargaku.”
Itulah harapan yang membuat Myuu mulai berlatih, dan kado ini adalah bentuk hadiah dan harapan untuknya.
Myuu memeluk hadiah-hadiah itu seperti harta karun. Ketika Remia menawarkan diri untuk menyimpannya, Myuu tidak bisa menahan diri lagi. Dengan mata yang berkaca-kaca penuh haru, dia berkata:
“Pa—Santa-san! Terima kasih banyak! Aku, aku, aku sangat mencintaimu!!”
Dan dia pun melompat ke pelukan Santa.
Karena isi hadiahnya seperti itu, orang-orang di sekitarnya tampak sangat kebingungan. Meski begitu, ada juga beberapa anak laki-laki yang matanya berkilauan.
Di balik kerumunan orang itu, tampaknya para staf yang akhirnya pulih dari keadaan terkejut mulai bergerak. Sepertinya batas waktu untuk acara Santa Time sudah mendekat.
“Yang ini, hadiah untuk para Onee-chan yang sudah bekerja keras selama setahun.”
“…Fufu, kamu juga sudah menyiapkan untuk kami?”
“Kamu sudah mulai bertanya-tanya sejak sekitar seminggu yang lalu apakah ada yang kami inginkan.”
“Jadi maksudmu ini, ya. Wah, kau benar-benar melakukan hal yang menyenangkan!”
“Sebenarnya, kami juga menyiapkan hadiah… tapi kalau kami memberikannya dengan cara biasa, jangan kecewa ya?”
“Wah, Hajime, apa ini yang disebut sebagai romansa dalam pertunjukan?”
“Ahaha… sungguh, kalau sudah menyangkut keluarga, Hajime-kun sampai lupa menahan diri dan jadi totalitas banget, ya…”
“Ufufu, dia memang merepotkan, ya?”
“…Eh, gimana ini. Semua orang menyiapkan hadiah? Aku… nggak menyiapkan apa-apa, maksudnya, aku bahkan nggak tahu soal ini…”
Santa-san pun membagikan hadiah yang dibungkus rapi satu per satu kepada Yue dan yang lainnya. Mereka menerimanya dengan wajah penuh kegembiraan dan rasa malu. Meskipun tampaknya ada satu orang yang panik karena tidak diberi informasi, tapi abaikan saja itu.
Setelah dilihat-lihat, sepertinya benar-benar sudah hampir waktunya. Selain para staf, mulai terlihat sosok-sosok petugas keamanan juga.
Dengan suara lantang, Hajime berkata dengan nada agak datar, “Jumlah pengunjung hari ini, selamat kepada pengunjung ke sekian-sekian!”
Alasan perlakuan istimewa kepada Myuu dan yang lainnya tampaknya sudah diputuskan untuk dijadikan seperti itu—semacam bagian dari pertunjukan pihak taman hiburan. “Ini hanya bagian dari acara taman hiburan, ya. Bukan kebohongan, kok.” begitu katanya.
Untuk itu, dibutuhkan satu dorongan terakhir—berbagi kebahagiaan.
Naik ke atas kereta salju dan menarik tali kekang dengan tegas. Makhluk yang terlihat seperti rusa kutub itu—sebenarnya adalah Artefak Golem Mesin Hajime, Grim Reaper—kembali melesat ke langit.
“Ini hadiah kecil dari taman hiburan untuk merayakan Natal! Silakan ambil yang kalian suka dan bawa pulang!”
Bersamaan dengan seruan yang bergema melalui pengeras suara, parasut-parasut mulai berjatuhan dalam jumlah yang sangat banyak, bahkan tak masuk akal untuk dihitung. Semua parasut itu membawa hadiah yang terikat pada mereka.
Itu adalah pernak-pernik berbahan kristal (yang juga ada di bumi) yang diproduksi massal menggunakan kekuatan seorang Synergist. Ada juga gantungan kunci penuh impian seperti “pedang yang dililit naga” yang pasti disukai anak laki-laki.
Sorak sorai meledak dari para pengunjung yang benar-benar percaya bahwa ini adalah bagian dari pertunjukan dan hadiah dari taman hiburan.
Agar tidak terjadi dorong-dorongan, hadiah-hadiah itu disebarkan ke area yang luas, sehingga kerumunan pun segera buyar dan menyebar ke segala arah.
Melihat itu, para staf dan petugas keamanan yang tadi mengejar sambil menunjuk ke langit pun tak bisa berbuat banyak. Gelombang manusia yang heboh itu menghalangi mereka untuk bisa mengejar dengan maksimal.
Sambil mentransfer “hadiah permintaan maaf” yang mengejutkan mereka ke ruang staf, Hajime juga meminta bantuan lewat telepati kepada Yue dan yang lainnya agar tidak ada yang terluka.
Dan akhirnya, sang Raja Iblis pembunuh dewa sekaligus Santa,
“Selamat Hari Natal!!”
Teriaknya lantang, lalu menghilang dari tempat kejadian.
Sambil memandangi dari balik bahunya sorakan dan tepuk tangan dari para pengunjung, dan lebih dari itu, pemandangan putri tercintanya serta keluarganya yang melambai dengan senyum terbaik mereka, bibirnya membentuk lengkungan lembut penuh kehangatan.
Keesokan harinya, seperti yang sudah bisa ditebak, kejadian itu menjadi berita besar. Penampilan spektakuler namun tidak masuk akal dari taman hiburan tersebut memicu kegemparan besar di internet.
Pihak taman hiburan menjelaskan bahwa itu adalah acara spesial yang hanya diadakan hari itu saja. Namun, terlepas dari itu, jumlah pengunjung maupun penjualan merchandise melonjak tajam.
Popularitas taman hiburan meningkat, dan ekspektasi bahwa mungkin suatu saat akan ada kejadian mendadak serupa membuat jumlah pengunjung dan penjualan terus bertumbuh.
Pihak manajemen atas taman hiburan pun, sudah jelas, menjadi panik:
“Siapa Santa itu!?”
“Apa teknologi itu sebenarnya!?”
“Pokoknya rekrut dia, apa pun caranya!”
“Kalau tidak bisa, beli setidaknya teknologinya! Bayar berapa pun tak masalah!”
Sementara itu, di rumah keluarga Nagumo, mereka semua tak bisa berhenti gelisah melihat ekspresi senang Myuu yang bertahan selama beberapa hari dan semangatnya saat latihan…
Melihat anak usia lima tahun yang mengelus-elus pistol, palu perang, cambuk, dan pedang kecil, serta ingin tidur bersama dengan semua itu…
Rasanya… ada yang salah. Atau setidaknya, terasa agak gak nyata.
“Anak kita… Apa tidak apa-apa jadi seperti ini…?”
Meski sudah terlambat, kekhawatiran halus yang lahir itu pun akhirnya memicu digelarnya rapat keluarga berkali-kali.
Post a Comment